Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

RDS (Respiratory Distress Syndrome)

Oleh :
Baridatul Ulum
NIM : 2131800053

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON-PROBOLINGGO
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEVINISI
RDS (Respiratory Distress Syndrome) adalah penyakit yang
diderita oleh bayibaru lahir yang disebut juga dengan penyakit membrane
hialin dimana penyebab dari penyakit ini diduga karena prematuritas dan
penyakit ini paling banyak diderita oleh bayi yang dilahirkan sebelum usia
28 minggu. Abnormalitas yang terjadi pada bayi premature adalah adanya
insufisiensi surfaktan paru sehingga menyebabkan kegagalan paru untuk
berkembang setelag lahir.RDS disebut dengan penyakit membrane hialin
karena membrane ini melapisi bronkus respiratorius, duktus alveolus, dan
sel alveolus, ketika bayi yang dilahirkan memiliki reaksi inflamasi
neutrofil yang menyebabkan adanya lesi pada membrane ini maka akan
muncul gejala gagal nafas karena paru-paru masih belum berfungsi dengan
sempurna pada bayi premature (Ham & Saraswati, 2019).
RDS merupakan penyakit paru yang akut dan berat terutama menyerang
bayi preterm dengan tanda disfungsi pernafasan saat dilahirkan. Sistem
pernafasan yang tidak adequate dikarenakan ketidakadekuatan jumlah
surfaktan didalam paru-paru sehingga menyebabkan pertukaran gas dalam
alveolus tidak berjalan dengan efektif. RDS dapat menimbulkan kematian
pada bayi sekitar 3% hingga 38% (Hardriana, 2016).
RDS disebut juga HMD (Hyaline Membrane Disease)yang terjadi pada
10% bayi prematur yang disebabkan defisiensi sulfaktan yang berfungsi
untuk menjafa kantong alveolus tetap berkembang dan berisi udara, pada
penyakit RDS paru-paru neonatus tidak bisa mengembang dengan
sempurna sehingga menyebabkan gejala sesak nafas dan akan bertambah
berat dengan berjalannya waktu. RDS akan mengalami takipnea
(Respiratory Rate (RR) > 60x /menit) dan dan adanya sianosis dalam
rentang waktu 48-96 jam pertama setelah lahir. RDS sangatlah berbahaya
jika tidak segera dilakukan intervensi oksigenasi yang adekuat
(Soegijanto, 2016).
B. ETIOLOGI
Menurut (Febri Agrina et al., 2017), penyebab dari penyakit RDS atau
penyakit gagal nafas oada neonatus adalah:
1. Neonatus preterm atau premature
Neonatus dengan kelahiran yang premature menjadi faktor penyebab
utama kejadian RDS dikarenakan fungsi organ bayi baru lahir masih
belum sempurna atau matur sehingga alveoli kecil dan sulit
mengembang karena dinding dada masih sangat lemah, produksi
surfaktan belum sempurna sehingga menyebabkan kapasitas paru
kurang mencukupi kebutuhan oksigen didalam tubuh
2. Neonatus preterm dengan jenis kelamin laki-laki
Neonatus prematur dengan jenis kelamin laki-laki lebih beresiko
mengalami RDS dikarenakan adanya hormone androgen pada laki-laki
yang dapat menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.
3. Neonatus dengan ibu yang memiliki penyakit Diabetes Melitus
gestasional Neonatus yang dilahirkan ibu dengan gestasional DM akan
mengalami hipoglikemia dikarenakan ibu pada saat kehamilan
mengalami kelebihan glukosa didalam darah dan janin
mengkompensasi hal tersebut dengan cara memproduksi insulin
sebanyak mungkin atau kondisi hiperinsulin, pada saat bayi dilahirkan
maka pasokan glukosa ibu yang biasanya disalurkan melewati plasenta
bayi sudah terhenti sehingga hiperinsulin pada neonatus dapat
menghambat proses maturasi paru dan menyebabkan gangguan
surfaktan paru.
Menurut (Rogayyah, 2016), penyebab lainnya dari penyakit RDS
atau penyakit gagal nafas pada neonatus adalah:
1. Neonatus yang dilahirkan dengan cara Sectio Caesaria Neonatus
yang dilahirkan secara SC (Sectio Caesaria) meningkatkan resiko
terjadinya gangguan pernafasan karena saat neonatus dilahirkan
dengan SC maka akan memiliki volume resido paru yang lebih besar
dibandingkan dengan cairan paru sehingga paru-paru bayi dengan SC
8 kurang mengeluarkan surfaktan pada permukaan alveolar dimana hal
ini menyebabkan resiko tinggi menderita RDS.
2. Ibu yang melahirkan neonatus dalam keadaan hipertensi Neonatus
yang lahir dari ibu dengan riwayat hipertensi dapat menyebabkan
vasospasme pada pembuluh darah ibu sehingga sirkulasi airan darah
yang masuk keplasenta janin tidak efektif dan ketika neonatus
dilahirkan akan mengalai penurunan kadar oksigen.
3. Asfiksia Neonatorum Gangguan ini dikarenakan adanya gangguan
perfusi neonatus, hipoksia, dan kegagalan nafas secara spontan saat
neonatus dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi ibu saat
melahirkan, jeratan tali pusat, maupun keadaan bayi baik saat
dilahirkan maupun sebelum dilahirkan.
4. KPD (Ketuban Pecah Dini) Air ketuban ibu berfungsi untuk
melindungi dan mempertahankan janin agar tidak terbentur lingkungan
sekitarnya baik didalam rahim ibu maupun lingkungan luar dan air
ketuban dapat membuat janin dapat bergerak bebas. KPD dapat
menyebabkan adanya interaksi antara intrauterine dan ekstrauterine
Hal ini dapat menyebabkan infeksi pada saat intrapartum bahkan
peritonitis pada ibu.
5. Infeksi Perinatal Pneumonia primer menyebabkan RDS pada pasien
sekitar 10% sehingga berkembang menjadi sepsis dan kegagalan
multiorgan. Neonatus saat lahir dapat terinfeksi bakteri patogen dari
ibu seperti bakkteri Streptococcus dan Staphylococcus. Hal ini terjadi
karena infeksi intrauterine atau selama persalinan.

C. KLASIFIKASI
Menurut (Atika, 2019), Klasifikasi RDS dibagi menjadi 3 jenis sesuai
dengan perhitungan Down Score dibawah ini:
Tabel Penilaian Evaluasi RDS dengan Down Score
Pemeriksaan Down Score
0 1 2
Frekuensi nafas <60x/mnt 60-80x/mnt >80x/mnt

Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat


Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan Oksigen walaupun diberikan
oksigen
Air Entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara
ringan udara masuk
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar tanpa
menggunakan alat bantu
stetoskop
Evaluasi Score <4: RDS Ringan
Score 4-7: RDS Sedang
Score >7: RDS Berat
Menurut (Dwiristyan, 2015), RDS jika diklasifikasikan dari gambaran foto
dadanya dibagi menjadi:
1. Stadium I : terdapat sedikit bercak yang berbentuk retikulogranular dan
sedikit bronkogram udara atau adanya udara dalam bronkus.
2. Stadium II: adanya bercak yang homogen retikulogranular pada semua
lapang paru kanan dan kiri dan terdapat gambaran cairan area bronkus
sehigga penumpukan udara terlihat lebih jelas dan meluas diarea tepian
alveolus sehingga menyebabkan bayangan pada jantung dan adanya
penurunan aerasi organ paru-paru.
3. Stadium III: sel-sel alveolus pada paru-paru terlihat kolaps yang
ditandai dengan penyusutan pengembangan alveolus paru dan bercak
menutupi jantung dan bronkogram udara lebih luas sehingga batas ruang
jantung tidak terlihat.
4. Stadium IV: paru-paru Nampak putih dan tidak dapat dilihat secara jelas
karena udara sudah menumpuk diseluruh lapang paru.

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Rogayyah, 2016), manifestasi yang dapat diobservasi dari
adanya penyakit RDS adalah adanya tanda dispnea atau sesak nafas,
neonatus merintih (grunting), takipnea, adanya sianosis yang timbul pada
24 jam pertama sesudah lahir. RDS dapat dilihat dari tanda dan gejala
tersebut terlebih lagi jika terdapat faktor resiko yang menyertainya. Pada
neonatus dengan RDS akan terdengar suara mendengus dan juga
memungkinkan jika neonatus memiliki jeda dalam bernafas secara
langsung selama beberapa dengan atau adanya tanda-tanda awal apnea.
Menurut (Moi, 2019), Tanda dan gejala terjadinya RDS pada neonatus
adalah sebagai berikut:
1) Memiliki berat badan lahir rendah dikarenakan usia kehamilan yang
masih premature
2) Terjadi peningkatan frekuensi nafas atau takipnea dengan rata-rata
Respiratory Rate >60x/menit dan pernafasan tidak teratur.
3) Pernafasan dangkal sehingga terlihat adanya retraksi dinding dada
suprasternal dan substernal.
4) Terdapat sianosis dikarenakan kekurangan suplai oksigen didalam
tubuh sehingga terjadi penurunan suhu tubuh.
5) Neonatus menggunakan pernafasan cuping hidung

E. PATOFISIOLOGI
Menurut (Lilis, 2016), Faktor yang memicu atau resiko terjadinya RDS
pada bayi prematur atau kurang bulan disebabkan oleh alveoli masih kecil
sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna paru
disebabkan karena dinding dada masih lemah sehingga menyebabkan
produksi surfaktan kurang sempurna. RDS terjadi atelektasis yang sangat
progresif, hal ini disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan.
Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut
sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu
dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%)
dan protein (10%).Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan
sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi
CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan
penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi
kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang
nekrotik>lapisan membrane hialin. Asidosis dan atelektasis akan
menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke paru, dan
mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
3. Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia
pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress
intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.

F. PHATWAY
Dilampirkan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Cecily & Sowden (2009) dalam (Moi, 2019), pemeriksaan yang
dapat menunjang diagnosis RDS pada neonatus adalah dengan:
1) Kajian pada penampakan foto rontgen thoraks
2) Pola retikulogranular difus atau bercampur dengan udara yang saling
tumpang tindih
3) Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat karena tertutupi udara
yang terlihat adanya bercak putih yang diikuti hipoinflasi paru
4) Pada beberapa kasus terdapat kardiomegali bila system organ lain juga
terkena (bayi memiliki faktor resiko dilahirkan oleh ibu yang diabetes,
hipoksia atau gagal jantung kongestif)
5) Bayangan timus yang besar
6) Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan penyakit
berat jika muncuk pada beberapa jam pertama
7) Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau
metabolik
8) AGD menunjukkan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya
penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2, penurunan
HCO3.
9) Hitung darah lengkap atau cek darah lengkap pasien untuk mengetahui
jumlah haemoglobin, leukosit, dan trombosit neonates
10) Periksa serum elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum
untuk menentukan intervensi lanjutan
11) Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk menentukan
maturitas paru dan pastikan cairan ketuban saat neonatus dilahirkan sudah
hilang pada jalan nafasnya
12) Periksa Saturasi Oksigen dengan menggunakan oksimetri untuk
menentukan hipoksia dan banyak kebutuhan oksigen yang harus diberikan
pada bayi
13) Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara abnormal
dalam parenkim paru.
Menurut (Rogayyah, 2016), pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat
dilakukan untuk penetapan diagnosa RDS adalah dengan melakukan CT
Scan thorax dimana biasanya pada neonatus dengan RDS menunjukkan
jika adanya konsolidasi parenkim diarea paru mengikuti arah gravitasi dan
biasanya penemuan ini tidak dapat dilihat menggunakan pemeriksaan
rontgen thorax saja. Pada hasil pemeriksaan ini, RDS cenderung asimetris
pada paru paru.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003)
tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat, memberikan
terapi posisi pronasi, supinasi, atau semi pronasi.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia (mengukur suhu bayi, meletakan bayi di
dalam incubator).
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat (melatih refleks
non nutrifite shuking saat terjadi penurunana refleks menelan,
edukasi kepada ibu terkait pemberian asi eksklusi baik bayi dalam
kondisi sakit ataupun sehat).
7. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
8. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan
menurunkan caiaran paru
9. Fenobarbital : Fenobarbital adalah sejenis obat yang termasuk
dalam kelas obat barbiturat yaitu bekerja dengan memperlambat
aktivitas di otak. Obat ini dapat digunakan sebagai obat penenang
dan antikonvulsan (anti-kejang) (Badan Pengawas Obat dan
Makanan,2015). 10. Betametason dan Dexametason : Betametason
dan deksametason merupakan kortikosteroid sintetis yang bekerja
dalam panjang dengan potensi glukokortikoid yang serupa. Adanya
perbedaan ikatan dengan albumin, transfer plasenta dan afinitas
pada reseptor kortikosteroid, maka dibutuhkan dosis kortisol,
kortison, hidrokortison, prednisone dan prednisolon yang lebih
tinggi untuk mencapai ekuivalensi dosis yang sama dengan
deksametason dan betametasone pada janin. Betametason dan
deksametason adalah antenatal kortikosteroid yang digunakan
dalam penurunan respiratory distress syndrome (RDS). RDS terkait
dengan imaturitas struktur dan fungsi paru yang ditentukan dengan
rasio lesitin/sfingomielin (L/S) sebagai gold standard (Faizah
RN,2015). Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan
memberikan efek peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel
pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru
(Sekhavat L,2011).
11. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
12. Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan
untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. Salah satu
pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari
sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau
paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
2. Penatalaksanaan Non Medis
1. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang
paling sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi
berikan infus dektrosa 5 % 27 • Pantau selalu tanda vital • Jaga
patensi jalan nafas • Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan
kateter nasal) ataupun menggunaan CPAP, ditambah dengan
trapi posisi Semi pronasi dan nesting, posisi bersarang dengan
fiksasi dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi
energi yang digunakan karena dapat mempertahankan posisi
fleksi dan mengurangi gerakan bayi yang tidak teratur (El-
nager & Bayoumi,2016). Bersarang dengan fiksasi dapat
menghemat energi yang digunakan dengan mencegah
kehilangan panas, mengatur suhu tubuh, atau mempertahankan
siklus tidurbangun dan, oleh karena itu, dapat bermanfaat bagi
pertumbuhan dan perkembangan bayi (Sathish et al.,2017).
Adapun intervensinya sebagai berikut: Siapkan linen/ kain
panel sebanyak 2 buah, gulung masing-masing kedua kain
menjadi kecil, hangatkan kedua tangan sebelum menyentuh
tubuh bayi , letakan kain 1 yang sudah di gulung pada bagian
satu sisi bayi , posiskan bayi miring kanan atau kiri (sesuaikan
kebutuhan bayi), memposisikan sisi Bagian kepala diatas
gulungan kain, secara berbarengan posisikan tangan dan kaki
kanan atau kiri seperti memeluk guling namun posisi hampir
seperti prone (tengkurap), Perhatikan tangan bayi fleksi dan
sedekat mungkin dengan mulut dan kaki sedekat mungkin
dekat dengan perut. Berikan kain ke 2 yang sudah digulung
melingkari bagian kaki dengan membentuk “U” (Efendi,2019).
2. Jika bayi mengalami apneu • Lakukan tindakan resusitasi
sesuai tahap yang diperlukan • Lakukan penilaian lanjut
3. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula
darah
4. Pemberian nutrisi adekuat setelah menajemen umum, segera
dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan
penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen
spesifik atau menajemen lanjut: Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas
ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut
“Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi
setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik
dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian,
pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.

I. KOMPLIKASI
Menurut (Soegijanto, 2019), Komplikasi neonatus dengan penyakit RDS
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Komplikasi Jangka Pendek
1) Ruptur alveoli: hal ini terjadi karena adanya kebocoran udara paruparu,
biasanya gejala yang dapat terlihat dari komplikasi ini adalah hipotensi,
apnea, bradikardi, asidosis menetap. Hal ini memperburuk kondisi
neonatus.
2) Terjadi infeksi karena neonatus dalam keadaan yang memburuk, hal ini
memicu peningkatan leukosit dan trombositopenia. Infeksi juga dapat
terjadi karena tindakan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan
penggunaan alat bantu pernafasan dalam waktu singkat maupun lama
3) Pendarahan pada otak atau intrakraial dan leukomalacia periventrikuler
yang terjadi pada sekitar 20-40% bayi premature dengan prevalensi paling
banyak pada neonatus yang menggunakan ventilasi mekanik
4) Adanya PDA dengan peningkatan stunting dari area kiri kekanan, hal
ini terjadi pada bayi yang terapi surfaktannya dihentikan karena kondisi
tertentu
b. Komplikasi Jangka Panjang
1) Komplikasi jangka panjang yang disebabkan oleh toksisitas oksigen dan
tekanan tinggi dalam paru-paru seperti BPD (Bronchopulmonary
Dysplasia) yaitu penyakit paru kronis pada bayi dengan usia kehamilan ibu
saat melahirkan neonatus 36 minggu. Biasanya BPD dikarenakan
penggunaaan alat bantu nafas mekanik dalam jangka waktu lama sehingga
meningkatkan resiko infeksi dan inflamasi, defisiensi vitamin A.
2) Retinopathy Premature, Kegagalan fungsi neurologi yang terjadi sekitar
10-70% pada bayi dengan masa gestasi kurang bulan sehingga memicu
hipoksia dalam jangka waktu lama, meningkatkan komplikasi intracranial
dan infeksi pada banyak organ. Jika mengenai saraf mata maka akan
terjadi kebutaan pada neonatus yang bersifat permanen.
Menurut (Moi, 2019), Komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus
dengan penyakit RDS adalah sebagai berikut:
1) Ketidakseimbangan asam basa
2).Kebocoran udara (Pneumothoraks, pneumomediastinum,
pneumoperikardium, pneumoperitonium, emfisema subkutan, emfisema
interstisial pulmonal)
3) Perdarahan pulmonal
4) Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
5) Apnea
6) Hipotensi sistemik
7) Anemia
8) Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
9) Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua

J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara yaitu anamnesa, observasi,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dilaboratorium.
Data yang dicari dalam riwayat keperawatan adalah:
1) Kaji riwayat kehamilan sekarang (apakah selama hamil ibu menderita
hipotensi atau perdarahan).
2) Kaji riwayat neonatus (lahir afiksia akibat hipoksia akut, terpajan pada
keadaan hipotermia)
3) Kaji riwayat keluarga (koping keluarga positif)
4) Kaji nilai apgar rendah (bila rendah di lakukkan tindakan resustasi pada
bayi)
5) Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS. Seperti:
takipnea (>60x/menit), pernapasan mendengkur, retraksi dinding dada,
pernapasan cuping hidung, pucat, sianosis, apnea.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola Napas Tidak Efektif b/d depresi pusat pernapasan (D.0005)
2. Defisit Nutrisi b/d ketidak mampuan menelan makanan (D.0019).
3. Kesiapan peningkatan keseimbangan cairan b/d makanan enteral atau
parenteral. (D.0025)
4. Gangguan Pertukaran Gas b/d ketidakseimbangan ventilasi perkusi
(D.0003)

L. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO SDKI SLKI SIKI


1 Pola Nafas tidak Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
efektif b/d depresi tindakan (I.0.1014)
pusat pernapasan keperawatan 1x4 Observasi:
(D.0005) jam Pola napas 1. Monitor frekuensi,
(L.01001) irama, kedalaman, dan
meningkat dengan upaya napas
kriteria hasil: 2.Monitor pola napas
1. Ventilasi semenit 3.Monitor adanya
meningkat sumbatan jalan nafas
2. Diameter thoraks 4.Monitor kesimetrisan
anterior posterior ekspansi paru
meningkat 5.Auskultasi bunyi
3. Dispnea napas
meningkat 6.Monitor saturasi
4. Penggunaan otot oksigen
bantu nafas Terapeutik
meningkat 1.Dokumentasi hasil
5. Pernafasan pemantauan
cuping hidung Edukasi
meningkat 1. Jelaskan tujuan dan
6. Frekuensi nafas prosedur pemantauan
meningkat 2. Informasikan hasil
7. Pola nafas pemantauan, jika perlu
meningkat
2 Defisit Nutrisi b/d Setelah dilakukan Menejemen Cairan
ketidak mampuan intervensi (I. 03098)
menelan makanan keperawatan selama Observasi
(D.0019). 1x4 jam maka 1. Monitor status
diharapkan Status hidrasi (frekuensi nadi,
Nutrisi terpenuhi (L. akral pengisian kapiler,
14135) dengan kelembapan mukosa,
kriteria hasil: turgor kulit, tekanan
1. Kekuatan otot darah)
menelan 2. Mobitor berat badan
meningkat harian
2. Periksa makan 3. Monitor hasil
yang dihabiskan pemeriksaan
meningkat lab(Na,K,CI, berat
3. Pengetahuan jenis urin,BUN)
tentang pilihan Terapeutik
minuman yang 1. Monitor intak-output
sehat meningkat dan hitung cairan 24
4. Perasaan cepat jam 5. Berikan asupan
kenyang cairan, sesuai
meningkat kebutuhan
5. Frekuensi 2. Berikan cairan IV
makan Kolaborasi
meningkat 1.Kolaborasi
6. Pola makan pemberian diuretic,
meningkat jika perlu
Terapi menelan
( I.03144)
Observasi:
1. Monitor tanda dan
gejala aspirasi
2. Monitor Gerakan
lidah saat makan
Terapeutik:
3. Gunakan alat bantu
jika perlu
4. Berikan perawatan
mulut, sesuai
kebutuhan
3 Kesiapan Setelah dilakukan Satus keseimbangan
peningkatan intervensi Cairan . (D.0025)
keseimbangan keperawatan selama Observasi
cairan b/d makanan 1x4 jam maka 1. Monitor status
enteral atau diharapkan Status hidrasi (frekuensi
parenteral Cairan Membaik nadi, akral pengisian
(L.03208) dengan kapiler kelembapan
kriteria hasil: mukosa, turgor kulit,
1. Frekuensi nadi tekanan darah)
meningkat 2. Monitor berat
2. Tekanan nadi badan harian
meningkat 3. Monitor hasil
3. Suhu tubuh pemeriksaan
meningkat lab(Na,K,CI, berat
4. Berat badan jenis urin,BUN)
meningkat Terapeutik
5. Konsentrasi 1 Monitor intak-
urine output dan hitung
meningkat cairan 24 jam
2. Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
3 Berikan cairan IV
Kolaborasi
1.Kolaborasi
pemberian diuretic,
jika perlu
4 Gangguan Setelah dilakukan Terapi Oksigen
pertukaran gas b/d intervensi Observasi:
Ketidakseimbangan keperawatan selama 1. Monitor kecepatan
ventilasi perkusi 1x4 jam maka aliran oksigen
diharapkan 2. Monitor posisi
Keseimbangan tempat alat oksigen
ventilasi perfusi 3. Monitor aliran
membaik dengan oksigen secara
kriteria hasil: periodic dan
1. Tingkat pastikan fraksi
kesadaran yang diberikan
meningkat cukup
2. Dispnea 4. Monitor tanda
menurun hipoventilasi
3. Bunyi 5. Memonitor
tambahan efektifitas
menurun terapi oksigen.
4. Pola nafas Terapeutik:
membaik 1. Bersihkan secret
5. Gelisah pada mulut,hidung
menurun dan trakea
2. Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
3. Gunakan perangkat
oksigen sesuai
tingkat mobilitas
pasien.
Edukasi:
1. Ajarkan teknik
relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemantauan
dosis oksigen..

M. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah penerapan tindaka yang sebelumnya telah di
rencanakan , dimana rencana pelayanan ini bertujuan untuk mencapai
keberhasialan suatu konsis/perbaikan kondisi. Fase implementasi dimulai
setelah rencana intervensi dikembangkan dan ditujukan untuk intervensi
perawatan yang dirancang guna membantu pasien mencapai keberhasilan
pemulihan Kesehatan yang diinginkan (Siregar, 2021).

N. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektual yang berkaitan dengan hasil
diagnosis, merencanakan intervensi, dan menemukan hasil dari tindakan
yang dilakukan. Selama fase evaluasi, caregiver dapat menemukan tujuan
intervensi dan memutuskan apakah akan mengatasi masalah yang muncul
(Siregar, 2021).

DAFTAR PUSTAKA
 Agrina, M. F., Toyibah, A., Jupriyono. 2017. Tingkat Kejadian
RDS antara BBLR Preterm dan BBLR Dismatur. Jurnal Informasi
Kesehatan Indonesia, Vol. 3, No. 2, 125-131.
 Akbar, M. A. 2019. Buku Ajar Konsep-Konsep Dasar dalam
Keperawatan Komunitas. Deepublish. Yogyakarta.
 Atika, A. N. 2019. Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress of
Newborn di Neonatal Intensive Care Unit RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo [Skripsi]. Universitas Hasanudin.
 Dwiristyan, F. 2015. Hubungan usia kehamilan dengan kejadian
RDS pada neonatus di Ruang Perinatologi [Skripsi]. Poltekes
Denpasar.
 Fajariyah, S.U., Bermawi, H., Tasli, J.M. 2016. Terapi Surfaktan
Pada Penyakit Membran Hyalin. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, Vol.3, No.3.
 Handriana, I. 2016. Keperawatan Anak. LovRinz Publishing. Jawa
Barat.
 Hasnidar, Sulfianti, Noviyanti, Putri, R., Tahir, A., Arum, D. N. S.,
Indryani, Nardina, E. A., Hutomo, C. S., Astyandini, B., Isharyanti,
S., Wahyuni, Argaheni, N. B., Astuti, R. D., Megasari, A. L. 2021.
Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Balita. Yayasan Kita
Menulis. Jakarta.
 IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2016. Konsensus: Asuhan
Nutrisi Bayi Prematur. IDAI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai