Anda di halaman 1dari 17

`MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN NIFAS DAN NEONATUS


“ASUHAN BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Nifas dan Neonatus di
Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan

Dosen pengampu: Siti Saadah Mardiah, S.SiT, MPH

Disusun oleh :

1. Annisa Khoirussani (P20624520005)


2. Dewi Novianti (P20624520013)
3. Epita Nurdianah (P20624520018)
4. Izma Siti Rahmawati (P20624520025)
5. Nova Setiani (P20624520029)
6. Nurul Hanipah (P20624520030)
7. Rafa Fauziyah (P20624520031)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat,
berkah, hidayah, dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan
BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA” dengan sebaik-baiknya.
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
memberikan dorongan, semangat, dan bimbingan yang tak ternilai harganya. Untuk itu,
pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Siti Saadah Mardiah, S.SiT, MPH selaku dosen pengampu mata kuliah Asuhan
Nifas dan Neonatus yang telah memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk, dan
arahan kepada kami;
2. Teman-teman seperjuangan di prodi Sarjana Terapan Kebidanan yang senantiasa
memberikan motivasi dan semangat.
Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya, dan umumnya bagi semua pembaca, serta dapat berguna bagi
kemajuan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya.

Tasikmalaya, 18 September

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
1. Pengertian................................................................................................................................3
2. Faktor Resiko pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA...................................................3
3. Efek pada BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA..................................................................5
4. Pemeriksaan Penunjang pada BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA.................................8
5. Penatalaksanaan BBL dengan ibu kecanduan NAPZA.......................................................8
BAB III................................................................................................................................................10
PENUTUP...........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neonatal Abtinence Syndrom (NAS) adalah istilah yang digunakan untuk


sekelompok bayi yang menderita akibat ibunya terpapar narkotika. Sindrom putus
obat pada bayi baru lahir merupakan kumpulan gejala dan tanda putus obat dengan
karakteristik manifestasi tergantung pada masing-masing obat penyebab. Terdapat dua
tipe sindrom putus obat pada bayi baru lahir yaitu, sindrom yang terjadi akibat
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) selama ibu hamil
(prenatal) dan sindrom yang terjadi akibat pemutusan penggunaan obat yang
digunakan untuk terapi nyeri (misal fentanil) pada bayi baru lahir (pascanatal).
Tulisan ini lebih dipusatkan pada sindrom putus obat bayi baru lahir yang terjadi
akibat penggunaan NAPZA selama ibu hamil. Gejala dan tanda klinis putus obat pada
umumnya timbul pada 48-72 jam pertama, berupa iritabilitas pada sistem saraf pusat,
gangguan neurobehavioural, dan aktivasi sistem simpatis yang abnormal. Diagnosis
sindrom tidak mudah untuk ditegakkan karena riwayat penggunaan NAPZA selama
ibu hamil seringkali disangkal dan sulit untuk menelusuri secara rinci jenis obat yang
dipakai, lama penggunaan, dan frekuensi penggunaan obat. Selain itu secara klinis
gejala dan tanda putus obat pada bayi baru lahir menyerupai penyakit lain seperti
sepsis, hipokalsemia dan hipoglikemi.
Secara umum, setiap obat yang digunakan selama kehamilan memiliki potensi
untuk melewati plasenta dan terakumulasi pada tubuh janin dan cairan amnion. Pada
saat proses kelahiran, transfer substansi obat via plasenta terhenti akan tetapi
metabolisme dan ekskresi obat dalam tubuh bayi baru lahir masih tetap berlangsung.
Zat adiktif umumnya bersifat lipofilik dan mempunyai berat molekul rendah sehingga
dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin. Selain itu pada
janin obat mempunyai waktu paruh yang lama karena proses metabolik dan ekskresi
ginjal yang belum matang. Sebagian besar substansi zat adiktif berikatan dengan
reseptor di susunan saraf pusat (SSP) atau mempengaruhi pelepasan dan re-uptake
beberapa neurotransmitter sehingga dapat memiliki pengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan sel otak janin.

1
Manifestasi klinis pada sindrom putus obat pada bayi baru lahir mengenai
multisistem dan bervariasi tergantung pada obat yang digunakan ibu. Sistem organ
yang paling sering terlibat adalah sistem saraf pusat (irritabilitas, tangisan
melengking/high pitched cry, hiperaktif refleks, hipertonus otot, tremor, kejang
umum, dan gangguan tidur), sistem gastrointestinal (gangguan makan, muntah, diare,
dan dehidrasi), sistem autonom (takikardi, instabilitas suhu, dan berkeringat) serta
sistem respiratorik (takipnea, apnea, bersin). Gejala dan tanda klinis putus obat pada
umumnya timbul pada 48-72 jam pertama, namun dapat timbul lambat pada usia
empat minggu. Gejala subakut dapat bertahan sampai dengan enam bulan. Kapan
manifestasi klinis timbul dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis obat, dosis,
frekuensi penggunaan, waktu terakhir kali ibu menggunakan obat-obatan,
metabolisme dan ekskresi metabolit aktif obat dalam tubuh bayi, serta kapan terakhir
kali bayi terpapar obat saat intrauterin. Bayi yang mengalami paparan obat terakhir
kali lebih atau sama dengan satu minggu sebelum dilahirkan memiliki risiko
mengalami gejala putus obat yang relatif lebih rendah. Penggunaan beberapa obat
(polydrugs) menimbulkan manifestasi yang lebih berat.
Beberapa kondisi ibu dan bayi dapat meningkatkan faktor risiko terjadi sindrom
putus obat pada bayi baru lahir diantaranya, riwayat sosial-ekonomi rendah, riwayat
perawatan antenatal yang kurang adekuat, usia ibu yang masih remaja, tingkat
pendidikan ibu, riwayat penggunaan obat-obatan pada kehamilan sebelumnya, riwayat
penggunaan obat-obatan pada pasangan hidup ibu, riwayat penyakit menular seksual
(hepatitis B, AIDS, sifilis, gonorhoe), riwayat korioamnionitis, riwayat partus
prematur, pertumbuhan janin terhambat, riwayat kejang, dan apneu yang tidak
diketahui sebabnya.
Untuk menentukan berat-ringan gejala putus obat yang dialami bayi digunakan
sistem skoring dengan tujuan untuk menilai gejala dan tanda putus obat pada bayi
baru lahir secara sistematik, objektif, berkala serta menentukan pemberian terapi
medikamentosa. Sistem skoring yang banyak digunakan adalah Modifikasi Sistem
Skoring Finnegan (neonatal abstinence syndrom score/NASS) yang terdiri dari 21
gejala putus obat yang paling sering dijumpai. Penilaian dilakukan minimal 30 menit
setelah pemberian minum dengan interval setiap 4 jam, tetapi apabila skor ≥ 8
dibutuhkan interval penilaian yang lebih singkat (setiap 2 jam).

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Neonatal Abtinence Syndrom (NAS)?
2. Bagaimana faktor resiko pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA?
3. Bagaimana efek yang terjadi pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA?
5. Bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada BBL dengan Ibu
kecanduan NAPZA?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Neonatal Abtinence Syndrom (NAS).
2. Untuk mengetahui faktor resiko pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA.
3. Untuk mengetahui efek yang terjadi pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA.
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada BBL dengan ibu kecanduan
NAPZA.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada BBL dengan ibu
kecanduan NAPZA.

