Disusun oleh :
Kelompok 15
Tingkat : 2A
E-mail : akper_muh@yahoo.co.id
Website : akpermuh.ac.id
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah, teman-teman Kelompok , serta
semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
Sebagai makluk yang lemah penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak,
penulis terima dengan lapang dada.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
terutama dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................3
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang.....................................................................................5
B. Tujuan..................................................................................................6
BAB II Pembahasan
1. Definisi.................................................................................................7
2. Etiologi.................................................................................................7
3. Patofisiologi.........................................................................................8
4. Pencegahan RDS..................................................................................8
5. Manifestasi Klinis................................................................................9
6. Klasifikasi Gangguan Nafas................................................................10
7. Penunjang/Diagnostik.........................................................................12
8. Penatalaksanaan..................................................................................12
9. Komplokasi Penyakit..........................................................................13
A. Pengkajian...........................................................................................14
B. Analisa Data........................................................................................14
C. Intervensi.............................................................................................15
D. Implementasi.......................................................................................16
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan.........................................................................................18
3
B. Saran....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................19
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) Mengungkapkan rata-rata per tahun terdapat 401 bayi
baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber dari
survey terakhir pemerintah, yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI).
Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru
lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita
(AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam
rentang waktu 0-12 hari pasca kelahirannya. Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data terakhir),
angka neonatus tidak pernah mengalami penurunan. Penyebab kematian terbanyak pada periode
ini, menurut Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi
saluran pemapasan atas.
Selaras dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah
mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000
kelahiranhidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di indonesia
termasuk salah satu yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan
jumlah AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10per 1.000 kelahiran
hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar mengatakan
banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi. Antara lain, faktor kesehatan
anak, lingkungan seperti keadaan geografis, dan faktor nutrisi.Bisa dicegah Menurut Kirana,
peran puskesmas dan posyandu sejatinya menjadi kunci untuk menekan kejadian AKB.
Antara lain menurunkan angka kematian anak balita sebesar 2/3 dalam kurun waktu 1990-
2015. Pada tahun 2015 diharapkanangka kematian bayi sebesar 23 bayi per 1.000 kelahiran
hidup dan 32 anak balita per 1.000kelahiran hidup
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease
merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran gas.
Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang
dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
5
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Dapat menerapkan asuhan keperawatan anak yang aman dan efektif pada bayi baru lahir
yang beresiko tinggi (High Risk Newborn).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kebutuhan dan masalah keperawatan bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
b. Mengetahui diagnosa keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
c. Mengetahui cara menyusun rencana keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko
tinggi.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
RDS Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan
tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang
menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik.
Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada
tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak
nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat
alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular,
perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress
syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi
terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit
mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline
Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak,
2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh
ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan
surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).
2. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal
diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi
surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan
daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut
biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat
terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan
7
dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH),
3. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi
berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli
tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan
pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang
luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma
dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
4. PENCEGAHAN RDS
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi
resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan
seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen
yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
a. Mencegah kelahiran < bulan (premature).
b. Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
c. Management yang tepat.
d. Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
e. Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
8
f. Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
g. Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh
: Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
h. Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg
setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)
i. Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio
lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function).
5. MANIFESTASI KLINIS
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat
gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya
sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (>
60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis,
dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak,
menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak
retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular
homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih
jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara
lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat.
9
0 1 2
Frekuensi < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
nafas
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
10
beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi
sistemik.
b. Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk
terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah
dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
a. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan,
berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika suhu normal,
teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut
diatas. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
b. Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai
menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang
pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
c. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan
tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
c. Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap.
Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan
gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60
kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
Fenobarbital
11
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari
sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru
sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
7. PENUNJANG/ DIAGNOSTIK
A. Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma
dengan overdistensi duktus alveolar.
B. Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
C. Data laboratorium
D. Profil paru,
untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin
yang mempunyai predisposisi RDS) Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1
atau lebih mengindikasikan maturitas paru Phospatidyglicerol : meningkat saat
usia gestasi 35 mingguTingkat phosphatydylinosito
Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60
mmHg, saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak.
8. PENATALAKSANA
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
9. KOMPLIKASI PENYAKIT
1. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
A. kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
B. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi.
C. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
2. Komplikasi jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru,
memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
A. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
B. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
BAB III
13
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : By. AK
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 6 Hari
Diagnosa medis : RDS
2. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat keperawatan sekarang
a. Keluhan utama : Sesak nafas
b. Observasi dan Pengkajian Fisik (HEAD TO TOE)
Keadaan Umum :
Tanda-tanda Vital
S : 37oC
N : 86 x/menit
RR : 22 x/menit
B. ANALISA DATA
14
S: Hipotermia Berada di lingkungan yang
O: dingin
a. Suhu : 35,9 ‘C
b. Terpasang OGT
c. Bayi Ny. AK terlihat pucat
d. Berat badan:1505 gram
C. INTERVENSI
C. IMPLEMENTASI
16
O:
Dexametason 0,2 cc
masuk
2. 1. Memonitor hipotermi S : - S:-
bayi 1 jam sekali seperti : O : O:
fatigue, lemah, apatis, -Suhu : 35,9’C Bayi masih didalam
perubahan warna kulit dan incubator
pemeriksaan suhu S:- Bayi masih terpasang
2. Menempatkan bayi O : sonde
kedalam incubator -Bayi Ny. S didalam
3. Sesegera mungkin incubator A:
mengganti pakaian yang kering Masalah hipotermia
dan menyelimutinya. S:- b.d berada di
4. Menghitung balance O : lingkungan yang
cairan bayi. Bayi Ny. S terlihat dingin belum teratasi
nyaman
P:
S:- Pertahankan
O: intervensi no. 1, 2, 3,
Balance cairan : dan 4
+68’2cc
Bayi terpasang sonde
3. 1. Melakukan cuci tangan S : - S:-
sesuai standar IPCN O: O:
2. Mengguanakan celemek -Cuci tangan dilakukan Hasil Laboratorium
dan sarung tangan steril dalam Leucosit : 10,31 /uL
melakukan asuhan keperawatan S : - Tali pusat masih
3. Mempertahankan O: basah
lingkungan aseptic selama -Terpasang infus Terpasang infus
proses tindakan ganti balut umbilical umbilical
4. Mengisi blangko
pemeriksaan laboratorium S:- A:
5. Melakukan injeksi O : Masalah resiko
Cefotaxim 2x75 mg/ IV dan Tali pusat masih basah infeksi b.d Prosedur
Dexametasone 3x0,2 mg / IV infasif masih dalam
S:- tahap observasi
O: Menurut expert
Leukosit : 10,31 / UL (dr.sp.A) Masalah
resiko infeksi
S:- berlangsung selama 3
O: hari
Injeksi masuk
P:
Pertahankan
intervensi no. 1, 2, 3,
4, 5
17
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline
Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).
2. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria
3. Adapun Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang.
4. Adapun cara pencegahan RDS yang efektif yaitu : Mencegah kelahiran < bulan
(premature), Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis,
Management yang tepat, Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat
DM, Optimalisasi kesehatan ibu hamil dan cek kematangan paru melalui cairan amnion.
5. Gejala klinikal yang timbul dari penyakit RDS yaitu : adanya sesak nafas pada bayi
prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-
96 jam pertama setelah lahir.
6. Adapun beberapa klasifikasi dari penyekit RDS ada 3 yaitu : gangguan pernafasan
ringan, gangguan pernafasan sedang dan gangguan pernafasan berat.
7. Beberapa tindakan untuk mengatasi kegawat daruratan pernafasan yaitu :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat, Mempertahankan keseimbangan asam
basa, Mempertahankan suhu lingkungan netral,Mempertahankan perfusi jaringan adekuat,
Mencegah hipotermia, Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
B. SARAN
1. Kepada ibu hamil dianjurkan agar selalu menjaga kehamilannya dan memeriksakan
kehamilannya secara rutin kepada tenaga kesehatan agar dapat mengurangi penyakit
kelainan bawaan pada neonates dan apabila terdapat kelainan dapat di deteksi secara dini.
2. Hindari terjadinya kelahiran bayi premature karena bayi premature memungkinkan
terjadinya penyakit RDS terhadap bayi
3. Dan apabila pada ibu hamil dengan riwayat penyakit diabetes militus maka sebaiknya ibu
menjaga pola makannya terutama diet terhadap glukosa agar resiko terjadinya RDS pada
bayinya menurun.
DAFTAR PUSTAKA
18
Hidayat. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Nughoro. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah dan Dalam. Yogyakarta :
Nuha Medika
19