Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

GAWAT NAFAS PADA BAYI (RDS)

Dosen : Ns.HENDRA M.Kep, WOCTN

Disusun Oleh Kelompok 4 :

DARMANSYAH
EMMY ILMAYANTI
JANATIN AWALIAH
SATIYAH
SUHARDI

DIII KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN PONTIANAK 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah
yang digunakan unyuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru(Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di
kenal denga nama hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit
membrane hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukn membran hialin
yang melapisi alveoli.

RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik


dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia
kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya,
semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS.

Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada


bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada
bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup
bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada
bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi
perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada
bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta
perdarahan antepartum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan
masalahnya Sindrom Gawat Napas pada Bayi
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memperoleh wawasan mengenai
Sindrom Gawat Napas pada Bayi (RDS).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui jenis penyakit pada bayi terutama pada penyakit Respiratory
Dystres Syndrom.
2. Dapat membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan Respiratory
Dystres Syndrom.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Secara Teoritis
Menambah khasanah ilmu terutama dalam keperawatan khususnya
mengenai respiratory distress syndrome (salah satunya).
1.4.2 Secara Praktis
1. Bagi Kelompok
Untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai respiratory
distress syndrome sehingga terpacu untuk meningkatkan potensi diri
sehubungan dengan penaggulangan Sindrom Gawat Napas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan acuan dan menambah
wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa ilmu
keperawatan dalam hal upaya pencegahan yang berhubungan dengan
Sindrom Gawat Napas pada Bayi yang sebaiknya dimulai sedini
mungkin.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Hyaline Membrane Disease ( HMD ) dikenal juga sebagai respiratory


distress sydrome yang idiopatik, merupakan keaadaan akut yang terutama
ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering
pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat
dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29
minggu mengalami RDS.

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane


Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang
(Mansjoer, 2002).

Sindrom gawat nafas ( respiratory distress syndroma, RDS ) adalah


kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi
pernafasan besar 60 x/mnt, sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi
didaerah epigastrium, suprosternal, interkostal pada saat inspirasi (Ngatisyah,
2005).

Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem


pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).
2.2 Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu
ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi
RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala
tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom
ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga
tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru
yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH), pneumonia, aspirasi.

2.3 Faktor Resiko

1. Prematuritas
2. Kelompok bayi baru lahir Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi
IRDS, sel-sel alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia
gestasi antara 28 dan 32 minggu.
Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :
a. Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk.
Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang
sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan
atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS
b. Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-
lipat.
Ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus
dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan.
c. Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembang.
Mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan
alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.
3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayi
yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin. Tampaknya isulin
yang disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan.

2.4 Gambaran Klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul
iaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang
ditandai dengan takipnea (> 60 x/mnt), pernafasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam
pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4
stadium RDS yaitu : pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
sedikit bronchogram udara. Kedua, bercak retikulogranular homogen pada
kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas
dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white
lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe:

0 1 2
FrekuensiNafas < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Retraksi Tidakadaretraksi Retraksi ringan Retraksiberat
Sianosis Tidaksianosis Sianosis hilang dengan Sianosis
O2 menetap
walaupun
diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan
udara masuk
Merintih Tidakmerintih Dapat didengar dengan Dapat didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe

Skor< 4 Gangguan pernafasan ringan


Skor 4 5 Gangguan pernafasan sedang
Skor> 6 gangguan pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah
harus dilakukan)

2.5 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan
fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya
surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu
menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu
kesehatan anak, 1985 ).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar
yang rendah. Kekurangan atau ketidak matangan fungsi surfaktan
menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
ekspirasi. Tanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan
disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi
sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya
janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini
daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan
meningkatnya kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan
aliran darah pulmonal. Di samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan
pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arterious di foramen ovale.
Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah
konstruksi vaskularisasi pulmonal yag menimbulkan penurunan oksigenisasi
jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobic. Metabolisme
anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis
metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi
ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini
melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas. Atlektasis menyebabkan
paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida dari sisa pernapasan
sehingga terjadi asidosis respiratorik.
Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan
penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi alveolar , PaO2 akan menuru tajam,
PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi
surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi
normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam
hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat
menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma
akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanna pernapasan
yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.
RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa
deteriosasi ( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan
membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan
meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn

Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results
may take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample
usually used unless high oxygen requirement)
Test Indication
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count with
differential
Neutropenia correlates with bacterial infection
Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia
Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Keperawatan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan
untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


1. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling
sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus
dektrosa 5 %
a) Pantau selalu tanda vital
b) Jaga patensi jalan nafas
c) Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)

2. Jika bayi mengalami apneu


a) Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
b) Lakukan penilaian lanjut

3. Bila terjadi kejang potong kejang


4. Segera periksa kadar gula darah
5. Pemberian nutrisi adekuat

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai


dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:

Gangguan nafas ringan


Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan
pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tacypnea of the
Newborn (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.

Gangguan nafas sedang


1. Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
2. Bayi jangan diberi minum
3. Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
a. Suhu aksiler <> 39C
b. Air ketuban bercampur mekonium
c. Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban
pecah dini (> 18 jam)
4. Bila suhu aksiler 34- 36,5 C atau 37,5-39C tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
a. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar
seposis
b. Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
5. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
6. Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
7. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi
o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2
jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah
satu cara pemberian minum
8. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila
bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari,
minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi
dapat dipulangkan
Gangguan nafas ringan
1. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
2. Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala
sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani
gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
3. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
4. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60
kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber
alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa
juga berbentuk surfaktan buatan )

2.8 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :


1. Kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (
pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan
gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena,
kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan
oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD):
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen
pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan
ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60
kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal,
pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan
tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara
nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara,
nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat
dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.

Penilaian fungsi respirasi meliputi:


1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok,
diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan
insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan
ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang
merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
2) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung,
retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas
dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan
ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha
pernafasan.
3) Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba
dingin.

Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:


1) Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress,
ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
2) Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan
aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada
satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya
aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk
dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis.
Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
a. Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)
b. Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit
ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau
kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya
tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.
c. Perfusi pada otak dan respirasi
d. Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi
agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi
penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi
pupil.

4. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan
dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya
sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea
yang kurang tepat.
3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan
nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan
ventilator yang kurang tepat.
4) Resiko injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa; O2
dan CO2 dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.
5) Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi,
sekunder dari situasi krisis pada bayi.
6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
yang tidak disadari (insensible water loss).
7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya
absorpsi.

5. Intervensi Keperawatan
Dx. 1
1) Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
KH: - Jalan nafas bersih
- Frekuensi jantung 100-140 x/i
- Pernapasan 40-60 x/i
- Takipneu atau apneu tidak ada
- Sianosis tidak ada
Intervensi
a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap
dalam posisi mengendus
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung,
apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah
terjadinya distres pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan
selang endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih
f. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian
surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak
dan oksigen
Rasional: mencegahhipoksemia dan distensiparu yang berlebihan.

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan,
batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih
dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan
usaha dalam bernafas
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan
fremitus
Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan
adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
c. Catat karakteristik dari suara nafas
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang
tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau
sumbatan lain dari saluran nafas
d. Catat karakteristik dari batuk
Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan
etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang
banyak, tebal dan purulent
e. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas
tambahan bila perlu
Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada indikasi
Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
a. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai
indikasi
Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
b. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
c. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi
dada/vibrasi jika ada indikasi
Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan
otot-otot pernafasan
d. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas
sekret dan meningkatkan ventilasi

Diagnosa 3.
Tindakan :
Independen
a. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola
nafas
Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan usaha nafas
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti
crakles, dan wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles
terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada
jalan nafas
c. Kaji adanya cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang
indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku
dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan
beristirahat
Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
a. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan
tekanan yang sesuai
b. Berikan pencegahan IPPB
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
c. Review X-ray dada
Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
d. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant
Untuk mencegah ARDS
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus
dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu
gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada
bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi
cukup bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih
tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-
laki dari pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan
frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibuyang menderita
gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita
diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
b. Saran
Saran yang dapat diberikan dari makalah ini adalah laksanakanlah
penatalaksanaan yang sebaik-baiknya pada neonatus dengan sindroma gawat
nafas ini, sehingga pada akhirnya akan dapat menurunkan angka kematian
neonatus.
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat melakukan pengkajian yang lebih lengkap
untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mampu memberikan asuhan
yang kompeten bagi pasien. Mahasiswa juga diharapkan dapat
mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama proses pembelajaran di
lapangan.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan bimbingan yang seoptimal mungkin dari pendidik lapangan
dalam membimbing mahasiswa di lapangan dalam memberikan asuhan
kebidanan dan keperawatan bagi pasien sehingga mahasiswa dapat
mengevaluasikan teori dan praktek yang telah diperolehnya. Bagi pasien
dan keluarga. Diharapkan kepada klien agar menerapkan asuhan
keperwatan yang telah diberikan baik berupa tindakan pencegahan
maupun dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Surasmi, Asrinin. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC Sabtu : 25-
10-2009/11.15 WIB FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta:
EGC
Ladewig,patricia,dkk.2006. Buku Saku Asuhan Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir
Edisi 5.Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
Ngatisyah.2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004) Surasmi, Asrining,
dkk.2003.
Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis dapat ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah "Gawat Nafas Pada Anak" tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu
dalam kesempatan ini Penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing dan semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya, untuk itu
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, atas kritik dan sarannya,
Penulis mengucapkan terimakasih.

Pontianak, Februari 2017

Kelompok 4

Anda mungkin juga menyukai