Anda di halaman 1dari 5

Kelainan pada fase perkembangan Embriologi

1. Teratogenesis
Dalam buku Toksikologi karangan Donatus (2005: 187), dijelaskan
bahwa Teratogenesis merupakan proses yang meliputi abnormalitas dalam
perkembangan embrio atau janin yang terjadi dalam uterus. Hal tersebut
mengakibatkan adanya kelainan maupun cacat bawaan pada bayi yang
dikandung, baik itu dalam skala Makroskopis ataupun Mikroskopis. Lebih
lanjut dalam bukunya, dijelaskan bahwa Teratogenik (kelainan bawaan)
umumnya terjadi ketika masa organogenesis janin. Xenobiotik, yang
merupakan salah satu senyawa yang dapat menembus plasenta dan ketuban,
efeknya adalah dapat berupa kematian (embriotoksik), cacat bawaan
(teratogenik), gangguan fungsional, maupun perlambatan dalam pertumbuhan.
Dalam literatur lain, yakni pada Philip et al (2011: 9) dijelaskan bahwa
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Cacat bawaan ini merupakan
kelainan yang telah diketahui dalam beberapa dasawarsa ini, serta menjadi
penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada saat kelahiran. Keterkaitan
antara zat kimia dengan cacat bawaan tidak diprediksi seiring berjalannya
waktu, hal tersebut karena para ahli toksikologi percaya bahwa dalam tubuh
manusia terdapat mekanisme perlindungan alami Detoksifikasi, eliminasi dan
sawar plasenta yang dapat melindungi embrio bila ibunya terpapar zat kimia.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Sadler (2012: 125-126) dalam Buku
Langman’s Medical Embryology bahwa gejala Teratogenesis Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa pajanan terhadap bahan kimia dan agen
lainnya, seperti etilnitrosourea dan radiasi, dapat menyebabkan mutasi pada sel
germinativum pria. Penelitian epidemiologis telah mengaitkan pekerjaan ayah
dan pajanan lingkungan terhadap merkuri, timbal, bahan pelarut, alkohol,
rokok dan senyawa lainnya pada kejadian abortus spontan, berat badan lahir
rendah, dan cacat lahir. Usia ayah yang lanjut adalah faktor peningkat risiko
untuk beberapa cacat lahir struktural, sindrom Down, dan mutasi dominan
otosom baru. Yang menarik, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria
berusia kurang dari 20 tahun juga memiliki risiko lebih besar menjadi ayah dari
anak dengan cacat lahir, tetapi hasil penelitian lainnya tidak meyakinkan.
Bahkan transmisi toksisitas yang diperantarai oleh ayah mungkin terjadi
melalui cairan semen dan dari kontaminasi barang rumah tangga oleh bahan
kimia yang terbawa di baju kerja ayah (Ihsan, 2018).
2. Malformasi
Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau
ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Beberapa contoh
malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit,
defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat
jantung. Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor.
Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup.
Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan
yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi
pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi
mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan
pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari
malformasi minor. Contoh Malformasi adalah sebagai berikut :
a) Spina bifida
Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu
celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau
beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Kelainan
ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya hidrosefalus, atau
gangguan fungsional yang merupakan akibat langsung spina bifida sendiri,
yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan fungsi otot dan
pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan fungsi otot sfingter
(Purwoko, 2019).
b) Labiopalatoskisis (celah bibir dan Langit-langit)
Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan langit-
langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan
oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap.
Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi
akibat faktor nongenetik. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah
palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa
kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi infeksi, otitis media,
dan kehilangan pendengaran (Purwoko, 2019).
c) Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat
diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS (Liquor Cerebrospinals) atau
diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan masuk ke dalam
rongga subaraknoid (hidrosefalus non komunikans). Hidrosefalus dapat
timbul sebagai hidrosefalus kongenital atau hidrosefalus yang terjadi
postnatal. Secara klinis, hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai
pembesaran kepala segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran
kepala normal tetapi tumbuh cepat sekali pada bulan pertama setelah lahir.
Peninggian tekanan intrakranial menyebabkan iritabilitas, muntah,
kehilangan nafsu makan, gangguan melirik ke atas, gangguan pergerakan
bola mata, hipertonia ekstrimitas bawah, dan hiperefleksia.
Etiologihidrosefalus kongenital dapat bersifat heterogen. Pada dasarnya
meliputi produksi cairan serebrospinal di pleksus korioidalis yang berlebih,
gangguan absorpsi di vilus araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi cairan
serebrospinal (Purwoko, 2019).
d) Anensefalus
Anensefalus adalah suatu keadaan dimana sebagian besar tulang
tengkorak dan otak tidak terbentuk. Anensefalus merupakan suatu kelainan
tabung saraf yang terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan
kerusakan pada jaringan pembentuk otak. Salah satu gejala janin yang
dikandung mengalami anensefalus jika ibu hamil mengalami
polihidramnion (cairan ketuban di dalam rahim terlalu banyak). Prognosis
untuk kehamilan dengan anensefalus sangat sedikit. Jika bayi lahir hidup,
maka biasanya akan mati dalam beberapa jam atau hari setelah lahir
(Purwoko, 2019).
e) Omfalokel
Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke
luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu
kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga
perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam
minggu keenam sampai kesepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini
bersamaan dengan terjadinya kelainan kongenital lain misalnya sindrom
down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus
saja sedangkan pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa (Purwoko,
2019).
f) Atresia esofagus
Bila dilihat bentuk sumbatan dan hubungannya dengan organ sekitar,
terdapat bermacam-macam penampilan kelainan kongenital atresia
esophagus, misalnya jenis fistula trakeo-esofagus. Dari bentuk esofagus ini
yang terbanyak dijumpai (lebih kurang 80%) adalah atresia atau
penyumbatan bagian proksimal esofagus sedangkan bagian distalnya
berhubungan dengan trakea sebagai fistula trakeo-esofagus. Secara klinis
pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul dan terus meleleh atau
berbusa, pada setiap pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak napas,
batuk, muntah dan biru (Purwoko, 2019).
g) Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Penyakit jantung bawaan ada beraneka ragam. Pada bayi yang lahir
dengan kelainan ini, 80% meninggal dunia dalam tahun pertama,
diantaranya 1/3 meninggal pada minggu pertama dan separuhnya dalam 1-2
bulan. Sebab PJB dapat bersifat eksogen atau endogen. Faktor eksogen
terjadi akibat adanya infeksi, pengaruh obat, pengaruh radiasi dan
sebagainya. Pada periode organogenesis faktor eksogen sangat besar
pengaruhnya terhadap diferensiasi jantung karena diferensiasi lengkap
susunan jantung terjadi sekitar kehamilan bulan kedua. Sebagai faktor
endogen dapat dikemukakan pengaruh faktor genetik, namun peranannya
terhadap kejadian penyakit PJB kecil. Dalam satu keturunan tidak selalu
ditemukan adanya PJB (Purwoko, 2019).

STUDI KASUS
Angka kejadian sumbing bibir dan langit di wilayah Jember selama 3
tahun sejak tahun 2017 sampai dengan bulan November 2020 cukup tinggi
dengan jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2017 dan 2019. Angka kejadian
ini dihitung berdasarkan asumsi bahwa apabila angka kelahiran bayi di
wilayah Jember setiap tahun diperkirakan mencapai angka 36.137 kelahiran.
Beberapa studi epidemiologi melaporkan bahwa kejadian sumbing
bibir dan langit-langit berhubungan dengan ibu penderita yang terpapar
rokok, mengkonsumsi alkohol (tingkat partisipasi), menggunakan obat
antiepilepsi dan kortikosteroid, mengalami malnutrisi asam folat serta
mengalami infeksi selama kehamilan. Semua kondisi ini mempengaruhi
lingkungan intrauterin ibu selama kehamilan9. Studi lain melaporkan bahwa
pemenuhan kecukupan nutrisi ibu selama hamil berhubungan erat dengan
status sosial ekonomi keluarga. Hasil penelitian membuktikan bahwa faktor
gizi berhubungan erat dengan tingkat sosial ekonomi. Semakin rendah status
sosial ekonomi keluarga maka semakin tinggi risiko cacat sumbing9,10.
Faktor lingkungan lain seperti paparan bahan kimia pestisida diduga
mempengaruhi terjadinya sumbing bibir dan langit-langit.

Ihsan, M. (2018). Makalah Embriologi. Diakses melalui


https://academiaedu.com pada 4 September 2023.
Purwoko, M. (2019). Faktor Risiko Timbulnya Kelainan Kongenital. MAGNA
MEDIKA: Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 6(1), 51-56.

Anda mungkin juga menyukai