Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

HMD GRADE II PADA NEONATUS DI RUANG PERINATOLOGI

RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR

KOTA MALANG

Oleh:

Nina Hidayatunnikmah

NIM. 120070500011036

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013
LEMBAR PENGESAHAN

Telah diperiksa, dievaluasi dan disetujui oleh pembimbing praktek dan pembimbing
akademik di Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar Malang.

Malang, 18 November 2013

Mahasiswa

Nina Hidayatunnikmah

NIM. 120070500011036

Pembimbing Praktik

Ninik Dwi.A ,AMK

Pembimbing Akademik

Tri Novi Kurnia Wardani, SST,M.Kes

Mengetahui,

Ketua Program Studi SI Pendidikan Bidan

Fakultas Kedokteran Unbraw

dr. M. Nooryanto, Sp.OG(K)

NIP. 19671103 200001 1 001


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan Kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbingan-

Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul Asuhan Kebidanan Pada Bayi

Kurang Bulan Usia 32 Hari Dengan HMD grade II. Asuhan kebidanan ini merupakan salah

satu tugas dalam rangkaian Pendidikan Profesi pada Program Studi S1 Kebidanan Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. M. Nooryanto, Sp.OG(K), selaku ketua Program Studi S1 Kebidanan Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya sekaligus pembimbing institusi yang telah

memberikan kesempatan, dorongan, dan bimbingan kepada saya untuk menyelesaikan

program pendidikan profesi bidan.

2. Ibu Tri Novi Kurnia Wardani, S.ST., M.Kes, selaku pembimbing akademik Program

Studi S1 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan

bimbingan serta dukungan kepada saya selama menjalani program pendidikan profesi.

3. Ibu Ninik Dwi. A,AMK selaku pembimbing di RSU Dr. Saiful Anwar Malang yang telah

memberikan bimbingan kepada saya untuk mengasah dan menerapkan keterampilan

saya dalam memberikan asuhan kebidanan.

4. Seluruh staf di di RSU Dr. Saiful Anwar Malang yang telah memberikan bimbingan serta

dukungan kepada saya selama menjalani program pendidikan profesi bidan.

Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan,

dukungan dan bantuan dalam penyelesaikan asuhan kebidanan ini.

Saya sadari bahwa asuhan kebidanan ini masih kurang sempurna, maka dari itu saya

berharap kritik dan saran dari pembaca dan semoga bermanfaat bagi pembaca.

Malang, 18 November 2013

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang

daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan

pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat

terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan

pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma,

alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.

RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease

merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran

gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau

komplikasi yang dihasilkannya.

Pada penyakit ini, terjadi karena kekurangan pembentukan atau pengeluaran

surfaktan sebuah kimiawi paru-paru. Surfaktan merupakan suatu campuran lipoprotein aktif

dengan permukaan yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.

Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea (> 60 x/menit) , pernapasan

cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting (merintih) dalam

beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan

polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory

atau asidosis campuran (Bobak, 2005).

Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal

steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari

kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari

pelayanan NICU turun menjadi 1%. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada

laporan tentang kejadian RDS.


 Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease

(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama

pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya

atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya

serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab

terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory

Distress Syndrome (RDS). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada

bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2001).

Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun

sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh

neonatus. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959

sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan kebidanan dengan pendekatan management

kebidanan pada bayi HMD di ruang perinatologi RS.Saiful Anwar

1.2.1 Tujuan Khusus

- Mampu menguraikan konsep dasar dan management kebidanan pada

bayi dengan HMD

- Mampu melakukan pengumpulan data dan pengkajian data melalui pengkajian

data melalui anmamnesa,pemeriksaan fisik,pemeriksaan penunjang

- Mampu mengidentifikasi masalah, diagnosa, kebutuhan.

- Mampu mengantisipasi masalah potensial dan diagnosa lain.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas

(SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa

saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung,

grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap

atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah

kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema

sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler.

Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist ditemukan

pola retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air

bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.

2.2 INSIDENSI

Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi

baru lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari

semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya.

HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan

umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28

minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat

jarang terjadi pada bayi matur.

Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan

37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran

yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. Pada

ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya

disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang
lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug

abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik.

Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada

laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi

surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.

Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada

ibu.

2.3 ETIOLOGI

Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan

dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya

tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol,

phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.

Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia,

hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress

dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat

rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan

semakin berkurangnya surfaktan.

2.4 PATOFISIOLOGI

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan

baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien

karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi

sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan

dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain

itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang

masih lemah.
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema

interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk

mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik

karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan

intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan

terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi

memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan

alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru

mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis.

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi

yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis,

menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang

menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil,

bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya

ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis

menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri

melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru

berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler

menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.

Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas

lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan

perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat

menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi

pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II

untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri

melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia.


Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya

resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas

vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan

rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.

Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru

merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan,

sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi

premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin

berkurang

PATHWAY
2.5 MANIFESTASI KLINIS

Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya

baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60

x / menit).Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain.

Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres

pernafasan awal yang berat.

Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan

pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap

oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan

pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru

posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea.

Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi

peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring

memburuknya penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan

merupakan tanda perlunya intervensi segera.

Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan

oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada

progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi

dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3

hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai

membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal

dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya

memerlukan ventilasi mekanik.

Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar

oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada

hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema

interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.


Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi

bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat).

2.6 DIAGNOSIS

2.6.1 Gejala Klinis

Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu

(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam

pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus nspiratoir.

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score

(derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress

nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.

Tabel 2.1 Silverman score


Grade Gerakan dadaDada bawahRetraksi PCH Grunting
atas (retraksi ICS) epigastrium
0 sinkron - - - -
1 Tertinggal padaringan ringan minimal Terdengar pada
inspirasi stetoskop
2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar tanpa
stetoskop

2.6.2 Gambaran Rontgen

Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang

karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari

parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena

superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran

yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.

Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :

Stage I : gambaran reticulogranular

Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung

Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.


Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus.

2.6.3 Laboratorium

Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak

menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas

darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan

hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.

2.6.4 Echocardiografi

Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan

derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan

kemungkinan adanya kelainan struktural jantung

2.6.5 Tes Kocok (Shake Test)

Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui

nasogastrik tube pada neonatus <>banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %,

dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama

15 menit. Pembacaan :

Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD

· +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD

· +2 : gelembung satu deret, > 1/3 permukaan tabung

· +3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua

deret.

· +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur

2.6.6 Amniosintesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya

HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan

amniosentesis (pemeriksaan antenatal).

2.6.7 Tes Apung Paru

Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk

mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya

mayat harus segar.

Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,

pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada

bak yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang

kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan

masing-masing lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut,

catat mana yang tenggelam, mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian,

yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan

perifer. Apungkan ke-25 potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan

tersebut pada 2 karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian

dimasukkan kembali ke dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paru-paru

mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian yang

terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup

2.7 DIAGNOSA BANDING

2.7.1 Pneumonia Neonatal

Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan

dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat

identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau

trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya

netropenia
2.7.2 Transient Tachypnea of The Newborn

Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS – hipoaerasi). Densitas

retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran

opak menetap minimal 3 – 4 hari.

2.7.3 Sindroma Aspirasi Mekonium

Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area

emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru

biasanya hiperaerasi.

2.8 Pencegahan

2.8.1 Mencegah kelahiran prematur

Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar

yang tidak perlu, penaganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko tinggi,

prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru.

Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran

prematur adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu

keras selama kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini

ternyata dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang

menjalani apus vagina pada kehamilan 24 – 27 minggu, ditemukan fibronektin yang

merupakan penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur,

oleh karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi

diberikan terapi metronidazol.

Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar,

perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada cairan

amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya bayi

prematur. Pemantauan intrauterin antenatal dan intrapartum menurunkan kemungkinan

terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan meningkatnya insidensi dan beratnya HMD.
2.8.2 Membantu pematangan paru

Cairan paru-paru fetus merupakan bagian yang penting dari cairan amnion. Insidensi

HMD hanya 0,5 % bila rasio lecithin : sphingomyelin > 2.

Menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan tes

kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih yang stabil bila ada

ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan ethanol 95 %. Masing-masing

dikocok 15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin buih yang tidak terputus pada meniskus

pada tiga tabung pertama atau lebih berarti positif (paru-paru matur).

Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan pemeriksaan ada tidaknya

phosphatydilglycerol dari cairan amnion. Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada

usia kehamilan 36 minggu. Keberadaannya menunjukan kematangan paru.

2.8.2.1 Corticosteroid

Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48 – 72 hari

sebeum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang menurunkan insidensi,

mortalitas dan morbiditas HMD. Corticosteroid dapat diberikan secara intramuskular pada

wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan amnionnya menunjukan imaturitas paru-paru,

dan bagi yang direncanakan akan melahirkan 1 minggu kemudian, atau persalinan akan

ditunda 48 jam atau lebih.

Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang

produksi phosphatydilcholine ole sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah

efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan.

Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, dan

efeknya hilang pada 7 -10 hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar didapatkan bila

interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam namun kurang dari 7 hari. Pemberian

steroid tidak mempengaruhi insidensi penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian

perdarahan intracranial sehingga menurunkan insidensi cerebral palsy di kemudian hari.


Semua wanita dengan usia kehamilan 23 – 34 minggu yang diperkirakan beresiko

akan melahirkan dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12

mg IM diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 – 48 jam diperbolehkan). Dapat

juga diberikan dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan

untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid adalah ibu

dengan tirotoksikosis, kaediomiopati, infeksi aktif atau chorioamnionitis. Diabetes,

preeklamsi, preterm prelabour rupture of the membran, dan chorioamnionitis dalam terapi

bukan merupakan kontraindikasi pemberian steroid.

Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan menurunkan insidensi

komplikasi prematuritas yang lain seperti perdarahan intraventrikular, patent ductus

arteriosus (PDA), pneumothorax, dan enterokolitis nekrotikan, tanpa mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan neonatus, mekanisme atau pertumbuhan paru, ataupun

insidensi infeksi. Glukokortikoid prenatal dapat beraksi sinergis dengan terapi surfaktan

eksogen posnatal.

2.9 Terapi

Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-

paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya

HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi

asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia.

Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk

meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan

sebaiknya dilakukan di NICU.

2.9.1 Resusitasi di tempat melahirkan

Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah

perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya


hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan

oksigen berada pada batas minimum.

Pemberian obat selama resusitasi :

 Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten

setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan

intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi,

dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.

 Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20

mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari

konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.

 Volume expander 10 ml/kg

 Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.

2.9.2 Surfaktan Eksogen

Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang

membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah

memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru

sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara

konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen

alveoli – arteri dalam 48 – 72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator,

meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian

surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi

PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan

insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %.

Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa

jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis

lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan

eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit
disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu

kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai

24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis

atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan

pulse oxymetri.

Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang

adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta,

ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam

palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-

B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A

dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan

gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol,

diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara

alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound) merupakan gabungan DPPC and

phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang

sedang diteliti adalah Infasurf (alami)

2.9.3 Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah

Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 – 70

mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang

normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat

dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan

indikasi menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).

Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit,

gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri

umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk

memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat

memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi
seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti

intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80

mmHg, dan Sa O2 antara 90 – 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena

merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP).

Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto

rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas

bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 – T10). Penempatan harus dilakukan oleh

orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan

lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %.

Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH

adalah bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal – hal

tersebut harus dilakukan. Darah diabil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis

merupakan kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan

harus selalu dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi

oksigen). Darah kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk

memantau PCO2 dan pH.

2.9.4 Fluid and Nutrition

Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus

glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian

tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam.

Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA).

Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres

nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt

menurunkan insidensi NEC.

2.9.5 Ventilasi Mekanik

2.9.5.1 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)


CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity

(FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya

kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 50%.

Pemakainan secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil,

harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi

dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal

selama beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi

harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha

bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan.

CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini

menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum

hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan

penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila

dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah

menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan.

2.9.5.2 Ventilasi Mekanik

Bayi dengan HMD berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea

persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain :

1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk:

 pCO2 arteri > 60 mmHg

 pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %

2. Kolaps cardiorespirasi

3. Apnea persisten dan bradikardi

BAB III

KONSEP ASUHAN KEBIDANAN


I. Pengkajian

A. Data Subyektif

1. Biodata

a. Nama klien dan suami: untuk mengetahui identitas klien.

b. Usia klien dan suami: untuk mengetahui resiko tinggi atau

rendahnya kehamilan pada ibu.

c. Suku/bangsa: untuk mengetahui suku, adat, daerah,

budaya dan tradisi

d. Agama: mengetahui keyakinan klien.

e. Pendidikan: dasar dalam memberikan KIE.

f. Pekerjaan: untuk mengetahui pengaruh aktifitas terhadap

kesehatan klien.

g. Alamat: memudahkan komunikasi.

2. Riwayat Antenatal

a. Riwayat ANC : untuk mengetahui frekuensi dan status

ANC ibu saat hamil

b. Riwayat imunisasai TT : sebagai upaya antisipasi terjadinya tetanus

neonatorum

c. Kenaikan berat badan : untuk mengetahui kecukupan asupan

nutrisi ibu selama kehamilan

d. Keluhan saat hamil : untuk mengetahui adanya masalah-

masalah pada ibu selama kehamilan

e. Penyakit selam ahamil : untuk mengetahui adanya masalah-

masalah pada ibu selama kehamilan dan

pengaruhnya saat persalinan


f. Kebiasaan makan : untuk mengetahui kesesuaian asupan

nutrisi ibu dengan kebutuhan

g. Obat/jamu/merokok : untuk mengetahui pola konsumsi ibu yang

dapat memberikan dampak buruk pada

janin

3. Riwayat Intranatal

a. Lahir dan tanggal persalinan : untuk

mengetahui kesesuaian

antara usia kehamilan dan

maturitas janin

b. Jenis persalinan : untuk

mengetahui adanya penyulit

yang menyertai selama persalinan

c. Komplikasi pada ibu dan janin : untuk

mengetahui adanya

masalah-masalah pad aibu dan

janin

4. Keadaan bayi baru lahir

a. Berat dan panjang badan : untuk mengetahui keadaan bayi

baru lahir yang berhubungan

dengan status gizi

b. Nilai APGAR : untuk mengetahui keadaan bayi

baru lahir

B. Data Obyektif

a. Pemeriksaan umum

Keadaan umum : Baik, cukup, kurang.

Kesadaran : Dilihat dari tangisan dan gerak motoriknya


Suhu : Normalnya 36,5˚C – 37,5˚C untuk mengetahui

adanya tanda -tanda infeksi.  380C dianggap

tidak normal dan ada tanda infeksi,.

Nadi : Normalnya 120 – 160 kali/menit. (reguler/ireguler)

RR : Normalnya 40 kali/menit – 60 kali/menit.

BB : 2500 g-4000 g

TB : 48 cm-52 cm

Lila : mengetahui status gizi bayi

 Inspeksi

Kepala : cek ada kaput, sefal hematoma, penutupan UUK dan

UUB, adanya moulase.

Mata : konjungtiva anemis/ tidak, sklera putih/tidak, adanya

sekret, tanda brushfield.

Telinga : simetris atau tidak.

Hidung : letak septum, kepatenan nares.

Mulut : mukosa bibir kering/ lembab, celah palatum, labioskiziz,

labiopalatoskizis, lidah proporsional atau tidak.

Leher : bagian kulit yang longgar dan lipatan kulit tambahan.

Dada : adakah retraksi, kesimetrisan gerak

Abdomen : bentuk, kesimetrisan.

Genetalia : cek penurunan skrotum, adanya sekret, labia mayora

sudah menutup labia minora atau belum

Anus : adakah lubang atau tidak.

 Palpasi

Leher : adakah pembesaran kelenjar tiroid dan denyutan arteri

carotis.

Dada : adakah retraksi dinding dada.


Abdomen : apakah hepar, ginjal, limpa teraba, arteri dan vena pada

umbilikus

 Auskultasi

Abdomen : adakah bising usus

b. Pemeriksaan Penunjang

II. Identifikasi Diagnosa dan Masalah (Interpretasi Data Dasar)

Langkah ini diambil berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada pasien.

Masalah : yang menyertai diagnosa dan keadaan pasien.

Kebutuhan : kebutuhan yang diberikan sesuai masalah yang ada dan tidak

harus segera dilakukan.

III. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial

Langkah ini diambil berdasarkan diagnosa atau masalah yang telah ditemukan

berdasarkan data yang ada kemungkinan menimbulkan keadaan yang gawat.

IV.Identifikasi Kebutuhan Segera

Mencakup tentang tindakan segera untuk menangani diagnosa/masalah potensial yang

dapat berupa konsultasi, kolaborasi dan rujukan.

V. Intervensi

Merencanakan asuhan secara menyeluruh yang akan diberikan kepada klien sesuai

dengan diagnosa/masalah.

Tujuan : setelah dilakukan asuhan kebidanan selama 20 menit

diharapkan dapat diketahui keadaan bayi baru lahir.

Kriteria :

- Keadaan umum bayi baik.

- TTV dalam batas normal.


- Adanta kelainan kongenital yang menyertai.

VI.Implementasi

Melaksanakan rencana asuhan yang telah direncanakan secara menyeluruh dengan

efisien dan aman sesuai perencanaan.

VII. Evaluasi

Tindakan pengukuran antara keberhasilan dalam melaksanakan tindakan untuk

mengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan sesuai kriteria hasil yang

ditetapkan dan apakah perlu untuk melakukan asuhan lanjutan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai