Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TENTANG PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN GANGGUAN RESPIRATORY DISTRESS


SYNDROME (RDS)

Di susun oleh :
1. Aulia Dina Rahman
2. Indra Jaya
3. Ni Ketut Ari Sintya Dewi
4. Siti Halimah

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Anak Sehat Dan Sakit Akut yang diampu oleh
Ns. Robiarul adawiyah M. Kep
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga makalah ini selesai sesuai dengan waktunya. Penyusun menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
khususnya dari dosen mata kuliah Anak Sehat Dan Sakit Akut sangat penyusun harapkan,
guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penyusun untuk lebih baik di masa yang
akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa keperawatan yangingin
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang. Penyusun juga mengharapkan makalah ini
dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan ilmu pengetahuan kita semua.
DAFTAR ISI
Kata penghantar
Daftar isi
A. Definisi Respiratory Distress Syndrome (RDS)
B. Etiologic
C. Patofisiologi
D. Manifestasi klinis
E. Pencegahan
F. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
2. Diagnosa
3. Intervensi
Daftar Pustaka
BAB I
(PENDAHULUAN)
1. Latar belakang
Tumbuh kembang adalah proses yang berlanjut sejak konsepsi sampai dengan
maturitas (dewasa) faktor yang sangat mempengaruhi yaitu bawaan dan lingkungan. Bayi
di dalam kandungan hingga setelah lahir sudah mengalami proses tumbuh kembang.
Sejak kelahirannya tumbuh kembang sudah dapat diamati(Sulistyawati, 2015). Tumbuh
kembang mencakup dua peristiwa yang memiliki sifat berbeda, tetapi saling berkaitan dan
sulit untuk dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan (Cahyaningsih, 2011).\
Pertumbuhan (growth) bersifat kuantitatif sehingga bisa diukur dengan ukuran berat
(gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), hal ini berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ pada individu.
Bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
dalam pola yang teratur, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ diferensiasi dari
sel-sel tubuh, sehingga masing-masing organ dapat memenuhi fungsinya disebut dengan
perkembangan. Perkembangan meliputi perkembangan emosi, intelektual dan tingkah
laku sebagai suatu hasil interaksi yang dilakukan dengan lingkungannya. Pertumbuhan
dan perkembangan berlangsung secara teratur, berkaitan, dan berkesinambungan dalam
melewati suatu pola tahapan pertumbuhan dan perkembangan seperti masa janin di masa
kandungan dan masa bayi setelah lahir (Sulistyawati, 2015).
Bayi lahir tidak semua memiliki berat badan normal, masalah yang menyebabkan hal
berikut seperti bayi yang lahir akibat kurang cukup bulan dan mengakibatkan bayi
mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR menjadi salah satu indikator derajat
kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan status kesehatan penduduk secara
umum. BBLR adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram (Djitowiyono
& Kristianasari, 2011). WHO (World Health Organization) pada tahun 2011
mengklasifikasikan bayi BBLR berdasarkan usia gestasi menjadi preterm (lahir hingga 37
minggu kehamilan) dan term (lahir setelah 37 minggu dan sebelum 42 minggu
kehamilan). BBLR sangat berpengaruhdengan Angka Kematian Bayi (AKB) (Maryunani,
2013).
Kematian bayi pada minggu pertama biasanya disebabkan oleh komplikasi kehamilan
dan persalinan seperti syndrome gawat napas serta komplikasi berat lahir rendah. Kondisi
bayi yang lahir dengan BBLR seringkali tidak sebaik kondisi bayi normal pada umumnya
dan berpotensi besar untuk mengalami berbagai masalah kesehatan. Bayi yang lahir
normal juga dapat mengalami berbagai masalah kesehatan meliputi gangguan fungsi
pernapasan seperti RDS yang disebabkan oleh faktor ibu. RDS berpotensi besar terjadi
pada bayi BBLR, hal ini terjadi karena belum matangnya organ tubuh dan fungsi tubuh
pada bayi. BBLR pada bayi mempunyai kecenderungan kearah peningkatan terjadinya
infeksi dan mudah terserang komplikasi. Imaturitas organ pada bayi BBLR sering
menyebabkan masalah pada fungsi pernapasan seperti syndrome gawat nafas atau
Respiratory Distress Syndrome (Maryunani, 2013).

1
2. Rumusan masalah
1) Apa yang di maksud dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)
2) Bagaimana etiologic dan patofisiolagi dari Respiratory Distress Syndrome
3) Bagaimana cara pencegahan dari Respiratory Distress Syndrome

2
A. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang (Mansjoer,
2002). Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut
neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per
menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah
epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan
stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru.
Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya
kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya
kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan
sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2005).
B. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik
dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu.
Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia
kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003). PMH ini
60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu
dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari
ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin,
persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat
bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau
kulit putih (Nelson, 1999). Faktor-faktornya antara lain :
1) Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi
rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain
2) Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya
3) Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam
periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,
dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar
dari paru.

3
4) Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa pun usia gestasinya dapat
mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of
Newborn)
Patway
C. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi
yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kola
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada
tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi
sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli
saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang.
Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap
hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.
Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali
pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan
oksigen untuk menghasilkan energi ini dari pada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka
alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelectasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan
pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru
normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan
aliran darah pulmonal.
Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial
sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus
dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi
vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik
menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi
dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain
adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama
dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran
gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida
dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH
menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru
dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta
materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,
asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan
epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh
penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut
(Asrining Surasmi, dkk, 2003)
 
D. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi
dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia
pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan
pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang
karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan
menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan pernapasan pada bayi terutama
disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena
saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung,
retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda
gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan
pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun,
gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985)
E. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang
belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturasi paru
dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik
(Gluck, 1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan
menghitung perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi
yangakan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila
perbandingan tadi kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan
mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat
merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk
menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas klien Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat,
agama, tanggal pengkajian.
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status infant saat lahir Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi
asfiksia), bayi lahir melalui operasi caesar.
3) Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
 Murmur sistolik
 Denyut jantung DBN
b. Integumen
 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
 Pitting edema pada tangan dan kaki
 Mottling
c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan
 Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
 Nafas grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Pernapasan dangkal
 Retraksi suprasternal dan substernal
 Sianosis
 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
 Letargi
4) Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma
dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas
paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%,
pH 7,3-7,45.
 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolar
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan dan kelemahan otot
pernapasan
3. Rencana keperawatan
No Dx Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil
1 Pola napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan Observasi
kelelahan dan kelemahan Tindakan selama 3x24  Monitor frekuensi,
otot pernapasan jam di harapkan pola irama, kedalaman dan
nafas pasien membaik upaya pernafasan
dengan keriteria hasil :  Auskultasi bunyi nafas
 Frekuensi  Monitor saturasi
pernafasan oksigen
normal  Monitor bunyi nafas
 Dispnea tambahan (mis.
menurun Wheezing, ronkhi,
 Tidak mengi)
menggunakan Terapeutik
otot bantu  Atur interval
pernapasan pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Edukasi
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2 Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan Setelah dilakukannya Observasi
perubahan membran Tindakan 3x24 jam di  Monitor frekuensi,
kapiler-alveolar harapkan gangguan irama, kedalaman dan
pertukaran gas upaya nafas
membaik dengan  Monitor pola nafas
keriteria hasil :  Monitor adanya
 Tidak adanya sumbatan jalan nafas
bunyi nafas  Auskultasi bunyi nafas
tambahan  Monitor situasi oksigen
 Frekuensi nafas Terapeutik
normal  Atur interval
 Dispnea pemantauan respirasi
menurun sesuai kondisi pasien
Edukasi
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC. Suriadi & Yuliani.
2006.
Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung
Seto.
Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai