Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KELAINAN

KONGINENTAL PADA SISTEM RESPIRASI: BRONKOMALASIA


Dosen Pengampu: Ns. Herlina, M.Kep, Sp.Kep.An

Disusun Oleh:

Kelas Tutor A Keperawatan Anak I

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S.1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018
1. Definisi
 Bronkomalasia adalah mdari dukungan tulang rawan berkurang dari saluran udara yang
lebih kecil (di bawah trakea, atau tenggorokan). Tulang rawan melemah biasanya
menyempit lebih mudah selama ekspirasi danmemperpanjang waktu, atau mencegah
dahak dan sekresi mnejadi terperangkap.Biasanya banyak menyerang pada anak usia
kurang dari " tahun. (Children’s National Health System, 2016)

 Bronkomalsia juga dapat dideskripsikan sebagai defek kelahiran pada bronkus di


traktusrespiratorius. Malasia kongenital pada saluran udara/nafas besar merupakan salah
satu dari beberapa penyebab okstruksi saluran nafas ireversibel pada anak,
dengan gejala bervariasi yang dapat berupa wheezing rekuren dan infeksi saluran
nafas bawah rekuren sampai dispneu berat dan insufisiensi respirasi (Akhyar, 2010)

2. Etiologi
Bronkomalasia paling sering terjadi pada saat lahir (kongenital) dan hingga saat ini tidak
diketahui mengapa tulang rawan tidak terbentuk dengan baik. Bronchomalacia dapat digambarkan
sebagai cacat lahir bronkus di saluran pernapasan. Malasia kongenital saluran udara besar adalah
salah satu dari beberapa penyebab obstruksi saluran napas ireversibel pada anak-anak, dengan
gejala bervariasi dari mengi berulang dan infeksi saluran udara bawah berulang untuk dispnea
berat dan insufisiensi pernapasan. Ini juga dapat diperoleh di kemudian hari karena peradangan
kronis atau berulang akibat infeksi atau penyakit saluran napas lainnya.

Bronkomalasia adalah runtuhnya dinamis dari satu atau kedua bronkus utama dan atau
divisi lobus atau segmental distal mereka yang dapat terjadi karena cacat yang melekat pada
4 kartilago atau dari kompresi extinsik. Bronkomalasia lebih sering muncul dengan trakeomalasia
dibandingkan dengan lesi yang terisolasi. bronchomalacia terlihat dominan di
sisi kiri (35,7%) dibandingkan dengan kanan (22%). Bronkomalasia paling sering terlihat
pada bronkus batang utama kiri, bronkus lobus kiri atas, bronkus lobus kanan tengah, dan
bronkus batang utama kanan, dalam urutan prevalensi menurun. ada juga dominasi laki-laki
pada lesi ini.
Pengobatan sering konservatif, karena banyak dari anak-anak ini akan membaik ketika
saluran udara mereka matang dan tumbuh dengan berjalannya waktu. Ketika Bronkomalasia
parah dan berkembang menjadi kompromi pernapasan, tracheostomy dan ventilasi tekanan
positif dapat diindikasikan. Selain itu, perawatan bedah dari sumber kompresi eksternal,
seperti dengan aortopeksi dapat membantu. Stent juga dapat digunakan, seperti yang
didiskusikan dengan Traakomalasia, tetapi mereka memiliki komplikasi serius termasuk
caut, penghilangan yang sulit, pembentukan jaringan granulasi. Dengan demikian ini harus
disediakan untuk situasi yang muncul dan bukan untuk terapi jangka panjang saat ini.

Bronkomalasia primer melibatkan defek pada kartilago. Ini dapat berasal dari
prematuritas, defek struktural tulang rawan yang melekat, atau dari ketiadaan kongenital
cincin tulang rawan di bronkus subsegmental seperti yang terlihat dengan sindrom
Williamscampbell.Rembesan saluran napas distal pada sindrom William-Campbell dapat
menyebabkan bronkiektasis. bronchomalacia sekunder terjadi dari kompresi eksternal oleh
struktur jantung diperbesar atau anomali vaskular mirip dengan trakeomalasia sekunder.
Bronchomalacia juga dapat dikaitkan dengan emfisema lobus kongenital yang menyebabkan
hiperinflasi pada jaringan yang terkena.

Secara simtomatik, pasien datang dengan gambaran yang mirip dengan trakeomalasia.
Pasien dapat mengalami stridor, mengi, batuk terus-menerus, infeksi pernapasan berulang,
gangguan pernapasan, dan sianosis. Mereka sering hadir pada masa bayi dengan infeksi
pernafasan pertama mereka. Bronchomalacia sering salah didiagnosis sebagai asma dan
dengan demikian dapat terjadi keterlambatan diagnosis. Diagnosis dan diferensiasi dari asma
dilakukan oleh bronkoskopi dengan pernapasan spontan di mana karakteristik dinamis dari
saluran napas dapat disaksikan. (Laberge, 2008)

3. Faktor Resiko
Faktor bayi
a) Usia gestasi
Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa bayi-bayi preterm (<37 minggu usia gestasi)
dengan kelainan kongenital memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-
bayi aterm (>37 minggu), dan perbedaannya secara statistik signifikan (Marwah A, 2016).

b) Jenis kelamin
Dalam beberapa studi, insidens kelainan kongenital pada bayi laki-laki lebih besar
daripada bayi perempuan, namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan. (Gandhi
MK, dkk., 2016. Marwah A, 2016).

c) Berat bayi lahir


Dalam beberapa studi dikatakan bahwa insidens kelainan kongenital pada bayi dengan
berat bayi lahir rendah (<2,5 kg) lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat bayi lahir >2,5
kg. Namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (Gandhi MK, dkk., 2016. Marwah
A, 2016).

Faktor ibu
a) Usia ibu
Dalam studi retrospektif di Amerika, terdapat hubungan yang sangat kuat antara ibu usia
muda, 13 sampai 19 tahun dengan defek lahir tertentu, seperti malformasi sistem saraf pusat,
traktur gastrointestinal, dan sistem
muskuloskeletal. (Chen dkk., 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa efek kehamilan
yang tidak diinginkan pada ibu usia muda terjadi berhubungan dengan pola hidup (life
style), latar belakang genetik, status ekonomi yang rendah, rendahnya asuransi kesehatan
dan prenatal care,
termasuk suplementasi dengan asam folat yang mengandung multivitamin. (Loane dkk.,
2009; Reichman and Pagnini, 1997; Nilsen dkk., 2006; Raatikainen dkk., 2006; Wahn and;
Nissen, 2008)

b) Hubungan keluarga orang tua (Consanguineous parents)


Istilah consanguinuinity digunakan untuk menggambarkan mereka yang menikah yang
memiliki setidaknya satu nenek moyang yang sama. Perkawinan dengan hubungan keluarga
dalam genetika populasi berangkat dari perkawinan yang tidak acak dengan pasangan yang
lebih mirip secara genetik dibandingkan mereka yang kawin secara acak dalam populasi.
Keturunan dari consanguineous parents mungkin berisiko tinggi terhadap kelainan gentik
karena ekspresi mutasi gen resesif autosomal yang diwarisi dari nenek moyang yang sama.
Semakin dekat hubungan biologis antara orang tua, semakin besar kemungkinan bahwa
keturunan mereka akan mewarisi salinan identik dari satu atau lebih gen resesif yang
merugikan.
Faktor Lingkungan
Paparan oleh agen lingkungan dapat mengganggu proses pertumbuhan normal. Risiko
memiliki kelainan kongenital setelah terpapar agen teratogen tergantung kondisi alam dan
dosis dari agen tersebut, waktu dan lama durasi paparan, adanya paparan yang bersamaan,
dan gen yang rentan dari embrio.

1) Merokok (aktif dan pasif)


Merokok selama kehamilan menyebabkan paparan zat-zat seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dikaitkan dengan sejumlah komplikasi serius selama kehamilan (Rogers JM,
2009). Peningkatan kejadian aborsi spontan, kelahiran prematur, abrupsio plasenta, growth
restriction, ruptur membran prematur, keguguran, dan kelahiran mati adalah beberapa akibat
dari paparan asap tembakau dan meningkatkan morbiditas dan mortilitas perinatal (Adgent
MA, 2006. Glinianaia SV dkk., 2004. Nabet C dkk., 2005) Mekanisme biologis bagaimana
asap tembakau mempengaruhi perkembangan janin telah diperiksa dalam penelitian terhadap
manusia dan laboratorium yang ekstensif, yang menunjukkan bahwa banyak dari 7000 bahan
kimia dapat melewati penghalang plasenta dan memiliki efek berbahaya langsung pada bayi
yang belum lahir. Penyakit infeksi pernapasan yang didapat setelah bayi lahir juga dapat
mempengaruhi kartilago saluran pernapasan.

2) Obat-obatan
Obat-obatan termasuk agen teratogen apabila dikonsumsi selama kehamilan. Dikatakan
bahwa fenitoin (hidantoin) dengan periode kritis trimester 1, dapat mengakibatkan
malformasi hiplasia falang distal, hidung pesek, pangkal hidung datar dan lebar, ptosis, bibir
sumbing dan langit-langit sumbing, retardasi mental, kemudian akan mempunyai risiko
tinggi terhadap keganasan terutama neuroblastoma. Penggunaan ACE-inhibitor (ACEI)
untuk mengobati tekanan darah tinggi juga dikatakan menyebabkan defek lahir. Penggunaan
ACEI menjadi kontraindikasi pada kehamilan trimester dua dan trimester ketiga.
Penyalahgunaan obat-obatan juga ternyata berdampak negatif bagi janin. Seperti ganja
(marijuana) dimana zat aktifnya berupa 8,9-tetrahidrokanabinol, yang larut lemak, dapat
melewati plasenta dengan mudah dan dapat bertahan pada janin selama 30 hari. Retardasi
pertumbuhan dan malformasi dilaporkan terjadi setelah penggunaan ganja selama kehamilan
khususnya pada trimester 1. (Idanpaan HJ, dkk., 1969, Klausner HA dan Dingell JV, 1973.
Robinson LL, dkk., 1989). Kokain pada janin dimetabolisme dengan lambat karena janin
memiliki aktifitas kolinesterase plasma yang rendah (Cregler LL dan Mark H, 1986). Kokain
memblok reuptake neurotransmitter di presinaps pada saraf terminal, yang menghasilkan
peningkatan level norepinefrin dan dopamin (Hodach RJ, dkk., 1975). Sehinga dapat
mengubah availabilitas dan pemakaian kalsium, dan menurunkan aliran darah dari uterus ke
plasenta (Little BB, 1989).

3) Obat tradisional (herbal dan jamu)


Obat-obatan tradisional khususnya obat herbal sangat banyak dikonsumsi di negara
berkembang. Ada alasan terntentu mengapa di negara berkembang tertarik dengan
penggunaan obat herbal. Di negara berkembang keamanan dan efektifitas beberapa herbal
dikatakan baik. Beberapa herbal yang telah diteliti dengan baik yaitu bawang putih (Allium
sativum), jahe (Zingiber officinale), ginko biloba (Ginko biloba), dan ginseng (Panax
ginseng) (Tiran D, 2003).
Dalam suatu studi dikatakan bahwa masyarakat menggunakan obat-obatan herbal digunakan
atas indikasi tertentu seperti untuk memfasilitasi persalinan, menurunkan nyeri otot dan
tubuh, mendukung kesehatan fisik bayi dan intelegensianya, dan untuk tujuan aborsi
(Rahman AA, dkk., 2008). Penggunaan obat herbal pada kehamilan trimester pertama
dikatakan dapat mengakibatkan malformasi kongenital (Noordalilati MN, dkk., 2004),
sedangkan penggunaan pada kehamilan trimester dua atau ketiga dapat mengakibatkan
fetotoksik seperti IUG (Sulaiman SA, dkk., 2001), distres janin (Mabina MH, dkk., 1997),
hipoksia janin (Varga CA dan Veale DJH, 1997), dan kematian dalam rahim (Azriani AR,
dkk., 2008).

4) Tempat tinggal
Terdapat dampak potensial pada kesehatan reproduksi dari paparan kontaminan di
tempat-tempat dengan limbah yang berbahaya, dimana produk yang paling banyak
ditemukan adalah residu pelarut, pestisida, dan logam. Ibu hamil yang tinggal di daerah
persawaan atau di daerah perkebunan akan lebih mudah terpapar oleh zat-zat agrikultural
termasuk pestisida. Dikatakan bahwa wanita yang terpapar pestisida enam kali lebih berisiko
melahirkan bayi dengan defek lahir dibandingkan mereka yang tidak terpapar (Heeren GA,
dkk., 2003)
Lokasi geografis (daerah berisiko) berhubungan dengan factor lingkungan (kontaminasi
bahan kimia) dengan kejadian kelainan kongenital. Daerah diklasifikasikan menurut
pencemaran lingkungan rata-rata (udara, biota, minyak, air, dan kontaminan kimia tertentu).
Risiko relatif besar ditemukan untuk kasus- kasus yang berada di daerah berisiko tersebut.
Kemungkinan terjadinya malformasi pada daerah ini lebih besar, dengan fokus khusus zat
kimia seperti sianida dan senyawa anorganik lainnya. (Croen dkk. 1997)
5) Penggunaan kosmetik
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa
masalah diantara tahun 1970 dan 1993 yaitu masalah reproduksi laki-laki termasuk
undescended testis dan hipospadia. Zat-zat dari lingkungan dengan kuat diduga sebagai
faktor yang berkontribusi. Dilaporkan bahwa produk kosmetik seperti makeup, shampoo,
skin lotion, nail polish dan produk perawatan lainnya mengandung bahan-bahan kimia yang
data keamanannya kurang. Terlebih lagi beberapa zat kimia tersebut telah diuji dalam studi
yang dilakukan pada binatang yang menghasilkan defek lahir pada genitalia jantan,
penurunan jumah sperma, dan outcome kehamilan yang buruk. Tidak ada evidence definitif
yang berefek sama pada manusia, tetapi paparan yang luas, khususnya phthalates telah
dibuktikan. Phthalates ini terdiri dari plastik, yang banyak terdapat pada produk kecantikan.
(Barett JR, 2005).

6) Hewan peliharaan
Beberapa hewan peliharaan ternyata mengandung berbagai jenis bakteri maupun parasit
yang dapat menyebabkan infeksi pada ibu hamil dan janinnya. Salah satu infeksi tersebut
yaitu toxoplasmosis yang disebabkan oleh toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii merupakan
parasit protozoa yang paling banyak menyebabkan penyakit. Parasit ini banyak ditemukan
pada anjing (50%), kelinci (50%), dan kucing (70%) (Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM,
2000). Toxoplasmosis adalah komponen penting dari infeksi Toxoplasma, Others (Syphilis,
Parvovirus B19, Varicella Zoster, Hepatitis B Virus), Cytomegalovirus, dan Herpes Virus
(TORCH), suatu grup infeksi yang jika menyerang selama kehamilan dapat menyebabkan
infeksi kongenital, dan defek pada janin, bahkan keguguran (Singh S, 2003)

4. Klasifikasi
Bronkomalasia dikelompokkan mejadi dua, yaitu :
1. Bronkomalasia primer
a. Disebabkan oleh defisiensi pada cincin kartilago
b. Diklasifikasikan sebagai kongenital
2. Bronkomalasia sekunder
a. Merupakan kelainan didapat (bukan kongenital)
b. Disebabkan oleh kompresi ekstrinsik (luar), dapat dari pelebaran pembuluh-pembuluh
darah, cincin vascular, atau kista bronkogenik.

5. Manifestasi Klinis
1. Gejala Bronkomalasia
a. Satu sampai empat hari sebelumnya didapat pilek encer, hidung tersumbat.
b. Demam sub-febril (kecuali infeksi sekunder oleh bakteri).
c. Puncak gejala pada hari ke-5 sakit : batuk, sesak napas, takipne, mengi,minum menurun, apne,
sianosis.
d. Bila terjadi obstruksi hebat, pernafasan menjadi lebih cepat dan dangkal, suara nafas
melemah, dan “wheezing” yang semula jelas dapat menghilang.

2. Tanda-tanda Bronkomalasia
a. Nafas cuping hidung
b. Penggunaan otot bantu napas (dada mengembang disertai retraksi interkostal dan subkostal).
c. Sesak napas, takipne, apnea.
d. Hiperinflasi dada.
e. Retraksi, expiratory effort.
f. Ronki pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
g. Ekspirasi memanjang, mengi.

6. Patofisiologi
Ketika kita hirup masuk dan keluar, udara masuk ke dalam hidung dan mulut, melalui
kotak suara (laring) ke dalam tenggorokan (trakea), yang terbagi menjadi dua cabang
(bronkus kanan dan bronkus kiri) yang terdapat di paru-paru.Trakea dan bronkus terbuat
dari cincin tidak lengkap dari tulang rawan dan jika tulang rawan ini lemah tidak dapat
mendukung jalan napas.

Pada bayi cincin tulang rawan trakea terbuka sehingga udara bisa didapatkan dari
tenggorokan ke paru-paru. Ketika cincin ini kecil, berbentuk aneh, tidak cukup kaku, atau
tidak membentuk sama sekali maka trakea dapat menutup ke dalam dirinya sendiri. Hal
ini lebih mungkin terjadi saat mengemhembuskan napas dan menangis. Hal ini dapat
menyebabkan mengi, batuk, sesak napas, dan atau napas cepat. Biasanya tulang rawan
berkembang dengan sendirinya dari waktu ke waktu sehingga tracheomalacia tidak lagi
masalah. Sementara lebih umum pada bayi, tracheomalacia tidak terjadi pada orang
dewasa. Ketika masalah yang sama terjadi di saluran napas kecil disebut bronkus itu
disebut bronchomalacia. Saluran udara dari paru-paru yang sempit atau runtuh saat
mengembuskan napas karena pelunakan dinding saluran napas.
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah pemeriksaan/inspeksi langsung terhadap laring, trakea dan bronkus,


melalui suatu bronkoskop logam standar atau bronkoskop serat optik fleksibel yang disebut
dengan bronkofibroskop.Melalui bronkoskop sebuah sikat kateter atau forsep biopsi dapat
dimasukan untuk mengambil sekresi dan jaringan untuk pemeriksaan sitologi.
Tujuan utama bronkoskopi adalah untuk melihat, mengambil dan mengumpulkan spesimen.
Indikasi bronkoskopi adalah sebagai berikut.
a. Untuk mendeteksi lesi trakeobronkial karena tumor.
b. Untuk mengetahui lokasi perdarahan.
c. Untuk mengambil benda asing (sekresi dan jaringan).
d. Untuk pemeriksaan sitologi dan bakteriologik.
e. Untuk memperbaiki drainase trakeobronkial.

Adapun prosedur tindakan bronkoskopi adalah sebagai berikut.


a. Persetujuan tindakan.
b. Puasa selama 6 jam, lebih dianjurkan 8-12 jam.
c. Lepaskan gigi palsu, kontak lensa dan perhiasan.
d. Kaji riwayat alergi terhadap obat-obatan.
e. Periksa dan catat tanda-tanda vital.
f. Premedikasi.
g. Pasien dibaringkan diatas meja dengan posisi terlentang atau semi fowlers dengan kepala
ditengadahkan atau didudukan dikursi. Tenggorok disemprot dengan anestesi lokal.
Bronkoskop dimasukan melalui mulut atau hidung.
h. Wadah spesimen diberi label dan segera dibawa ke laboratorium.
i. Lama pemeriksaan kurang lebih 1 jam.

2. CT-Scan

CT scan paru-paru merupakan salah satu metode pencitraan yang digunakan untuk
mendiagnosis dan memantau tatalaksana dari berbagai kelainan pada paru-paru. CT scan atau
pemindaian tomografi terkomputerisasi melibatkan berbagai gambar yang diambil dari sudut-
sudut yang berbeda, yang kemudian akan dikombinasikan untuk menghasilkan gambaran
melintang dan gambaran 3 dimensi dari struktur internal paru-paru.
Tujuan utama dari pencitraan ini adalah untuk mendeteksi struktur abnormal di dalam paru-
paru atau ketidakteraturan yang bisa jadi merupakan gejala yang dialami oleh pasien. Di
samping untuk mendiagnosis penyakit atau jejas pada paru-paru, CT scan juga dapat
digunakan untuk memandu pengobatan tertentu untuk memastikan ketepatan dan ketelitian.
Banyak tenaga medis profesional menggunakan CT scan paru-paru untuk menentukan
rencana pengobatan yang tepat bagi pasien, yang meliputi peresepan, pembedahan, atau
terapi radiasi.
CT scan paru-paru biasanya tergolong kedalam kategori CT scan dada atau toraks. Prosedur
untuk melakukan CT scan paru-paru meliputi penghasilan berbagai gambaran X-ray, yang
disebut dengan irisan yang dilakukan di dada atau abdomen bagian atas pasien. Irisan-irisan
tersebut kemudian dimasukkan kedalam komputer untuk melihat gambaran akhir yang dapat
dilihat dari berbagai sudut, sisi, dan bidang. Tidak seperti prosedur X-ray tradisional, CT
scan menyediakan gambaran yang lebih rinci dan akurat yang menunjukkan hingga
abnormalitas atau ketidakteraturan yang bersifat minor.
Selain itu, CT scan paru-paru lebih berguna untuk mendiagnosis tumor paru apabila
dibandingkan dengan X-ray standar pada dada. Itulah mengapa CT scan paru-paru digunakan
untuk menentukan lokasi, ukuran, dan bentuk dari pertumbuhan kanker. Prosedur pencitraan
ini juga dapat membantu mengidentifikasi adanya pembesaran nodus limfa, yang merupakan
gejala dari penyebaran sel kanker dari paru-paru.
3. MRI Dada

Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau pencitraan resonansi magnetik adalah pemeriksaan
yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar
struktur dan organ dalam tubuh. MRI dapat memberikan gambaran struktur tubuh yang tidak
bisa didapatkan pada tes lain, seperti Rontgen,USG, atau CT scan.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Time
Invasisf minimal, bersamaan dengan pemebrian tekanan udara positif yang kontinu.
b. Tekanan udara positif kontinu
Metode menggunakan respiratory ventilation.
c. Trakheotomi
Prosedur pembedahan pada leher untuk membuka/ membuat saluran udara langsung melalui
sebuah insisi di trakhe (the windpipe).

9. Komplikasi
1. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan pada paru-paru dan bronkiolus yang disebabkan oleh bakteri,
jamur ,virus, atau aspirasi karena makanan atau benda asing. Pneumonia adalah infeksi pada
parenkim paru, biasanya berhubungan dengan pengisian cairan didalam alveoli hal ini terjadi
akibat adanya infeksi agen infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tekanan saluran
trakheabronkialis (Wilson, 2006).

2. Bronkitis
Bronkhitis pada anak berbeda dengan bronchitis yang terdapat pada orang dewasa. Pada
anak, bronchitis merupakan bagian dari berbagai penyakit saluran nafas lain, namun ia dapat
juga merupakan penyakit tersendiri.Secara harfiah bronkhitis adalah suatu penyakit yang
ditanda oleh adanya inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai
suatu penyakit atau gangguan respiratorik dengan batuk merupakan gejala yang utama dan
dominan. Ini berarti bahwa bronkitis bukan penyakit yang berdiri sendiri melainkan bagian
dari penyakit lain tetapi bronkitis ikut memegang peran (Ngastiyah, 2006).
Bronkhitis berarti infeksi bronkus. Bronkitis dapat dikatakan penyakit tersendiri, tetapi
biasanya merupakan lanjutan dari infeksi saluran peranpasan atas atau bersamaan dengan
penyakit saluran pernapasan atas lain seperti sinobronkitis, laringotrakeobronkitis, bronkitis
pada asma dan sebagainya (Hunadi Santoso, 2004).

3. Polychondritis
Polychondritis adalah gangguan kronis langka yang ditandai peradangan tulang rawan yang
biasa terjadi pada telinga dan hidung. penyakit ini dikenal dengan nama lain seperti
Meyenburg Altherr Uehlinger sindrom, kronis atrofi polychondritis dan sindrom Von
Meyenburg. Penyakit ini dapat mempengaruhi tulang rawan dari setiap jenis dan jaringan
sendi, telinga, hidung dan trakea. Penyebab polychondritis diyakini gangguan autoimun.
Sistem kekebalan tubuh mulai menyerang jaringan dan tulang rawan menyebabkan
kerusakan dan peradangan. Antibodi yang dihasilkan autoimun akan menghancurkan
glycosaminoglycans yang merupakan bagian terpenting dalam jaringan ikat ditulang rawan.

4. Asma
Asma yaitu penyakit yang dikarenakan oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus
terhadap berbagai macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau
bronkhiolus dan sekresi yang berlebih-lebihan dari kelenjar-kelenjar di mukosa bronchus
(Smelzer Suzanne, 2001).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakheobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).

10. Prevalensi
Angka kematian bayi baru lahir dengan kelainan kongenital di dunia yaitusekitar 303.000
jiwa pada 4 minggu pertama setelah lahir setiap tahunnya(WHO,2016). Data World Health
Organization South-East Asia Region (WHO SEARO)tahun 2010 memperkirakan
prevalensi kelainan kongenital di Indonesia 3 adalah 59,3 per 1000 kelahiran hidup. Jika
setiap tahun lahir 5 juta bayi di Indonesia, makaakan ada sekitar 295.000 kasus kelainan
bawaan pertahun. Data laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan bahwa
sebesar 1,4% bayi baru lahir usia0-6 hari pertama kelahiran dan 19% bayi baru lahir usia
7-28 hari meninggaldisebabkan karena kelainan kongenital (Depkes, 2016).Salah satu
kelainan kongenital yang dapat ditemui yaitu bronkomalasia.Bronkomalasia adalah
masalah bawaan yang timbul dari dukungan tulang rawan berkurang dari saluran udara
yang lebih kecil (di bawah trakea, atau tenggorokan).tulang rawan melemah biasanya
menyempit lebih mudah selama ekspirasi danmemperpanjang waktu, atau mencegah dahak
dan sekresi mnejadi terperangkap.Biasanya banyak menyerang padaanak usia kurang dari
6 tahun (Children’s NationalHealth System,2016).
Prevalensi bronkomalasia di dunia sangat luas dan bervariasi secara geografis. Di Indonesia,
prevalensi bronkomalasia belum diketahui secara pasti. Bronkomalasiasendiri dapat ditangani
dengan tindakan pembedahan atau trakheotomi.
Dengan pertimbangan angka kejadian yang cukup tinggi, maka sangat perludilakukan
pencegahan yang lebih optimal. Tindakan asuhan keperawatan yang tepat pada anak dengan
kelainan kongenital bronkomalasia penting dilakukan dan harusdiperhatikan oleh perawat
untuk memberikan pelayanan yang optimal sehingga akanmembantu mengurangi dampak
yang diakibatkan.
Berdasarkan latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dibahasmengenai asuhan
keperawatan pada anak dengan bronkomalasia
11. Asuhan Keperawatan
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian

a. Aktivitas/istirahat
Gejala :
 Keletihan, kelelahan, malaise.
 Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari.
 Ketidakmampuan untuk tidur.
 Dispnea pada saat istirahat.
Tanda: Keletihan, Gelisah, insomnia.

b. Kelemahan umum/kehilangan massa otot.


Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda :
 Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat.
 Distensi vena leher.
 Edema dependent
 Bunyi jantung redup.
 Warna kulit/membran mukosa normal/cyanosis.
 Pucat, dapat menunjukkan anemi.

c. Integritas Ego
Gejala :
 Peningkatan faktor resiko.
 Perubahan pola hidup.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan/cairan
Gejala :
 Mual/muntah.
 Nafsu makan buruk/anoreksia.
 Ketidakmampuan untuk makan.
 Penurunan berat badan, peningkatan berat badan.
Tanda :
 Turgor kulit buruk.
 Edema dependen.
 Berkeringat.
 Penurunan berat badan.
 Palpitasi abdomen.
e. Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.

f. Pernafasan
Gejala :
 Batuk brassy.
 Episode batuk terus menerus.
Tanda :
 Pernafasan biasa cepat.
 Penggunaan otot bantu pernafasan.
 Bunyi nafas ronchi/wheezing.
 Perkusi hyperresonan pada area paru.
 Warna pucat dengan cyanosis bibir dan dasar kuku, abu – abu keseluruhan.
g. Keamanan
Gejala :
 Riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan.
 Adanya/berulangnya infeksi.

h. Interaksi sosial
Gejala :
 Hubungan ketergantungan.
 Kegagalan dukungan/terhadap pasangan/orang dekat.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan deformitas tulang rawan.


2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus berlebih, sekresi yang
tertahan
3. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
4. Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
5.Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakit.
6. Ansietas berhubungan dengan stressor (perubahan status kesehatan)
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Diagnosa
NO Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan intervensi Manajemen jalan nafas (186):
nafas b.d deformitas keperawatan selama 3x24 jam
Intervensi:
tulang rawan masalah intoleransi aktivitas dapat
teratasi yang dibuktikan dengan - Gunakan teknik yang
pasien menunjukkan : menyenangkan untuk
memotivasi bernafas dalam
- Pasien dapat memperpanjang
kepada anak-anak (meniup
waktu ekspirasi, dan bernafas
gelembung. Balon, peluit, dll)
dengan lebih efisien dan
efektif. - auskultasi suara nafas, catat
area yang ventilasinya
- pasien dapat melakukan
menurun atau tidak ada dan
aktifitas tanpa distress
adanya suara tambahan
berlebihan
- kelola pemberian
- setelah diajarkan pelatihan
bronkodilator, sebagaimana
otot-otot pernafasan, dapat
mestinya
menguatkan dan
mengkondisikan otot-otot Monitor Pernafasan (236):
pernafasan.
Intervensi:
- Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
- catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas, dan
retraksi pada otot
supraclaviculas dan interkosta.
- monitor suara nafas tambahan
seperti ngorok atau mengi
- monitor pola nafas (bradipneu,
takipneu, hiperventilasi, dll.)
- monitor peningkatan
kelelahan, kecemasan dan
kekurangan udara pada pasien

Monitor Tanda-tanda Vital (6680)


1. Monitor tekanan darah,
nadi, suhu, dan status
pernapasan dengan tepat.

Monitor Pernapasan (3350)


1. Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
2. Monitor suara nafas
tambahan
3. Monitor pola nafas
(misalnya : bradipneu,
takipneu, hipeventilasi)

Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas (3140):


keperawatan selama 3x24 jam 1. Posisikan klien untuk
masalah ketidakefektifan bersihan memaksimalkan ventilasi
jalan nafas dapat teratasi dengan
kriteria hasil: 2. Instruksikan bagaimana
agar bisa melakukan batuk
Ketidakefektifan efektif
bersihan jalan nafas -Klien mampu mengeluarkan secret Kolaborasi pemberian bronkodilator
2.
berhubungan dengan atau obat mukolitik bila perlu
-Tanda-tanda vital dalam rentang
mukus berlebih,
normal Berikan bantuan terapi nafas
sekresi yang tertahan
TD 120-90/90-60 mmHg, (nabulizer)

Nadi 80-100 x/menit, Konsul dengan tenaga kesehatan


terkait penggunaan tambahan oksigen
RR : 16-20 /menit, selama aktivitas dan atau tidur
Suhu 36,5- 37-5 0C
-Irama pernapasan teratur (tidak
takipneu)
Terapi aktivitas (431):
-Kedalaman inspirasi normal
1. Bantu klien beraktivitas fisik
-Kepatenan jalan nafas normal secara teratur (misalnya,
ambulasi, transfer/berpindah,
berputar dab bersihan diri),
sesuai dengan kebutuhan.
2. Monitor respon emosi, fisik,
social dan spiritual terhadap
aktivitas.
3. Bantu klien memilih aktivitas
dan pencapaian tujuan melalui
aktivitas yang konsisten
dengan kemamvuan fisik,
fisiologis dan social.
4. Berkolaborasi dengan ahli
terapis fisik, dalam
perencanaan dan pemantauan
program aktivitas, jika
memang diperlukan.
Manajemen energy (177):
1. Monitor respon oksigen klien
(misalnya tekanan nadi,
tekanan darah, respirasi) saat
perawatan maupun saat
melakukan perawatan mandiri.
Setelah dilakukan intervensi 2. Tentukan persepsi klien/orang
keperawatan selama 3x24 jam terdekat dengan pasien
masalah intoleransi aktivitas dapat mengenai penyebab kelelahan.
teratasi yang dibuktikan dengan
pasien menunjukkan :
Toleransi terhadap aktivitas (582):
Intoleran aktifitas - Saturasi oksigen ketika
berhubungan dengan beraktivitas dalam batas
ketidakseimbangan normal (95 1
3. antara suplai dan
kebutuhan oksigen
- Frekuensi nadi saat
beraktivitas dalam batas
normal
- Frekuensi pernapasan saat
beraktivitas dalam batas
normal
- Tekanan darah sistolik saat
beraktivitas dalam batas
normal
- Tekanan darah distolik ketika
beraktivitas dalam batas
normal
Daya tahan (80):
- Tidak tampak lelah

Daftar Pustaka
Smeltzer, Suzanne C.2001.buku ajar keperawatan medical bedah brunner &amp; suddarth.
Jakarta :EGC.
Speer, Kathleen Morgan.2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan
Clinical Pathway Ed.3. Jakarta : EGC.
http://www.newcastle-hospitals.org.uk/services/childrens_treatment-and
medication_bronchomalacia-in-children.aspx
https://yayanakhyar.wordpress.com/2010/02/19/bronkomalasia-
bronchomalacia/Posted on February 19, 2010

Anda mungkin juga menyukai