A
DENGAN DIAGNOSA BRONKOPNEUMONI
DI BANGSAL CENDANA RSUD SLEMAN
Disusun oleh :
1. Ayuningtyas Dian Utami (P07120215010)
2. Findri Fadlika (P07120215019)
3. Theresia Sani Tratami (P07120215037)
Disusun Oleh :
1. Ayuningtyas Dian Utami (P07120215010)
2. Findri Fadlika (P07120215019)
3. Theresia Sani Tratami (P07120215037)
A. Definisi
B. Penyebab
C. Patofisiologi
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal
sampai unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan
beberapa mekanisme:
1.filtrasi partikel dari hidung.
2.pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3.Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4.Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris.
5.Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6.Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7.Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah
melalui aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir
bronkiolus maka terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti
leukosit dalam jumlah besar. Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan
bakterial debris. Sisten limpatik mampu mencapai bakteri sampai darah atau
pleura viseral.
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan
paru menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak
terventilasi menjadi fisiologis right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang
tidak pas dan menghasilkan hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena
penurunan saturasi oksigen dan hiperkapnia. (Bennete, 2013)
D. Manifestasi klinis
kerusakan epitel
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, umumnya bronkopneumonia bakteri didapatkan
leukositosis dengan predominan polimorfonuklear. Leukopenia
menunjukkan prognosis yang buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-
100.000/mm. Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah
dari glukosa darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus
meningkat dan dapat menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus
atau sputum darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura atau aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap
kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis,
ELISA, latex agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap
mikroorganisme penyebab bronkopneumonia.
a. Pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi
ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia)
kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus
(bronkopneumonia lobaris). Bayi dan anak-anak gambaran
konsolidasi lobus jarang ditemukan.
b. Streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan
bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai
efudi pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
c. Stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada
permulaan penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-bercak,
kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau
hemithoraks. Perpadatan hemithoraks umumnya penekanan (65%), <
20% mengenai kedua paru.
H. Terapi
1. Perhatikan hidrasi.
2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.
3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena seleksi
ADH juga akan berlebihan.
4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.
5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung dengan
keadaan klinis pengukuran pulse oksimetri.
6. Pengobatan antibiotik:
a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000 unit/kg/hari
atau penisilil prokain i.m 600.000 V/kali/hari atau amphisilin 1000
mg/kgBB/hari . Lama terapi 7 10 hari untuk kasus yang tidak terjadi
komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang resisten
terhadap ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi
ketiga, misal sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P.
Aeruginosa umumnya resisten terhadap ampisillin dan derivatnya.
Dapat diberi kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk
bronkopneumonia karena M. Bronkopneumoniae. Roksitromisin
mempenetrasi jaringan lebih baik dengan rasio konsentrasi antibiotik di
jaringan dibanding plasma lebih tinggi. Dosis 2 kali sehari
meningkatkan compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C.
pneumonie in vitro dan mempenetrasi jaringan lebih baik.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat pasien: Panas, batuk, nasal discharge, perubahan pola
makan, kelemahan, Penyakit respirasi sebelumnya,perawatan
dirumah, penyakit lain yangdiderita anggota keluarga di rumah
b. Pemeriksaan Fisik: Demam, dispneu, takipneu, sianosis,
penggunaan otot pernapasn tambahan, suara nafas tambahan, rales,
menaikan sel darah putih (bakteri bronkopneumonia), arterial blood
gas, X-Ray dada
c. Psikososial dan faktor perkembangan: Usia, tingkat
perkembangan, kemampuan memahami rasionalisasi intervensi,
pengalaman berpisah denganm orang tua, mekanisme koping yang
diapkai sebelumnya, kebiasaan (pengalaman yang tidak
menyenangkan, waktu tidur/rutinitas pemberian pola makan, obyek
favorit)
d. Pengetahuan pasien dan keluarga: Pengalaman dengan penyakit
pernafasan, pemahaman akan kebutuhan intervensi pada distress
pernafasan, tingkat pengetahuan kesiapan dan keinginan untuk
belajar.
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., et al. 2011. The Management of
Community-Acquired Bronkopneumonia in Infants and Children Older than
3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis 53 (7): 617-630
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI