Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK

PATOFISOLOFI DAN ASUHAN KEPERAWATAN SERTA


PEMERIKSAAN FISIK PADA NEONATAL DENGAN KELAINAN
KONGENITAL PADA SISTEM RESPIRASI: BRONKHOMALASIA,
HERNIA DIAFRAGMATIKA, DAN ATRESIA ESOPHAGUS

Dosen Pembimbing:

Ns. Nilam Noorma, S.Kep., M. Kes

Di susun oleh:

1. Egy Julian
2. Rahmawati Paonganan
3. Robi Kustiawan
4. Syintia Anugrah Saga
5. Tilka Asyratun Kaamilah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir

yang dapat disebabkan olaeh faktor genetik maupun non genetik. WHO memperkirakan

adanya 260.000 kematian (7% dari seluruh kematian neonatus) yang disebabkan oleh

kelainan kongenital pada tahun 2004. Bayi-bayi dengan kelainan kongenital menjadi

masalah khususnya untuk negara berkenbang karena angka kelainan yang cukup tinggi

dan membuat sumber daya berkurang. Bayi dengan kelainan kongenital yang bertahan

hidup, saat tumbuh akan mengalami ketergantungan terhadap orang lain, ataupun alat

bantu ( WHO, 2013).

Malformasi kongenital (kelainan kongenital) adalah kelainan dalam


pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan.
Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian janin dalam kandungan dan kematian neonatal
disebabkan oleh kelainan kongenital. Khususnya pada bayi berat badan diperkirakan
kira- kira 20 % diantaranya meninggal karena kelainan kongenital dalam minggu
pertama kehidupannya ( Sofian, 2011).
Sebab terjadinya kelainan kongenital dapat di sebabkan: kelainan kromosom,
kekurangan nutrisi tertentu, agen teratogenic. Dengan demikian, dapat digambarkan
bahwa kejadian kelainana kongenital dapat di sebabkan oleh: factor genetik 40%,
gangguan perkembangan janin terdiri atas: akibat infeksi 5%, obat-obatan 5%,
gangguan metabolisme ibu; pada kelainan kongenital mi;tipel kematiannya lebih dari
50-60%. Kelainana kongenital dimaksud dengan ketidakmampuan berfungsi normal
atau ketidakmampuan hidup normal. Kejadian kelainan kongenital tergantung dari:
factor lingkungan geografis dan factor rasia ( Manuaba, 2007).
Semua bayi baru lahir harus dinilai tanda-tanda kegawatan/kelainan yang
menunjukkan suatu penyakit. Bayi baru lahir dinyatakan lahir sakit apabila
mempunyai satu atau tanda-tanda sesak napas, frekuensi napas lebih dari 60 kali per
menit, tampak tertraksi dinding dada, malas minum, panas atau suhu badan bayi
rendah, kurang aktif berat badan lahir rendah dengan kesulitan umum sedangkan pada
bayi labioskizis ditandai dengan adanyta kelainan pada bentuk bibir sumbing atau
tidak sempurna ( Muslihatun, 2010).
Angka kejadian kalainan kongenital sekitar 1/700 kelahiran dan merupakan
salah satu kongenital yang sering ditemukan, kelainan ini berwujud sebagai labioskizis
di sertai palatoskizis 50%, labioskizis saja 25% dan palatoskizis saja 25%. Pada 20%
dari kelompok ini ditemukan adanya riwayat kelainan sumbing dan keturunan.
Kejadian ini mungkin disebabkan adanya factor toksik dan lingkungan yang
mempengaruhi gen pada periode fesi ke-2 belahan tersebut. Pengaruh toksik terhadap
fusi yang telah terjadi tidak akan memisahkan lagi belahan tersebut (Muslihatun,
2010).
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Patofisologi dan Asuhan Keperawatan serta Pemeriksaan Fisik pada Neonatal


