Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SINDROM GANGGUAN PERNAFASAN


(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

Oleh:

KELOMPOK 1 :
ALWI ANWAR RANGKUTI
ANNISA FITRI JULIAYANA
AYSHA NINDYA
MILNA YULITA
SALMA AFIFAH
SINDI FEBRI MALADIA
TIARA ZULVI PUTRI

DOSEN PEMBIMBING : Ns.DWI CHRISTINA RAHAYUNINGRUM,M.Kep

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES SYEDZA SAINTIKA PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNya kelompok dapat menyelesaikan tugas Keperawatan Anak
tentang ”Respiratory Distress Syndrom” dalam bentuk makalah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns. Dwi Christina
Rahayuningrum, M. Kep. Selaku dosen pembimbing karena adanya tugas ini
dapat menambah wawasan penulis.
Dalam Penulisan makalah ini kelompok merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki kelompok. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini agar dapat
bermanfaat bagi semua pihak di masa yang akan datang.

Padang, 4 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

A. Definisi..........................................................................................................3

B. Etiologi..........................................................................................................3

C. Patofisiologi..................................................................................................4

D. Manifestasi Klinis.........................................................................................6

E. Klasifikasi.....................................................................................................6

F. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik.......................................................7

G. Pencegahan....................................................................................................9

H. Penatalaksanaan............................................................................................9

I. Komplikasi..................................................................................................13

BAB IV..................................................................................................................29

PENUTUP..............................................................................................................29

A. Kesimpulan.................................................................................................29

B. Saran............................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang
baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan Yulianni, 2006). Secara klinis bayi
dengan RDS menunjukkan takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan
subkosta, expiratory grunting  (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan.
Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS
meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran
(Kompas, 2012).
Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan
postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode
1998 - 1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin
antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA
1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman moderen
sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara
penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah RDS.
Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-
1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan
menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6%
dari seluruh neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan
tentang kejadian RDS (WHO, 2012).
Dampak lanjut dari kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa
promotif, preventiv, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan pendidikan

1
kesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi klien agar cepat
pulih sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan secara optimal. Oleh karena itu
penulis tertarik mengangkat judul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori tentang Respiratory Distress Syndrom?
2. Bagaimana asuhan keperawatan dengan Respiratory Distress Syndrom?.

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori tentang Respiratory Distress Syndrom.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan tentang Respiratory Distress Syndrom.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang
(Mansjoer, 2002).
Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut
neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali
per menit, sianosis, merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting), dan retraksi di
daerah epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila didengar
dengan stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru. Istilah
SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya kumpulan gejala
tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya kelainan di dalam
atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom ini adalah
pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), pneumonia
aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2005).

B. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan
usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin
tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin
rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu,
15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37
minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi
dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin,
persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat

3
bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit
putih (Nelson, 1999).
Faktor-faktornya antara lain :
1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi
rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam
periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,
dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah
keluar dari paru.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa pun usia gestasinya dapat
mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of
Newborn)

C. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kola Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan
jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi

4
dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya
tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi
yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali
pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan
oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka
alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular
resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi
hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di
samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat
sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang
menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi
alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari
sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi
alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia,
hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia,

5
hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat
juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan
pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi,
dkk, 2003).

D. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi
dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada
waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan
mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai
terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada
akhir minggu pertama.
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea
atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri
dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory
grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia
(sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi,
kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus
otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar
IKA, FKUI, 1985)

E. Klasifikasi
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor
Downes. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah
jam untuk menilai progresivitasnya.
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 x/menit 60 – 80 x/menit > 80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap

6
walaupun diberi
sianosis dengan O₂
O₂
Penurunan udara Tidak ada udara
Air entry Udara masuk
masuk masuk
Dapat di dengan Dapat didengar
Merintih Tidak merintih
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Evaluasi : <3 = Gawat napas ringan


4–5 = Gawat napas sedang
>6 = Gawat napas berat

F. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah
Menunjukkan keadaan bakteriemia
 Menilai derajat hipoksemia
Analisa gas darah
 Menilai keseimbangan asam basa
Menilai keadaan hipoglikemia, karena
Glukosa darah hipoglikemia dapat menyebabkan atau
memperberat takipnea
Rontgen toraks
Mengetahui etiologi distress nafas
 Leukositosis menunjukkan adanya
infeksi
 Neutropenia menunjukkan infeksi
Darah rutin dan hitung jenis
bakteri
 Trombositopenia menunjukkan adanya
sepsis
Menilai hipoksia dan kebutuhan
Pulse oxymetri
tambahan oksigen

1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen
toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan

7
penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran
hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik
yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate
retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat
bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit
membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.

2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg
%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan
kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar
PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat
atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi
pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan
pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’
berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang
terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari
kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit),
menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.

3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan
membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat

8
pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang
terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel
ductus yang nekrotik.

G. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang belum
sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah
kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan
sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik (Gluck, 1971)
memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung
perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi yangakan lahir
tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi
kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit
membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya
surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah prematuritas.

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat
(70-80%).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati
karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang
terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti: fibrosis paru,
kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan
glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat

9
badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai
harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun
harganya amat mahal.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat
badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh
karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir
yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu
diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi
gangguan pernapasna, kesukaran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi,
kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).
Penatalaksanaan secara umum (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2010):
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5%
b. Pantau selalu tanda vital
c. Jaga kepatenan jalan nafas
d. Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal) e. Jika bayi mengalami
apneu
e. Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan g. Lakukan
penilaian lanjut
f. Segera periksa kadar gula darah
g. Pemberian nutrisi edekuat
Setelah manajemen umum segera lakukan manajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas Manajemen spesifik
dan manajemen lanjut antara lain:

10
1. Pentalaksanaan pada gangguan nafas ringan (Sudarti dan Endang
Khoirunnisa, 2010) . Gangguan nafas ringan pada bayi yang mengalami
gangguan nafas ringan disebut Transient Tacypnea of the Newborn (TTN)
yang biasanya terjadi karena bedah sesar. Kondisi ini dapat normal kembali
tanpa adanya pengobatan. Gangguan nafas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
a. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
b. Bila pernafasan memburuk atau timbul gejala sepsis, terapi untuk
mengurangi sepsis.
c. Berikan ASI bila bayi mampu menyusui, jika tidak mampu peras ASI.
d. Kurangi pemberian O₂ secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
nafas, hentikan pemberian O₂ jika frekuensi nafas antara 30-6- kali/menit.
e. Amati bayi selama 24 jam selanjutnya, jika frekuensi nafas menetap
antaran 30-60 kali/menit, tidak ada sepsis, dan tidak ada masalah lain
yang memerlukan perawatan bayi dapat dipulangkan.

2. Gangguan nafas sedang (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2010).


a. Lanjutkan pemberian O₂ dengan kecepatan aliran sedang.
b. Bayi tidak diberikan minum.
c. Ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotic (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis jika tidak ada tanda-
tanda sebagai berikut: suhu aksiler 39ºC, Air ketuban bercampur
mekonium, Riwayat infeksi intrauterine, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (>18 jam).
d. Bila suhu aksiler 34-36,5ºC atau 37,5-39ºC tangani untuk masalah suhu
abnormal dan ulang setelah 2 jam: Bila suhu masih belum stabil atau
gangguan pernafasan masih belum ada perbaikan, ambil sampel darah
dan berikan antibiotik untuk terapi kemungkinan sepsis, Jika suhu
abnormal, teruskan amati bayi. Jika suhu kembali abnormal ulangi
tahapan diatas

11
e. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam.
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan (frekuensi nafas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang):
Kurangi terapi O₂ secara bertahap, Pasang pipa lambung dan berikan ASI
peras setiap 2 jam, Bila pemberian O₂ tidak diperlukan lagi, bayi mulai
dilatih menyusui.
g. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Jika
bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O₂ selama 3 hari, bayi
dapat dipulangkan dan bayi sudah bisa diberikan ASI.

3. Gangguan Napas Berat.


Semakin kecil bayi kemungkinan terjadi gangguan nafas semakin sering dan
semakin berat. Pada bayi kecil ( berat lahir < 2500 gram atau umur kehamilan
<37 minggu) gangguan nafas kering memburuk dalam waktu 36-48 jam
pertama dan tidak banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari berikutnya
dan kemudian akan membaik pada hari ke 4-7.
a. Tentukan pemberian O₂ dengan kecepatan aliran sedang (antara rendah
dan tinggi).
b. Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis.
c. Bila bayi menunjukkan tanda pemburukan atau terhadap terhadap
sianosis sentral,naikan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika
gangguan nafas bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap
walaupun diberikan O2 100% bila kemungkinan segera rujuk bayi
kerumah sakit rujukan atau ada fasilitas dan mampu memakai ventilator
mekanik.
d. Jika gangguan nafas masih menetap selama 2 jam, pasang pipa lambung
untuk mengosongkan cairan lambung dan udara.
e. Nilai kondisi bayi 4 kali sehari apa bila ada tanda perbaikan.
f. Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi nafas menurun,
tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik), maka :

12
1) Kurangi pemberian O₂ Jangan meneruskan pemberian O₂ bila tidak
perlu hentikan pemberian O₂ bila bayi diletakkan pada udara ruangan
tanpa pemberian O₂ tidak mengalami gangguan nafas dan tampak
kemerahan.
2) Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambung.
3) Bila pemberian O₂ tak diperlukan lagi,bayi mulai dilatih dengn
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

I. Komplikasi
1. Komplikasi jangka pendek ( akut ):
a. Ruptur alveoli Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada 19
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi,
apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan
alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular.
d. Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
e. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan
yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang
menuju ke otak dan organ lain.

2. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :


a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada
bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya
volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi

13
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD
meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.

ASKEP TEORITIS
A. Pengkajian
1. Identitas klien.
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. ANC
b. PNC
c. INC
3. Riwayat imunisasi
4. Data pada saat pengkajian
5. Data pada saat masuk
6. Pemeriksaan fisik ( head to toe )
System respirasi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolar
2. Pola napas tidak efektif berhubungandengan kelelahan otot pernapasan

14
BAB III
TINJAUAN KASUS

KASUS
Bayi Ny.W dengan berat 2400 gr dirawat di Rumah sakit RSUP Dr.Soedarno, dengan diagnose gangguan system pernafasan Ibu mengatakan bayi
sering menangis, ibu merasa cemas karena anaknya rewel. Bayi tampak lemah, dan ada retaksi dada, suara nafas ronki , sianosis ada retaksi dalam, suhu
36℃, RR 86x/menit, terpasang oksigen 2 L/menit, nadi 186x/menit.

PENGKAJIAN
7. Identitas klien
a. Nama bayi : By. I
b. Jenis kelamin bayi :laki-laki
c. Tanggal lahir : 01 januari 2020
d. Usia bayi : 2 bulan
e. Nama ibu : Ny. W
f. Usia ibu : 34 tahun
8. Riwayat kesehatan
a. ANC : klien mengatakan telah memeriksa Anc nya selama 4x
b. PNC : - bagi ibu : ibu melakukan KB setelah melahirkan supaya tidak beresiko pada ibu dan bayi
- Bagi bayi : - bayi mendapatkan asi eksklusif dari ibu .

15
c. INC : ibu melahirkan bayi dengan persalinan normal.
9. Riwayat imunisasi : klien mengatakan sudah mendapatkan imunusisasi pada anaknya
10. Data pada saat masuk : -Bayi lahir pada tanggal 01 januari pada pukul 14 :00 wib
11. Pemeriksaan fisik ( head to toe )
a. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan takhipneu (> 60 x/i ), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung,
sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal
kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernafasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan nafas dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi .

1) Kepala

Bentuk kepala mesosepal, tidak terdapat benjolan, tidak terdapat luka, rambut tampak bersih, rambut berwarna hitam.

2) Mata

Pupil : Reaksi cahaya (+), Isokor Kiri-kanan

Konjungtiva : anemis

Sklera : tidak ikterik

3) Telinga

16
Telinga simetris kiri kanan, tidak ada lesi, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, telinga bersih, tidak ada oedema.

4) Hidung

Pernapasan tidak menggunakan cupping hidung, mimisan, tidak ada gangguan penciuman, tidak ada oedema.

5) Mulut

Mukosa bibir lembab, terdapat luka sariawan, tidak ada gangguan menelan, keadaan mulut bersih, gusi berdarah.

6) Leher

Tidak ada benjolan, tidak ada peningkatan JVP, tidak ada nyeri menelan.

7) Kulit

Warna kulit sawo matang, terlihat bintik-bintik merah pada kulit.

8) Dada

Pergerakan dada simetris kiri kanan, tidak ada luka dada, tidak ada nyeri dada, tidak ada penggunaan otot-otot pernapasan tambahan.

9) Paru-paru

Inspeksi : Simetris kiri kanan.

17
Palpasi : Premitus kiri kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler di kedua paru.

10) Jantung

Inspeksi           : ictus cordis normalnya terlihat.

Palpasi             : ictus cordis teraba hanya dengan satu jari.

Perkusi            : Perkusi batas jantung.(kiri, kanan, atas, bawah).

Auskultasi       : Pekak.

11) Abdomen

Inspeksi           : Abdomen tidak membuncit, tidak ada bekas luka, warna kulit merata.

Auskultasi       : Bising usus normal (Tymphani) 5-35x/i.

Palpasi             : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan lien.

Perkusi            : Perkusi semua bagian kuadran abdomen normal.

18
12) Genitalia

Anak-anak tidak terpasang kateter, genitalia bersih.

13) Anus dan rectum

Bersih, tidak terdapat hemoroid.

14) Muskuloskeletal

Akral hangat, nadi teraba, tidak ada nyeri, tidak terdapat pitting oedema.

15) Aktivitas / istirahat.

Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum.

toleransi terhadap latihan rendah.

Tanda : takikardia / takipnea, dispnea pada beraktivitas / istirahat.

kelemahan otot dan penurunan kekuatan.

16) Sirkulasi.

19
Gejala : riwayat kehilangan darah kronis, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat.

palpitasi (takikardia kompensasi).

Tanda : TD: peningkatan sistolik dengan diastolic stabil.

17) Makanan / cairan.

Gejala : penurunan masukan diet.

muntah.

Tanda : turgor kulit buruk, tampak kusut, hilang elastisitas.

18) Neurosensori.

Gejala : Kelemahan, Lesu

19) Nyeri / kenyamanan.

Gejala : nyeri dada.

Tanda : takipnea.

20
20) Pernafasan.

Gejala : nafas pendek pada istirahat dan aktivitas.

Tanda : takipnea

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DO : 1. Ketidakseimbangan infasi saat inspirasi 1.Kerusakan pertukaran gas
- berat bayi 2400 gr. 2. Pola napas tidak efektif 2.Pola napas abnormal
- suhunya 36℃
- RR:68 x permenit
-nadi 186 x permenit
- bayi tampak lemah
- ada retraksi dada
- suara nafas rongki

21
- sianosis
- ada retraksi dalam
-terpasang oksigen

DS :
- Ibu mengatakan bayi sering menangis
- Ibu merasa cemas karena anaknya rewel

DIAGNOSA MEDIS
1. ketidakefektifan pola nafas b/d keletihan otot pernafasan d/d pola nafas abnormal.
2. hambatan pertukaran gas b/d perubahan membram alveolar-kapiler ditandai dengan pola nafas abnormal.

INTERVENSI
DIAGNOSA NOC NIC AKTIVITAS
1. ketidakefektifa Status pernafasan Manajemen jalan 1. posisikan pasien
n pola nafas b/d dengan indikator : nafas untuk
keletihan otot frekuensi pernafasan memaksimalkan
pernafasan d/d pola dipertahankan pada ventilasi.
nafas abnormal. deviasi berat dari 2. buka jalan nafas

22
kisaran normal (1) dengan terkait chin
ditingkatkan ke lift atau jaw
deviasi sedang dari thruse,sebagaimana
kisaran normal (3) mestinya.
3. identifikasi
kebutuhan actual atau
potensial pasien untuk
mamasukan alat
membuka jalan nafas.
4. lakukanlah
fisioterapi
dada,sebagaimana
mestinya.
5. auskultasi suara
nafas,catat area yang
fentilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara
tambahan.
2. Hambatan Status pernafasan : Terapi oksigen 1. bersihkan mulut
pertukaran gas b/d pertukaran gas dengan hidung dan sekresi

23
perubahan membrane indikator sianosis trakea dengan tepat.
alveolar-kapiler dipertahankan pada 2. siapkan peralatan
ditandai dengan pola sangat berat (1) oksigen dan berikan
nafas abnormal. ditingkatkan kecukup melalui system
(3) humidifier.
3. monitor alira
oksigen.
4. monitor posisi
perangkat (alat)
pemberian oksigen.
5. pemeriksa
perangkat (alat)
pemberian oksigen
secara berkala untuk
memastikan bahwa
konsentrasi (yang
telah)ditentukan
sedang diberikan.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

24
Tanggal – jam NDX IMPLEMENTASI EVALUASI
2 maret 2020 1 i. posisikan pasien S : Dada klien
08.00 untuk Nampak sesak
memaksimalkan
ventilasi. O : suhu pasien waktu
08.15 2 ii. membuka jalan bangun tidur 37,5
nafas dengan terkait
chin lift atau jaw A : ada masalah
thruse,sebagaimana P:Intervensi
mestinya. ,implementasi
08.30 3 iii. mengidentifikasi dilanjutkan
kebutuhan actual atau
potensial pasien untuk
mamasukan alat
membuka jalan nafas.
08.45 4 iv. melakukan
fisioterapi
dada,sebagaimana
mestinya.
09.00 5 v. mengauskultasi
suara nafas,catat area

25
yang fentilasinya
menurun atau tidak
ada dan adanya suara

Tanggal – jam NDX IMPLEMENTASI EVALUASI


03 maret 2020 1 i. membersihkan S : klien mengatakan
08.30 mulut hidung dan nafas masih sesak
sekresi trakea dengan O : terapi oksigen
tepat. masih dilakukan
08.45 2 ii. mempersiapkan A : adanya masalah
peralatan oksigen dan P:
berikanmelalui system intervensi,implementasi
humidifier. masih di lanjutkan.
09.00 3 iii. memonitor alira
oksigen.
09.15 4 iv. memonitor posisi
perangkat (alat)
pemberian oksigen.
09.30 5 v.memeriksa
perangkat (alat)
pemberian oksigen
secara berkala untuk

26
memastikan bahwa
konsentrasi (yang
telah)ditentukan
sedang diberikan.

27
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik.

28
29
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. 2017. Nanda Internasional Inc Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi
2015-2017 Edisi 10.Jakarta: EGC

Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk


Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi
2. Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai