Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH DURASI PENJEMURAN MENCIT HAMIL

TERHADAP ANOMALI FETUS

PROPOSAL PENELITIAN SARJANA FARMASI

Oleh

AMELYA PRADIPTA

NO BP. 1411011003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi

yang timbul sejak lahir hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital merupakan

sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir.

Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh

kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu

seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang

dilahirkan dengan kelainan kongenital, pada umumnya akan dilahirkan sebagai

bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa

kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira

20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya (Kadri, 1991).

Penelitian yang dilakukan oleh V. Nandini, S.K. Shyama, M.S. Sudheer

dan P. D’souza (2002) memaparkan sebanyak total 8.551 kelahiran di unit

neonatal Goa Medical College dari tahun 1999-2001 dilaporkan 166 mengalami

kongenital malformasi. Setelah ibu dari bayi di wawancara dan didapatkan

informasi tentang paparan prenatal disebabkan beberapa faktor, salah satu nya

demam saat masa kehamilan.

Diperkirakan sekitar 10-15 % cacat bawaan lahir atau kongenital anomali

adalah hasil efek samping yang merugikan dari pengaruh faktor lingkungan pada

perkembangan prenatal (Brent, 2001). Ini berarti bahwa 1 dari 250 kelahiran bayi

memiliki kecacatan struktur yang disebabkan oleh paparan lingkungan dan dapat

diduga sebagian besar anak mengalami penghambatan perkembangan atau


abnormalitas yang merupakan hasil dari penyebab nongenetik dengan kata lain

merupakan efek teratogen. Suatu teratogen didefinisikan sebagai faktor

lingkungan yang menyebabkan kelainan permanen pada struktur atau fungsi

organ, menghambat perkembangan atau kematian embrio atau fetus (Frias &

Gilbert, 2008).

Brent (2001) mencatat bahwa suatu faktor tidak tepat dikatakan sebagai

agen teratogen tanpa karakteristik dosis, rute pemaparan, dan masa kehamilan

ketika terjadi pemaparan. Hal ini dikarenakan efek dari faktor lingkungan pada

embrio atau fetus sangat bergantung pada sifat kimia atau fisik dari teratogen dan

beberapa faktor lain, seperti dosis, rute, panjangnya waktu pemaparan, tahap

perkembangan pemaparan, kerentanan genetik ibu dan janin. (Wilson & Fraser,

1977).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh lama paparan panas pada perlakuan penjemuran

mencit hamil terhadap fetus mencit?

2. Berapa lama waktu paparan panas yang dapat menyebakan efek

teratogenik pada mencit hamil?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh durasi penjemuran mencit hamil terhadap anomali

fetus.
1.4 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan antara lama paparan panas pada perlakuan penjemuran mencit

hamil terhadap fetus mencit dalam waktu tertentu memberikan efek teratogenik.

1.5 Manfaat Penelitian

Untuk mengetahui lama waktu paparan panas yang mampu menimbulkan efek

teratogenik pada ibu hamil.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Hipertermia

Hipertermia adalah agen teratogen pertama pada hewan dan selanjutnya

terbukti teratogenik juga pada manusia. Penelitian pada hewan menunjukkan

bahwa panas menjadi penyebab terhadap masalah reproduksi pada sebagian besar

mamalia. Masalah-masalah ini berkisar dari kematian embrio dan aborsi janin

cacat akibat induksi teratogenik dan sangat bergantung dosis dan waktu paparan

panas (Edwards, 1986; Edwards,et al.,1995). Efek merugikan pada sebagian besar

spesies dimulai pada kenaikan suhu 1,5°C diatas temperatur tubuh normal. Secara

umum, suhu yang lebih tinggi dan pemaparan yang lebih lama paling

memungkinkan menyebabkan terjadinya abosri, sementara peningkatan suhu yang

rendah meyebabkan kematian embrio dan resorpsi atau abnormalitas

embriogenesis jika paparan terjadi pada tahap kritis masa perkembangan (Barish,

2004).

2. Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak

lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang

mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi. Kadang-kadang suatu

kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir,

tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Selain itu, pengertian

lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang dapat berwujud dalam

bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru lahir, yang mencakup

aspek fisis, intelektual dan kepribadian (Kadri, 1991).


Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Malformasi

Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau

ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Beberapa contoh

malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek

penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung

(Kadri, 1991; Eurocat, 2004)

2. Deformasi

Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal

bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan normal

terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan

ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu

yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus

bikornus, kehamilan kembar(Effendi, 2006 dalam Neonatologi IDAI 2008;

Rudolph,et al., 2006).

3. Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang

disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini

biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya

disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia,

perdarahan atau perlekatan.


4. Displasia

Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur) akibat

fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh

tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di dalam

sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian

besar disebabkan oleh mutasi gen. Displasia dapat terus-menerus menimbulkan

perubahan kelainan seumur hidup (Barish, 2004).

Beberapa kelainan kongenital yang dapat dijumpai di klinik antara lain :

1. Spina Bifida

Spina bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu

celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa

vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. ( Kadri, 1991).

2. Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit)

Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan langit-langit

yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan

atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini

cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-

genetik (Barish, 2004).

3. Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan

bertambahnya cairan serebrospinal (Kadri, 1991).

4. Anensefalus

Anensefalus adalah suatu keadaan dimana sebagian besar tulang tengkorak

dan otak tidak terbentuk. Anensefalus merupakan suatu kelainan tabung saraf
yang terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada

jaringan pembentuk otak (Rukiyah, 2010).

5. Omfalokel

Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar

dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu kantong.

Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut dari posisi

ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam minggu keenam sampai

kesepuluh kehidupan janin (Kadri, 1991).

6. Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan

subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada otot rektus

abdominis ditemukan adanya celah. (Kadri, 1991).

7. Atresia Esofagus

Secara klinis, pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul dan terus

meleleh atau berbusa, pada setiap pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak

napas, batuk, muntah, dan biru (Kadri, 1991).

8. Atresia dan Stenosis Duodenum

Pada kehidupan janin, duodenum masih bersifat solid, perkembangan

selanjutnya berupa vakuolisasi secara progresif sehingga terbentuklah lumen.

Gangguan pertumbuhan inilah yang menyebabkan terjadinya atresia atau stenosis

duodenum sering kali diikuti kelainan pankreas anularis (Kadri, 1991).

9. Atresia dan Stenosis Jejunum/ileum

Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang

sering dijumpai pada bayi baru lahir (Kadri, 1991)


10. Obstruksi pada Usus Besar

Salah satu obstruksi pada usus besar yang agak sering dijumpai adalah

gangguan fungsional pada otot usus besar yang dikenal sebagai Hirschsprung

Disease dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon

(Kadri, 1991).

11. Atresia Ani

Patofisiologi kelainan kongenital ini disebabkan karena adanya kegagalan

kompleks pertumbuhan septum urorektal, struktur mesoderm lateralis, dan

struktur ectoderm dalam pembentukan rektum dan traktus urinarius bagian bawah

(Kadri, 1991).

3. Teratologi

Teratologi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang berhubungan

dengan penyebab, mekanisme dan manifestasi kelainan perkembangan fungsi dan

struktur tubuh (Almahdy, 2012).

Prinsip-prinsip teraratologi pertama kali dirumuskan oleh Wilson pada

tahun 1959. Prinsip ini meliputi :

1. Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung genotip konseptus dan cara

komposisi genetik ini berinteraksi dengan lingkungan. Genom ibu juga

penting dalam hal metabolisme obat, ketahanan terhadap infeksi dan

proses-proses biokimia serta molekuler lainnya yang akan mempengaruhi

perkembangan konseptus.

2. Kerentanan terhadap teratogen menurut stadium perkembangan saat

paparan. Masa yang paling sensitif untuk timbulnya cacat lahir saat
minggu ketiga sampai kedelapan kehamilan. Masing-masing sistem organ

mungkin mempunyai satu atau beberapa stadium kerentanan.

3. Manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis dan lamanya

paparan terhadap suatu teratogen.

4. Teratogen bekerja denagn mekanisme yang spesifik pada sel-sel dan

jaringan yang sedang berkembang untuk memulai embriogenesis yang

abnormal.

5. Manifestasi perkembangan abnormal adalah kematian, malformasi,

keterlambatan pertumbuhan dan gangguan fungsi.

Skrining teratogenik tidak pernah dilakukan pada pengujian manusia.

Metode ini dapat dilakukan secara in vitro, in vivo dan kajian epidemiologi pada

manusia. Metode in vitro umumnya menggunakan embrio ayam dan blastosist

kelinci. Sedangkan metode pengujian in vivo melibatkan hewan mamalia.

(Almahdy, 2012).

Mamalia seperti mencit tidak mengalami menstruasi. Kopulasi hanya

dilakukan delama periode tertentu dari siklus atau daur seksualnya, yaitu periode

estrus. Pada tikus dan mencit biasanya siklus estrus empat sampai lima hari.

Secara fisiologis, siklus estrus dapat terjadi dalam ovarium, tapi juga dapat amati

secara histologi melalui apusan vagina.

Daur estrus terdiri dari beberapa fase antara lain (Almahdy, 2012).

1. Fase Metaestrus

Pada fase ini ditemukan sedikit leukosit pada sediaan hapus vagina

hewan uji.

2. Fase Diestrus
Pada apusan vagina banyak ditemukan sel leukosit dan sel epitel

berinti. Ciri-ciri : Vagina sedikit terbuka, berwarna ungu kebiruan dan

basah.

3. Fase Proestrus

Pada apusan vagina dijumpai banyak sel epitel berinti dan sedikit

leukosit. Ciri-ciri : vagina terbuka, berwarna merah dan basah.

4. Fase Estrus

Fase ini merupakan fase terpenting dalam daur estrus, karena pada fase

ini hewan betina mau menerima hewan jantan untuk kopulasi.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan lebih kurang tiga bulan dimulai dari bulan Juni -

Septemer 2017 di Laboratorium Farmakologi Universitas Andalas Padang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

 Kandang pemeliharaan dan kandang perlakuan

 Alat untuk pembedahan : pisau bedah, gunting bedah, cawan

petri, dan tisu gulung.

 Alat untuk pengamatan morfometri : kaca arloji, timbangan

analitik, kaca pembesar, dan pinset.

 Alat untuk pembuatan larutan Alizarin Merah dan larutan Bouin’s

: pinset, kaca arloji, cawan petri, pipet tetes, gelas ukur dan gelas

beker.

 Alat untuk dokumentasi : kamera digital dan mikroskop.

 Alat untuk pelindung dan keamanan : jas Labor, masker, dan

sarung tangan.

3.2.2 Bahan

 Mencit putih betina berumur lebih kurang 2 bulan dan mencit putih

jantan berumur lebih kurang 3 bulan.

 Air suling
 Bahan untuk pembuatan larutan Alizarin Merah dan larutan

Bouin’s : kalim hidroksida 1%, zat warna Allizarin Red S, asam

asetat glasial, asam pikrat, formalin 14%.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengelompokan Hewan

KELOMPOK PERLAKUAN

1 Hewan percobaan diberi air suling

Hewan percobaan di jemur di bawah sinar


2
matahari langsung selama 30 menit

Hewan percobaan di jemur di bawah sinar


3
matahari langsung selama 45 menit

Hewan percobaan di jemur di bawah sinar


4
matahari langsung selama 60 menit

Hewan percobaan di jemur di bawah sinar


5
matahari langsung selama 90 menit

3.3.2 Persiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit betina berumur

lebih kurang 2 bulan, sehat, nullipara, memiliki daur estrus yang teratur yaitu

4-5 hari dan berat badan berkisar 20-30 gram.


3.3.3 Aklimatisasi Hewan Percobaan dan Penentuan Daur Estrus

Hewan di kelompokkan secara acak. Aklimatisasi dilakukan selama 10 hari

untuk membiasakan hewan berada pada lingkungan percobaan. Makanan dan

minuman diberikan secukupnya, berat badan ditimbang setiap hari dan di

amati tingkah lakunya. Selama aklimatisasi dilakukan penentuan daur estrus

dengan cara pengamatan vagina mencit secara visual, mencit dalam masa

estrus ditandai dengan vagina mencit berwarna lebih merah dan bergetah.

Hewan yang digunakan dianggap sehat apabila perubahan bobot badan tidak

lebih dari 10%, secara visual menunjukkan perilaku yang normaldan

mempunyai daur estrus yaitu 4-5 hari (Almahdy, 2011).

3.3.4 Pengawinan Hewan Percobaan

Pada masa estrus hewan di kawinkan dengan perbandingan jantan dan betina

1:4. Mencit jantan dimasukkan ke kandang mencit betina pada pukul empat

sore dan dipisahkan lagi besok paginya. Pada pagi hari dilakukan

pemeriksaan sumbat vagina. Sumbat vagina menandakan mencit telah

mengalami kopulasi dan berada pada hari kehamilan ke-0. Mencit yang telah

hamil dipisahkan dan yang belum kawin dicampurkan kembali dengan mencit

jantan (Almahdy, 2011).

