Anda di halaman 1dari 20

PRAKTIK PROFESI STASE KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN KELAINAN KONGENITAL

OLEH:
I PUTU ARTHA SUWARTIKA
2002621048

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi/Pengertian
Kelainan kongenital atau biasa disebut juga kelainan bawaan didefinisikan
sebagai anomali struktural atau fungsional yang terjadi selama kehidupan
intrauterin atau masa gestasi dan dapat diidentifikasi sebelum lahir, saat lahir,
atau terkadang hanya dapat dideteksi di kemudian hari (Pen Hua, 2013 ;
Mattew, Wilar & Umboh, 2021). Kelainan bawaan dapat memengaruhi bentuk
organ, fungsi organ ataupun keduanya. Tingkatannya bervariasi dari ringan
hingga berat. Kemampuan bayi untuk bertahan hidup bergantung pada bagian
tubuh yang mengalami kelainan (Kemenkes, 2016).
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Data kesehatan anak secara global tahun 2012 menunjukkan bahwa kelainan
kongenital merupakan 4% penyebab kematian anak, sedangkan peranannya
dalam kematian perinatal adalah 22% (Effendi, 2014). Di Indonesia, kematian
bayi baru lahir (neonatal) masih menjadi permasalahan kesehatan. Angka
kematian bayi di Indonesia adalah 32/1000 kelahiran hidup dan kematian
neonatal 19/1000 kelahiran hidup (BKKBN., BPS., Kemenkes., Measure
DHS., ICF Internasional, 2013). Saat ini, kelainan bawaan mempunyai
kontribusi yang cukup besar sebagai penyebab kematian neonatal.
Data laporan BPPK, Depkes RI (2008) menyatakan bahwa sebesar 1,4% bayi
baru lahir usia 0-6 hari pertama kelahiran dan 18,1% bayi baru lahir usia 7-28
hari meninggal disebabkan karena kelainan bawaan. Data WHO SEARO
tahun 2010 dalam Gustina (2016) memperkirakan prevalensi kelainan bawaan
di Indonesia adalah 593 per 1000 kelahiran hidup. Jika setiap tahun lahir 5 juta
bayi di Indonesia, maka akan ada sekitar 295.000 kasus kelainan bawaan
pertahun. Untuk di Bali tepatnya di RSUP Sanglah kelainan kongenital yang
sering ditemukan pada tahun 2015 yaitu traktus gastrointestinal. Kelainan itu
meliputi labiognatopalatoskisis (10,1%), labiopalatoskisis (5,8%), atresia
esofagus (2,9%), stenosis pilorus (1,4%), atresia duodenum (15,9%), atresia
jejunum (1,4%), atresia ileum (2,9%), gastroskisis (8,8%), omfalokel (5,8%),
penyakit Hirschprung (20,2%), dan malformasi anorektal (24,6%) (Antara &
Darma, 2018).
3. Etiologi/Faktor Predisposisi
Penyebab kelainan kongenital sulit diketahui, tetapi beberapa hal yang
mempengaruhinya diketahui dari faktor genetik, faktor lingkungan atau dari
kedua faktor secara bersamaan. Beberapa merupakan faktor etiologi yang
sudah diketahui dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital antara lain
(Suyanto, 2016):
a. Kelainan Genetik dan Kromosom
Kelainan genetik pada orang tua sangat besar berpengaruh terhadap
kejadian kelainan kongenital pada anaknya. Beberapa contoh kelainan
genetika dan kromosom sebagai berikut:
1) Sindrom turner
Kelainan ini terjadi pada wanita dengan ciri-ciri yaitu perkembangan
sex terhambat, payudara kecil, tubuh pendek dan sering mandul.
2) Sindrom Klinefelter
Kelainan yang terjadi pada laki- laki dengan ciri-ciri cenderung seperti
wanita, testis tidak normal, keterbelakangan mental dan memiliki
payudara tumbuh.
3) Sindrom down
Kelainan yang ditandai tubuh pendek, mental terbelakang, mata sipit,
lidah tebal dan wajah mongoloid.
4) Sindrom Edwards
Kelainan pada wanita yang nampak seperti normal tetapi ciri-ciri
sekunder wanita tidak berkembang.
b. Faktor Mekanik
Tekanan mekanik yang dialami janin intrauterin dapat menyebabkan
kelainan bentuk tubuh sehingga terjadi deformitas. Sebagai contoh
deformitas tersebut yaitu kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus,
talipes valgus dan talipes equinus serta talipes equinovarus (clubfoot).
c. Faktor Infeksi
Kelainan kongenital yang disebabkan karena infeksi terjadi saat periode
organogenesis yaitu trimester pertama kehamilan. Infeksi yang dialami
akan menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan tubuh. Sebagai contoh
infeksi virus Rubella dapat menyebabkan bayi menderita kelainan
kongenital katarak pada mata, kelainan sistem pendengaran yaitu tuli dan
kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan sistem saraf pusat yaitu seperti hidrosefalus, dan
mikrosefalus.
d. Faktor Obat
Beberapa jenis obat yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga menyebabkan terjadinya kelainan kongenital.
Thalidomide adalah obat yang terkenal sebagai obat yang mengakibatkan
terjadinya fokomelia atau mikromelia. Demikian halnya dengan jamu
diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital,
walaupun belum banyak diketahui secara pasti. Berikut ini berbagai
bentuk kelainan jantung karena mengkonsumsi obat-obatan :
1) ASD (Atrial Septal Defect)
Kebocoran pada sekat atrium jantung yang terjadi sejak masa janin
awal akibat tidak terjadi penyatuan sekat antara kedua atrium jantung
yang menimbulkan lubang disebut defect.
2) VSD (Ventricular Septal Defect)
Kebocoran pada sekat ventrikel jantung dimana terdapat lubang pada
dinding yang memisahkan antara ventrikel kiri dan kanan.
3) Tetralogi Fallot
Kumpulan kelainan pada jantung yang terdiri dari VSD, penyempitan
katup paru-paru, dan penebalan otot ventrikel jantung kanan.
e. Faktor Umur Ibu
Telah diketahui bahwa kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih ; angka
kejadian melahirkan bayi dengan kelainan kongenital ialah 1: 5500 untuk
kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 sedangkan untuk kelompok ibu
berumur 35-39 tahun. Kemudian 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40-
44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
Contoh kelainan kongenital karena usia ibu adalah Mongolisme atau
disebut down sindrome yang sering dilahirkan oleh ibu yang usianya
mendekati masa menopause. Kelainan kongenital lain yang terjadi karena
faktor usia ibu adalah atresia ani.
f. Faktor Hormonal
Faktor hormonal mempunyai hubungan dengan kejadian kelainan
kongenital seperti bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme dan ibu
penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk menderita gangguan dan
kelainan lebih besar dibanding bayi yang dilahirkan oleh ibu normal.
g. Faktor Radiasi
Jika seorang ibu hamil terpapar radiasi pada permulaan kehamiIan
mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin
yang disebabkan oleh mutasi gen.
h. Faktor Gizi
Frekuensi kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mengalami kekurangan gizi lebih tinggi dibanding dengan ibu yang
baik gizinya. Contoh kelainan yang terjadi akibat ibu kekurangan gizi
sebagai berikut:
1) Atresia esophagus
Kelainan yang terjadi akibat esofagus tidak terbentuk secara sempurna,
menyempit dan buntu tidak tersambung dengan lambung yang terjadi
pada umur kehamilan 3-6 Minggu
2) Defek tabung saraf
Kelainan yang terjadi pada saat terbentuknya bakal otak dan korda
spinalis yang disebabkan ibu kekurangan zat gizi yaitu asam folat
dalam bentuk kelainan spina bifida dan an ensefalus.
i. Faktor-faktor Lain
Beberapapenyebab kelainan congenital tidak diketahui, namun beberapa
faktor seperti janin itu sendiri yang mengalami hipoksia, hipotermi
ataupun hipertermi dan faktor lingkungan hidup diduga menjadi penyebab.
4. Patofisiologi
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Effendi, 2014):
a. Malformasi
Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau
ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis.
Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti,
melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu
kelainan struktur yang menetap. Beberapa contoh malformasi misalnya
bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba
neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung.
Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor.
Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan
hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem
kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi
kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna
termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan
pada kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra
putting susu adalah contoh dari malformasi minor.
b. Deformasi
Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal
bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan
normal terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang
kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus
ataupun faktor ibu yang lain seperti primigravida, panggul sempit,
abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar.
c. Disrupsi
Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang
disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya
normal. Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan
deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat
disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Misalnya helaian-
helaian membran amnion, yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan
melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari,
tengkorak, serta muka.
d. Displasia
Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital adalah
displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan
struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam
jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat
penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan
produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh
mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek
klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga
patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan
efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang
ditimbulkannya mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif
berlangsung singkat. Displasia dapat terus-menerus menimbulkan
perubahan kelainan seumur hidup.
5. Klasifikasi
a. Menurut Gejala Klinis
Kelainan bawaan atau kelainan kongenital dikelompokkan berdasarkan
hal-hal sebagai berikut (Christianson, 2006 dalam Effendi, 2014):
1) Kelainan Tunggal (Single-System Defects)
Porsi terbesar kelainan kongenital terdiri atas kelainan yang hanya
mengenai satu regio dari satu organ (isolated). Contoh kelainan ini
yang juga merupakan kelainan kongenital yang tersering adalah celah
bibir, club foot, stenosis pilorus, dislokasi sendi panggul kongenital,
dan penyakit jantung bawaan. Sebagian besar kelainan pada kelompok
ini penyebabnya adalah multifaktorial, menggambarkan efek kumulatif
dari berbagai efek yang ringan dari berbagai gen, dan kemungkinan
faktor lingkungan sebagai pencetusnya. Kelainan ini meningkat angka
kejadiannya pada beberapa keluarga dan suku, tetapi tidak mengikuti
pola hukum Mendel seperti pada kelainan yang disebabkan oleh mutasi
gen mayor. Secara klinis (mungkin juga secara patogenesis) kelainan
yang berdiri sendiri (isolated) ini identik dengan kelainan serupa yang
merupakan bagian dari suatu sindrom.
2) Asosiasi (Association)
Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering terjadi
bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya
keseragaman dalam gejala klinis antara satu kasus dan kasus yang lain.
Sebagai contoh ”Asosiasi VACTERL” (vertebral, anomali, atresia
anal, cardiac malformation, tracheoesophageal fistula, anomali renal,
limbs defects). Sebagian besar anak dengan diagnosis ini, tidak
mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi lebih sering
mempunyai variasi kelainan di atas.
Nilai utama asosiasi adalah untuk memikirkan berbagai kelainan
tersembunyi yang harus dicari. Angka kejadian ulang kondisi ini
sangat kecil dan prognosisnya bergantung pada derajat beratnya
kelainan dan juga pada kemungkinan apakah kelainan tersebut dapat
dikoreksi atau tidak. Perkembangan mental biasanya tidak terganggu,
tetapi pertumbuhan mungkin agak terlambat.
3) Sekuens (Sequences)
Sekuens adalah suatu pola kelainan kongenital multipel yang kelainan
utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada potter sequence kelainan
utamanya adalah aplasia ginjal. Tidak terdapat produksi urin
mengakibatkan jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan
akan berkurang dan menyebabkan tekanan intrauterin dan akan
menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok serta kontraktur pada
sendi dan menekan wajah (Potter facies). Oligohidramnion juga
berefek pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat,
oleh sebab itu bayi baru lahir dengan potter sequence biasanya lebih
banyak meninggal karena distres respirasi dibandingkan dengan karena
gagal ginjal. Sebagian besar penyebab sekuens tidak diketahui,
kemungkinan disebabkan oleh multifaktorial.
4) Kompleks (Complexes)
Istilah ini dipopulerkan oleh Opitz yang menggambarkan pengaruh
berbahaya yang mengenai bagian utama suatu regio perkembangan
embrio, yang mengakibatkan kelainan pada berbagai struktur yang
berdekatan yang mungkin sangat berbeda asal embriologinya tetapi
mempunyai letak yang sama pada titik tertentu saat perkembangan
embrio. Beberapa “kompleks” disebabkan oleh kelainan vaskular.
Penyimpangan pembentukan pembuluh darah pada saat embriogenesis
awal dapat menyebabkan kelainan pembentukan struktur yang
diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut. Sebagai contoh, absennya
sebuah arteri secara total dapat menyebabkan tidak terbentuknya
sebagian atau seluruh tungkai yang sedang berkembang.
Penyimpangan arteri pada masa embrio mungkin akan mengakibatkan
hipoplasia tulang dan otot yang diperdarahinya. Contoh “kompleks”,
termasuk hemifacial microsomia, sacral agenesis, sirenomelia Poland
anomaly, dan Moebius syndrome.
5) Sindrom
Seperti sudah dijelaskan di atas, kelainan kongenital dapat timbul
secara tunggal (single) atau dalam kombinasi tertentu. Bila kombinasi
tertentu dari berbagai kelainan ini terjadi berulang-ulang dalam pola
yang tetap, pola ini disebut suatu ”sindrom”. Istilah syndrome berasal
dari bahasa Yunani yang berarti ”berjalan bersama”. Pada pengertian
yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya
sebuah label yang tepat. Apabila penyebab suatu sindrom diketahui,
sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti Hurler
syndrome menjadi Mucopolysaccharidosis type I. Sindrom biasanya
dikenal setelah laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai kasus
yang mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih
dari 1.000 sindrom dan hampir 100 di antaranya merupakan kelainan
kromosom, sedangkan 50% kelainan kongenital multipel belum dapat
digolongkan ke dalam sindrom tertentu.
b. Menurut Berat Ringannya
Kelainan bawaan atau kelainan kongenital dapat dibedakan menjadi 2
yaitu :
1) Kelainan Mayor
Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis
segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya
2) Kelainan Minor
Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan
medis
4. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul pada pasien sifatnya beragam atau bervariasi
sesuai dengan kelainan kongenital yang dialami pasien. Sebagai contoh pada
hidrosefalus gejala yang timbul yaitu kepala membesar, ubut-ubun membesar
tidak menutup pada waktunya, kulit kepala menipis, bola mata terdorong ke
bawah (sunset sign) dan terdapat cracked pot sign (Lestari, 2018).
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pengkajian untuk mendapatkan tanda-tanda penyakit
pada pasien yang dapat dilihat atau diamati sehingga bersifat obyektif seperti
bengkak, kemerahan, unisokor, tidak asismetris dan adanya kelainan
konginetal (hidrosefalus, mikrosefalus, bibir sumbing, anus tertutup,
perubahan pada ekstremitas dan lain sebagainya). Pemeriksaan fisik dilakukan
head to toe dari ujung rambut kepala sampai ujung jari kaki. Dimulai dari
inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi. Menggunakan cara ini akan
diperoleh tanda-tanda dari sebuah penyakit kelainan kongenital yang diderita
pasien (Suyanto, 2016).
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Berikut merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebelum dan
setelah bayi lahir (Yunani, Bustami & Angelina, 2016).
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini
beberapa kelainan kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda,
molahidatidosa, dan sebagainya. Beberapa contoh kelainan kongenital
yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non invasive (ultrasonografi)
pada midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina
bifida, defek tuba neural, porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar,
penyempitan sistem gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang
memberi gambaran gelembung ganda), kelainan sistem genitourinaria
(misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru, polidaktili,
celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.
b. Pemeriksaan Cairan Amnion (Amnionsentesis)
Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu dengan
aspirasi per-abdomen dengan tuntunan USG. Dari cairan amnion tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut antara lain pemeriksaan
genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek tuba
neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan terhadap beberapa
gangguan metabolic (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan
lainnya.
c. Pemeriksaan Alfa Feto Protein Maternal Serum (MSAFP).
Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami
defek tuba neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila serum
ini menurun maka dapat ditemukan pada sindrom down dan beberapa
kelainan kromosom.
d. Biopsi Korion
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada
janin, kelainan metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis
DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia adrenal kongenital.
e. Fetoskopi/Kordosentesis
Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru
lahir perlu diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu bentuk muka
bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-jari,
kelamin, serta anus bayi.
7. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kelainan kongenital pada pasien dapat
dilakukan pada antenatal dan postnatal dengan 3 cara yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang dilakukan
yaitu meliputi umur ibu (umur ibu > 35 tahun lebih rentan mengalami kelainan
kongenital), apakah mengosumsi asam folat sebelum hamil, melakukan
kunjungan ANC (Antenatal Care) secara rutin, apakah ibu mengosumsi obat-
obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat menyebabkan
kelainan kongenital seperti atresia ani, celah bibir dan langit-langit (Anita,
2017 ; Purwoko, 2019). Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe dari
ujung rambut kepala sampai ujung jari kaki untuk melihat kelainan kongenital
yang dialami pasien, hasil yang ditemukan merupakan tanda gejala sesuai
dengan kelainan kongenital yang dialami. Disamping pemeriksaan fisik,
radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnosa kelainan kongenital
setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosis pre/antenatal kelainan
kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin (Yunani, Bustami &
Angelina, 2016).
8. Terapi/Tindakan Penanganan
Pada umumnya penanganan kelainan kongenital pada suatu organ tubuh
umumnya memerlukan tindakan bedah. Beberapa contoh kelainan kongenital
yang memerlukan tindakan bedah adalah hernia, celah bibir dan langit-langit,
atresia ani, spina bifida, hidrosefalus, dan lainnya. Pada kasus hidrosefalus,
tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-obatan
yang dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat
dilakukan dengan tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis,
berat, dan derajat kelainan (Effendi, 2014).
9. Komplikasi
Gustina (2016) menyatakan penyakit kelainan kongenital dapat menimbulkan
beberapa komplikasi. Selain menyebabkan kematian neonatal, kelainan
kongenital atau bawaan juga dapat menyebabkan bayi lahir mati dan abortus
spontan. Jika bayi bertahan hidup, banyak diantaranya yang menjadi
penyandang disabilitas dan mengidap penyakit kronis.
Pathway Kelainan Kongenital Faktor penyebab terjadinya kelainan
kongenital :
a. Kelainan Genetik dan Kromosom
b. Faktor Mekanik
c. Faktor Infeksi
Gangguan pada proses embriogenik (proses d. Faktor Obat
implantasi sampai fetus) e. Faktor Umur Ibu
f. Faktor Hormonal
g. Faktor Gizi
Terjadi perubahan struktur dan h. Faktor Radiasi
fungsional
1.
Risiko Disentigritas
Perilaku Bayi Kelainan Kongenital

Kelainan Minor Kelainan Mayor

Memerlukan tindakan segera

Kurang pengetahuan Tindakan Pembedahan

Ibu khawatir tentang kondisi Risiko terpajan bakteri meningkat


anak/bayi

Risiko Infeksi
Ansietas
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas pasien yaitu meliputi nama pasien, tempat tanggal lahir, usia,
jenis kelamin, nomor rekam medis, diagnosis medis dan identitas
orangtua/penanggung jawab.
b. Keluhan utama, yaitu meliputi keluhan yang dirasakan saat ini (dapat
dilihat pada kondisi anak maupun keluhan dari orang tua). Misalnya
kelainan bibir sumbing, hidrosefalus dan atresia ani dapat diobservasi pada
anak maupun adanya pertumbuhan yang terhambat dan retardasi mental
yang terjadi pada down syndrome.
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
1) Prenatal, meliputi jumlah kunjungan saat ANC, adanya komplikasi
saat kehamilan (hipertensi, diabetes maupun terdeteksi adanya
kelainan kongenital), komplikasi obat, adanya riwayat paparan radiasi,
serta pernah terkena virus atau tidak (rubella, HIV, herpes, dll)
2) Natal, meliputi awal persalinan, lama persalinan, adanya komplikasi
saat persalinan, terapi yang didapat dan cara atau metode melahirkan
(pervaginam, SC atau yang lainnya)
3) Postnatal, meliputi apakah pernafasan bayi spontan atau perlu bantuan
alat, APGAR Score, obat yang diberikan pada bayi, ada trauma lahir
atau tidak, ada narcosis atau tidak serta adanya keluhan BAB/ BAK.
d. Riwayat keluarga, meliputi apakah dalam keluarga ada individu yang
memiliki penyakit kongenital yang sama atau tidak.
e. Genogram, untuk menampilkan kondisi keluarga (silsilah keluarga
minimal 3 generasi).
e. Riwayat sosial, meliputi sistem pendukung keuarga terdekat, hubungan
orang tua dengan bayi, kondisi anak lainnya (bila ada), lingkungan rumah
dan adanya masalah sosial pada keluarga.
f. Keadaan kesehatan saat ini, meliputi diagnose medis, tindakan operasi,
status nutrisi, status cairan, obat-obatan, aktivitas, tindakan keperawatan
yang dilakukan, hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan USG,
radiologi, pemeriksaan sitogenik (kelainan kromosom), pemeriksaan
laboratorium, dll.
