Anda di halaman 1dari 10

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN PALATOSKIZIS

DOSEN PENGAMPUH : Ns. Robiatul Adawiyah M.Kep

KELOMPOK 5

DISUSUN OLEH

1. ERI SYAHRIAH
2. EVI RAHMAWATI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

TAHUN AJARAN 2022/2023


ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PALATOSKIZIS

A. PENGERTIAN
Palatoskisis disebut juga cleft palate atau celah palatum, merupakan kelainan
kongenital pada wajah. Kelainan tersebut berupa palatum yang tidak berkembang
secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan palatum terbuka sampai ke
kavum nasi sehingga menyebabkan adanya hubungan antara mulut dengan
hidung. Adanya celah palatum dapat menyebabkan suara sengau dan anak
tersedak pada waktu minum.
B. ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle yang bersama-sama
membentuk atap rongga mulut dan lantai dasar rongga hidung. Prosesus palatina tulang
maksila dan lamina horizontal dari tulang palatina membentuk palatum durum sedangkan
palatum molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot
yang melekat pada bagian dari palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada
palatum durum yaitu muskulus levator palatina, muskulus konstriktur pharingeus
superior, muskulus uvula, muskulus palatopharyngeus, muskulus palatoglosus dan
muskulus tensor veli palatina
C. EMBRIOGENESIS

Janin pada umur akhir minggu ke-4 akan memperlihatkan arkus faring,
prominensia frontonasalis, plakoda nasalis, prominensia maksilaris dan arkus
mandibula yang nantinya akan membentuk wajah dari janin Pada minggu kelima
arkus faring pertama akan berkembang membentuk prominensia fasialis, plakoda
nasalis atau lempeng hidung mengalami invaginasi membentuk fovea nasalis atau
lekukan hidung. Selama dua minggu berikutnya prominensia maksilaris tumbuh
bertambah besar, tonjolan ini tumbuh kearah medial menuju garis tengah dan
menekan prominensia nasalis medial. Kemudian prominensia nasalis media dan
prominensia maksilaris menyatu dan membentuk bibir atas dan komponen palatum
berbentuk bilah yang akan membentuk palatum primer. Pada minggu keenam bilah
palatum berkembang kearah oblik ke bawah diantara kedua sisi lidah, namun pada
minggu ketujuh bilah palatum menyatu di atas lidah sehingga membentuk palatum
sekunder. Prominensia maksilaris membentuk segmen intermaksilaris menyatu
dengan prominensia frontalis membentuk septum nasi. Sedangkan bibir bawah
dibentuk oleh prominensia mandibularis yang menyatu di garis tengah.
D. Etiologi
Penyebab terjadinya palatoskisis adalah multifaktorial dan penyebab
pastinya belum dapat diketahui secara pasti. Pembentukan mulut terjadi pada masa
embrio pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab
kelainan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping faktor genetik yang
dianggap sebagai penyebab terjadinya celah palatum, faktor non genetik yang lebih
sering muncul dalam populasi.

1.Faktor genetik
Faktor genetik telah diketahui berperan pada terjadinya palatoskisis tetapi
belum dapat dipastikan secara sepenuhnya. Dasar ginetik terjadinya palatoskisis
diyakini sebagai gagalnya mesodermis tumbuh mencapai garis pertemuan yang
seharusnya pada bagian ini mesodermis bersatu, hal ini dikarenakan terjadinya atropi
pada epitelium sebagai tanda terjadinya hipoplasia pada mesodermis. Teori lain yang
berhubungan dengan faktor genetik adalah bertambahnya usia ibu hamil Sejumlah
gen yang terlibat terjadinya palatoskisis adalah transmembran protein1 dan GAD1,
tetapi banyak gen yang sudah diketahui berperan dalam perkembangan daerah
kraniofasial antara lain AXIN2, BMP4, FGFR1, FGFR2, FOXE1, IRF6, MAFB,
MMKP3, MSX1, MSX2, MSX3, PAX7, PDGFC, PTCH1, SATB2, Sox9,
SUMO1, TBX22, TCOF, TFAP2A, VAX1, TP63, Nog, NTN1 dan 8q24.

2.Faktor Non Genetik

Faktor non genetik memegang peranan penting dalam proses penyatuan


palatum pada masa kehamilan. Beberapa hal yang berperan dalam terjadinya
palatoskisis.

1) Defisiensi nutrisi, nutrisis yang kurang dalam masa kehamilan merupakan salah
satu penyebab kelainan ini.

2) Zat kimia, pemberian obat-obatan seperti aspirasi, kortison dan insulin pada masa
kehamilan terutama pada trismester pertama dapat menyebabkan terjadinya
palatoskisis.

3) Virus rubella, virus ini diyakini dapat menyebabkan teradinya cacat berat pada
janin, tetapi beberapa peneliti melaporkan virus rubella dapat menyebabkan
palatoskisis tetapi kemungkinannya sangat sedikit.

4) Trauma, trauma mental dan trauma fisik dapat menimbukan stres. Stres ini akan
merangsang kortek adrenal untuk mensekresi hidrokortison sehingga kadar
hidrokortison di dalam darah meningkat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
E. Patofisiologi
Organ-organ pembentuk wajah termasuk didalamnya palatum berasal dari
migrasi dan penyatuan masenkim dari sel-sel kranioneural kepala. Berdasarkan
embriologi, palatum dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase pembentukan
palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder.
Pembentukan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 atau minggu ke-4 kehamilan
yang ditandai dengan pembentukan prosesus fasialis, penyatuan prosesus nasalis
medial dengan prosesus maksilaris, dilanjutkan dengan penyatuan prosesus nasalis
lateral dengan prosesus nasalis medial. Sedangkan pembentukan palatum sekunder
dimulai setelah palatum primer terbentuk dengan sempurna, kira-kira pada minggu
ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari perkembangan kearah medial dari
prosesus maksilaris bilateral, kemudian kedua sisi ini akan bertemu di garis tengah.
Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior maka proses penyatuan dimulai.
Kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan ini menyebabkan
timbulnya celah pada palatum

F. Klasifikasi
Palatoskisis dapat berbentuk sebagai palatoskisis tanpa labioskisis atau
disertai dengan labioskisis. Palatoskisis sendiri dapat diklasifikasi lebih jauh sebagai
celah yang hanya pada palatum molle atau hanya berupa celah pada submukosa.
Celah pada palatum dibagi menjadi dua yaitu total dan subtotal, celah total
mencakup celah yang terjadi pada palatum durum dan palatum molle, mulai dari
foramen insisivum sampai ke posterior Palatoskisis dapat di kelompokkan, menurut
American Cleft Association palatoschisis dikelompokkan menjadi:

1) Celah palatum primer,

2) celah palatum sekunder,

3) celah mandibula.

Veau membuat klasifikasi terhadap palatoskisis dengan membagi menjadi empat


kelompok yaitu:

1) Celah pada palatum molle saja,

2) Celah pada palatum molle dan durum meluas ke foramen insisivum,

3) Celah palatum unilateral komplit, biasanya bersamaan dengan celah bibir

4) Celah palatum bilateral komplit yang biasanya bersamaan dengan celah bibir
bilateral
G. Komplikasi Palatoskisis
Beberapa masalah yang dapat ditimbulkan oleh palatoskisis yang harus
kita ketahui seperti:

1) Makanan, asupan makanan pada anak-anak yang menderita palatosksis


mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap dot atau payudara
ibu. Bayi dengan celah palatum akan lebih banyak mengisap udara pada saat
menyusui.

2) Masalah dental, anak yang lahir dengan palatoskisis mempunyai masalah


terhadap pertumbuhan gigi, terutama palatoskisis yang disertai labioskisis.

4) Gangguan bicara, pada bayi dengan palatoskisis biasanya juga mengalami


gangguan perkembangan pada otot-otot yang membentuk palatum molle. Pada saat
palatum molle tidak dapat menutup rongga hidung pada saat berbicara, maka
didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan palatum
lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara
keluar dari hidung. Pasien akan mengalami kesulitan untuk memproduksi kata p, b,
d, t, h, k, g, s, sh dan ch
H. Terapi Bedah
Tujuan dari terapi pembedahan palatoplasti adalah memisahkan antara
rongga hidung dengan rongga mulut. Pemisahan ini bertujuan untuk
mempertahankan fungsi berbicara, bentuk wajah dan pertumbuhan gigi. Jika
terdapat kelainan celah bibir maka labioplasti dapat dilakukan mendahului
palatoplasti dengan tujuan menghindari terjadinya kelainan bentuk wajah

DIAGNOSA

1. Pre Operasi :
a. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d rekfleks hisap bayi buruk
b. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake tidak adekuat
c. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
d. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kesulitan berbicara
e. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing
dalam jalan napas
2. Post Operasi :
a. Nyeri berhubungan dengan inisiasi pembedahan
b. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pasca pembedahan

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Intervensi Keperawatan Pre-Operasi :

N Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


O
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji kemampuan bayi
pemberian ASI b.d keperawatan, pemberian untuk menghisap secara
rekfleks hisap bayi ASI pada bayi efektif efektif
buruk
dengan kriteria hasil : b. Pantau keterampilan
- Keberlangsungan Ibu dalam menempelkan
pemberian ASI untuk bayi ke puting
menyediakan nutrisi c. Fasilitasi proses bantuan
bagi bayi interaktif untuk
- Diskontinuitas progresif membantu
pemberian ASI mempertahankan
- Pengetahuan pemberian keberhasilan proses
ASI : tingkat pemahaman pemberian ASI
yang ditunjukkan d. Sediakan informasi
mengenai laktasi dan
tentang laktasi dan
pemberian akan bayi
teknik memompa ASI,
melalui pemberian ASI
cara mengumpulkan dan
menyimpan ASI
e. Sediakan informasi
tentang keuntungan dan
kerugian pemberian ASI
2 Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan a. Jelaskan pada ibu
berhubungan dengan keperawatan, bayi/anak tekhnik menyusui yang
gangguan menelan terhindar dari aspirasi, benar.
dengan kriteria hasil : b. Tempatkan anak pada
Bayi menunjukkan posisi semi fowler
peningkatan kemampuan c. Sendawakan bayi
menelan, bertoleransi setelah setiap
terhadap asupan oral tanpa pemberian makan
d. Pantau status
aspirasi
pernapasan selama
pemberian makan dan
tanda-tanda aspirasi
selama pemberian
makan.
3 Hambatan komunikasi Setelah dilakukan tindakan a. Dorong pasien untuk
verbal berhubungan keperawatan, pasien tidak berkomunkasi secara
dengan kesulitan mengalami hambatan perlahan dan untuk
berbicara
komunikasi verbal, dengan mengulangi permintaan
kriteria hasil : b. Dengarkan penuh
- Mampu perhatian
mengkomunikasikan c. Anjurkan ekspresi diri
kebutuhan dengan dengan cara lain dalam
lingkungan menyampaikan
- Komunikasi ekspresi informasi (bahasa
: ekspresi pesan isyarat)
verbal atau pun non d. Kolaborasi dengan
terapi bicara
verbal bermakna
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji pernafasan anak
bersihan jalan nafas keperawatan jalan nafas b. Pertahankan bayi atau
berhubungan dengan efektif dengan kriteria hasil: anak dalam posisi tegak
benda asing dalam selama pemberian
- Bayi atau anak tetap
jalan napas
bebas dari makan.
komplikasi c. Hentikan pemberian
pernapasan yang makan jika anak batuk-
ditandai oleh batuk
d. Sendawakan bayi atau
memepertahankan
anak setelah pemberian
pernapasan lancar,
makan
serta frekuensi
e. Lakukan suction jika
teratur Diperlukan

b. Intervensi keperawatan post operasi


No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan a. Kaji bayi atau anak
dengan inisiasi tindakan keperawatan nyeri untuk
pembedahan berkurang dengan kriteria mengetahui iritabilitas
hasil : dan kegelisahan setiap
· Bayi atau anak dapat 2 jam setelah
mempertahankan tingkat pembedahan.
b. Berikan posisi/rasa
kenyamanan yang ditandai
nyaman pada bayi
oleh tangisan dan iritabilitas
c. Beri obat analgesik,
yang berkurang
sesuai program.
d. Lakukan aktivitas
pengalihan, misalnya,
permainan, kartu,
videotapes, dan
membaca buku untuk
anak yang lebih besar.
2 Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan a. Bersihkan garis sutura
jaringan kulit keperawatan diharapkan dengan menggunakan
berhubungan dengan integritas kulit baik dengan larutan salin dan
prosedur bedah kriteria hasil : aplikator berujung
· Bayi atau anak tidak kapas basah.
menderita - Oleskan salep antibiotik
sesuai program untuk
kerusakan pada integritas melembabkan mulut dan
kulit yang ditandai oleh mencegah pemisahan
sutura.
insisi tetap utuh, jahitan tidak - Pantau tanda dan gejala
meregang infeksi.
b. Beri sedikit air setelah
pemberian makan
untuk membersihkan
mulut dari setiap sisa
susu, yang dapat
menyebabkan
pertumbuhan
bakteri.
c. Pasang restrain lengan,
sesuai program.
d. Setelah pembedahan
celah bibir, posisikan
bayi atau anak dengan
baik, berbaring miring
atau telentang- jangan
posisikan telungkup-
pertahankan kepala
tempat tidur
ditinggikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alexander JD, Otteson T, Joseph E. Comprehensive Cleft Care. Dalam:


Bailey JB, Johnson JT, penyunting. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelpia: Williams and Wilkins;
2014.h.1557-73.
2. Gomes JL, Berkowitz S. Prenatal Diagnosis of Oral Clefts. Dalam:
Berkowitz S, penyunting. Cleft Lip and Palate. Edisi ke-2. Philadelpia:
Lippincott – Raven Publishers; 2016.h.13-53.
3. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher. Modul Rongga Mulut: Palatoskisis. 2008
4. Eric J, Craig W. Cleft Lip and Palate. Dalam : K.J.Lee, penyunting.
Essential Otolaryngoly Head and Neck Surgery. Edisi ke-8.Unitted Stage of
America: McGraw-Hill; 2003.h.248-257.
5. Christopoulos A. Mouth Anatomi. [diakses 17 Juli 2015] Diunduh dari:
www.emedicine.medscape.com/article/1899122.
6. Lee, Mark E. Embriology of Clefts and Pouches. Dalam : K.J.Lee,
penyunting. Essential Otolaryngoly Head and Neck Surgery. Edisi ke-8.
Unitted Stage of America: McGraw-Hill; 2003.h.232-247.
7. American Cleft palate-Craniofacial Association. ParametersFor
Evaluation and Treatment of Patients With Cleft Lip/Palate or Other
Craniofacial Anomalies. diperbaharui September 2009 [diakses 16 Juli
2015].Diunduh dari: www.acpa-cpf.org/uploads/site/Parameters
8. Cobourne MT. The Complex Genetics of Cleft Lip and Palate. European
Journal of Orthodontics. 2004; 26: 7-16.
9. Freitas JA, Neves LT, Almeida Al. Rehabilitative treatment of cleft lip and
palate. [diakses 17 Juli 2015]. Diunduh dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3928765 /
10. Marcano A, Doudney K, Braybrook C. TBX22 Mutation Are A Frequent
Couse Of Cleft Palate. [diakses 16 Juli 2015] Diunduh dari:
www.jmg.bmj.com.
11. Rashid A, Cheema JA, Farooq MS, Azeem M. Congnital Malformations
Associated With Cleft Lip and Palate. Pakistan Oral and Dental Journal.
2014; 34:605-8.
12. Eddy S, Wahyuni LK, Kartika L. Speech Outcome in Cleft Palate Patients
After Soft Palatoplasty (stage 1) in Two-Stage Palatoplasty Technique: A
Review of Two Cases. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012; 1: 409-16.
13. Royal Childrens Hospital. Cleft lip and palate infant feeding. [diakses 17
Juli 2015]. Diunduh dari: www.rch.org.au/kidsinfo/fact_sheets
14. Defry U, Frank B, Gentur S. The Incidence of Palatal Fistula Post
Palatoplasty in Children with Dental Caries: A Multi Center Study. Jurnal
Plastik Rekontruksi. 2013; 2:78-83.
15. Trice, filson. Labiopalatoskisis dalam patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit alih bahasa Peter Anugerah edisi 4. Jakarta : egc, 1995 :
402-5
16. McCabe E, Iyer A. Molecular mechanisms of DAX1 action. [diakses 17 Juli
2015]. Diunduh dari: www.karger.com/Article/PDF/195679.
17. Sullivan SR, Sivabalan V, Marrinan EM, Mulliken JB. Submucous Cleft
Palate and Velopharyngeal Insufficiency: Comparison of Speech Outcomes
Using Three Operative Techniques by One Surgeon. Cleft- Craniofacial
Journal. 2011; 48: 561-70.
18. Fria T, Paradise J. Conductive Hearing Loss In Infants and Young Children
With cleft Palate. J.Pediatr. 1987;111: 84-7.
19. Smith T, Diruggerio D. Recovery Of Eustachian Tube Function and Hearing
Outcome In Patients With Cleft Palate. Otolaryngol Head and Neck
Surg.1994;111:423-9.

Anda mungkin juga menyukai