Oleh:
1710070100173
Preseptor:
PADANG
2023
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Defenisis
2.2 Epidemiologi
Insidensi PMH pada bayi prematur sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28
minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan
sangat jarang terjadi padabayi matur. Frekuensinya meningkat pada ibu yang
diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37minggu, kehamilan dengan lebih dari
satu fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat. Pada ibu
diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan yang menyebabkan terjadinya
disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu
yang lama serta hal- hal yang menimbulkan stres pada fetus seperti ibu dengan
hipertensi dan drugabuse, atau adanya infeksi kongenital kronik.Penyakit membran
hialin (PMH) merupakan penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian pada
bayi prematur. Di Amerika Serikat, PMH didapatkan pada sekitar 10% dari seluruh
bayi prematur. Angka kematian PMH di Amerika Serikat adalah 21,3 per 100.000.6
b. Persalinan sesar
i. Hipotiroidisme ibu
Persalinan sesar telah terbukti mewakili faktor risiko independen untuk RDS,
kejadian HMD berkurang dengan persalinan sebelum sesar, tetapi masih meningkat.
Ini mendukungpentingnya memastikan kematangan paru-paru janin sebelum operasi
Caesar persalinan, terutama bila dilakukan sebelum persalinan. Studi lain,
membandingkan hasil kelahiran tunggal dan multipel dari bayi yang lahir sebelum
usia kehamilan 32 minggu menunjukkan insiden RDS yanglebih tinggi di antara bayi
dengan kelahiran ganda. Bayi yang lahir dari ibu dengan intoleransi glukosa
(diabetes) berada pada peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan gangguan pernapasan.8
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan
duktusarteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya menurun
dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai
tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat
karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada
rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya functional residual
capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik PMH.
Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisicairan,
menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi prematur mengalami grunting
yang memperpanjang ekspirasi.9
Terdapat dua bentuk manifestasi klinis PMH yaitu bentuk akut dan kronis. Pada
bentuk akut gejala klinis mulai kelihatan pada beberapa jam setelah bayi lahir,
terutama dispnea dan takipnea (pernapasan lebih 60x/menit), retraksi dinding dada
dan merintih, seterusnya meningkatdalam 48–72 jam pertama, keadaan ini akan tetap
bertahan sampai kira-kira satu minggu, kemudian menurun dan hilang. Pada bentuk
kronis kesulitan bernapas baru dijumpai setelah 24-36 jam kelahiran, ditandai dengan
sesak nafas, sianosis dan apnea. Gejala ini terlihat jelas pada hari ke 4-7 dan menetap
dalam 2-3 minggu.8
Pada kedua bentuk gambaran ini atelektasis merupakan bentuk patologi utama
paru. Dengan adanya atelektasis paru, terjadilah penurunan volume dada, secara fisik
terlihat adanya konkafitas yang nyata di daerah aksila, daya regang rongga dada
menurun, sehingga pada saat inspirasi terlihat jelas adanya retraksi di daerah
interkostal dan supraternal. Pada saat ekspirasi dibutuhkan tenaga yang lebih besar,
karena pengembangan paru yang tidak merata, udara terperangkap di bagian distal,
sedangkan jalan udara tertutup karena kolaps, sehingga tekanan ekspirasi yang besar
ini menyebabkan bising ekspirasi yang khas yakni merintih.8
2.5 Diagnosis
Pada anamnesis harus dicari faktor risikonya meliputi: usia kehamilan yang
preterm, ibu diabetes mellitus, kehamilan kembar, seksio cesar, partus presipitatus
setelah perdarahan antepartum, asfiksia pada masa perinatal dan adanya riwayat
sebelumnya ibu yang melahirkanbayi dengan PMH. Bayi ini akan menunjukkan
gejala kesulitan bernapas pada waktu lahir danberkembang menjadi lebih parah.10
B. Pemeriksaan Fisik
1. Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan
2. Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala, seperti
gejala berikut:
a. Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan PMH
adalah Silverman – Anderson score untuk mengevaluasi derajat keparahan
dari gangguan nafas. 11
C. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mengakkan diagonosis HMD:8
3. Kadar gula darah harus dimonitor secara ketat untuk menentukan adekuasi
dari pemberianinfus dekstros.
8. Foto thoraks
2.7 Tatalaksana
1. Memberikan lingkungan yang optimal.
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 –
37oC) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus
adekuat (70 – 80%).10
2. Bantuan Napas
Pada bayi yang dicurigai menderita PMH dengan PO2 dibawah 50 mmHg dengan
FiO2 70% merupakan indikasi untuk pemakaian CPAP (Countinous Positive Airway
Pressure) dengan tekanan 6-10 cm H2O atau dapat menggunakan kotak kepala atau
CNCP (Countinouse Negative Chest Pressure). Jumlah tekanan yang dibutuhkan
akan turun mendadak pada usia 72 jam kemudian bayi dapat disapih dari CPAP-nya.
Bayi memerlukan ventilasi mekanik apabila pada CPAP dengan FiO2 100% Po2
dibawah 50 mmHg. Ventilasi mekanik biasanya dimulai dengan frekuensi 30-60
respirasi/menit dengan rasio inspirasi dan ekspirasi 1:2. PIP yang digunakan
biasanya 18-30 cmH2O. Dengan PEEP 4 cm H2O biasanya dapat memperbaiki
oksigenasi karena dapat meningkatkan tekanan jalan napas sehingga dapat menjaga
terjadinya ventilasi dan oksigenasi serta dapat meminimalkan kerusakan jaringan
parenkim paru. 13
Pemberian oksigen harus dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 yang terlalu
banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru
(bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental/
retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain-lain. Pemeriksaan saturasi oksigen
sebaiknya dilakukan mengikuti pemberian O2 untuk mencegah timbulnya
komplikasi. Saturasi oksigen sebaiknya diantara 85-93% dan tidak melebihi 95%
untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.13
Jenis terapi oksigen yang diberikan berdasarkan kondisi pasien:
a. Nasal kanul atau head box dengan kelembapan dan konsentrasi yang cukup
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50-70 mmHg untuk
pasien dengan distres pernafasan ringan.
b. Apabila PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, diindikasikan untuk penggunaan NCPAP
(Nasal Continuous Positive Airway Pressure). NCPAP merupakan metode
ventilasi yang non-invasif. Penggunaan dini (early NCPAP) dilakukan untuk
stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendaah (1000-1500 gr) di ruang
persalinan untuk mencegah alveoli kolaps. Penggunaan humidified high flow
nasal cannul therapy (HHNFC) sebagai pengganti CPAP dianggap memiliki
keefektivan yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi
dengan semua usia gestasi.
c. Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi
yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik dihubungkan dengan
terjadinya BPD dan juga meningkatkan risiko terjadinya trauma dan infeksi.13
Indikasi rasional untuk penggunaan ventilator adalah:
1) pH darah arteri <7,2
2) pCO2 darah arteri 60 mmHg atau lebih
3) pO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70-
100% dan tekanan CPAP 6-10 cm H2O
4) Apneu persisten.8
3. Terapi cairan dan nutrisi
Kebutuhan cairan dan nutrisi sebaiknya diberikan secara parenteral. Pada 36-48
jam pertama diberikan glukosa 10% dengan kecepatan 65-100 ml/kgBB/24 jam.
Selanjutnya harus ditambahkan elektrolit dan volume cairan ditingkatkan secara
berangsur sampai 120-150 ml/KgBB/24 jam. 13
4. Antibiotik
5. Sedasi
6. Surfaktan
Surfaktan adalah multikomponen kompleks dari beberapa fosfolipid, neutral lipid,
protein khusus, yang disintese dan disekresikan ke alveoli oleh sel epitel tipe II.
Komponen penting surfaktan terdiri atas fosfolipid (85%) dan 10% protein.
Fosfolipid yang ada terdiri dari Phosphatidylcholine (PC), dan 1 bagian PC molekul,
DPPC (dipalmitol phosphatidyl choline), yang merupakan komponen utama. Struktur
DPPC membentuk satu lapisan stabil dengan tegangan rendah pada permukaan
alveolus untuk mencegah kolapsnya alveoli pada akhir ekspirasi. Surfaktan eksogen
terdiri dari 2 macam, yaitu Natural surfaktan (dari mamalia) dan sintetis surfaktan.
Nama dagang surfaktan yang ada adalah Exosurf , Survanta, Infrasurf, BLES,
Curosurf dan Survaxin. Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti
mengalami penyakit membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui
pipa endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat
yang dipergunakan.13
Tabel 2.2 Surfaktan Alami Tersedia Secara Komersil (derivatif hewan)
LAPORAN JAGA
IDENTITAS PASIEN
Alloanamnesis
Diberikan oleh: Ayah kandung
Keluhan Utama
Bayi lahir tidak menangis spontan
• Saat pasien sebelum dan setelah dibawa ke nicu sesak nafas masih ada.
BBLR 1670 gram lahir secara SC dari ibu G3P2A1H1 gravid 31-32 minggu
• Anak tidak menangis segera setelah lahir, diikuti merintih dan kebiruan, kebiruan
Riwayat Kelahiran
Anak lahir tidak cukup bulan, usia gestasi 33-34 minggu, persalinan section
seccaria, anak menangis lambat, berat badan lahir 2000 gram dan panjang badan 42 cm.
APGAR scor pasien adalah 6 pada menit pertama dan 7 pada menit ke lima, janin tunggal
ketuban jernih.
Riwayat Persalinan
• Cara lahir : SC
• Panjang lahir : 39 cm
• Ketuban : Jernih
ASI :-
Bubur Susu :-
Nasi Tim :-
Buah, biskuit :-
Saudara kandung
1. Perempuan 2700 Sc (Sehat)
Pekarangan : Sempit
Sampah : dibakar
Antropometri Bayi
Reflek :
Moro : ada
Rooting : ada
Isap : ada
Pegang : ada
Antropometri Bayi
Lingkar kepala : 26 cm
Lingkar dada : 27 cm
Panjang badan : 39 cm
Lingkar Perut : 28 cm
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
(+/+)
kelainan kongenital
Gigi dan mulut: Tidak ada gigi, bibir lembab (+) krusta (-) sianosis (-)
Paru
Kesan:
Jantung kesan tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Pulmo :
- Hilli kabur
- Corakan bronkoveskuler bertambah
- Tampak gamabaran retikuloradier dari hilus ke perifer di kedua lapang paru
Laboratorium
- Hemoglobin : 18.1 g/dL
- Hematokrit : 52 %
Tatalaksana kegawatdaruratan
Pemasangan CPAP
Tatalaksana Nutrisi
ASI 6 X 1 CC
Tatalaksana medikamentosa
aminophilin 2x3,2 mg
Edukasi
Jelaskan pada orangtua tentang penyakit dan awasi jika vital sign
mengalami perburukan
Rencana Pemeriksaan
Pemeriksaan Ro Thorax
Follow Up
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
2/7/23 S/- Anak terpasang CPAP PEEP 5-6, FiO2 25%. Saat ini - CPAP
tidak desaturasi, tidak demam, intake masuk, toleransi k - Puasa
urang baik sementara
- Pasang
O/ OGT
- IVFD
KU KES TD HR RR T D10% +
Ca.
Sakit sadar 139x/i 60x/i 37,2 Gluconas
CT 60
seda 4,1
ng cc/jam
Bayi lahir pada tanggal 2 Juli 2023 secara SC dengan diagnosis Ibu G3P1A1H1 gravid
31-32 minggu. Bayi tidak menangis segera setelah lahir, berat lahir 1670 gram, PB 39 cm, apgar
score 7/8 diikuti merintih dan kebiruan yang berkurang dengan pemberian oksigen.
Ibu bayi diketahui tidak memiliki riwayat sakit ketika hamil. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan kondisi bayi aktif, HR 150x/menit, suhu 37,2 celcius, nafas cuping hidung (+),
retraksi epigastrium dan subcostal (+), dilakukan resusitasi neonatus dengan down score 5 dan
Pada dan hasil downe score didapatkan frekuensi nafas 60-80 X/menit, ada
retraksi ringan, ada sianosis yang berkurang dengan oksigen. Penurunan ringan udara
masuk, dan grunting dapat didengar tanpa stetoskop. Dari hasil tersebut total skor
adalah 5 yang menandakan gangguan nafas sedang.6
Neonatal repiratory distress penyebab terdapat dari paru dan bukan paru.
Pada paru terdapat Hyalin Membran Disease, Transient Tachypneu of New Bron,
Meconium Aspiration Syndrom, Persistent Pulmonary Hipertension Newbron,
Pneumonia Neonatal. Pada bukan paru terdapat Penyakit Jantung Bawaan, Kelainan
SSP, Kelainan Neuromuskular.
Akut Respiratory Distress Syndrome merupakan kumpulan gejala gagal nafas
pada neonatus yang dapat menyebabkan kematian jika tidak ditatalaksana dengan
baik. ARDS pada bayi dengan usia gestasi preterm, persalinan SC umumnya
disebabkan karena hyaline membrane disease, yaitu defisiensi surfaktan pada paru
yang menyebabkan tingginya tegangan pada alveolar sehingga tidak terjadi proses
difusi yang optimal.
Pada beberapa kasus kejadian ini bisa menyebabkan paru menjadi kolaps
sehingga menimbulkan atelektasis. Surfaktan mempunyai fungsi menurunkan
tegangan permukaan, memfasilitasi ekspansi alveolar dan mengurangi risiko
atelektasis. Efek negatif yang ditimbulkan dari defisiensi surfaktan adalah
pengurangan kapasitas residual karena paru tidak mengembang dan peningkatan
resistensi paru. Pemberian antenatal glucocorticoid mengurangi risiko HMD karena
dapat meningkatkan kematangan arsitektur fungsional paru dan menginduksi enzim
yang menstimulasi fosfolipid yang melepaskan surfaktan.
Penegakan diagnosis dari HMD didasarkan dari klinis bayi dengan gagal nafas
yang progresif ditambah dengan foto thorax yang menampilkan klinis ARDS, volum
paru yang rendah, serta gambaran difus reticuloglanular ground glass appearance
dengan air bronkogram.7 Penatalaksanaan pada bayi ini mencakup resusitasi pada
kelahiran dengan pemberian tekanan positif untuk menjaga agar paru-paru tidak
kolaps. sesuai alur resusitasi neonatus pada bayi ini dimulai dengan CPAP 7 cmH20
dan FiO2 21 %. VTP dinaikkan hingga PEEP 8 cmH2O dan FiO2 40%, namun pada
bayi ini perbaikan keadaam umu dengan menggunakan CPAP ditunjukkan dengan
saturasi yang mencapai >95%.
Pemberian antibiotik diberikan untuk mencegah resiko sepsis pada bayi,
pemberian antibiotik golongan ampicillin sulbactam + aminoglikosida atau
pemberian sefalosporin terbukti dapat mencegah sepsis pada neonatus. Diperlukan
kultur lebih lanjut untuk menentukan antibiotik spesifik dan menegakkan diagnosis
pada bayi.6
DAFTAR PUSTAKA
4. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In: Nelson
Textbook of pediatrics. Saunders. Edisi 17. 2004. 550- 8.
5. Saifuddin, AB, Adrianz, G. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam: Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Edisi 1. 2000:376-8.
7. Liu, J., N. Yang, dan Y. Liu. High Risk Factors Of Respiratory Distress
Syndrome In Term Neonates: A Retrospective Case Control Study. Balkan
Medical Journal. 2014;31:64- 68.
13. Tochie JN. Neonatal respiratory distress in a reference neonatal unit in Cameroon: an
analysis of prevalence, predictors, etiologies and outcomes. Pan African Medical
Journal. 2016;8688:1–10
14. Anggraini A. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan Penyakit Membran Hialin.
Sari Pediatri. 2013;15(2):75-80.