3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Neonatal abstinence syndrome (NAS) adalah akibat dari penghentian tiba-tiba
paparan janin terhadap zat yang digunakan atau disalahgunakan oleh ibu selama
kehamilan. Penarikan dari zat-zat yang sah atau terlarang menjadi lebih umum di antara
neonatus baik di negara maju maupun berkembang. NAS terus menjadi entitas klinis yang
penting di sebagian besar dunia. NAS mengarah pada konstelasi tanda dan gejala yang
melibatkan banyak sistem. Patofisiologi NAS tidak sepenuhnya dipahami. Konfirmasi
urin atau mekonium dapat membantu diagnosis dan manajemen NAS. Sistem penilaian
Finnegan biasanya digunakan untuk menilai tingkat keparahan NAS; penilaian dapat
membantu untuk memulai, memantau, dan mengakhiri pengobatan pada neonatus.
Penyebab sindrom abstinensi neonatus juga beragam, termasuk paparan dalam rahim
terhadap opioid yang diresepkan atau terlarang dan agen yang digunakan untuk
pengobatan kecanduan opioid ibu.
Penelitian tentang penggunaan opioid selama kehamilan telah mendokumentasikan
efek negatif pada wanita hamil, janin, dan neonatus . Penggunaan opioid terlarang sering
diperumit oleh gaya hidup kacau yang mencakup perilaku mendukung obat dan mencari
obat. Gaya hidup ini dapat menghambat akses atau komitmen terhadap layanan medis dan
sosial, yang mengarah pada risiko penyakit dan kematian yang substansial. Risiko ini
dapat dikurangi dengan pengobatan substitusi opioid, yang memiliki manfaat untuk
kesehatan dan hasil sosial.
Adapun konsekuensi apabila janin terpapar zat opioid:

1. Lambat nya pertumbuhan


2. Persalinan premature
3. Detak jantung tidak normal
4. Kematian

2. Faktor Resiko pada BBL dengan ibu kecanduan NAPZA


Sindrom pantang neonatus telah digambarkan sebagai gangguan kompleks yang
terutama melibatkan sistem saraf pusat dan otonom dan sistem gastrointestinal.
Manifestasi klinis sindrom bervariasi mulai dari tremor ringan dan lekas marah hingga

4
demam, penurunan berat badan yang berlebihan, dan kejang. Tanda-tanda klinis biasanya
berkembang dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran, meskipun waktu onsetnya,
serta tingkat keparahannya, dapat bervariasi. Khususnya, jenis opioid dan dosis serta
waktu paparan dapat mengubah risiko penarikan. Manifestasi klinis dapat berkembang
kemudian pada bayi yang telah terpapar opioid dengan waktu paruh yang lebih lama
(misalnya, metadon dan buprenorfin) dibandingkan pada bayi yang terpapar opioid
pendek. Paparan zat tambahan, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),
benzodiazepin, dan nikotin, juga dapat mengubah onset sindrom, serta keparahan gejala
bahwa buprenorfin dapat dikaitkan dengan penarikan neonatal yang kurang parah
daripada metadon Selanjutnya, variabel lain dapat mempengaruhi pengembangan sindrom
abstinensi neonatus untuk mempraktikkan termasuk peresepan faktor ibu drome (gizi
buruk yang aman opioid dan untuk bijaksana, wanita usia subur Sejak tion atau stres),
metabolisme opioid plasenta, SSRI dan berbagai benzodiane , obat-obatan, kondisi ukses
neonatal sebagai (prematuritas variabel azepin, dapat memperburuk tanda-tanda neonatal
atau infeksi), dan faktor risiko lingkungan dan manfaat seperti perawatan sindrom dini
yang diterima neonatus (luas dari semua obat yang diminum selama kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian Adapun manifestasi klinik dari Neonatal Abtinence
Syndrom (NAS)
Manifestasi metabolik dan pernapasan:
a. Demam
b. Sering menguap
c. Bersin
d. Berkeringat
e. Hidung tersumbat
f. Frekuensi pernapasan lebih dari 60x/menit
g. Takipnea
Manifestasi gastrointestinal:
a. Muntah
b. Regurgitasi (kondisi saat campuran antara gastric juice (getah perut) dan terkadang
makanan yang belum dicerna kembali ke kerongkongan dan masuk ke mulut.)
c. Penurunan berat badan
d. BAB encer
Manifestasi system saraf pusat:
a. Tremor

5
b. Menangis kencang
c. Gangguan tidur
d. Peningkatan tonus otot
e. Kejang

Penilaian obyektif bayi baru lahir yang memiliki tanda-tanda sindrom pantang
neonatus sangat penting untuk mengukur tingkat keparahan tanda dan gejala,
memberikan panduan untuk pengobatan farmakologis, dan memfasilitasi penyapihan
terstruktur. Kekhawatiran utama mengenai pengelolaan sindrom pantang neonatus
adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan normal dan untuk
mencegah atau meminimalkan hasil negatif, termasuk ketidaknyamanan dan kejang
pada bayi.

3. Efek pada BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA


Sindrom putus obat pada bayi baru lahir merupakan kumpulan gejala dan tanda
putus obat dengan karakteristik manifestasi tergantung pada masing-masing obat
penyebab. Terdapat dua tipe sindrom putus obat pada bayi baru lahir yaitu, sindrom
yang terjadi akibat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA)
selama ibu hamil (prenatal) dan sindrom yang terjadi akibat pemutusan penggunaan
obat yang digunakan untuk terapi nyeri (misal fentanil) pada bayi baru lahir
(pascanatal). Gejala dan tanda klinis putus obat pada umumnya timbul pada 48-72
jam pertama, berupa iritabilitas pada sistem saraf pusat, gangguan neurobehavioural,
dan aktivasi sistem simpatis yang abnormal. Diagnosis sindrom tidak mudah untuk
ditegakkan karena riwayat penggunaan NAPZA selama ibu hamil seringkali disangkal
dan sulit untuk menelusuri secara rinci jenis obat yang dipakai, lama penggunaan, dan
frekuensi penggunaan obat. Selain itu secara klinis gejala dan tanda putus obat pada
bayi baru lahir menyerupai penyakit lain seperti sepsis, hipokalsemia dan
hipoglikemi.
Efek yang terjadi pada bayi baru lahir dengan ibu kecanduan NAPZA bervariasi
tergantung jenis narkotika, efek lazim seperti: IUGR, prematur, kejang, kelainan
kongenital, sedangkan gejala pada bayi yang cukup bulan, yaitu :
1. Tremor
2. Menangis berlebihan
3. Kejang

6
4. Muntah
5. Diare
6. Dehidrasi
7. Demam.

Sindrom putus obat pada bayi baru lahir merupakan kumpulan gejala dan tanda
putus obat dengan karakteristik manifestasi berupa iritabilitas susunan saraf pusat,
gangguan sistem autonom, sistem respiratorik serta sistem gastrointestinal tergantung
dari obat penyebab. Gejala dan tanda putus obat muncul pada 55%-94% bayi dengan
riwayat penggunaan NAPZA saat ibu hamil. Angka kejadian pemakaian obat
terlarang pada ibu hamil 4% berdasarkan survei di Amerika Serikat pada tahun 2006,
sedangkan studi di Inggris 15% urin ibu hamil positif mengandung obat terlarang.
Beberapa golongan obat yang dapat menyebabkan sindrom putus obat pada bayi
baru lahir adalah narkotik golongan opiat (kodein, metadon, fentanil, heroin),
golongan obat yang bersifat stimulant (amfetamin, kokain), golongan obat depresan
susunan saraf pusat (alkohol, barbiturat, benzodiazepin, cannabis/ganja), golongan
selective serotonin reuptake inhibitors/SSRIs (fluoksetin). Narkotik golongan opiat
merupakan penyebab yang paling sering dijumpai dan memiliki manifestasi yang
lebih jelas. Secara umum, setiap obat yang digunakan selama kehamilan memiliki
potensi untuk melewati plasenta dan terakumulasi pada tubuh janin dan cairan
amnion. Pada saat proses kelahiran, transfer substansi obat via plasenta terhenti akan
tetapi metabolisme dan ekskresi obat dalam tubuh bayi baru lahir masih tetap
berlangsung. Zat adiktif umumnya bersifat lipofilik dan mempunyai berat molekul
rendah sehingga dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin.
Selain itu pada janin obat mempunyai waktu paruh yang lama karena proses
metabolik dan ekskresi ginjal yang belum matang. Sebagian besar substansi zat adiktif
berikatan dengan reseptor di susunan saraf pusat (SSP) atau mempengaruhi pelepasan
dan re-uptake beberapa neurotransmitter sehingga dapat memiliki pengaruh langsung
maupun tidak langsung terhadap perkembangan sel otak janin. Manifestasi klinis pada
sindrom putus obat pada bayi baru lahir mengenai multisistem dan bervariasi
tergantung pada obat yang digunakan ibu. Sistem organ yang paling sering terlibat
adalah sistem saraf pusat (irritabilitas, tangisan melengking/high pitched cry,
hiperaktif refleks, hipertonus otot, tremor, kejang umum, dan gangguan tidur), sistem
gastrointestinal (gangguan makan, muntah, diare, dan dehidrasi), sistem autonom

7
(takikardi, instabilitas suhu, dan berkeringat) serta sistem respiratorik (takipnea,
apnea, bersin).
Gejala dan tanda klinis putus obat pada umumnya timbul pada 48-72 jam pertama,
namun dapat timbul lambat pada usia empat minggu. Gejala subakut dapat bertahan
sampai dengan enam bulan. Kapan manifestasi klinis timbul dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jenis obat, dosis, frekuensi penggunaan, waktu terakhir kali ibu
menggunakan obat-obatan, metabolisme dan ekskresi metabolit aktif obat dalam
tubuh bayi, serta kapan terakhir kali bayi terpapar obat saat intrauterin. Bayi yang
mengalami paparan obat terakhir kali lebih atau sama dengan satu minggu sebelum
dilahirkan memiliki risiko mengalami gejala putus obat yang relatif lebih rendah.
Penggunaan beberapa obat (polydrugs) menimbulkan manifestasi yang lebih berat.
Beberapa kondisi ibu dan bayi dapat meningkatkan faktor risiko terjadi sindrom
putus obat pada bayi baru lahir diantaranya, riwayat sosial-ekonomi rendah, riwayat
perawatan antenatal yang kurang adekuat, usia ibu yang masih remaja, tingkat
pendidikan ibu, riwayat penggunaan obat-obatan pada kehamilan sebelumnya, riwayat
penggunaan obat-obatan pada pasangan hidup ibu, riwayat penyakit menular seksual
(hepatitis B, AIDS, sifilis, gonorhoe), riwayat korioamnionitis, riwayat partus
prematur, pertumbuhan janin terhambat, riwayat kejang, dan apneu yang tidak
diketahui sebabnya.
Untuk menentukan berat-ringan gejala putus obat yang dialami bayi digunakan
sistem skoring dengan tujuan untuk menilai gejala dan tanda putus obat pada bayi
baru lahir secara sistematik, objektif, berkala serta menentukan pemberian terapi
medikamentosa. Sistem skoring yang banyak digunakan adalah Modifikasi Sistem
Skoring Finnegan (neonatal abstinence syndrom score/NASS) yang terdiri dari 21
gejala putus obat yang paling sering dijumpai. Penilaian dilakukan minimal 30 menit
setelah pemberian minum dengan interval setiap 4 jam, tetapi apabila skor ≥8
dibutuhkan interval penilaian yang lebih singkat (setiap 2 jam).
Saat sedang mengandung, wanita dituntut menerapkan hidup sehat dengan
senantiasa mengonsumsi makan bergizi. Hal itu berguna untuk menjaga kesehatan ibu
dan bayi di dalam kandungan. Namun, jika wanita hamil itu seorang pengguna obat-
obatan terlarang maka efeknya sangat berbahaya terhadap bayi dalam kandungannya.
Apa pun yang ibu konsumsi, bayi di dalam kandungan juga turut mengonsumsinya.
Jika ibu mengonsumsi makanan yang sehat, bayi akan merasakan manfaatnya. Namun
sebaliknya, jika yang ibu masukkan ke dalam tubuh adalah obat-obatan terlarang,

8
maka bayi juga bisa menjadi ‘pengguna narkoba’. Karena tiap zat yang masuk ke
tubuh ibu akan mengalir melalui pembuluh darah ke plasenta dan kemudian ke bayi.
Melalui plasenta, bayi mendapatkan asupan agar bisa tumbuh. Jadi jika ibu
mengonsumsi obat-obatan terlarang, meski kadarnya sedikit, tetap bisa memengaruhi
kondisi bayi dalam kandungan dan pada saat dia dilahirkan. Berikut ini adalah jenis
obat-obatan terlarang yang dikonsumsi saat hamil dan efeknya pada bayi :
1. Heroin
Mengonsumsi heroin selama kehamilan bisa menimbulkan bahaya serius kepada
bayi Anda. Salah satunya adalah terhambatnya pertumbuhan bayi dalam
kandungan. Perkembangan otak bayi juga berisiko terganggu. Keguguran,
melahirkan bayi secara prematur dan lahir mati juga bisa terjadi akibat
penggunaan heroin. Ketika baru dilahirkan, bayi berisiko mengalami kesulitan
dalam bernapas dan gejala putus obat. Setelahnya, ketika dia tumbuh besar,
tingkah lakunya berisiko lebih bermasalah dibanding anak lainnya.
2. Kokain
Menggunakan kokain saat hamil bisa menyebabkan keguguran, terutama saat
awal-awal kehamilan. Bayi juga bisa terkena stroke, gangguan
pernapasan, serangan jantung, atau kerusakan otak yang bisa menyebabkan
kematian. Jika Anda akhirnya bisa melalui masa-masa kehamilan, maka bayi
Anda akan terlahir dengan segudang masalah. Bayi berkemungkinan terlahir
dengan berat badan yang rendah dan kesulitan untuk minum ASI. Saat dia tumbuh
dewasa, kondisi fisik dan mentalnya berisiko terganggu. Dia juga berpotensi
memiliki IQ yang rendah. Hal tersebut bisa berdampak pada masa depannya.
3. Mariyuana
Kerap disebut ganja. Obat-obatan terlarang jenis ini paling banyak dipakai. Jika
mengisap ganja saat sedang mengandung, Anda berisiko melahirkan bayi secara
prematur. Tidak hanya itu, bayi juga akan terlahir dengan berat badan rendah,
berikut komplikasi lainnya. Kebiasaan ini juga dapat meningkatkan risiko sindrom
kematian bayi mendadak.
4. Metadon
Metadon sebenarnya adalah pereda nyeri golongan opioid, tapi tetap bisa
menyebabkan ketergantungan. Meski efeknya tidak sebesar opioid seperti heroin,
obat ini juga dapat menyebabkan bayi baru lahir mengalami gejala putus obat,
seperti diare, kram perut, luka-luka pada kulit, dan menangis tanpa henti.

9
5. Metamfetamin
Penggunaan metamfetamin atau sabu-sabu selama kehamilan juga banyak
menyebabkan dampak buruk terhadap janin. Di antaranya adalah meningkatkan
risiko terjadinya kelahiran prematur, solusio plasenta, keguguran, berat badan bayi
lahir rendah, serta kelainan jantung dan otak bayi.
6. PCP & LSD
Menggunakan narkoba jenis halusinogen seperti PCP & LSD saat hamil bisa
meningkatkan risiko ibu hamil menyakiti dirinya sendiri sehingga menyakiti
bayinya juga. Selain itu, halusinogen juga bisa membuat bayi lahir dengan berat
badan rendah, kelainan kongenital, dan kerusakan otak.
Saat proses kelahiran, bayi juga lebih mudah terkejut dan gelisah. Bayi bisa
mengalami gejala putus obat yang ditandai dengan tangisan yang berlebihan serta
tubuh yang gemetaran. Mengalami gangguan belajar saat dia tumbuh dewasa juga
dapat terjadi. Kemampuan anak untuk menghafal dan berkonsentrasi terganggu.
Jika ibu menggunakan obat terlarang terutama secara reguler dan sedang hamil,
temui dokter dan diskusikan cara terbaik untuk berhenti. Ada jenis obat narkotika
tertentu yang perhentiannya perlu dilakukan secara bertahap dan tidak secara
langsung karena berisiko berdampak buruk. Selain itu, bantuan medis akan sangat
bermanfaat jika ibu telah mengalami kecanduan.

4. Pemeriksaan Penunjang pada BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA

Pemeriksaan urin paling sering dilakukan tetapi memiliki potensi hasil positif
palsu yang tinggi karena hasil positif hanya didapatkan pada bayi dengan paparan
obat yang paling baru, selain itu hasil negatif palsu seringkali didapatkan bila ibu
berhenti mengkonsumsi obat beberapa hari sebelum melahirkan atau spesimen urin
yang digunakan bukan urin yang didapat sesaat setelah bayi baru lahir. Pemeriksaan
kadar obat pada cairan mekonium, merupakan pemeriksaan yang lebih mudah dan
sensitif dibandingkan pemeriksaan urin bayi walaupun lebih mahal dan masih jarang
dilakukan. Pemeriksaan analisis rambut merupakan jenis pemeriksaan yang paling
mahal dan hanya tersedia di pusat kesehatan rujukan. Metabolit obat dapat dideteksi
dalam rambut bayi sampai usia 2-3 bulan. Selain pemeriksaan tersebut pada bayi
dengan ibu pemakai obat terlarang perlu dilakukan uji tapis terhadap hepatitis B dan

10
C serta penyakit menular seksual seperti HIV terutama pada ibu dengan riwayat
penggunaan jarum suntik bersama.
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes jaringan tali pusat
2. Tes rambut janin (bias dilakukan pada janin gestasi diatas 6 bulan)

5. Penatalaksanaan BBL dengan ibu kecanduan NAPZA


1. Pengobatan Suportif
Secara umum, pengobatan untuk putus obat pada bayi baru lahir terdiri dari
pengobatan suportif dan pengobatan medikamentosa. Tata laksana awal harus dimulai
dengan pengobatan suportif karena pengobatan medikamentosa dapat memperpanjang
lama rawat dan menjadikan bayi terpapar oleh obat-obat yang tidak diperlukan.
Kesulitan yang sering dijumpai dalam diagnosis sindrom putus obat adalah
manifestasi klinis yang muncul seringkali menyerupai gangguan metabolik atau
infeksi sehingga bayi pada awalnya diobati sesuai kecurigaan, namun klinis tidak
membaik. Pengobatan suportif yang diberikan diantaranya dengan meredupkan
pencahayaan ruang rawat bayi untuk mengurangi stimulasi sensoris dan iritabilitas,
perawatan yang lembut serta menjaga stabilitas suhu. Pemberian nutrisi merupakan
pengobatan suportif yang perlu dilakukan untuk menstabilkan kondisi bayi pada fase
akut tanpa perlu menambahkan pengobatan medikamentosa. Nutrisi diberikan dengan
formula hiperkalori dalam jumlah kecil tapi sering untuk memenuhi kebutuhan kalori
tambahan. Kebutuhan kalori ditambahkan karena terdapat peningkatan aktivitas,
menangis, berkurangnya waktu tidur, regurgitasi, dan diare.

2. Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa didasarkan pada berat ringan gejala putus obat. Tujuan
pemberian terapi untuk menghilangkan pengaruh obat tanpa menimbulkan gejala
putus obat yang berat serta mengembalikan pola tidur dan minum yang adekuat.
Indikasi pemberian medikamentosa adalah skoring NASS 8 atau lebih, penurunan
berat badan berlebihan, dehidrasi akibat diare atau ketidak-mampuan bayi untuk
minum, demam yang bukan disebabkan oleh infeksi atau kejang serta bila dengan
pengobatan suportif tidak dapat menurunkan skoring NASS di bawah 8. Obat pilihan
yang digunakan untuk sindrom putus obat neonatus adalah morfin dan fenobarbital.
Morfin diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan ketergantungan opiat

11
dengan dosis awal pemberian morfin tergantung pada skor NASS Bayi. Perubahan
dosis obat dihitung berdasarkan berat lahir bukan berat saat pengobatan. Penurunan
dosis obat (weaning) dilakukan perlahan sehingga bayi dapat beradaptasi dengan
gejala ringan putus obat, dapat minum, dan tidur dengan baik. Proses penurunan dosis
obat bervariasi tergantung pada toleransi bayi sehingga lama rawat bayi bervariasi.
Selama pemberian morfin harus dilakukan monitor ketat terhadap kemungkinan apne
karena morfin memiliki efek depresi sistem pernafasan.Fenobarbital merupakan obat
lini pertama pada ibu yang tidak diketahui jenis obatnya atau pengguna non-opiat atau
ibu dengan intoksikasi alkohol atau dapat diberikan bila morfin tidak efektif
mengurangi gejala dan tanda putus obat. Bayi dengan ibu pengguna obat-obatan
sebaiknya dirawat di unit perinatologi untuk diobservasi, namun beberapa penelitian
menunjukkan rawat gabung dengan pengawasan yang ketat petugas dari kesehatan
dan keluarga dapat menurunkan angka kejadian dan derajat keparahan putus obat
pada bayi baru lahir, serta meningkatkan ikatan antara ibu dan bayi.

Adapun penatalaksanaan tergantung :


a. Usia gestasi
b. Toleransi tubub bayi terhadap pengobatan spesifik

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Neonatal abstinence syndrome (NAS) adalah akibat dari penghentian tiba-tiba
paparan janin terhadap zat yang digunakan atau disalahgunakan oleh ibu selama
kehamilan. Penarikan dari zat-zat yang sah atau terlarang menjadi lebih umum di
antara neonatus baik di negara maju maupun berkembang.
Manifestasi metabolik dan pernapasan diantranya ,demam, sering menguap
,bersin,berkeringat ,hidung tersumbat,frekuensi pernapasan lebih dari
60x/menit,takipnea . untuk manifestasi gastrointestinal diantaranya muntah
Regurgitasi (kondisi saat campuran antara gastric juice (getah perut) dan terkadang
makanan yang belum dicerna kembali ke kerongkongan dan masuk ke
mulut.),Menurunan berat badan, BAB encer. Selain itu untuk Manifestasi system
saraf pusat, diantaranya Tremor,Menangis kencang,Gangguan tidurPeningkatan
tonus otot, Kejang.
Efek yang terjadi pada bayi baru lahir dengan ibu kecanduan NAPZA
bervariasi tergantung jenis narkotika, efek lazim seperti: IUGR, prematur, kejang,
kelainan kongenital, sedangkan gejala pada bayi yang cukup bulan.

Pemeriksaan Penunjang pada BBL dengan Ibu Kecanduan NAPZA yaitu


pemeriksaan urin, pemeriksaan kadar obat padacairan meconium, Adapun
Pemeriksaan Penunjang yaitu Tes jaringan tali pusat ,Tes rambut janin (bias dilakukan
pada janin gestasi diatas 6 bulan). Penatalaksanaan BBL dengan ibu kecanduan
NAPZA dengan pengobatan suportif dan terapi medikamintosa.

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis
meminta kritik yang membangun dari pembaca

13
DAFTAR PUSTAKA

McQueen, Karen, and Jodie Murphy-Oikonen. "Neonatal abstinence syndrome." New


England Journal of Medicine 375.25 (2016): 2468-2479.

McQueen, K., & Murphy-Oikonen, J. (2016). Neonatal abstinence syndrome. New England


Journal of Medicine, 375(25), 2468-2479.

MCQUEEN, Karen; MURPHY-OIKONEN, Jodie. Neonatal abstinence syndrome. New


England Journal of Medicine, 2016, 375.25: 2468-2479.

Oleh Sundari Widiastuti, S.Psi (2021) “Artikel Derita Bayi Yang Lahir Dari Ibu Pengguna
Narkoba” link : https://kepri.bnn.go.id/derita-bayi-lahir-dari-ibu-pengguna-narkoba/

Oleh Dina Indah Mulyani, Rinawati Rohsiswatmo (2009) “Jurnal Mengenal Bayi dengan
Sindrom Putus Obat: Laporan Kasus” link : https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/600/535

Buku Ajar “ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS, BAYI DAN BALITA” (2019)

Dina Indah Mulyani, Rinawati Rohsiswatmo (2009) “Jurnal Mengenal Bayi dengan Sindrom
Putus Obat: Laporan Kasus” link :
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/600/535

14

Anda mungkin juga menyukai