Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

Seorang Anak Berusia 2 Tahun dengan Palatoskisis Unilateral

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh:

Audy Massora Pongtiku 2019086016288


Inka Lafenta Pongkorung 2019086016467
Lies Triasi Situmorang 2019086016325
Romatua Afryanti Panggabean 2019086016479

Pembimbing :

drg. Meiske E. Paoki, Sp.BM

SMF GIGI DAN MULUT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan dipresentasikan di hadapan pembimbing laporan kasus


yang berjudul “Seorang Anak Berusia 2 Tahun dengan Palatoskisis” sebagai
salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya pada
SMF Gigi dan Mulut di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura pada:

hari, tanggal :

tempat :

Mengesahkan

drg. Meiske E. Paoki, Sp. B


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara
lain prosesus frontonasalis, prosesus nasalis medialis dan lateralis, prosesus
maxillaris dan prosesus mandibularis. Kegagalan penyatuan prosesus maxilla
dan prosesus nasalis media akan menimbulkan celah pada bibir atau labioskisis
yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila prosesus nasalis media, bagian yang
membentuk dua segmen antara maksila gagal menyatu maka terjadi celah pada
atap mulut yang disebut palatoskisis. Palatoskisis merupakan kelainan
kongenital pada wajah dimana palatum tidak berkembang secara normal selama
masa kehamilan yang menyebabkan terbukanya palatum sampai ke kavitas
nasal sehingga terbentuk hubungan antara rongga hidung dan mulut. Kelainan
ini terjadi karena gangguan pada kehamilan trimester pertama yang
menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin. Faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya kelainan ini adalah akibat kekurangan nutrisi,
obat obatan, infeksi virus, radiasi, stres pada masa kehamilan, trauma dan faktor
genetik.
Palatoskisis dapat meluas dari bagian depan mulut ke arah tenggorokan dan
seringkali juga melibatkan bibir. Palatoskisis dapat merupakan satu-satunya
kelainan, dapat juga berhuhubungan dengan labioskisis atau sindroma lain.
Pada beberapa kasus, apabila salah satu anggota keluarga menderita palatoskisis
maka anggota keluarga lain juga memiliki kemungkinan menderita palatoskisis
ketika lahir.
Palatoskisis merupakan kelainan kongenital kraniofasial yang paling umum
ditemukan, yaitu sekitar 1 dalam 700 kelahiran hidup terutama di negara
berkembang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 prevalensi anak usia
24-59 bulan mengidap satu jenis kelainan mencapai 0,53%, dengan 0,08%
diantaranya ditempati anak-anak dengan palatoskisis. Palatoskisis terjadi dalam
spektrum keparahan anatomi dan sering ditemukan bersamaan dengan kelainan
sistem organ lainnya. Diperkirakan individu yang terkena palastoskisis
ditemukan sekitar 33%.
Palatoskisis dapat menimbulkan berbagai gangguan pada penderita.
Gangguan pada penderita palatoskisis ini sudah muncul sejak lahir. Adanya
celah akan membuat kesulitan dalam minum, gangguan pada penampilan,
gangguan bicara, serta gangguan psikis baik pada penderita dan keluarga. Maka
dari itu dibutuhkan suatu perawatan khusus pada penderita palatoskisis.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa faktor resiko pada penderita tersebut?
2. Apa tatalaksana yang tepat pada pasien tersebut?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui faktor risiko pada penderita tersebut
2. Untuk mengetahui tatalaksana yang tepat pada pasien tersebut
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Cavum Oris

Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-
sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine
os maxilla dan lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum.
Palatum molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh
beberapa otot yang melekat pada bagian posterior palatum durum. Terdapat enam
otot yang melekat pada palatum durum yaitu m. levator veli palatine, m.
constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus
dan m.tensor veli palatini.
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi
velopharyngeal adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constrictor
pharyngeus superior. M.uvula berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum
selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine mendorong velum kearah
superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring posterior.
Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor pharyngeus
superior yang membentuk velum ke arah dinding posterior faring untuk
membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan
palatum kearah bawah dan kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai
depressor palatum, yang berperan dalam pembentukan venom nasal dengan
membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung. Otot yang
terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam pergerakan
palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu
menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui
foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat
melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus
cabang maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi otot-otot palatum.
Selain itu, palatum juga mendapat innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang
berjalan di sebelah posterior dari pleksus.

