Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“NEONATAL RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME”


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan anak 1
Dosen Pengempu : Ibu Sri Hartini, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 5
1. Alfina Hardiyanti 202101002
2. Amelia Nita Nawanda 202101004
3. Hanifa Amalia 202101017
4. Novia Anggun Prastiwi 202101034

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


ITEKES CENDEKIA UTAMA KUDUS
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Keperawatan Anak I dengan tepat waktu. Selama proses penulisan makalah ini, kami
banyak mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga makalah ini dapat
terselesaikan secara optimal. kami sampaikanrasa hormat dan terima kasih kami kepada
Ibu Sri Hartini, S.Kep.,Ns.,M.Kep. Selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Anak I. Kami berharap semoga makalahini dapat bermanfaat secara luas
dalam menambah wawasan tentang Neonatal Respiratory Distress Syndrome. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Demikian kami harapkan
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Kudus, 11 Maret 2023

Penulis

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI .........................................................................................................................................ii
BAB I .................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang ......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................1
C. Tujuan ...................................................................................................................................2
BAB II ................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ...................................................................................................................................3
A. Definisi...................................................................................................................................3
B. Anatomi .................................................................................................................................3
C. Etilogi ....................................................................................................................................5
D. Klasifikasi ..............................................................................................................................6
E. Patofisiologi ...........................................................................................................................6
F. Pathway .................................................................................................................................7
G. Manifestasi klinis ...............................................................................................................7
H. Komplikasi .........................................................................................................................8
I. Pemeriksaan penunjang.........................................................................................................9
J. Penatalaksaan medis............................................................................................................ 11
BAB III ............................................................................................................................................. 12
PENUTUP ......................................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
RDN atau gangguan pernapasan ada bayi baru lahir biasanya menunjukan gejala
takipnea dengan laju pernapasan lebih dari 60 kali permenit disertai dengan grunting,
retraksi dinding dada, cuping hidung, dan sianosis yang biasanya disebabkan oleh
ketidakmaturan dari sel tipe II untuk menghasilkan surfaktan yang memadai (Atika,2019).
Hasil survei kesehatan Indonesia tahun 2012 menuturkan bahwa kematian pada
neonatus masih dalam angka 32per 1.000 kelahiran neonatus hidup, dan hal tersebut dapat
terjadi pada minggu pertama setelah kelahiran, paling tinggi disebabkan oleh gangguan
pada sistem pernafasan yang mencapai 36,9%. Salah satu penyebab gangguan pernafasan
adalah Respiratory Distress Syndrome yang bisa mencapai hingga 14%. Data yang
diperoleh dari Dinas Ksehatan Jawa Tengah pada tahun 2015 angka kematian neonatus
sebesar 10 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian Berat Badan Lahir Rendah atau
BBLR sebesar 28,7%, Respiratory Distress Syndrome sebesar 33,1%, Asfiksia sebesar
2,6%, Ikterik 0,44%, Sepsis 1,3%, Kelainan kongenital sebesar 2,6%, dan lain-lain sebesar
33,6% (Dinas Kesehatan Jawa Tengah,2015).
Tenaga kesehatan harus paham kebutuhan pernafasan yang spesifik sesuai dengan
jenis dan derajat gangguan pernafasan. Terpenting dalam pemberian terapi oksigenasi pada
penanganan pertama bayi dengan RDS membutuhkan dasar pengetahuan tentang ketepatan
dalam mengevaluasi gangguan pernafasan menggunakan pemberian terapi oksigen sesuai
dengan derajat kegawatan nafas. Berdasarkan pada hal tersebut perawat harus memahami
jumlah kebutuhan oksigen yang diperlukan, indikasi pemberian oksigen, metode
pemberian oksigen, dan bahaya-bahaya pemberian oksigen (UCSF,2014).
Oleh karena itu peran perawat dalam masalah Respiratory Distress Syndrome yaitu
dengan memonitor pola nafas (frekuensi napas, kedalaman, usaha nafas), memonitor bunyi
tambahan, mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan menggunakan cara head-tilt dan
chin-lift, memposisikan semi fowler atau fowler, memberikan terapi oksigen yang
memiliki tujuan untuk mencukupi kebutuhan oksigen bayi dan observasi tanda- tanda vital
(SIKI, 2018).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
2. Bagaimana anatomi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
3. Bagaimana etiologi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
4. Bagaimana klasifikasi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
5. Bagaimana patofisiologi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
6. Bagaimana pathway dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
7. Bagaimana manifestasi klinis Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
8. Apa saja komplikasi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
10. Bagaimana penatalaksanaan dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Neonatal Respiratory Distress
Syndrome?
2. Untuk mengetahui bagaimana anatomi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
3. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
4. Untuk mengetahui klasifikasi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Neonatal Respiratory Distress
Syndrome?
6. Untuk mengetahui pathway dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
7. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari Neonatal Respiratory Distress
Syndrome?
8. Untuk mengetahui komplikasi dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Neonatal Respiratory Distress
Syndrome?
10. Untuk mengetahui penatalaksaan dari Neonatal Respiratory Distress Syndrome?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) ialah keadaan dimana terdapat gangguan
sistem respiratori pada neonatus yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan terlebih
pada bayi yang kurang bulan. Surfaktan merupakan zat yang mampu menurunkan
tegangan pada dinding alveoli paru.Neonatus dengan Respiratory Distress
Syndromemasih menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat yang signifikan secara
menyeluruh karena efek yang ditimbulkan, baik efek dalam jangka yang pendek
maupun dalam jangka panjang. Sindrom gangguan pernapasan / Respiratory Distress
syndrome (RDS) adalah gangguan pada sistem pernapasan neonatus, khususnya karena
kurangnya surfaktan yang efektif dan kurangnya tekanan permukaan alveoli untuk
mencegah kolaps pada alveoli. Neonatus dapat diartikan dengan bayi baru lahir, 28 hari
setelah dilahirkan. Bayi baru lahir mengacu pada umur neonatus sejak dilahirkan
hingga satu bulan pertama. Neonatus mempunyai berat badan normal antara 2.500-4
000 gram dengan ukuran lingkar kepala 48-53cm (S. Suminto, 2017)

B. Anatomi
Sistem pernapasan termasuk hidung , rongga hidung dan sinus , faring , laring
(kotak suara), trakea (tenggorokan) , dan saluran-saluran yang lebih kecil satu yang
mengarah ke pertukaran gas di permukaan paru-paru .
Saluran pernapasan terdiri dari saluran udara yang membawa udara dari dan ke
permukaan tersebut . Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi bagian konduksi dan
bagian pernapasan pernapasan. Bagian konduksi terdapat uksi terdapat dari jalan dari
jalan masuk udara masuk udara dihidung ke dihidung ke rongga hidung ke bronkiolus
terkecil dari paru-paru. Bagian pernapasan termasuk saluran bronkiol saluran
bronkiolus pernapasan dan kantung udara hal us pernapasan dan kantung udara halus ,
atau alveol us , atau alveoli ( al - VE ) i ( al - VE ) , di mana terjadi pertukaran gas
(Martini et al 2020).

3
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama dalam
sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Di
hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang dan hyaline
kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit.
Struktur interior dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi :
1) Menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk
2) Mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau)
3) Modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi yang besar dan
bergema. Rongga hidung sebagai bagian internal digambarkan sebagai
ruang yang besar pada anterior tengkorak (inferior pada tulang hidung;
superior pada rongga mulut); rongga hidung dibatasi dengan otot dan
membrane mukosa

2. Rongga hidung
Rongga hidung adalah semua yang ada pada bagian dalam hidung. Termasuk
tulang, tulang rawan dan jaringan di sekitarnya, pembuluh darah dan saraf, hingga
ke posterior ke nasofaring. Itu semua adalah bagian dari saluran pernapasan bagian
atas

3. Sinus
Sinus merupakan rongga kecil yang terhubung melalui saluran udara di dalam
tulang tengkorak. Secara alami, sinus memang menghasilkan lendir, fungsinya
yaitu menyaring bakteri serta partikel lain dalam udara yang dihirup

4. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13 cm.
Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa. Otot
rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap sedangkan apabila otot

4
rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai
saluran untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara saat
berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing).
5. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian
berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform,
dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan dimana jaringan
ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk
menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid,
epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara.
Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar
melewati esophagus.
6. Trakea
Trakea Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati
udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar
bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan didorong
keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan
bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi batuk, memaksa partikel
besar yang masuk kembali keatas.

C. Etilogi
Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor
plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.
a. Faktor-faktor ibu termasuk Hypoxia di ibu, usia ibu di bawah 20 tahun atau
lebih, kehamilan empat atau lebih, penyakit sosio-ekonomi rendah atau
vaskular ibu, yang termasuk pertukaran gas fetal seperti hipertensi, penyakit
jantung, diabetes melitus, dll. Komite Daerah telah mengadopsi pendapatnya
mengenai proposal untuk Direktif Dewan tentang pendekatan hukum, peraturan
dan ketentuan administratif negara-negara anggota yang berkaitan dengan
klasifikasi, pembungkusan dan label bahan berbahaya (Marmi & Rahardjo,
2013).
b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan Placenta termasuk
larutan Placenta, pendarahan, Placenta kecil, ketebalan Placenta, dan apakah
Placenta melekat di tempatnya (Marmi & Rahardjo, 2013).
c. Faktor janin atau neonates, talilitan tali pusar, kompresi tali pusat antara janin
dan jalan lahir, gemelli/kembar, prematur, kelainan kongenital pada neonatus
dll (Marmi & Rahardjo, 2013).

5
D. Klasifikasi
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
1. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema
interstisial atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan kerusakan
pada sel alveolar tipe I.
2. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan
tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru, hipoksemia, penurunan
fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan peningkatan ruang rugi
ventilasi. Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Stadium 3 Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung
hampir tidak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
c. Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak
dapat terlihat. (Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).
E. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, hal ini disebabkan kurangnya zat
yang disebut surfaktan.Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran
nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu
dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein
(10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia,
retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menyebabkan terjadinya : retensi CO2 dan
asido
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan
asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli terbentuk fibrin fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik lapisan
membrane hialin. Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan
terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke paru, dan mengakibatkan
hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya
atelektasis.

6
3. Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada
periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress
intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.

F. Pathway

G. Manifestasi klinis
Kematangan paru sangat berpengaruh dengan tingkat keparahan RDS atau beratnya
gejala klinis. Gejala klinis akan semakin parah jika berat badan dan usia kehamilan
juga semakin rendah. Gejala akan muncul setelah beberapa jam bayi dilahirkan. Bayi
dengan RDS yang dapatmempertahankan hidupnya pada 96 jam pertama memiliki
prognosis yang lebih baik. Gejala umum yang terjadi pada RDS adalah: sesak nafas (>
60x / menit), nafas pendek, ngorok, bibir keunguan, kulit pucat, kelelahan, apnea dan
pernafasan yang tidak teratur, suhu tubuh mengalami penurunan, retraksi supra dan
tulang dada bagian bawah, pernafasan lobus hidung (Surasmi dkk, 2013).

Bayi yang mengalami RDS dapat menunjukkan tanda-tanda berikut:


1. Napas cepat segera setelah lahir
2. Suara mendengus dengan setiap napas

7
3. Perubahan warna bibir, jari tangan dan kaki
4. Pelebaran (flaring) lubang hidung dengan setiap napas
5. Retraksi dada - kulit di atas tulang dada dan tulang rusuk tertarik ke dalam saat
bernapas

H. Komplikasi
1) Ketidak seimbangan asam basa
National Institutes of Health (2021) Tubuh menggunakan mekanisme yang
beragam dalam mengatur keseimbangan asam basa dalam darah. Mekanisme ini
melibatkan paru-paru, ginjal, dan sistem penyangga (buffer). Pengaturan
keseimbangan pH dalam darah di paruparu terjadi pada saat proses pernapasan.
Manusia bernapas dengan menghirup oksigen (O2) dan membuang karbondioksida
(CO2). CO2 merupakan zat yang bersifat asam sehingga jumlah CO2 yang keluar
akan memengaruhi keseimbangan pH dalam darah, baik asidosis maupun alkalosis.
Asidosis dan alkalosis terjadi akibat adanya gangguan pada paru-paru atau
pernapasan yang disebut dengan asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik.
Asidosis dan alkalosis juga dapat terjadi jika produksi asam dan basa di dalam
tubuh tidak seimbang. Kondisi ini terjadi jika ginjal tidak dapat membuang
kelebihan asam atau basa yang ada di tubuh. Asidosis dan alkalosis akibat salah
satu dari dua kondisi di atas disebut asidosis metabolik dan alkalosis metabolik.
Pada ganguan asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik disebabkan oleh
gangguan pada paru-paru (Kahn, A. Healthline,2019). Asidosis respiratorik terjadi
saat tubuh hanya mampu membuang sedikit CO2. Sedangkan alkalosis respiratorik
umumnya disebabkan oleh hiperventilasi, yaitu kondisi ketika seseorang bernapas
terlalu cepat atau terlalu dalam. Akibatnya, CO2 banyak terhirup dan masuk ke
dalam aliran darah.
2) Perdarahan pulmonal
Perdarahan pulmonal disebabkan oleh kerusakan alveoli akibat
merembesnya darah dari pembuluh darah kapiler di dalam paru-paru ke 20 dalam
alveoli. Salah satu masalah pada bayi yang lahir premature yaitu pembuluh darah
yang masih sangat rapuh, terutama pembuluh darah di otak. Hal ini bisa
meningkatkan risiko bayi mengalami perdarahan intraventrikular, yaitu saat
pembuluh pecah.
Terjadinya peningkatan perdarahan paru pada bayi premature, terutama
setelah terapi surfaktan. Pada beberapa pasien, perdarahan paru mungkin
berhubungan dengan PDA . Patern Ductus Arteriosus dapat terjadi seiring dening
peningkatan penurunan proses tumbuh kembang pad abayi, dimana adanya
perlambatan proses tumbuh kembang organ tubuh bayi dari area kiri ke kanan hal
ini besar kemungkinan terjadi karena pemberhentian proses pemberian terapi
surfaktan. Pemasangan PDA ini memang memiliki efek yang signifikan saat awal
pemasangan, namun seiring berjalanya waktu akan berakibat pada peningkatan
sekresi trakea dan terjadi perdarahan massif.

8
3) Apnea
Kondisi asidosis dan penurunan aliran darah keotak akan terjadi kerusakan
otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia. Pada stadium awal terjadi
hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak sianosis,
tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah jantung yang meningkat dan
adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan
reflek bradikardi ringan. Depresi pernafasan dapat diatasi dengaan meningkatkan
implus aferen seperti perangsangan pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar
12 menit. Apnea primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem
sirkulasi. Hipoksia miokard dan asidosis memperburuk bradikardia, vasokonstriksi,
dan hipotensi. Situasi ini dapat berlangsung hingga 5 menit, setelah itu terjadi apnea
sekunder. Selama apnea akibat detak jantung, tekanan darah dan kadar oksigen
darah terus menurun. Bayi tidak berespon terhadap rangsangan dan tidak
menunjukkan usaha bernapas spontan. Kematian terjadi jika ventilasi dan oksigen
tidak segera dimulai (Marmi & Rahardjo, 2015).

I. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yang dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan
ARDS adalah foto rontgen toraks dan analisa gas darah.
a. Radiologi Foto toraks
Merupakan pemeriksaan utama yang dapat dengan mudah dilakukan. Foto
toraks dapat membantu menyingkirkan diagnosis penyakit paru lain,
menyingkirkan penyebab kardiologis, serta menegakkan diagnosis ARDS.
Pada ARDS, umumnya ditemukan adanya infiltrat difus bilateral atau unilateral
yang dapat memburuk secara cepat dalam 3 hari. Infiltrat yang ditemukan
umumnya terletak interstisial dan/atau alveolar. Pada tahap awal, infiltrat dapat
ditemukan menyebar hingga ke perifer dan dapat memburuk menjadi infiltrat
difus bilateral dengan penampakan ground glass (Saguil A,2012).
b. CT scan
Dapat dilakukan hanya apabila foto toraks tidak dapat menyimpulkan
penyebab distress pernapasan. CT scan umumnya lebih sensitif untuk
mendeteksi adanya emfisema interstisial, pneumomediastinum, efusi pleura,
dan limfadenopati mediastinal.
c. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGD) pada umumnya dapat menunjukkan hipoksemia
dan alkalosis respiratorik. Kadar PaO2 / FiO2 juga dapat dinilai melalui analisa
gas darah. Pemeriksaan AGD juga dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan
akses yang tersedia dengan baik.
d. Laboratorium
Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk ARDS. Beberapa pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan adalah:

9
a) Darah rutin: dapat ditemukan leukositosis atau leukopenia, terutama bila
terdapat sepsis. Trombositopenia juga dapat ditemukan bila terdapat
koagulasi intravaskular diseminata.
b) Fungsi ginjal: fungsi ginjal umumnya menurun bila terdapat komplikasi
pada ARDS akibat adanya iskemia ataupun nekrosis tubular akut
c) Fungsi hepar: dapat menurut bila terdapat kerusakan hepatosit atau
kolestasis
d) Kultur darah atau sputum: dapat menunjukkan adanya sepsis atau fokus
infeksi. Kultur darah juga dapat membantu menentukan pemberian
antibiotik.
e) Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah brain
natriuretic peptide (BNP) dan sitokin interleukin (IL)-1, IL-6, dan IL-8.
BNP
e. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal umumnya digunakan sebagai metode
diagnostik utama, namun ekokardiografi 2-dimensi juga dapat digunakan
menyingkirkan kemungkinan penyebab kardiologis. Bila ditemukan adanya
penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, disfungsi diastolik berat, disfungsi katup
mitral atau aorta berat, shunting foramen ovale maka distress pernapasan
umumnya disebabkan oleh edema paru kardiogenik atau kardiomiopati berat.
f. Bronkoskopi
Bronkoskopi umumnya dilakukan untuk bronchoalveolar lavage (BAL).
Pemeriksaan BAL akan membantu menentukan penyakit paru, seperti
pneumonia eosinofilik akut, pneumonitis, sarcoidosis, atau pneumonia
bronkiolitis obliterans/bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia (BOOP),
atau lipoid pneumonia (Saguil A,2012).
g. Histologi
Biopsi paru dapat dilakukan apabila pemeriksaan secara klinis dan
penunjang lain tidak dapat menyingkirkan kemungkinan lain penyebab
hipoksemia. Pemeriksaan histologis dapat menunjukkan fase ARDS yang
sedang terjadi. Pada fase awal umumnya akan ditemukan kerusakan alveolar
difus, edema interstisial, perdarahan alveolar, formasi membrane hialin, dan
kongesti kapiler pulmonalis. Pada fase proliferatif umumnya ditemukan
pertumbuhan sel pneumosit tipe 2 pada dinding alveolar, fibroblas,
miofibroblas, dan disposisi kolagen interstisial. Pada fase fibrotik, ditemukan
penebalan dinding alveolar oleh jaringan ikat. Infiltrat dan edema sudah tidak
ditemukan.

10
J. Penatalaksaan medis
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
a) Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
b) Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran
paru
c) Fenobarbital
Fenobarbital adalah sejenis obat yang termasuk dalam kelas obat barbiturat
yaitu bekerja dengan memperlambat aktivitas di otak. Obat ini dapat digunakan
sebagai obat penenang dan antikonvulsan (anti-kejang) (Badan Pengawas Obat
dan Makanan,2015).
d) Betametason dan Dexametason
Merupakan kortikosteroid sintetis yang bekerja dalam panjang dengan potensi
glukokortikoid yang serupa. Adanya perbedaan ikatan dengan albumin,
transfer plasenta dan afinitas pada reseptor kortikosteroid, maka dibutuhkan
dosis kortisol, kortison, hidrokortison, prednisone dan prednisolon yang lebih
tinggi untuk mencapai ekuivalensi dosis yang sama dengan deksametason dan
betametasone pada janin. Betametason dan deksametason adalah antenatal
kortikosteroid yang digunakan dalam penurunan respiratory distress syndrome
(RDS). RDS terkait dengan imaturitas struktur dan fungsi paru yang ditentukan
dengan rasio lesitin/sfingomielin (L/S) sebagai gold standard (Faizah
RN,2015). Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan
efek peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan
memperbaiki tingkat maturitas paru (Sekhavat L,2011).
e) Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
f) Metilksantin (teofilin dan kafein )
Untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi
mekanik. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber
alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa
juga berbentuk surfaktan buatan ).

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Respiratory Distress Syndrome (RDS) ialah keadaan dimana terdapat gangguan
sistem respiratori pada neonatus yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan terlebih pada
bayi yang kurang bulan. RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, hal ini disebabkan
kurangnya zat yang disebut surfaktan.Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel
saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan
protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir
expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi
hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menyebabkan terjadinya : retensi CO2
dan asido.

B. Saran
1. Kepada ibu hamil dianjurkan agar selalu menjaga kehamilannya dan memeriksakan
kehamilannya secara rutin kepada tenaga kesehatan agar dapat mengurangi
penyakit kelainan bawaan pada neonates dan apabila terdapat kelainan dapat di
deteksi secara dini.
2. Hindari terjadinya kelahiran bayi premature karena bayi premature memungkinkan
terjadinya penyakit RDS terhadap bayi
3. Dan apabila pada ibu hamil dengan riwayat penyakit diabetes militus maku
schaiknya ibu menjaga pola makannya terutama diet terhadap glukosa agar resiko
terjadinya RDS pada bayinya menurun.
4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia dalam upaya
penanganan pasien dengan respiratory distress syndrome
5. Meningkatkan sarana prasarana penunjang terlaksananya pengobatan dan
perawatan hayi dengan respiratory distress syndrome

12
DAFTAR PUSTAKA

Asrining Surasmi (2013). Perawatan Bayi Risiko Tinggi. (M. Ester, Ed.) (1st ed.). Jakarta: EGC.
Atika, N. (2019). Peran Orang Tua dalam Kegiatan Belajar Anak di SDN 050663 Lubuk Dalam
Kecamatan Stabat. Skripsi Medan UINSU , 45.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2015). Profil Kesehatan Jawa Tengah 2015
Kahn, A. Healthline (2019). Alkalosis.
Marmi, & Rahardjo, K. (2013). Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Martini, N, K, -A., Ekawati, I, G, -A., Ina, P, - T., 2020. Pengaruh suhu dan lama pengeringan
terhadap karakteristik teh bunga telang (Clitoria ternatea L.). Jurnal Ilmu dan Teknologi
Pangan. 9, 327–340. https://doi.org/10.24843/itepa.2020.v09.i 03.p09
Saguil A, Fargo M. (2012). Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management.
Am Fam Physician.
Suminto, S. (2017). Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana. Respiratory Distress
Syndrome Bayi Prematur. 44(8), 568–571
Surasmi,2013. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta:EGC
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
UCSF Center for Excellence in Primary Care (2014) 'The 10 Building Blocks of Primary Care:
Health Coaching in Primary Care - Intervention Protocol'.
Warman, F, I,. Waskito, S & Romadhon, M. (2012). Respiratory Syndrom. Retrieved January 23,
2016.

13

Anda mungkin juga menyukai