Anda di halaman 1dari 67

MAKALAH

IDENTIFIKASI NEONATUS RESIKO TINGGI


ASUHAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU KECANDUAN NARKOTIKA,
PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF,IBU PENDERITA PENYAKIT INFEKSI,
DAN OMPHALITIS

Untuk memenuhi salah satu syarat tugas Ilmu Kesehatan Anak


Prodi AJ Kebidanan Universitas Sari Mulia Banjarmasin

DOSEN PENGAMPU
FITRI YULIANA, SST,M.Kes
NAMA MAHASISWA:
1.

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MULIA

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan


yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan
makalah yang berjudul “Komunikasi dalam Praktik Kebidanan
“Giving Advice”.
Atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan dari
berbagai pihak tersebut maka penulis mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. selaku Direktur Universitas Sari Mulia Banjarmasin.
2. selaku Kaprodi Sarjana Kebidanan Universitas Sari Mulia
Banjarmasin.
3. selaku Ketua Jurusan Kebidanan Universitas Sari Mulia
Banjarmasin.
4. Putri Yuliantie.,M.Keb selaku dosen pengampu mata
kuliah Komunikasi dalam Praktik Kebidanan
Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dari
makalah ini, karenanya penulis mengharapkan kritik maupun
saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan
laporan kasus akhir stase ini. Semoga hasil-hasil yang
dituangkan lewat laporan kasus akhir stase ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu kesehatan umumnya dan khususnya dalam
kebidanan.

Amuntai, 12 Desember 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................6
A. Konsep Komunikasi...................................................................................6
1. Pengertian Komunikasi.........................................................................6
2. Proses Komunikasi................................................................................7
3. Unsur – Unsur Komunikasi...................................................................8
4. Tipe Komunikasi.................................................................................10
5. Model Komunikasi..............................................................................10
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi................................13
B. Konsep Giving Advice................................................................................8
1. Pengertian Giving Advice...................................................................15
2. Contoh Penerapan Giving Advice.......................................................15
BAB III PENUTUP.........................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran...........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Neonatus merupakan bayi dengan umur 0-28 hari, yang
mempunyai risiko gangguan kesehatan paling tinggi dan
berbagai masalah kesehatan yang bisa muncul, sehingga tanpa
penanganan yang tepat, bisa menyebabkan komplikasi pada
neonates. Neonatus bila dapat melalui proses adaptasi dengan
baik, maka bayi tersebut akan mampu mempertahankan
hidupnya, sedangkan bila tidak dapat beradaptasi, bayi akan
mempunyai masalah kesehatan bahkan dapat menyebabkan
kematian
Tingginya angka kesakitan dan kematian neonatus adalah
sebuah fenomena yang bermakna, diperkirakan 2/3 kematian
dibawah usia 1 tahun terjadi pada 28 hari pertama. Data di
seluruh dunia 2,6 juta bayi lahir meninggal (UNICEF, 2016).
Menurut WHO, pada tahun 2010 dari 7200 kematian bayi 98%
di antaranya terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah sedangkan 2% terjadi di negara yang berpenghasilan
tinggi, seperempat sampai setengahnya terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran dan disebabkan lahir terlalu dini dan kecil,
infeksi, sesak napas (WHO, 2018). Angka kesakitan anak di
Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Susenas) di
daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar
25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun
sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13%.
Seiring berjalannya waktu banyak neonates resiko
tinggi yang faktor penyebabnya adalh dari kebiasan buruk
ibu yang mengkonsumsi NAPZA saat kehamilan sehingga
mengakibatkan terjadinya Neonatal abstinence
syndrome (NAS) atau juga yang disebut dengan sindrom
putus obat pada bayi baru lahir. NAS merupakan
kumpulan dari gejala-gejalayang muncul pada neonatus
yang terpapar oleh zat adiktif atau obat-obatan yang
mengandung zat adiktif jangka panjang ketika masih
berada di rahim ibunya.
Neonatal resiko tinggi lainnya juga bisa terjadi
pada sepsis neonatorum yang diakibatkan oleh penyakit
infeksi yang diderita oleh ibu selama masa kehamilan dan
persalinan. Hal ini terjadi karena adanya penularan vertical
dari ibu ke bayi sehingga mengakibatkan terjadinya sepsis
neonatorum awitan dini yang terjadi 0 – 72 jam pertama
kelahiran.
Kejadian neonatal resiko tinggi yang juga sering
terjadi adalah Omphalitis yaitu infeksi lokal pada
umbilicus yang terutama menyerang neonates.
b. Tujuan
a. Mahasiswa memahami tentang neonates resiko tinggi
b. Mahasiswa memahami tentang konsep Neonatal
Abstinence Syndrom (NAS)
c. Mahasiswa memahami tentang konsep Sepsis
Neonatorum Awitan Dini (SNAD)
d. Mahasiswa memahami tentang konsep Omphalitis
e. Mahasiswa memahami tentang asuhan neonatal pada
Neonatal Abstinence Syndrom (NAS).
f. Mahasiswa memahami tentang asuhan neonatal dengan
Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD)
g. Mahasiswa memahami tentang asuhan neonatal dengan
Omphalitis
BAB II

A. NEONATAL ABSTINENCE SYNDROME


1. Definisi
Neonatal abstinence syndrome (NAS) adalah suatu
gambaran pola perilaku, tanda dan gejala psikologis yang
muncul ketika terputusnya secara tiba-tiba penggunaan
obat-obatan narkotika dan psikotropika (zat adiktif),
dimana tanda dan gejala yangmuncul memiliki kesamaan
dari setiap jenis obat-obatan, tetapi memberikan beberapa
pola yang khas, bergantung dari komponen penyebabnya.
Seperti yang telah diketahui bahwa sindroma
memiliki arti sebagai kumpulan gejala, dengan demikian
NAS merupakan kumpulan dari gejala-gejala yang muncul
pada neonatus yang terpapar oleh zat adiktif atau obat-
obatan yang mengandung zat adiktif jangka panjang ketika
masih berada di rahim ibunya.
Neonatal abstinence syndrome merupakan
gangguan multisistem yang bersifat menyeluruh, dimana
gangguan ini secara dominan memberikan kerusakan pada
sistem saraf pusat dan perifer, serta sistem traktus
gastrointestinal.
2. Epidemiologi
Neonatal Abstinence Syndrome merupakan suatu
permasalahan yang umumnyaterjadi pada populasi
pengguna obat-obatan narkotika psikotropika sebagai
suatumedikasi (misalnya orang-orang dengan gangguan
psikiatri) atau penggunaanobat-obatan dengan adiksi, yang
sekarang sudah banyak juga terjadi pada wanita-wanita
hamil. Namun demikian, prevalensi kejadian NAS sulit
untuk dihitung,karena kesulitan dalam menemukan data
riwayat penggunaan obat-obatan padaibu dan
sedikitnya kemampuan tenaga kesehatan yang
dapat menemukan riwayat paparan obat dan mendiagnosis
paparan obat nonopiate pada neonatus. Selain
itu, penggunaanobat yang lebih dari satu dapat mempersuli
t untuk menentukan obat penyebabnya dengan spesifik.
National Survey of Drugs Use and Health
(NSUDH) pada tahun 2011 memberikan data yaitu sebesar
5,9% wanita hamil usia 15-44 tahun menggunakanobat-
obatan terlarang, 18% pada rentang usia 15-17 tahun, usia
18-25 tahun memiliki prevalensi 9%, dan pada usia 26-44
tahun sebesar 3,4% wanita hamilmenggunakan obat-
obatan terlarang.
Hudak M.L melaporkan bahwa sejak tahun 2009
telah terjadi peningkatanyang cukup signifikan pada
prevalensi wanita yang menggunakan obat-
obatan, baikpada wanita hamil maupun melahirkan. Sepert
i yang dilansirkan oleh NSUDH bahwa penggunaan ganja
(marijuana) merupakan penggunaan
yang paling banyak, dimana penggunaannya lebih tinggi p
ada wanita yang baru sajamelahirkan yaitu sekitar 3,8%,
dibandingkan pada wanita hamil (1,4%).
Maka dari itu, diagnosis NAS meningkat dari 1,20
menjadi 3,39 per 1.000rumah sakit per tahunnya dan pada
tahun 2009, sekitar 13.539 neonatusdidiagnosis dengan
NAS.
Association of State and Territorial Health Officia
ls menampilkan datayang didapatkan dari Departemen
Kesehatan di Tennessee, bahwa
terjadi peningkatan kejadian neonatal abstinence
syndrome sejak tahun 1999 sampai2011, yaitu 0,7% pada
tahun 1999 meningkat hingga 8,5% pada tahun
2011,dimana peningkatan pertahunnya sekitar 0,5-1,9%.
3. Klasifikasi
Secara umum NAS dapat dibagi menjadi dua yaitu
neonatal abstinence syndrome akibat penggunaan zat
adiktif pada saat prenatal yang mengakibatkan
munculnyagejala gejala putus obat pada neonatus.
Kelompok kedua merupakan
kelompok NAS adalah postnatal NAS yang terjadi akibat d
ihentikannya obat-obatan penghilang nyeri pada neonatus
seperti fentanyl dan morfin.
4. Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi
keparahan neonatal abstinencesyndrome pada bayi yang
lahir dari ibu yang menggunakan obat-obatan. Faktor-
faktor yang pasti tersebut adalah:
 Aterm
 Polydrug abuse
 Penggunaan obat dikombinasi dengan
benzodiazepine
 Positif reseptor µ-opioid
 Merokok

5. Etiologi dan Patofisiologi


Penggunaan zat adiktif pada ibu hamil berkaitan
erat dengan keadaan psikologissang ibu. Ibu dengan
kepribadian beresiko tinggi memiliki kecenderungan
untukmenggunakan obat-obatan yang bersifat adiktif,
dengan berbagai latar belakangseperti untuk
menghindari stress selama masa kehamilan, mengurangi
kecemasan pada kehamilan, mengatasi perubahan emosi y
ang berhubungan dengan perubahan hormonal juga merup
akan salah satu alasan seorang ibu hamilmenggunakan zat
adiktif. Di samping itu, ibu hamil yang memiliki
riwayat penggunaan zat adiktif akan mengalami
kesulitan jika menghentikan penggunaanobat sehingga
memiliki kecenderungan untuk tetap mengkonsumsi
selama kehamilan.
Obat-obat yang dapat menyebabkan terjadinya
gejala putus obat padaneonatus dapat berupa obat
golongan opioid yang merupakan penyebab terseringdari
NAS, obat-obat yang bersifat menstimulasi sistem saraf
pusat, depresanterhadap saraf pusat, dan obat-obatan
halusinogen. Paparan kronik terhadap zat-zat ini
intrauterin dapat menyebabkan abnormalitas pada
perkembanganneurologis yang konsisten terhadap efek
obat. Tanda dan gejala putus obatsemakin memburuk
seiring dengan kadar obat yang menurun, begitu juga
dengantanda dan gejala toksisitas yang meluas seiring
dengan eliminasi obat dari tubuh.
Berdasarkan penelitian, pada umumnya gejala NAS
tersebut munculsetelah penggunaan obat-obatan selama 1
bulan selama kehamilan. Selainopioid, zat yang paling
sering ditemukan dalam kasus NAS ini
adalah benzodiazepines, babiturates, dan alcohol.
Table 1. Daftar Nama Obat – Obatan yang
Menyebabkan Neonatal Abstinence Syndrome (NAS)

Opioids CNS Stimulants CNS Depressants Hallucinogens


Agonist Amphetamines Alcohol Indolealkylamines
Morphine Dextroamphetamine Barbiturates Phenylethylamines
Methadone Methamphetamine Benzodiazepines Phenylisopropyamines
Meperidine Amphetamine sulfate Other sedativehypnotic Inhalants
Oxycodone Amphetamine Congeners Methaqualone Solvents and aerosols
Propoxyphene Benzephetamine Gluthetimide Nitrites
Hydrocodone Diethypropion Chloral hydrate Nitrous oxide
Fentanyl Fendluramine Cannabinoids
Tramadol Marijuana
Heroin Hashish
Agonist
Naloxone
Naltrexone

6. Neurobiology Adiksi
Suatu proses adiksi bisa terjadi karena zat adiktif
mengaktivasi system reward diotak, sehingga sistem ini
secara neurobiologi terjadi perubahan dan
menghasilkanadiksi. Suatu proses terjadinya adiksi bekerja
pada sistem mesokortikolimbikdopamine di ventral
tegmental area (VTA). Sirkuit yang secara
spesifik berhubungan dengan drug reward terjadi pada
interaksi masuk dan keluarnyaneuron pada bagian basal
forebrain secara spesifik adalah nukleus akumbens.
Selain terjadi aktivasi di dopamine reward system,
terjadi juga
blokade pada GABA yang secara fisiologis berperan untuk
menghambat kerja dopamine,sehingga blokade pada
GABA menyebabkan dopamine mengalami stimulus terus-
menerus, dan terjadi aktivasi reward system yang tidak
terkontrol

7. Mekanisme Opioid pada NAS

Mekanisme patofisiologi pada neonatus yang


mengalami sindroma withdrawal belum diketahui secara
pasti. Zat adiktif yang paling banyak mengakibatkan NAS
adalah opioid. Hal ini disebabkan karena opioid memiliki
berat molekul yangrendah, mudah larut dalam air, dan
merupakan zat yang larut dalam lemak,sehingga dapat
melewati plasenta kepada janin. Di samping itu, transmisi
zatadiktif kepada janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia gestasi ibu.
Patofisiologi dari efek putus obat opioid pada
neonatus lebih kompleksdibandingkan pada orang dewasa,
mengingat perkembangan neurologi darineonatus yang
belum sempurna, gangguan proses neurologis, dan
farmakokinetikdari materno-feto-placental yang juga
cukup rumit.
Opioid pada umumnya akan bekerja melalui
reseptor opioid (reseptor pasangan protein G, µ, ҡ, dan δ)
yang tersebar terutama pada sistem saraf pusat,dan juga
terdapat pada sistem saraf perifer, sistem traktus
gastrointestinal,dan beberapa sistem lainnya. Densitas dan
afinitas dari reseptor µ pada neonatusmemiliki
kualitas/kematangan yang sama seperti pada orang
dewasa. Namundemikian, belum terbukti secara evidence
bahwa reseptor ҡ dan δ memiliki kematangan
perkembangan yang sama pada otak neonatus.
Terputusnya paparanopiod secara tiba-tiba setelah
penggunaan yang menyebabkan stimulasi jangka panjang
akan meningkatkan aktivitas reseptor opioid dan
ketidakseimbangan ion-ion sel. Maka dari itu, berakibat
pada peningkatan produksi beberapaneurotransmitter
melalui kaskade aktivitas enzim.
Pusat aktivitas terpenting pada putus obat opioid
(opioid
withdrawal ) berada pada locus coeruleus pons. Pada lokas
i ini merupakan nukleusnoradrenergik utama di otak dan
sangat sensitif dengan keberadaan opioid;dimana sangat
berperan memberikan tanda-tanda neonatal abstinence
syndrome
.Kurangnya opioid juga menyebabkan peningkatan
produksi norepinefrin, dimanakondisi ini memberikan
sebagian besar tanda dan gejala NAS. Ventral
tegmentalarea yang terletak di otak tengah merupakan
pusat menyimpan dopamine,menurunkan pengeluaran
dopamine ketika terjadi putus opioid. Menurunnyaekspresi
serotonin pada nukleus dorsalis juga terjadi pada opioid
withdrawal ,menyebabkan gangguan tidur pada neonates.
Defisit opioid juga mengganggu sistem fungsional
autonomik, system
saraf perifer, dan begitu juga pada sistem traktus gastrointe
stinaSelain itu, beberapasistem lain juga seperti
peningkatan produksi asetilkolin, aktivasi HPA-aksis
yangdapat mengakibatkan produksi kortikotropin, dan
untuk jangka panjang dapat berhubungan dengan
hyperalgesia.Insiden dan keparahan dari gejala putus obat
ini akan lebih ringan bilaterjadi pada neonatus yang
preterm, dimana hal ini dipengaruhi oleh beberapafaktor
yaitu paparan terhadap neonatus lebih sedikit, yaitu:
 transmisi melalui plasenta semasa kehamilan awal
 menurunnya metabolisme morfin,
 menurunnya ekskresi karena imaturitas dari ginjal dan
liver,
 sedikitnya jaringan lemak pada neonatus preterm,
 sedikitnya pembentukan reseptor, dan
 sedikitnya sensitivitas reseptor.
Gejala putus obat pada neonatus dari ibu yang
mengkonsumsi SSRI atau SNRI dapat meningkatkan
produksi serotonin dan noradrenalin. Neonatus
yangmengalami gejala putus obat golongan
benzodiazepine umumnya akanmeningkatkan produksi γ-
amino-butyric acid
8. Manifestasi Klinis
Neonatal abstinence syndrome merupakan suatu
kumpulan gejala klinis yang penting dan dapat
menimbulkan gejala-gejala yang mencakup sistem
multiorgan.Tanda dan gejala yang muncul pada neonatus
merupakan kontribusi dari beberapafaktor seperti:
 Jenis obat yang digunakan oleh ibu
 Banyaknya obat yang digunakan oleh ibu
 Lama waktu penggunaan obat
 Bagaimana tubuh ibu mencerna/memecahkan
komponen kimiawi obat.
Secara umum, gejala yang ditemukan pada
neonatal abstinence syndrome adalah:
a) Gejala akibat gangguan sistem saraf pusat adalah gejala
yang umumnya pertama kali ditemukan, yaitu:
 Iritabilitas
 Tidak bisa tenang
 Tremor
 Menangis yang sangat kencang
 Kejang (terkadang)
b) Gejala-gejala di atas dapat berlanjut sehingga
menyebabkan:
 Agitasi
 Kesulitan tidur
 Menangis yang tidak dapat diredakan
(inconsolable crying ),
umumnya bayi menangis sangat keras dengan na
da yang tinggi, sehinggamembutuhkan banyak
perhatian.

A. Neonatus dengan Ibu Penderita Penyakit Infeksi


(Herpes)
1. Epidemiologi
Herpes genital merupakan infeksi menular seksual
yang disebabkan oleh virus HSV-1 dan jarang disebabkan
oleh HSV-2. Empat puluh lima juta orang berusi dibawah 12
tahun di Amerika Serikat terinfeksi herpes genital, dengan
1,5 juta kasus baru terdiagnosa setiap tahun. Lima persen
wanita usia reproduktif memiliki riwayat herpes genital. Dua
persen wanita mendapatkan infeksi pertama selama
kehamilan. Pada umumnya, infeksi bersifat asimptomatis
dan subklinis. Kurang dari 30% wanita yang terinfeksi
memiliki antibodi terhadap HSV-2. Kurang dari 1/4 orang
dengan serologi positif adalah simptomatis. Angka
penularan pada neonatus adalah lebih dari 40% pada ibu
dengan infeksi genital primer. Pada ibu dengan herpes
rekuren dan serologi positif terhadap HSV-2, risiko
penularannya turun hingga 30%. Anak - anak yang lahir dari
ibu dengan infeksi non primer pertama memiliki risiko
menengah. Adanya antibodi HSV-1 yang spesifik tidak
memberikan perlindungan penularan pada neonatus. Sekitar
1500 - 2000 kasus HSV neonatus telah terdiagnosa setiap
tahun. Terdapat perbedaan prevalen pada bayi baru lahir
dengan infeksi HSV-1 atau HSV-2 di tiap negara.5
Perkembangan uji serologi yang akurat untuk Herpes
simplex virus-1 (HSV-1) dan Herpes simplex virus-2 (HSV-2)
meningkatkan pemahaman mengenai epidemiologi HSV-1
dan HSV-2.
Angka epidemiologi infeksi herpes simpleks virus pada
neonatus bervariasi diantara negara - negara di seluruh
dunia. Di Kanada,infeksi terjadi sekitar satu per 16.500 bayi
baru lahir. Penularan ke bayi baru lahir dapat terjadi oleh
HSV-1 atau HSV -2. Di seluruh dunia, diperkirakan 75% kasus
infeksi herpes simpleks pada neonatus disebabkan oleh HSV-
2 dan 25% disebabkan oleh HSV-1. Suatu studi prospektif
Kanada melaporkan pada periode tahun 2000 - 2003
menemukan 63% kasus yang disebabkan oleh HSV-1. Studi
dari Ontario (dilakukan pada tahun 2000-2001) dan British
Columbia (pada tahun 1999) meneliti bayi yang berpotensi
terinfeksi HSV-2 masing - masing mendeteksi antibodi HSV-2
pada 10% dan 17% wanita hamil.
Herpes genital, yang merupakan sumber infeksi HSV
neonatus dapat disebabkan karena HSV-1 atau HSV-2, tetapi
sebagian besar kasus disebabkan oleh HSV-2 baik di negara
maju ataupun di negara berkembang.Menurut laporan
WHO, diperkirakan pada tahun 2003 pada penduduk
berumur 15 - 49 tahun terdapat 536 juta menderita HSV-2.
Infeksi lebih banyak mengenai wanita dibandingkan laki -
laki yaitu 315 juta berbanding 221 juta. Infeksi meningkat
dengan meningkatnya umur, dengan puncak pada umur 35 -
39 tahun setelah itu sedikit menurun.Insiden infeksi HSV
neonatus di Kanada adalah 6 per 100.000 kelahiran hidup
per tahun. Pada penelitian di seluruh dunia, 75% infeksi HSV
neonatus disebabkan HSV-2 dan hanya 25% karena HSV-1.
Dalam penelitian seroprevalensi di Amerika Serikat,
sampai dengan umur 5 tahun sebesar 35% anak - anak kulit
hitam dan 18% kulit putih pernah mengalami infeksi HSV-1.
Selama masa remaja, anak kulit hitam 2 kali lipat pernah
terkena HSV dibandingkan dengan kulit putih. Sampai
dengan usia 40 tahun baik kulit hitam maupun kulit putih
mempunyai seroprevalensi yang sama, sekitar 70 - 80%
seropositif. Infeksi HSV-2 sebagian besar penularannya
melalui hubungan seksual. Sampai saat ini sekitar seperlima
penduduk Amerika Serikat yang berumur lebih dari 12 tahun
pernah terinfeksi HSV-2 dan seperempat dari yang berumur
lebih dari 30 tahun terinfeksi HSV-2. Prevalensi semakin
meningkat selama 2 dekade ini, sehingga infeksi HSV-2
dianggap dalam keadaan epidemi. Diperkirakan 25 hingga
65% wanita hamil di Amerika Serikat terkena infeksi genital
dengan HSV-1 atau HSV-2. Prevalensi infeksi HSV-2 di negara
- negara Afrika lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
di negara berkembang dengan prevalensi 30 - 80% pada
wanita dan 10-50% pada laki - laki. Di Amerika Selatan
prevalensi pada wanita adalah 20 - 40 % sedangkan di
negara - negara Asia menunjukkan prevalensi yang lebih
rendah yaitu 10 - 30%. Oleh karena infeksi HSV bukan
merupakan penyakit yang harus dilaporkan di Amerika
Serikat, angka - angka prevalensi yang pasti masih sulit
didapatkan.
Pada tahun 2012, diasumsikan 140 juta penduduk
berusia 15 - 49 tahun terkena infeksi HSV-1 di seluruh dunia,
sekitar 50% terdiri dari infeksi HSV genital.Herpes genital
adalah yang ditularkan melalui hubungan seksual karena
HSV-2, jarang karena HSV-1. Sekitar 5% wanita dalam masa
reproduktif mempunyai riwayat herpes genital dengan 2%
dari wanita tersebut mendapat infeksi pertama selama
kehamilan.Pada masa ini herpes genital semakin meningkat
sebagai penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Sejak akhir tahun 1970-an di Amerika Serikat seroprevalensi
HSV-2 meningkat 30% sehingga 1 dari 5 orang dewasa
terinfeksi. Infeksi HSV-2 dapat ditularkan dari ibu ke anak
pada saat persalinan.
Insiden infeksi HSV-2 neonatus adalah 1 dalam 3000
sampai 1 dalam 20.000 kelahiran hidup. 10,11 4,13,14,15
Perkiraan terakhir adalah 1 diantara 3200 persalinan.10
Sekitar 1500 - 2000 kasus baru terjadi di Amerika Serikat.
Sekitar 2% wanita mendapat infeksi selama kehamilan.
Penularan pada neonatus adalah lebih dari 40% pada infeksi
herpes genital pertama pada ibu. Bayi yang lahir dari ibu
infeksi non primer mempunyai risiko penularan
menengah.Sekitar dua per tiga dari wanita yang mendapat
infeksi HSV saat kehamilan tidak menunjukkan gejala pada
saat melahirkan. Ini sesuai data bahwa 60 - 80% ibu yang
melahirkan bayi dengan infeksi HSV neonatus tidak
menunjukkan gejala HSV
2. Etiologi
Herpes simplex virus adalah virus DNA beruntai
ganda neurotropik yang tergolong dalam Alphaherpes
virinae subfamili Herpesviridae. 14,15,16 Terdapat lebih dari
80 virus herpes,8 diantaranya dapat menginfeksi manusia
yaitu HSV-1, HSV-2, varicella-zoster virus (VZV), Epstein-Barr
Virus (EBV), Human Herpesvirus (HHV 6 dan HHV 7) dan
kaposi sarcoma-associated herpesvirus (HHV 8). Herpes
simplex virus merupakan virus yang mempunyai envelope
dengan untai ganda DNA yang mempunyai genom yang
sangat teroganisir yang mengkode lebih dari 84 polipeptida.
Meskipun rangkaian DNA HSV-1 dan HSV2 sangat mirip
tetapi perbedaan protein pada pembungkusnya dapat
membedakan kedua jenis virus tersebut.Herpes simplex
virus terdiri dari dari 2 tipe HSV-1 dan HSV-2. Herpes simplex
virus-1 menyebabkan lesi orofasial, jarang sekali
menyebabkan lesi genital. Herpes simplex virus
menyebabkan infeksi genital. Virus ini bersifat neurovirulen,
menjalar pada jaringan saraf dan mempunyai
kecenderungan bersifat laten. Jika terdapat stres fisik atau
emosi, virus yang dalam keadaan dorman dapat menjadi
aktif sehingga menimbulkan penyakit
3. Patogenesis
Terkadang VSH dapat menginfeksi janin melalui
ascending genital tract infection atau secara transplasental
melalui vili korionik. Infeksi VSH in utero dapat
menyebabkan katarak, pneumonitis, miokarditis,
hepatosplenomegali, korioretinitis, ensefalitis, anemia
hemolitik serta retardasi mental dan pertumbuhan. Sebagai
tambahan, terdapat berbagai jenis patogen yang dapat
menginfeksi fetus dan menyebabkan manifestasi klinis dan
patologis yang serupa dan dikelompokkan bersama dengan
akronim "TORCH". Patogen ini adalah Toxoplasma gondii,
yang lain (Treponema pallidum, Listeria monocytogenes,
dan Mycobacterium tuberculosis), rubella, dan
cytomegalovirus.
Namun mayoritas kasus infeksi herpes simpleks pada
neonatus diperoleh melalui perinatal. Patogenesis yang
kompleks dari penyakit ini membuat kesulitan
memperkirakan jalur mana dari traktus genitalia ibu yang
menyebabkan infeksi. Di sisi lain, frekuensi reaktivasi HSV
pada traktus genitaliaia meningkat pada tiap trimester
kehamilan. dan wanita yang meluruhkan HSV pada saat
persalinan adalah 300 kali lebih sering menularkan infeksi
HSV pada bayi mereka dibanding wanita hamil yang virusnya
tidak terdeteksi. Herpes genital simptomatis diduga
merupakan faktor risiko untuk penularan HSV neonatus.
Diantara 202 wanita hamil yang tercatat meluruhkan HSV
menjelang persalinan, 74memiliki lesi pada traktus genitalia
tetapi tidak satu pun menularkan infeksi ke bayi mereka.
Kebalikannya, infeksi traktus genitalia ibu yang didapat pada
saat atau menjelang persalinan merupakan risiko faktor
yang signifikan untuk penularan HSV perinatal. Pada
kenyataannya, walaupun risiko penularan diantara wanita
yang memiliki infeksi herpes genital kronis adalah <1%,
efisiensi penularan ibu ke bayi pada wanita yang
memperoleh infeksi HSV pada traktus genitalia pada
kehamilan akhir dipertimbangkan paling sedikit 25%. Wanita
yang traktus genitalianya menyebarkan HSV pada saat
persalinan namun tes antibodi serum spesifik HSV yang
negatif, harus dipertimbangkan memiliki risiko penularan
neonatus yang lebih tinggi sebagai ketidaksesuaian diantara
2 tes diagnostik tersebut konsisten dengan didapatnya
infeksi maternal saat ini.
Peningkatan transmisi dari infeksi herpes simpleks
neonatus pada wanita yang menderita infeksi HSV pada
menjelang usia kehamilan dapat merupakan akibat dari satu
atau lebih faktor berikut : (1) penurunan waktu untuk
transfer pasif antibodi HSV spesifik dari ibu ke janin ; (2)
terpaparnya neonatus terhadap peningkatan titer HSV di
traktus genitalis dari perempuan yang treinfeksi sebagai
akibat sekresi serviks yang mengandung antibodi penetralisir
HSV dalam jumlah kecil; (3) peningkatan kemungkinan
paparan HSV secara perinatal dikarenakan infeksi herpes
genitalis merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
terjadinya reaktivasi HSV secara lebih sering dari laten dan
peluruhan. Aktivitas pengikatan yang lebih rendah dari
antibodi spesifik HSV awalnya dihasilkan dari infeksi primer,
dapat pula berkontribusi terhadap meningkatnya efisiensi
transmisi HSV neonatus pada wanita yang mendapat infeksi
herpes genital pada tahap akhir kehamilan. Pada respon
imun humoral kemampuan dari antibodi yang spesifik
terhadap patogen untuk mengikat, menetralisir dan
mengeliminasi mikroba sangat rendah segera setelah infeksi
primer tetapi kemudian meningkat secara bertahap oleh
proses yang disebut maturasi afinitas. Respon awal pejamu
terhadap infeksi, rantai berat imunoglobulin dan rantai
ringan gen - gen sel B yang spesifik antigen mengalami point
mutation dengan kecepatan yang tinggi dan beberapa dari
mutasi ini akan menghasilkan sel B dengan afinitas terhadap
antigen yang lebih tinggi. baik presentasi antigen dan
pensinyalan reseptor dan sel T helper menyebabkan
bertahannya sel B berafinitas tinggi ini, sedangkan sel B yang
berafinitas rendah yang mengenali antigen secara kurang
efisien dieliminasi dengan apoptosis. Sehingga saat
mekanisme pertahanan pejamu menurunkan beban
patogen, hanya sel B yang mengenali antigen dengan
afinitas tertinggi yang dapat bertahan, dan maturasi dari
imunitas humoral spesifik terhadap patogen menghasilkan
inmunoglobulin dengan afinitas yang lebih tinggi terhadap
antigen. Dikarenakan rendah atau tidak didapatkannya
afinitas antibodi spesifik terhadap patogen lebih mencirikan
infeksi primer yang baru, uji aviditas antibodi HSV maternal
dapat digunakan untuk menilai risiko penularan HSV saat
persalinan (aviditas merupakan pengukuran terhadap
kekuatan secara umum dari ikatan antibodi antigen).
Diantara 130 perempuan hamil yang seropositif terhadap
HSV, 50% peserta penelitian dengan indeks aviditas antibodi
HSV yang rendah (< 40%) menularkan HSV ke bayinya
dibandingkan dengan hanya 12% pada peserta penelitian
dengan indeks aviditas antibodi HSV yang lebih tinggi.
Walaupun penggunaan uji aviditas antibodi HSV maternal
mengidentifikasikan perempuan dengan infeksi HSV yang
lebih baru, sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
menularkan HSV, uji ini akan menjadi kurang berguna pada
sebagian besar infeksi herpes simpleks pada neonatus
dimana didapatnya HSV maternal terlalu awal untuk
menghasilkan antibodi spsefik pada serum dengan kadar
yang dapat dideteksi.
Sebagai tambahan dari kedekatan hubungan antara
infeksi maternal dan kelahiran sebagai faktor risiko untuk
herpes simpleks pada neonatus nampaknya terdapat
perbedaan efisiensi penularan diantara subtipe HSV. Melalui
mekanisme patogenesis yang masih belum jelas, perempuan
dengan infeksi HSV-1 genital terbukti 15 kali lebih berisiko
untuk menularkan HSV pada bayinya dibandingkan dengan
perempuan yang treinfeksi HSV-2 genital. Kejadian lain yang
terbukti dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
HSV neonatus adalah tindakan obstetrik yang invasif
termasuk penggunaan elektrode pada kulit kepala bayi dan
penggunaan forcep untuk melahirkan, yang dapat
mengganggu sawar epitel neonatus dan menyebabkan
invasi HSV ke jaringan mukokutan
4. Gejala Klinis
Infeksi genital maternal dini menyebabkan kelainan
janin. Retardasi pertumbuhan intra uterine atau
prematuritas sering menyertai infeksi HSV pada kehamilan
trimester akhir. Bayi baru lahir dengan infeksi HSV
kongenital memiliki mikrosefali, hidrosefalus, mikroftalmia,
korioretinitis, kalsifikasi intra kranial dan lesi vesikel
mukokutaneus. Infeksi yang didapat pada periode antenatal
atau postnatal dapat menyebabkan sepsis neonatus. Tiga
puluh tiga persen dari gambaran ini didapatkan dalam 24
jam kelahiran dan 61% dalam minggu kehidupan.
Tergantung luasnya infeksi, herpes neonatus dapat
dikategorikan dalam 3 tipe yaitu :(1) infeksi kulit, mata dan
mulut (KMM); (2) keterlibatan susunan saraf pusat yang
disertai KMM; (3) infeksi diseminata meliputi organ multipel
seperti hati, paru - paru, adrenal, otak, mata, ginjal dan kulit.
Infeksi HSV pada neonatus memiliki gambaran yang
bervariasi dan mungkin menyerupai kondisi infeksi pada
neonatus yang lain. Dokter anak yang merawat harus
mempertimbangkan infeksi HSV pada neonatus sebagai
diagnosa banding pada bayi lahir yang memiliki riwayat
letargi, iritabilitas, demam atau hipotermia dan vesikel kulit
dengan atau tanpa gejala neurologi. Diagnsosis berdasarkan
kecurigaan klinis yang tinggi terutama ibu dengan riwayat
herpes genital. Hal ini harusnya dipertimbangkan ketika
kultur bakteri negatif dalam 48 jam. Pemberian terapi
spesifik dini mencegah kematian dan meminimalkan
kerusakan saraf.
Gejala tidak spesifik seperti demam atau hipotermia,
letargi, nafsu makan menurun dan iritabilitas dapat dijumpai
dengan atau tanpa lesi mukokutaneus. Saat diagnosis
dibuat, beberapa bayi berkembang progresif menjadi
penyakit yang berat dan menimbulkan komplikasi. Kejang
fokal atau generalisata, hepatitis, pneumonitis, inflamasi
mata, keterlibatan gastrointestinal dan adrenal dapat
dijumpai. Ulkus mata dendritik, korioretinitis atau acute
necrotizing retinitis dapat dijumpai. Katarak kongential yang
dipicu oleh virus herpes pernah dilaporkan terjadi pada
mata kanan bayi usia 18 bulan. Diatesis perdarahan, gagal
fungsi hati, koma, distres pernafasan dan syok biasanya
dijumpai pada fase akhir infeksi berat. Infeksi yang
terlokalisir lebih sering disebabkan oleh virus HSV-1 dan
infeksi sentral atau diseminata disebabkan oleh virus HSV-2.
Komplikasi jangka panjang seperti kejang, retadarsi
psikomotor, spastisitas, kebutaan dan gangguan belajar
sering dijumpai pada survivor.
Lesi terbatas pada kulit, mata dan mulut memberikan
mortalitas lebih rendah tetapi morbiditas tetap tinggi.
Infeksi pada kulit ditandai dengan adanya vesikel berbatas
tegas tetapi merupakan tanda penting dari penyakit ini.
Vesikel yang berkelompok mula - mula terdapat pada
tempat kontak dengan virus selama persalinan kemudian
dapat menjalar ke tempat lain. Vesikel terdapat pada 90%
penderita dengan tipe KKM. Gejala biasanya muncul 10
hingga 11 hari setelah kelahiran. Sekitar 30% tipe KKM
disertai gangguan neurogik. Vesikel dengan dasar eritema
berdiameter 1 - 2 mm, dapat berkembang menjadi bula
yang lebih besar dengan diameter lebih dari 1 cm. Lesi kulit
dapat bersifat multipel dengan tempat yang saling
berjauhan. Lesi dapat berupa erupsi zosteriform, meskipun
jarang. Lesi pada mata dapat berupa keratokonjungtivitis
dan kemudian menjadi korioretinitis, katarak dan lepasnya
retina. Lesi yang terlokalisir pada kavum orofaring dijumpai
pada sekitar 10% kasus.
Infeksi SSP dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian
penyakit yang menyebar menunjukkan gejala ensefalitis.
Hampir 90% bayi dengan penyakit yang menyebar atau
ensefalitis menunjukkan bukti adanya infeksi otak akut.
Sekitar sepertiga bayi dengan infeksi HSV neonatus berupa
ensefalitis. Bayi yang mendapat ensefalitis saja mungkin
penularannya melalui penularan aksonal sedangkan
ensefalitis yang disertai penyakit yang penularannya melalui
darah (viremia). Gejala ensefalitis berupa kejang (fokal atau
generalisata), letargi, iritabilitas, tremor, suhu tubuh tidak
stabil, ubun - ubun menonjol dan gejala piramidal. Sekitar 30
- 40% penderita ensefalitis tidak disertai vesikel pada kulit.
Pada 25 - 40% kasus ditemukan HSV pada kultur cairan
serebrospinal. Cairan serebrospinal menunjukkan
pleiositosis dan protein yang meningkat. Prognosis jangka
panjang bayi dengan ensefalitis sangat jelek. Sekitar 505
penderita bertahan hidup disertai retardasi psikomotor,
spastisitas, kebutaan, korioretinitis atau gangguan belajar.
Bayi dengan tipe diseminata mempunyai prognosis
yang paling buruk dari segi mortalitas dan morbiditas. Gejala
muncul pada hari ke 4 hingga hari ke 5 setelah lahir.
Sebelum dimulainya era terapi antivirus, tipe ini didapatkan
pada setengah sampai dua per tiga anak - anak yang
mendapat infeksi HSV pada neonatus. Organ utama yang
terkena adalah hati dan adrenal. Organ lain dapat juga
terkena seperti laring, trakea, paru, esofagus, lambung, usus
bagian bawah, limfa, ginjal pankreas dan jantung. Ensefalitis
merupakan komponen yang sering dijumpai, dijumpai pada
60 - 75% kasus. Gejala yang timbul dapat berupa kejang,
distres pernafasan, ikterus, perdarahan, syok dan sering
sekali disertai eksantema vesikel yang merupakan
patognomonik. Ruam vesikel dijumpai pada 20 - 40% kasus
dan penting untuk diagnosis. Sebanyak 20 - 40% kasus
dengan penyakit diseminata tidak disertai dengan vesikel
pada kulit sehingga sulit untuk mendiagnosis. Tanpa terapi,
angka kematian melebihi 80%. Penyebab kematian yang
paling sering adalah HSV pneumonitis dan disseminated
intravascular coagulopathy. Pada setiap kasus infeksi HSV
neonatus harus dicari adanya penyakit diseminata dengan
memeriksa fungsi hari (SGOT, SGPT, bilirubin), pemeriksaan
darah (neutropenia dan trombositopenia) dan faal
hemostasis.
Infeksi HSV kongenital ditandai oleh adanya trias
berupa vesikel pada kulit atau jaringan parut, penyakit mata
dan yang lebih berbahaya adalah mikrosefali dan
hidransefali. Korioretinitis yang bisa sendiri atau bergabung
dengan keratokonjungtivitis. Meskipun infeksi HSV
merupakan jarang menyebabkan kelainan kongenital, tetapi
pada kasus yang dicurigai harus dilakukan monitor teratur
dengan USG untuk melihat adanya hidransefali. Frekuensi
kelainan ini diperkirakan 1 dalam 100.000 atau 1 dalam
200.000 persalinan
5. Diagnosis
Herpes neonatus memiliki gambaran yang bervariasi
dan mungkin menyerupai kondisi infeksi pada neonatus
yang lain. Dokter anak yang merawat harus
mempertimbangkan infeksi HSV pada neonatus sebagai
diagnosa banding pada bayi lahir yang memiliki riwayat
letargi, iritabilitas, demam atau hipotermia dan vesikel kulit
dengan atau tanpa gejala neurologi. Diagnsosis berdasarkan
kecurigaan klinis yang tinggi terutama ibu dengan riwayat
herpes genital. Hal ini harusnya dipertimbangkan ketika
kultur bakteri negatif dalam 48 jam. Pemberian terapi
spesifik dini mencegah kematian dan meminimalkan
kerusakan saraf.
Pengecatan Tzank yang dibuat dari kerokan vesikel
kulit atau mukosa merupakan tes yang cepat untuk
mengkonfirmasi diagnosis infeksi herpes. Pengecatan
dengan pewarnaan Wright, Giemsa atau Papanicolaou
menunjukkan tanda khas berupa multinucleated giant cell
atau badan inklusi intranuklear. Tes ini hanya memiliki
sensitivitas 60% sama dengan kultur virus dan juga tidak
dapat membedakan antara infeksi herpes simpleks virus dan
varisela zoster. Teknik direct fluorescent antibody
menggunakan antibodi monoklonal tikus untuk mendeteksi
antigen HSV lebih baik serta memiliki sensitifitas dan
spesifisitas masing - masing sebesar 74% dan 85% pada
kultur jaringan merupakan tes konfirmasi gold standar untuk
infeksi herpes. darah, cairan serebrospinal, urin, sekret
nasofaring, sekret mata dan cairan vesikel dapat dikultur.
Herpes simplex virus menyebabkan perubahan sitopatik
yang khas terlihat pada berbagai kultur sel dengan sebagian
besar spesimen dapat diidentifikasikan dalam waktu 48 - 96
jam. Sensitifitas tes ini lebih tinggi pada fase vesikel awal
dibandingkan dengan fase ulseratif. Tes ini juga lebih sensitif
pada lesi maternal primer dan pada pasien
imunokompromis. Tes yang negatif berarti jika virus tidak
diisolasi tapi tidak menyingkirkan adanya virus. Hasil tes
dapat dapat negatif palsu ketika virus yang bereplikasi aktif
hanya sedikit terdapat pada sampel atau ketika transpor
sampel dibawah kondisi yang suboptimum.
Analisis DNA HSV dengan polymerase chain reaction
(PCR) berguna pada beberapa kondisi. Tes ini juga
memberikan hasil yang akurat ketika sampel diambil dari lesi
lama dan dari pasien asimptomatis. Tes ini 25% lebih sensitif
daripada isolasi virus dengan kultur. Pendinginan tidak
diperlukan untuk transpor sampel PCR HSV. Tes ini memiliki
hasil yang lebih tinggi pada ensefalitis herpes dan dapat juga
untuk mengukur virus load. Analisis endonukleasi teretriksi
dari DNA virus mendapatkan subtipe infeksi menjadi HSV
tipe 1 atau HSV tipe 2 dan perbedaan berbagai galur
subtipe. Pemeriksaan ini berguna untuk tujuan
epidemiologi, untuk memperkirakan rekurensi infeksi dan
untuk identifikasi umum sumber wabah HSV. Deteksi
antibodi anti HSV-1 atau HSV-2 pada serum memiliki
kegunaan terbatas pada herpes neonatal. IgM HSV dijumpai
pada fase akut. IgG HSV dijumpai kemudian tetapi
detreminasi IgG tidak mampu membedakan transfer
material antibodi yang dihasilkan olepada bayi tersebut.
Peningkatan titer IgG HSV 4 kali lipat pada keadaan akut dan
convalescent sera membuktikan infeksi saat ini pada bayi.
Infeksi rekuren pada ibu, namun tidak menunjukkan
peningkatan 4 kali lipat ini. Pemeriksaan cairan
serebrospinal pada herpes neonatal dengan tanda neurologi
ditemukan pleositosis limfositik dengan peningkatan protein
dengan atau tanpa penurunan glukosa.
Kultur virus dan PCR untuk DNA HSV dari cairan likuor
serebrosipnal biasanya positif. Bayi dengan lesi KMM hanya
memiliki peluang sebesar 24% untuk memiliki DNA HSV
pada cairan serebrospinal mereka. HSV DNA yang persisten
pada akhir terapi antivirus dihubungkan dengan prognosis
yang buruk. Computed tomography pada otak menemukan
kelainan pada 67% bayi yang terinfeksi. Kelainan tersebut
yaitu parenchymal attenuation abnormalities, atrofi
parenkim, peningkatan kontras leptomeningeal,
pengumpulan cairan ekstrakranial dan kalsifikasi parenkim.
MRI otak sering abnormal pada herpes neonatus. Area
hiperdensitas dan perdarahan menandai herpes SSP.
Kelainan EEG terdeteksi pada 100% ensefalitis HSV
neonatus. Kelaianan ini termasuk focal epileptiform
discharges, burst suprresion, kejang fokal dan supresi fokal.
Pola quasiperiodic atau multifokal unik dari ensefalitis HSV
menurun dengan terapi dini yang tepat. Tes tambahan
mungkin diperlukan ketika bayi sakit yaitu analisis gas darah,
pemeriksaan koagulasi, pemeriksaan elektrolit, tes fungsi
hati dan tes fungsi ginjal.
Karena ruam berbentuk vesikel, penyebab lain dari
eksantema harus disingkirkan. Penyakit eksantema
termasuk infeksi virus varisela zoster, penyakit enteroviral
dan infeksi CMV yang menyebar. Adanya vesikel pada kulit
menyediakan tempat alami untuk isolasi virus. Secara
simultan spesimen serologi dan kultur virologi lainnya harus
didapatkan untuk menyingkirkan penyebab lain dari infeksi
perinatal, termasuk toksoplasmosis, infeksi cytomegalovirus,
rubela dan sifilis. Kelainan kulit seperti erythema toxicum,
neonatus melanosis, atau acrodermatitis enteropathica
seringkali dikelirukan oleh dokter dengan infeksi HSV
neonatus. Lesi karena penyakit ini dapat dengan cepat
dibedakan dengan yang disebabkan oleh karena HSV dengan
adanya eosinofil pada pengecatan Wright dari kerokan
jaringan dan dengan kultur virus yang tepat.
Diagnosis klinis yang paling sulit dibuat adalah
ensefalitis HSV karena sekitar 40% anak dengan infeksi
susunan saraf pusat tidak mempunyai ruam vesikel pada
gambaran klinis. Infeksi HSV di susunan saraf pusat harus
dicurigai pada anak yang disertai gangguan neurolog akut
dengan kejang dan tanpa adanya perdarahan intra
ventrikuler dan penyebab metabolik lainnya. Peningkatan
sel pada cairan serebrospinal dengan pemeriksaan serial dan
konsentrasi protein, kultur bakteri negatif dari airan
serebrospinal dan pemeriksaan antigen cairan serebrospinal
yang negatif dapat membantu diagnosis infeksi HSV pada
susunan saraf pusat. Kultur dari genital ibu atau adanya
riwayat herpes genital baik dari ibu atau pasangan
seksualnya memperkuat kecurigaan infeksi HSV neonatus.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, pemeriksaan
neurodiagnostik non invasif dapat dipakai untuk
menentukan tempat yang terkena infeksi.
Setiap usaha harus dijalankan untuk mengkonfirmasi
infeksi dengan mengisolasi virus, suatu metode diagnosis
yang definitif. Jika terdapat lesi kulit, kerokan dari vesikel
kulit harus dikirim melalui media transpor virus yang tepat
ke laboratorium diagnostik virus. Spesimen klinis harus
dikirim dalam es untuk diinokulasikan pada sistem kultur sel
yang tepat. Pengiriman spesimen dan pengolahannya harus
diberi tanggal. Selain vesikel kulit, darimana virus dapat
diisolasi lagi adalah cairan serebrospinal, feses, urin,
tenggorokan, nasofaring dah konjungtiva. Dapat juga
berguna pada bayi dengan adanya hepatitis atau kelainan
gastrointestinal untuk megambil aspirat duodenal untuk
isolasi virus HSV. Hasil virologi dari kultur beberapa tempat
tersebut bersama dengan penemuan klinis harus digunakan
untuk menetapkan klasifikasi penyakit. Menentukan tipe
isolat HSV dapat dilakukan salah satu dari berbagai Teknik.
Dalam waktu beberapa tahun terakhir, PCR dipakai
untuk mendeteksi HSV-DNA dalam cairan serebrospinal dan
menjadi metode deteksi pilihan untuk penyakit di susunan
saraf pusat menggantikan biopsi otak. Dapat dibuktikan
sensitifitas dan spesifitasnya jika dikerjakan dengan
sempurna. Diagnosis serologi infeksi HSV tidak mempunyai
nilai klinis yang penting. Keputusan terapi tidak dapat
menunggu pemeriksaan serologi. Lagipula ketidakmampuan
pemeriksaan serologi untuk membedakan antara antibodi
yang dibentuk secara endogen, membuat penilaian status
antibodi neonatus menjadi sulit selama infeksi akut.
Pemeriksaan antibodi secara serial mungkin dapat berguna
jika ibu tidak mempunayi riwayat infeksi HSV sebelumnya
tetapi mendapat infeksi pada masa akhir gestasi sehingga
mentransfer antibodi yang sangat sedikit ke neonatus.
6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi infeksi HSV neonatus bertujuan untuk :
 mengurangi lamanya perjalanan penyakit
 mengurangi keparahan penyakit
 mencegah terjadinya komplikasi
 mengurangi kemungkinan kekambuhan.
Seluruh bayi baru lahir yang dicurigai atau
terdiagnosis herpes neonatus harus segera mulai
mendapatkan obat antivirus yang aman dan efektif. 5-iodo-
2- deoxyuridine (idoxuridine, IDU), cytosine arabinoside,
adenine arabinoside dan asiklovir telah diteliti peranan dan
keamanannya pada herpes neonatus. Obat antivirus ini
menghambat sintesis DNA dan kemudian menghambat
replikasi virion. Efek lebih banyak didapatkan pada terapi
dini. Herrman menemukan inhibisi plak herpes simpleks
virus pada kultur sel dengan IDU. Penggunaan IDU
mengurangi gejala herpes. 1-β-D-arabinofuranosyl-cytosine
hydrochloride (cytosine arabinoside atau CA atau ara-C)
telah diteliti kemudian dan ditemukan jika dapat membantu
penyembuhan keratitis herpes. Pada herpes neonatus,
cytosine arabinoside digunakan pada dosis 40 - 160 mg/m2.
Dapat juga digunakan secara intratekal pada
ensefalitis herpes. Vidarabine (adenine arabinoside atau ara-
A) pada dosis 10 - 20 mg/kg/hari sebagai infus /hari sebagai
infus intravena kontinyu selama 4 - 6 hari kontinyu 12 jam
selama 10 - 14 hari membantu menurunkan mortalitas
herpes SSP dan diseminata dari 74% menjadi 38%. Lima
puluh persen bayi yang diterapi dengan vidarabine tidak
menampakkan gejala hingga usia 1 tahun dibandingkan 17%
pada grup kontrol. Meningkatkan dosis hingga 30 mg/kg,
bagaimanapun tidak memperbaiki survival atau menurunkan
morbiditas.
Asiklovir merupakan antivirus yang direkomendasikan
saat ini untuk infeksi herpes neonatus. Obat ini lebih efektif,
aman dan mudah diberikan daripada vidarabine. Dosis yang
disarankan adalah 60 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis yang
diberikan secara intravena sebagai infus 1 jam selama 14
hari untk penyakit KKM dan 21 hari untuk penyakit SSP dan
diseminata. Dosis tinggi ini memperbaiki survival secara
signifikan. Seluruh pasien yang diterapi dengan asiklovir
dosis tinggi 6,6 kali lebih sering dijumpai kesembuhan pada
usia 12 bulan jika dibandingkan dengan yang memperoleh
dosis standar 30 mg/kg/hari. Mungkin terdapat neutropenia
sementara dengan dosis tinggi ini tetapi tidak ada efek
samping sekuele serius yang pernah dilaporkan. Dua minggu
sekali disarankan dilakukan pemeriksaan absolute
neutrophyl count (ANC) selama pemberian asiklovir dosis
tinggi.
Menurunkan dosis asiklovir atau pemberian
granulocyte colony stimulating factor harus
dipertimbangkan jika hitung ANC yang rendah dalam waktu
yang lama. Insufisiensi renal sementara disebabkan oleh
kristalisasi asikovir pada parenkim. Hal ini dapat dicegah
dengan hidrasi yang tepat dan pemberian asiklovir secara
perlahan selama 1 jam. Seluruh pasien dengan keterlibatan
SSP membutuhkan pengulangan punksi lumbal pada akhir
pemberian asiklovir untuk mendokumentasikan PCR yang
negatif dan indeks cairan serebrospinal pada akhir terapi.
Asiklovir harus dihentikan ketika PCR negatif. Eliminasi HSV
dari susunan saraf pusat lebih baik dengan infus asiklovir
intravena kontinyu pada ensefalitis neonatus. Studi terbaru
juga menemukan jika setelah 14 dari 21 terapi asiklovir
parentral, supresi asiklovir pada 30 mg/m2 per dosis oral 3
kali per hari selama 6 bulan menyebabkan perbaikan hasil
neurologik yang signifikan pada anak - anak dengan penyakit
susunan saraf pusat.
Famsiklovir dan valasiklovir merupakan obat antivirus
yang baru dipasarkan. Obat ini memiliki absorbsi yang lebih
baik dan lebih sedikit membutuhkan dosis yang sering.
Walaupun secara farmakokinetik lebih superior daripada
asiklovir tetapi obat ini tidak memberikan keuntungan klinis
yang lebih daripada asiklovir. Studi kontrol pada anak - anak
masih sedikit dan karena saat ini tidak direkomendasikan
untuk infeksi HSV neonatus. Resistemsi virus terhadap
analog nukleosida telah dilaporkan. Durasi penyakit ini
sebelum pemberian antivirus berhubungan secara signifikan
terhadap morbiditas dan mortalitas. Bayi yang sakit
memerlukan tambahan perawatan suportif yang adekuat
dalam bentuk cairan intravena, nutrisi, mengendalikan
kejang, perawatan koma, suport pernafasan, tranfusi darah,
koreksi kelainan pembekuan dan sebagainya. Penting untuk
melakukan hidrasi dan pengawasan ginjal yang hati - hati.
Obat antivirus topikal dengan asiklovir sistemik digunakan
untuk keratitis herpetik.
5-iodo-2-deoxyuridine (IDU) ditemukan efektif dalam
80 -90% kasus, namun infeksi kronis atau resisten berespon
lebih baik dengan ara (topikal, trifluorothymidine,
vidarabine, atau steroid dengan IDU. Debridemen dengan
atau tanpa terapi interferon mungkin diperlukan untuk
mempercepat penyembuhan. tetes mata dan ointmen
antivirus terbaru untuk herpes yaitu asiklovir dan
gansiklovir. Krem asiklovir untuk vesikel pada kulit juga
tersedia. Terapi imunoglobulin tiap bulan menurunkan
rekurensi, keparahan dan durasi lesi pd herpes genital.
Walaupun tidak direkomendasikan sebagai terapi standar,
Whitley mengusulkan antibodi monoklonal manusia HSV
atau imunoglobulin hiperimun sebagai terapi penyerta
untuk infeksi HSV diseminata neonatus. Produksi targeted
monoclonal antibody yang melawan glikoprotein B atau D
dari virus HSV masih pada tahap percobaan. Jika berhasil, ini
dapat digunakan sebagai terapi adjuvan pada infeksi herpes
neonates
7. Pencegahan
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dalam
pengobatan dengan obat antivirus, tetapi hasil terapi belum
memuaskan dimana masih dijumpai sekuele jangkapanjang
yang mengurangi kualitas hidup. Oleh karena itu
pencegahan merupakan tindakan yang sangat dibutuhkan
pada penanganan infeksi HSV neonatus.Terdapat beberapa
strategi pencegahan infeksi HSV pada bayi baru lahir.
 Persalinan section caesaria
Persalinan dengan sectio caesaria dapat menurunkan
transmisi HSV pada neonatus namun tidak dapat
mencegah seluruh transmisi. Transmisi HSV telah
didokumentasikan pada sectio caesaria yang dilakukan
sebelum ketuban pecah. Jenis persalinan inipada wanita
hamil dengan lesi genital aktif dapat mengurangi risiko
bayi memperoleh infeksi HSV dan juga direkomendasikan
ketika terdapat lesi genital atau gejala prodromal saat
persalinan. Persalinan sectio caesaria lebih efektif jika
dilakukan sebelum ketuban pecah, tetapi pada keadaan
dimana ketuban telah pecah dan terdapat lesi genital
saat persalinan maka direkomendasikan persalinan sectio
caesaria untuk meminimalkan paparan neontaus
terhadap HSV.
 Terapi supresif antivirus
Pada wanita dengan herpes genital rekuren yang aktif,
terapi supresif antivirus dengan pemberian
asiklovir/valasiklovir pada saat kehamilan 36 minggu
dihubungkan dengan pengurangan lesi genital pada saat
persalinan dan penurunan deteksi virus pada kultur/PCR
sehingga mengurangi kebutuhan untuk seksio sesaria,
dan saat ini direkomendasikan oleh The American
Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG).
Penyebaran virus subklinis tidak sepenuhnya dapat
ditekan dan kegunaannya dalam sejumlah praktek dalam
rangka mencegah HSV neonatus belum dapat dipastikan.
Seri kasus multicentre melaporkan 8 kasus bayi dengan
infeksi HSV yang ditularkan dari ibu meskipun ibu
tersebut telah mendapat terapi supresif antivirus setelah
usia kehamilan 36 minggu. Walaupun terapi supresif
antivirus pada ibu menurunkan insiden rekurensi herpes
genital pada saat persalinan, namun efek jangka panjang
obat ini dalam mencegah angka kejadian infeksi pada
neonatus masih belum diketahui dan memerlukan
penelitian lebih lanjut
 Vaksin HSV
Sampai saat ini, tidak ada vaksin yang terbukti efektif
untuk mencegah infeksi HSV-1 atau HSV-2. Sebuah vaksin
subunit HSV-2gD, awalnya ditemukan efektif dalam
mencegah herpes genital HSV-1 atau HSV-2 (efikasi
hingga 75%), tetapi efikasinya terbatas hanya pada
wanita yang seronegatif HSV-1 dan HSV-2 sebelum
pemberian vaksinasi dengan tidak ada laporan efikasi
pada laki - laki atau wanita yang seropositif HSV-1
sebelum vaksinasi. Pada percobaan doubleblind
randomisasi selanjutnya, mengevaluasi efikasi vaksin
subunit HSV-2 gD yang sama pada wanita yang
seronegatif terhadap HSV-1 dan HSV-2, didapatkan jika
efikasi vaksin sebesar 58% untuk mencegah herpes
genital HSV-1 tetapi efikasinya kurang untuk mencegah
herpes genital HSV-2
 Pencegahan infeksi selama kehamilan
Terdapat beberapa strategi yang direkomendasikan
untuk mencegah infeksi oleh ibu selama kehamilan tetapi
tidak satupun diuji dalam percobaan berskala besar.
Pendekatan pertama adalah menskrining seluruh wanita
dengan uji berbasis IgG pada usia kehamilan 24 - 28
minggu. Perempuan yang seropositif namun infeksi
sebelumnya tidak diketahui akan bermanfaat diberikan
edukasi mengenai temuaan ini dan identifikasi lesi
rekuren serta gejala prodromal, terutama saat
melahirkan. Wanita harus diberikan konseling untuk
menghindari kontak oral-genital. Strategi ini tidak
mempertimbangkan serostatus atau risiko paparan
terhadap pasangan seksual. Pendekatan kedua
merekomendasikan skrining seluruh pasangan untuk
serologi HSV pada usia kehamilan 14 - 18 minggu, dengan
koseling yang tepat berdasarkan hasil serologi untuk
kedua pasangan. Pendekatan ini mungkin tidak bisa
dilakukan pada keadaan dimana terdapat multipartner
atau berganti pasangan selama kehamilan. Pendekatan
ketiga adalah menyarankan seluruh wanita hamil
untuktidak melakukan hubungan seksual selama
kehamilan trimester tiga. Pendekatan akhir ini terutama
dilakukan pada keadaan dimana pemeriksaan serologis
tidak tersedia atau secara ekonomi tidak layak. The
American Congress of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) tidak merekomendasikan skrining rutin untuk
HSV bagi wanita asimptomatis selama kehamilan
 Pencegahan infeksi postnatal
Sekitar 10% kasus didapatkan pada periode postpartum oleh
paparan virus dari lesi terbuka pada pengasuh, atau mengikuti
ritual sirkumsisi Yahudi yang melibatkan kontak oro-genital.
Kontak dengan anggota rumah dan anggota keluarga yang
terinfeksi direkomendasikan untuk menghindari kontak dengan
bayi baru lahir. Petugas kesehatan yang treinfeksi dengan lesi
whitlow herpetik aktif tidak boleh merawat neonatus secara
langsung

1. Pencegahan
Pencegahan omfalitis dapat dilakukan dengan
persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan Hal ini
dikarenakan higienitas fasilitas kesehatan lebih terjaga.
Tali pusat bayi harus dipotong dengan bantuan alat medis
yang steril. Setelah itu, sisa tali pusat sebaiknya dilumuri
dengan cairan antiseptik hingga puput. Hindari pelumuran
tali pusat dengan ramuan herbal, kotoran hewan, tanah liat
dan hal-hal yang tidak steril karena dapat meningkatkan
risiko infeksi.

Setelah bayi lahir, cek sisa tali pusat secara berkala.


Segeralah ke dokter apabila:
 Sisa tali pusat mengeluarkan darah atau cairan nanah
berwarna putih atau kuning
 Pembengkakan tali pusat
 Kemerahan di sekitar tali pusat

Atau jika ditemukan tanda-tanda lain seperti bayi


rewel saat daerah dekat tali pusat disentuh. Faktor risiko
bayi mengalami infeksi seperti berat badan lahir rendah
dan masalah kesehatan lainnya juga dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap risiko omfalitis pada bayi.
BAB III

ASUHAN KEBIDANAN

ASUHAN NEONATAL ABSTINENCE SYNDROME

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam

Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan
Alamat

2. Keluhan Utama

Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang


tua bbl tersebut

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala


yang terjadi (misal bayi menangis terus menerus,
tremor, kejang dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah
diderita serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-
jamuan dan obat yang pernah diminum serta
kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 ataulebih,Tidak ada ataupun jarang
control kehamilan, Anak sebelumnya yang tidak
tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis ,Disorientasi selama anamnesa)
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi
vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau
kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan
morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit , masalah-masalah
yang berhubungan dengan gangguan system,
masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna
kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya. Selama
neonatal perlu dikaji adanya asfiksia, trauma, dan
infeksi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan
ketentraman, rumah tangga yang harmonis dan pola
asuh, asah, dan asih. Ekonomi dan adat istiadat
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal
eksternalyang dapat memengaruhi perkembangan
intelektual dan pengetahuan serta keterampilan anak. Di
samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan
bahan pangan, sandang, dan papan.
6. Pola fungsi kesehatan
Pola nutrisi, makanan pokok utama apakah ASI
Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan
pada anak perlu di kaji BAB atau BAK (konsistensi,
warna, frekuensi, jumlah, serta bau). Biasanya untuk
bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence Syndrom) ada
gejala diare.
B. OBJECTIVE DATA
7. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2

Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda


seluruhnya
(warna kulit) Ekstremitas biru

Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100


kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)

Jumlah

8. Penilaian Down Score

Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah


Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 meski diberi
O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

9. Pemeriksaan Skoring NASS


10. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : pasien saat dikaji , kesan kesadaran,
tanda-tanda vital (perubahan suhu, frekuensi
pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan).
Ukuran berat badan bayi dengan NAS (Neonatal
Abstinence Syndrom) ditandai dengan BBLR, suhu
yang tidak stabil dan lebih sering mengalami demam.
 Mata : reflex mata baik, sclera adakah ikterus,
konjungtiva adakah anemis, penurunan penglihatan
(visus).
 Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik.
 Mulut/leher , keadaan faring, tonsil (adakah
pembesaran, hyperemia), adakah pembesaran kelenjar
limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah kelainan,
bengkak, dan gangguan fungsi). Kelenjar tiroid adakah
pembesaran (gondok) yang dapat mengganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan anak.
 Kulit, keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan
infeksi, pada bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence
Syndrom) ditandai kulit berkeringat, noda kehitam-
hitaman disekujur tubuh
 Thorak, bentuk simetris, gerakan
 Paru, normal vesicular, adakah kelainan pernapasan
(ronkhi ,wheezing).
 Jantung, pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.
 Genitalia, testis, jenis kelamin, apakah labia mayor
menutupi labia minor pada perempuan.
 Ekstremitas, reflek fisiologis, reflek patologis, reflek
memegang, sensibilitas, tonus, dan motorik.
11. Pemeriksaan Reflek Primitif
Pada bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence
Syndrome) refleks hisap yang tidak adekuat disertai
gerakan seperti tremor di kedua lengan dan kaku
seluruh tubuh
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang biasa dilakukan pada bayi dengan
NAS (Neonatal Abstinence Syndrom) yaitu
pemeriksaan darah, gula darah, elektrolit, darah tepi, C-
Reactive Protein (CRP), perbandingan neutrofil imatur
dan neutrofil total (rasio IT).
13. Intervensi
Hal yang paling tepat dilakukan bila mendapatkan bayi
dengan NAS (Neonatal Abstinence Syndrome adalah di
rujuk ke RS yang memadai untuk dilakukan
pemeriksaan dan penatalaksanaan lanjut)
14. Implementasi
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan
dan sesuaikan dengan keadaan pasien (Kolaborasi
dengan dokter spesialis anak, perawat dan juga
tenaga gizi dalam penanganan lanjut)
15. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

ASUHAN KEBIDANAN

ASUHAN NEONATAL PADA SEPSIS NEONATORUM


AWITAN DINI (SNAD)
A. PENGKAJIAN
1. Identitas

Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam

Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

2. Keluhan Utama
Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang
tua bbl tersebut

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala


yang terjadi (misal bayi lemah, demam,kejang dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah
diderita serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-
jamuan dan obat yang pernah diminum serta
kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 atau lebih,Tidak ada ataupun jarang
control kehamilan, Anak sebelumnya yang tidak
tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis ,Disorientasi selama anamnesa)
yang paling penting adalah mengkaji adanya
Riwayat penykit infeki yang diderita ibu saat hamil
missal infeksi TORCH, dll)
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi
vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau
kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan
morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.mengkaji
fktor risiko penyebab infeksi yang terjadi pada saat
proses persalinan misalnya KPD, korioamnionitis
dll
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit , masalah-masalah
yang berhubungan dengan gangguan system,
masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna
kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya. Selama
neonatal perlu dikaji adanya asfiksia, trauma, dan
infeksi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan
ketentraman, rumah tangga yang harmonis dan pola
asuh, asah, dan asih. Ekonomi dan adat istiadat
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal
eksternalyang dapat memengaruhi perkembangan
intelektual dan pengetahuan serta keterampilan anak. Di
samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan
bahan pangan, sandang, dan papan.
6. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi = apakah bisa dilakukan
IMD/tidak
 Pola eliminasi, system pencernaan dan
perkemihan pada anak perlu di kaji BAB
atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi,
jumlah, serta bau).

B. OBJECTIVE DATA
1. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2

Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda


seluruhnya
(warna kulit) Ekstremitas biru

Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100


kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)

Jumlah

2. Penilaian Down Score


Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah

Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 meski diberi
O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum pasien saat dikaji , kesan kesadaran,
tanda-tanda vital (perubahan suhu, frekuensi
pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan).
Pada kasus sepsis neonatorum awitan dini biasanya
terjadi kenaikan suhu tubuh, aktifitas menurun,
letargi , hiporefleksia dan bisa mengarah ke koma
 Mata : Gerakan mata abnormal
 Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik.
 Mulut/leher: keadaan faring, tonsil (adakah
pembesaran, hyperemia), adakah pembesaran
kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak,
adakah kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi).

 Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang


dapat mengganggu proses pertumbuhan dan
perkembangan anak.

 Kulit: keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan


infeksi.
 Thorak : bentuk simetris / tidak, danya retraksi
/tidak
 Paru : normal vesicular, adakah kelainan pernapasan
(ronkhi ,wheezing).
 Jantung : pembesaran, irama, suara jantung, dan
bising.
 Genitalia : testis, jenis kelamin, apakah labia mayor
menutupi labia minor pada perempuan.

 Ekstremitas : reflek fisiologis, reflek patologis,


reflek memegang, sensibilitas, tonus, dan motorik.

4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan
darah perifer
5. Diagnosis kebidanan

Diagnosis sepsis harus ditegakkan dengan cepat, dini,


dan akurat karena sepsis merupakan keadaan emergensi
yang membutuhkan terapi sesegera mungkin. Akan
tetapi diagnosa sepsis terlalu sulit jika hanya
diberdasarkan gejala klinis yang ada. Selain itu,
diagnosa awal sepsis sering kali sulit untuk ditegakkan
karena faktor risiko dan gejala klinis sepsis yang
muncul sangat beragam.

6. Rencana Intervensi
Kolaborasi dengan spesialis anak, perawat dan
tenaga gizi untuk penanganan dan perawatan lanjut
7. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS DENGAN


OMPHALITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam


Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

2. Keluhan Utama

Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang


tua bbl tersebut biasanya ditandai dengan adanya nanah
pada tali pusat, bau tidak sedap, dan suhu tubuh
meningkat

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala
yang terjadi (misal bayi lemah, tidak menangis dan
lebih banyak tidur dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


d. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah
diderita serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-
jamuan dan obat yang pernah diminum serta
kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 atau lebih,Tidak ada ataupun jarang
control kehamilan, Anak sebelumnya yang tidak
tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis
e. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi
vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau
kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan
morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.mengkaji
faktor risiko penyebab infeksi yang terjadi pada
saat proses persalinan misalnya penggunaan alat
yang tidak steril saat pemotongan tali pusat.
f. Pascanatal
Pola perawatan tali pusat yang tidak higienis
menjadi faktor pemicu terjadinya omfalitis.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Status sosial dan ekonomi ibu,ras,dan latar belakang
mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi
dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu
yang berstatus sosio dan ekonomi rendah mungkin
nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak
higienis. Sebagian masyarakat misalnya dengan
memberikan berbagai ramuan-ramuan atau serbuk-
serbuk yang dipercaya bisa membantu mempercepat
kering dan lepasnya potongan tali pusat
6. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi = apakah bisa dilakukan
IMD/tidak
 Pola eliminasi, system pencernaan dan
perkemihan pada anak perlu di kaji BAB
atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi,
jumlah, serta bau).
B. OBJECTIVE DATA
1. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2

Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda


(warna kulit) Ekstremitas biru seluruhnya

Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100


kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)

Jumlah

2. Penilaian Down Score

Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah

Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 meski diberi
O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum pasien saat dikaji , kesan kesadaran,
tanda-tanda vital (perubahan suhu, frekuensi
pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan).
Pada kasus omfalitis biasanya ditandai dengan tidak
banyak menangis,bayi yang terinfeksi umumnya
tidak banyak menagis. Ia justru lebih banyak
tidur.Gejala ini juga ditandai bayi malas minum,
demam, dan kejang
 Mata : lebih banyak terpejam
 Telinga: simetris, fungsi pendengaran baik.
 Mulut/leher: keadaan faring, tonsil (adakah
pembesaran, hyperemia), adakah pembesaran
kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak,
adakah kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi).
 Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang
dapat mengganggu proses pertumbuhan dan
perkembangan anak.

 Kulit: keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan


infeksi terutama pada bagian tali pusat
 Thorak : bentuk simetris / tidak, danya retraksi
/tidak
 Paru : normal vesicular, adakah kelainan pernapasan
(ronkhi ,wheezing).
 Jantung : pembesaran, irama, suara jantung, dan
bising.
 Genitalia : testis, jenis kelamin, apakah labia mayor
menutupi labia minor pada perempuan.
 Ekstremitas : reflek fisiologis, reflek patologis,
reflek memegang, sensibilitas, tonus, dan motorik.

4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya akan
dilakukan pada kasus ini, seperti: pemeriksaan darah
lengkap, Kultur darah, Kultur bakteri yang diambil dari
nanah tali pusat.
5. Diagnosis kebidanan
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda infeksi
disekitar umblikus seperti bengkak, kemerahan sampai
keluarnya nanah.
6. Rencana Intervensi

Sebagai pengobatan lokal dapat diberikan salep yang


mengandung neomisin dan basitrasin. Selain itu juga dapat
diberikan salep gentamisin. Jika terdapat granuloma,dapat
pula dioleskan dengan larutan nitras argenti 3% :

 Pertahankan tubuh bayi tetap hangat


 ASI tetap diberikan
 Diberi injeksi antibiotika berspekturum luas sesuai
dosis. (basitrasin)
 Perawatan sumber infeksi, misalnya diberi salep
yang mengandung neomisin dan bastitrasin pada
tali pusat yang terinfeksi

Cara penanganannya infeksi tali pusat local atau


terbatas:
 Biasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum
memegang atau membersihkan tali pusat, untuk
mencegah berpindahnya kuman dari tangan.
 Cuci umbilikus dengan menggunakan larutan
antiseptik polividon iodion 2,5%
 Apus umbilikus dan area di sekitar umbilikus
dengan gentian violet 0,5% empat kali sehari
sampai tidak ada lagi pus yang keluar dari
umbilikus,
 Kemudian berikan salep yang mengandung
neomisin ataupun basitrasin . Kandungan neosimin
dan basitrasin berfungsi untuk pengobatan infeksi
dan membunuh bakteri gram yang ada
 Jika kemerahan atau bengkak pada tali pusat
meluas melebihi area 1 cm, obati seperti infeksi tali
pusat berat atau meluas
 Jika infeksi telah bersih,bayi makan dengan baik
dan tidak terdapat masalah lain yang membutuhkan
hospitalisasi ,pulangkan bayi.
Cara penanganannya infeksi tali pusat berat atau meluas :
 Ambil sampel darah dan kirim ke laboratorium
untuk pemeriksaan kultur dan sensivitasi.
 Beri kloksasilin per oral selama 5 hari.jika terdapat
pustule / lepuh kulit dan selaput lendir.
 Cari tanda-tanda sepsis.
 Lakukan perawatan umum seperti dijelaskan untuk
infeksi tali pusat lokal atau terbatas.
7. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
BAB IV

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
CONTOH SOAL KASUS
1. Seorang bayi baru lahir 30 menit yang lalu tampak
menangis berlebihan dan terus menerus, disertai dengan
tremor dan peningkatan suhu tubuh. Diagnosis manakah
yang paling tepat untuk kasus diatas?
A. Neonatal Abstinence Syndrom
B. Patau Syndrome
C. Down Syndrome
D. Turner Syndrome
E. Triple X Syndrome
Jawaban = A. Neonatal Abstinence Syndrom
2. Seorang bayi baru lahir 30 menit yang lalu di puskesmas
tampak menangis berlebihan dan terus menerus, disertai
dengan tremor dan peningkatan suhu tubuh. Hal tepat
apakah yang harus dilakukan oleh bidan?
A. Rujuk ke RS
B. Tetap dirawat di puskesmas
C. Diperbolehkan untuk dibawa pulang
D. Melakukan obervasi 6 jam
E. Diberikan antibiotik
Jawaban = A. Rujuk ke RS
3. Bayi lahir dari seorang perempuan , usia kehamilan 36
minggu dengan Riwayat penyakit infeksi yang diderita,
kemudian terjadi tanda – tanda infeksi pada bayi yang
dilahirkan pada umur 1 hari. Apakah diagnose yang tepat
pada kasus diatas :
A. Sepsis Neonatorum
B. Sepsis Neonatorum Awitan Dini

C. Sepsis Neonatorum Awitan Lanjut

D. Korioamnionitis

E. Asfiksia

Jawaban : B. Sepsis Neonatorum Awitan Dini

4. Bayi baru lahir umur 3 hari dibawa ke puskesmas denga


keluhan demam, kondisi lemah dan malas menyusu.
Setelah dilakukan pemeriksaan terlihat nanah pada tali
pusat dan berbau serta terlihat kemerahan di sekitar tali
pusat tersebut.Diagnosis apa yang tepaat untuk kasus
diatas?
A. Konjungtivitis

B. Sepsis Neonatorum

C. Meningitis

D. Listeriosis

E. Omfalitis

Jawaban : E. Omfalitis

5. Bayi baru lahir umur 3 hari dibawa ke puskesmas denga


keluhan demam, kondisi lemah dan malas menyusu.
Setelah dilakukan pemeriksaan terlihat nanah pada tali
pusat dan berbau serta terlihat kemerahan di sekitar tali
pusat tersebut. Berikut adalah bakteri penyebab untuk
kasus diatas, kecuali :
A. Staphylococcusaureus
B. Streptococcus grup A,
C. Candida albicans
D. Klebsiella pneumonia,
E. Proteusmirabilis

Jawaban : C. Candida albicans

Anda mungkin juga menyukai