Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Keperawatan Anak I

Disusun Oleh :
1. Ainun Jariah (11194561920081)
2. Novi Mahrita (11194561920110)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2019
BAB I

A. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease
(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang (Mansjoer, 2017).

Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut
neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit;
sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah
epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan
stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru.

Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya kumpulan


gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya kelainan di
dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom ini adalah
pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), pneumonia
aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2016).

B. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan
usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin
tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan,
semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2017).

PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu,
15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37
minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan
bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi
janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya
riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki
atau kulit putih (Nelson, 2016).
Faktor-faktornya antara lain :
1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi
rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada neonaatus
dan lain-lain. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,
aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan hipertensi
pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain. Bayi
yang lahir dengan operasi sesar, berapa pun usia gestasinya dapat mengakibatkan
terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn)

C. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.

Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus


sehingga tidak terjadi kola Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan
jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi
dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya
tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi
yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama
kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan
oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka
alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelektasis.

Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular


resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi
hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di
samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.

Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang


menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat
sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang
menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin.

Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa
pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi
alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.

Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia,
hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat
juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan
pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining
Surasmi,dkk,2017)
D. Phatway
E. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat badan
100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan
berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu
lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan mulai
tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat
pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir
minggu pertama.

Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea
atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri
dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory
grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi,
kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus
otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar
IKA, FKUI, 2015)

F. Klasifikasi
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Downes.
Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk
menilai progresivitasnya.
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
60-80
Frekuensi napas < 60 x/menit > 80 x/menit
x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis menetap
Sianosis hilang
Sianosis Tidak ada sianosis walaupun diberi
dengan O₂
O₂
Penurunan udara Tidak ada udara
Air entry Udara masuk
masuk masuk
Dapat di dengan Dapat didengar
Merintih Tidak merintih
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi : < 3 = Gawat napas ringan
4 – 5 = Gawat napas sedang
> 6 = Gawat napas berat

G. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan.

Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah
Menunjukkan keadaan bakteriemia

 Menilai derajat hipoksemia


Analisa gas darah
 Menilai keseimbangan asam basa
Menilai keadaan hipoglikemia, karena
Glukosa darah hipoglikemia dapat menyebabkan atau
memperberat takipnea
Rontgen toraks
Mengetahui etiologi distress nafas

 Leukositosis menunjukkan adanya infeksi


 Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
Darah rutin dan hitung jenis
 Trombositopenia menunjukkan adanya
sepsis
Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan
Pulse oxymetri
oksigen

1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya
pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan
pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini,
makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan
radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin,
walaupun manifestasi klinis belum jelas.

2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah :
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO 2 menurun disebabkan
kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar
PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat
atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi
pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula
perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung
compliance’ berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital
capacity’ yang terbatas.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan
dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke
kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit),
menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.

3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian
paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari
fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang
nekrotik.

H. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang belum
sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah
kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan
sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik (Gluck, 2015)
memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung
perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion.

Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi yang akan lahir
tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi
kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit
membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya
surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah prematuritas.

I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam
inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).

b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena


berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu
banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina
(fibroplasias retrolental), dll.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan


homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-
10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi
dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.

d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk


mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan
eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat
mahal.

2. Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan
lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu,
bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang
demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu
diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi
gangguan pernapasna, kesukaran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi,
kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2015).

3. Penatalaksanaan secara umum (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2016):


a) Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5%
b) Pantau selalu tanda vital
c) Jaga kepatenan jalan nafas
d) Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal). Jika bayi mengalami
apneu
e) Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan g. Lakukan penilaian
lanjut
f) Segera periksa kadar gula darah
g) Pemberian nutrisi edekuat
h) Setelah manajemen umum segera lakukan manajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas

J. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi 3 hal:
1) Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada 19 bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya
asidosis yang menetap
2) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi
3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik
4) PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya. Komplikasi
jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam
paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
2) Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

Anda mungkin juga menyukai