dengan: Bronkhomalasia
1. Definisi Bronkhomalasia
Malasia napas kongenital adalah salah satu dari beberapa penyebab obstruksi s
aluran udara ireversibel pada anak-anak, tetapi kejadian pada populasi umum tida
k diketahui. Malasia nafas berat atau malacia berhubungan dengan sindrom tertent
ubiasanya diakui dan didiagnosis awal masa bayi, tetapi informasi tentang fitur kli
nisanak dengan malacia primer, sering didiagnosis hanya kemudian di masa kecil,l
angka (Firdiansyah, 2017)
Bronkomalasia adalah masalah bawaan yang timbul dari dukungan tulang raw
an berkurang dari saluran udara yang lebih kecil (di bawah trakea, atau tenggorok
an). tulang rawan melemah biasanya menyempit lebih mudah selama ekspirasi da
n memperpanjang waktu, atau mencegah dahak dan sekresi mnejadi terperangkap.
Biasanya banyak menyerang pada anak usia kurang dari 6 tahun (Children’s Natio
nal Health System,2016). Bronkomalsia juga dapat dideskripsikan sebagai defek k
elahiran pada bronkus di traktus respiratorius. Malasia kongenital pada saluran ud
ara/nafas besar merupakan salah satu dari beberapa penyebab okstruksi saluran na
fas ireversibel pada anak, dengan gejala bervariasi yang dapat berupa wheezing re
kuren dan infeksi saluran nafas bawah rekuren sampai dispneu berat dan insufisie
nsi respirasi (Akhyar, 2010)
2. Etiologi
Bronkomalasia paling sering terjadi pada saat lahir (kongenital) dan hingga sa
at ini tidak diketahui mengapa tulang rawan tidak terbentuk dengan baik (Firdians
yah, 2017). Bronchomalacia dapat digambarkan sebagai cacat lahir bronkus di sal
uran pernapasan. Malasia kongenital saluran udara besar adalah salah satu dari be
berapa penyebab obstruksi saluran napas ireversibel pada anak-anak, dengan gejal
a bervariasi dari mengi berulang dan infeksi saluran udara bawah berulang untuk d
ispnea berat dan insufisiensi pernapasan. Ini juga dapat diperoleh di kemudian hari
karena peradangan kronis atau berulang akibat infeksi atau penyakit saluran napas
lainnya (Wikipedia, 2018)
Bronkomalasia adalah runtuhnya dinamis dari satu atau kedua bronkus utama
dan atau divisilobus atau segmental distal mereka yang dapat terjadi karena cacat
yang melekat pada kartilago atau dari kompresiextinsik. Bronkomalasia lebih seri
ng muncul dengan trakeomalasia dibandingkan dengan lesi yang terisolasi. Bronc
homalacia terlihat dominan di sisikiri (35,7%) dibandingkan dengan kanan (22%).
Bronkomalasia paling sering terlihat pada bronkus batang utama kiri, bronkuslobu
s kiri atas, bronkuslobus kanan tengah, dan bronkus batang utama kanan, dalam ur
utan prevalensi menurun. Ada juga dominasi laki-laki pada lesi ini (Laberge, 200
8)
Pengobatan sering konservatif, karena banyak dari anak-anak ini akan membai
k ketika saluran udara mereka matang dan tumbuh dengan berjalannya waktu. Ket
ika Bronkomalasia parah dan berkembang menjadi kompromi pernapasan, tracheo
stomy dan ventilasi tekanan positif dapat di indikasikan. Selain itu, perawatan bed
ah dari sumber kompresi eksternal, seperti dengan aortopeksi dapat membantu. St
ent juga dapat digunakan, seperti yang di diskusikan dengan Traakomalasia, tetapi
mereka memiliki komplikasi serius termasuk caut, penghilangan yang sulit, pemb
entukan jaringan granulasi. Dengan demikian ini harus disediakan untuk situasi ya
ng muncul dan bukan untuk terapi jangka panjang saat ini (Laberge, 2008)
Bronkomalasia primer melibatkan defek pada kartilago. Ini dapat berasal dari
prematuritas, defek struktural tulang rawan yang melekat, atau dari ketiadaan kon
genital cincin tulang rawan di bronkus subsegmental seperti yang terlihat dengan s
indrom Williams-campbell. Rembesan saluran napas distal pada sindrom William-
Campbell dapat menyebabkan bronkiektasis. Bronchomalacia sekunder terjadi dar
i kompresi eksternal oleh struktur jantung diperbesar atau anomali vaskular mirip
dengan trakeomalasia sekunder. Bronchomalacia juga dapat dikaitkan dengan emf
isema lobus kongenital yang menyebabkan hiperinflasi pada jaringan yang terkena.
(Laberge, 2008)
3. Patofisologi
Ketika kita hirup masuk dan keluar, udara masuk ke dalam hidung dan mulut,
melalui kotak suara (laring) ke dalam tenggorokan (trakea), yang terbagi menjadi
dua cabang (kanan dan bronkus kiri) yang masing-masing paru-paru.Trakea dan b
ronkus terbuat dari cincin tidak lengkap dari tulang rawan dan jika tulang rawan in
i lemah tidak dapat mendukung jalan napas.
Pada bayi cincin tulang rawan trakea terbuka sehingga udara bisa didapatkan d
ari tenggorokan ke paru-paru. Ketika cincin ini kecil, berbentuk aneh, tidak kaku c
ukup, atau tidak membentuk sama sekali maka trakea dapat menutup ke dalam diri
nya sendiri. Hal ini lebih mungkin terjadi saat mengembuskan napas dan menangi
s. Hal ini dapat menyebabkan mengi, batuk, sesak napas, dan / atau napas cepat. B
iasanya tulang rawan berkembang dengan sendirinya dari waktu ke waktu sehingg
a tracheomalacia tidak lagi masalah. Sementara lebih umum pada bayi, tracheomal
acia tidak terjadi pada orang dewasa. Ketika masalah yang sama terjadi di saluran
napas kecil disebut bronkus itu disebut bronchomalacia. Saluran udara dari paru-p
aru yang sempit atau runtuh saat mengembuskan napas karena pelunakan dinding
saluran napas.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada bronkhomalasia adalah:
a. Batuk dengan suara brassy atau barking
b. Sesak nafas
c. Ditemukan suara wheezing (mengi)
d. Infeksi pada saluran nafas bawah berulang
e. Kelelahan
f. Apnea
5. Komplikasi
a. Pneumonia
b. Bronchitis
c. Polychondritis
d. Asma
6. Pemeriksaan penunjang
a. Bronkoskopi
b. CT Scan dada
7. Asuhan Keperawatan Bronkhomalasia
a. Pengkajian
1) Identitas Data :
Nama : An. A
Tempat/tgl.lahir : Margohayu/ 1 januari 2020
Usia : 3 bulan
Nama Ayah/Ibu : Tn.J/Ny.E
Pekerjaan Ayah : Buruh
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga
Tanggal Masuk : 1 april 2020
Tanggal Pengkajian : 1 april 2020
Alamat : Margohayu RT04/Demak5 kec. Karangawen Kab. Demak
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan Ayah : SLTA
Pendidikan Ibu : SLTA
2) Riwayat Kesehatan:
a) Riwayat kesehatan sekarang : Batuk & pilek serta nafas tampak lebih c
epat dari biasanya Pasien tidak menggigil, tidak mengalami kejang. B
AK dengan jumlah cukup warna kuning serta bau khas. BAB tidak me
ngalami gangguan warna hijau, konsistensi padat serta bau khas.
b) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit dahulu : An. A tidak memiliki riwayat sakit
Pernah dirawat di rs : An. A belum pernah dirawat di rs
Obat yang digunakan : -
Tindakan/operasi : An. A belum pernah dilakukan tindakan oprasi
Alergi : An. A tidak mempunyai riwayat alergi
Kecelakaan : An. A tidak pernah kecelakaam
Imunisasi : BCG, Hepatitis B, D.P.T, Polio
c) Riwayat kehamilan dan kelahiran:
Pre Natal : Selama kehamilan ibu melakukan pemeriksaan ke bidan leb
ih dari 6 kali, imunisasi TT, tidak pernah menderita sakit selama hamil.
Intra Natal : An.A lahir ditolong oleh bidan, letak belakang kepala, spo
ntan, langsung menangis, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan
50cm, umur kehamilan 9 bulan.
Post Natal : Bayi diasuh oleh kedua orang tua, diberikan ASI eksklusif,
mulai awal bulan sudah diberikan makanan tambahan selerac.
d) Riwayat keluarga
Keluarga tidak memiliki Riwayat penyakit bronkomalasia
e) Riwayat sosial
Yang mengasuh : An.A diasuh oleh kedua orang tuanya, kedua orang t
ua sangat menyayanginya.
Hub. dengan anggota keluarga : Hubungan antara anggota keluarga bai
k, ada komunikasi antar anggota keluarga. Saat dirawat di RS orang tu
a selalu menjaga pasien
Hub. Dengan teman sebaya : An.A belum bisa berkomunikasi dan inter
aksi
Pembawaan secara umum : An.A terlihat kurang aktif
Lingkungan rumah Keluarga : mengatakan lingkungan rumahnya cuku
p bersih, ada jendela.
3) Kebutuhan Dasar
No. Aktivitas Sebelum sakit Saat Sakit

1. Nutrisi (makan dan mi


num )
 Jenis ASI ASI
 Jumlah ±700cc ±500cc
 Frekuensi ASI >10 kali/hari ASI <12 kali/hari
 Keluhan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
2. Eliminasi (BAB dan B
AK)
 Jumlah normal normal
BAB: 1-3 kali/hari
 Frekuensi BAB: 2-4 kali/hari BAK: 4-5 kali/hari
BAK: 6-8 kali/hari

 Warna BAK: kuning, bau BAK: kuning, bau


khas khas
BAB: hijau, bau BAB: hijau, bau
Khas Khas

 Konsistensi BAB: padat BAB: padat


BAK:cair BAK:cair

 Keluhan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan


3. Personal hygiene
(mandi,keramas,gosok
gigi,)
 Frekuensi Mandi 2 kali sehari Mandi 2 kali sehari

 Cara pemenuh Mandi dengan air Mandi dengan


an di dalam bak waslap basah
4. Istirahat tidur
 Jumlah jam tid 14-16 jam sehari >14 jam sehari
ur

 Pola Kebiasaan tidur Tidur siang dan


siang jam 13.00 dan malam sering
malam sering terjaga
terjaga
 Keluhan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
5. Aktivitas bermain Melihat mainan Hanya terbaring di
gantung di atas tempat tidur
kasur bayi sambil
mengoceh.

4) Pemeriksaan penunjang
Diagnosa medis : Bronchomalasia
Tindakan operasi : -
Obat obatan : -
Hasil pemeriksaan penunjang :
- Laboratorium :
Hb : 9,79 g/dl
Leu : 96.700/ul
Tr : 1.057/ul
hc : 30.9%
- Rontgen/USG : -
5) Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum:
 Tb/BB : 58cm/3,8kg
 Lingkar kepala : 38 cm
 Lingkar dada : 41cm
 Lingkar perut : -
 Lingkar lengan : 11cm
 Tanda vital
TD: -
RR : 50kali/menit
Nadi : 124kali/menit
S : 37,2
- Sistem pernafasan
 Dada :
frekuensi : 48 x/menit
inspeksi : bentuk simetris dengan perbandingan anteroposterior
lateral kanan kiri = 2:1, terdapat retraksi dinding dada.
palpasi : taktil fremitus meningkat pada kedua sisi kanan dan ki
ri.
perkusi : sonor seluruh lapang paru.
auskultasi : ronchi basah halus pada daerah lobus bawah.
- Sistem kardiovaskuler :
 Jantung : batas kiri dan kanan sulit di nilai
- Sistem pencernaan :
 Abdomen :
inspeksi : pervt datar,tidak ada masa,lemas
auskultasi : peristaltik usus normal 12x/menit
palpasi : tidak ada distesiabdominal maupun pembesaran hepar
perkusi : timpani.
- Sistem pesyarafan :
 GCS : E :4,M :6, V:5 (compos metis)
 Refleks fisiologis : patella
 Refleks patologis : babinsky.
- Sistem endokrin :
 Leher : tidak terdapat pebesaran kelenjar thyroid,tidak ditemuk
an distensi vena jugularis.
- Sistem Genitourinaris :
 Tidak ada jamur, testis tidak oedem, skrotum tidak membesar,p
enis normal, pada anus tidak terdapat hemoroid.
- Sistem Muskuloskeletal :
 Ekstremitas atas : simetris tidak ada oedema,tidak terdapat sian
osis
 Estremitas bawah :simetris tidak ada oedema ,tidak terdapat sia
nosis
- Sistem Integumen dan Imunitas :
 Kepala :
rambut : warna hitam lurus
kulit kepala : tidak ada laserasi ,kulit kepala berminyak.
 Kulit :
berkeringat,lembab,turgor baik.
warna kulit sawo matang ,lembab,tidak ada bekas luka,elastis.
- Wicara dan THT :
 Mulut bersih tidak berbau, bibir berwarna pucat,lidah bersih,,m
ukosa lembab
 daun telinga : simetris antara kanan dan kiri,bersih
 liang telinga : tidak terdapat serumen
 fungsi pandangan : bersih tidak ada sekret/serume,tidak ada gan
gguan bentuk simetris.
 hidung : septum deviasi tidak ada, concha ormal,tidak ada polip,
rongga hidung bersih,mukosa lembab,ada cuping hidung.
- Sistem penglihatan :
 Mata:
reflek cahaya (+) langsug
konjungtiva : tidak anemis
sklera : tidak ikteris
pupil : normal berbetuk bulat,diameter 3mm kanan dan kiri.
6) Pemeriksaan tingkat perkembangan
- Kemandirian & bergaul : belum mandiri, masih dibantu ibunya,belum
bisa bergaul
- Motorik halus : mampu melakukan dan reflek menggenggam dengan b
aik
- Motorik kasar : anak mampu menggerakkan tangan dan kakinya secara
aktif
- Kognitif dan bahasa : mampu mnenyusu dengan baik
b. Analisa data
No. Data Etiologi Masalah Keperawatan

1. Ds : ibu mengatakan na Ketidakseimbangan Gangguan


fas anak Ventilasi Perfusi Pertukaran Gas
tampak lebih cepat
Do :
-retraksi dada
-cuping hidung
-RR : 50 kali/menit
-PH : 7,20
-HCO3 : 21 mmHg
-PCO2 : 48mmHG
-BE : -30
-PO3 : 75
2. Ds : orangtua pasien m Kelemahan otot Pola nafas tidak
engatakan anaknya sesa pernafasan efektif
k nafas sejak 3 hari yan
g lalu disertai batuk dan
pilek
Do :
-pasien terlihat kesulita
n bernafas
- RR : 50 kali/menit
- terdapat retraksi otot d
ada
- nafas cuping hidung
-terdapat suara ronchi b
asah halus
lobus bawah

c. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi
2) Pola nafas tidak eektif b.d kelemahan otot pernafasan
d. Intervensi Keperawatan

Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi Keperawatan
1. Gangguan Setelah dilakukan tin 1) Monitor respirasi dan
pertukaran gas b.d dakan status O2
ketidakseimbangan keperawatan selama 2) Monitor TTV, AGD,
ventilasi perfusi 3 kali elektrolit, dan status
24 jam Gangguan mental
pertukaran gas terata 3) Posisikan pasien untuk
si memaksimalkan
dengan kriteria hasil: ventilasi
a. Peningkatan ventil 4) Auskultasi suara nafas,
asi dan catat adanya suara
dan oksigenasi yang tambahan
adekuat 5) Jelaskan posisi pasien
b. Paru paru dan beb untuk memaksimalkan
eas ventilasi
dari distress pernafas 6) Berikan kolaborasi
an bronkodilator
c. AGD dalam batas
normal
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tin 1) Monitor vital sign
efektif b.d kelemahan ot dakan 2) Observasi adanya tanda
ot keperawatan selama
pernafasan 3 kali 24 jam Pola na
fas tidak efektif terat
asi dengan
kriteria hasil
a. Tidak ada usara na
fas
tambahan
b. Tidak terjadi siano
sis
c. Ttv dalam batas n
ormal

B. Patofisologi dan Asuhan Keperawatan serta Pemeriksaan Fisik pada Neonatal


dengan: Hernia Diafragmatika
1. Pengertian Hernia Diafragmatika
Hernia diafragmatika kongenital, adalah suatu kelainan bawaan, berupa
adanya lubang pada otot diafragma, yang menyebabkan isi rongga perut bisa
masuk ke dalam rongga dada.Diafragma adalah otot pernafasan yang memisahkan
rongga perut dengan rongga dada. Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan
pada saat perkembangan diafragma bayi di dalam masa kehamilan. Penyebab
pasti terjadinya gangguan pertumbuhan ini tidak diketahui dengan pasti, namun
terdapat teori yang menghubungkan kelainan bawaan ini dengan insektisida
(racun serangga), obat-obatan tertentu yang dikonsumsi ibu pada masa kehamilan,
dan kekurangan vitamin A pada saat ibu hamil. Diafragma terdapat dua sisi, yaitu
sisi kiri dan sisi kanan. Kelainan hernia diafragmatika ini dapat mengenai sisi kiri
(87persen), sisi kanan (11persen) maupun kedua sisi. Bila mengenai kedua sisi
biasanya bayi tidak dapat bertahan hidup.
Kelainan perkembangan diafragma terjadi pada saat janin berada dalam
perkembangan struktur paru-paru. Isi rongga perut yang masuk ke dalam rongga
dada, menyebabkan perkembangan paru-paru juga turut terganggu. Kelainan ini
dapat dideteksi pada saat kehamilan, dengan dilakukan USG janin. Dapat dilihat
adanya usus ataupun isi perut lainnya di dalam rongga dada bayi, dan cairan
ketuban jumlahnya lebih dari normal (polihidramnion). Bila dicurigai adanya
kelainan ini, maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan, serta dilakukan
konsultasi kepada kedua orang tua mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi pada calon bayinya. Pada sekitar 10-50persen bayi dengan kelainan
bawaan ini dapat disertai dengan kelainan bawaan lain, seperti kelainan bawaan
jantung, struktur saluran pernafasan, persarafan dan sebagainya.
2. Penyebab Hernia Diafragmatika
Ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada sisi
tubuh bagian kiri. Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ
berkembang dan matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10
minggu kehamilan. Esofagus (saluran yang menghubungkan tenggorokan ke
abdomen), abdomen, dan usus juga berkembang pada minggu itu. Pada hernia tipe
Bockdalek, diafragma berkembang secara tidak wajar atau usus mungkin
terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang. Pada hernia tipe
Morgagni, otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma tidak
berkembang secara wajar. Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan
saluran pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena
berbagai faktor, yang berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun
lingkungan.
3. Manifestasi Klinis
a. Gangguan pernafasan yang berat
b. Sianosis ( warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)
c. Takipnea ( laju pernafasan yang cepat )
d. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
e. Takikardia (denyut  jantung yang cepat )
f. Lambung usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika hernia
besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna
setelah lahir, bayi akan menangis  dan bernafas sehingga usus segera terisi
udara terbuka masa yang  mendorong  jantung sehingga menekan paru-paru dan
terjadilah sindroma gawat  pernafasan.
4. Komplikasi
a. Adanya penurunan jumlah alveoli dan pembentukan bronkus.
b. Bayi mengalami distress respirasi berat dalam usia beberapa jam pertama.
c. Mengalami muntah akibat obstruksi usus
d. Kolaps respirasi yang berat dalam 24 jam pertama
e. Tidak ada suara nafas
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thoraks akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah toraks.
b. Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis
diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam
abdomen).
c. Fluoroskopi adalah aplikasi khusus pencitraan sinar-X, di mana layar fluoresen
dan tabung penegas gambar dihubungkan ke sistem televisi sirkuit tertutup. Hal
ini memungkinkan pencitraan real-time dari gerakan dalam struktur atau
pengumpulan agen radiokontras. Agen radiokontras akan
menggambarkan anatomi dan fungsi pembuluh darah, sistem urogenitalis
atau saluran pencernaan.
d. Bila didapatkan abnormalitas pada pemeriksaan foto thorak, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CT Scan atau USG FAST untuk memastikan diagnosis
rupture diafragma dan hernia diafragma
e. Urinalisis  Munculnya bakteri yang mengidentifikasi infeksi.
f. Elektrolit Ketidakseimbangan akan menunggu fungsi organ, misalnya
penurunan kalium akan mempengaruhi kontraktilitan otot jantung, mengarah
kepada penurunan curah jantung
g. AGD (Analisa Gas Darah)  Mengevaluasi status pernafasan terakhir.
h. ECG (Elektrocardiograf)  Penemuan akan sesuatu yang tidak normal
membutuhkan prioritas perhatian untuk memberikan anestesi (Doengoes, 2000 :
902).
6. Penatalaksanaan
a. Berikan oksigen bila bayi tampak pucat atau biru.
b. Posisikan bayi semifowler atau fowler sebelum atau sesudah operasi agar
tekanan dari isi perut terhadap paru berkurang dan agar diafragma dapat
bergerak bebas
c. Awasi bayi jangan sampai muntah, apabila hal tersebut terjadi, maka tegakkan
bayi agar tidak terjadi aspirasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan
hasil pemeriksaan fisik, yaitu : gerakan dada saat bernafas tidak simetris, tidak
terdengar suara pernafasan pada sisi hernia, bising usus terdengar di dada, perut
teraba kosong.
d. Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang
dengan teratur dihisap.
e. Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk
operasi. Organ perut harus dikembalikan ke rongga perut dan lubang pada
diafragma diperbaiki.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pemeriksaan Fisik
a) Pada hernia diafragmatika dada tampak menonjol, tetapi gerakan
nafas tidak nyata
b) Perut kempis dan menunjukkan gambaran scafoid
c) Pulsasi apeks jantung bergeser sehingga terletak di hemitoraks
kanan
d) Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis berkurang
e) Gerakan dada saat bernafas tidak simetris
f) Tidak terdengar suara nafas pada sisi hernia
g) Bising usus terdengar di dada
2) Aktivitas dan Istirahat
Gejala: kelemahan
Tanda: gangguan dalam berjalan, kelemahan dalam ambulasi
3) Makanan/ Cairan
Gejala: hilangnya nafsu makan, mual, dan muntah
Tanda: BB turun, dehidrasi, dan lemas otot
4) Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: Nyeri tekan pada kuadran bawah, semakin memburuk dengan
adanya batuk
Tanda: Perubahan gaya berjalan, nyeri tekan abdomen
Adapun data-data yang harus dikaji pasca operasi hernioraphy adalah sebagai
berikut :
1) Sistem pernafasan
Potensi jalan nafas, perubahan pernafasan (rata-rata, pola dan kedalaman), RR<
10 x/menit, auskultasi paru : keadekuatan ekspansi paru, kesimetrisan.
Inspeksi : pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma,
retraksi sternal, thorax drain.
2) Sistem Kardiovaskuler
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit dan setiap 4 jam
selama 2 hari jika kondisi stabil. Kaji sirkulasi perifer
3) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Inspeksi membran mukosa (warna dan kelembaban, turgor kulit), kaji intake dan
output, monitor cairan intravena dan tekanan darah
4) Sistem Persarafan
Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran, kekuatan otot, dan koordinasi
5) Sistem Perkemihan
Kontrol volume fungsi perkemihan kembali setelah 6-8 jam pasca anasthesi,
retensi urin, dan kateter
6) Sistem Gastrointestinal
Mual, muntah, kaji fungsi gastrointestinal dengan auskultasi suara usus
7) Sistem Integumen
Kaji faktor infeksi luka, distensi dari odema, dan tekanan pada daerah luka
8) Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat diruang post anasthesia
recovery meliputi jumlah, warna, konsistensi, dan bau cairan drain dan tanggal
observasi
9) Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah, drain, dan posisi intra
operatif. Kaji tanda fisik dan kaji kualitas nyeri sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
b. Diagnosa Keperawatan
Dari teori tentang Post Operasi Hernioraphy, dapat ditarik beberapa diagnosa sebagai
berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan ditandai dengan luka
pada abdomen
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka bekas post operasi
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan sistem irigasi/drainage
c. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
Tujuan : Menunjukkan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang,
Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi intensitas (Skala 0-10)
Rasional : Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan
analgesic atau dapat menyatakan terjadinya komplikasi.
b. Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Respons autoromik meliputi perubahan pada TD, nasi dan
pernafasan yang berhubungan dengan keluhan / penghilangan nyeri.
c. Dorong Ambulasi diri
Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran flaktus.
d. Ajarkan teknik relaksasi dan Distraksi
Rasional : Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dapat
meningkatkan koping.
e. Kolaborasi Pemberian Obat Alagetik
Rasional : Memberikan penurunan nyeri hebat
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka bekas post
operasi.
Tujuan : Pasien dapat beraktivitas dengan nyaman
Kriteria hasil : Menunjukkan mobilitas yang aman dan Meningkatkan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh yang sakit
Intervensi
a. Berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Imbolitas yang dipaksakan dapat memperberat keadaan.
b. Anjurkan pasien untuk beraktivitas sehari-hari dalam keterbatasan pasien
Rasional : Partisipasi pasien akan meningkatkan kemandirian pasien
c. Anjurkan keluarga dalam melakukan meningkatkan kemandirian pasien
Rasional : Keterbatasan aktivitas bergantung pada kondisi yang khusus tetapi
biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
d. Kolaborasi dalam pemberian obat
Rasional : Obat dapat meningkatkan rasa nyaman dan kerjasama pasien selama
melakukan aktivitas.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi.
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria hasil : Menunjukkan penyembuhan luka cepat dan menunjukkan perilaku
atau teknik untuk meningkatkan penyembuhan, mencegah komplikasi.
Intervensi :
a. Lihat semua insisi
Rasional : mencegah komplikasi
b. Evaluasi proses penyembuhan.
Rasional : mengetahui peningkatan penyembuhan.
c. Kaji ulang penyembuhan terhadap pasien
Rasional : menunjukkan penyembuhan luka.
d. Catat adanya distensi dan auskultasi peristaltik usus
Rasional : Distensi dan hilangnya peristaltic usus merupakan tanda bahwa
fungsi defekasi hilang.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan system irigasi/ drainage
Tujuan : Kekurangan cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil : Menunjukkan perubahan keseimbangan cairan, tanda vital stabil,
membran mukosa lembab, turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Awasi tanda vital.
Rasional : cairan yang masuk dapat merubah keseimbangan cairan.
b. Observasi karakter drainase.
Rasional : pemantauan cairan yang masuk
c. Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral.
Rasional : diberikan agar tidak kekurangan cairan.
C. Patofisologi dan Asuhan Keperawatan serta Pemeriksaan Fisik pada Neonatal
dengan: Atresia Esophagus

1. Definisi Atrisia Esofagus


Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya
lubang atau muara (buntu), pada esofagus. Pada sebagian besar kasus atresia esofagus
ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah
berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan
fistula). Atresia esophagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan
esophagus untuk mengadakan pasase yang kontinyu. Esophagus mungkin saja
membentuk sambungan dengan trachea (fistula trakheaesofagus).(Wong, Donna L.
2003: 512).  Atresia esofagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan
esofagus untuk mengadakan pasase yang kontinu : esophagus mungkin saja atau
mungkin juga tidak membentuk sambungan dengan trakea  ( fistula trakeoesopagus)
atau atresia esophagus adalah kegagalan esophagus untuk membentuk  saluran kotinu
dari faring ke lambung selama perkembangan embrionik adapun pengertian lain yaitu
bila sebuah segmen esofagus mengalami gangguan dalam pertumbuhan nya
(congenital)  dan tetap sebagai bagian tipis tanpa lubang saluran.

Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakeo dan


esofagus. Dua kondisi ini biasanya terjadi bersamaan, dan mungkin disertai oleh
anomaly lain seperti penyakit jantung congenital. Untuk alasan yang tidak diketahui
esophagus dan trakea gagal untuk berdeferensiasi dengan tepat selama gestasi pada
minggu keempat dan kelima. Atresia Esofagus termasuk kelompok kelainan
kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan
persisten dengan trachea.

2. Etiologi Atresia Esophagus

Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 %
jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut sebagian
besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan tentang proses
embriopatologi masih terus berlanjut.
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus
dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula
trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya,
yaitu sel bagian depan dan belakang maka trakea akan membentuk atresia esophagus.
3. Manifestasi Klinis Atresia Esophagus
Tanda dan gejala Atresia Esofagus yang mungkin timbul:
 Batuk ketika makan atau minum
 Bayi menunjukkan kurangnya minat terhadap makanan atau ketidakmampuan
untuk menerima nutrisi yang cukup (pemberian makan yang buruk
 Gelembung berbusa putih di mulut bayi
 Memiliki kesulitan bernapas
 Memiliki warna biru atau ungu pada kulit dan membran mukosa karena
kekurangan oksigen (sianosis)
 Meneteskan air liur
 Muntah-muntah
 Biasanya disertai hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan
frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis didapatkan keterangan
bahwa kehamilan ibu diertai hidramnion hendaknya dilakukan kateterisasi
esofagus. Bila kateter terhenti pada jarak ≤ 10 cm, maka di duga atresia esofagus.
 Bila Timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, di curigai
terdapat atresia esofagus.
 Segera setelah di beri minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan nafas.
 Pada fistula trakeosofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh
karena itu bayi sering sianosis

4. Diagnosis Atresia Esophagus

Atresia Esophagus dapat di diagnosa dari beberapa hal, diantaranya adalah


sebagai berikut :

 Biasanya disertai denga hydra amnion (60 %) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi ang lahir premature. Sebaliknya bila dari ananese
ditetapkan keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidraamnion, hendakla
dilakukan kateterisasiesofagus dengan kateter pada jarak kurang dari 10 cm ,
maka harus didiga adanya  atresia esophagus.
 Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai air liur meleleh keluar,
harus dicurigai adanya atresia esfagus.
 Segera setalah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspiasi cairan kedam jalan nafas.
 Diagnosis pasti dapat dibuat denga foto toraks yang akan menunjukkan gambaran
kateter terhenti pada tempat  atresia. Pemberian kontras kedalam esophagus 
dapat memberikan gambaran yang lebih pasti, tapi cara ini tidak dianjurkan.
 Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi udara atau kosong
untuk menunjang atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeoesofagus.  Hal ini
dapat terlihat pada foto abdomen.

5. Komplikasi Atresia Esophagus

Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia


esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :

a) Dismotilitas esophagus => Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin


esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini.
Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
b) Gastroesofagus refluk => Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana
mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana
asam lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan obat (medical) atau pembedahan.
c) Trakeo esogfagus fistula berulang => Pembedahan ulang adalah terapi untuk
keadaan seperti ini.
d) Disfagia atau kesulitan menelan => Disfagia adalah tertahannya makanan pada
tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air
untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
e) Kesulitan bernafas dan tersedak => Komplikasi ini berhubungan dengan proses
menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
f) Batuk kronis => Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan
atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
g) Meningkatnya infeksi saluran pernafasan => Pencegahan keadaan ini adalah
dengan mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan
daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

6. Patofisiologi Atresia Esophagus

Biasanya Trakea dan Kerongkongan sepenuhnya lumen terpisah dengan ada


hubungan antara mereka. Oleh karena itu, anak dapat makan dengan baik tanpa
pernapasan apapun distress dan masalah dalam makan. Janin dengan atresia esofagus
tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada janin dengan atresa esofagus
dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian
menuju usus. Akibat dari hal ini dapat terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri
dapat menyebabkan kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan
amnion, sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak
air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga
dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima ventilasi. Hal
ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali mematikan. Penelitian
mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali
dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau anpa peristaltik. Hal ini akan
menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju
refluks esofagus.

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus.


Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior trakea
atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat
terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat
menjurus ke pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika
makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang daat
menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bakan apnea.
Menurut Price, Sylvia A. 2005. Atresia esophagus merupakan penyakit pada bayi
baru lahir dan merupakan kelainan bawaan. Resiko tinggi terhadap atresia esophagus
yaitu bayi baru lahir secara premature dan menangis terus disertai batuk-batuk sampai
adanya sianosis. Malformasi struktur trakhea menyebabkan bayi mengalami kesulitan
dalam menelan serta bayi dapat mengalami aspirasi berat apabila dalam pemberian
makan tidak diperhatikan. Pada perkembangan jaringan,terjadi gangguan pemisahan
antara trakhea dan esopagus pada minggu ke 4 sampai minggu ke 6 kehidupan
embryonal. Resiko tinggi dapat terjadi pada ibu hamil dengan hidramnion yaitu
amniosentesis harus dicurigai. Bayi dengan hipersalivasi ; berbuih, sulit bernafas,
batuk dan sianosis. Tindakan pembedahannya segera dilakukan pembedahan
torakotomi kanan retro pleural.
7. Penatalaksanaan pada Atresia Esophagus
a. Tindakan Sebelum Operasi
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk bayi
baru lahir mulai umur 1 hari antara lain :
1) Cairan intravena mengandung glukosa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
2) Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
3) Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator, spine
dengan
posisi fowler, kepala diangkat sekitar 45o.
4) NGT dimasukkan secara oral dan dilakukan suction rutin.
5) Monitor vital signs.
Pada bayi premature dengan kesulitan benapas, diperlukan perhatian
khusus. Jelas diperlukan pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik.
Sebagai tambahan, ada resiko terjadinya distensi berlebihan ataupun rupture
lambung apabila udara respirasi masuk kedalam lambung melalui fistula karena
adanya resistensi pulmonal. Keadaan ini dapat diminimalisasi dengan
memasukkan ujung endotracheal tube sampai kepintu masuk fistula dan dengan
memberikan ventilasi dengan tekanan rendah. Echochardiography atau
pemerikksaan EKG pada bayi dengan atresia esophagus penting untuk dilakukan
agar segera dapat mengetahui apabila terdapat adanya kelainan kardiovaskular
yang memerlukan penanganan segera.
b. Tindakan Selama Operasi
Pada umumnya operasi perbaikan atresia esophagus tidak dianggap sebagai
hal yang darurat. Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi premature dengan
gangguan respiratorik yang memerlukan dukungan ventilatorik. Udara pernapasan
yang keluar melalui distal fistula akan menimbulkan distensi lambung yang akan
mengganggu fungsi pernapasan. Distensi lambung yang terus-menerus kemudian
bisa menyebabkan rupture dari lambung sehingga mengakibatkan tension
pneumoperitoneum yang akan lebih lagi memperberat fungsi pernapasan. Pada
keadaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah dengan melakukan
ligasi terhadap fistula trakeaesofageal dan menunda tindakan thoratocomi sampai
masalah gangguan respiratorik pada bayi benar-benar teratasi. Targetnya ialah
operasi dilakukan 8-10 hari kemuudian untuk memisahkan fistula dari
memperbaiki esophagus. Pada prinsipnya tindakan operasi dilakukan untuk
memperbaiki abnormalitas anatomi. Operasi dilaksanakan dalam general
endotracheal anesthesia dengan akses vaskuler yang baik dan menggunakan
ventilator dengan tekanan yang cukup sehingga tidak menybabkan distensi
lambung. Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan
mengetahui lokasi fistula.
Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan
dada untuk dilaksanakan right posterolateral thoracotomy. Pada H-fistula, operasi
dilakukan melalui leher karena hanya memisahkan fistula tanpa memperbaiiki
esophagus. esophagus. Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup
dengan cara diikat dan dijahit kemudian dibuat anastomisis esophageal antara
kedua ujung proximal dan distal dan esophagus. Pada atresia esofagus dengan
fistula trakeoesofageal, hamppir selalu jarak antara esofagus proksimal dan distal
dapat disambung langsung ini disebut dengan primary repairyaitu apabila jarak
kedua ujung esofagus dibawah 2 ruas vertebra. Bila jaraknya 3,6 ruas vertebra,
dilakukan delaved primary repair. Operasi ditunda paling lama 12 minggu, sambil
dilakukan cuction rutin dan pemberian makanan melalui gstrostomy, maka jarak
kedua ujung esofagus akan menyempit kemudian dilakukan primary repair.
Apabiila jarak kedua ujung esofagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka dijoba
dilakukan tindakan diatas, apabila tidak bisa juga makaesofagus disambung
dengan menggunakan sebagai kolon.
c. Tindakan Setelah Operasi
Pasca Operasi pasien diventilasi selama 5 hari. Suction harus dilakukan
secara rutin. Selang kateter untuk suction harus ditandai agar tidak masuk terlalu
dalam dan mengenai bekas operasi tempat anastomisis agar tidak menimbulkan
kerusakan. Setelah hari ke-3 bisa dimasukkan NGT untuk pemberian makanan.
Pemberian minum baik oral/enteral merupakan kontra indikasi mutlak untuk bayi
ini. Bayi sebaiknya ditidurkan dengan posisi “prone”/ telungkup, dengan posisi
kepala 30o lebih tinggi. Dilakukan pengisapan lendir secara berkala, sebaiknya
dipasang sonde nasogastrik untuk mengosongkan the blind-end pouch. Bila perlu
bayi diberikan dot agar tidak gelisah atau menangis berkepanjangan.

8. Pengobatan pada Atresia Esophagus

Penderita atresia esophagus seharusnya ditengkurapkan untuk mengurangi


kemungkinan isi lambung masuk ke dalam paru-paru. Kantong esophagus harus secara
teratur dikosongkan dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang
cermat harus diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi dan pengelolaan
anomaly penyerta kadang-kadang, kondisi penderita mengharuskan operasi tersebut
dilakukan secara bertahap: Tahap pertama biasanya adalah pengikatan fistula dan
pemasukan pipa gastrotomi untuk memasukkan makanan. Tahap kedua adalah
anastomosis primer, makanan lewat mulut biasanya dapat diterima. Esofagografi pada
hari ke 10 akan menolong menilai keberhasilan anastomosis. 
Malformasi struktur trakhea sering ditemukan pada penderita atresia dan fistula
esophagus. Trakeomalasia, pneumonia aspirasi berulang, dan penyakit saluran nafas
reaktif sering ditemukan. Perkembangan trakheanya normal jika ada fistula, stenosis
esophagus dan refluks gastroesofagus berat lebih sering pada penderita ini.

9. Asuhan Keperawatan Pada Atresia Esophagus

a.Pengkajian

Asuhan keperawatan yang diberikan pada bayi baru lahir adalah berdasarkan
tahapan-tahapan pada proses keperawatan. tahap pengkajian merupakan tahap
awal, disini perawat mengumpulkan semua imformasi baik dari klien dengan cara
observasi dan dari keluarganya. Lakukan penkajian bayi baru lahir.observasi
manipestasi atresia esophagus dan fistula. Traekeoesofagus, saliva berlebihan,
tersedat, sianosis, apneu.

1) Lakukan pengkajian pada bayi baru lahir:


 Saliva berlebihan dan mengiler
 Tersedak
 Sianosis
 Apnea
 Peningkatan distres pernapasan setelah makan
 Distensi abdomen
2) Observasi, Manifestasi atresia esofagus

3) Bantu dengan prosedur diagnostik misalnya : Radiografi dada dan abdomen,


kateter dengan perlahan dimasukkan kedalam esofagus yang membentuk
tahanan bila lumen tersebut tersumbat.

4) Pantau dengan sering tanda-tanda distres pernapasan

5) Laringospasme yang disebabkan oleh aspirasi saliva yang terakumulasi


dalam kantung buntu

b. Diagnosa Keperawatan

1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal


antara esophagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.

2) Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, dan ketidaknyamanan

3) Gangguan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis

4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang darikebutuhan tubuh berhubungan dengan


anoreksia

c.Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Keperawatan Kriteria Hasil
1 Bersihan jalan napas NOC NIC
tidak  Respiratory status:
Airway suction
efektif berhubungan ventilation
 Pastikan kebutuhan
dengan lubang  Respiratory status:
oral/tracheal suctioning
abnormal antara airway patency
 Auskultasi suara nafas
esophagus dan Kriteria hasil:
asebelum dan sesudah
trakea atau obstruksi  Mendemonstrasik suctioning
untuk menelan an bentuk efektif  Informasikan pada
sekresi. dan suara nafas klien dan keluarga
yang bersih, tidak rentang suction
ada sianosis dan  Minta klien nafas
dyspnea (mampu dalam sebelum suction
mengeluarkan dilakukan
sputum, mampu  Berikan O2 dengan
bernafas dengan menggubakan nasal
mudah , tidak ada untuk memfasilitasi
pursed lips) suction nasotrakeal
 Menunjukkan  Monitor status oksigen
jalan nafas yang pasien
paten(klien tidak  Ajarkan keluarga
merasa tercekik, bagaimana cara
frekuensi melakukan suksion
pernafasan dalam  Hentikan suksion dan
rentang normal, berikan oksigen apabila
tidak ada suara pasien menunjukkan
nafas abnormal) bradikardi, peningkatan
 Mampu saturasi O2,dll.
mengidentifikasi Airway Management
dan mencegah
 Buka jalan
factor yang dapat
nafas,gunakan teknik
menghambat jalan
chin lift atau jaw thrust
nafas
bila perlu
 Posisikan pasien untuk
memaksimalkan
ventilasi
 Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
 Keluarkan secret
dengan batuk atau
suction
 Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
 Lakukan suction pada
mayo
 Berikan bronkodilator
bila perlu
 Berikan pelembab
udara kassa basah NaCl
lembab
 Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan
keseimbangan
 Monitor respirasi dan
status O2
2 a. Ansietas NOC NIC
berhubun
 Anxiety self control  Gunakan pendekatan yang
gan
 Anxiety level menenangkan pasien
dengan
Kriteria Hasil  Nyatakan dengan jelas
kesulitan
harapan terhadap pelaku
menelan,  Klien mampu
pasien
dan mengidentifikasi
pasien dan  Jelaskan semua prosedur
ketidakn
mengungkapkan gejala dan apa yang dirasakan
yamanan
cemas selama prosedur

 Mengidentifikasi,  Pahami prespektif pasien

mengungkapkan dan terhadap situasi stree

menunjukkan teknik  Temani pasien untuk

untuk mengontrol memberikan kenyamanan


cemas dan megurangi takut
 Vital sign dalam batas
normal
 Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
3 Gangguan menelan NOC NIC
berhubungan  Pencegahan aspirasi
Aspiration Precautions
dengan obstruksi  Ketidakefektifan
mekanis polamenyusui
 Memantau tingkat
 Statusmenelan:
kesadaran, reflex batuk,
tindakan pribadi untuk
reflex muntah, dan
mencegah
kemampuan menelan
pengeluaran cairan
 Memonitor status paru
dan partikel padat
 Menjaga/mempertahana
kedalam paru
kan jalan nafas
 Status menelan: fase
 Posisi tegak 90 derajat
esophagus:
atau sejauh mungkin
penyaluran cairan atau
 Jauhkan manset trake
partikel padat dari
meningkat
faring ke lambung
 Jauhkan pengaturan
 Status menelan: fase
hisap yang tersedia
oral: persiapan,
 Menyuapkan makanan
penahanan,dan
dalam jumlah kecil
pergerakan cairan atau
partikel padat kearah  Periksa penempatan

posterior dimulut tabung NG atau

 Status menelan: fase gastrotomy sebelum

faring: penyaluran menyusui

cairan dan partikel  Periksa tabung NG atau

padat dari mulut ke gastrotomy sisa


esophagus sebelum makan
Kriteria Hasil:  Hindari makan, jika
 Dapat residu tinggi tempat
mempertahankan “pewarna” dalam
makanan didalam tabung pengisi NG
mulut  Hindari cairan atau
 Kemampuan menggunakan zat
menelan adekuat pengental
 Pengiriman bolus  Penawaran makanan
ke hipofaring atau cairan dapat
selaras dengan dibentuk menjadi bolus
reflex menelan sebelum menelan
 Kemampuan untuk  Potong makanan
mengosongkan menjadi potongan kecil
rongga mulut  Permintaaan obat dalam
 Mampu mengontrol bentuk mujarab
mualdan muntah  Istirahat atau
 Imobilitas menghancurkan pil
konsekuensi: sebelum pemberian
fisiologis
 Jauhkan kepala tempat
 Pengetahuan
tidur atau ditinggikan
tentang prosedur
30-45 menit stelah
pengobatan
makan
 Tidak ada
 Sarankan
kerusakan otot
pidato/berbicara sesuai
tenggorokan atau
patologi berkonsultasi
otot wajah,
 Sarankan barium
menelan,
menelan kue atau video
menggerakkan
fluoroskopi
lidah, atau reflex
muntah
 Pemulihan pasca
prosedur
pengobatan
 Kondisi pernafasan,
ventilasi adekuat
 Mampu melkaukan
perawatan terhadap
non pengobatan
parenteral
 Mengidentifikasi
factor emosi atau
psikologis yang
menghambat
menelan
 Dapat
mentolerasnsi
ingesti makanan
tanpa tersedak atau
aspirasi
 Menyusui adekuat
 Kondisi menelan
bayi
 Memelihara kondisi
gizi: makanan dan
asupan cairan ibu
dan bayi
 Hidrasi tidak
ditemukan
 Pengetahui
mengenai cara
menyusui
 Kondisi pernafasan
adekuat
 Tidak terjadi
gangguan
neurologis
4 Ketidakseimbangan NOC NIC
nutrisi kurang  Nutritional status: food
darikebutuhan tubuh and fluid
Nutrition Management
berhubungan  Intake
 Kaji adanya alergi
dengan anoreksia  Nutritional status:
mnakanan
nutrient intake
 Kolaborasi dengan ahli
 Weight control
gizi untuk menentukan
Kriteria hasil:
jumlah kaloriu dan nutrisi
 Adanya peningkatan
yang dibutuhkan pasien
berat badan sesuai
 Anjurkan pasien
dengantujuan
untukmeningkatkan intake
 Berat badan ideal
Fe
sesuai dengan tinggin
 Anjurkan pasien untuk
badan
meningkatkan intake
 Mampu
protein dan vitamin
mengidentifikasi
 Berikan substansi gula
kebutuhan nutrisi
 Yakinkan diet yang
 Tidak ada tanda-tanda
dimakan mengandung
malnutrisi
serat untukmecegah
 Menunjukkan
konstipasi
peningkatan fungsi
 Brikan makanan yang
pengecapan dan
terpilih(sudah konsultasi
menelan
dengan ahli gizi)
 Tidak terjadi
penurunan berat badan  Ajarkan pasien bagaiaman

yang berarti membuat catatan makanan


harian
 Monitor jumlah nutrisi
dankandungan kalori
 Berikan informasi tentang
kebutuyhan nutrisi
 Kaji kemampuanpasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
 BB pasien dalam batas
normal
 Monitor adanya
penurunan BB
 Monitor tipe dan
jumlah aktivitas
yangbiasa dilakukan
 Monitor interaksi anak
atau orang tua selama
makan
 Monitor lingkungan
selama makan
 Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
 Monitor kulit kering
danperubahan
pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor
kekringan,rambut
kusam dan mudah
patah
 Monitor mual dan
muntah
 Monitor kadar
albumin,total
protein,HB, Dan kadar
Ht
 Monitor pertumbuhan
danperkembangan
 Monitor
pucat,kemerahan,dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor kalori
danintake nmutrisi
 Catat adanya
edema,hiperemik,hiper
tonik,papilla lidah, dan
cavitas oral

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang
dapat disebabkan olaeh faktor genetik maupun non genetik. WHO memperkirakan adanya
260.000 kematian (7% dari seluruh kematian neonatus) yang disebabkan oleh kelainan
kongenital pada tahun 2004. Bayi-bayi dengan kelainan kongenital menjadi masalah
khususnya untuk negara berkenbang karena angka kelainan yang cukup tinggi dan
membuat sumber daya berkurang. Bayi dengan kelainan kongenital yang bertahan hidup,
saat tumbuh akan mengalami ketergantungan terhadap orang lain, ataupun alat bantu.
Malasia napas kongenital adalah salah satu dari beberapa penyebab obstruksi salura
n udara ireversibel pada anak-anak, tetapi kejadian pada populasi umum tidak diketahui. M
alasia nafas berat atau malacia berhubungan dengan sindrom tertentubiasanya diakui dan di
diagnosis awal masa bayi, tetapi informasi tentang fitur klinisanak dengan malacia primer,
sering didiagnosis hanya kemudian di masa kecil,langk sehingga dapat menyebabkan
terjadinya bronkhoalasia hernia diafragmatika dan atresia esophagus.
Bronkomalasia paling sering terjadi pada saat lahir (kongenital) dan hingga saat ini t
idak diketahui mengapa tulang rawan tidak terbentuk dengan baik sedangkan hernia
diafragmatika ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada sisi
tubuh bagian kiri. Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ
berkembang dan matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu
kehamilan dan Tanda dan gejala Atresia Esofagus yang mungkin timbul:
 Batuk ketika makan atau minum
 Bayi menunjukkan kurangnya minat terhadap makanan atau ketidakmampuan untuk
menerima nutrisi yang cukup (pemberian makan yang buruk
 Gelembung berbusa putih di mulut bayi
 Memiliki kesulitan bernapas
 Memiliki warna biru atau ungu pada kulit dan membran mukosa karena kekurangan
oksigen (sianosis)
 Meneteskan air liur
 Muntah-muntah

DAFTAR PUSTAKA

IDAI. 2006. Perawatan Anak Sakit, Jakarta: EGC

Cahaya, Nurul. 2018. Manajemen Keperawatan Bronkomalasi, Pneunomia, Difteri.


https://www.scribd.com/document/376466621/BAB-1-2-3-fix-docx diakses tangg
al 05Agustus 2021

Children National Health System. 2016. Pediatric Bronchomalacia, https://children


snational.org/choose-childrens/conditions-andreatments/ear-nose- throat/broncho
malacia diakses pada 30 April 2018

Huriawati Hartanto. Page Hadi Sujono. 2015. Hernia Diafragmatika.  Dalam: Gastro


enterologi. Bandung. Alumni. Page Kelly, Bickle. Diaphragmatic Hernia. In: Imag
ing.

Ho, A. M. H., Winthrop, A., Jones, E. F., & Flavin, M. P. 2016. Severe Pediatric
Bronchomalacia (Jurnal). http://anesthesiology.pubs.asahq.org/article.aspx?art
icleid=2479591. The Journal of the American Society of Anesthesiologists, 1
24 (6), 1395-1395. Diakses pada 05 Agustus 2021
Kharismawati, Devi. 2017. Bronkomalasia. https://www.scribd.com/document/33
8085656/Bronkomalasia-Lp

M. Bulechek, G. 2016. Nursing interventions classification ( NIC ). Singapore:


Elsevier Global Rights.

Mardela, E. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC.

Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Me


dis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta

Ompusunggu M dr.SpB, Agus D dr.SpB. 2001. Pedoman Diagnosa Terapi RSUD A


W Syahrani Ed.V.SMF Penyakit Bedah

Price S.A, Wilson L.M. 2006. Gangguan Esofagus Dalam: Patofisiologi. Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Robbins dan Kumar. 1995. Patologi. Jakarta: Fakultas Kedoteran Universitas Airlang
ga

Ronna L Wong. 2003. Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC

Sacharin, Rosa M.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakata : EGC

Sarwiji, B. (2011). Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT Indek


s.

Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Schwartz, Daniel. 2017. Tracheomalacia Treatment & Managemen. https://emedici


ne.medscape.com/article/426003-treatment Diakses pada 05 Agustus 2021

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 1997. Patofisiologi. Jakata : EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatn Pediatrik. EGC: Jakarta.21

Anda mungkin juga menyukai