DARMANSYAH
EMMY ILMAYANTI
JANATIN AWALIAH
SATIYAH
SUHARDI
DIII KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN PONTIANAK 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
1. Prematuritas
2. Kelompok bayi baru lahir Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi
IRDS, sel-sel alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia
gestasi antara 28 dan 32 minggu.
Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :
a. Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk.
Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang
sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan
atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS
b. Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-
lipat.
Ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus
dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan.
c. Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembang.
Mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan
alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.
3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayi
yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin. Tampaknya isulin
yang disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan.
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul
iaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang
ditandai dengan takipnea (> 60 x/mnt), pernafasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam
pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4
stadium RDS yaitu : pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
sedikit bronchogram udara. Kedua, bercak retikulogranular homogen pada
kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas
dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white
lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe:
0 1 2
FrekuensiNafas < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Retraksi Tidakadaretraksi Retraksi ringan Retraksiberat
Sianosis Tidaksianosis Sianosis hilang dengan Sianosis
O2 menetap
walaupun
diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan
udara masuk
Merintih Tidakmerintih Dapat didengar dengan Dapat didengar
stetoskop tanpa alat
bantu
2.5 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan
fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya
surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu
menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu
kesehatan anak, 1985 ).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar
yang rendah. Kekurangan atau ketidak matangan fungsi surfaktan
menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
ekspirasi. Tanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan
disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi
sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya
janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini
daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan
meningkatnya kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan
aliran darah pulmonal. Di samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan
pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arterious di foramen ovale.
Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah
konstruksi vaskularisasi pulmonal yag menimbulkan penurunan oksigenisasi
jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobic. Metabolisme
anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis
metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi
ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini
melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas. Atlektasis menyebabkan
paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida dari sisa pernapasan
sehingga terjadi asidosis respiratorik.
Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan
penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi alveolar , PaO2 akan menuru tajam,
PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi
surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi
normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam
hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat
menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma
akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanna pernapasan
yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.
RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa
deteriosasi ( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan
membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan
meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.
Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results
may take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample
usually used unless high oxygen requirement)
Test Indication
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count with
differential
Neutropenia correlates with bacterial infection
Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia
Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Keperawatan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan
untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
2.8 Komplikasi
3. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60
kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal,
pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan
tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara
nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara,
nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat
dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.
4. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan
dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya
sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea
yang kurang tepat.
3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan
nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan
ventilator yang kurang tepat.
4) Resiko injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa; O2
dan CO2 dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.
5) Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi,
sekunder dari situasi krisis pada bayi.
6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
yang tidak disadari (insensible water loss).
7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya
absorpsi.
5. Intervensi Keperawatan
Dx. 1
1) Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
KH: - Jalan nafas bersih
- Frekuensi jantung 100-140 x/i
- Pernapasan 40-60 x/i
- Takipneu atau apneu tidak ada
- Sianosis tidak ada
Intervensi
a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap
dalam posisi mengendus
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung,
apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah
terjadinya distres pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan
selang endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih
f. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian
surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak
dan oksigen
Rasional: mencegahhipoksemia dan distensiparu yang berlebihan.
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan,
batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih
dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan
usaha dalam bernafas
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan
fremitus
Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan
adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
c. Catat karakteristik dari suara nafas
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang
tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau
sumbatan lain dari saluran nafas
d. Catat karakteristik dari batuk
Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan
etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang
banyak, tebal dan purulent
e. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas
tambahan bila perlu
Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada indikasi
Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
a. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai
indikasi
Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
b. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
c. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi
dada/vibrasi jika ada indikasi
Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan
otot-otot pernafasan
d. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas
sekret dan meningkatkan ventilasi
Diagnosa 3.
Tindakan :
Independen
a. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola
nafas
Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan usaha nafas
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti
crakles, dan wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles
terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada
jalan nafas
c. Kaji adanya cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang
indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku
dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan
beristirahat
Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
a. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan
tekanan yang sesuai
b. Berikan pencegahan IPPB
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
c. Review X-ray dada
Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
d. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant
Untuk mencegah ARDS
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus
dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu
gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada
bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi
cukup bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih
tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-
laki dari pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan
frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibuyang menderita
gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita
diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
b. Saran
Saran yang dapat diberikan dari makalah ini adalah laksanakanlah
penatalaksanaan yang sebaik-baiknya pada neonatus dengan sindroma gawat
nafas ini, sehingga pada akhirnya akan dapat menurunkan angka kematian
neonatus.
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat melakukan pengkajian yang lebih lengkap
untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mampu memberikan asuhan
yang kompeten bagi pasien. Mahasiswa juga diharapkan dapat
mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama proses pembelajaran di
lapangan.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan bimbingan yang seoptimal mungkin dari pendidik lapangan
dalam membimbing mahasiswa di lapangan dalam memberikan asuhan
kebidanan dan keperawatan bagi pasien sehingga mahasiswa dapat
mengevaluasikan teori dan praktek yang telah diperolehnya. Bagi pasien
dan keluarga. Diharapkan kepada klien agar menerapkan asuhan
keperwatan yang telah diberikan baik berupa tindakan pencegahan
maupun dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Surasmi, Asrinin. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC Sabtu : 25-
10-2009/11.15 WIB FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta:
EGC
Ladewig,patricia,dkk.2006. Buku Saku Asuhan Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir
Edisi 5.Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
Ngatisyah.2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004) Surasmi, Asrining,
dkk.2003.
Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis dapat ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah "Gawat Nafas Pada Anak" tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu
dalam kesempatan ini Penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing dan semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya, untuk itu
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, atas kritik dan sarannya,
Penulis mengucapkan terimakasih.
Kelompok 4