Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan

perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan perinatal. Dikemukakan

bahwa angka kematian perinatal lebih mencerminkan kesanggupan suatu negara

untuk memberikan pelayanan kesehatan. Kesehatan prenatal, kesehatan perinatal

dan posnatal menjadi sangat penting karena pada masa ini dianggap sebagai masa

yang rawan dan terjadi gangguan atau kecacatan seperti berat bayi lahir rendah,

kematian neonatal, kelainan kognital, dan asfiksia pada bayi dan kegagalan nafas

akibat dari Respiratory Distress Syndrome (Al-Fati, 2017).

Berakhirnya era MDGs, masyarakat internasional menyepakati kerangka baru

yaitu tujuan pembangunan berkelanjutan sustainable development goal (SDGs)

dimana targetnya pada tahun 2030 adalah mengakhiri kematian bayi yang baru

lahir dan anak-anak dibawah usia 5 tahun setidaknya 12 kematian per 1.000

kelahiran dan angka kematian balita setidaknya sebagai serendah 25 kematian per

1.000 kelahiran (WHO,2015 dalam Alfati, 2017)

Menurut World Health Organization (WHO, 2017) Data terkait dengan

Respiratory Distress Syndrome di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih

tinggi yaitu 34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007), sekitar 56% kematian terjadi

pada periode sangat dini yaitu di masa neonatal. Target MDG’s tahun 2015 adalah
2

menurunkan AKB menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup. Penyebab utama kematian

bayi baru lahir atau neonatal di dunia antara lain bayi lahir prematur 29%, sepsis

dan pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir dengan Respiratory Distress

Syndrome dan Asfiksia (Al-Fati, 2017).

Menurut Direktorat Kesehatan anak tahun 2018 menjelaskan penyebab

kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan kelainan pernafasan 35,9 %,

Prematuritas 34,2%, Sepsis 12%, Hipotermi 6,3%, kelainan darah atau ikterus

5,6%, Post matur 2.8% dan kelainan kogenital 1,4% (Febriyanto, 2018)

Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan suatu bentuk dari gagal

napas yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea,

edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dengan infiltrat yang menyebar.

Dikenal juga dengan nama noncardiogenic pulmonary edema, shock pulmunary,

dan lain-lain (Somantri Irma, 2012). Penyakit ini merupakan penyakit membran

hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan

pulmonar. Surfaktan adalah suatu zat aktif pada alveoli yang dapat mencegah

kolps pada paru. Fungsi surfaktan sendiri adalah untuk menurunkan tegangan

ekspirasi. Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, mengingat produksi surfaktan

yang kurang. Pada penyakit ini kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitas

menjadi terganggu dan alveolus kembali kolaps. Pada akhirnya ekspirasi

pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intrthoraks yang lebih besar


3

dengan cara inspirasi yang lebih kuat. Keadaan kolaps paru dapat menyebabkan

gangguan ventilasi yang akan menyebabkan hipoksia dan asidosis (Hidayat, 2015).

Dampak dari RDS sangat berbahaya bagi bayi maka dari itu perawat sebagai

tenaga profesional, yang berfikir logis dan kritis dalam menelaah dan

mengidentifikasi fenomena respon manusia, banyak bentuk-bentuk pengetahuan

dan keterampilan berfikir kriis dalam melakukan perawatan pada setiap situasi

klien, antara lain dengan menggunakan proses keperawatan yang komprehensif

(Potter dan Perry, 2009)

Berdasarkan data kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi di

RS Bhayangkara Tingkat III Polda Bengkulu diketahui pada bulan Januari

berjumlah 4 orang, Febuari berjumlah 3 orang, Maret berjumlah 3 orang, April

berjumlah 1 orang, Mei berjumlah 1 orang, Juni berjumlah 5 orang, Juli berjumlah

0, Agustus berjumlah 5 orang, Oktober berjumlah 7 orang, November berjumlah 6

orang dan Pada bulan Desember berjumlah 1 orang Sehingga dalam 1 tahun

berjumlah 35 bayi.

Penerapan asuhan keperawatan pada bayi dengan RDS sangat penting

dilakukan karena dengan adanya perawatan yang baik bayi dapat terhindar dari

berbagai komplikasi yang dapat menyebabkan terjadinya kematian, dimana bayi

dengan RDS dapat mengalami kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada

alveoulus sehingga paru-paru menjadi kaku dan terjadi perubahan fisiologi paru
4

dan pernafasan menjadi berat sehinnga terjadi hipoksimia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik (Hidayat, 2009 dalam Alfati, 2017)

Berdasarkan uraian diatas maka penting nya dilakukan asuhan keperwatan

pada bayi yang terkena Respiratory Distress Syndrome (RDS) Peneliti tertarik dan

berkeinginan untuk melihat secara nyata dalam melaksanakan Asuhan perawatan

pada bayi dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS) diruang ICU/NICU RS

Bhayangkara Tingkat III Polda Bengkulu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikan masalah keperawatan

Asfiksia mulai dari pengkajian, riwayat kesehatan, pola fungsional, pemeriksaan

fisik dan pemerikasaan lainnya yang berguna untuk menunjang dalam pemberian

asuhan keperawatan. Adapun pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah

“ Bagaimanakah efektivitas penerapan Asuhan Keperawatan pada bayi dengan

Respiratory Distress Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara

Tingkat III Bengkulu.?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu melaksanakan asuhan keperawatan dan mendokumentasikan hasil

asuhan keperawatan yang terjadi pada bayi dengan Respiratory Distress

Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara Tingkat III Bengkulu

tahun 2020.
5

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melaksanakan pengkajian keperawatan pada bayi dengan

Respiratory Distress Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara

Tingkat III Bengkulu tahun 2020

b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada bayi dengan Respiratory

Aspirasi Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara Bengkulu.

c. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada bayi dengan

Respiratory Distress Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara

Tingkat III Bengkulu tahun 2020

d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada bayi dengan Respiratory

Distress Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara Tingkat III

Bengkulu tahun 2020

e. Mampu melaksanakan evaluasi akhir pada bayi dengan Respiratory Distress

Syndrome dirawat diruang ICU/NICU RS Bhayangkara Tingkat III

Bengkulu tahun 2020.

f. Mampu melaksanakan dokumentasi pada bayi dengan Respiratory Distress

Syndrome diruang ICU/NICU RS Bhayangkara Tingkat III Bengkulu tahun

2020

g. Mampu membandingkan dan menganalisa kesenjangan antara teori dan

kasus pada bayi dengan Respiratory Distress Syndrome dirawat diruang

ICU/NICU RS Bhayangkara Tingkat III Bengkulu tahun 2020


6

D. Manfaat Studi Kasus

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan kepada Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan bahan pengajaran

dan menambah wawasan tentang pengelolaan pada bayi dengan Respiratory

Distress Syndrom

2. Bagi pengembangan Ilmu dan Tehnologi keperawatan

Diharapkan dapat menambah wawasan pengembangan ilmu dan tehnologi

bidang keperawatan terutama mengenai bayi dengan Respiratory Distress

Syndrome

3. Bagi Penulis

Bagi Penulis dengan ada Studi Kasus ini penulis memperoleh pengalaman

dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan, khususnya studi kasus bayi

dengan Respiratory Distress Syndrome

E. Implikasi Penulisan Studi Kasus Terhadap Ilmu Pengetahuan

Penerapan proses Keperawatan mempunyai implikasi atau dampak terhadap:

1. Perawat sebagai Edukator/pendidik

Perawat sebagai pendidik yakni membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan

kesehatan.
7

2. Perawat sebagai advocat

Advokasi merupakan peran profesional perawat untuk melakukan pembelaan

dan perlindungan kepada pasien. Dalam pelaksanaannya terdapat faktor yang

penghambat dan pendukung peran advokat perawat. Pelaksanaan tindakan

peran advokasi meliputi memberi informasi, menjadi mediator dan melindungi

pasien

3. Perawat sebagai care provider

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan

dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan

dengan menggunakan proses keperawatan.


8

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Proses Asuhan Keperawatan Pada Bayi dengan Respiratory Distress


Syndrome (RDS)
A) Konsep dasar Bayi baru lahir

1. Pengertian

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dalam presentasi

belakang kepala melalui vagina tanpa memakai alat, pada usia kehamilan

genap 37 minggu sampai dengan 42 minggu, dengan berat badan 2500-4000

gram, nilai APGAR >7 dan tanpa cacat bawaan (Fitriani, 2016). Bayi baru

lahir normal adalah bayi lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu

dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram.

2. Ciri- ciri bayi baru lahir normal

a. Lahir aterm antara 37-42 minggu

b. Berat badan 2500-4000 gram dan panjang badan 48-52 cm

c. Lingkar dada 30-38 cm dan lingkar kepala 33-35 cm

d. Frekuensi denyut jantung 120-160 dan pernafasan 40-60 x/menit

e. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup

f. Rambut lanugo telah tidak terlihat, rambut kepala biasanya tampak

sempurna.

g. Genetalia :Labia mayora sudah menutupi labia minora (pada

perempuan), testis sudah turun (pada anak laki-laki).

8
9

h. Refleks sucking (menghisap dan menelan) sudah terbentuk dengan baik.

i. Refleks moro sudah baik, bayi bila dikagetkan akan memperlihatkan

gerakan seperti memeluk

j. Grabs refleks sudah baik, apabila diletakkan suatu benda ketelapak

tangan, bayi akan menggenggam/ adanya gerakan refleks.

k. Eliminasi baik, urine dan mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama

dan berwarna hitam kehijauan dan lengket (Fitriani, 2016).

3. Adaptasi fisiologi bayi baru lahir terhadap kehidupan diluar uterus

a. Adaptasi Pernapasan

1. Pernapasan awal dipicu oleh faktor fisik, sensorik, dan kimia.

1) Faktor-faktor fisik, meliputi usaha yang diperlukan untuk

mengembangkan paru-paru dan mengisi alveolus yang kolaps

(misalnya, perubahan dalam gradien tekanan).

2) Faktor-faktor sensorik, meliputi suhu, bunyi, cahaya, suara, dan

penurunan suhu.

3) Faktor-faktor kimia, meliputi perubahan dalam darah (misalnya,

penurunan kadar oksigen, peningkatan kadar karbon dioksida, dan

penurunan pH) sebagai akibat asfiksia sementara selama kelahiran.

2. Frekuensi pernapasan bayi baru lahir berkisar 30-60 kali per menit

3. Sekresi lendir mulut dapat menyebabkan bayi batuk dan muntah,

terutama selama 12-18 jam pertama.


10

4. Pernapasan pertama pada bayi baru lahir normal terjadi dalam waktu

30 detik pertama sesudah lahir. Pernapasan ini timbul sebagai akibat

aktivitas normal sistem saraf pusat dan perifer yang dibantu oleh

beberapa rangsangan lainnya. Semua ini menyebabkan perangsangan

pusat pernapasan dalam otak yang melanjutkan rangsangan tersebut

untuk menggerakan diagfragma, serta otot-oto pernapasan lainnya.

Tekanan rongga dada bayi pada saat melalui jalan lahir per vaginam

mengakibatkan paru-paru kehilangan 1/3 dari cairan yang terdapat di

dalamnya, sehingga tersisa 80-100 mL. Setelah bayi lahir, cairan yang

hilang tersebut akan diganti dengan udara (Sondakh, 2013).

b. Adaptasi Neurologis

1. Sistem neurologis bayi secara anatomik atau fisiologis belum

berkembang sempurna.

2. Bayi baru lahir menunjukkan gerakan-gerakan tidak terkoordinasi,

pengaturan suhu yang labil, kontrol otot yang buruk, mudah terkejut,

dan tremor pada ekstremitas.

3. Perkembangan neonatus terjadi cepat. Saat bayi tumbuh, perilaku yang

lebih kompleks (misalnya: kontrol kepala, tersenyum, dan meraih

tangan dengan tujuan) akan berkembang (Sondakh, 2013).


11

c. Adaptasi Ginjal

1. Laju filtrasi glomerulus relatif rendah pada saat lahir disebabkan oleh

tidak adekuatnya area permukaan kapiler glomerulus.

2. Meskipun keterbatasan ini tidak mengancam bayi baru lahir yang

normal, tetapi menghambat kapasitas bayi untuk berespons terhadap

stresor.

3. Sebagian besar bayi baru lahir berkemih dalam 24 jam pertama setelah

lahir dan 2-6 kali sehari pada 1-2 hari pertama; setelah itu, mereka

berkemih 5-20 kali dalam 24 jam (Sondakh, 2013).

d. Adaptasi Hati

1. Selama kehidupan janin dan sampai tingkat tertentu setelah lahir, hati

terus membantu pembentukan darah.

2. Selama periode neonatus, hati memproduksi zat yang esensial untuk

pembekuan darah.

3. Penyimpanan zat besi ibu cukup memadai bagi bayi sampai 5 bulan

kehidupan ekstrauterin; pada saat ini bayi baru lahir menjadi rentan

terhadap defisiensi zat besi.

4. Hati juga mengontrol jumlah bilirubin tak terkonjugasi yang

bersirkulasi, pigmen bersal dari hemoglobin dan dilepaskan bersamaan

dengan pemecahan sel-sel darah merah. Bilirubin tak terkonjugasi

dapat meninggalkan sistem vaskular dan menembus jaringan


12

ekstravaskular lainnya (misalnya: kulit, sklera, dan membran mukosa

oral) mengakibatkan warna kuning yang disebut ikterus

e. Adaptasi Imun

1. Bayi baru lahir tidak dapat membatasi organisme penyerang di pintu

masuk.

2. Imaturitas jumlah sistem pelindung secara signifikan meningkatkan

risiko infeksi pada periode bayi baru lahir:

1) Respons inflamasi berkurang, baik secara kualitatif maupun

kuantitatif

2) Fagositosis lambat

3) Keasaman lambung dan produksi pepsin dan dan tripsin belum

berkembang sempurna sampai usia 3-4 minggu

3. Infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas selama

periode neonatus.

f. Perubahan Termoregulasi dan Metabolik

1. Suhu bayi baru lahir dapat turun beberapa derajat karena lingkungan

eksternal lebih dingin daripada lingkungan pada uterus.

2. Suplai lemak subkutan yang terbatas dan area permukaan kulit yang

besar dibandingkan dengan berat badan menyebabkan bayi mudah

menghantarkan panas pada lingkungan.


13

3. Trauma dingin (hipotermi) pada bayi baru lahir dalam hubungannya

dengan asidosis metabolik dapat bersifat mematikan, bahkan pada bayi

cukup bulan yang sehat.

4. Kehilangan panas yang cepat dalam lingkungan yang dingin terjadi

melalui konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi.

B) Konsep Dasar Teori Respiratory Distress Syndrome (RDS)


1. Pengertian

Istilah RDS,IRDS dan Hialin Memberan Desease (HMD) sering

digunakan untuk kelainan paru yang berat dan tidak hanya berpengaruh pada

kematian populasi anak saj, tetapi berisiko tinggi untuk terjadi komplikasi

neorologis (Hariati Suni, 2018).

Respiratory Aspirasi Syndrome (RDS) merupakan suatu bentuk dari gagal

napas yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea,

edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dengan infiltrat yang menyebar.

Dikenal juga dengan nama noncardiogenic pulmonary edema, shock

pulmunary, dan lain-lain (Somantri Irma, 2012)

Respiratory Aspirasi Syndrome (RDS) adalah perkembangan yang

immature pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam

paru. RDS juga dikatakan sebagai Hyaline memberan disease (HMD). RDS

termasuk salah satu penyebabutama kematian pada anak baru lahir, yang

diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh penyakit ini
14

ataupun komplikasi yang mengikutinya. Penyakit ini terjadi pada anak yang

lahir frematur, serta insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan

dan berat badannya.

2. Insiden terkait dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS

Menurut World Health Organization (WHO, 2016 dalam Alfatih, 2017)

Data terkait dengan asfiksia di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih

tinggi yaitu 34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007), sekitar 56% kematian

terjadi pada periode sangat dini yaitu di masa neonatal. Target MDG’s tahun

2015 adalah menurunkan AKB menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup. Penyebab

utama kematian bayi baru lahir atau neonatal di dunia antara lain bayilahir

prematur 29%, sepsis dan pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir

dengan Asfiksia dan RDS.

Berdasarkan data kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada

bayi di RS Bhayangkara Tingkat III Polda Bengkulu diketahui pada bulan

Januari berjumlah 4 orang, Febuari berjumlah 3 orang, Maret berjumlah 3

orang, April berjumlah 1 orang, Mei berjumlah 1 orang, Juni berjumlah 5

orang, Juli berjumlah 0, Agustus berjumlah 5 orang, Oktober berjumlah 7

orang, November berjumlah 6 orang dan Pada bulan Desember berjumlah 1

orang Sehingga dalam 1 tahun berjumlah 35 bayi.


15

3. Etiologi Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Seberapa banyak penyebab terjadinya RDS, tetapi tidak bisa dengan jelas

didefinisikan, hanya ada beberapa factor yang memang menunjang terjadinya

RDS. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Fungsi paru-paru saat lahir tergantung pada :

1. Jumlah surfaktan yang adekuat (campuran limpo protein) yang melapisi

sel-sel alveolus dan berperan dalam kestabilan alveolue yang mencegah

terjadinya kolaps alveolue pada saat ekspirasi.

2. Daerah permukaan yang adekuat dalam ruang udara untuk mendapatkan

pertukaran gas.

b. RDS terjadi akibat menurunnya surfakatan pada paru-paru

c. Faktor yang berpengaruh terhadap turunnya surfakatan adalah sebagai

berikut

1. Premature dan lapisan sel-sel alveolus yang tidak matang

2. Asidosis

3. Hypotermi

4. Hypoksia

5. Hypovolemia

6. Diabetes

7. Tidak diketahui (Somantri Irma, 2012).


16

4. Anatomi Fisiologi Sistem Terkait Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Gambar 2.1
Anatomi dan Fisologi Paru-Paru

(Ardiansyah, 2015)

a. Anatomi Paru (Muttaqin, 2012)

Paru merupakan organ yang elastis, terbentuk kerucut, dan terletak

dalam rongga thoraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang

berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Paru kanan lebih besar

dari paru kiri. Selain itu, paru juga dibagi menjadi tiga lobus, satu lobus pada

paru kanan dan dua lobus pada paru kiri. Lobus- lobus tersebut dibagi

menjadi beberapa segment, yaitu 10 segmen pada paru kanan dan 9 segment

pada paru kiri. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia sering kali

terbatas pad satu lobus atau satu segment saja.


17

1. Pleura

Pleura merupakan kantung tertutup yang terbuat dari memberan

serosa yang didalam nya mengandung cairan serosa. Paru terinveginasi

lapiasn ini, sehingga membentuk dua lapisan penutup. Satu bagian

melekat kuat pada paru dan bagian lainnya pada dinding rongga thoraks.

Bagian pleura yang melekat kuat pada paru disebut pleura viseralis dan

lapisan paru yang membatasi rongga thoraks disebut parietalis.

2. Mediastinum

Mediastinum adalah daerah didalam dada diantara keluar paru.

Ruang ini dibagi menjadi dua yaitu mediastinum superior dan inferior

oleh garis imajiner yang ditarik kebelakang dari angulus sternalis ke

vertebrae thorarica ke 4.

Mediastinum superio mengandung : arcus aurta dan cabang-cabangnya,

vena cava superior dan vena brachiocephalica, trakea, esophagus.

Mediatinum inferior mengandung : tymus atau sisanya, jaringan ikat,

jantung dan pericardium, pembuluhan dasar besar, oesophagus,dan nervus

vagus.

3. Lobus

Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri atas lobus bawah

dan atas, sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah,
18

setiap lobus lebih dibagi menjadi dua segmen yang dipisahkan oleh

fisura, yang merupakan perluas pleura.

4. Bronkus dan bronkiolus

Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru.

Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru

kiri). Brokus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru

kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika

memilih posisi drainase postural yang paling efektif untuk pasien tertentu.

Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental.

Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik

dan saraf.

Bronkus segmental kemudian membentuk percabangan menjadi

bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi

bronkiolus seluruhnya tergantung pada rekoil elastik otot polos

sekelilingnya dan pada tekanan alveolar. Bronkiolus mengandung

kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut

tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan nafas. Bronkus dan

bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaanya dilapisi oleh

rambut pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan menyapu

yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing

menjauhi paru menuju laring.


19

Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus

terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus

terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap

menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalur udara

pertukaran gas.

5. Alveoli

Paru terbentuk sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster

antara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyak nya alveoli ini sehingga jika

mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70

meter persegi (seukuran lapangan tenis). Terdapat tiga jenis sel-sel

alveolar. Sel- sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding

alveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktip secara metabol

mensekresi surfaktan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam

dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tife III adalah

makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan

benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting

(Bronner, Suddarth, 2015).

b. Fisiologi

Fungsi paru – paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada

pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna oksigen diambil

melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas; oksigen masuk melalui
20

trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan

darah di dalam kapiler pulmonaris. Empat proses yang berhubungan dengan

pernapasan pulmoner atau pernapasan eksterna antara lain sebagai berikut :

a) Ventilasi

Ventilasi merupakan suatu pertukaran udara dan saluran pernapasan ke

udara luar, pertukaran udara ini ditentukan oleh:

1. Volume udara (kuantitas)

2. Jenis gas yang mengalami pertukaran (kualitas)

Kuantitas ini pada prinsipnya bersifat konstan, yakni jumlah udara

yang dihisap sama dengan jumlah udara yang dikeluarkan, akan tetapi

dalam kualitas terdapat perbedaan komposisi, yakni udara yang dihisap

lebih banyak mengandung O2 dan udara yang dikeluarkan lebih banyak

mengandung CO2.

b) Transpor Oksigen

Oksigen dipasok ke sel dan karbon dioksida dibuang dari sel

melalui sirkulasi darah. Sel- sel berhubungan dekat dengan kapiler, yang

berdinding tipis sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran atau

lewatnya oksigen dan karbon dioksida dengan mudah. Oksigen berdifusi

dari kapiler, menembus dinding kapiler ke cairan interstisial dan

kemudian memberan sel ke jaringan, ditempat dimana oksigen dapat

digunakan oleh miokondria untuk pernafasan selular.


21

c) Transportasi Gas

Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru- paru ke jaringan

dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuk

oksigen ke dalam sel darah yang bergabung dengang hemoglobin yang

kemudian membentuk pksihemoglobin sebanyak 97% dan sisanya 3%

ditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel.Jumlah oksigen yang

dikirim setiap menitnya sama dengan curah jantung perliter dalam satu

menit dikali dengan jumlah mililiter oksigen yang terkandung dalam 1

liter darah arteri. Dalam keadaan istirahat sekitar 5 X 200 atau 1000 ml

oksigen/menit, sekitar ¼ digunakan jaringan dan ¾ sisanya bercampur

kembali dengan darah vena. Selama melakukan latihan fisik, jumlah

oksigen dalam arteri tetap, tetapi curah jantung akan meningkat dengan

curah jantung sebesar 24 liter/menit (Muttaqin, 2009).

d) Difusi

Difusi adalah pergerakan molekul dari area dengan konsentrasi

tinggi ke arah konsentrasi rendah. Oksigen terus menerus berdifusi dari

udara dalam alveoli kedalam aliran darah dan karbondioksida terus

berdifusi dari darah ke dalam dalam alveoli. Difusi udara respirasi terjadi

antara alveolus dengan memberan kapiler.misalnya pada tekanan parsial

O2 di alveoli sekitar 100mmHg sedangkan tekanan parsial pada kapiler

pulmunal 60 mmHg sehingga oksigen akan berdifusi masuk dalam darah.


22

Berbeda halnya dengan CO2 dengan PO2 dalam kapiler 45 mmhg

sedangkan alveoli 40 mmhg maka CO2 akan berdifusi keluar alveoli

5. Patofisologi.

Bayi baru lahir sebelum paru-paru siap melayani organ untuk pertukaran

gas. Biasanya tanda-tanda yang bisa diobservasi yaitu adanya perubahan paru

saat bayi mulai bernafas dan warna bayi segera setelah lahir. Sistem surfaktan

sangat bertanggung jawab pada kondisi seperti ini. Surfaktan adalah permukaan

aktif fosfolipid yang dikeluarkan epitel alveolus. Subtasi ini mengurangi

tekanan permukaan cairan pada alveoli dan jalan pernafasan, sehingga

menghasilkan ekspansi paru-paru yang sama mempertahankan ekspansi paru.

Tanpa surfaktan bayi tidak dapat menjaga inflasi paru dan harus

mengeluarkan energi yang banyak untuk preekspansi pada tiap kali bernafas.

Ketidakmampuan ini dapat menimbulkan stelektasis, dan hiperkapnis. Situasi

ini meningkatkan jumlah asam laktat sehingga menimbulkan asidosis metabolic

(Hariati Suni, 2018).

Dan ketidak mampuan ini karena adanya stelektasisi mengakibatkan paru

tidak mampu mengeluarkan CO2 yang berlebihan yang pada akhirnya

menimbulkan asidosisi respiratorik. Asidosis menyebabkan vasokontraksi, hal

ini akan mengurangi sirkulasi keparu dan materi yang diperlukan oleh surfaktan

tidak di sirkulasi ke alveoli. Untuk kelainan memberan hialin berakibat dapat

menurunkan elestisitas paru sehingga timbul kekakuan, dengan kondisi ini bayi
23

membutuhkan tekanan yang lebih untuk mencapai jumlah ekpansi paru yang

sama. Dinding otot dada yang lemah dengan jumlah kartigo yang banyak pada

struktur iga menimbulkan wlastisitas iga tidak normal (Hariati Suni, 2018 hal:

184).

Tanpa memperhatikan proses yang memulai, ARDS selalu berhubungan

dengan penambahan cairan dalam paru-paru, sehingga terbentuk edema paru.

Namun, hal ini berbeda dengan edema paru kardiogenik karena tekanan

hidrosstatik kapiler paru tidak meningkat. Pada permulaannya terdapat cedera

pada memberan alveolar kapi membuatler yang menyebabkan kebocoran

cairan, setelah itu makromelekul dan komponen-komponen sel dalam darah

keluar menuju ruang interstisial (Somantri Irma, 2012 hal: 93).

Dengan bertambah parah nya penyakit komponen-komponen tersebut

akan masuk kedalam alveoli. Peningkatan permeabitas vasekular terhadap

protein membuat perbedaaan hidrostatik tanpa lawan, sehinga peningkatan

tekanan kapiler yang riangpun sangat meningkatkan edema interstiasial dan

alveolar. Kolaps alveolar terjadi secara sekunder karena efek cairan alveolar

terutama fibrinogen yang mengganggu aktifitas surfaktan normal dan

kemungkinan karena gangguan produksi surfaktan selanjutnya oleh cedera pada

pneumokis granular. Compliace paru menjadi tidak maksimal (kaku) karena

edema interstisial, kolaps alveoler (Somantri Irma, 2012).


24

PATHWAY KEPERAWATAN

Timbul serangan

Trauma endothelium paru Trauma type II


dan epithelium alveolar pneumocytes

Peningkatan permeabilitas Kerusakan jaringan paru Penurunan surfaktan

Edema pulmonal Atelektasis

Alveoli terendam Penurunan Abnormal ventilasi


perkembangan paru perfusi

Hipoksemia Gangguan pertukaran gas

Ketidakefektifan pola nafas Hipotensi


Ansietas
Defisensi pengetahuan
Ketidakefektifan
perpusi perifer

Ketidakefektipan Peningkatan produksi


bersih jalan nafas sekret

Sumber : Nurarif, 2015


25

6. Manifestasi Klinis

Kasus RDS kemungkinan besar terjadi pada anak yang lahir prematur

dengan berat badan lahir < 1.000 g. Tanda-tanda gangguan pernafasan ini dapat

berupa dispnue atau hipernue atau takipneu, sianosis, retraksi suprasternal atau

epigastrik atau intercostals, grunting expirasi, pernapasan cuping hidung,

menurunnya daya compliance paru, hipotensi sistenis (pucat ferifer. Edema,

pengisian kapiler tertunda lebih dari 3-4 detik), penurunanan keluaran urine,

penurunan suara napas dengan ronkhi, takhikardi saar terjadinya asidosis dan

hipoksemia (Fida dan Maya, 2012)

Pada pemeriksaan fisik akan didapat suara nafas ronchi basah yang harus

saat insirasi meskipun tidak begitu jelas.

Manifestasi klinis yang bisa di observasi segera setelah lahir termasuk :

a. Tanda dan gejala primer :

1) Pernafasan grunting atau ngorok (saat bayi tidak menangis)

2) Retraksi dada, suprasternal, dan interkosta yang bertambah buruk sampai

kelihatan pernafasan paradoxical

3) Inspirasi nasal flaring (cuping hidung)

4) Tachifnea

5) Hypothermi

6) Sianosis, meningkatnya kebutuhan oksigen

7) Menurunya bunyi nafas dan bunyi nafas yang kering saat auskultasi dada
26

8) Kelanjutan penyakit

a) Retraksi semakin jelas dengan adanya penonjolan abdomen saat

ekspirasi

b) Meningkatnya edema perifer

c) Menurunya tonus otot

d) Meningkatnya sianosis dengan gejala suhu tubuh menurun dengan

cepat, dengan cepat terjadi apnea, dan terjadi bradikardi

e) Aspiksi menjadi lebih berat ditandai dengan apnea semakin bertambah,

kulit pucat.

b. Tanda dan gejala sekunder

1) Hypotensi

2) Edema tangan dan kaki

3) Bising usus tidak ada

4) Menurunya urine yang keluar (Hariati Suni, 2018 hal: 185).

7. Test Diagnostik

pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Respiratory Aspirasi Syndrome

(RDS) yaitu sebagai berikut :

a. Foto Rontgen dada (Chest X-Ray): Tidak terlihat jelas pada stadium awal

atau dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak ditengah

region perihilar paru. Pada stadium lanjut terlihat penyebaran di interstisial


27

secara bilateral dan infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup

keseluruhan lobus paru dan tidak terjadi pembesaran pada jantung.

b. Pemeriksaan laboraturium

ABGs : Hipoksemia (Penurunan PaO2), hipokapnea (Penurunan Nilai

CO2 dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap

hiperventilasi), hiperkapnea (PaCO2 >50) menunjukan terjadi gangguan

pernafasan. Alkalosis respiratori (Ph >7,45) dapat timbul pada stadium awal,

tetapi asidosis dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan

dengan peningkatan dead space dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis

metabolik dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan

peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme anaerob.

c. Test Fungsi paru (Pulmonary Function Test): compliace paru dan volume

paru menurun terutama FRC, peningkatan dead space dihasilkan oleh pada

area terjadinya vasokontraksi dan mikroemboli timbul

d. Asam laktat : didapat peningkatan pada kadar asam laktat (Somantri Irma,

2012 hal: 95).

8. Penatalaksanaan Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi masalah yang mengancam

kehidupan dan harus segera dilakukan. Penatalaksanaan yang bisa diberikan

adalah sebagai berikut :


28

a. Terapi oksigen

Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik penting dan secara potensial

mempunyai efek samping toksik. Klien tanpa dasar penyakit paru tampak

toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas

fisiologis penting.

b. Ventilasi mekanik

Aspek penting perawatan RDS adalah untuk memberikan dukungan ventilasi

terapi modalitas ini adalah untuk memberikan dukungan ventilasi sampai

integritas memberan alveolar-kapiler kembali baik. Dua tujuan lainnya

adalah sebagai berikut :

a) Memelihara ventilasi dan oksigenasi adekuat selama periode kritis

hipoksemia berat

b) Mengembalikan faktor etiologi yang mengawali penyebab distres

pernafasan.

c. Positif End Expiratory Pressure (PEEP)

Ventilasi dan oksigenisasi yang adekuat diberikan oleh volume ventilator

dengan tekanan tinggi dan kemampuan aliran, dimana PEEP dapat ditambah.

PEEP dipertahankan dalam alveoli melalui siklus pernafasan, selain itu

untuk mencegah atau mempertahankan alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.

Komplikasi PEEP adalah penurunan curah jantung dan barotrauma. ini lebih

sering terjadi jika klien diventilasi dengan tidal volume diatas 15ml/kg atau
29

PEEP tingkat tinggi. Peralatan selang dadad torakostomi darurat harus siap

tersedia.

d. Pemantauan oksigenisasi arteri adekuat

Kebanyakan volume oksigen yang ditransfor ke jaringan dalam bentuk yang

telah berikatan dengan hemaglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen

dalam darah menurun, sebagai akibat efek ventilasi mekanik PEEP.

Pengukuran seri hemoglobin perlu dilakukan untuk kalkulasi kandungan

oksigen yang akan menentukan kebutuhan untuk tranfusi sel darah merah.

e. Titrasi cairan

Mekanisme patogenisi peningkatan parmeablitas alveolarikapiler

mengakibatkan edema interstisial dan alveolar. Pemberian cairan yang

berlebihan pad orang normal dapat menyebabkan edema paru dan gagal

nafas. Tujuan utama terapi cairan adalah untuk mempertahankan parameter

fisiologis normal.

f. Terapi farmakologi

Penggunaan kortikosteroid masih menjadi kontreversi. Sebelumnya terapi

antibiotik yang diberikan untuk profilaksis. Akan tetaapi, fakta menunjukan

bahwa ini tidak mencegah sepsis gram negatif yang berbahaya. Antibiotik

profilasisi rutin sudah tidak digunakan lagi.


30

g. Pemeliharaan jalan nafas

Selang endotrakeal atau selang trakeostomi disediakan tidak hanya sebagai

jalan nafsa tetapi juga sangat berarti dalam melindungi jalan nafas (dengan

cuff utuh), memberikan dukungan ventilasi kontinu, dam=n memberikan

konsentrasi oksigen terus menerus. Pemeliharaan jalan nafas meliputi

pengetahuan mengenai waktu yang tepat untuk menghisap, melakukan

penghisapan dengan teknik yang benar, pencegahan nekrosis tekanan nasaf

dan oral untuk membuaang sekresi, serta pemantauan kontinu terhadap jalan

nafas bagian atas.

h. Pencegahan infeksi

Perhatian penting terhadap sekresi saluran pernafasan bagian atas dan bawah

serta pencegahan infeksi melalui teknik penghisapan yang telah dilakukan.

Infeksi nasokomial adalah infeksi yang didapatkan di rumah sakit.

i. Dukungan nutrisi

Mal nutrisi relatif merupakan masalah umum pada klien dengan masalah

kritis. Nutrisi parenteral total atau pemberian makan per selang dapat

memperbaiki malnutrisi dan memungkinkan klien untuk terhidar dari gagal

nafas sehubungan dengan nutrisi buruk pad otot inspirasi.


31

9. Program Pemerintah terkait Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Kementerian Kesehatan tahun 2019 menyatakan bahwa Program

Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama meliputi paradigma sehat,

penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional.Pada pilar

penguatan pelayanan kesehatan menggunakan pendekatan continuum of

caredan intervensi berbasis risiko. Ibu dan anak merupakan kelompok rentan

karena berisiko tinggi terhadap kesakitan dan kematian. Status kesehatan ibu

dan anak yang dinyatakan dalam angka kematian ibu (AKI) dan angka

kematian bayi (AKB) di Indonesa saat ini tinggi dan termasuk tinggi bila

dibandingkan dengan negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

lainnya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pemerintah dalam

menurunkan kematian bayi,antara lain adalah bantuan operasional kesehatan

(BOK), jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), jaminan persalinan

semesta (Jampersal) dan program rutin lainnya. Program tersebut dilaksanakan

samadi seluruh Indonesia dengan indikator-indikator pencapaian yang juga

sama (Jurnal Kesehatan, 2017).


32

C) Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengertian Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan merupakan proses atau kegiatan keperawatan

yang diberikan secara langsung kepada klien atau pasien di berbagai tatanan

pelayanan kesehatan. Dilaksanakan berdasarkan kaidah- kaidah keperawatan

sebagai suatu profesi yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat

humasnitic dan berdasarkan pada kebutuhan objektif klien untuk mengatasi

masalah yang dihadapi.

2. Tujuan dan manfaat asuhan keperawatan

Adapun tujuan dalam pemberian asuhan keperawatan antara lain :

1. Membantu individu untuk mandiri

2. Mengajak individu atau masyarakat berpartisipasi dalam bidangkesehatan

3. Membantu individu mengembangkan potensi untuk memeliharakesehatan

secara optimal agar tidak tergantung pada orang lain dalammemelihara

kesehatannya

4. Membantu individu memperoleh derajat kesehatan yang optimal

3. Tahapan asuhan keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan

sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan

keperawatan yang dihadapi pasien baik fisik, mental, social maupun


33

spiritual dapat ditentukan. Tahap ini mencakup tiga kegiatan, yaitu

pengumpulan data, analisa data, dan penentuan masalah kesehatan serta

keperawatan

b. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari

individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dan

memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan

menurunkan, membatasi.

c. Intervensi keperawatan

Merupakan pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana

perawatan terorganisasi sehingga setiap perawat dapat dengan cepat

mengidentifikasi tindakan perawatan yang diberikan. Rencana asuhan

keperawatan yang di rumuskan dengan tepat memfasilitasi konyinuitas

asuhan perawatan dari satu perawat ke perawat lainnya. Sebagai hasil,

semua perawat mempunyai kesempatan untuk memberikan asuhan yang

berkualitas tinggi dan konsisten.

d. Implementasi keperawatan

Pelaksanaan adalah langkah keempat dalam tahap proses keperawatan

dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan

keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan


34

keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui beberapa hal

diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tenik

komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang

hak-hal dari pasien serta dalam memahami tngkat perkembangan pasien

e. Evaluasi keperawatan

Menurut Hidayat (2009) Evaluasi merupakan langkah terakhir dari

proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana

tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Pada tahap evaluasi

ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan

mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung atau menilai dari

respons klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi

dengan target tujuan yang di harapkan disebut sebagai evaluasi hasil.


35

B. Konsep dasar Asuhan keperawatan pada pasien Respiratory Distress

Syndrome (RDS)

Menurut Harianti, Suni (2018) Asuhan keperawatan pada bayi dengan Respiratory

Aspirasi Syndrome (RDS) terdiri dari :

1) Pengkajian

Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis

untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang

dihadapi pasien baik fisik, mental, social maupun spiritual dapat ditentukan.

Tahap ini mencakup tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, analisa data, dan

penentuan masalah kesehatan serta keperawatan

a) Data biografi.

Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir,

asal suku bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua dan penghasilan.

b) Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan yang telah

berlalu. Kajian berfokus pada menifestasi klinis keluhan utama, kejadian

yang membuat kondisi sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat

kesehatan keluarga dan riwayat psikososial , keluhan yang sering muncul

antara lain sebagai berikut :


36

1. Keluhan utama

Biasanya pada RDS keluhan utamanya dilihat dari APGAR Score

menit pertama saat lahir, bayi tidak menangis, terdapat retraksi suprasternal

ataupun intercostals, pernapasan menggunakan cuping hidung, merintih,

tampak sianosis.

2. Riwayat penyakit sekarang .

Biasanya orang tua mengatakan anaknya tidak menangis saat lahir,

bayinya hanya merintih, keluarga mengatakan mencemas kan bayinya.

3. Riwayat kehamilan dan kelahiran

a. Kehamilan.

Saat hamil ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan dan merokok,

kebiasaan ibu : menjelang trisemester III, ibu mulai berolahraga dipagi

hari (jalan pagi). Biasanya RDS paling banyak terjadi pada ibu dengan

Diabetes Melitus dan selama kehamilan mempunyai riwayat pendarahan

vagina dari uterus.

b. Riwayat kelahiran

Biasanya RDS paling banyak terjadi pada ibu dengan Seksio, kehamilan

premature (Terutama yang BB antara 1.000-1500 gram), dan antara

kehamilan 28-37 minggu

c. Riwayat perkembangan anak

Perkembangan anak sesuai dengan pertumbuhan usia


37

d. Imunisasi lengkap

Pada pengkajian imunisasi biasanya bayi dengan RDS belum

mendapatkan imunisasi lengkap seperti imunisasi BCG, DPT, Polio,

Campak Dan Hepatitis, biasa hanya diberikan injeksi Vit. K dan salap

mata saja.

4. Pola nutrisi dan metabolik


Biasanya klien diberikan diet ASI/PASI dengan ketentuan diet dengan

menggunakan NGT

5. Pola eliminasi

Pada RDS pola BAK dan BAB tidak terjadi gangguan

6. Pola aktifitas

Semua aktifitas dibantu orang tua

7. Pola sensori dan kognitif

Sensori meliputi daya penciuman, daya rasa, daya raba, daya lihat dan daya

pendengaran normal.

8. Pola reproduki seksual

Tidak ada masalah

11 Pola penanggulangan stres

Anak tampak tidak menangis dan rewel


38

c) Pemeriksaa Head to toe

1. Pemeriksaan fisik

Kesadaran : Biasanya terjadi penurunan kesadaran dengan tiba-tiba biasanya

tingkat kesadaran nya, apatis, somnolen bahkan koma

Tanda tanda vital :

Suhu : Biasanya pada suhu tidak terjadi peningkatan Suhu

Respirasi : Biasanya pada RDS Terjadi peningkatan

Nadi : Biasanya pada RDS Terjadi peningkatan

Berat badan : Biasanya pada RDS banyak terjadi pada kasus BBLR

2. Kepala

Tidak ada tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun tidak

membesar atau cembung.

3. Mata

Bentuk semetris kanan dan kiri, konjungtiva an anemis, sklera an ikterik.

4. Telingga

Bentuk semetris kanan dan kiri, pendengaran baik, tidak ada serumen.

5. Hidung

Kemungkinan ada ganggun jalan nafas yang di buktikan dengan peningkatan

frekuensi pernafasan ≥60 x/ menit dengan menggunakan pernapasan cuping

hidung
39

6. Mulut

Gigi belum ada, mukosa bibir tanpak kering, tongsil tidak hiperemi, reflek

hisap biasanya terganggu.

7. Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar firgio, kelenjar limfe dan tidak ada distensi

vena jugularis

8. Torak

Cor bising kurang pulmo : gerakan dada simetris, suara pernafasan vesikuler,

adanya kesuliatan pernafasan, ronci (+), whezzeng (-), taktil fremitus teraba,

terdapat retraksi dinding dada, mengunakan otot pernapasan

9. Abdomen

Terjadi penonjolan abdomen saat ekspirasi akibat dari retraksi, tidak ada

asietas, bising usus terdengar.

10. Ekstremitas

Terdapat sianosis pada ektremitas yang pengisian kapiler tertunda lebih dari

3-4 detik

11. Kulit

Akral teraba dingin, tanpak lembab


40

2) Analisa data

Tabel 2.2 analisa data

No Data Etiologi Problem


1. DS : Penurunan Ketidakefektifan
- Orang tua anak pengembangan paru bersih jalan
mengatakan anaknya nafas
tampak sesak Peningkatan
- Orang tua mengatakan produksi sekret
tampak sekret dimulut
anaknya Ketidakefektifan
- Klien mengatakan bersih jalan nafas
anaknya sesak
DO :
- Suhu : ≥36oC
- RR : ≥60 X/m
- Nadi :≥ 160 X/m
- Anak tanpak rewel
- Terdengar suara
ronchi
- Tampak terdapat
sekret pada mulut bayi
2. DS : Kerusakan jaringan Gangguan
- Orang tua paru pertukaran gas
mengungkapkan
anaknya sesak penurunan
- Orang tua pengembangan paru
mengatakan anaknya
tidak menangis abnormalitas
DO : ventilasi perfusi paru
- Pernafasan
menggunakan cuping Gangguan
hidung pertukaran gas
- RR : ≥60 X/m
- Ekspansi paru
kurang mengembang
- Penurunan fremitus
taktil
- Retraksi dindang
dada
41

3. DS : Penurunan Ketidakefektifan
- Orang tua mengatakan pengenbangan paru perfusi perifer
anak nya tanpak lemas
- Orang tua mengatakan
anaknya tampak pucat Hipoksemia
DO :
- Tampak sianosis pada Hipotensi
ektremitas
- Akral dingin Ketidakefektifan
perfusi perifer

4. DS : Kerusakan jaringan Ketidakefektifan


- Orang tua mengatakan paru pola nafas
anak nya sesak
- Orang tua mengatakan penurunan
anaknya dispnea pengembangan paru
DO :
- Anak tanpak sesak Hipoksemia
- Pernafasan
menggunakan cuping
hidung Ketidakefektifan
- Tampak bernafas pola nafas
menggunakan otot
bantu nafas
- Frekuensi napas lebih
dari 60x/menit
- Ekspansi paru
meningkat
5. DS : Kerusakan jaringan Ansietas
- Orang tua mengatakan paru
mencemaskan
anaknya penurunan
- Orang tua mengatakan pengembangan paru
takut terjadi tidak di
inginkan pada Hipoksemia
anaknya
DO :
- Orang tua tampak Ansietas
sedih
- Orang tua selalu
bertanya
42

6. DS : Kerusakan jaringan Defensiensi


- Orang tua mengatakan paru pengetahuan
tidak mengetahui
keadaan anaknya penurunan
- Orang tua selalu pengembangan paru
bertanya tentang
kondisi klien Hipoksemia
- Orang tua tidak
mengetahui penyebab
anaknya seperti ini Defensiensi
DO: pengetahuan
- Orang tua tampak
selalu bertanya
- Tampak cemas

3) Diagnosa keperawatan

Berdasarkan perjalanan patofisiologis penyakit dan manefistasi klinik yang

muncul maka diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan

Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah :

a. Ketidakefektifan bersih jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi

jalan nafas, peningkatan sekret pulmunal.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi dan

penumpukan cairan dipermukaan alveoli.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penulrunan

aliran balik vena dan penurunan curah jantung, hipotensi

d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pertukaran gas tidak

adekuat, peningkatan sekresi


43

e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan dan perubahan

status kesehatan

f. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.


4) Intervensi.

Tabel 2.4 Intervensi Keperawatan Menurut (Nurarif, 2015)

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Dx.1 NOC : NIC :
Ketidakefektipan 1. Respiratory status : ventilation Airway suction
bersihan jalan napas 2. Respiratory status : airway 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning
berhubungan dengan patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
: Kriteria hasil : suctioning
1. Spasme jalan 1. Mendemontrasikan batuk 3. Informasiakan kepada klien tentang suctioning
nafas efektif dan suara nafas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
bersih, tidak ada sianosis dan dilakukan
dyspneu. 5. Gunakan alat steril untuk setiap tindakan
2. Menunjukan jalan nafas yang 6. Monitor status oksigen pasien
paten 7. Ajarkan keluarga bagaimana melakukan
3. Mampu mengidentifikasi dan suction
mencegah faktor yang dapat Airway management
menghambat jalan nafas 1. Posisikan klien untuk memaksimalkan
ventilasi
2. Identifikasi klien perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
3. Lakukan fisiotrafi bila perlu
4. Keluarkan batuk dengan batuk atau suction
5. Auskultasi dan catatat adanya suara nafas
tambahan
6. Monitor respirasi dan status oksigen
45

2. Dx.2 NOC NIC


Gangguan 1. Respiratory status : gas Airway management
pertukaran gas exchage 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chinlif atau
berhubungan dengan 2. Respiratory status : ventilation jauw thrust bila perlu
: 3. Vital sign status 2. Identifikasi klien perlunya pemasangan alat
1. Perubahan Kreteria Hasil : jalan nafas buatan
memberan a. Mendemontrasikan 3. Posisikan klien untuk memaksimalkan
alveolar- kapiler peningkatan ventilasi dan ventilasi
2. Ventilasi perfusi oksigenisasi yang adekuat 4. Lakukan fisiotrafi bila perlu
b. Memelihara kebersihan paru- 5. Keluarkan batuk dengan batuk atau suction
paru dan bebas dari tanda 6. Auskultasi dan catatat adanya suara nafas
tanda disttress pernafasan tambahan
c. Mendemontrasikan batuk 7. Monitor respirasi dan status oksigen
efektif dan suara nafas yang Respiratory Monitoring
bersih, tidak ada sianosis dan 1. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha
dysneu respiratory
d. Tanda tanda vital dalam 2. Catat pergerakan dada, amati kesemetrisan,
rentang normal penggunaan otot tambahan
3. Monitor suara nafas seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena, takipnea,
kussmul, hiperventilasi, cheyne stokes,dan biot
5. Monitor kelelahan otot diakpragma
6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan/
tidak ada ventilasi dan suara nafas tambahan
7. Tentukan kebutuhan suctiun dengan cara
auskultasi dengan mendengarkan suara
tambahan.
8. Auskultasi suara paru setelah melakukan
tindakan untuk mengetahui hasil.
46

3. Dx.3 NOC : NIC :


Ketidakefektifan Nutritional status : Manajemen sensasi perifer
perfusi jaringan 1. Circulation status 1. Monitor adanya derah tertentu yang hanya
perifer berhubungan 2. Tissu perfusion : cerebral peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
dengan : penurunan Kriteria hasil : 2. Monitor adanya tand-tanda sianosis
curah jantung 1. Menemontrasikan status 3. Monitor adanya paratase
sirkulasi yang ditandai dengan 4. Intuksikan keluarga untuk mengobserpasi kulit
: jika ada lesi atau laserasi
a. Tidak ada sianosis 5. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
b. Tidak ada ortostatik 6. Batasi gerakan pada kepal, leher dan
hipertensi punggung.
c. Tidak ada tanda-tanda TIK 7. Monitor kemampuan BAB
8. Kolaborasi pemberian analgetik
9. Monitor adanya tromboplebitis
10. Diskusikan penyebab mengenai perubahan
sensasi
4. Dx.4 NOC : NIC :
Ketidakefektifan 1. Respiratory status : ventilation Airway manajement
pola nafas 2. Respiratory statu s: airway 1. Buka jalan nafas gunakan teknik chin lift atau
berhubungan dengan patency jaw thrus bila perlua
: 3. Vital sign stastu 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
1. Ventilasi Kriteria hasil : ventilasi
terganggu a. Mendemontrasikan batuk 3. Identivikasi perlunya pemasangan alat bantu
2. Despnea efektif dan suara nafas yang nafas
bersih tidak ada sianosis dan 4. Pasang mayo bila perlu
dyspneu 5. Lakuakan pisiotrapi dada bila perlu
b. Menunjukan jalan nafas yang 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
paten 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
c. Tanda-tanda vital dalam tambahan
47

rentang normal. 8. Berikan pelembab udara kassa basah NACL


lembab
Oxygen therapy
1. Bersihakan mulut, hidung dan skreat trakea
2. Pertahan kan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenisasi
4. Monitor aliran oksigen
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Catatat adanya fluktasi tekanan darah
3. Monitor suara paru
4. Monitor suhu, warna dan kelembapan kulit
5. Identifikasi penyebab perubahan vital sign
5. Dx. 5, Ansietas NOC NIC
berhubungan dengan 1. Anxiety self-control Penurunan Kecemasan
: 2. Anxiety level 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
1. Perubahan dalam 3. Coping 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
status ekonomi, Dengan Kreteria hasil : prilaku klien
lingkungan, a. Ibu Klien mampu 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
status kesehatan, mengidentifikasi dan dirasakan selama prosedur
status peran, dan mengungkapkan gejala cemas 4. Pahami preseptif ibu pasien terhadap situasi
pola intraksi. b. Mengidintivikasi, stress
2. Stres, ancaman mengungkapkan dan 5. Lakukan back/ neck rub
kematian menunjukan theknik untuk 6. Dengarkan penuh perhatian
Kebutuhan yang mengontrol cemas 7. Identifikasi status kecemasan
tidak terpenuhi c. Vital sign dalam batas normal 8. Bantu pasien mengenal situasi ketakutan
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, 9. Dorong pasien untuk mengungkapkan rasa
bahasa tubuh menunjukan kecemasan
berkurangnya cemas
48

6. Dx. 6 NOC : NIC :


Defisit pengetahuan 1. Knowledge : disease process teaching : disease proces
berhubungan dengan 2. Knowledge : health behavior 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan
: Kriteria Hasil : pasien tentang proses penyakit
1. keterbatasan a. keluarga menyatakan tentang 2. Jelaskan patofisiologi penyakit
kognitif pemahaman tentang penyakit 3. Jelaskan tentang gambaran dan tanda gejala
2. kurang pajanan b. keluarga mampu dari penyakit dengan cara yang tepat
3. kurang dapat melaksanakan prosedur yang 4. Indentifikasi kemungkinan penyebab dengan
mengingat dijelaskan. cara yang tepat
4. tidak familiar c. keluarga mampu menjelaskan 5. Sediakan imformasi pada keluarga pasien
dengan sumber apa yang dijelaskan tentang kondisi dengan cara yang tepat
perawat/tim kesehatan lainnya 6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi dimasa yang akan datang dan atau
pengontrolan proses penyakit
7. Berikan informasi tentang penanganan proses
penyakit.
5) Implementasi

Pelaksanaan adalah langkah keempat dalam tahap proses keperawatan

dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)

yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini

perawat harus mengetahui beberapa hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan

perlindungan pada klien, tekhnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur

tindakan, pemahaman tentang hal-hal dari pasien serta dalam memahami tngkat

perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis

tindakan, yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi. Sebagai profesi,

perawat mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam menentukan

asuhan keperawatan Hidayat (2010).

6) Evaluasi

Menurut Hidayat (2010) Evaluasi merukapakan langkah terakhir dari

proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari

rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melelakukan evaluasi perawat

seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respons

terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan

tentang tujuan yang di capai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan

keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan

yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses perawatan

berlangsung atau menilai dari respons klien disebut evaluasi proses, dan
50

kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang di harapkan disebut

sebagai evaluasi hasil.

7) Discharger Planning

a) Ajarkan pada orang tua mengenal tanda-tanda kekambuhan dan laporkan

dokter atau perawat

b) Mengajarkan ibu teknik menyusui

c) Mengajarkan itu untuk selalu menjaga kehangatan pada bayinya

d) Instruksikan untuk memberikan pengobatan sesuai dengan dosis dan waktu

e) Ajarkan bagaimana mengukur suhu tubuh dan intervensi

f) Intruksikan untuk kontrol ulang dan Jelaskan faktor penyebab RDS dan

menghindari factor pencetus

8) Follow Up Care

Kolaborasi dengan dokter tentang rencana keperawatan pada balita dengan

RDS untuk terapi lebih lanjut.


51

BAB III

KERANGKA STUDI KASUS

A. Kerangka Konseptual

Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktik

keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien/pasien di berbagai

tantanan pelayanan kesehatan. Dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan

sebagai suatu profesi yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat

humanistik dan berdasarkan pada kebutuhan objektif klien untuk mengatasi

masalah yang dihadapi klien (Muttaqin, 2012). Proses tersebut terdiri dari 5

langkah keperawatan yaitu :

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual

Input Proses Output


Pasien dengan RDS Pengkajian : Berhasil :
: mengidentifikasi Apabila telah tercapai
- Ketidakefektifan identitas, keluhan, tujuan seperi berikut :
bersih jalan nafas riwayat kesehatan dulu, - Jalan nafas klien
- Gangguan pola nutrisi dan lain- bersih
Pertukaran gas lain - Tidak ada lagi
- Ketidakefektipan gangguan pertukaran
perpusi perifer Diagnosa menegakkan gas pada klien
- Ketidak efektipan diagnosa sesuai dengan - Perfusi perifer klien
pola nafas tidak proritas masalah efektif
adekuat - Pola nafas klien
- Ansietas Intervensi membuat efektip dan tidak
- Defisiensi intervensi sesuai terjadi lagi sesak
pengetahuan dengan kasus - Tidak lagi
mencemaskan
Implementasi bayinya yang masih

51
52

melaksanakan sesuai dirawat


intervensi - Mengetahui keadaan
klien.
Evaluasi Tidak berhasil :
Bila dilakukan
perawatan selama 1
minggu tidak ada
perubahan.

B. Kerangka Kerja

Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema dibawah

ini :

Bagan 3.2 Kerangka Kerja

Pengajuan Pengambilan Penyusunan Penyusunan


Judul Data Awal Proposal Proposal

Studi Kasus

Ujian Hasil Pengkajian

Evaluasi Analisa Data

Implementasi Intervensi Diagnosa


Keperawatan Keperawatan Keperawatan
53

BAB IV

METODE STUDI KASUS

A. Desain Asuhan Keperawatan

Jenis studi kasus ini adalah studi kasus dengan menggunakan metode

deskriptif yaitu suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat

gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan memusatkan

perhatian pada obyek tertentu. Dalam penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah

(KTI) ini penulis menggunakan metode studi kasus yaitu melakukan Asuhan

Keperawatan bayi dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)

B. Subyek Studi Kasus

Subyek dalam penelitian ini adalah bayi dengan Respiratory Distress Syndrome

(RDS) yang diambil secara purposive sampling yang ditentukan dengan kriteria

inklusi dan Eksklusi yaitu :

Kriteria inklusi :

1. Keluarga Pasien bersedia menjadi sampel

2. Pasien yang dirawat diruang NICU

3. Pasien dengan Respiratory Distress Syndrome

Kriteria Ekslusi :

1. Pasien yang mengalami komplikasi ringan atau sedang

53
54

C. Fokus Studi
Fokus Studi adalah kajian utama dari masalah yang akan dijadikan titik acuan
studi kasus. Fokus studi adalah asuhan keperawatan pada klien dengan Respiratory
Distress Syndrome (RDS)
D. Definisi Operational Fokus Studi

Tabel 3.1 Definisi Operational Fokus Studi

Variabel Definisi

Asuhan Keperawatan Asuhan Keperawatan merupakan proses atau


rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada klien atau pasien di
berbagai tatanan pelayanan kesehatan

Respiratory Distress Respiratory Aspirasi Syndrome (RDS) merupakan


Syndrome (RDS) suatu bentuk dari gagal napas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea,
edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dengan
infiltrat yang menyebar. Dikenal juga dengan nama
noncardiogenic pulmonary edema, shock pulmunary,
dan lain-lain (Somantri Irma, 2012)

E. Instrumen Studi Kasus

Jenis Instrumen Studi Kasus yang digunakan pada asuhan keperawatan pada

klien dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah mengunakan Format

pengkajian keperawatan Anak

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan cara mengumpulkan

data melalui proses pengkajian yang terdiri dari data biografi, riwayat kesehatan,
55

kebiasaan sehari-hari, pemeriksaan fisik, data psikologis, data spiritual, data

penunjang dan pengobatan.

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus

1. Lokasi studi kasus

Lokasi Studi Kasus akan dilakukan diruang ICU/NICU RS Bhayangkara

Tingkat 3 Bengkulu

2. Waktu studi kasus

Waktu melakukan asuhan keperawatan akan dilaksanakan pada Bulan Mei-Juni

2020

H. Analisis data dan penyajian data

Analisis data merupakan kemampuan kognitif dalam pengembangan daya

berfikir dan penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan pengetahuan,

pengalaman, dan pengertian keperawatan. Dalam melakukan analisis data,

diperlukan kemampuan mengkaitkan data dan menghubungkan data tersebut

dengan konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam

menentukan masalah kesehatan dan keperawatan pada klien. Bentuk penyajian

data berupa teks naratif.

I. Etika Studi Kasus

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengajukan

permohonan kepada pimpinan rumah sakit RS Bhayangkara Tingkat 3

Bengkulu untuk melakukan studi pendahuluan dan mendapat data untuk


56

menyusun proposal. Kemudian dengan pengantar dari instuitusi pendidikan

peneliti kembali ke rumah sakit tersebut dan memberikan kepada responden

yang akan diteliti dengan menekankan pada masalah etika penelitian yang

meliputi :

1. Lembar persetujuan

Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang akan diteliti. Peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan serta dampak

yang mungkin terjadi sebelum dan sesudah penelitian. Jika bersedia menjadi

responden, maka subjek harus menanda tangani lembar persetujuan, jika

mereka menolak untuk dijadikan responden, maka peneliti tidak akan memaksa

dan tetap menghormati hak-haknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden peneliti tidak mencantumkan

namanya pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup member kode pada

masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentiality (Kerahasian)

Kerahasiaan informasi responden akan dijamin oleh peneliti, hanya

sekelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai