Anda di halaman 1dari 14

1.

DEFINISI

Respiratory distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung
dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).

Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas
dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan
pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi suprasternal, interkostal, dan
epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin, dimana terjadi
perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat
mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).

Respiratory distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin, biasanya
dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling serius (Meadow & Newell,
2005).

2. ETIOLOGI

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena
ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom
ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks /
pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
Faktor risiko terjadinya respiratory distress syndrome adalah :

a. Bayi kurang bulan atau bayi premature


Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan
surfaktan uang melapisi rongga paru.
b. Kegawatan neonatal
Seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium, pnemotoraks
akibat tinadakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal.
c. Bayi dari ibu diabetes mellitus
Pada bayi dengan diabetes terjadi keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi
distress respirasi.

(Warman et al., 2012)

3. Manifestasi Klinis
a. Sesak nafas atau pernafasan cepat
b. Frekuensi nafas > 60 x/menit
c. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit)
(Suryanah, 1996).
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda 0 1 2 Keterangan
Frekuensi < 60 x/menit 60-80 > 80 x/menit Skor < 4
nafas x/menit tidak gawat
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat nafas
Sianosis Tida sianosis Hilang Menetap Skor 4-7
dengan O2 walaupun gawat nafas
diberikan O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk
Merintih atau Tidak Terdengar Terdengar Skor > 7
grunting merintih dengan tanpa alat ancaman
stetoskop bantu gawat nafas

4. Patofisiologi

RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang
disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut
sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max
pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Surfaktan
berperan sebagai substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak
terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas
residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang
merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi
dan kolaps alveoli saat ekspirasi.

Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh
karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan
napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negative
intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya,
setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran).
Sebagai akibat, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini
daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya
kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidakmampuan
mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis.

RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan
mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan
membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan
produksi dan ketersediaan materi surfaktan
5. Pemeriksaan Penunjang

a. Tes Kematangan Paru


1) Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan
paru.
2) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion
yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur
yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion :
ethanol ) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,
mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya
neonatal RDS.
b. Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia.
Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
c. Radiografi Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass
bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air
bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli
yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin
dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal , patent ductus arteriosus (PDA),
kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi
surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat
(Warman et al., 2012).
6. Komplikasi

a. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :


1) Kebocoran alveoli
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel, pada bayi dengan
RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau
bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan
jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3) Perdarahan intrakranial
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
b. Komplikasi jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan
penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka
panjang yang sering terjadi :
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
2) Retinopathy prematur
(Azizah, 2013).

7. Penatalaksanaan

a. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek
pada sistem kardiopulmonal.
Tujuan :
Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran
gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta
tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.
Indikasi :
1) Indikasi absolut
a) prolonged apnea
b) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan tipe sianotik
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d) Bayi yang menggunakan anestesi umum
2) Indikasi relatif
a) Frequent intermittent apnea
b) Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas
c) Pada pemberian surfaktan
(Effendi & Firdaus, 2010).
b. Terapi surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan
natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paru-paru domba atau babi.
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi
mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat
diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi
memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung
melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam
selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer
paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit.
Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan
ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus,
2010).
Nama produk surfaktan Dosis Dosis tambahan
Galfactant 3 Dapat diulang sampai 3
ml/KgBB kali pemberian dengan
interval tiap 12 jam
Beractant 4 Dapat diulang setelah 6
ml/KgBB jam, sampai total 4
dosis dalam 48 jam
Colfosceril 5 Diberikan dalam 4
ml/KgBB menit Dapat diulang
setelah 12 dan 24 jam
Porcine 2,5 Dosis 1,25 ml/KgBB
ml/KgBB dapat diberikan tiap 12
jam
c. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)
Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat untuk
mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernafasan sp
ontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana
respiratory distress pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat
menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu
memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran
nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu,
bradikardia, dan episode sianotik.
Kontra indikasi :
1) Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan support
ventilator
2) Respirasi yang irreguler
3) Adanya anomali kongenital
4) Hernia diafragmatika
5) Fistula tracheo-oeshophageal
6) Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan pemasangan n
asal prong
7) Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila mendapatkan support
ventilator
(Effendi & Ambarwati, 2014).
d. Extracorporeal Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang menghubungkan
langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen
ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan
pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru
dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator.
(Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress syndromeadalah :
a. Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan
pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan, kualitas dan
suara jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap
pemberian atau terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam
pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.
b. Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor,
membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan berikan
selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.
c. Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan
memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah dengan
memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output,
memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.
d. Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir sesuai
kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.
e. Pemberian antibiotik.
Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau
ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
(Hidayat, 2008).
8. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian
1) Biodata
Respiratory distress sindrome merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan pada
neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir rendah (BBLR).
Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi <
28 minggu (Tobing, 2004).
2) Keluhan utama
Adanya dispnea yang akan diikuti dengan takipnea, pernafasan cuping hidung, retraksi
dinding toraks, dan sianosis (Tobing, 2004).
3) Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Pada bayi yang mengalami respiratory ditress sindrome adalah sesak nafas atau
pernafasan cepat, frekuensi nafas > 60 x/menit, pernafasan cepat dan dangkal timbul
setelah 6-8 jam setelah lahir, retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada
inspirasi, sianosis dan pernafasan cuping hidung, grunting pada ekspirasi (terdengan seperti
suara rintihan saat ekspirasi), dan takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
b) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu prematuritas dan masa kehamilan
bayi (Tobing, 2004)..
c) Riwayat penyakit keluarga
Faktor – faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan terjadinya
respiratory distress sindrome adalah riwayat kehamilan sebelumnya, bedah caesarea,
diabetes, ketuban pecah lama, penyakit ibu(Tobing, 2004).
4) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum pasien dengan respiratory distress syndrome di dapatkan kesadaran
yang baik atau composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
b) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
B1 (Breathing)
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda
lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis
metabolik, frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi,
kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan
klinik.Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding
dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan
kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan(Adun, 2012).
B2 (Blood)
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi
perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya
aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang
memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis (Adun, 2012).
B3 (Brain)
Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi, penurunan suhu tubuh(Adun, 2012).
B4 (Bladder)
Pada ginjal terjadi penurunan produksi atau laju filtrasi glomerulus(Somantri, 2009).
B5 (Bowel)
Pasien biasanyan mual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan statis vena di
dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan(Somantri, 2009).
B6 (Bone)
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled),
tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin (Adun, 2012).
ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
KEPERAWATAN
1. 1 DS: - Surfaktan Bersihan jalan
DO: nafas tidak efektif
Bayi tampak sesak
Frekuensi nafas > 80
kali/menit
Terdapat lendir dari mulut
bayi
Cairan berwarna kekuningan
2. 2 DS:- Gangguan Hipotermi
DO: termoregulasi
Suhu tubuh dibawah normal
< 36,3 C
Bayi terasa dingin
Bayi dirawat dalam
inkubator

3. 3 DS:- Immatur pada paru Gangguan


DO: pertukaran gas
Reflek hisap lemah
Bayi tampak lemah
Bayi dirawat dalam
inkubator
Bayi tampak sesak
Terjadi retraksi dinding dada

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Hipotermi
c. Gangguan pertukaran gas
INTERVENSI KEPERAWATAN
No DIAGNOSA NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Bersihan jalan nafas Tujuan:  Catat perubahan dalam
tidak efektif bernafas dan pola nafasnya
 Pasien bebas dari
 Observasi dari penurunan
dispneu
pengembangan dada dan
Mengeluarkan
peningkatan fremitus
sekret tanpa
 Catat karakteristik dari
kesulitan
suara nafas
 Memperlihatkan
 Catat karakteristik dari
tingkah laku
batuk
mempertahankan
 Pertahankan posisi
jalan nafas
tubuh/posisi kepala dan
gunakan jalan nafas
tambahan bila perlu
 Kaji kemampuan batuk,
latihan nafas dalam,
perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada
indikasi
 Peningkatan oral intake
 Kolaboratif
Berikan oksigen, cairan IV,
tempatkan di kamar
humidifier sesuai indikasi
 Mengeluarkan sekret dan
meningkatkan transport
oksigen
 Meningkatkan drainase
sekret paru, peningkatan
efisiensi penggunaan otot-
otot pernafasan
 Hipotermi  Tujuan :  Pengobatan Hipotermi
 Suhu axila 36-  Pindahkan bayi dari
37˚C lingkungan yang dingin ke
 RR : 30-60 dalam lingkungan / tempat
X/menit yang hangat (didalam
 Warna kulit inkubator atau lampu sorot)
merah muda  Segera ganti pakaian bayi
yang dingin dan basah
dengan pakaian yang
 Tidak ada hangat dan kering, berikan
distress selimut.
respirasi  Monitor gejala dari
 Tidak hopotermia : fatigue, lemah,
menggigil apatis, perubahan warna
 Bayi tidak kulit
gelisah  Monitor status pernafasan
 Bayi tidak  Monitor intake dan output
letargi

 Gangguan  Tujuan:  Monitor Respirasi:


pertukaran gas  Pasien  Monitor rata-rata irama,
menunjukkan kedalaman dan usaha untuk
peningkatan bernafas.
ventilasai dan  Catat gerakan dada, lihat
oksigenasi kesimetrisan, penggunaan
adequat otot bantu dan retraksi
berdasarkan dinding dada.
nilai AGD  Monitor suara nafas,
sesuai saturasi oksigen, sianosis
parameter  Monitor kelemahan otot
normel pasien diafragma
 Menunjukkan  Catat onset, karakteristik
fungsi paru dan durasi batuk
yang normal  Catat hasil foto rontgen
dan bebas dari
tanda-tanda
distres  Terapi Oksigen (3320) :
pernafasan  Kelola humidifikasi oksigen
sesuai peralatan
 Siapkan peralatan
oksigenasi
 Kelola O2 sesuai indikasi
 Monitor terapi O2 dan
observasi tanda keracunan
O2
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier : St. Louis
Missouri
Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/50783794/AKB-INDONESIA
Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009

Anda mungkin juga menyukai