Oleh:
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
hari, tanggal :
tempat :
Mengesahkan
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-
sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine
os maxilla dan lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum.
Palatum molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh
beberapa otot yang melekat pada bagian posterior palatum durum. Terdapat enam
otot yang melekat pada palatum durum yaitu m. levator veli palatine, m.
constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus
dan m.tensor veli palatini.
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi
velopharyngeal adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constrictor
pharyngeus superior. M.uvula berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum
selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine mendorong velum kearah
superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring posterior.
Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor pharyngeus
superior yang membentuk velum ke arah dinding posterior faring untuk
membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan
palatum kearah bawah dan kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai
depressor palatum, yang berperan dalam pembentukan venom nasal dengan
membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung. Otot yang
terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam pergerakan
palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu
menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui
foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat
melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus
cabang maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi otot-otot palatum.
Selain itu, palatum juga mendapat innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang
berjalan di sebelah posterior dari pleksus.
2.2 Definisi
Palatoskisis adalah fissura garis tengah pada palatum yang terjadi karena
kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik. Palatoskisis
adalah kelainan kongenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis
tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi untuk menyatu karena
perkembangan embriotik.
2.3 Insiden
Insidens dari berbagai tipe cleft dilaporkan oleh Veau. Insidens secara
keseluruhan dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655 kelahiran
dan oleh Ivy yakni 1 dari 762 kelahiran, dimana lebih sering dijumpai pada laki-
laki dibandingkan perempuan. Peningkatan risiko palatoskisis bertambah seiring
dengan meningkatnya usia maternal dan adanya riwayat keluarga yang menderita
penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga mempengaruhi angaka kejadian
palatoskisis. Palatoskisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan ras
Afrika. Insiden palatoskisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada ras kulit
putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di Indonesia
ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk .
Palatoskisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu
0,45-0,5/1000 kelahiran. Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan
insiden sekitar 2% dari populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit
unilateral kiri.
2.4 Etiologi
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi
palatoskisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum
berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam
pertumbuhan dan perkembangan processus.
a. Faktor kongenital
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoskisis memiliki riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan
palatoskisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan
palatoskisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita palatoskisis,
maka kemungkinan anaknya menderita palatoskisis adalah sekitar 4%. Jika
kedua orangtuanya tidak menderita palatoskisis, tetapi memiliki anak
tunggal dengan palatoskisis maka risiko generasi berikutnya menderita
penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang
kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada
lokus 6p24.3 pada pasien labio dan palatoskisis. Kenyataan lain yang
menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai labio dan
palatoskisis (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal,
maupun defek lahir lainnya.
b. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin,
retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan
palatoskisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti
infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya
celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan
defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan
palatoschisis.
2.5 Klasifikasi
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoskisis tanpa labioskisis atau
disertai dengan labioskisis. Palatoskisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh
sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada
submukosa. Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu komplet
(total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai dari foramen
insisivum ke posterior, dan inkomplet (subtotal). Palatoskisis juga dapat bersifat
unilateral atau bilateral.
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah
sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli bedah plastik, ahli
ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran, dan anestesiologis, terapis wicara untuk fungsi bicara.
Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi saling saling
melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.
A. Terapi Non-bedah
Palatoskisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada
terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari
palatoskisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan nafas,
dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum
diperbaiki. Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam
pengobatan pada bayi dengan palatoskisis yakni :
1) Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan palatoskisis biasanya
mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk mengisap,
meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan mengisap.
Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang
adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika
lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih
disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang
tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat
memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak
terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu
kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol
susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke
dalam bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung.
Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator untuk menutup
celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok
dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati
langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah
ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang
untuk mencegah aspirasi.
B. Terapi Bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus
emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan
memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan
jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka
sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian palatum molle
dapat berfungsi dengan baik. Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang
bisa digunakan untuk memperbaiki palatoskisis, yaitu:
1) Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck
yang merupakan teknik operasi tertua yang masih digunakan
sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel
mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk
memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior
dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum.
2) Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan
satu atau dua flap palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah
anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke medial sedangkan
flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan
menambah panjang palatum yang diperbaiki.
3) Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang
palatum molle dan membuat suatu fungsi dari m.levator.
4) Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950,
pada teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di
ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si anak mendekati
usia 18 bulan.
5) Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini
mencakup pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior
yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian
diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang
ada.
2.8 Komplikasi
Anak dengan palatoskisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial.
Komplikasi pascaoperasi yang biasa timbul yakni
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensif terjadi.
Karena kayanya suplai darah pada palatum, perdarahan yang berarti
mengharuskan untuk dilakukannya transfusi. Hal ini bisa berbahaya pada
bayi, yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian
preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting.
Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari
oxymetazoline hydrochloride cepat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah pascaoperasi, area palatum
yang mengandung mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen
hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera
setelah dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan
yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang
sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%,
dan berat-ringannya cleft telah dikemukakan bahwa hal tersebut
berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post
operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai
dengan gejala, prostesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang ada
dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi
pembedahan. Sedikitnya suplai darah, terutama suplai ke anterior
merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu,
penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di
coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika suplai darah telah
memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre
menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum
mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana
gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk
melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan palatoskisis pada beberapa instansi telah fokus pada
intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah
restriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum
yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi
anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya
yang abnormal. Kontroversi yang cukup besar ada pada topik ini karena
penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan
ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder
pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan palatoskisis
unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki
hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas
dagu.
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih.
Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi
karena wajah pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi
lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi premaksilar seperti kemiringan atau retrusi, yang dapat terjadi
setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari
jarak anatomis yang penting lengkung.
2.9 Prognosis
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan
bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh di sekolah, tetapi
jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak
normal.
BAB 3
LAPORAN KASUS
Kepala Leher
Kepala : normocephali, rambut warna coklat, alopesia (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Mulut : oral candidiasis (-), celah palatum (+)
Hidung : simetris, sekret (+/+)
Telinga : simetris
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks
Paru : Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : SN vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : hepar/lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium 11 November 2020
3.5 Diagnosis
Palatoskisis unilateral + leukositosis + rhinitis + diare akut nondehidrasi
3.6 Terapi
IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24 jam Pro persiapan operasi
Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 g IV
Injeksi Ranitidine 2 x 10 mg
Ambroxol/Cetirizine/Salbutamol/Tremenza 3 x pulv I
Diet TKTP
Jika hasil DL baik, Acc operasi
Terapi pascaoperasi
PEMBAHASAN
Ibu pasien mengaku ada anggota keluarga yaitu sepupu yang menderita sumbing.
Hal ini sesuai dengan teori yang menunjukkan bahwa 25% pasien yang menderita
palatoskisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Teori
juga menyebutkan bahwa orang tua yang tidak mengalami palatoskisis tetapi
memiliki anak palatoskisis maka risiko generasi berikutnya menderita penyakit yang
sama juga sekitar 4%.
PENUTUP
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial.
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara
sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh di sekolah, tetapi jika anak
berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.
DAFTAR PUSTAKA