g. Pemeriksaan fisik, yaitu pemeriksaan head to toe dengan melakukan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Keadaan yang biasanya dapat diobservasi yaitu meliputi keadaan
umum anak lemah/tidak, tampak menggigil, pucat, sianosis, apakah
terdapat kelainan kepala atau tidak (hidrosefalus maupun mikrosefalus),
mata simetris atau tidak, pernafasan cuping hidung, adanya bibir sumbing
atau tidak, sesak nafas penggunaan otot bantu nafas, retraksi dinding dada,
apakah ada lubang uretra dan anus serta apakah ada kelainan pada
ekstremitas.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Risiko Disentigritas Perilaku Bayi berhubungan dengan pemajanan
teratogenik terkait dengan kondisi gangguan kongenital pada bayi.
b. Ansietas berhubungan dengan penyakit kongenital yang dialami bayi
ditandai perasaan gelisah orang tua.
c. Risiko Infeksi Area Pembedahan berhubungan dengan bayi terpajan
dengan wabah terkait dengan kondisi prosedur invasive atau operasi.
3. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional


1 Risiko Disentigritas Setelah diberikan asuhan Tindakan yang dapat diberikan, yaitu: Rasional dari tindakan yang diberikan,
Perilaku Bayi berhubungan keperawatan selama 1 x 4 jam, NIC Label yaitu:
dengan pemajanan diharapkan bayi tidak berisiko Monitor Neurologi NIC Label
teratogenik terkait dengan mengalami disentigritas perilaku a. Monitor tanda-tanda vital pasien Monitor Neurologi
kondisi gangguan dengan kriteria hasil: b. Monitor refleks pada bayi (moro, a. Untuk memantau perkembangan
kongenital pada bayi. NOC Label babinski, menegakkan leher dan tanda-tanda vital pasien
Perkembangan anak : 1 bulan rooting) b. Untuk memantau adanya refleks
a. Bayi memiliki refleks moro Perawatan Bayi pada bayi (moro, babinski,
b. Bayi memiliki refleks a. Monitor berat dan panjang bayi menegakkan leher dan rooting)
menegakkan leher b. Monitor intake dan output Perawatan Bayi
c. Bayi memiliki refleks menghisap c. Bicara kepada bayi saat merawat a. Untuk memantau berat dan
d. Bayi memiliki refleks plantar bayi panjang bayi agar tidak
atau babinski d. Menginformasikan orang tua menyimpang sesuai perkembangan
e. Bayi memiliki refleks rooting tentang kondisi bayi b. Untuk memantau intake dan output
f. Tanda vital dalam rentang c. Memberikan tindakan terapeutik
normal : kepada bayi agar bayui dapat
1) RR Bayi (0-12 bulan) : 30-60 merangsang bunyi
x/menit. d. Agar orang tua mampu memahami
2) Denyut nadi bayi (0-12 kondisi bayi saat ini
bulan) : 100-160 x/menit.
3) Suhu pasien dalam rentang
normal (36,5oC – 37,5oC)
2 Ansietas berhubungan Setelah diberikan asuhan Tindakan yang dapat diberikan, yaitu: Rasional dari tindakan yang diberikan,
dengan penyakit kongenital keperawatan selama 1 x 4 jam, NIC Label yaitu:
yang dialami bayi ditandai diharapkan masalah ansietas pada Pengurangan Kecemasan NIC Label
perasaan gelisah orang tua. orang tua dapat teratasi dengan a. Gunakan pendekatan yang nyaman Pengurangan Kecemasan
kriteria hasil: dan meyakinkan a. Unuk melakukan BHSP
NOC Label b. Berikan informasi factual terkait b. Agar orang tua mengetahui
Tingkat Kecemasan diagnosis, perawatan, tindakan yang diagnosis, perawatan, tindakan
a. Perasaan gelisah orang tua akan diberikan dan prognosis bayi yang akan diberikan dan prognosis
berkurang c. Lakukan usapan punggung dengan bayinya
b. Wajah tegang pada orang tua cara yang tepat c. Tindakan terapeutik sentuhan
berkurang d. Mendengarkan pasien dengan baik untuk menenangkan pasien
c. Rasa cemas yang disampaikan d. Agar pasien dapat mengungkapkan
orang tua berkurang semua kecemasannya
3 Risiko Infeksi Area Setelah diberikan asuhan Tindakan yang dapat diberikan, yaitu: Rasional dari tindakan yang diberikan,
Pembedahan berhubungan keperawatan selama 1 x 4 jam, NIC Label yaitu:
dengan bayi terpajan dengan diharapkan pasien tidak berisiko Kontrol Infeksi NIC Label
wabah terkait dengan mengalami infeksi pada are a. Lakukan cuci tangan 6 langkah dan Kontrol Infeksi
kondisi prosedur invasive pembedahan dengan kriteria hasil: 5 momen a. Untik meminimalkan terjadinya
atau operasi. NOC Label b. Anjurkan orang tua mencuci tangan penyebaran infeksi pada pasien
Keparahan Infeksi juga sebelum menyentuh bayi b. Agar orang tua tidak menyebarkan
a. Tidak ada cairan yang berbau c. Monitor tanda dan gejala infeksi infeksi pada pasien
busuk pada area pembedahan d. Lakukan pemeriksaan lab darah c. Untuk memantau adanya tanda-
b. Pasien tidak demam (36,5oC – lengkap untuk mengetahui nilai tanda infeksi yang terjadi pada
37,5oC) WBC pasien
c. Tidak ada peningkatan leukosit e. Kolaborasi pemberian antibiotik d. Untuk memantau terjadinya
pada pasien (4.000-12.000) peningkatan leukosit pada pasien
e. Untuk menekan aktivitas bakteri
dengan antibiotik
Daftar Pustaka
Anita. (2017). Faktor Penyakit Infeksi, Penggunaan Obat Dan Gizi Ibu Hamil
Terhadap Terjadinya Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir.
Jurnal Kesehatan. Volume VIII, Nomor 1, April 2017, hlm 120-
126.
Antara, P. & Darma, W.A. (2018). Insidens dan Karakteristik Kelainan
Kongenital Traktus Gastrointestinal Pada Neonatus di RSUP
Sanglah Denpasar Tahun 201. MEDICINA .2018, Volume 49,
Number 3: 423-427 .ISSN.2540-8321.
BKKBN., BPS., Kemenkes., Measure DHS., ICF Internasional. (2013). Survei
Demografi & Kesehatan Indonesia. http://chnrl.org/pelatihan-
demografi/SDKI-2012.pdf
Christianson A, Howson CP, Modell B. (2006). March of Dimes: Global Report
on Birth Defects “The Hidden Toll of Dying and Disabled
Children.White Plains, New York.
Depkes RI. (2008). Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit. Jakarta.
Depkes RI. (2008). Siaran Pers Menteri Kesehatan RI Tentang Penurunan AKI.
Jakarta.
Effendi, S.H. (2014). Penanganan Bayi dengan Kelainan Kongenital dan
Konseling Genetik, Bandung, Dies Natalis Unpad, 20-21
September 2014.
Gustina, E. (2016). 3 Maret: Hari Kelainan Bawaan Sedunia Cegah Bayi Lahir
Cacat dengan Pola Hidup Sehat, www.depkes.go.id/.../3-maret-
hari-kelainan-bawaan-sedunia-cegah-bayi-lahir-cacat-d
Kemenkes, R. (2016). Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Lestari, G. S. (2018). Asuhan Kebidanan Neonatus Patologi Pada By. Ny. D
Umur 2 Hari Dengan Kelainan Kongenital Labiopalatoskizis Di
Rsud Kraton Pekalongan (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Semarang).
Matthew, F., Wilar, R., & Umboh, A. (2021). Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Kejadian Kelainan Bawaan Neonatus. E-Clinic. 9(1)
Pen-Hua Su. (2013) Congenital Anomalies:Current Knowledge and Future
Prospects.Pediatrics and Neonatology Ed. 54, Taiwan. 2013.
Purwoko, M. (2019). Faktor Risiko Timbulnya Kelainan Kongenital. Magna
Medica: Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 6(1), 51-56.
Suyanto. (2016). Patologi.Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Kemenkes RI
Yunani dkk. (2017). Fakor Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir di Ruang
Perinatologi RS Moeloek Bandar Lampung 2015. Jurnal Dunia
Kesmas. 5(2)

Anda mungkin juga menyukai