Di susun oleh :
1. Aulia Dina Rahman
2. Indra Jaya
3. Ni Ketut Ari Sintya Dewi
4. Siti Halimah
1
2. Rumusan masalah
1) Apa yang di maksud dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)
2) Bagaimana etiologic dan patofisiolagi dari Respiratory Distress Syndrome
3) Bagaimana cara pencegahan dari Respiratory Distress Syndrome
2
A. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang (Mansjoer,
2002). Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut
neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per
menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah
epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan
stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru.
Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya
kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya
kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan
sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2005).
B. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik
dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu.
Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia
kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003). PMH ini
60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu
dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari
ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin,
persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat
bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau
kulit putih (Nelson, 1999). Faktor-faktornya antara lain :
1) Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi
rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain
2) Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya
3) Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam
periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,
dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar
dari paru.
3
4) Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa pun usia gestasinya dapat
mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of
Newborn)
Patway
C. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi
yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kola
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada
tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi
sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli
saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang.
Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap
hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.
Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali
pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan
oksigen untuk menghasilkan energi ini dari pada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka
alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelectasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan
pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru
normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan
aliran darah pulmonal.
Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial
sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus
dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi
vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik
menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi
dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain
adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama
dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran
gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida
dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH
menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru
dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta
materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,
asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan
epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh
penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut
(Asrining Surasmi, dkk, 2003)
D. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi
dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia
pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan
pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang
karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan
menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan pernapasan pada bayi terutama
disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena
saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung,
retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda
gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan
pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun,
gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985)
E. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang
belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturasi paru
dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik
(Gluck, 1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan
menghitung perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi
yangakan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila
perbandingan tadi kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan
mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat
merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk
menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas.
F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas klien Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat,
agama, tanggal pengkajian.
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status infant saat lahir Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi
asfiksia), bayi lahir melalui operasi caesar.
3) Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
Murmur sistolik
Denyut jantung DBN
b. Integumen
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
Pitting edema pada tangan dan kaki
Mottling
c. Neurologis
Immobilitas, kelemahan
Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
Nafas grunting
Pernapasan cuping hidung
Pernapasan dangkal
Retraksi suprasternal dan substernal
Sianosis
Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
Letargi
4) Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma
dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas
paru
Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Tingkat phospatydylinositol
AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%,
pH 7,3-7,45.
Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolar
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan dan kelemahan otot
pernapasan
3. Rencana keperawatan
No Dx Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil
1 Pola napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan Observasi
kelelahan dan kelemahan Tindakan selama 3x24 Monitor frekuensi,
otot pernapasan jam di harapkan pola irama, kedalaman dan
nafas pasien membaik upaya pernafasan
dengan keriteria hasil : Auskultasi bunyi nafas
Frekuensi Monitor saturasi
pernafasan oksigen
normal Monitor bunyi nafas
Dispnea tambahan (mis.
menurun Wheezing, ronkhi,
Tidak mengi)
menggunakan Terapeutik
otot bantu Atur interval
pernapasan pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Edukasi
Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2 Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan Setelah dilakukannya Observasi
perubahan membran Tindakan 3x24 jam di Monitor frekuensi,
kapiler-alveolar harapkan gangguan irama, kedalaman dan
pertukaran gas upaya nafas
membaik dengan Monitor pola nafas
keriteria hasil : Monitor adanya
Tidak adanya sumbatan jalan nafas
bunyi nafas Auskultasi bunyi nafas
tambahan Monitor situasi oksigen
Frekuensi nafas Terapeutik
normal Atur interval
Dispnea pemantauan respirasi
menurun sesuai kondisi pasien
Edukasi
Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC. Suriadi & Yuliani.
2006.
Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung
Seto.
Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.