3.3.5 Pemberian Perlakuan

Perlakuan dilakukan dengan cara memaparkan panas matahari pada hewan

percobaan dilakukan dengan cara mencit di jemur dibawah sinar matahari

langsung. Mencit dibagi menjadi lima perlakuan, dimana satu kelompok


terdiri dari lima mencit. Perlakuan untuk setiap kelompok uji sama, yang

berbeda pada lama waktu penjemurannya. Pada kelompok satu (kontrol)

diberi air suling. Kelompok dua perlakuan selama 30 menit, kelompok tiga

perlakuan selama 45 menit, kelompok empat perlakuan selama 60 menit dan

kelompok lima perlakuan selama 90 menit. Pemaparan terhadap panas ini

dilakukan selama sepuluh hari berturut-turut mulai hari ke 6-15 kehamilan.

3.3.6 Pengamatan Selama Perlakuan

Setiap hari dilakukan penimbangan dan diamati kenaikan berat badan, jika

terjadi penurunan berat badan dan disertai pendarahan disekitar vagina ,

kemungkinan hewan tersebut mengalami keguguran atau abortus maka hewan

tersebut harus dibunuh dan diperiksa. Pada selama pemaparan panas juga di

perhatikan adanya mencit yang sakit karena perlakuan atau karena penyakit

maka tidak dapat di ikutsertakan lagi (Lu, 1995)

3.3.7 Penyiapan larutan Alizarin Merah dan larutan Bouin’

Larutan Alizarin Merah dibuat dengan cara menambahkan 6 mg Alizarin

merah pada satu liter larutan kalium hidroksida 1%. Larutan ini digunakan

untuk mewarnai skeletal dan pertulangan mencit. Larutan Bouin’s dibuat

dengan cara melarutkan asam pikrat dalam air panas dan dibuat jenuh,

biarkan satu malam. Kemudian ditambahkan formaldehid 14% dan asam

asetat glasial masing-masing dengan perbandingan 75;20;5. Larutan Bouin’s

digunakan untuk melihat bagian visceral fetus mencit (Manson,et al., 1982)
3.3.8 Laparatomi

Laparatomi dilakukan pada hari ke-18 kehamilan. Mencit dibunuh dengan

cara dislokasi leher, kemudian dilakukan laparatomi yntuk mengeluarkan

fetus mencit. Cara nya mencit dibedah pada bagian abdomen kearah atas

sampai terlihgat uterus yang berisi fetus. Fetus dikeluarkan dengan memotong

uterus dan plasenta. Selanjutnya diamati ada atau tidaknya tapak resorpsi

yang ditandai dengan adanya gumpalan merah sebagai tempat tertanamnya

fetus. Jumlah fetus ditung pada masing-masing bagian uterus, fetus yang

masih hidup dan fetus yang telah mati. Setelah itu fetus dikeringkan dengan

tisu, berat masing-masing fetus ditimbang untuk mengetahui berat rata-rata

kelahiran. Kemudian amati ada atau tidaknya kelainan secara visual misalnya

ekor, daun telinga, kelopak mata, jumlah kaki depan dan belakang (Almahdy,

2012).

3.3.9 Fiksasi dan Pengamatan Cacat Morfologi

Setelah diamati secara visual, sepertiga dari jumalh fetus dari satu induk di

fiksasi dengan larutan Bouin’s selama 14 hari, sampai berwarna kuning fetus

di keluarkan dan dikeringkan. Bagian luar fetus yang diperiksa telinga,

mata,kaki dan ekor. Selanjutnya diamati ada tidaknya celah langit-langit

dengan menyelipkan pisaubedah dengan geraham, sayat kepalanya menurut

bidang datar tepat dibagian tengah daun telinga (Taylor,et al.,2005).

Sisanya dua pertiga bagian lagi direndam dengan larutan merah Alizarin,

biarkan dua sampai tiga hari, sambil sesekali di goyang sampai fetus menjadi

transparandan akan terlihat tulang yang berwarna merah, amati kelainan


tulang dan hitung jumlahnya, kemudian fetus dikeluarkan dan di simpan

dalam larutan yang terdiri dari etanol 70%, gliserin dan formaldehid14%.

Pengamatan dilakukan terhadap tulang dada, tulang kaki, dan jari-jari kaki,

semua hasil pengamatan di bandingkan dengan kontrol (Taylor,et al.,2005).

3.3.10 Analisa Data

Data pemeriksaan yang dilakukan akan diambil sebagai berikut :

1. Berat badan induk mencit selam kehamilan stelah diberi perlakuan

sampai laparatomi.

2. Jumlah fetus

a. Jumlah fetus yang hidup

b. Jumlah fetus yang mati dalam uterus (intrauterin fetus)

3. Berat badan fetus

4. Pengamatan jenis cacat

5. Jumlah fetus yang cacat

6. Pengamatan terhadap hasil fiksasi dengan larutan Bouin’s dan

Alizarin Merah.

Berat badan induk mencit, jumlah fetus, berat badan fetus, jumlah fetus

yang cacat di analisa dengan menggunakan metode Analisa Varians

(ANOVA) satu arah. Jika hasil nsignifikan (P < 0,05), analisa di lanjutkan

dengan menggunakan uji wilayah berganda Duncan (Duncan Multiple

Range Test). Sedangkan pengamatan jenis cacat dan hasil fiksasi dengan

larutan Bouin’s dan Alizarin Merah dilakukan dengan metode deskriptif.


BAB IV

JADWAL KEGIATAN

Adapun jadwal kegiatan yang teah dirancang sebagai berkut

No Kegiatan Juni Juli Agustus September

1. Persiapan Penelitian

2. Penelitian Laboratorium

3. Anilisis Data

4. Pembuatan Laporan
BAB V

PERKIRAAN BIAYA

5.1 Bahan Habis Pakai

No Bahan Biaya Satuan Kebutuhan Jumlah

1. Kalium Hidroksida Rp2.200,-/gram 5 gram Rp11.000,-

2. Aliizarin Red S. Rp39.000,00/gram 10 gram Rp390.000,-

3. Asam Asetat Glacial Rp1.700,00/ml 20 ml Rp17.000,-

4. Asam Pikrat Rp37.400,-/gram 5 gram Rp187.000,-

5. Formalin Rp45.000,-/liter 5 liter Rp225.000,-

Total Rp830.000,-

5.2 Alat Laboratorium

No Alat Laboratorium Biaya Satuan Kebutuhan Jumlah

1. Pisau bedah Rp75.000,-/set 1 set Rp75.000,-

2. Gunting bedah Rp70.000,-/set 1 set Rp70.000,-

3. Cawan petri Rp17.000,-/buah 5 buah Rp85.000,-

4. Tisu gulung Rp5.000,-/buah 2 buah Rp10.000,-

5. Kaca Arloji Rp20.000,-/buah 2 buah Rp40.000,-

6. Kaca pembesar Rp22.500,-/buah 1 buah Rp22.500,-

7. Pinset Rp10.000,-/buah 3 buah Rp30.000,-

8. Pipet tetes Rp5.000,-/buah 10 buah Rp50.000,-

9. Gelas ukur Rp45.000,-/buah 2 buah Rp90.000,-

10. Gelas beker Rp37.000,-/buah 5 buah Rp185.000,-


11. Handscoon Rp25.000,-/kotak 1 kotak Rp25.000

12. Masker Rp30.000,-/kotak 1 kotak Rp30.000

Total Rp712.500,-

Total biaya yang dibutuhkan

Biaya bahan habis pakai = Rp830.000,-

Biaya alat laboratorium = Rp712.500,- +

=Rp1.542.500,-

Terbilang : Satu juta lima ratus empat puluh dua ribu lima ratus rupia
DAFTAR PUSTAKA

Almahdy, A. (2012). Teratologi Eksperimental. Padang : Universitas Andalas

Press.

Barish, R.J. (2004). In-Flight Radiation Exposure During Pregnancy. Obstet

Gynecol, 103, 1326-1330.

Frias, J. L., Gilbert-Barness, E. (2008). Human teratogens: current controversies.

Advanc Pediat, 55, 171-211.

Kadri, N.1991. Kelainan Kongenital. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak

Jilid I. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UI, 240-60

Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar (Edisi kedua). Penerjemah: E. Nugroho.

Chicago: University of Chicago Press.

Manson, J. M., Zenick, H., & Costlow, R. D. (1982). Teratology test methods for

laboratory animals. Principles and Methods of Toxicology, 141-184.

Taylor and Francis. (2005). Principles and Methode of Toxicology (Fourth

Edition). New York: Pleum Press.

Anda mungkin juga menyukai