2.2 Definisi
Palatoskisis adalah fissura garis tengah pada palatum yang terjadi karena
kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik. Palatoskisis
adalah kelainan kongenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis
tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi untuk menyatu karena
perkembangan embriotik.

2.3 Insiden
Insidens dari berbagai tipe cleft dilaporkan oleh Veau. Insidens secara
keseluruhan dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655 kelahiran
dan oleh Ivy yakni 1 dari 762 kelahiran, dimana lebih sering dijumpai pada laki-
laki dibandingkan perempuan. Peningkatan risiko palatoskisis bertambah seiring
dengan meningkatnya usia maternal dan adanya riwayat keluarga yang menderita
penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga mempengaruhi angaka kejadian
palatoskisis. Palatoskisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan ras
Afrika. Insiden palatoskisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada ras kulit
putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di Indonesia
ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk .
Palatoskisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu
0,45-0,5/1000 kelahiran. Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan
insiden sekitar 2% dari populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit
unilateral kiri.

2.4 Etiologi
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi
palatoskisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum
berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam
pertumbuhan dan perkembangan processus.
a. Faktor kongenital
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoskisis memiliki riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan
palatoskisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan
palatoskisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita palatoskisis,
maka kemungkinan anaknya menderita palatoskisis adalah sekitar 4%. Jika
kedua orangtuanya tidak menderita palatoskisis, tetapi memiliki anak
tunggal dengan palatoskisis maka risiko generasi berikutnya menderita
penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang
kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada
lokus 6p24.3 pada pasien labio dan palatoskisis. Kenyataan lain yang
menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai labio dan
palatoskisis (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal,
maupun defek lahir lainnya.
b. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin,
retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan
palatoskisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti
infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya
celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan
defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan
palatoschisis.

2.5 Klasifikasi
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoskisis tanpa labioskisis atau
disertai dengan labioskisis. Palatoskisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh
sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada
submukosa. Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu komplet
(total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai dari foramen
insisivum ke posterior, dan inkomplet (subtotal). Palatoskisis juga dapat bersifat
unilateral atau bilateral.

Gambar 2.2 Klasifikasi Palatoskisis


Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu:
a. Cleft palatum molle
b. Cleft palatum molle dan palatum durum
c. Cleft lip dan palatum unilateral komplit
d. Cleft lip dan palatum bilateral komplit
2.6 Patofisiologi
Pasien dengan palatoskisis mengalami gangguan perkembangan wajah,
inkompetensi velofaringeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan
fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup
kesulitan dalam asupan makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren,
ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan pada pertumbuhan
wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung menyebabkan
berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren
telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara
pada pasien dengan palatoskisis. Mekanisme velopfaringeal yang utuh penting
dalam menghasilkan suara nonnasal dan sebagai modulator aliran udara dalam
pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling. (Manipulasi
anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses dilakukan
pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan
normal).
Beberapa teori yang menggambarkan terjadinya celah bibir :
1. Teori Fusi
Disebut juga teori kalsik. Pada akhir minggu keenam dan awal minggu
ketujuh masa kehamilan, processus maxillaries berkembang kea rah depan
menuju garis median, mendekati processus nasomedialis dan kemudian
bersatu. Bila terjadi kegagalan fusi antara processus maxillaries dengan
processus nasomedialis maka celah bibir akan terjadi.
2. Teori Penyusupan Mesodermal
Disebut juga teori hambatan perkembangan. Mesoderm mengadakan
penyusunan menyebrangi celah sehingga bibir atas berkembang normal. Bila
terjadi kegagalan migrasi mesodermal menyebrangi celah bibir akan
terbentuk.
3. Teori Mesodermal sebagai Kerangka Membran Brankhial
Pada minggu kedua kehamilan, membran brankhial memrlukan jaringan
mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi ke arah
muka. Bila mesodermal tidak ada maka dalam pertumbuhan embrio membran
brankhial akan pecah sehingga akan terbentuk celah bibir.
4. Gabungan Teori Fusi dan Penyusupan Mesodermal
Kemungkinan terjadinya celah bibir, yaitu adanya fusi processus maxillaris
dan penggabungan kedua processus nasomedialis yang kelak akan membentuk
bibir bagian tengah.

2.7 Penatalaksanaan
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah
sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli bedah plastik, ahli
ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran, dan anestesiologis, terapis wicara untuk fungsi bicara.
Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi saling saling
melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.
A. Terapi Non-bedah
Palatoskisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada
terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari
palatoskisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan nafas,
dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum
diperbaiki. Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam
pengobatan pada bayi dengan palatoskisis yakni :
1) Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan palatoskisis biasanya
mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk mengisap,
meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan mengisap.
Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang
adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika
lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih
disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang
tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat
memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak
terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu
kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol
susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke
dalam bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung.
Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator untuk menutup
celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok
dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati
langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah
ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang
untuk mencegah aspirasi.

2) Pemeliharaan jalan nafas


Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama
jika dagu dengan retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang
rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan
lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial
atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom).

3) Insisi telinga tengah


Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft
palate dan sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi,
sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi masalah.
Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah
hilangnya pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang
serius sehingga komplikasi hilangnya pendengaran tidak terjadi,
terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami gangguan
bicara karena palatoskisis. Pengobatan yang paling utama adalah
insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah
gangguan bicara karena tuli konduktif dapat dicegah.

B. Terapi Bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus
emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan
memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan
jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka
sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian palatum molle
dapat berfungsi dengan baik. Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang
bisa digunakan untuk memperbaiki palatoskisis, yaitu:
1) Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck
yang merupakan teknik operasi tertua yang masih digunakan
sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel
mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk
memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior
dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum.
2) Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan
satu atau dua flap palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah
anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke medial sedangkan
flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan
menambah panjang palatum yang diperbaiki.
3) Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang
palatum molle dan membuat suatu fungsi dari m.levator.
4) Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950,
pada teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di
ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si anak mendekati
usia 18 bulan.
5) Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini
mencakup pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior
yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian
diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang
ada.

Terapi wicara mulai diperlukan setelah operasi palatoplasti yakni pada


usia 2-4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya
suara sengau karena setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara
sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila
setelah palatoplasti dan terapi wicara masih didapatkan suara sengau maka
dilakukan faringoplasti untuk memperkecil suara nasal (nasal escape)
biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli
ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan tindakan
alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastik melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi
caninus.
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita
diperbolehkan minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan
selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga higiene oral bila anak
sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan
makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik
selama tiga hari. Orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi
tidur pasien harusnya dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila
terjadi perdarahan, tidak boleh makan/minum yang terlalu panas ataupun
terlalu dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan tidak boleh
mengisap /menyedot selama satu bulan pascaaoperasi untuk menghindari
jebolnya daerah pascaoperasi.

2.8 Komplikasi
Anak dengan palatoskisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial.
Komplikasi pascaoperasi yang biasa timbul yakni

a. Obstruksi jalan nafas


Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas pascaoperasi
merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah
dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah
ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan
Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi
ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut
karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak
dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan
pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah
sempurna.

b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensif terjadi.
Karena kayanya suplai darah pada palatum, perdarahan yang berarti
mengharuskan untuk dilakukannya transfusi. Hal ini bisa berbahaya pada
bayi, yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian
preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting.
Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari
oxymetazoline hydrochloride cepat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah pascaoperasi, area palatum
yang mengandung mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen
hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera
setelah dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan
yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang
sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%,
dan berat-ringannya cleft telah dikemukakan bahwa hal tersebut
berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post
operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai
dengan gejala, prostesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang ada
dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi
pembedahan. Sedikitnya suplai darah, terutama suplai ke anterior
merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu,
penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di
coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika suplai darah telah
memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre
menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum
mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana
gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk
melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan palatoskisis pada beberapa instansi telah fokus pada
intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah
restriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum
yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi
anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya
yang abnormal. Kontroversi yang cukup besar ada pada topik ini karena
penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan
ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder
pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan palatoskisis
unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki
hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas
dagu.
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih.
Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi
karena wajah pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi
lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi premaksilar seperti kemiringan atau retrusi, yang dapat terjadi
setelah operasi.

h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari
jarak anatomis yang penting lengkung.

2.9 Prognosis
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan
bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh di sekolah, tetapi
jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak
normal.
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. CKH
No. RM : 478046
Usia : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Korowai
Agama : Kristen
Masuk Rumah Sakit: : 18 November 2020
Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2020

3.2 Anamnesis (alloanamnesis)


 Keluhan utama
Langit-langit sumbing
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan langit-langit sumbing. Pasien sering
mengeluarkan makanan dari hidung ketika makan. Makan/minum (+/+),
demam (-), batuk (-), muntah (-), BAK/ BAB (+/+)
 Riwayat ANC
Ibu pasien mengaku pasien adalah anak keduanya dan sebelumnya
tidak pernah keguguran.
Selama kehamilan ibu pasien mengaku riwayat konsumsi minuman
beralkohol (-), merokok (-), konsumsi obat dalam jangka waktu lama (-),
jamu-jamuan (-), rontgen (-)
Kontrol kehamilan dilakukan ibu pasien secara rutin di Posyandu dan
dokter praktik. Selama kontrol kehamilan ibu tidak pernah mengaku tidak
pernah ditemukan adanya perdarahan maupun kelainan letak janin. Ibu
juga mendapatkan vitamin dan mengonsumsinya.
Pola makan ibu pasien selama kehamilan 3 kali sehari makan nasi,
sayur, dan lauk.
 Riwayat Persalinan
Ibu pasien mengatakan bahwa proses persalinan dibantu dokter di
RSUD Boven Digoel. Pasien lahir melalui sectio caesarea. Orang tua
pasien tidak mengingat berat lahir, dengan kelainan bawaan lahir
sumbing (+), kelainan lain (-)
 Riwayat Penyakit Dahulu
Alergi (+) makanan bersantan
 Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengaku ada anggota keluarga yaitu sepupu yang juga
pernah menderita sumbing
 Riwayat tumbuh kembang
Pasien belum dapat berbicara
 Riwayat sosial
Ibu pasien berumur 20 tahun dan ayah pasien berumur 23 tahun.
Pekerjaan ibu adalah pedagang dengan penghasilan Rp 5.000.000,-/bulan
dan ayah sebagai penambang dengan penghasilan Rp 30.000.000,-
 Riwayat pengobatan
Pasien sebelumnya telah menjalani operasi sumbing bibir di RSUD
Jayapura bulan Agustus 2019

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TTV : Nadi : 142x/menit
Suhu : 36,10C
RR : 24x/menit
SpO2 : 97%
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 78 cm

Kepala Leher
Kepala : normocephali, rambut warna coklat, alopesia (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Mulut : oral candidiasis (-), celah palatum (+)
Hidung : simetris, sekret (+/+)
Telinga : simetris
Leher : Pembesaran KGB (-)

Toraks
Paru : Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : SN vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : Inspeksi : Iktus tidak terlihat


Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I II reguler (+), murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : hepar/lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium 11 November 2020

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hematologi rutin + diff
Hemogobin L 12,1 g/dl 13,3-16,6
Hematokrit L 36,7 % 41,3-52,1
Leukosit H 19,58 103/µl 3,37—8,38
Trombosit 322 103/µl 140-400
Eritrosit 5,07 106/µl 3,69-5,46
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,3 % 0,3-1,4
Eosinofil H 6,7 % 0,6-5,4
Neutrofil 50,0 % 39,8-70,5
Limfosit 34,5 % 23,1-49,9
Monosit 8,5 % 4,3-10,0
Koagulasi
PT 11,2 detik 10,2-12,1
APTT 29,3 detik 24,8-34,4
Kimia Darah
GDS 99 mg/dl ≤140
SGOT 27,1 U/l ≤40
SGPT 17,0 U/l ≤41
BUN 9,5 mg/dl 7-18
Kreatinin 0,50 mg/dl ≤0,95
Elektolit
Natrium L 132,90 mEq/l 135-148
Kalium 4,62 mEq/l 3,50-5,30
Klorin 105,10 mEq/l 98-106
Kalsium 1,23 mEq/l 1,15-1,35
Serologi
HbsAg Nonreaktif Nonreakif
Mikrobiologi
Lab Nasofaring Hasil 7-10
hari
Lab Orofaring Hasil 7-10
hari
Pemeriksaan laboratorium 22 November 2020

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hematologi rutin + diff
Hemogobin L 11,0 g/dl 13,3-16,6
Hematokrit L 34,0 % 41,3-52,1
Leukosit H 11,97 103/µl 3,37—8,38
Trombosit 295 103/µl 140-400
Eritrosit 4,49 106/µl 3,69-5,46
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,4 % 0,3-1,4
Eosinofil 3,5 % 0,6-5,4
Neutrofil 52,0 % 39,8-70,5
Limfosit 26,6 % 23,1-49,9
Monosit H 17,5 % 4,3-10,0
Elektrolit
Natrium 136,40 mEq/l 135-148
Kalium 4,09 mEq/l 3,50-5,30
Klorin 102,80 mEq/l 98-106
Kalsium 1,32 mEq/l 1,15-1,35

Pemeriksaan radiologis 12 November 2020


Deskripsi

 Cor: Tidak membesar


 Sinus Kostofrenikus: normal
 Diafragma: normal
 Pulmo
 Hilus: normal
 Corakan bronkovaskular: normal
 Tidak tampak infiltrate/konsolidasi

Kesan: Tidak tampak kelainan

3.5 Diagnosis
Palatoskisis unilateral + leukositosis + rhinitis + diare akut nondehidrasi

3.6 Terapi
 IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24 jam Pro persiapan operasi
 Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 g IV
 Injeksi Ranitidine 2 x 10 mg
 Ambroxol/Cetirizine/Salbutamol/Tremenza 3 x pulv I
 Diet TKTP
 Jika hasil DL baik, Acc operasi

3.7 Laporan operasi


1. Antiseptik
2. Pasang duk wajah, hidung, dan mulut dengan nursery
3. Pasang spreader steril
4. Injeksi pehakain: aqua 1:2 =3 cc di palatum
5. Insisi palatum sesuai desain 2 flap
6. Flap diangkat, preservasi palatum mayus bundle
7. Perdarahan dirawat
8. Gap besar dilakukan vomer flap untuk bagian dekstra
9. Mukosa nasal dijahit dengan Vicryl 4.
10. Otot dijahit di posterior
11. Mukosa oral dijahit dari anterior ke posterior
12. Pasang lipostip di posterior dan lateral. Operasi selesai

Terapi pascaoperasi

1. Injeksi Ceftriaxone 500 mg/12 jam


2. Injeksi natrium metamizol 400 mg/12 jam
3. Paracetamol 250 mg/6 jam
4. Kalnex 250 mg/8 jam
5. Pasien sadar baik, boleh minum susu dengan dot khusus. Bila tidak muntah
boleh makan bubur
Gambar 3.2 Foto klinis praoperasi (23 November 2020)
Gambar 3,3 Foto Klinis pasien pascaoperasi (24 November 2020)

Pemeriksaan Laboratorium 23 November 2020

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hematologi rutin + diff
Hemogobin L 10,3 g/dl 13,3-16,6
Hematokrit L 32,3 % 41,3-52,1
Leukosit H 18,73 103/µl 3,37—8,38
Trombosit 293 103/µl 140-400
Eritrosit 4,19 106/µl 3,69-5,46
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,8 % 0,3-1,4
Eosinofil L 0,5 % 0,6-5,4
Neutrofil H 92,9 % 39,8-70,5
Limfosit L 3,4 % 23,1-49,9
Monosit L 2,4 % 4,3-10,0
BAB 4

PEMBAHASAN

Palatoskisis merupakan kelainan kongenital. Keadaan ini akan menimbulkan


masalah bagi orang tua maupun pasien sendiri. Dampak psikologis merupakan hal
yang paling sering ditemui saat orang tua baru mengetahui memiliki anak yang baru
lahir dengan palatoskisis. Orang tua merasa malu, menganggap kelainan ini
merupakan suatu aib dan menduga kelainan ini akibat perbuatan orang tua yang tidak
baik selama kehamilan. Anggapan tersebut harus diluruskan bahwa sebenarnya
palatoskisis merupakan kelainan kongenital yang disebabkan gangguan pada saat
kehamilan.

Ibu pasien mengaku ada anggota keluarga yaitu sepupu yang menderita sumbing.
Hal ini sesuai dengan teori yang menunjukkan bahwa 25% pasien yang menderita
palatoskisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Teori
juga menyebutkan bahwa orang tua yang tidak mengalami palatoskisis tetapi
memiliki anak palatoskisis maka risiko generasi berikutnya menderita penyakit yang
sama juga sekitar 4%.

Palatoplasti merupakan solusi untuk mengatasi palatoskisis. Operasi biasanya


dilakukan pada saat bayi berumur 1,5 tahun. Pembedahan ini bertujuan menutup
celah palatum. Tetapi hingga saat ini masalah waktu pembedahan yang tepat untuk
koreksi celah tetap menjadi perdebatan di antara ahli bedah. Banyak ahli bedah yang
menggunakan rule of ten untuk menentukan tingkat kesehatan bayi yang dapat
dioperasi yaitu usia 10 minggu, berat 10 pon, dan sedikitnya 10 gram Hb perdesiliter
darah. Sedang ahli lain berpendapat bahwa celah palatum dapat dilakukan pada usia
sekitar 18 bulan. Para ahli bedah lebih banyak menyukai tindakan pembedahan
dimulai pada usia 18-24 bulan . Beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa tindakan
pembedahan yang dilakukan pada usia di bawah satu tahun menimbulkan masalah
antara lain mulut masih terlalu kecil, adanya benih gigi yang terletak pada bagia
medial palatum yang masih belum turun ke alveolar.
Keuntungan penutupan palatoskisis pada usia lebih muda adalah perkembangan
otot faringeal dan palatal lebih baik, makan lebih mudah, perkembangan kemampuan
fonasi lebih baik. Sedangkan kerugian penutupan celah yang lebih awal adalah
tindakan pembedahan akan lebih sulit karena struktur jaringan yang lebih kecil, skar
yang dihasilkan akan membatasi pertumbuhan maksila
BAB 5

PENUTUP

Palatoskisis adalah kelainan kongenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum


pada garis tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi untuk menyatu karena
perkembangan embriotik. Etiologi palatoskisis bersifat multifaktorial dimana
pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor
lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.

Palatoskisis dapat berbentuk sebagai palatoskisis dengan atau tanpa labioskisis.


Palatoskisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada
palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan
palatum terbagi atas dua yaitu komplet (total), dan inkomplet (subtotal). Palatoskisis
juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.

Penanganan kecacatan pada labio dan palatoskisis tidaklah sederhana, melibatkan


berbagai unsur antara lain ahli bedah plastik, ahli ortodonti, ahli THT, anestesiologis,
dan terapis wicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi
saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.

Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial.

Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara
sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh di sekolah, tetapi jika anak
berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.
DAFTAR PUSTAKA

Taufiq K, Ngantung J, Oley MCH. Profil Palatoskisis di Bagian Ilmu Bedah


Plastik BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2011.
JBM 2013; 5(1): 127-31

Arindra PK, Prihartiningsih, Rahardjo BD. Penatalaksanaan Repair


Palatoplasty dengan Teknik Furlow Double Opposing Z Plasty. Maj Ked Gi Ind
2015; 1(1):115-21

Cholid Z. Celah Palatum (Palatoscizis). JKG Unej 2013; 10(2): 99-104

Anda mungkin juga menyukai