Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KOMPREHENSIF

ASUHAN KEGAWATDARURATAN KEHAMILAN PADA NY. L G3P2002


UK 38-39 MINGGU DENGAN PLASENTA LETAK RENDAH,
HIPERTENSI BUKAN PRE EKLAMSI, DEGENERASI RETINA
PERIFER DISERTAI MYOPI, DAN ASMA ON THERAPY
DI RUANG PONEK RUMAH SAKIT AURA SYIFA KEDIRI

Disusun Oleh :

Nisa Shabrinafi Amalia P17312215062


Siela Kurniasari P17312215081
Siti Rokayah P17312215097
Dhea Putri Ericasari P17312215098
Devy Anggita P17312215099

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2022
PENGESAHAN

Laporan Komprehensif Stase Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dan


Kolaborasi pada Kasus Patologi dan Komplikasi
dengan Judul “Asuhan Kegawatdaruratan Kehamilan Pada Ny. L G3P2002 Uk
38-39 Minggu dengan Plasenta Letak Rendah, Hipertensi bukan Pre Eklamsi,
Degenerasi Retina Perifer disertai Myopi, dan Asma On Therapy
Di Ruang Ponek Rumah Sakita Aura Syifa.

Telah disetujui dan disahkan pada tanggal ……………………………………

Nama Persepti NIM Tanda Tangan

Nisa Shabrinafi Amalia P17312215062

Siela Kurniasari P17312215081

Siti Rokayah P17312215097

Dhea Putri Ericasari P17312215098

Devy Anggita P17312215099

Menyetujui,

Kediri,………………………

Perseptor Akademik Perseptor Klinik

(Ririn Indriani, S.ST, M.Tr.Keb) (Tety Yustiana, Amd.Keb)


NIP. 19790130 200604 2 005 NIP. 12912201290
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asuhan antenatal merupakan upaya preventif program pelayanan kesehatan
obstetri untuk mengoptimalisasi kesehatan maternal dan neonatal melalui
serangkaian kegiatan yaitu dengan melakukan pemantauan rutin selama
kehamilan (Prawirohardjo, 2014).

Penyebab langsung kematian ibu adalah komplikasi kehamilan, persalinan


dan nifas. Semakin tinggi kasus komplikasi maka semakin tinggi kematian ibu.
Penyebab utama komplikasi ibu hamil adalah perdarahan, hipertensi, infeksi dan
penyebab tidak langsung, sebagian besar karena interaksi antara kondisi medis
yang sudah ada dan kehamilan (WHO, 2018).

Enam penyebab kematian ibu tebanyak yaitu perdarahan, hipertensi dalam


kehamilan (HDK), asma, infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu
masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan,
hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO), kematian ibu adalah kematian


wanita dalam masa kehamilan, persalinan dan dalam masa 42 hari (6 minggu)
setelah berakhirnya kehamilan tanpa memandang usia kehamilan maupun
tempat melekatnya janin tetapi juga bukan disebabkan oleh kecelakaan/cedera.
Tahun 2015, WHO menyebutkan bahwa angka kematian ibu di seluruh dunia
sebanyak 303.000 jiwa. Setiap hari terjadi kematian ibu sebanyak 830 akibat
kehamilan dan persalinan dan sekitar 99% angka kematian ibu terjadi di negara
berkembang dan 1% terjadi di negara maju (WHO, 2018).

Plasenta previa adalah komplikasi dalam kehamilan biasanya ditandai


dengan pendarahan pada vagina tanpa rasa nyeri pada trimester ketiga, dimana
letak plasenta menutupi ostium uteri interna. Umumnya kategori plasenta previa
adalah total, partial dan marginal. Plasenta previa totalis merupakan plasenta
menutupi seluruh ostium internal, plasenta previa parsial adalah plasenta
tertanam dekat dan sebagian menutupi internal ostium dan plasenta previa
marginal merupakan plasenta terletak 2-3 cm dari ostium uteri internum
(Almnabri et al., 2017).

Perempuan dengan plasenta previa berisiko lebih tinggi mengalami


pendarahan postpartum, pendarahan antepartum, membutuhkan transfuse darah,
lama dirawat di rumah sakit dan pesalinan dengan operasi caesar. Kejadian
plasenta previa juga meningkatkan dampak yang merugikan bagi kehamilan
yaitu apgar skor kurang dari 7 pada menit ke 1, menit ke-5 dan ke 10, bayi
dengan berat badan lahir rendah, malpresentasi janin, dirawat di ruang Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) dan kematian bayi (Senkoro et al, 2017).

Sedangkan penurunan kapiler konjungtiva dan peningkatan granularitas


pada venula konjungtiva dapat terjadi dan dapat sembuh pada periode postpartum.
Kehamilan juga dapat mempengaruhi fisiologi film air mata dan menyebabkan
mata kering. Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan reaksi kekebalan dalam
sel-sel duktus lakrimal dan penghancuran langsung sel asinar oleh prolaktin,
mengubah faktor pertumbuhan beta-1 dan epidermal faktor pertumbuhan. Mata
kering dapat diperparah oleh dehidrasi akibat mual dan muntah dan penggunaan
obat anti mual. Selama kehamilan mungkin ada penurunan sensitivitas kornea
yang akan menjadi lebih jelas menjelang akhir kehamilan. Kornea menebal
sebagai respons terhadap edema kornea.

Peningkatan kelengkungan lensa dapat menyebabkan pergeseran rabun.


Kehilangan akomodasi sementara dan ketidakcukupan selama kehamilan dan
periode menyusui setelah melahirkan telah dilaporkan. Oleh karena itu,
penggunaan kacamata dan lensa kontak baru harus dihindari selama kehamilan,
dan sebaiknya ditunda sampai beberapa bulan setelah melahirkan. Operasi
refraktif merupakan kontraindikasi selama kehamilan.

Peningkatan cairan pada mata dapat berakibat terjadinya miopia yang


bersifat sementara, akibatnya lengkungan kornea menjadi tajam, sehingga sinar
yang datang jatuh di depan retina yang disebut dengan keadaan “Miopia” yang
mengakibatkan perubahan ketajaman penglihatan. Hormon steroid seperti
estrogen dan dehidroepiandrosteron (DHEA, termasuk kelompok hormon
androgen) berfungsi dalam mengatur MMPs (Matriks Metalloproteinase). Pada
percobaan tikus dan sel manusia, estrogen mampu meningkatkan pengaturan
MMP-2 dan/atau MMP-9. Peningkatan aktivitas dari MMP-2 mempengaruhi
perkembangan terjadinya miopia.

Sedangkan Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan meningkatnya


tekanan darah diatas normal yaitu tekanan darah sistolik≥ 140 mmHg dan
diastolik≥ 90 mmHg. Kejadian hipertensi pada kehamilan sebesar 5–15%, hal ini
dapat terjadi karena tingkat pengetahuan ibu hamil yang kurang baik dan kurang
mengerti tentang bahaya hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan
merupakan satu di antara 3 penyebab mortalitas dan morbiditas ibu bersalin di
samping infeksi dan perdarahan (Sirait, 2012). Penanganan hipertensi selama
kehamilan perlu segera dilakukan setelah diagnosa ditegakkan. Pemberian terapi
obat antihipertensi segera mungkin dan menjaga tekanan darah agar tetap masuk
ke dalam kisaran normal merupakan hal penting. Hipertensi dalam kehamilan
apabila tidak segera diobati dapat menyebabkan pendarahan pada janin dan otak,
serta dapat menyebabkan kematian pada ibu, janin, maupun keduanya
(Queensland Clinical Guidelines, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lisniawatiet aldi


RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2011 ditemukan terapi antihipertensi yang
diberikanselama kehamilan adalah metildopa dan nifedipin. Selain penggunaan
antihipertensi terdapat penggunaan obat lain seperti oksitosin, sintosinon, atau
misoprostol, dan MgSO4. Pemberian terapi antihipertensi yang kepada pasien
setelah melahirkanadalah metildopa dan nifedipin, serta pemberian obat lain
seperti antibiotika, metilergometrin, asammefenamat, dan sulfas ferosus.
Sebanyak 6 orang pasien dengan kategori hipertensi sedang, diberikan terapi
antihipertensi yaitu metildopa (16,67%) dan nifedipin (83,33%) dengan dosis
masing-masing yaitu 3 x 250 mg per hari dan 3 x 10 mg per hari(Lisniawati et al.,
2011). Penelitian tersebut belum mengevaluasi ketepatan penggunaan obat
antihipertensi berdasarkan tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien dan tepat dosis
dan pengambilan data pasien yang dilakukan oleh peneliti adalah pasien yang
mengalami hipertensi gestasional. Sehingga perlu dilakukan evaluasi ketepatan
penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil.
Dan Asma dalam kehamilan yang tidak terkontrol mampu menyebabkan
hiperemesis gravidarum, berat badan turun, cairan dan elektrolit dalam tubuh
tidak seimbang, perdarahan pervaginam dan komplikasi kehamilan, sedangkan
pada persalinan dapat menyebabkan kelahiran premature, BBLR, dan hipoksia
neonatus (Saifuddin, 2010). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Agustina,
(2017) menyebutkan bahwa penyakit asma berdampak penting bagi wanita dan
janin selama kehamilan dan persalinan, dampak yang dapat terjadi berupa
kelahiran premature, BBLR, hipoksia dan seksio sesarea.

Insiden asma telah meningkat secara drastis didunia selama beberapa


dekade terakhir dan penyebabnya tidak jelas. Beberapa bentuk asma tidak
menunjukkan pencetus alergik, bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa asma
dapat disebabkan oleh genetik dengan dipengaruhi lingkungan seperti infeksi,
diet, polusi, dan allergen (Wylie & Bryce, 2010). Meninjau efek kehamilan
sendiri terhadap asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian
yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa
29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti
sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan beratmbahnya
umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat
menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami
eksaserbasi (serangan asma dengan episode meningkat) pada persalinan, bahkan
peningkatan 18 kali lipat risiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea
dibandingkan dengan pervaginam (Agustina, 2017).
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian tertarik untuk memberikan
asuhan terhadap kasus yang terdapat pada Ny. L.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menerapkan asuhan kebidanan pada ibu dengan komplikasi
dengan menggunakan pendekatan manajemen kebidanan secara tepat
dan sesuai dengan kebutuhan ibu hamil itu sendiri.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengkaji keadaan ibu dengan komplikasi
2. Mahasiswa dapat memantau keadaan ibu dengan komplikasi
3. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip implementasi asuhan
kebidanan pada ibu dengan komplikasi
4. Mahasiswa dapat mengevaluasi hasil akhir dari asuhan kebidanan
pada ibu dengan komplikasi
1.3 Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Yaitu metode pengumpulan data wawancara langsung responden yang
diteliti, metode ini diberikan hasil secara langsung dalam metode ini
dapat digunakan instrumen berupa pedoman wawancara kemudian daftar
periksa atau cheklist.
b. Observasi
Yaitu cara pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung kepada responden penelitian untuk mencari perubahan atau
hal-hal yang telah di teliti.
c. Pemeriksaan Fisik
Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pemeriksaan fisik pada
klien secara langsung meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
untuk mendapatkan data yang objektif
d. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan mengambil literatur dengan buku-
buku serta makalah
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP TEORI KASUS


2.1.1 PLASENTA PREVIA
2.1.1.1 Pengertian Plasenta Previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana letak implantasi plasenta berada
pada atau di dekat serviks (Saifuddin, 2014). Plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa sehingga berdekatan
atau menutupi ostium uteri internum secara partial maupun total (Apriyani et al.,
2022). Kondisi plasenta yang berimplantasi secara abnormal pada segmen bawah
rahim atau menutupi Sebagian atau seluruh ostium uteri internum disebut plasenta
previa (Apriyani et al., 2022).
Plasenta previa merupakan plasenta yang implantasinya tidak normal.
Previa terdiri dari dua kata, yaitu Prae (di depan) dan Vias (jalan). Plasenta previa
adalah plasenta yang implantasinya rendah sehingga menutupi seluruh atau
sebagian ostium internum. Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri
merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Dengan bertambahnya
usia kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks akan
lebih membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran
segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta
yang melekat tanpa terlepasnya Sebagian plasenta dari dinding uterus, dan pada
saat itu terjadi perdarahan berwarna merah segar (Pulungan et al., 2020)
2.1.1.2 Etiologi Plasenta Previa
Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti, namun beberapa
faktor risiko telah ditetapkan sebagai kondisi yang berhubungan dengan terjadinya
plasenta previa. Faktor risiko tersebut meliputi hamil usia tua, multiparitas,
kehamilan ganda, merokok selama masa kehamilan, janin laki-laki, riwayat
abortus, riwayat operasi pada uterus, Riwayat plasenta previa pada kehamilan
sebelumnya (Karlina, Ermalinda, et.al, 2016). Beberapa faktor predisposisi
terjadinya plasenta previa antara lain usia dan dan paritas tinggi (Maternity, Putri,
and Yantina, 2014 dalam Apriyani et al., 2022).
2.1.1.3 Klasifikasi Plasenta Previa
Terdapat beberapa kemungkinan implantasi plasenta previa:
1. Plasenta previa totalis atau komplit, yakni plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis, yakni plasenta yang menutupi Sebagian
ostium uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis, yakni plasenta yang tepinya berada
pada pinggir ostium uteri internum.
4. Plasenta letak rendah yaitu plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim dimana tepi plasenta berjarak < 2 cm dari
ostium uteri internum.

Gambar 2.1 Klasifikasi Plasenta Previa

2.1.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang seringkali timbul pada plasenta praevia adalah
perdarahan pervaginam sentinel, dengan jumlah sedikit, intermiten, berwarna
merah segar, tidak nyeri dan tanpa kontraksi yang signifikan yang seringkali
terjadi pada trimester ke-3. Plasenta praevia mengalami peningkatan risiko
perdarahan/kerentanan seiring dengan peningkatan usia gestasi terutama pada
trimester ketiga, yaitu dengan terbentuknya segmen bawah uterus, kontraksi
uterus dan perubahan serviks (dilatasi dan penipisan), sehingga shear stress
dan/atau trauma dapat memicu hilangnya integritas pembuluh darah plasenta dan
bermanifestasi klinis sebagai perdarahan per vaginam. Perdarahan tersebut bisa
terjadi spontan tanpa diketahui penyebab pastinya, atau dapat dipicu oleh koitus,
periksa dalam, dan inpartu (Ayusti Anumillah et al., 2022).
2.1.1.5 Patofisiologi Plasenta Previa
Patogenesis dari plasenta akreta belum jelas. Vaskularisasi abnormal
akibat proses yang terjadi setelah operasi dengan terjadinya hipoksia yang
mengarah pada rusaknya desidualisasi dan invasi yang berlebihan dari trofoblas
merupakan teori patogenesis yang paling diakui saat ini. 12 Hipotesis yang
lainnya terkait dengan etiologi plasenta akreta adalah adanya defek dari
endometrium dan myometrium sehingga menyebabkan kegagalan dari
desidualisasi di area bekas luka di dalam rahim, sehingga menyebabkan invasi
yang dalam dari vili penahan plasenta dan infiltrasi berlebihan dari trofoblas. Dari
penelitian menunjukkan bahwa gangguan di dalam rongga rahim menyebabkan
kerusakan lapisan endometrium dan miometrium sehingga meningkatkan angka
kejadian parut didalam rahim, inilah penyebab meningkatnya angka kejadian
plasenta akreta (Dewi et al., 2021).
2.1.1.5 Diagnosis Plasenta Previa
Cara menegakkan diagnosis plasenta previa menurut (Pulungan et al.,
2020)antara lain:
1. USG transvaginal
Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan alat khusus ke dalam
vagina untuk melihat kondisi vagina dan rahim. Pemeriksaan ini
adalah metode paling akurat untuk menentukan letak plasenta.
2. USG panggul
Prosedur ini sama dengan USG transvaginal, tetapi alat hanya
ditempelkan pada dinding perut, guna melihat kondisi di dalam rahim.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Prosedur ini digunakan untuk membantu dokter melihat dengan
jelas posisi plasenta. Pengobatan plasenta previa bertujuan untuk
mencegah perdarahan. Penanganan tergantung pada kondisi Kesehatan
ibu dan janin, usia kandungan, posisi ari-ari, dan tingkat keparahan
perdarahan. Bila ibu hamil mengalami perdarahan hebat apalagi
berulang, agar bayi dilahirkan secepatnya melalui operasi caesar.
Namun jika usia kandungannya kurang dari 36 minggu, ibu hamil akan
diberikan suntikan obat kortikosteroid terlebih dahulu untuk
mempercepat pematangan paru-paru janin. Bila perlu, diberikan
transgusi darah untuk mengganti darah yang hilang.
Ibu hamil yang mengalami plasenta previa sebenarnya masih dapat
melahirkan normal, asalkan letak plasenta tidak menutupi jalan lahir
atau hanya menutupi Sebagian. Tetapi jika plasenta menutupi seluruh
jalan lahir, akan dilakukan operasi caesar.
Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan implantasi plasenta
dan jarak tepi plasenta terhadap ostium. Jika diagnosis plasenta previa
telah ditegakkan dan janin matur, rencanakan persalinan. Jika
pemeriksaan USG tidak memungkinkan dan kehamilan kurang dari 37
minggu, lakukan penanganan plasenta previa sampai kehamilan 37
minggu. Jika USG tidak tersedia dan usia kehamilan lebih dari 37
minggu, maka lakukan pemeriksaan dalam dengan cara melakukan
perabaan plasenta secara langsung melalui pembukaan serviks
(Saifuddin, 2014).
Konfirmasi diagnosis plasenta letak rendah menurut rekomendasi
RCOG dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal pada
usia gestasi 32 minggu, dan pengambilan keputusan cara persalinan
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan ultrasonografi transvaginal
pada usi gestasi 36 minggu (Ayusti Anumillah et al., 2022).
2.1.1.6 Penatalaksanaan Plasenta Previa
Terapi aktif yang digunakan untuk plasenta previa berdasarkan (Saifuddin,
2014), antara lain:
1. Rencanakan terminasi kehamilan jika:
a. Janin matur,
b. Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (missal anansefali),
c. Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif
tanpa memandang maturitas janin.
2. Jika terdapat plasenta letak rendah dan perdarahan yang terjadi sangat
sedikit, persalinan pervaginam masih mungkin. Jika tidak, lahirkan
dengan seksio sesaria. Kasus plasenta previa mempunyai risiko tinggi
untuk mengalami perdarahan pasca persalinan dan plasenta
akreta/inkreta, suatu kelainan yang bisa ditemui pada lokasi jaringan
parut bekas seksio sesarea.
3. Jika persalinan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari
tempat plasenta:
a. Jahit tempat perdarahan dengan benang
b. Pasang infus oksitosin 10 unit in 500 ml cairan IV (NaCl atau
Ringer Laktat) dengan kecepatan 60 tpm.
4. Jika perdarahan terjadi pascapersalinan, segera lakukan penanganan
yang sesuai. Hal itu meliputi ligase arteri dan histerektomi.
Tatalaksana plasenta praevia disesuaikan dengan keadaan pasien
yang dapat dipengaruhi oleh klasifikasi, usia kehamilan, manifestasi
klinis, dan lain-lain. Episode perdarahan pertama seringkali berhenti
dalam 1-2 jam dan tidak masif, sehingga tidak perlu dilakukan
terminasi kehamilan segera. Meskipun demikian, pasien dengan riwayat
perdarahan per vaginam perlu menjadi perhatian. Pasien tersebut perlu
diobservasi dengan ketat termasuk pemantauan fetomaternal, dilakukan
stabilisasi hemodinamik, pemantauan perdarahan, bed rest,
meminimalisir aktivitas, dan hindari koitus. Terapi farmakologi yang
direkomendasikan RCOG adalah kortikosteroid pada pasien dengan
usia gestasi <34 minggu yang memiliki risiko kelahian preterm;
bersama dengan pemberian tokolitik selama 48 jam. Magnesium sulfat
dapat ditambahan untuk neuroproteksi janin.
RCOG merekomendasikan terminasi kehamilan pasien plasenta
praevia dilakukan dengan sectio caesarea pada usia gestasi 34 -36
minggu pada pasien dengan riwayat perdarahan atau berisiko tinggi
untuk kelahiran preterm; dan pada usia gestasi 36 - 37 minggu pada
pasien stabil dan tanpa penyulit [EBM dan Rekomendasi: II-C].
Terminasi kehamilan juga dapat dilakukan pada usia gestasi 39 minggu
oleh spesialis obstetri-ginekologi yang paling senior yang tersedia.
Terdapat dilema dalam penentuan waktu terminasi karena belum
adanya cukup bukti dan hasil dari penelitian yang sudah ada masih
kontroversial. Semakin bertambahnya usia gestasi maka risiko
perdarahan akan semakin meningkat, namun belum ada bukti yang
cukup mengenai peningkatan risiko aspirasi mekonium, gawat janin,
anemia janin, kejang dan kebutuhan akan ventilator pada bayi yang
dilahirkan pada usia gestasi 38 minggu; sedangkan bayi yang dilahirkan
pada usia gestasi 35-36 minggu memiliki risiko nilai APGAR 7 dan
kebutuhan perawatan neonatus di NICU (Ayusti Anumillah et al.,
2022).
2.1.1.7 Komplikasi Plasenta Previa
Komplikasi pada ibu yang dapat terjadi adalah perdarahan antepartum dan
postpartum (kontraksi segmen bawah uterus kurang baik dan kemungkinan
terjadinya plasenta akreta), yang pada akhirnya dapat menyebabkan syok hingga
membutuhkan transfusi darah, sepsis, trombofleblitis, histerektomi, endometritis,
bahkan kematian ibu. Komplikasi pada janin yang dapat terjadi adalah kelahiran
preterm, berat badan lahir rendah, nilai APGAR rendah, malformasi kongenital,
IUGR, anemia, presentasi abnormal, ARDS, bahkan kematian janin (Ayusti
Anumillah et al., 2022).

2.1.2 HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


2.1.2.1 Pengertian Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi gestasional adalah tekanan darah tinggi yang pertama kali pada
trimester 2 kehamilan (setelah 20 minggu), dimana nilai sistolik ≥ 140 mmHg dan
distolik ≥ 90 mmHg dan biasanya akan hilang setelah melahirkan. Hipertensi
gestasional penyumbang 10% terjadinya komplikasi pada kehamilan, dan paling
sedikit 30% dari ibu hamil yang mengalami hipertensi gestasional berisiko
mengalami preeklamsia (Juwita et al., 2021). Hipertensi dalam kehamilan
mencakupi hipertensi karena kehamilan dan hipertensi kronik (meningkatnya
tekanan darah sebelum usia 20 minggu). Nyeri kepala, kejang, dan hilangnya
kesadaran sering berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Keadaan lain
yang dapat mengakibatkan kejang adalah epilepsy, malaria, trauma kepala,
meningitis, dan ensefalitis (Nugrawati & Amriani, 2021).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 dan diastolik ≥ 90 mmHg,
pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya 2 kali selang 4 jam, dan kenaikan
sistolik ≥ 30 mmHg dan diastolik ≥ 15 mmHg. Hipertensi kronis adalah hipertensi
yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama
kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan kondisi hipertensi tersebut
menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. Hipertensi kronis superimpus
preeklamsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklamsia atau
hipertensi kronik disertai proteinuria (Akbar et al., 2020).
1.1.2.2 Etiologi Hipertensi dalam Kehamilan
Faktor predisposisi :
1. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem,
yaitu remaja dan umur 35 tahun ke atas.
2. Multigravida dengan kondisi klinis : a) Kehamilan ganda dan hidrops
fetalis. b) Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan
diabetes mellitus. c) Penyakit-penyakit ginjal.
3. Hiperplasentosis : Molahidatidosa,kehamilan ganda, hidrops fetalis,
bayi besar, diabetes mellitus.
4. Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.
5. Obesitas dan hidramnion.
6. Gizi yang kurang dan anemi.
7. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium,
defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.
(Lail, 2015)
2.1.2.3 Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan
Kehamilan melibatkan banyak factor imunologi. Pada kehamilan harus
terjadi suatu imuno-tolerance terhadap factor paternal. Gangguan atau hilangnya
toleransi menghasilkan disregulasi imunologi pada kehamilan yang merupakan
salah satu penyebab dari preeklamsia.
Pada kehamilan terjadi interaksi self-non self serta rejection melalui
mekanisme interaksi antara HLA dan sel UNK. Dilaporkan bahwa pada
preeklamsia jumlah HLA-G lebih sedikit dibandingkan kehamilan normal.
Selanjutnya timbul reaksi imunologi yang diregulasi oleh Th 1 dan Th 2. Pada
preeklamsia, rasio Th1/ Th 2 berubah sehingga interleukin pro inflamasi lebih
dominan dibandingkan anti inflamasi. Adanya interleukin pro inflamasi dan
hypoxia yang timbul menyebabkan keluarnya mikropartikel (debris) yang bersifat
oksidatif dan beredar secara sistemik. Debris ini akan menimbulkan reaksi
inflamasi, mengaktifkan reaksi endothelial vascular yang akan tercermin pada
gambaran phenotype klinis.
2.1.2.4 Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan
Diagnosis pada hipertensi dalam kehamilan antara lain:
1. Tekanan diastolik merupakan indikator untuk prognosis pada
penanganan hipertensi dalam kehamilan.
2. Tekanan diastolik mengukur tahanan perifer dan tidak dipengaruhi
oleh keadaan emosi pasien (seperti pada tekanan sistolik)
3. Jika tekanan diastolik ≥ 90 mmHg pada dua pemeriksaan berjarak 4
jam atau lebih, diagnosisnya adalah hipertensi. Pada keadaan urgen,
tekanan diastolic 110 mmHg dapat dipakai sebagai dasar diagnosis,
dengan jarak waktu pengukuran < 4 jam.
4. Terdapatnya proteinuria mengubah diagnosis hipertensi dalam
kehamilan menjadi preeklamsia. Beberapa keadaan lain yang dapat
menyebabkan proteinuria adalah infeksi tractus urinarius, anemia
berat, gagal jantung, partus lama, hematuria, skistosomiasis, dan
kontaminasi dengan darah dari vagina.
5. Penapisan dapat dilakukan dengan uji dipstick.
6. Hipertensi dalam kehamilan, diklasifikasikan menjadi: 1) hipertensi
(tanpa proteinuria atau edema), 2) preeklamsia ringan, 3)
preeklamsia berat, dan 4) eklamsia (Nugrawati & Amriani, 2021).
2.1.2.5 Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan tanpa proteinuria dapat dilakukan
dengan rawat jalan:
1. Pantau tekanan darah, urine (untuk proteinuria), dan kondisi janin
tiap minggu.
2. Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklamsia ringan.
3. Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin
terhambat, rawat untuk penilaian kesehatan janin.
4. Beritahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preeklamsia
atau eklamsia.
5. Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal
(Saifuddin, 2014).

2.1.3 KONSEP ASMA BRONKIAL


2.1.3.1 Definisi Asma
Sesak nafas dan mengi menjadi suatu pertanda seseorang
mengalami asma. Asma merupakan gangguan radang kronik pada saluran
napas. Saluran napas yang mengalami radang kronik bersifat peka
terhadap rangsangan tertentu, sehingga apabila terangsang oleh factor
risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat
karena konstriksi bronkus,sumbatan mukus, dan meningkatnya proses
radang. Dari proses radang tersebut dapat timbul gejala sesak nafas dan
mengi. Asma adalah suatu penyakit dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang
mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Dari
beberapa pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan asma
merupakan suatu penyakit saluran pernafasan yang mengalami
penyempitan karena hipereaktivitas oleh faktor risiko tertentu.
Penyempitan ini bersifat sementara serta menimbulkan gejala sesak nafas
dan mengi (Yuliati & Djajalaksan, 2015) .
2.1.3.2 Etiologi Asma
Menurut Wijaya & Putri (2014) etiologi asma dapat dibagi atas :
a. Asma ekstrinsik / alergi
Asma yang disebabkan oleh alergen yang diketahui masanya
sudah terdapat semenjak anak-anak seperti alergi terhadap
protein, serbuk sari, bulu halus, binatang dan debu.
b. Asma instrinsik / idopatik
Asma yang tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas, tetapi
adanya faktor-faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik,
kecemasan atau emosi sering memicu serangan asma. Asma ini
sering muncul sesudah usia 40tahun setelah menderita infeksi
sinus.
c. Asma campuran
Asma yang timbul karena adanya komponen ekstrinsik dan
intrinsik.
2.1.3.3 Klasifikasi Asma
Menurut Wijaya dan Putri (2014) kasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit, antara lain :
a. Tahap I : Intermitten
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu
2) Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai
beberapa hari)
3) Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan
4) Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode
eksaserbasi
5) PEF atau FEV1 : ≥ 80% dari prediksi
Variabilitas < 20%

6) Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :


Obat untuk mengurangi gejala intermitten dipakai hanya
kapan perlu inhalasi jangka pendek β2 agonis
7) Intensitas pengobatan tergantung pada derajat
eksaserbasi kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan.
b. Tahap II : Persisten ringan
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
1) Gejala ≥ 1 kali seminggu tetapi < 1 kali sehari
2) Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
4) PEF atau FEV1 : > 80 % dari prediksi
Variabilitas 20-30%
5) Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu
bronkodilator jangka panjang ditambah dengan obat-obatan
antiinflamasi (terutama untuk serangan asma malam hari).
c. Tahap III : Persisten sedang

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :


1. Gejala harian
2. Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
3. Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu
4. Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari
5. PEV atay FEV1 : > 60% - < 80% dari prediksi
Variabilitas > 30%

6. Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan


kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian inhalasi
kortikosteroid bronkodilatorjangka panjang (terutama untuk
serangan asma malam hari)
d. Tahap IV : Persisten berat
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1. Gejala terus-menerus
2. Gejala eksaserbasi sering
3. Gejala serangan asma malam hari sering
4. Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma
5. PEF atau FEV1 : ≤ 60% dari prediksi
6. Variabilitas > 30%
2.1.3.4 Faktor Resiko
Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental Adapun faktor predisposisi pada
asma yaitu:
a. Genetik
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat
alergi ini penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar
dengan faktor pencetus.
Adapun faktor pencetus dari asma adalah:
a. Alergen
Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu,
bulu binatang, serbuk bunga, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-
obatan tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein,
dan sebagainya.
3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan
aksesoris lainnya yang masuk melalui kontak dengan kulit.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma,
perubahan cuaca menjadi pemicu serangan asma.
c. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-
15% klien asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi
lalu lintas, penyapu jalanan.
d. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila
sedang bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan asma

e. Stres
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stres harus diberi nasehat untuk menyelesaikan
masalahnya (Yuliati & Djajalaksan, 2015).
2.1.3.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma menurut
Halim Danokusumo (2000) dalam Padila (2015) diantaranya ialah :
a. Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga sifatnya
hilang timbul
3) Wheezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
6) BGA belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:

1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum


2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2

b. Stadium lanjut/kronik
1. Batuk, ronchi
2. Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
3. Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5. Thorak seperti barel chest
6. Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7. Sianosis
8. BGA Pa O2 kurang dari 80%
9. Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan
kanan pada Rongen paru
10. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.

2.1.3.6 Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi
disebabkan oleh satu atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi
bronkhi, yang menyempitkan jalan nafas, atau pembengkakan membran
yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa membesar, sputum
yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan
udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari
perubahan ini belum diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah
keterlibatan sistem imunologis dan sisitem otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin,
bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan pembentukan
mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial
diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik
atau nonalergik, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor
seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat
mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis
terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi
bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adregenik yang
dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adregenik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi
reseptor alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi.
Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan peningkatan tingkat
cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyababkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-
adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan
terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot
polos (Wijaya dan Putri, 2014).

2.1.4 MIOPI
2.1.4.1 Definisi

Menurut WHO ( World Health Organization ) 285 juta


orang di dunia mengalami gangguan penglihatan 42% diantaranya
adalah kelainan refraksi tidak dikoreksi (WHO, 2015). Penyebab
gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah gangguan
refraksi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh katarak dan glaucoma
(Kementrian Kesehatan RI , 2014). Miopia adalah salah satu
kelainan refraksi pada mata yang memiliki prevalensi tinggi di dunia
(Fauziah , Julizah, & Hidayat, 2014). miopia pada anak bisa
berdampak pada terganggunya proses belajar siswa tersebut karena
dapat menyebabkan menurunnya performa siswa di sekolah,
hilangnya ketertarikan untuk belajar bahkan bisa berdampak pada
masalah perilaku seperti ketidakmampuan dalam menerima
pelajaran dan gangguan dalam perkembangan baca-tulis. Bila tidak
segera mendapatkan pengobatan, akan memperparah gangguan
penglihatan dan berdampak buruk pada proses belajarnya
(Nurjanah, 2018).

Menurut survei American Optometric Association (AOA) 2015, 41


persen orang tua mengatakan anak-anak mereka menghabiskan tiga
jam atau lebih per hari menggunakan perangkat digital, dan 66
persen anak-anak memiliki ponsel cerdas atau tablet mereka sendiri
(American Optometric Association's, 2015). Sebagian besar miopia
berkembang pada anak usia sekolah dan akan stabil pada usia
remaja, namun pada sebagian orang akan menunjukkan perubahan
ketika usia dewasa muda pada saat duduk di bangku perkuliahan.
Manifestasi dari perubahan tersebut dapat berupa peningkatan
miopia dari miopia sebelumnya yang biasa dikenal dengan
progresivitas miopia dewasa (adult myopia progression) atau
timbulnya miopia pada individu yang semula normal (emetropik)
ataupun hiperopik (adult onset myopia) (Primadiani & Rahmi ,
2017).
Miopia pertama kali diperkenalkan oleh orang Yunani kuno
dan telah dikenal selama lebih dari 2000 tahun. Koreksi miopia
dengan menggunakan lensa cekung mulai diterapkan pada abad
ke-16, sedangkan penggunaan lensa cembung pada presbiopia
telah dilakukan di Italia sejak akhir abad ke- 13 (Basri, 2014).
Miopia merupakan keadaan bayangan benda yang terletak jauh
difokuskan di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi
(Primadiani & Rahmi , 2017). Miopia berkembang pada anak
umur sekolah, namun pada dasarnya sebagian orang akan
menunjukkan perubahan ketika usia dewasa muda pada saat duduk
di bangku perkuliahan (Primadiani & Rahmi , 2017). School
Myopia atau Juvenile-Onset adalah istilah yang digunakan
terhadap miopia yang muncul dan berkembang pada anak-anak
usia sekolah, umur 8-14 tahun, yang disebabkan oleh pertumbuhan
sumbu bola mata, dan menetap sampai umur 15-17 tahun (Angelo,
Halim, & Shinta, 2017).
Gambar 2.1 : Mata Miopia (Ostrow & Kirkeby, 2017)

2.1.4.2 Etiologi

Etiologi, patogenesis dan penatalaksanaan miopia masih


menjadi perdebatan dikalangan ahli mata. Terdapat beberapa teori
yang menjelaskan mekanisme perkembangan miopia yang terjadi
akibat kelainan pada proses emetropisasi. Ada juga dugaan bahwa
kontraksi otot intraokular yang berlebihan menyebabkan
akomodasi yang lebih kuat sehingga mempengaruhi emetropisasi
(Basri, 2014).

Mekanisme terjadinya miopia pada anak memperlihatkan bahwa


faktor hambatan penglihatan seperti katarak kongenital, ptosis,
hemangioma periokular akan mempengaruhi pertumbuhan axial
bola mata yang mengarah pada miopia (Angelo, Halim, & Shinta,
2017). Faktor genetik dari orang tua miopia akan menyebabkan
anak yang juga miopia dan akan berkembang secara progresif
pada anak yang bekerja/membaca dengan jarak dekat (Basri,
2014).
Mekanisme terjadinya miopia pada anak memperlihatkan
bahwa faktor genetik dari orang tua miopia akan menyebabkan
anak yang juga miopia dan akan berkembang secara progresif
pada anak yang bekerja/membaca dengan jarak dekat. Kelainan
refraksi dan panjang sumbu mata diperkirakan lebih berhubungan
erat dengan orang tua yang juga memiliki kelainan refraksi
dibandingkan dengan kebiasaan bekerja dalam jarak dekat. Teori
Steiger atau teori herediter menyatakan bahwa status refraksi
ditentukan oleh kekuatan refraski kornea, lensa dan sumbu bola
mata. Ketiga komponen tersebut hanya dipengaruhi secara
herediter. Teori Sato atau teori lentikular atau teori refraktif
menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan terhadap school myopia
merupakan mekanisme adaptasi lensa karena akaomodasi yang
terjadi secara terus menerus (Zadnik, 2015). Akomodasi ini
terjadi karena penglihatan jarak dekat. Bekerja dalam jarak dekat
tidak mempengaruhi kornea dan sumbu bola mata tetapi
meningkatkan kekuatan refraksi lensa (Basri, 2014).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa anak yang
membaca atau bekerja dengan jarak dekat dalam waktu lama
akan menyebabkan miopia. Kelainan refraksi dan panjang sumbu
mata diperkirakan lebih berhubungan erat dengan orang tua yang
juga memiliki kelainan refraksi dibandingkan dengan kebiasaan
bekerja dalam jarak dekat (Basri, 2014). Suatu penelitian
memperkirakan penggunaan tetes mata atropine yang lama juga
akan menyebabkan miopia, walaupun metodologi penelitiannya
masih dipertanyakan. Tingkat pendidikan yang tinggi diduga kuat
berhubungan dengan prevalensi miopia yang tinggi, walaupun
hubungan sebab akibat masih belum jelas (Basri, 2014).
2.1.4.3 Progresivitas Miopi
Sekali miopia terjadi pada masa anak-anak, akan
terjadi progresivitas yang dapat melambat atau berhenti pada usia
pertengahan atau akhir remaja. Progresivitas umumnya 0,35-0,55
dioptri pertahun. Semakin muda onset miopia, semakin cepat pula
progresivitasnya dan semakin besar derajat miopianya. Kadang
progresivitas miopia dapat berlanjut hingga dewasa dengan
kecepetan 0.02-0.10 dioptri per tahun dan akan lebih tinggi pada
kalangan akademisi hingga 0,20 dioptri per tahun. Pada keadaan
tertentu perkembangan miopia dapat sangat progresif ( disebut
progressive myopia atau miopia patologis dengan kecepatan hingga
4 dioptri per tahun. Umumnya keadaan ini disertai kondisi patologis
lain pada bola mata seperti kekeruhan pada bagian vitreus atau
perubahan pada korioretina. (Budiono, Saleh, Moestidjab, &
Eddyanto, 2013)

2.1.4.4 Gejala

Gejala yang sering dirasakan oleh pasien miopia adalah melihat jelas bila
melihat dekat sedangkan melihat jauh, buram atau disebut pasien rabun
jauh, sakit kepala sering disertai juling atau celah kelopak yang sempit.
Seseorang dengan miopia mempunyai keniasaan menyempitkan
matanya untuk mencegah abrasi sferis atau mendapatkan efek pinhole
(lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat
sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan
menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap maka mata penderita akan terlihat juling kedalam atau
esoptropia (Ilyas dan Yulianti, 2015).

2.1.4.5 Faktor Resiko Miopi


Beberapa faktor yang mempengaruhi miopia antara lain adanya faktor
internal dan juga eksternal. Faktor internal terdiri dari factor usia dan
factor genetik (Angelo, Halim, & Shinta, 2017). Sedangkan, faktor
eksternal yaitu faktor melihat jarak dekat (Melihat Gadget)dan faktor-
faktor lainnya Faktor- faktor resiko terhadap miopia :
a. Faktor Internal
1) Faktot Genetik
Terdapat beberapa varian genetik yang terkait dengan
kejadian miopia diantaranya adalah gen yang berpotensi
tinggi menyebabkan miopia pada populasi Asia (Zorena et
al., 2018). Seorang anak yang salah satu orang tuanya
menderita miopia akan memiliki risiko dua kali lebih
tinggi, sedangkan bila kedua orang tuanya menderita
miopia, maka risikonya sebesar delapan kali lebih tinggi
daripada anak dengan orang tua yang tidak menderita
miopia (Wulansari, Rahmi, & Nugroho, 2018).
2) Faktor Usia
School myopia adalah istilah yang digunakan terhadap miopia yang
muncul dan berkembang pada anak-anak usia sekolah, umur 8-
14 tahun, yang disebabkan oleh pertumbuhan sumbu bola mata,
dan menetap sampai umur 15-17 tahun. Semakin muda onset
miopia, semakin cepat pula progresivitasnya dan semakin besar
derajat miopianya (Budiono, Saleh, Moestidjab, & Eddyanto,
2013). Istilah lain adalah juvenile-onset myopia. Miopia yang
berkembang sejak usia dewasa muda yaitu sekitar umur 20
tahun disebut dengan adult-onset myopia (Angelo, Halim, &
Shinta, 2017).
b. Faktor Eksternal
1) Aktivitas jarak dekat (Melihat gadget)
a) Lamanya Melihat gadget
Penggunaan komputer, laptop dan HP yang terlalu lama
menyebabkan otot siliaris akan mempengaruhi lensa mata
menjadi cembung sehingga mata menjadi tidak peka terhadap
benda jauh (Rudhiati et al., 2015). Membaca teks dengan
tulisan yang kecil pada HP menyebabkan ketegangan mata,
penglihatan kabur, pusing dan mata kering (Zorena et al, 2018).
Saat membaca, terjadinya miopia akan dipengaruhi oleh posisi,
kecukupan cahaya ketika membaca, besar kecilnya huruf atau
angka yang dibaca. Sedangkan dalam penggunaan komputer
akan berhubungan dengan adanya pancaran gambar yang
memungkinkan adanya bentuk akomodasi yang berbeda
(Primadiani & Rahmi , 2017).

Aktivitas jarak dekat yang lama meningkatkan


progresivitas miopia, disebabkan penderita melakukan aktivitas
secara terus menerus jarak dekat, sehingga kelainan refraksi yang
terus bertambah pada penderita miopia dengan gejala seperti tidak
bisa membaca dengan jarak jauh dan perlu menggunakan
kacamata. Progresivitas miopia diakibatkan oleh penderita yang
selalu memaksakan mata meraka bekerja secara monoton dengan
jarak yang dekat dengan selang waktu yang lama sehingga
berakibat pada mata yang terus menerus berakomodasi. Hal ini
dipengaruhi oleh jenis kerja jarak dekat yang dilakukan, yaitu saat
membaca terdapat komponen saccadiac mata yang mempengaruhi
kerja otot mata, sehingga kelelahan mata lebih cepat timbul dan
timbulnya miopia lebih besar (Primadiani & Rahmi , 2017).
b) Intensitas Cahaya
Intensitas yang baik sangat mempengaruhi mata, jika
cahaya yang kurang menyebabkan otot mata harus berkontraksi
semaksimum mungkin untuk melihat objek, jika keadaan seperti
ini berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan
pada mata (Rahmayanti dan Artha, 2015).

Pencahayaan yang tidak normal pada saat melakukan aktivitas


membaca cenderung memperburuk progresivitas miopia. Kondisi
ruangan gelap mempengaruhi intensitas dan kuantitas cahaya yang
diterima mata sehingga menyebabkan kelainan refraksi pada mata
penerangan yang cukup dengan lampu yang difokuskan pada
objek yang dilihat menjadikan mata tidak mudah lelah (Karouta
& Ashby, 2015). Penerangan berperan penting dalam fungsi
penglihatan. Apabila penerangan kurang baik akan menyebabkan
terjadinya kelelahan dalam penglihatan. Untuk menjaga agar mata
tetap cemerlang perlu diperhatikan agar mendapatkan pencahayaan
yang cukup tidak terlalu terang dan tidak terlalu suram (Primadiani
& Rahmi, 2017).
Kecerahan layar HP, komputer dan laptop (brightness)
sangat ditentukan oleh keadaan pencahayaan ruangan agar dapat
memperoleh keadaan yang nyaman dalam penggunaan HP,
komputer dan laptop jika tidak sesuai maka mata akan cepat
lelah (Putra, 2014). Selain itu, juga terjadi pengurangan
intensitas cahaya karena objek bacaan akan membelakangi
sumber cahaya sehingga mata akan lebih berakomodasi dan
cepat lelah (Zhao, Zhou, Tan, & Li, 2018). Kondisi tersebut
akan semakin parah jika kondisi pencahayaan di tempat
membaca kurang baik (redup), sehingga mata akan semakin
cepat merasa lelah. Hal inilah yang bisa meningkatkan risiko
mata minus (Nurjanah, 2018).
c) Ergonomi
Membaca adalah proses neurofisiologis yang kompleks yang
melibatkan tidak hanya akomodasi dan konvergensi tetapi juga
menjaga fiksasi dan mengatur gerakan saccadic mata dengan
memvariasikan ketegangan enam otot ekstraokular. Tekanan
antara kelopak dan mata juga dapat bervariasi dalam membaca,
bukan hanya karena perbedaan anatomi tetapi juga dengan
perbedaan postur dan keselarasan mata. Semua faktor ini secara
bertahap dapat memiliki pengaruh pada peregangan sklera, yang
merupakan perubahan anatomi belakang perkembangan miopia
(Wae, 2016).

Posisi berbaring atau tengkurap diketahui dapat


menyebabkan progresivitas pada miopia dengan menyebabkan
pemanjangan bola mata hasil dari pengaruh kontraksi otot-otot
ekstraokular (Zelika, 2018). Hal ini diketahui bahwa arah
tatapan yang berbeda menyebabkan ketegangan yang berbeda
pada otot ekstraokular, dan juga bahwa tekanan kelopak mata
mempengaruhi bentuk kornea, tergantung pada sudut
pandangan (Primadiani & Rahmi , 2017).
Sudut antara kepala dengan tubuh tidak menunjukkan
akibat yang jelas pada proses pembiasan cahaya saat melakukan
aktivitas seperti membaca dan melihat layar gadget (Sukamto,
et al., 2018). Penelitian oleh Hill dkk mendukung hasil
penelitian ini, dimana dinyatakan bahwa posisi bermain gadget
akan bermacam-macam bergantung pada situasi dan kondisi
kegiatan itu berlangsung, sehingga hubungannya dengan
progresivitas miopia akan juga tergantung pada faktor-faktor
lain tersebut (Primadiani & Rahmi , 2017).
2.2 Konsep Manajemen Kebidanan
A. Data Subyektif
1) Biodata
a. Nama ibu dan suami
Sebagai tanda pengenal dan membedakan pasien satu dengan yang
lain.
b. Umur
Untuk mengetahui adanya seperti <16 tahun, alat reproduksi belum
matang, mental dan psikisnya belum siap, sedangkan umur > 35
tahun terlalu tua untuk hamil.
c. Suku bangsa
Untuk mengetahui kebudayaan yang ada pada pasien.
d. Agama
Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut, sehingga
memudahkan tenaga kesehatan untuk dapat membimbing atau
mengarahkan pasien dalam berdoa.
e. Pendidikan
Untuk memudahkan tenaga ksehatan dalam memberikan asuan
sesuai dengan tingkat pendidikan yang di tempuh pasien.
f. Pekerjaan
Untuk mengetahui dan mengukur tingkat social ekonomi karena ini
juga mempengaruhi gizi pasien selama hamil, dan juga persiapan
untuk biaya persalinan yang tidak sedikit dan bisa menggunakan
BPJS.
g. Alamat
Untuk mengetahui jarak antara rumah pasien dengan rumah
bidan,puskesmas,klinik ataupun RS,sehingga memudahkan apabila
terjadi yang tidak diinginkan.
h. Alasan Datang
Ibu ingin memeriksakan kehamilannya
i. Keluhan Utama
Keluhan utama pada kasus kehamilan fisiologis trimester III
adalah biasanya ibu sering mengeluh perutnya kenceng-kenceng,
nyeri perut bagian bawah, sering BAK, nyeri pinggang, keluar
lendir darah atau seperti keputihan pada vagina.
j. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan meliputi riwayat kesehatan sekarang bertujuan
untuk mengetahui apakah ibu sedang menderita penyakit-penyakit,
riwayat kesehatan lalu bertujuan untuk mengetahui sakit yang
pernah diderita, dan riwayat kesehatan keluarga tujuannya yaitu
untuk mengetahui apakah dari pihak keluarga ada sedang
menderita penyakit keturunan atau menular.
k. Riwayat Obstetri
1) Riwayat Haid
Riwayat haid ditanyakan untuk mengetahui menarche, lama
haid, banyakna, HPHT, HPL, keluhan.
2) Riwayat Kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
Untuk mengetahui apakah mengalami tanda bahaya dalam
kehamilan. Dalam persalinan apakah proses persalinannya
spontan apakah dengan tindakan lain. Dalam nifas untuk
mengetahui apakah pernah mengalami tanda bahaya pada saat
nifas, memantau proses menyusui, adanya infeksi.
3) Riwayat Kehamilan Sekarang
HPHT : dikaji untuk menghitung usia kehamilan.
HPL : dikaji untuk mengetahuii perkiraan lahir bayi.
Riwayat Imunisasi TT :
Riwayat imunisasi DPT / DPT-HB saat bayi: bayi yang lahir mulai
tahun 1990 status T-nya dihitung T2
Riwayat BIAS:
a) Untuk WUS yang lahir antara tahun 1973 s/d 1976: kelas 6
Untuk WUS yang lahir antara tahun 1977 s/d 1987: kelas 1
dan kelas 6
b) Untuk WUS yang lahir tahun 1988: kelas 1, 5, 6
c) Untuk WUS yang lahir tahun 1989: kelas 1,4,5,6
d) Untuk WUS yang lahir tahun 1990: kelas 1,3,4,5,6
e) Untuk WUS yang lahir tahun 1991: kelas 1,2,3,4
f) Untuk WUS yang lahir tahun 1992 s/d sekarang: kelas 1,2,3
g) Saat calon pengantin
h) Saat hamil: hamil 1,2,3,4
l. Riwayat Perkawinan
Bertujuan untuk mengetahui status pernikahan, usia pernikahan,
dan lama pernikahan.
m. Riwayat KB
Untuk mengetahui apakah sebelumnya ibu pernah menggunakan
KB atau belum, apabila sudah menggunakan KB apa, kapan mulai
menggunakan dan hingga kapan, rencana setelah melahirkan akan
menggunakan KB apa.
n. Pola Kebutuhan Sehari-hari
1) Nutrisi
Untuk mengetahui pola makan dan minum yang baik pada ibu
hamil trimester III untuk memenuhi standart kecukupan gizi pada
janin dan ibu sendiri. Kebutuhan Nutrisi pada ibu hamil Trimester
III sebagai berikut :
- Karbohidrat : karbohidrat yang dibutuhkan ibu hamil
trimester III sebanyak 6 porsi yang terdiri dari 1 porsi =
100gr atau ¾ gelas nasi
- Protein : protein yang dibutuhkan ibu hamil trimester III
sebanyak 4 porsi protein hewani yang terdiri dari 1 porsi =
50 gr/ 1 potong sedang ikan, 1 porsi = 55gr/ 1 butir telur
dan 4 porsi protein nabati yang terdiri dari 1 porsi = 50gr/
1 potong sedang tempe, 1 porsi = 100gr/ 2 potong sedang
tahu
- Sayuran : sayuran yang dibutuhkan ibu hamil
trimester III sebanyak 4 porsi sebanyak 4 porsi yang
terdiri dari 1 porsi = 100gr atau 1 mangkuk sayur matang
tanpa kuah
- Buah-buahan : buah yang dibutuhkan ibu hamil trimester
III sebanyak 4 porsi terdiri dari 100 gr atau 1 potong
sedang pisang dan 1 porsi = 100-190gr atau 1 potong
besar pepaya
- Lemak : lemak yang dibutuhkan ibu hamil trimester III
sebanyak 5 porsi terdiri 1 porsi = 5gr atau 1 sendok teh
dari pengolahan makanan seperti menggoreng, menumis,
santan, kemiri, mentega dan sumber lemak lainnya
- Gula : gula yang dibutuhkan ibu hamil trimester III
sebanyak 2 porsi terdiri dari 1 porsi = 10gr atau 1 sendok
makan bersumber dari kue-kue manis atau lainnya
- Air putih : air putih yang dibutuhkan adalah 8-12 gelas
perhari
2) Pola Eliminasi BAK dan BAB
Untuk mengetahui pola buang air kecil dan buang air besar
pada ibu hamil dan apakah ada penyulit saat buang air kecil
atau buang air besar. Dan disarankan pada saat hamil
mengurangai minum yang mengandung zat diuretic seperti
kopi dan teh pada malam hari, yaitu untuk mengurangi
frekuensi BAK malam hari.
3) Pola Aktivitas
Pada trimester III ibu dilarang melakukan aktivitas yang berat
yang akan membuat ibu capek dan mengganggu kehamilan
ibu.
4) Pola Istirahat
Untuk mengetahui pola istirahat ibu apakah cukup atau
kurang. Pada ibu hamil trimester III istirahat pada siang hari
minimal 1-3 jam, pada malam hari kurang lebih 8 jam.
5) Pola personal Hyangine
Untuk mengetahui pola kebersihan ibu untuk menjaga tubuh
dan kesehatan nya untuk menghindari dari penyakit, infeksi
yang membahayakan diri dan janinnya.
6) Pola Seksual
Pada trimester III, posisi hubungan intim saat hamil yang
cukup nyaman adalah doggy style, spooning, dan woman on
top. Posisi misionaris atau ibu berbaring sebaiknya tidak
dilakukan untuk menghindari nyeri dan kontraksi berlebihan.
Sebab, posisi ini dapat meningkatkan tekanan pada rahim dan
memengaruhi aliran darah ke plasenta sehingga menyebabkan
bayi kekurangan oksigen
7) Psikososial, kultural,spiritual
Bertujuan untuk mengetahui respon ibu dan keluarga dalam
penerimaan kehamilan dan anggota baru yang akan datang.
Dukungan dari keluarga dan hubungan baik antara suami dan
keluarga mengenai kehamilannya. Serta pantangan atau adat
kebiasaan dalam keluarga, dan ketaatan dalam menjalankan
ibadah.
8) Data Pengetahuan Ibu
Untuk mengetahui apakah ibu mengerti tentang kehamilan
seperti yang dialaminya sekarang.
B. Data Obyektif
1) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : pada ibu hamil trimester III keadaan ibu normal.
b. Tingkat Kesadaran : pada ibu hamil trimester III tingkat kesadaran
ibu baik.
c. Tekanan Darah : pada ibu hamil trimester III tekanan darah normal
120/80 mmHg.
d. Nadi : pada ibu hamil nadi normal antara 80-100 kali.
e. Suhu : suhu normal pada ibu hamil kurang lebih dari 36,5-37,5
derajat celcius.
f. Pernafasan : ibu lebih merasa sulit dalam bernafas karena tekanan
pada janin didalam perut yang semakin membesar.
g. Berat Badan : IMT = Berat Badan(Kg)
h. Tinggi badan(m) x tinggi badan(m)
Kurus : kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kurus : kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,4
Normal: berat badan 18,5-25,0
Gemuk : kelebihan berat badantingkat ringan 25,1-27,0
Gemuk : kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
i. Tinggi Badan : dalam kehamilan kemungkinan panggul sempit
apabila tinggi badan <145 cm.
j. LILA : untuk mengetahui keadaan gizi ibu, normalnya 23,5 cm.
2) Inspeksi
a. Kepala : bertujuan untuk mengetahui kebersihan rambut, dan
apakah ada benjolan pada kepala.
b. Muka : bertujuan untuk mengetahui keadaan muka ibu apakah
pucat,apakah terdapat oedema pada wajah.
c. Mata : bertujuan untuk mengetahui keadaan conjungtiva pucat atau
merah muda dan warna skelra putih atau tidak.
d. Mulut : bertujuan untuk mengetahui keadaan gigi bersih,berlubang
apakah terdapat caries pada gigi.
e. Telinga : bertujuan untuk simetrisitas dan juga serumen pada
telinga.
f. Hidung : bertujuan untuk mengetahui kebersihan hidung,apakah
terdapat benjolan dalam hidung.
g. Leher : bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pembesaran
kelenjar thyroid,kelenjar limfe, pelebaran vena jugularis.
h. Dada & Axilla : untuk mengetahui retraksi dinding dada,
pembesaran kelenjar limfe.
i. Abdomen : bertujuan untuk mengetahui apakah ada bekas luka
operasi pada daerah perut, ukuran dan bentuk, gerakan janin,
adanya linea gravidarum, striae gravidarum, tinggi fundus uteri.
j. Genitalia : bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi keputihan,
terdapat oedema, varices vagina, dan terjadi pengeluaran
pervaginam.
3) Pemeriksaan khusus Obstetri
a. Dada : Pada saat hamil trimester III mamae akan membesar karena
ibu sudah memproduksi ASI dan putting susu ibu sudah menonjol
dan ada juga yang belum menonjol.
b. Abdomen : biasanya pada trimester III bagian abdomen akan
terlihat adanya linea nigra dan striae gravidarum.
- Leopold I : untuk menentukan umur kehamilan dan bagian janin
yang terdapat pada fundus. Bagian janin yang terdapat pada
fundus adalah bokong.
- Leopold II : untuk menentukan letak punggung janin dan bagian-
bagian kecil janin.
- Leopold III : untuk menentukan presentasi janin atau bagian janin
yang berada di segmen bawah uterus atau bagian terbawah janin
dan apakah bagian tersebut sudah masuk ke rongga panggul atau
belum.
- Leopold IV : untuk menentukan seberapa jauh bagian terbawah
janin sudah masuk PAP
c. Auskultasi
Dilakukan untuk mengetahui detak jantung janin dalam keadaan
normal 120—160 kali/menit.

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tes laboratorium, skor poedji rochjati, USG, Rapid
Test Antigen
C. Analisa
G...P....A...H... umur kehamilan… minggu janin tunggal hidup intra uteri
dengan (masalah).
- Data dasar yang yang telah dikumpulkan, kemudian
diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosis dan
masalah yang spesifik.
- Diagnosis kebidanan yang disimpulkan oleh bidan antara lain
sebagai berikut.
Gravida
Paritas.
Usia kehamilan dalam minggu.
Keadaan janin.
Normal atau tidaknya kondisi kehamilan ibu.
D. Penatalaksanaan
1. Menginformasikan pada ibu tentang hasil pemeriksaan, ibu mengerti
dan memahami kondisinya
2. Menjelaskan informed consent untuk dilakukan Rapid Antigen, Ibu
bersedia dilakukan Rapid Antigen
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter SPOG :
 Menganjurkan ibu untuk BAK untuk pemeriksaan urine lengkap,
ibu telah BAK
 Melakukan pemasangan infus RL 20 tpm dan pengambilan darah
untuk pemeriksaan laborat darah lengkap, infus telah terpasang
 Memberikan terapi obat nifedipine 10 mg 3x1 tab, ibu telah minum
obat
 Menganjurkan dan memotivasi ibu untuk Operasi SC, ibu bersedia
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter umum untuk pemeriksaan
wheezing dan ronchie, hasil negatif.
5. Melakukan pendokumentasian
BAB III
TINJAUAN KASUS

Pengkajian dilakukan tanggal 22 – 04 – 2022 jam 16.30


Tanggal MRS : 22 – 04 – 2022

3.1 Subyektif
3.1.1 Identitas Klien
Nama Ibu : Ny. L Nama Suami : Tn. S
Umur : 42 th Umur : 55 th
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan: SLTA Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dsn. Susuhan Gampeng 003/004 Gampengrejo Kediri
3.1.2 Alasan Datang
Ibu mengatakan merencanakan tindakan persalinan SC dengan dr.
Jonathan, Sp.OG.
3.1.3 Keluhan Utama
Ibu merasakan perutnya kenceng-kenceng sejak kemarin malam pukul
23.00 WIB
3.1.4 Riwayat Kesehatan Lalu
1. Ibu mengatakan mengalami tekanan darah tinggi selama hamil
namun tidak minum obat penurun tekanan darah. Sebelum hamil
ibu tidak memiliki riwayat hipertensi
2. Ibu mengatakan memiliki riwayat penyakit asma disertai batuk
sejak tahun 2017, lalu periksa ke puskesmas dan di beri obat. Asma
disertai batuk terakhir kambuh 3 bulan yang lalu saat hamil ini.
Kemudian ibu periksa ke dr. Hamidah, Sp.P dan diberi terapi
Ventolin spray dan obat minum, hasil diagnosis asma bronkialis.
3. Ibu mengatakan memiliki riwayat penyakit mata (Myopia) dengan
keluhan terasa seperti ada yang mengganjal pada bagian mata,
periksa 1 bulan yang lalu di dr. Dian, Sp.M. Ibu juga memiliki
riwayat mata -6/-6. Hasil dari pemeriksaan dokter spesialis mata
adalah ibu mengalami degenerasi retina perifer disertai myopi -6/6,
ibu disarankan untuk persalinan SC.
3.1.4 Riwayat Kesehatan Sekarang
1. Ibu mengatakan tidak merasa pusing, tangan dan kaki tidak bengkak.
2. Ibu mengatakan sedang tidak sesak
3. Ibu mengatakan tidak ada keluhan pada mata karena sudah memakai
kacamata
3.1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit keluarga seperti
hipertensi, jantung, asma, dan TBC.
3.1.6 Riwayat Menstruasi
HPHT : 20-07-2021
TP : 27-04-2022
3.1.7 Riwayat Obstetri

Komplikasi Anak
Hamil Penyulit Jenis Tempat Persalinan Bayi Hidup/
Penolong
ke- Kehamilan persalinan persalinan Mati/Usia
bayi Ibu BB/ IM
PB D
1 - Spontan PMB Bidan - - 2000/4 Ya Hidup/22 th
8
2 - Spontan PMB Bidan - - 2600/4 Ya Hidup 15th
9
3 HAMIL INI

3.1.8 Riwayat Ginekologi


Ibu mengatakan tidak ada riwayat penyakit ginekologi seperti kista
ovarium, PCOS, radang panggul, dan lain-lain.
3.1.9 Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Makan : ibu makan 3x/hari porsi sedang; nasi, lauk, sayuran
Minum : ibu minum 7-8 gelas/hari; air putih, susu, jus buah
Personal Hygiene : ibu mandi 2x/hari, keramas 2x/minggu, ganti
celana dalam bila lembab, mencuci tangan sebelum makan dan sesudah
BAB dan BAK
BAK : 3-4x/hari
BAB : 1x/hari
3.1.10 Riwayat Psikologis
Ibu mengatakan cemas dengan kehamilannya karena akhir-akhir ini
perutnya kenceng-kenceng
3.1.11 Riwayat Sosial dan Budaya
Ibu mengatakan dalam keluarga terdapat budaya khusus selama kehamilan
seperti 7 bulanan atau tingkepan, tidak ada budaya yang mengharuskan ibu
mengonsumsi obat atau jamu tertentu

3.2 Obyektif
3.2.1 Pemeriksaan Fisik Terfokus
- Tanda-Tanda Vital :
KU : Baik
Tekanan Darah : 150/100mmHg Suhu : 36,3°C BB : 85 kg
Nadi : 82x/menit RR : 24x/menit TB : 150cm
- Pemeriksaan Fisik :
Muka : tidak pucat, tidak oedema, tidak ada cloasma gravidarum
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada
pembesaran vena jugularis
Payudara : Simetris, areola hiperpigmentasi, puting menonjol, tidak
teraba benjolan, kolostrum belum keluar
Abdomen : terdapat line nigra dan stria gravidarum , tidak ada bekas
luka operasi
- Leopold I : pada bagian fundus teraba lunak, tidak melenting
(bokong)
- TFU Mc Donald : 30 cm
- Leopold II : pada sisi kanan ibu teraba keras, datar, dan
memanjang (punggung), pada sisi kiri ibu teraba bagian kecil janin.
- Leopold III : pada bagian bawah teraba keras, melenting (kepala),
dan mudah digoyangkan kepala belum masuk PAP
- Leopold IV: tidak dilakukan
- Taksiran berat janin : (30-11) x 155 : 2945 gram
- DJJ : 146 x/menit, irama jantungnya reguler.
- His : 1x10’x10”
Genetalia : vulva vagina tidak ada kelainan, tidak ada oedema dan
varises, tidak ada pembesaran kelenjar scene dan bartolini, tidak ada
cairan yang abnormal, tidak ada hemoroid.
VT : tidak dilakukan
Ekstremitas : tidak ada oedema dan varises, refleks patella
positif.
3.2.2 Pemeriksaan Penunjang
1. USG : Pada tanggal 18-04-2022 oleh dr. Jonathan, Sp.OG
Janin tunggal, hidup, letak kepala, ketuban cukup, plasenta di
posterior, TBJ : 2815 gram, JK : Perempuan
2. Dx dari Poli Kandungan:
Plasenta letak rendah, hipertensi dalam kehamilan, degenerasi retina
perifer, myopia -6/-6, dan Asma on therapy
3.3 Assessment
G3P2002 UK 38-39 Minggu dengan Plasenta Letak Rendah, Hipertensi
bukan Pre Eklamsi, Degenerasi Retina Perifer, Myopia -6/-6 dan Asma on
therapy
Janin tunggal hidup intra uterine

3.4 Penatalaksanaan
1. Menginformasikan pada ibu tentang hasil pemeriksaan, ibu mengerti
dan memahami kondisinya
2. Menjelaskan informed consent untuk dilakukan Rapid Antigen, Ibu
bersedia dilakukan Rapid Antigen
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter SPOG :
 Melakukan pemasangan infus RL 20 tpm
 Melakukan pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap, faal ginjal,
glukosa darah, golongan darah, HIV, dan HbSAg
 Memberikan terapi obat nifedipine 3 x 10 mg per oral
4. Pemberian terapi obat penurun tekanan darah nifedipine 3 x 10 mg per
oral, ibu sudah meminum obat tersebut.
5. Memotivasi ibu untuk persalinan SC
6. Melakukan kolaborasi dengan dokter umum untuk pemeriksaan
wheezing dan ronchie, hasil negatif.
7. Melakukan pendokumentasian
3.5 Catatan Perkembangan
Tanggal pengkajian : 20-04-2022 / 17.30 WIB
S (Subyektif)
Ibu mengatakan perutnya kenceng-kenceng dan nyeri pinggang
O (Obyektif)
- Tanda-Tanda Vital :
KU : Baik
Tekanan Darah : 140/90mmHg Suhu : 36,5°C
Nadi : 86x/menit RR : 24x/menit
Tidak ada wheezing dan ronkhie
- Leopold I : pada bagian fundus teraba lunak, tidak melenting (bokong)
- TFU Mc Donald : 30 cm
- Leopold II : pada sisi kanan ibu teraba keras, datar, dan memanjang
(punggung), pada sisi kiri ibu teraba bagian kecil janin.
- Leopold III : pada bagian bawah teraba keras, melenting (kepala), dan
mudah digoyangkan kepala belum masuk PAP
- Leopold IV: tidak dilakukan
- Taksiran berat janin : (30-11) x 155 : 2945 gram
- DJJ : 148 x/menit, irama jantungnya reguler.
- His : 1x10’x10”
- Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
- Hb : 11,8 gr/dl
- Lekosit : 12.300 sel/cmm
- Hematokrit : 42,6%
- Trombosit : 137.000 sel/cmm
- HbsAg : Non Reaktif
- HIV : Non Reaktif
Glukosa darah
- GDA : 77 mg/dl
Urine lengkap
- PH : 6,0
- Berat jenis : 1,015
- Protein Urine : Negatif
- Reduksi Urine : Negatif
- Urobilinogen : Negatif
- Bilirubin : Negatif
- Keton : Negatif
- Nitrit : Positif
- Darah : Negatif
- Warna : Kuning
- Kejernihan : Keruh
Faal Ginjal
- Ureum : 29 mg/dl
- Creatinine : 0,64 mg/dl
COVID-19
- Rapid Antigen : Non Reaktif

A (Assesment)
G3P2002 UK 38-39 Minggu dengan Plasenta Letak Rendah, Hipertensi
dalam Kehamilan, Degenerasi Retina Perifer, Myopia -6/-6 dan Asma on
therapy
Janin tunggal hidup intra uterine

P (Plan)
1. Menginformasikan pada ibu tentang hasil pemeriksaan, ibu mengerti
dan memahami kondisinya
2. Melakukan observasi TTV, DJJ, His, observasi telah dilakukan
3. Memberitahu ibu akan di pindah ke ruang bersalin untuk observasi dan
penanganan lanjutan, ibu bersedia.
4. Melakukan pendokumentasian
BAB IV
ANALISIS KEBUTUHAN KOLABORASI ANTAR PROFESI

Profesi yang Bentuk


Alasan Rencana
Diperlukan Kolaborasi Tujuan Kolaborasi Implementasi Evaluasi
No. Melakukan Implementasi
untuk yang yang Diharapkan Kolaborasi Kolaborasi
Kolaborasi Kolaborasi
Berkolabo-rasi Diperlukan
Untuk
Untuk meminima-
mengetahui Pemeriksaan Swab Antigen
Petugas lisir penyebaran virus Dilakukan saat ibu Hasil Swab Antigen
1 apakah pasien Swab Antigen dilakukan di
Laborato-rium COVID-19 di masuk ke PONEK Negatif
terinfeksi virus COVID-19 PONEK
lingkungan RS
COVID-19
2 Dokter Spesialis - Untuk - Penstabilan - Untuk membantu - Pemberian obat Ibu dipindahkan ke Ibu sudah
Obstetri pemberian tekanan menurunkan penurun ruang bersalin dan dipindahkan ke
Ginekologi terapi darah ibu tekanan darah ibu tekanan darah terjadwalkan ruang bersalin dan
Nifedipine - Penjadwalan - Untuk memantau diberikan operasi seksio dan sudah
3x10 mg per Operasi kondisi ibu dan sebelum ibu sesarea pada terjadwalkan
oral seksio janin menjalani tanggal 21 April operasi seksio
- Untuk sesarea - Untuk melakukan persalinan SC. 2022 sesarea
pemantauan tindakan operasi - Dilakukan
lanjutan seksio sesarea. setelah ibu dan
- Rencana keluarga
melakukan
diberikan
tindakan
informed
operasi
consent
seksio
sesarea
Sudah dilakukan
Untuk mengetahui Hasil pemeriksaan
Untuk memantau Pemeriksaan Pemeriksaan pemeriksaan
adanya pengaruh whezing dan
3 Dokter Umum riwayat penyakit whezing dan whezing dan whezing dan
asma ibu terhadap ronchie pada ibu
asma ibu ronchie ronchie pada ibu ronchie pada ibu di
proses persalian negatif (-/-)
PONEK
Pemberian Untuk menjaga
Untuk memenuhi Pemberian
makanan rendah kondisi pasien agar Dilakukan setelah Ibu dapat makan
Petugas Instalasi asupan gizi makanan dan
4 garam dan tetap stabil dan ibu selesai dan minum dengan
Gizi pasien selama minuman dari
minuman pada membaik selama di dilakukan tindakan baik
dirawat di RS Instalasi Gizi
pasien RS
BAB V

TELAAH ARTIKEL ILMIAH

5.1 Identitas Artikel

Jurnal 1

Judul artikel : Hypertensive disorders of pregnancy (HDP) management


pathways : results of a Delphi survey to contextualise
international recommendations for Indonesia primary care
settings

Nama jurnal : BMC Pregnancy and Childbirth

Penulis : Fitriana Murriya Ekawati1,2*, Sharon Licqurish3, Jane Gunn2,


Shaun Brennecke4,5 and Phyllis Lau2

Tanggal publikasi : 01 April 2021

Gambaran umum penelitian :

Artikel penelitian ini memuat mengenai Gangguan hipertensi dalam kehamilan


(HDP) yang merupakan penyumbang yang signifikan terhadap tingginya angka
kematian ibu di Indonesia dan saat ini, pedoman terbatas tersedia untuk
membantu penyedia layanan primer dalam mengelola kasus HDP dan Tinjauan
sebelumnya terhadap 16 pedoman HDP internasional telah mengidentifikasi
peluang untuk meningkatkan manajemen HDP di layanan kesehatan primer
Indonesia, tetapi belum menentukan kesesuaian rekomendasi dalam praktik.
Penelitian ini bertujuan untuk mencapai konsensus di antara para ahli mengenai
kesesuaian rekomendasi dan untuk mengembangkan jalur HDP di layanan primer
Indonesia
Jurnal 2

Judul artikel : Hypertension in pregnancy : Pathophysiology and treatment

Nama jurnal : SAGE Open Medicine

Penulis : Braunthal and Andrei Brateanu

Tanggal publikasi : 22 Maret 2019

Gambaran umum penelitian :

Gangguan hipertensi kehamilan, merupakan istilah umum yang mencakup


hipertensi gestasional dan hipertensi yang sudah ada sebelum terjadi kehamilan,
preeklamsia, dan eklampsia yang mempersulit hingga 10% kehamilan dan
merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal.
Penelitian ini menguraikan mengenai definisi, patofisiologi, tujuan terapi, dan
agen pengobatan yang digunakan pada gangguan hipertensi kehamilan.
5.2 Hasil Telaah Kritis

Untuk Artikel Uji Diagnostik

No Pertanyaan Jawaban
1. apakah terdapat kesamaan dengan baku Ya Tidak Tidak
emas ? diketahui
penjelasan : dalam penelitian tersebut
tidak dijelaskan mengenai kesamaan
dengan baku emas
2. Apakah sampel subyek penelitian Ya Tidak
meliputi spektrum, penyakit dari yang Tidak diketahui
ringan sampai berat, penyakit yang
terobati dan tidak dapat diobati ?
Penjelasan : dalam penelitian tersebut,
subyek penelitian merupakan pakar
ksehatan ibu yang meliputi dokter
umum, bidan, perawat, dokter
spesialis,dan peneliti kebijakan
kesehatan dari indonesia dan luar
negeri sebanyak 52 peserta
3. Apakah lokasi penelitian disebutkan Tidak Tidak
dengan jelas ? Ya diketahui
Penjelasan : lokasi penelitian tersebut
berada di indonesia
4. Apakah presisi uji diagnostik dan Tidak Tidak
vaeiasi pengamatan dijelaskan? Ya Diketahui
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
uji diagnostik analisis data
menggunakan survey yang dianalisis
secara deskriptif menggunakan
software microsoft excel
5. Apakah istilah “normal” dijelaskan ? Ya Tidak
Penjelasan : dalam penelitian tersebut Tidak diketahui
tidak djelaskan
6. Apabila uji diagnostik yang diteliti Tidak Tidak
merupakan bagian dari suatu kelompok diketahui
uji diagnostik, apakah kontribusinya Ya
pada kelompok uji diagnostik tersebut
dijelaskan?
Penjelasan : dalam penelitian tersebut ,
peneliti menampilkan penjelasan
mengenai kontrubis uji diagnostik
dalam bentuk tabel
7. Apakah cara dan teknik melakukan uji Tidak Tidak
diagnostik yang sedang diteliti Ya diketahui
dijelaskan, sehingga dapat direplikasi ?
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
peneliti menjelaskan mengenai teknik
analisis data dan validasi
8. Apakah kegunaan uji diagnostik yang Tidak Tidak
sedang diteliti disebutkan ? Ya diketahui
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
peneliti menjelaskan mengenai
kegunaan uji diagnostik

Untuk Artikel Jurnal Terapi

No Pertanyaan Jawaban
1. apakah alokasi subyek penelitian Ya Tidak Tidak
kelompok terapi atau kontrol betul – diketahui
betul secara acak (random) atau tidak?
penjelasan : dalam penelitian tersebut
tidak dijelaskan mengenai subyek
penelitian
2. Apakah semua keluaran (outcome) Ya Tidak
dilaporkan ? Tidak diketahui
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
peneliti tidak disebutkan mengenai
outcome yang dilaporkan
3. Apakah lokasi penelitian menyerupai Tidak Tidak
lokasi anada bekerja atau tidak ? Ya diketahui
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
penelii tidak menyebutkan lokasi
dilakukannya penelitian
4. Apakah kemaknaan statistik maupun Tidak
klinis dipertimbangkan atau Ya Tidak Diketahui
dilaporkan?
Penjelasan : dalam penelitian tersebut
peneliti tidak menjelaskan mengenai
kemaknaan statistik
5. Apakah tindakan terapi yang dlakukan Tidak
dapat dilakukan di tempat anda ekerja Ya Tidak diketahui
atau tidak ?
Penjelasan : iya karena didalam
penelitian tersebut menjelaskan bahwa
nifedipin merupakan obat yang dapat
diterima secara umum untuk hipertensi
, dan obat nifedpin tersebut sudah
banyak diberikan pada ibu hipertensi
dalam kehamilan
6. Apakah semua subyek penelitian Tidak Tidak
dipertimbangkan dalam kesimpulan? diketahui
Penjelasan : dalam penelitian tersebut , Ya
peneliti tidak menjelaskan mengenai
subyek yang digunakan dalam
penelitian
BAB VI

PEMBAHASAN

Berdasarkan tinjauan kasus Ny. L G3P2002 UK 38-39 Minggu dengan


PLR + HDK + Degenerasi retina perifer + Asma, didapatkan hasil pemeriksaan :
KU :Baik, Tekanan Darah : 150/100mmHg, Suhu : 36,3°C, BB : 85 kg Nadi:
82x/menit, RR : 24x/menit. Abdomen terdapat line nigra dan stria gravidarum,
tidak ada bekas luka operasi, TFU Mc Donald : 30 cm, DJJ : 146 x/menit, His:
2x10’x20”. USG : Janin tunggal, hidup, letak kepala, ketuban cukup, plasenta di
posterior, TBJ : 2815 gram, JK : Perempuan.
Plasenta letak rendah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm
dari ostium uteri internum (Prawirohardjo, 2016). Plasenta letak rendah yang
dialami Ny. L diketahui dari pemeriksaan USG yang dilakukan di dokter obgyn
pada saat usia kehamilan 14 minggu. Penyebab dari plasenta letak rendah ini
bervariasi. Pada kasus ini, Ny. L berusia 42 tahun, sehingga hal tersebut dapat
menjadi etiologi terjadinya plasenta letak rendah. Etiologi tersebut sesuai dengan
teori dari Prawirohardjo, 2016 yang menyebutkan bahwa penyebab dari plasenta
previa salah satunya adalah usia lanjut atau > 35 tahun. Angka kejadian plasenta
praevia di Indonesia berkisar antara 1,7-3,56%.9,10 Faktor risiko terjadinya
plasenta praevia antara lain riwayat plasenta praevia sebelumnya, riwayat sectio
caesarea atau operasi uterus lainnya, multiparitas, peningkatan usia ibu (≥35
tahun), bayi kembar, prosedur bayi tabung, penggunaan kokain dan merokok.
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan plasenta berimplantasi atau meluas
hingga segmen bahwa uterus. Mekanisme yang dapat menjelaskan kejadian
tersebut adalah adanya kerusakan/terbentuknya jaringan ikat pada endometrium
yang dapat mengakibatkan embrio berimplantasi di segmen bawah uterus dan/atau
perfusi pembuluh darah yang tidak adekuat sehingga plasenta melakukan
kompensasi dengan tumbuh lebih luas untuk memenuhi kebutuhan aliran darah
(Ayusti Anumillah et al., 2022).
Dari ditegakkannya diagnosis plasenta letak rendah oleh dokter sampai
saat ini, Ny. L tidak pernah mengalami perdarahan dan nyeri pada abdomen. Hal
ini terjadi karena pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu
mulai persalinan; perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solusio
plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak mampu
berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian, perdarahan bisa
berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan juga bisa bertambah disebabkan
serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah
mengalami robekan (Prawirohardjo, 2016).

Selain plasenta letak rendah, Ny.L juga mengalami hipertensi gestasional.


Pada pemeriksaan fisik, diketahui tekanan darah Ny. L adalah 150/100 mmHg Hal
itu menunjukkan tekanan darah yang tinggi. Ny. L mengatakan, saat sebelum
hamil, tekanan darahnya normal, berkisar antara 110/120 mmHg dengan diastole
80-90 mmHg. Setelah dilakukan pemeriksaan urin, tidak ditemukan adanya
protein dalam urin sehingga dapat ditegakkan diagnosis bahwa Ny. L mengalami
hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) didefinisikan
sebagai tekanan darah ≥140/90 mmHg dalam dua kali pengukuran atau lebih
dengan onset lebih dari 20 minggu kehamilan, dan tidak ada riwayat hipertensi
sebelumnya (Pemaron, 2020). Hipertensi dalam kehamilan adalah penyebab
penting morbiditas akut berat, cacat jangka panjang dan kematian ibu serta bayi.
Pada penelitian (Pemaron, 2020), didapatkan hasil analisi dengan uji Chi-square
hubungan antara usia maternal dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan
diperoleh bahwa ada sebanyak 15 dari 94 (16,0%) ibu dengan usia risiko tinggi
yaitu ≥35 tahun yang mengalami hipertensi dalam kehamilan. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,004 dengan OR=2,774 maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara usia maternal dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan
ibu dengan usia risiko tinggi mempunyai peluang 2,774 kali mengalami hipertensi
dalam kehamilan dibandingkan dengan ibu yang memiliki usia risiko rendah.
Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) juga
berhubungan dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan, dimana ibu dengan
indeks massa tubuh risiko tinggi mempunyai peluang 2,602 kali mengalami
hipertensi dalam kehamilan dibandingkan dengan ibu yang memiliki indeks massa
tubuh risiko rendah. Pada kasus ini, diketahui Ny. L memiliki IMT 37,7 atau
tergolong obesitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa tingginya nilai IMT berkaitan dengan dyslipidemia, yang akan
meningkatkan trigliserida dalam serum, LDL (Low Density Lipoprotein) dan
penurunan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Keadaan ini akan menginduksi
oxidative stress dan menimbulkan disfungsi sistem endotel yang merupakan
konsep dasar penyebab hipertensi dalam kehamilan. Ibu dengan kehamilan
multigravida juga berpeluang lebih besar untuk mengalami hipertensi dalam
kehamilan.
Ny. L juga menderita myopia atau rabun jauh sejak sebelum hamil. Miopia
adalah keadaan refraksi mata dalam kondisi mata istirahat (tanpa akomodasi),
berkas cahaya sejajar berasal dari objek jauh tak terhingga akan difokuskan pada
satu titik fokus di depan retina (Iskandar et al., 2020). Nilai myopia yang diderita
Ny. L setelah dilakukan pemeriksaan di dokter spesialis mata adalah -6/-6.
Kehamilan juga memengaruhi kondisi mata, seperti dapat menyebabkan
penglihatan kabur (Naderan, 2018). Kondisi myopia yang terlalu tinggi pada Ny.
L membuat dokter menyarankan untuk melakukan persalinan secara seksio
sesarea. Banyak dokter spesialis mata dan spesialis kandungan dan kebidanan
menganggap miopia tinggi, adanya degenerasi retina perifer, riwayat operasi
ablasio retina, retinopati diabetik, atau glaucoma adalah indikasi terminasi
kehamilan per abdominam. Proses persalinan normal dengan dianggap
meningkatkan kemungkinan ablasio retina. Ablasio retina traksional/TRD
merupakan kondisi sekunder dari kelainan retina yang berkaitan dengan
proliferasi membrane neovaskular, sebagai respons dari kondisi iskemik retina
(Iskandar et al., 2020).
Ny. L juga memiliki riwayat asma dan masih rutin kontrol serta menjalani
terapi hingga saat ini. Kehamilan menyebabkan banyak perubahan pada
organisme, mempengaruhi perjalanan asma. Dipercaya bahwa kondisi asma
selama kehamilan membaik pada sekitar sepertiga pasien, sepertiga perjalanan
penyakit tetap stabil, dan sepertiga memburuk. Perburukan biasanya terjadi pada
pasien dengan asma yang tidak terkontrol dan berat, namun dapat juga terjadi
pada pasien dengan gejala yang terkontrol dengan baik (Rey et al., 2019). Pada
penelitian Rey et al., 2019, asma dapat berhubungan dengan diabetes gestasional,
perdarahan perinatal, defek plasenta, pre-eklampsia, dan cacat bawaan termasuk
celah palatum dan gastroskisis. Beberapa penelitian menunjukkan risiko operasi
caesar, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, rawat inap lebih lama pada
bayi baru lahir dan bahkan kematian bayi baru lahir. Mekanisme yang mungkin
dari komplikasi yang disebutkan termasuk hipoksia, peradangan ibu, perubahan
relaksasi otot polos rahim, pengurangan enzim beta hidroksisteroid dehidrogenase
plasenta dan pengaruh obat (terutama betamimetik), dan sebagian besar terkait
dengan eksaserbasi. Maka dari itu, dengan adanya kondisi ini dokter spesialis
memberikan terapi obat untuk Ny. L dan menganjurkan untuk melahirkan secara
seksio sesarea.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Pada pengkajian tanggal 22 April 2022 yang dilakukan pada Ny.L G3P2002
UK 38-39 Minggu dengan PLR + Hipertensi bukan Pre Eklamsi + Degenerasi
retina perifer + Asma didapatkan hasil bahwa ibu ada keluhan. Berdasarkan
tinjauan kasus Ny. L didapatkan hasil pemeriksaan :
KU :Baik, Tekanan Darah : 150/100mmHg, Suhu : 36,3°C, BB : 85 kg
Nadi: 82x/menit, RR : 24x/menit. Abdomen terdapat line nigra dan stria
gravidarum, tidak ada bekas luka operasi, TFU Mc Donald : 30 cm, DJJ : 146
x/menit, His: 2x10’x20”. USG : Janin tunggal, hidup, letak kepala, ketuban
cukup, plasenta di posterior, TBJ : 2815 gram, JK : Perempuan. Sehingga
diperoleh diagnose G3P2002 UK 38-39 Minggu dengan PLR + Hipertensi
dalam Kehamilan + Degenerasi retina perifer + Asma. Maka dari tinjauan
teori dan tinjauan kasus dapat disimpulkan :
1. Plasenta letak rendah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Plasenta letak rendah yang
dialami Ny. L diketahui dari pemeriksaan USG yang dilakukan di
dokter obgyn pada saat usia kehamilan 14 minggu. Penyebab dari
plasenta letak rendah ini bervariasi. Pada kasus ini, Ny. L berusia 42
tahun, sehingga hal tersebut dapat menjadi etiologi terjadinya plasenta
letak rendah. Etiologi tersebut sesuai dengan teori dari Prawirohardjo,
2016 yang menyebutkan bahwa penyebab dari plasenta previa salah
satunya adalah usia lanjut atau > 35 tahun. Dari ditegakkannya
diagnosis plasenta letak rendah oleh dokter sampai saat ini, Ny. L
tidak pernah mengalami perdarahan dan nyeri pada abdomen. Hal ini
terjadi karena pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada
waktu mulai persalinan; perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip
pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen
bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.
Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung sampai
pascapersalinan.
2. Ny.L mengalami hipertensi gestasional. Pada pemeriksaan fisik,
diketahui tekanan darah Ny. L adalah 150/100 mmHg Hal itu
menunjukkan tekanan darah yang tinggi. Ny. L mengatakan, saat
sebelum hamil, tekanan darahnya normal, berkisar antara 110/120
mmHg dengan diastole 80-90 mmHg. Setelah dilakukan pemeriksaan
urin, tidak ditemukan adanya protein dalam urin sehingga dapat
ditegakkan diagnosis bahwa Ny. L mengalami hipertensi dalam
kehamilan.
3. Ny. L menderita myopia atau rabun jauh sejak sebelum hamil. Miopia
adalah keadaan refraksi mata dalam kondisi mata istirahat (tanpa
akomodasi), berkas cahaya sejajar berasal dari objek jauh tak
terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus di depan retina
(Iskandar et al., 2020). Nilai myopia yang diderita Ny. L setelah
dilakukan pemeriksaan di dokter spesialis mata adalah -6/-6.
Kehamilan juga memengaruhi kondisi mata, seperti dapat
menyebabkan penglihatan kabur (Naderan, 2018). Kondisi myopia
yang terlalu tinggi pada Ny. L membuat dokter menyarankan untuk
melakukan persalinan secara seksio sesarea.
4. Ny. L memiliki riwayat asma dan masih rutin kontrol serta menjalani
terapi hingga saat ini. Kehamilan menyebabkan banyak perubahan
pada organisme, mempengaruhi perjalanan asma. Dipercaya bahwa
kondisi asma selama kehamilan membaik pada sekitar sepertiga
pasien, sepertiga perjalanan penyakit tetap stabil, dan sepertiga
memburuk. Perburukan biasanya terjadi pada pasien dengan asma
yang tidak terkontrol dan berat, namun dapat juga terjadi pada pasien
dengan gejala yang terkontrol dengan baik (Rey et al., 2019).
5. Pengkajian dan observasi pada Ny.L telah dilakukan pada tanggal 22-
22 April 2022 dan diperoleh hasil dari evaluasi asuhan kebidanan
yaitu dilakukan kolaborasi bersama dokter SpOG untuk dapat
dilakukan tindakan persalinan secara operasa Sectio Caesarea untuk
dapat meneyelamatkan ibu dan bayinya.
6. Intervensi yang diberikan menjelaskan tentang gizi seimbang, istirahat
yang cukup, memberikan motivasi dan dukungan emosional kepada
ibu untuk menghadapi operasi seksio sesarea (SC), Ibu terlihat lebih
tenang menghapadi proses operasi kolaborasi dengan ahli gizi, dokter
obgyn untuk memantau kesehatan ibu dan janinnya dalam keadaan
baik.
7.2 Saran
1. Terhadap pasien
Diharapkan dapat melaksanakan anjuran dan nasihat yang diberikan
petugas sehingga dapat meningkatkan kesehatan pasien serta
terhindar dari terjadinya komplikasi.
2. Terhadap mahasiswa
Diharapkan agar semua meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam melakukan komunikasi dan pelayanan
kepada pasien.
3. Terhadap Institusi
Diharapkan dapat meningkatkan kinerja pembelajaran terhadap
mahasiswi kebidanan baik teori maupun praktek, sehingga setiap
tahunnya dapat melahirkan alumni kebidanan yang profesional,
intelektual dan terampil dalam bidang kebidanan. 
DAFTAR PUSTAKA
Ayusti Anumillah, R., Dohong, A. A., Bilqis, N., & Endjun, J. J. (2022).
MANAJEMEN PLASENTA PRAEVIA DENGAN RIWAYAT
PERDARAHAN ANTEPARTUM: SEBUAH LAPORAN KASUS
BERBASIS BUKTI. Jurnal Kedokteran Universitas Palangka Raya,
10(1). https://doi.org/10.37304/jkupr.v10i1.4219

Iskandar, F., Surya, R., Sungkar, A., & Anggriany, F. D. (2020). Kontroversi
Persalinan Spontan pada Miopia Tinggi. 47(10), 3.

Naderan, M. (2018). Ocular changes during pregnancy. Journal of Current


Ophthalmology, 30(3), 202–210.
https://doi.org/10.1016/j.joco.2017.11.012

Pemaron, I. B. R. (2020). Tinjauan Faktor Risiko Kejadian Hipertensi dalam


Kehamilan di Rumah Sakit Bhayangkara Denpasar. 3, 6.

Prawirohardjo, S. (2016). Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Rey, A., Jassem, E., & Chelminska, M. (2019). Evaluation of asthma course in
pregnancy. Ginekologia Polska, 90(8), 6.

Akbar, M. I. A., Tjokroprawiro, B. A., & Hendarto, H. (2020). Obstetri Praktis


Komprehensif. Airlangga University Press.

Abimanyu, J. K., 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Kelainan Refraksi


Miopia pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Tanggamus Tahun
2009/2010, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Apriyani, M. T. P., Rahmawati, E., Qoiriyah, S., & Damayanti Reffi. (2022).
Komplikasi Kehamilan dan Penatalaksanaannya. Get Press.

Ayusti Anumillah, R., Dohong, A. A., Bilqis, N., & Endjun, J. J. (2022).
MANAJEMEN PLASENTA PRAEVIA DENGAN RIWAYAT
PERDARAHAN ANTEPARTUM: SEBUAH LAPORAN KASUS
BERBASIS BUKTI. Jurnal Kedokteran Universitas Palangka Raya,
10(1). https://doi.org/10.37304/jkupr.v10i1.4219

Basri, S., 2014. Etiopatogenesis dan Penatalaksanaan Miopia pada Anak Usia
Sekolah. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 14 (3), pp. 181-186.

Cortese, S., Ivanenko, A., Ramtekkar, U. & Angriman, M., 2014. Sleep Disorders
in Children and Adolescent a practical guide : Psychiatry and pediatrics.
pp. 1-19.
Dewi, T. P., Rusly, D. K., & Adelina, M. (2021). Keterlambatan Deteksi Plasenta
Akreta pada Trimester Pertama. Universitas Syiah Kuala, 21.
https://doi.org/10.24815/jks.v21i1.20032

Gong, Y., Zhang, X., Tian, D., Wang, D., Xiao, G. 2014. Parental Myopia, Near
Work, Hours of Sleep, and Myopia in Chinesse Children. SciRes, Volume
6 (1), pp. 64-70.

Juwita, Umar, F., Nurhaeda, & Adnan, Y. (2021). Deteksi Dini Faktor-faktor
Hipertensi Gestasional pada Ibu Hamil. Media Sains Indonesia.

Komariah, C., 2014. Hubungan Status Refraksi dengan Kebiasaan Membaca,


Aktivitas di Depan Komputer, dan Status Refraksi Orang Tua pada Anak
Usia Sekolah Dasar. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Volume 28 (2), pp.
137-140.

Lail, N. H. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG BEHUBUNGAN DENGAN


HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN DI PUSKESMAS SUKARAYA
KECAMATAN KARANG BAHAGIA KABUPATEN BEKASI TAHUN 2015.
41, 18.

Nugrawati, N., & Amriani. (2021). Asuhan Kebidanan pada Kehamilan. Penerbit
Adab.

Pulungan, P. W., Sitorus, S., Amalia, R., & Ingrit, B. L. (2020). Ilmu Obstetri dan
Ginekologi untuk Kebidanan. Yayasan Kita Menulis.

Saifuddin, A. B. (2014). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wijaya AS, Putri YM. 2014. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Yuliati, D., & Djajalaksan, S. (2015). Penatalaksanaan Asma Bronkial.
Universitas Brawijaya Press.

Anda mungkin juga menyukai