Anda di halaman 1dari 77

TUGAS ASUHAN NEONATUS RISIKO TINGGI

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Ilmu Kesehatan Anak

Dosen Pengampu : Nita Hestiyana SST, M.Kes

KELOMPOK 6
NAMA MAHASISWA:
1. Arbainah NIM 11194862311542
2. Erma Yuli Astuti NIM 11194862311556
3. Hidayati NIM 11194862311565
4. Mutiah NIM 11194862311588
5. Juniarti Hasni NIM 11194862311573
6. Try Rochida NIM 11194862311615
7. Yeni Hartati NIM 11194862311618
8. Zuleha NIM 11194862311620

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas penyusunan makalah yang berjudul “Neonatus Resiko Tinggi”.
Atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan dari berbagai pihak tersebut
maka penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Apt.Noval, S.Farm, M.Farm selaku Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Sari
Mulia Banjarmasin.
2. Ika Mardiatul Ulfa, SST, M.Kes selaku Ketua Jurusan Kebidanan Universitas Sari
Mulia Banjarmasin.
3. Nita Hestiyana, SST, .Kes selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Kesehatan
Anak
Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dari makalah ini, karenanya
penulis mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun untuk
menyempurnakan laporan kasus akhir stase ini. Semoga hasil-hasil yang dituangkan
lewat laporan kasus akhir stase ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan
umumnya dan khususnya dalam kebidanan.

Amuntai, 12 Desember 2023

Penyusun Makalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
D. Manfaat Penulisan........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................6
A. Neonatus dengan Ibu Kecanduan NAPZA………………………………...5
B. Neonatus dengan Ibu Penderita Penyakit Infeksi (Herpes) ………………14
C. Neonatus dengan Omphalitis…………………………………………..…32
BAB III ASUHAN NEONATUS....................................................................44
BAB IV PENUTUP..........................................................................................65
A. Kesimpulan.................................................................................................65
B. Saran...........................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA
CONTOH SOAL

iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1. Ilustrasi mekanisme terjadinya gejalaptuts zat pada neonates akibat


opiat10
Gambar 2. Proses lepasnya tali pusat ........................................................................ 33
Gambar 3. Infeksi tali pusat berat ............................................................................. 36
Gambar 4. Patofisiologi komplikasi dari omphalitis ................................................. 39
Gambar 5. Necrotising fasciitis awal dimulai dari umbilicus ................................... 40
Gambar 6. Evisceral intestinal .................................................................................. 40
Tabel 1. Onset, frekuensi, dan durasi NAS ............................................................... 12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai 28 hari, dimana
terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan dalam rahim menjadi diluar
rahim. Pada masa ini terjadi penyesuaian fisiologis dan adaptasi dari kehidupan
intrauterine ke ekstrauterin. Kurang baiknya penanganan bayi baru lahir sehat
menyebabkan kelainan-kelainan yang akan mengakibatkan cacat seumur hidup
bahkan kematian, Kejadian kematian pada neonatal sangat di tentukan oleh
kualitas pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh perawatan pada saat
kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan dan perawatan bayi baru lahir.
Upaya pemberian Asuhan Kebidanan Neonatus sejak dini secara
komprehensif dan melakukan upaya promotif dan preventif untuk mengantisipasi
terjadinya komplikasi pada neonatus. Melihat adanya risiko kematian yang tinggi
dan berbagai komplikasi pada minggu pertama, maka setiap neonatus harus
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar lebih sering dalam minggu
pertama. Langkah ini dilakukan untuk menemukan secara dini jika terdapat
penyakit atau tanda bahaya pada neonatus sehingga pertolongan dapat segera
diberikan.
Efek narkoba pada bayi dalam kandungan tak bisa disepelekan.
Penggunaan narkoba oleh ibu hamil berpotensi besar menimbulkan berbagai
dampak buruk bagi janin, mulai dari berat badan bayi rendah, gangguan
perkembangan bayi, hingga kematian pada ibu dan janin
Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo dan Herpes Simplex-
virus) pada wanita hamil sering kali tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik,
tetapi dampak serius bagi janin yang dikandungnya. Toxoplasmosis pada wanita
hamil dapat menyebabkan berbagai kelainan pada fetus. Pada infeksi rubella,
penelitian epidemiologi di India, menunjukan bahwa wanita usia subur rentan

1
2

untuk terkena infeksi ini. Infeksi pada saat hamil dapat menyebabkan kelainan
kongenital pada 10-54% kasus. Virus sitomegalo (CMV) pada individu dewasa
sering kali asimtomatik, tetapi pada kehamilan gejala klinis yang timbul menjadi
lebih berat. Infeksi oleh CMV berkaitan dengan keadaan sosioekonomi yang
rendah. Sedangkan virus herpes pada saluran reproduksi wanita hamil menjadi
sumber transmisi HSV ke janin pada trimester pertama kehamilan berkaitan
dengan peningkatan kejadian abortus spontan dan malformasi kongenital.
Infeksi maternal oleh organisme yang menyebabkan TORCH seringkali
sulit didiagnosis akibat gejala klinis yang seringkali tidak muncul. Oleh karena
itu, pemahaman penegakan diagnosis infeksi akut TORCH pada kehamilan yang
didasari pada hasil pemeriksaan serologi harus dipahami agar tidak terjadi over
diagnosis pada pasien. Pada tulisan ini akan dijelaskan tenang infeksi herpes
simpleks pada kehamilan yang berefek ke janin yang akan di lahirkan.
Bayi baru baru lahir bisa terpar penyakit infeksi, bisa dari jalan lahir pada
ibu yang mengandung bakteri, ini akan lebih gawat jika ibu hamil memiliki
penyakit infeksi aktif. Karena bayi bisa menghirup dan menelan cairan yang
megandung bakteri terbut, yang ada di jalan lahir. Selain proses persalinan, ada
juga bakteri dan virus yang ditularkan dari ibu hamil kepada bayi selama proses
kehamilan.
Bayi sangat memungkinkan mengalami infeksi tali pusat yang juga
membahayakan bagi bayi. Infeksi tali pusat pada bayi ini disebut dengan
omphalitis. Omphalitis biasanya menyerang pada hari dan minggu awal setelah
melahirkan dan biasanya infeksi ini tidak muncul setelah sebulan si kecil lahir.
Infeksi bayi baru lahir tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas
di antara neonatus di negara-negara berpenghasilan rendah. Omphalitis
merupakan penyebab penting kematian neonatus dan Insiden omphalitis pada
bayi baru lahir (NB) di negara maju adalah 0,7%, meningkat menjadi 2,7 % di
negara berkembang.
3

Dari uraian diatas sehingga sangat diperlukan untuk meningkatkan status


kesehatan neonatus. Oleh sebab itu, kami tertarik untuk membuat makalah
asuhan bayi baru lahir pada neonatus risiko tinggi dengan ibu kecanduan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, asuhan bayi baru lahir dengan ibu
penderita penyakit infeksi herpes dan asuhan bayi baru lahir dengan omphalitis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana efek terhadap bayi baru lahir dengan ibu kecanduan obat
narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya?
2. Bagaimana penatalaksanaan bayi baru lahir dengan ibu kecanduaan obat
narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya?
3. Bagaimana efek terhadap bayi baru lahir dengan ibu yang terinfeksi virus
herpes?
4. Bagaimana penatalaksanaan bayi baru lahir dengan ibu terinfeksi virus
herpes?
5. Apa yang dimaksud dengan omphalitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan bayi baru lahir dengan omphalitis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui efek yang dapat ditimbulkan terhadap bayi baru lahir jika
ibu kecanduan obat narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan bayi baru lahir dengan ibu kecanduaan
obat narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya
3. Untuk mengetahui efek yang timbul terhadap bayibaru lahir dengan ibu
terinfeksi virus herpes
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan bayi baru lahir dengan ibu terinfeksi
virus herpes
5. Untuk mengetahui omphalitis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan omphalitis pada bayi baru lahir
4

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah wawasan dan
pengetahun tentang efek dan penatalaksanaaan dari bayi baru lahir dengan resiko
tinggi seperti bayi yanglahir dari ibu kecanduaan obat narkotika, psikotropika
dan zat aditif lainnya, bayi yang lahir dari ibu penderita penyakit infeksi seperti
virus herpes, dan bayi yang lahir dengan omphalitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Neontaus dengan Ibu Kecanduan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif


1. Pengertian
a. Narkoba
Menurut UU No.22 Tahun 1997 Narkotika adalah zat/obat yang
berasal dari tumbuhan dan bukan tumbuhan, baik yang sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan/perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan bisa
menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu:
1) Narkotika Golongan I: Adalah narkotika yang paling berbahaya.
Karena daya adiktifnya paling tinggi. Golongan ini digunakan unutk
penelitian dan ilmu pengetahuan. Contohnya adalah Heroin, ganja,
kokain, morfin, dan opium.
2) Narkotika Golongan II: Adalah narkotika yang memiliki daya adiktif
kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
adalah: Benzetidin, petidin dan betametadol.
3) Narkotika Golongan III: Adalah narkotika yang memiliki daya adiktif
yang ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah kodein dan turunannya
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/obat, alamiah atau sintetis dan bukan
narkotika yang berkhasiat proaktif dengan pengaruh yang selektif dalam
susunan saraf pusat, yang mengakibatkan perubahan khas dalam aktivitas
mental serta perilaku.Psikotropika dibagi menjadi empat golongan, yaitu :

5
6

1) Psikotropika Golongan I: Merupakan psikotropika dengan daya adiktif


yang paling kuat, belum diketahui manfaat untuk mengobati dan
sedang diteliti manfaatnya. Contohnya: LSD, MDMA, STP, dan
Ekstasi.
2) Psikotropika Golongan II: Merupakan psikotropika dengan daya
adiktif kuat dan juga berguna untuk pengobatan serta penelitian.
Contohnya adalah: Metamfetamin, amfetamin, dan mekualon.
3) Psikotropika Golongan III: Merupakan psikotropika dengan daya
adiktif sedang dan juga bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah: Lumiball, Fleenitrazepam, dan buprenorsina.
4) Psikotropika Golongan IV: Merupakan psikotropika yang mempunyai
daya adiktif ringan dan juga bermanfaat untuk pengobatan dan
penelitian. Contohnya adalah: Nitrazepam (BK, modadon, dumolid)
dan diazepam
c. Zat Adiktif
Zat Adiktif adalah zat atau bahan lainnya yang bukan
narkotika/psikotropika yang mempunyai pengaruh pada kerja otak dan bisa
menimbulkan ketergantungan, seperti misalnya:
1) Rokok
2) Kelompok alkohol serta minuman lainnya yang terdapat kandungan
enthyl etanol, inhalen atau sniffing (bahan pelarut) dalam bentuk zat
organik (karbon), yang menimbulkan efek yang sama dengan yang
dihasilkan oleh minuman beralkohol atau obat anastesik, jika
aromanya dihisap maka akan memabukkan serta menimbulkan
ketagihan.
3) Thinner atau zat lainnya,penghapus cair seperti lem kayu, dan aseton,
cat, bensin yang apabila dihirup akan membuat mabuk (Alifia, 2008).
2. Efek narkoba terhadap bayi

6
7

Efek narkoba pada bayi dalam kandungan tak bisa disepelekan.


Penggunaan narkoba oleh ibu hamil berpotensi besar menimbulkan berbagai
dampak buruk bagi janin, mulai dari berat badan bayi rendah, gangguan
perkembangan bayi, hingga kematian pada ibu dan janin. Saat mengandung,
setiap zat yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil akan mengalir melalui
plasenta dan tali pusat menuju ke bayi.
Berbagai efek narkoba pada bayi yang dikandung, meski kadarnya
sedikit, bayi dapat merasakan efek negatif narkoba jika ibu hamil
mengonsumsi obat-obatan terlarang. Efek ini bisa menyakiti bayi sejak ia
masih di dalam kandungan hingga lahir.Berdarsarkan efeknya terhadap
perilaku yang ditimbulkan dari penggunaan NAPZA dapat dibagi menjadi
beberapa golongan, yaitu :
1) Golongan depresan (Downer): merupakan jenis NAPZA yang
menyebabkan mengurangi aktifitas fungsional tubuh, sehingga membuat
penggunanya menjadi tenang dan membuat tertidur bahkan bias tak
sadarkan diri. Contoh: Opioda (Morfin, Heroin, dan Codein), Sedative
(penenang), Hipnotik (obat tidur), dan Tanquilizer (anti cemas).
2) Golonagan stimulant (Upper): merupakan golongan NAPZA yang
merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja, pada golongan
ini membuat pengguna menjadi aktif, segar, dan beremangat. Contoh:
Ampahetamine (Shabu, Extasi) dan Cokain.
3) Golongan halusinogen: adalah golongan NAPZA yang membuat
penggunanya berhalusinasi yang bersifat merubah perasaan, dan pikiran
sehingga perasaan dapat terganggu. Contoh: kanabis (Ganja).
3. Komplikasi
Komplikasi ibu dengan kecanduan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya. Berikut adalah jenis narkoba dan efeknya terhadap bayi:
1) Heroin

7
8

Mengonsumsi heroin selama kehamilan bisa menimbulkan bahaya serius


kepada bayi. Salah satunya adalah terhambatnya pertumbuhan bayi dalam
kandungan. Perkembangan otak bayi juga berisiko terganggu. Keguguran,
melahirkan bayi secara prematur dan lahir mati. Heroin termasuk ke
dalam salah satu obat terlarang yang bisa ikut dikonsumsi janin melalui
plasenta. Karena sifatnya yang adiktif, bayi dalam kandungan juga bisa
menjadi ketergantungan terhadap obat ini dan mengalami gejala putus
obat. Kondisi ini dikenal dengan neonatal abstinence syndrome (NAS).
Gejala NAS pada bayi yang baru lahir antara lain tangisan berlebihan,
demam, kejang, pertambahan berat badan yang lambat, diare, dan
muntah. Kondisi ini juga dapat menyebabkan kematian pada bayi.
2) Kokain
Bayi dari ibu yang menggunakan kokain selama hamil berisiko tinggi
lahir secara prematur dan memiliki berat badan lahir, lingkar kepala, dan
panjang badan yang lebih rendah. Selain itu, penggunaan kokain selama
hamil juga bisa meningkatkan risiko keguguran yang terjadi secara
mendadak. Saat dia tumbuh dewasa, kondisi fisik dan mentalnya berisiko
terganggu. Dia juga berpotensi memiliki IQ yang rendah. Hal tersebut
bisa berdampak pada masa depannya.
3) Mariyuana
Mariyuana atau ganja merupakan salah satu obat terlarang yang paling
umum. Meski banyak orang yang mengira ganja aman untuk digunakan,
ada banyak penelitian yang mendukung bahwa penggunaan obat ini saat
hamil menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan kelahiran
prematur. Selain itu, sebuah peneltian juga melaporkan bahwa beberapa
bayi yang lahir dari ibu hamil pengguna ganja memiliki gangguan
perkembangan sistem saraf, yang ditandai dengan gangguan penglihatan,
tangisan yang bernada tinggi, serta tubuh yang gemetar.
4) Metadon

8
9

Metadon sebenarnya adalah pereda nyeri golongan opioid, tapi tetap bisa
menyebabkan ketergantungan. Meski efeknya tidak sebesar opioid seperti
heroin, obat ini juga dapat menyebabkan bayi baru lahir mengalami gejala
putus obat, seperti diare, kram perut, luka-luka pada kulit, dan menangis
tanpa henti.
5) Metamfetamin
Penggunaan metamfetamin atau sabu-sabu selama kehamilan juga banyak
menyebabkan dampak buruk terhadap janin. Di antaranya adalah
meningkatkan risiko terjadinya kelahiran prematur, solusio plasenta,
keguguran, berat badan bayi lahir rendah, serta kelainan jantung dan otak
bayi.
6) PCP & LSD
Menggunakan narkoba jenis halusinogen seperti PCP & LSD saat hamil
bisa meningkatkan risiko ibu hamil menyakiti dirinya sendiri sehingga
menyakiti bayinya juga. Selain itu, halusinogen juga bisa membuat bayi
lahir dengan berat badan rendah, kelainan kongenital, dan kerusakan otak.
4. Mekanisme terjadinya NAS
Tidak semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menyalahgunakan
opiat mengalami Neonatal abstinence syndrome (NAS) dan sampai saat ini
patofisiologinya masih belum diketahui pasti. Opiat mempunyai berat
molekul rendah, larut air, dan bersifat lipofilik sehingga dapat dengan mudah
melewati plasenta. Proses metabolisme yang belum matang pada fetus
menyebabkan waktu paruh zat menjadi lebih lama. Terputusnya paparan
opiat setelah bayi dilahirkan akan menyebabkan hiperaktivitas adenil siklase
yang akan memicu pelepasan berbagai neurotransmitter.
NAS pada ibu yang mengkonsumsi antidepresan diakibatkan oleh
peningkatan serotonin dan noradrenalin. Penggunaan benzodiazepin akan
menyebabkan peningkatan GABA yang bisa menimbulkan gejala putus zat.
Sementara gejala putus zat amfetamin merupakan akibat sekunder dari

9
10

penurunan dopamin, serotonin, dan monoamine lainnya. Keparahan gejala


NAS yang muncul dipengaruhi oleh zat yang digunakan, faktor ibu (nutrisi
atau stressor), metabolisme oleh plasenta, faktor genetik, faktor bayi
(prematur atau infeksi), dan faktor lingkungan (termasuk penanganan awal).

Gambar 1. Ilustrasi mekanisme terjadinya gejala putus zat pada neonates


akibat opiat.
Sumber: Kocherlakota, Pediatrics, 2014.

5. Morbiditas dan Mortalitas Neonatal Abstinence Syndrome (NAS)


Secara global jumlah ibu hamil yang menyalahgunakan zat meningkat
sehingga angka insidensi Neonatal abstinence syndrome (NAS) pun ikut
meningkat, terutama di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat,
terjadi peningkatan insidensi NAS beberapa kali lipat antara tahun 2004-
2013.Insidensi ini setara dengan Inggris, Kanada, dan Australia Barat, serta

10
11

menunjukkan insidensi secara global.Namun laporan mengenai insidensi NAS


pada populasi Asia masih belum ada.
Selain berisiko mengalami NAS, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
menyalahgunakan zat umumnya terlahir prematur dan mengalami gangguan
pertumbuhan. Namun derajat keparahan NAS biasanya lebih rendah pada bayi
prematur dibandingkan pada bayi aterm karena paparan zat yang lebih
singkat. Disamping itu metabolism yang belum matur
menyebabkan clearance zat tidak sempurna sehingga konsentrasi zat dalam
darah masih relatif tinggi ketika bayi dilahirkan dan berkurang pelan-pelan
seiring maturasi.
Meskipun NAS umumnya tidak bersifat fatal, namun bisa menimbulkan
gangguan yang serius dan menyebabkan perawatan yang panjang. Bayi
dengan NAS dapat mengalami gangguan irama jantung, respirasi, tonus otot,
suhu, dan berbagai respon fisiologis lainnya karena disregulasi dan instabilitas
saraf otonom. Hal ini bisa bertahan sampai beberapa hari atau bahkan
beberapa bulan.Bayi dengan NAS juga lebih sering mengalami gangguan
nafas, sepsis, dan gangguan makan pasca dilahirkan
Sebuah penelitian kohort melaporkan bahwa mortalitas sebelum usia 5
tahun pada bayi dengan Neonatal abstinence syndrome (NAS) adalah tiga kali
lipat mortalitas bayi tanpa NAS. Proporsi bayi dengan NAS yang mengalami
rehospitalisasi dalam 5 tahun pertama kehidupan juga lebih tinggi, terutama
pada tahun pertama dan kedua. Alasan untuk hospitalisasi diantaranya adalah
penyakit infeksi, infestasi parasit, gangguan sistem saraf, gangguan sistem
respirasi, gangguan saluran pencernaan, penyakit kulit, gangguan pada masa
perinatal, kecelakaan, dan keracunan. Bahkan bayi dengan NAS dilaporkan
2,5 kali lebih berisiko mengalami rehospitalisasi dalam 30 hari postnatal.
Selain daripada itu, ibu yang menyalahgunakan obat memiliki mortalitas
dan morbiditas yang lebih tinggi, sehingga secara tidak langsung berisiko
menimbulkan gangguan pada bayi yang dilahirkan.

11
12

Zat yang digunakan Onset (jam) Probabilitas (%) Durasi (hari)

8-10
Opioid
Heroin Sampai 30
24-48 40-80
Metadon 48-72 13-94 atau lebih
Sampai 30
Buprenorfin 36-60 22-67
atau lebih
Obat-obat opioid 36-72 5-20 10-30

Non opioid
SSRI 20-30

Antidepresan 24-48 20-50 2-6


trisiklik 24-48 2-6
2-4
Metamfetamin 24 7-10
9
Inhalan 24-48 48 2-7
Tabel 1. Onset, frekuensi, dan durasi NAS berdasarkan zat yang digunakan
6. Petalaksanaan Neonatus dengan NAS
Penatalaksanaan neonatus dengan NAS (Neonatal abstinence syndrome)
perlu dilakukan dengan pencegahan. Untuk pencegahan, ibu-ibu yang
teridentifikasi berisiko tinggi menyalahgunakan zat perlu mendapatkan
skrining, intervensi, dan penanganan. Konfirmasi Neonatal abstinence
syndrome (NAS) pada bayi bisa dilakukan dengan pemeriksaan urin atau
mekonium untuk mengidentifikasi zat penyebabnya. Ibu hamil yang
mengalami kecanduan zat bisa diterapi subsitusi dengan metadon atau
buprenorfin. Terapi subsitusi selama kehamilan bisa mengurangi penggunaan
zat dan memperbaiki outcome bayi yang dilahirkan, meskipun tidak

12
13

menurunkan insidensi NAS.Manajemen nonfarmakologis meliputi berbagai


upaya suportif untuk menenangkan bayi (terapi musik dan pijat bayi),
mengurangi stimulasi, dan pemberian makan lebih sering dengan formula
kalori tinggi. Manajemen farmakologis diberikan apabila :
 Terapi suportif gagal mengatasi gejala
 Skor Finnegan masih tinggi. Skor Finnegan terdiri dari 3 komponen
penilaian, yaitu gangguan sistem saraf pusat, gangguan
metabolik/vasomotor/respirasi, dan gangguan gastrointestinal. Skor dinilai
setiap 2 -4 jam. Indikasi farmakoterapi jika terdapat skor ≥ 8 sebanyak tiga
kali berturut-turut, atau skor ≥ 12 sebanyak 2 kali berturut-turut.
 Muncul tanda kegawatdaruratan seperti kejang, atau timbul dehidrasi
akibat muntah atau diare.
Sampai saat ini belum ada panduan standar untuk terapi farmakologis
NAS. Terapi farmakologis yang bisa dilakukan adalah dengan terapi subsitusi
menggunakan morfin, metadon, atau buprenorfin. Benzodiazepin atau agonis
reseptor α-adrenergik juga bisa diberikan untuk mengendalikan gejala. [1,3]
Terapi farmakologis yang diberikan lebih bersifat suportif dan simtomatik.
Bila terapi subsitusi diberikan, maka perlu dipikirkan penurunan dosis untuk
memastikan bayi tidak lagi mengalami gejala putus zat.
Bayi dengan NAS membutuhkan monitoring perkembangan dan
perilaku. Monitoring mencakup pemberian makan, berat badan, dan pola tidur
Skoring dengan instrumen Finnegan scoring system bisa menjadi panduan
untuk memulai, monitoring, dan mengakhiri tatalaksana NAS. Bila bayi telah
mempunyai pola tidur yang baik, asupan nutrisi yang cukup, berat badan
meningkat, dan skor Finnegan stabil dengan intervensi minimal, maka bayi
bisa dipulangkan. NAS bukanlah kontraindikasi untuk menyusui, kecuali bila
ibu menggunakan obat-obat jalanan, menggunakan obat multipel, atau
terinfeksi HIV, sehingga disarankan agar ibu menyusui bayinya pasca
dipulangkan.

13
14

B. Neonatus dengan Ibu Penderita Penyakit Infeksi (Herpes)


1. Epidemiologi
Herpes genital merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
virus HSV-1 dan jarang disebabkan oleh HSV-2. Empat puluh lima juta orang
berusi dibawah 12 tahun di Amerika Serikat terinfeksi herpes genital, dengan
1,5 juta kasus baru terdiagnosa setiap tahun. Lima persen wanita usia
reproduktif memiliki riwayat herpes genital. Dua persen wanita mendapatkan
infeksi pertama selama kehamilan. Pada umumnya, infeksi bersifat
asimptomatis dan subklinis. Kurang dari 30% wanita yang terinfeksi memiliki
antibodi terhadap HSV-2. Kurang dari 1/4 orang dengan serologi positif
adalah simptomatis. Angka penularan pada neonatus adalah lebih dari 40%
pada ibu dengan infeksi genital primer. Pada ibu dengan herpes rekuren dan
serologi positif terhadap HSV-2, risiko penularannya turun hingga 30%. Anak
- anak yang lahir dari ibu dengan infeksi non primer pertama memiliki risiko
menengah. Adanya antibodi HSV-1 yang spesifik tidak memberikan
perlindungan penularan pada neonatus. Sekitar 1500 - 2000 kasus HSV
neonatus telah terdiagnosa setiap tahun. Terdapat perbedaan prevalen pada
bayi baru lahir dengan infeksi HSV-1 atau HSV-2 di tiap negara.5
Perkembangan uji serologi yang akurat untuk Herpes simplex virus-1 (HSV-
1) dan Herpes simplex virus-2 (HSV-2) meningkatkan pemahaman mengenai
epidemiologi HSV-1 dan HSV-2.
Angka epidemiologi infeksi herpes simpleks virus pada neonatus
bervariasi diantara negara - negara di seluruh dunia. Di Kanada,infeksi terjadi
sekitar satu per 16.500 bayi baru lahir. Penularan ke bayi baru lahir dapat
terjadi oleh HSV-1 atau HSV -2. Di seluruh dunia, diperkirakan 75% kasus
infeksi herpes simpleks pada neonatus disebabkan oleh HSV-2 dan 25%
disebabkan oleh HSV-1. Suatu studi prospektif Kanada melaporkan pada
periode tahun 2000 - 2003 menemukan 63% kasus yang disebabkan oleh

14
15

HSV-1. Studi dari Ontario (dilakukan pada tahun 2000-2001) dan British
Columbia (pada tahun 1999) meneliti bayi yang berpotensi terinfeksi HSV-2
masing - masing mendeteksi antibodi HSV-2 pada 10% dan 17% wanita
hamil.
Herpes genital, yang merupakan sumber infeksi HSV neonatus dapat
disebabkan karena HSV-1 atau HSV-2, tetapi sebagian besar kasus
disebabkan oleh HSV-2 baik di negara maju ataupun di negara
berkembang.Menurut laporan WHO, diperkirakan pada tahun 2003 pada
penduduk berumur 15 - 49 tahun terdapat 536 juta menderita HSV-2. Infeksi
lebih banyak mengenai wanita dibandingkan laki - laki yaitu 315 juta
berbanding 221 juta. Infeksi meningkat dengan meningkatnya umur, dengan
puncak pada umur 35 - 39 tahun setelah itu sedikit menurun.Insiden infeksi
HSV neonatus di Kanada adalah 6 per 100.000 kelahiran hidup per tahun.
Pada penelitian di seluruh dunia, 75% infeksi HSV neonatus disebabkan
HSV-2 dan hanya 25% karena HSV-1.
Dalam penelitian seroprevalensi di Amerika Serikat, sampai dengan
umur 5 tahun sebesar 35% anak - anak kulit hitam dan 18% kulit putih pernah
mengalami infeksi HSV-1. Selama masa remaja, anak kulit hitam 2 kali lipat
pernah terkena HSV dibandingkan dengan kulit putih. Sampai dengan usia 40
tahun baik kulit hitam maupun kulit putih mempunyai seroprevalensi yang
sama, sekitar 70 - 80% seropositif. Infeksi HSV-2 sebagian besar
penularannya melalui hubungan seksual. Sampai saat ini sekitar seperlima
penduduk Amerika Serikat yang berumur lebih dari 12 tahun pernah terinfeksi
HSV-2 dan seperempat dari yang berumur lebih dari 30 tahun terinfeksi HSV-
2. Prevalensi semakin meningkat selama 2 dekade ini, sehingga infeksi HSV-2
dianggap dalam keadaan epidemi. Diperkirakan 25 hingga 65% wanita hamil
di Amerika Serikat terkena infeksi genital dengan HSV-1 atau HSV-2.
Prevalensi infeksi HSV-2 di negara - negara Afrika lebih tinggi dibandingkan
dengan prevalensi di negara berkembang dengan prevalensi 30 - 80% pada

15
16

wanita dan 10-50% pada laki - laki. Di Amerika Selatan prevalensi pada
wanita adalah 20 - 40 % sedangkan di negara - negara Asia menunjukkan
prevalensi yang lebih rendah yaitu 10 - 30%. Oleh karena infeksi HSV bukan
merupakan penyakit yang harus dilaporkan di Amerika Serikat, angka - angka
prevalensi yang pasti masih sulit didapatkan.
Pada tahun 2012, diasumsikan 140 juta penduduk berusia 15 - 49 tahun
terkena infeksi HSV-1 di seluruh dunia, sekitar 50% terdiri dari infeksi HSV
genital.Herpes genital adalah yang ditularkan melalui hubungan seksual
karena HSV-2, jarang karena HSV-1. Sekitar 5% wanita dalam masa
reproduktif mempunyai riwayat herpes genital dengan 2% dari wanita tersebut
mendapat infeksi pertama selama kehamilan.Pada masa ini herpes genital
semakin meningkat sebagai penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Sejak akhir tahun 1970-an di Amerika Serikat seroprevalensi HSV-2
meningkat 30% sehingga 1 dari 5 orang dewasa terinfeksi. Infeksi HSV-2
dapat ditularkan dari ibu ke anak pada saat persalinan.
Insiden infeksi HSV-2 neonatus adalah 1 dalam 3000 sampai 1 dalam
20.000 kelahiran hidup. 10,11 4,13,14,15 Perkiraan terakhir adalah 1 diantara
3200 persalinan.10 Sekitar 1500 - 2000 kasus baru terjadi di Amerika Serikat.
Sekitar 2% wanita mendapat infeksi selama kehamilan. Penularan pada
neonatus adalah lebih dari 40% pada infeksi herpes genital pertama pada ibu.
Bayi yang lahir dari ibu infeksi non primer mempunyai risiko penularan
menengah.Sekitar dua per tiga dari wanita yang mendapat infeksi HSV saat
kehamilan tidak menunjukkan gejala pada saat melahirkan. Ini sesuai data
bahwa 60 - 80% ibu yang melahirkan bayi dengan infeksi HSV neonatus tidak
menunjukkan gejala HSV
2. Etiologi
Herpes simplex virus adalah virus DNA beruntai ganda neurotropik
yang tergolong dalam Alphaherpes virinae subfamili Herpesviridae. 14,15,16
Terdapat lebih dari 80 virus herpes,8 diantaranya dapat menginfeksi manusia

16
17

yaitu HSV-1, HSV-2, varicella-zoster virus (VZV), Epstein-Barr Virus


(EBV), Human Herpesvirus (HHV 6 dan HHV 7) dan kaposi sarcoma-
associated herpesvirus (HHV 8). Herpes simplex virus merupakan virus yang
mempunyai envelope dengan untai ganda DNA yang mempunyai genom yang
sangat teroganisir yang mengkode lebih dari 84 polipeptida. Meskipun
rangkaian DNA HSV-1 dan HSV2 sangat mirip tetapi perbedaan protein pada
pembungkusnya dapat membedakan kedua jenis virus tersebut.Herpes simplex
virus terdiri dari dari 2 tipe HSV-1 dan HSV-2. Herpes simplex virus-1
menyebabkan lesi orofasial, jarang sekali menyebabkan lesi genital. Herpes
simplex virus menyebabkan infeksi genital. Virus ini bersifat neurovirulen,
menjalar pada jaringan saraf dan mempunyai kecenderungan bersifat laten.
Jika terdapat stres fisik atau emosi, virus yang dalam keadaan dorman dapat
menjadi aktif sehingga menimbulkan penyakit
3. Patogenesis
Terkadang VSH dapat menginfeksi janin melalui ascending genital tract
infection atau secara transplasental melalui vili korionik. Infeksi VSH in utero
dapat menyebabkan katarak, pneumonitis, miokarditis, hepatosplenomegali,
korioretinitis, ensefalitis, anemia hemolitik serta retardasi mental dan
pertumbuhan. Sebagai tambahan, terdapat berbagai jenis patogen yang dapat
menginfeksi fetus dan menyebabkan manifestasi klinis dan patologis yang
serupa dan dikelompokkan bersama dengan akronim "TORCH". Patogen ini
adalah Toxoplasma gondii, yang lain (Treponema pallidum, Listeria
monocytogenes, dan Mycobacterium tuberculosis), rubella, dan
cytomegalovirus.
Namun mayoritas kasus infeksi herpes simpleks pada neonatus
diperoleh melalui perinatal. Patogenesis yang kompleks dari penyakit ini
membuat kesulitan memperkirakan jalur mana dari traktus genitalia ibu yang
menyebabkan infeksi. Di sisi lain, frekuensi reaktivasi HSV pada traktus
genitaliaia meningkat pada tiap trimester kehamilan. dan wanita yang

17
18

meluruhkan HSV pada saat persalinan adalah 300 kali lebih sering
menularkan infeksi HSV pada bayi mereka dibanding wanita hamil yang
virusnya tidak terdeteksi. Herpes genital simptomatis diduga merupakan
faktor risiko untuk penularan HSV neonatus. Diantara 202 wanita hamil yang
tercatat meluruhkan HSV menjelang persalinan, 74memiliki lesi pada traktus
genitalia tetapi tidak satu pun menularkan infeksi ke bayi mereka.
Kebalikannya, infeksi traktus genitalia ibu yang didapat pada saat atau
menjelang persalinan merupakan risiko faktor yang signifikan untuk
penularan HSV perinatal. Pada kenyataannya, walaupun risiko penularan
diantara wanita yang memiliki infeksi herpes genital kronis adalah <1%,
efisiensi penularan ibu ke bayi pada wanita yang memperoleh infeksi HSV
pada traktus genitalia pada kehamilan akhir dipertimbangkan paling sedikit
25%. Wanita yang traktus genitalianya menyebarkan HSV pada saat
persalinan namun tes antibodi serum spesifik HSV yang negatif, harus
dipertimbangkan memiliki risiko penularan neonatus yang lebih tinggi sebagai
ketidaksesuaian diantara 2 tes diagnostik tersebut konsisten dengan
didapatnya infeksi maternal saat ini.
Peningkatan transmisi dari infeksi herpes simpleks neonatus pada
wanita yang menderita infeksi HSV pada menjelang usia kehamilan dapat
merupakan akibat dari satu atau lebih faktor berikut : (1) penurunan waktu
untuk transfer pasif antibodi HSV spesifik dari ibu ke janin ; (2) terpaparnya
neonatus terhadap peningkatan titer HSV di traktus genitalis dari perempuan
yang treinfeksi sebagai akibat sekresi serviks yang mengandung antibodi
penetralisir HSV dalam jumlah kecil; (3) peningkatan kemungkinan paparan
HSV secara perinatal dikarenakan infeksi herpes genitalis merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk terjadinya reaktivasi HSV secara lebih sering dari
laten dan peluruhan. Aktivitas pengikatan yang lebih rendah dari antibodi
spesifik HSV awalnya dihasilkan dari infeksi primer, dapat pula berkontribusi
terhadap meningkatnya efisiensi transmisi HSV neonatus pada wanita yang

18
19

mendapat infeksi herpes genital pada tahap akhir kehamilan. Pada respon
imun humoral kemampuan dari antibodi yang spesifik terhadap patogen untuk
mengikat, menetralisir dan mengeliminasi mikroba sangat rendah segera
setelah infeksi primer tetapi kemudian meningkat secara bertahap oleh proses
yang disebut maturasi afinitas. Respon awal pejamu terhadap infeksi, rantai
berat imunoglobulin dan rantai ringan gen - gen sel B yang spesifik antigen
mengalami point mutation dengan kecepatan yang tinggi dan beberapa dari
mutasi ini akan menghasilkan sel B dengan afinitas terhadap antigen yang
lebih tinggi. baik presentasi antigen dan pensinyalan reseptor dan sel T helper
menyebabkan bertahannya sel B berafinitas tinggi ini, sedangkan sel B yang
berafinitas rendah yang mengenali antigen secara kurang efisien dieliminasi
dengan apoptosis. Sehingga saat mekanisme pertahanan pejamu menurunkan
beban patogen, hanya sel B yang mengenali antigen dengan afinitas tertinggi
yang dapat bertahan, dan maturasi dari imunitas humoral spesifik terhadap
patogen menghasilkan inmunoglobulin dengan afinitas yang lebih tinggi
terhadap antigen. Dikarenakan rendah atau tidak didapatkannya afinitas
antibodi spesifik terhadap patogen lebih mencirikan infeksi primer yang baru,
uji aviditas antibodi HSV maternal dapat digunakan untuk menilai risiko
penularan HSV saat persalinan (aviditas merupakan pengukuran terhadap
kekuatan secara umum dari ikatan antibodi antigen). Diantara 130 perempuan
hamil yang seropositif terhadap HSV, 50% peserta penelitian dengan indeks
aviditas antibodi HSV yang rendah (< 40%) menularkan HSV ke bayinya
dibandingkan dengan hanya 12% pada peserta penelitian dengan indeks
aviditas antibodi HSV yang lebih tinggi. Walaupun penggunaan uji aviditas
antibodi HSV maternal mengidentifikasikan perempuan dengan infeksi HSV
yang lebih baru, sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menularkan
HSV, uji ini akan menjadi kurang berguna pada sebagian besar infeksi herpes
simpleks pada neonatus dimana didapatnya HSV maternal terlalu awal untuk
menghasilkan antibodi spsefik pada serum dengan kadar yang dapat dideteksi.

19
20

Sebagai tambahan dari kedekatan hubungan antara infeksi maternal dan


kelahiran sebagai faktor risiko untuk herpes simpleks pada neonatus
nampaknya terdapat perbedaan efisiensi penularan diantara subtipe HSV.
Melalui mekanisme patogenesis yang masih belum jelas, perempuan dengan
infeksi HSV-1 genital terbukti 15 kali lebih berisiko untuk menularkan HSV
pada bayinya dibandingkan dengan perempuan yang treinfeksi HSV-2 genital.
Kejadian lain yang terbukti dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
HSV neonatus adalah tindakan obstetrik yang invasif termasuk penggunaan
elektrode pada kulit kepala bayi dan penggunaan forcep untuk melahirkan,
yang dapat mengganggu sawar epitel neonatus dan menyebabkan invasi HSV
ke jaringan mukokutan
4. Gejala Klinis
Infeksi genital maternal dini menyebabkan kelainan janin. Retardasi
pertumbuhan intra uterine atau prematuritas sering menyertai infeksi HSV
pada kehamilan trimester akhir. Bayi baru lahir dengan infeksi HSV
kongenital memiliki mikrosefali, hidrosefalus, mikroftalmia, korioretinitis,
kalsifikasi intra kranial dan lesi vesikel mukokutaneus. Infeksi yang didapat
pada periode antenatal atau postnatal dapat menyebabkan sepsis neonatus.
Tiga puluh tiga persen dari gambaran ini didapatkan dalam 24 jam kelahiran
dan 61% dalam minggu kehidupan. Tergantung luasnya infeksi, herpes
neonatus dapat dikategorikan dalam 3 tipe yaitu :(1) infeksi kulit, mata dan
mulut (KMM); (2) keterlibatan susunan saraf pusat yang disertai KMM; (3)
infeksi diseminata meliputi organ multipel seperti hati, paru - paru, adrenal,
otak, mata, ginjal dan kulit.
Infeksi HSV pada neonatus memiliki gambaran yang bervariasi dan
mungkin menyerupai kondisi infeksi pada neonatus yang lain. Dokter anak
yang merawat harus mempertimbangkan infeksi HSV pada neonatus sebagai
diagnosa banding pada bayi lahir yang memiliki riwayat letargi, iritabilitas,
demam atau hipotermia dan vesikel kulit dengan atau tanpa gejala neurologi.

20
21

Diagnsosis berdasarkan kecurigaan klinis yang tinggi terutama ibu dengan


riwayat herpes genital. Hal ini harusnya dipertimbangkan ketika kultur bakteri
negatif dalam 48 jam. Pemberian terapi spesifik dini mencegah kematian dan
meminimalkan kerusakan saraf.
Gejala tidak spesifik seperti demam atau hipotermia, letargi, nafsu
makan menurun dan iritabilitas dapat dijumpai dengan atau tanpa lesi
mukokutaneus. Saat diagnosis dibuat, beberapa bayi berkembang progresif
menjadi penyakit yang berat dan menimbulkan komplikasi. Kejang fokal atau
generalisata, hepatitis, pneumonitis, inflamasi mata, keterlibatan
gastrointestinal dan adrenal dapat dijumpai. Ulkus mata dendritik,
korioretinitis atau acute necrotizing retinitis dapat dijumpai. Katarak
kongential yang dipicu oleh virus herpes pernah dilaporkan terjadi pada mata
kanan bayi usia 18 bulan. Diatesis perdarahan, gagal fungsi hati, koma, distres
pernafasan dan syok biasanya dijumpai pada fase akhir infeksi berat. Infeksi
yang terlokalisir lebih sering disebabkan oleh virus HSV-1 dan infeksi sentral
atau diseminata disebabkan oleh virus HSV-2. Komplikasi jangka panjang
seperti kejang, retadarsi psikomotor, spastisitas, kebutaan dan gangguan
belajar sering dijumpai pada survivor.
Lesi terbatas pada kulit, mata dan mulut memberikan mortalitas lebih
rendah tetapi morbiditas tetap tinggi. Infeksi pada kulit ditandai dengan
adanya vesikel berbatas tegas tetapi merupakan tanda penting dari penyakit
ini. Vesikel yang berkelompok mula - mula terdapat pada tempat kontak
dengan virus selama persalinan kemudian dapat menjalar ke tempat lain.
Vesikel terdapat pada 90% penderita dengan tipe KKM. Gejala biasanya
muncul 10 hingga 11 hari setelah kelahiran. Sekitar 30% tipe KKM disertai
gangguan neurogik. Vesikel dengan dasar eritema berdiameter 1 - 2 mm,
dapat berkembang menjadi bula yang lebih besar dengan diameter lebih dari 1
cm. Lesi kulit dapat bersifat multipel dengan tempat yang saling berjauhan.
Lesi dapat berupa erupsi zosteriform, meskipun jarang. Lesi pada mata dapat

21
22

berupa keratokonjungtivitis dan kemudian menjadi korioretinitis, katarak dan


lepasnya retina. Lesi yang terlokalisir pada kavum orofaring dijumpai pada
sekitar 10% kasus.
Infeksi SSP dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian penyakit yang
menyebar menunjukkan gejala ensefalitis. Hampir 90% bayi dengan penyakit
yang menyebar atau ensefalitis menunjukkan bukti adanya infeksi otak akut.
Sekitar sepertiga bayi dengan infeksi HSV neonatus berupa ensefalitis. Bayi
yang mendapat ensefalitis saja mungkin penularannya melalui penularan
aksonal sedangkan ensefalitis yang disertai penyakit yang penularannya
melalui darah (viremia). Gejala ensefalitis berupa kejang (fokal atau
generalisata), letargi, iritabilitas, tremor, suhu tubuh tidak stabil, ubun - ubun
menonjol dan gejala piramidal. Sekitar 30 - 40% penderita ensefalitis tidak
disertai vesikel pada kulit. Pada 25 - 40% kasus ditemukan HSV pada kultur
cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal menunjukkan pleiositosis dan
protein yang meningkat. Prognosis jangka panjang bayi dengan ensefalitis
sangat jelek. Sekitar 505 penderita bertahan hidup disertai retardasi
psikomotor, spastisitas, kebutaan, korioretinitis atau gangguan belajar.
Bayi dengan tipe diseminata mempunyai prognosis yang paling buruk
dari segi mortalitas dan morbiditas. Gejala muncul pada hari ke 4 hingga hari
ke 5 setelah lahir. Sebelum dimulainya era terapi antivirus, tipe ini didapatkan
pada setengah sampai dua per tiga anak - anak yang mendapat infeksi HSV
pada neonatus. Organ utama yang terkena adalah hati dan adrenal. Organ lain
dapat juga terkena seperti laring, trakea, paru, esofagus, lambung, usus bagian
bawah, limfa, ginjal pankreas dan jantung. Ensefalitis merupakan komponen
yang sering dijumpai, dijumpai pada 60 - 75% kasus. Gejala yang timbul
dapat berupa kejang, distres pernafasan, ikterus, perdarahan, syok dan sering
sekali disertai eksantema vesikel yang merupakan patognomonik. Ruam
vesikel dijumpai pada 20 - 40% kasus dan penting untuk diagnosis. Sebanyak
20 - 40% kasus dengan penyakit diseminata tidak disertai dengan vesikel pada

22
23

kulit sehingga sulit untuk mendiagnosis. Tanpa terapi, angka kematian


melebihi 80%. Penyebab kematian yang paling sering adalah HSV
pneumonitis dan disseminated intravascular coagulopathy. Pada setiap kasus
infeksi HSV neonatus harus dicari adanya penyakit diseminata dengan
memeriksa fungsi hari (SGOT, SGPT, bilirubin), pemeriksaan darah
(neutropenia dan trombositopenia) dan faal hemostasis.
Infeksi HSV kongenital ditandai oleh adanya trias berupa vesikel pada
kulit atau jaringan parut, penyakit mata dan yang lebih berbahaya adalah
mikrosefali dan hidransefali. Korioretinitis yang bisa sendiri atau bergabung
dengan keratokonjungtivitis. Meskipun infeksi HSV merupakan jarang
menyebabkan kelainan kongenital, tetapi pada kasus yang dicurigai harus
dilakukan monitor teratur dengan USG untuk melihat adanya hidransefali.
Frekuensi kelainan ini diperkirakan 1 dalam 100.000 atau 1 dalam 200.000
persalinan
5. Diagnosis
Herpes neonatus memiliki gambaran yang bervariasi dan mungkin
menyerupai kondisi infeksi pada neonatus yang lain. Dokter anak yang
merawat harus mempertimbangkan infeksi HSV pada neonatus sebagai
diagnosa banding pada bayi lahir yang memiliki riwayat letargi, iritabilitas,
demam atau hipotermia dan vesikel kulit dengan atau tanpa gejala neurologi.
Diagnsosis berdasarkan kecurigaan klinis yang tinggi terutama ibu dengan
riwayat herpes genital. Hal ini harusnya dipertimbangkan ketika kultur bakteri
negatif dalam 48 jam. Pemberian terapi spesifik dini mencegah kematian dan
meminimalkan kerusakan saraf.
Pengecatan Tzank yang dibuat dari kerokan vesikel kulit atau mukosa
merupakan tes yang cepat untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi herpes.
Pengecatan dengan pewarnaan Wright, Giemsa atau Papanicolaou
menunjukkan tanda khas berupa multinucleated giant cell atau badan inklusi
intranuklear. Tes ini hanya memiliki sensitivitas 60% sama dengan kultur

23
24

virus dan juga tidak dapat membedakan antara infeksi herpes simpleks virus
dan varisela zoster. Teknik direct fluorescent antibody menggunakan antibodi
monoklonal tikus untuk mendeteksi antigen HSV lebih baik serta memiliki
sensitifitas dan spesifisitas masing - masing sebesar 74% dan 85% pada kultur
jaringan merupakan tes konfirmasi gold standar untuk infeksi herpes. darah,
cairan serebrospinal, urin, sekret nasofaring, sekret mata dan cairan vesikel
dapat dikultur. Herpes simplex virus menyebabkan perubahan sitopatik yang
khas terlihat pada berbagai kultur sel dengan sebagian besar spesimen dapat
diidentifikasikan dalam waktu 48 - 96 jam. Sensitifitas tes ini lebih tinggi
pada fase vesikel awal dibandingkan dengan fase ulseratif. Tes ini juga lebih
sensitif pada lesi maternal primer dan pada pasien imunokompromis. Tes yang
negatif berarti jika virus tidak diisolasi tapi tidak menyingkirkan adanya virus.
Hasil tes dapat dapat negatif palsu ketika virus yang bereplikasi aktif hanya
sedikit terdapat pada sampel atau ketika transpor sampel dibawah kondisi
yang suboptimum.
Analisis DNA HSV dengan polymerase chain reaction (PCR) berguna
pada beberapa kondisi. Tes ini juga memberikan hasil yang akurat ketika
sampel diambil dari lesi lama dan dari pasien asimptomatis. Tes ini 25% lebih
sensitif daripada isolasi virus dengan kultur. Pendinginan tidak diperlukan
untuk transpor sampel PCR HSV. Tes ini memiliki hasil yang lebih tinggi
pada ensefalitis herpes dan dapat juga untuk mengukur virus load. Analisis
endonukleasi teretriksi dari DNA virus mendapatkan subtipe infeksi menjadi
HSV tipe 1 atau HSV tipe 2 dan perbedaan berbagai galur subtipe.
Pemeriksaan ini berguna untuk tujuan epidemiologi, untuk memperkirakan
rekurensi infeksi dan untuk identifikasi umum sumber wabah HSV. Deteksi
antibodi anti HSV-1 atau HSV-2 pada serum memiliki kegunaan terbatas pada
herpes neonatal. IgM HSV dijumpai pada fase akut. IgG HSV dijumpai
kemudian tetapi detreminasi IgG tidak mampu membedakan transfer material
antibodi yang dihasilkan olepada bayi tersebut. Peningkatan titer IgG HSV 4

24
25

kali lipat pada keadaan akut dan convalescent sera membuktikan infeksi saat
ini pada bayi. Infeksi rekuren pada ibu, namun tidak menunjukkan
peningkatan 4 kali lipat ini. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada herpes
neonatal dengan tanda neurologi ditemukan pleositosis limfositik dengan
peningkatan protein dengan atau tanpa penurunan glukosa.
Kultur virus dan PCR untuk DNA HSV dari cairan likuor serebrosipnal
biasanya positif. Bayi dengan lesi KMM hanya memiliki peluang sebesar 24%
untuk memiliki DNA HSV pada cairan serebrospinal mereka. HSV DNA
yang persisten pada akhir terapi antivirus dihubungkan dengan prognosis yang
buruk. Computed tomography pada otak menemukan kelainan pada 67% bayi
yang terinfeksi. Kelainan tersebut yaitu parenchymal attenuation
abnormalities, atrofi parenkim, peningkatan kontras leptomeningeal,
pengumpulan cairan ekstrakranial dan kalsifikasi parenkim. MRI otak sering
abnormal pada herpes neonatus. Area hiperdensitas dan perdarahan menandai
herpes SSP. Kelainan EEG terdeteksi pada 100% ensefalitis HSV neonatus.
Kelaianan ini termasuk focal epileptiform discharges, burst suprresion, kejang
fokal dan supresi fokal. Pola quasiperiodic atau multifokal unik dari
ensefalitis HSV menurun dengan terapi dini yang tepat. Tes tambahan
mungkin diperlukan ketika bayi sakit yaitu analisis gas darah, pemeriksaan
koagulasi, pemeriksaan elektrolit, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal.
Karena ruam berbentuk vesikel, penyebab lain dari eksantema harus
disingkirkan. Penyakit eksantema termasuk infeksi virus varisela zoster,
penyakit enteroviral dan infeksi CMV yang menyebar. Adanya vesikel pada
kulit menyediakan tempat alami untuk isolasi virus. Secara simultan spesimen
serologi dan kultur virologi lainnya harus didapatkan untuk menyingkirkan
penyebab lain dari infeksi perinatal, termasuk toksoplasmosis, infeksi
cytomegalovirus, rubela dan sifilis. Kelainan kulit seperti erythema toxicum,
neonatus melanosis, atau acrodermatitis enteropathica seringkali dikelirukan
oleh dokter dengan infeksi HSV neonatus. Lesi karena penyakit ini dapat

25
26

dengan cepat dibedakan dengan yang disebabkan oleh karena HSV dengan
adanya eosinofil pada pengecatan Wright dari kerokan jaringan dan dengan
kultur virus yang tepat.
Diagnosis klinis yang paling sulit dibuat adalah ensefalitis HSV karena
sekitar 40% anak dengan infeksi susunan saraf pusat tidak mempunyai ruam
vesikel pada gambaran klinis. Infeksi HSV di susunan saraf pusat harus
dicurigai pada anak yang disertai gangguan neurolog akut dengan kejang dan
tanpa adanya perdarahan intra ventrikuler dan penyebab metabolik lainnya.
Peningkatan sel pada cairan serebrospinal dengan pemeriksaan serial dan
konsentrasi protein, kultur bakteri negatif dari airan serebrospinal dan
pemeriksaan antigen cairan serebrospinal yang negatif dapat membantu
diagnosis infeksi HSV pada susunan saraf pusat. Kultur dari genital ibu atau
adanya riwayat herpes genital baik dari ibu atau pasangan seksualnya
memperkuat kecurigaan infeksi HSV neonatus. Seperti yang disampaikan
sebelumnya, pemeriksaan neurodiagnostik non invasif dapat dipakai untuk
menentukan tempat yang terkena infeksi.
Setiap usaha harus dijalankan untuk mengkonfirmasi infeksi dengan
mengisolasi virus, suatu metode diagnosis yang definitif. Jika terdapat lesi
kulit, kerokan dari vesikel kulit harus dikirim melalui media transpor virus
yang tepat ke laboratorium diagnostik virus. Spesimen klinis harus dikirim
dalam es untuk diinokulasikan pada sistem kultur sel yang tepat. Pengiriman
spesimen dan pengolahannya harus diberi tanggal. Selain vesikel kulit,
darimana virus dapat diisolasi lagi adalah cairan serebrospinal, feses, urin,
tenggorokan, nasofaring dah konjungtiva. Dapat juga berguna pada bayi
dengan adanya hepatitis atau kelainan gastrointestinal untuk megambil aspirat
duodenal untuk isolasi virus HSV. Hasil virologi dari kultur beberapa tempat
tersebut bersama dengan penemuan klinis harus digunakan untuk menetapkan
klasifikasi penyakit. Menentukan tipe isolat HSV dapat dilakukan salah satu
dari berbagai Teknik.

26
27

Dalam waktu beberapa tahun terakhir, PCR dipakai untuk mendeteksi


HSV-DNA dalam cairan serebrospinal dan menjadi metode deteksi pilihan
untuk penyakit di susunan saraf pusat menggantikan biopsi otak. Dapat
dibuktikan sensitifitas dan spesifitasnya jika dikerjakan dengan sempurna.
Diagnosis serologi infeksi HSV tidak mempunyai nilai klinis yang penting.
Keputusan terapi tidak dapat menunggu pemeriksaan serologi. Lagipula
ketidakmampuan pemeriksaan serologi untuk membedakan antara antibodi
yang dibentuk secara endogen, membuat penilaian status antibodi neonatus
menjadi sulit selama infeksi akut. Pemeriksaan antibodi secara serial mungkin
dapat berguna jika ibu tidak mempunayi riwayat infeksi HSV sebelumnya
tetapi mendapat infeksi pada masa akhir gestasi sehingga mentransfer antibodi
yang sangat sedikit ke neonatus.
6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi infeksi HSV neonatus bertujuan untuk :
 mengurangi lamanya perjalanan penyakit
 mengurangi keparahan penyakit
 mencegah terjadinya komplikasi
 mengurangi kemungkinan kekambuhan.
Seluruh bayi baru lahir yang dicurigai atau terdiagnosis herpes neonatus
harus segera mulai mendapatkan obat antivirus yang aman dan efektif. 5-iodo-
2- deoxyuridine (idoxuridine, IDU), cytosine arabinoside, adenine arabinoside
dan asiklovir telah diteliti peranan dan keamanannya pada herpes neonatus.
Obat antivirus ini menghambat sintesis DNA dan kemudian menghambat
replikasi virion. Efek lebih banyak didapatkan pada terapi dini. Herrman
menemukan inhibisi plak herpes simpleks virus pada kultur sel dengan IDU.
Penggunaan IDU mengurangi gejala herpes. 1-β-D-arabinofuranosyl-cytosine
hydrochloride (cytosine arabinoside atau CA atau ara-C) telah diteliti
kemudian dan ditemukan jika dapat membantu penyembuhan keratitis herpes.

27
28

Pada herpes neonatus, cytosine arabinoside digunakan pada dosis 40 - 160


mg/m2.
Dapat juga digunakan secara intratekal pada ensefalitis herpes.
Vidarabine (adenine arabinoside atau ara-A) pada dosis 10 - 20 mg/kg/hari
sebagai infus /hari sebagai infus intravena kontinyu selama 4 - 6 hari kontinyu
12 jam selama 10 - 14 hari membantu menurunkan mortalitas herpes SSP dan
diseminata dari 74% menjadi 38%. Lima puluh persen bayi yang diterapi
dengan vidarabine tidak menampakkan gejala hingga usia 1 tahun
dibandingkan 17% pada grup kontrol. Meningkatkan dosis hingga 30 mg/kg,
bagaimanapun tidak memperbaiki survival atau menurunkan morbiditas.
Asiklovir merupakan antivirus yang direkomendasikan saat ini untuk
infeksi herpes neonatus. Obat ini lebih efektif, aman dan mudah diberikan
daripada vidarabine. Dosis yang disarankan adalah 60 mg/kg/hari dibagi
dalam 3 dosis yang diberikan secara intravena sebagai infus 1 jam selama 14
hari untk penyakit KKM dan 21 hari untuk penyakit SSP dan diseminata.
Dosis tinggi ini memperbaiki survival secara signifikan. Seluruh pasien yang
diterapi dengan asiklovir dosis tinggi 6,6 kali lebih sering dijumpai
kesembuhan pada usia 12 bulan jika dibandingkan dengan yang memperoleh
dosis standar 30 mg/kg/hari. Mungkin terdapat neutropenia sementara dengan
dosis tinggi ini tetapi tidak ada efek samping sekuele serius yang pernah
dilaporkan. Dua minggu sekali disarankan dilakukan pemeriksaan absolute
neutrophyl count (ANC) selama pemberian asiklovir dosis tinggi.
Menurunkan dosis asiklovir atau pemberian granulocyte colony
stimulating factor harus dipertimbangkan jika hitung ANC yang rendah dalam
waktu yang lama. Insufisiensi renal sementara disebabkan oleh kristalisasi
asikovir pada parenkim. Hal ini dapat dicegah dengan hidrasi yang tepat dan
pemberian asiklovir secara perlahan selama 1 jam. Seluruh pasien dengan
keterlibatan SSP membutuhkan pengulangan punksi lumbal pada akhir
pemberian asiklovir untuk mendokumentasikan PCR yang negatif dan indeks

28
29

cairan serebrospinal pada akhir terapi. Asiklovir harus dihentikan ketika PCR
negatif. Eliminasi HSV dari susunan saraf pusat lebih baik dengan infus
asiklovir intravena kontinyu pada ensefalitis neonatus. Studi terbaru juga
menemukan jika setelah 14 dari 21 terapi asiklovir parentral, supresi asiklovir
pada 30 mg/m2 per dosis oral 3 kali per hari selama 6 bulan menyebabkan
perbaikan hasil neurologik yang signifikan pada anak - anak dengan penyakit
susunan saraf pusat.
Famsiklovir dan valasiklovir merupakan obat antivirus yang baru
dipasarkan. Obat ini memiliki absorbsi yang lebih baik dan lebih sedikit
membutuhkan dosis yang sering. Walaupun secara farmakokinetik lebih
superior daripada asiklovir tetapi obat ini tidak memberikan keuntungan klinis
yang lebih daripada asiklovir. Studi kontrol pada anak - anak masih sedikit
dan karena saat ini tidak direkomendasikan untuk infeksi HSV neonatus.
Resistemsi virus terhadap analog nukleosida telah dilaporkan. Durasi penyakit
ini sebelum pemberian antivirus berhubungan secara signifikan terhadap
morbiditas dan mortalitas. Bayi yang sakit memerlukan tambahan perawatan
suportif yang adekuat dalam bentuk cairan intravena, nutrisi, mengendalikan
kejang, perawatan koma, suport pernafasan, tranfusi darah, koreksi kelainan
pembekuan dan sebagainya. Penting untuk melakukan hidrasi dan
pengawasan ginjal yang hati - hati. Obat antivirus topikal dengan asiklovir
sistemik digunakan untuk keratitis herpetik.
5-iodo-2-deoxyuridine (IDU) ditemukan efektif dalam 80 -90% kasus,
namun infeksi kronis atau resisten berespon lebih baik dengan ara (topikal,
trifluorothymidine, vidarabine, atau steroid dengan IDU. Debridemen dengan
atau tanpa terapi interferon mungkin diperlukan untuk mempercepat
penyembuhan. tetes mata dan ointmen antivirus terbaru untuk herpes yaitu
asiklovir dan gansiklovir. Krem asiklovir untuk vesikel pada kulit juga
tersedia. Terapi imunoglobulin tiap bulan menurunkan rekurensi, keparahan
dan durasi lesi pd herpes genital. Walaupun tidak direkomendasikan sebagai

29
30

terapi standar, Whitley mengusulkan antibodi monoklonal manusia HSV atau


imunoglobulin hiperimun sebagai terapi penyerta untuk infeksi HSV
diseminata neonatus. Produksi targeted monoclonal antibody yang melawan
glikoprotein B atau D dari virus HSV masih pada tahap percobaan. Jika
berhasil, ini dapat digunakan sebagai terapi adjuvan pada infeksi herpes
neonates
7. Pencegahan
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dalam pengobatan dengan obat
antivirus, tetapi hasil terapi belum memuaskan dimana masih dijumpai
sekuele jangkapanjang yang mengurangi kualitas hidup. Oleh karena itu
pencegahan merupakan tindakan yang sangat dibutuhkan pada penanganan
infeksi HSV neonatus.Terdapat beberapa strategi pencegahan infeksi HSV
pada bayi baru lahir.
 Persalinan section caesaria
Persalinan dengan sectio caesaria dapat menurunkan transmisi HSV pada
neonatus namun tidak dapat mencegah seluruh transmisi. Transmisi HSV
telah didokumentasikan pada sectio caesaria yang dilakukan sebelum
ketuban pecah. Jenis persalinan inipada wanita hamil dengan lesi genital
aktif dapat mengurangi risiko bayi memperoleh infeksi HSV dan juga
direkomendasikan ketika terdapat lesi genital atau gejala prodromal saat
persalinan. Persalinan sectio caesaria lebih efektif jika dilakukan sebelum
ketuban pecah, tetapi pada keadaan dimana ketuban telah pecah dan
terdapat lesi genital saat persalinan maka direkomendasikan persalinan
sectio caesaria untuk meminimalkan paparan neontaus terhadap HSV.
 Terapi supresif antivirus
Pada wanita dengan herpes genital rekuren yang aktif, terapi supresif
antivirus dengan pemberian asiklovir/valasiklovir pada saat kehamilan 36
minggu dihubungkan dengan pengurangan lesi genital pada saat persalinan

30
31

dan penurunan deteksi virus pada kultur/PCR sehingga mengurangi


kebutuhan untuk seksio sesaria, dan saat ini direkomendasikan oleh The
American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG).
Penyebaran virus subklinis tidak sepenuhnya dapat ditekan dan
kegunaannya dalam sejumlah praktek dalam rangka mencegah HSV
neonatus belum dapat dipastikan. Seri kasus multicentre melaporkan 8
kasus bayi dengan infeksi HSV yang ditularkan dari ibu meskipun ibu
tersebut telah mendapat terapi supresif antivirus setelah usia kehamilan 36
minggu. Walaupun terapi supresif antivirus pada ibu menurunkan insiden
rekurensi herpes genital pada saat persalinan, namun efek jangka panjang
obat ini dalam mencegah angka kejadian infeksi pada neonatus masih
belum diketahui dan memerlukan penelitian lebih lanjut
 Vaksin HSV
Sampai saat ini, tidak ada vaksin yang terbukti efektif untuk mencegah
infeksi HSV-1 atau HSV-2. Sebuah vaksin subunit HSV-2gD, awalnya
ditemukan efektif dalam mencegah herpes genital HSV-1 atau HSV-2
(efikasi hingga 75%), tetapi efikasinya terbatas hanya pada wanita yang
seronegatif HSV-1 dan HSV-2 sebelum pemberian vaksinasi dengan tidak
ada laporan efikasi pada laki - laki atau wanita yang seropositif HSV-1
sebelum vaksinasi. Pada percobaan doubleblind randomisasi selanjutnya,
mengevaluasi efikasi vaksin subunit HSV-2 gD yang sama pada wanita
yang seronegatif terhadap HSV-1 dan HSV-2, didapatkan jika efikasi
vaksin sebesar 58% untuk mencegah herpes genital HSV-1 tetapi
efikasinya kurang untuk mencegah herpes genital HSV-2
 Pencegahan infeksi selama kehamilan
Terdapat beberapa strategi yang direkomendasikan untuk mencegah infeksi
oleh ibu selama kehamilan tetapi tidak satupun diuji dalam percobaan
berskala besar. Pendekatan pertama adalah menskrining seluruh wanita

31
32

dengan uji berbasis IgG pada usia kehamilan 24 - 28 minggu. Perempuan


yang seropositif namun infeksi sebelumnya tidak diketahui akan
bermanfaat diberikan edukasi mengenai temuaan ini dan identifikasi lesi
rekuren serta gejala prodromal, terutama saat melahirkan. Wanita harus
diberikan konseling untuk menghindari kontak oral-genital. Strategi ini
tidak mempertimbangkan serostatus atau risiko paparan terhadap pasangan
seksual. Pendekatan kedua merekomendasikan skrining seluruh pasangan
untuk serologi HSV pada usia kehamilan 14 - 18 minggu, dengan koseling
yang tepat berdasarkan hasil serologi untuk kedua pasangan. Pendekatan
ini mungkin tidak bisa dilakukan pada keadaan dimana terdapat
multipartner atau berganti pasangan selama kehamilan. Pendekatan ketiga
adalah menyarankan seluruh wanita hamil untuktidak melakukan hubungan
seksual selama kehamilan trimester tiga. Pendekatan akhir ini terutama
dilakukan pada keadaan dimana pemeriksaan serologis tidak tersedia atau
secara ekonomi tidak layak. The American Congress of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) tidak merekomendasikan skrining rutin untuk HSV
bagi wanita asimptomatis selama kehamilan
 Pencegahan infeksi postnatal
Sekitar 10% kasus didapatkan pada periode postpartum oleh paparan virus
dari lesi terbuka pada pengasuh, atau mengikuti ritual sirkumsisi Yahudi
yang melibatkan kontak oro-genital. Kontak dengan anggota rumah dan
anggota keluarga yang terinfeksi direkomendasikan untuk menghindari
kontak dengan bayi baru lahir. Petugas kesehatan yang treinfeksi dengan
lesi whitlow herpetik aktif tidak boleh merawat neonatus secara langsung
C. Neonatus dengan Omphalitis
1. Pengertian

Omphalitis didefinisikan sebagai infeksi umbilikus, khususnya tali


pusat, pada bayi baru lahir. Hal ini terutama mempengaruhi neonatus, di

32
33

antaranya kombinasi dari tunggul tali pusat dan penurunan kekebalan yang
ditemukan saat infeksi. Hal ini jarang dilaporkan di luar masa neonatus.
Variasi pada keadaan kongenital merupakan faktor predisposisi terjadinya
infeksi pada tali pusat (Helen, 1999). Omphalitis dapat menyebar ke vena
porta dan menyebabkan berbagai macam komplikasi akut yang
memerlukan intervensi medis serta bedah.

Gambar 2. Proses lepasnya tali pusat


Tali pusat biasanya puput satu minggu setelah lahir dan luka sembuh
dalam 15 hari. Sebelum luka sembuh merupakan jalan masuk untuk kuman
dan infeksi yang dapat menyebabkan sepsis. Pengenalan secara dini infeksi
tali pusat sangat penting untuk mencegah sepsis.
2. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan omphalitis yakni:
a. Penanganan tali pusat yang tidak pantas (misalnya aplikasi budaya seperti
pemberian oli mesin, kotoran sapi, bedak bubuk, atau minyak sawit pada
tali pusat).
b. Infeksi sekunder:
 Ketuban pecah dini
 Ibu dengan infeksi
 Proses kelahiran yang tidak steril
 Prematuritas

33
34

Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi
cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi
pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia
berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
Kerentanan neonatus terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain kulit dan selaput lendir yang tipis dan mudah rusak,
kemampuan fagositosis dan leukosit immunitas masih rendah.
 Bayi berat lahir rendah
 Ibu tidak mandi (mencuci perineum dengan air dan sabun) atau
mencukur sebelum proses kelahiran
Faktor risiko lain:
a. Neonatus dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah atau
imunodefisiensi atau yang dirawat di rumah sakit dan mengalami
prosedur invasif. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,
khususnya terhadap Streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan
IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali
pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen
terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon
terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan
penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan
fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas
opsonisasi.
b. Sindrom kekurangan leukocyte adhesion (LAD) dan mobilitas neutrofil
(Perry, 2005).
3. Etiologi
Organisme yang dapat menyebabkan omphalitis yaitu:
a. Bakteri aerob:

34
35

 Staphylococcus aureus (penyebab tersering)


 Staphylococcus aereus ada dimana-mana dan didapat pada masa awal
kehidupan hampir semua bayi, saat lahir, atau selama masa perawatan.
Biasanya Staphylococcus aereus sering dijumpai pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran cerna terkolonisasi. Untuk pencegahan
terjadinya infeksi tali pusat sebaiknya tali pusat tetap dijaga
kebersihannya, upayakan tali pusat agar tetap kering dan bersih, pada
saat memandikan di minggu pertama sebaiknya jangan merendam bayi
langsung ke dalam air mandinya karena akan menyebabkan basahnya
tali pusat dan memperlambat proses pengeringan tali pusat
(Streptokokus grup A, Escherichia coli dan Klebsiella Proteus)
 Bakteri anaerob (penyebab sepertiga kasus omfalitis):
Jenis bakterinya adalah (Bacteroides fragilism. Peptostreptococcus dan
Clostridium perfringen) (Brook, 2002)
4. Patofisiologi
Tali pusat menyajikan substrat yang unik untuk kolonisasi bakteri,
tanpa penghalang normal pertahanan kulit, dan mengalami iskemia dan
degradasi sehingga tali pusat mengering dan lepas. Biasanya, daerah tali pusat
menjadi tempat kolonisasi bakteri patogen intrapartum atau segera setelah
kelahiran. Bakteri memiliki potensi untuk menyerang tali pusat, yang
menyebabkan terjadinya omphalitis.Spektrum bakteriologis dalam omphalitis
sedang mengalami perubahan, dimana terjadi perubahan dalam perawatan tali
pusat, penggunaan antibiotik, resistensi bakteri, dan praktek-praktek lokal
lainnya (Yefri R & Machmud, 2010).
5. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi tali pusat:
a. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas

35
36

Jika tali pusat bengkak, mengeluarkan nanah, atau berbau busuk, dan di
sekitar tali pusat berwarna kemerahan dan pembengkakan terbatas pada
daerah kurang dari 1 cm di sekitar pangkal tali pusat local atau terbatas.
b. Infeksi tali pusat berat atau meluas
Jika kemerahan atau bengkak pada tali pusat meluas melebihi area 1 cm
atau kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras dan memerah serta bayi
mengalami pembengkakan perut, disebut sebagai infeksi tali pusat berat
atau meluas (Cunningham, 2005).

Gambar 3. Infeksi Tali Pusat Berat


6. Gejala Klinik
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada omphalitis yaitu:
a. Gejala lokal:
Discharge yang purulen dan berbau busuk dari umbilicus atau tali pusat.
Eritema, edema, dan nyeri tekan di daerah periumbilical
b. Gejala sistemik:
 Takikardi (denyut jantung lebih dari 180 kali per menit)
 Hipotensi dan capillary refill menurun
 Takipneu (nafas lebih dari 60 kali per menit)
 Tanda-tanda gagal nafas atau apneu
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus.
 Keterlibatan sistem saraf pusat: iritabilitas,letargi,penurunan refleks
menghisap dan hipotonus atau hipertonus (Brook, 2002)
7. Pemeriksaan Penunjang

36
37

Usap mikrobiologi dari umbilikus harus dikirim untuk kultur aerob dan
anaerob. Kultur darah harus disertakan pada saat yang tepat. Pada
pemeriksaan laboratorium darah, dapat ditemukan neutrofilia (kadang-kadang
neutropenia). Diagnostik dapat ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang
berupa:

a. Rontgen abdomen sangat diperlukan jika dicurigai terjadi necrotizing


enterokolitis. Dapat dijumpai gas di intraperitoneal dimana terjadi
peritonitis (disebabkan oleh bakteri penghasil gas). Multiple fluid levels
dapat mengarah ke obstruksi adhesi tapi dapat pula dijumpai pada ileus.
b. USG abdomen berguna untuk memberikan gambaran mengenai dinding
abdomen jika dicurigai terjadi kista. Sangat berguna untuk mendiagnosis
abses intraperitoneal, abses retroperitoneal, dan abses hepar.
c. USG Doppler dilakukan jika dicurigai terjadi thrombosis vena portal.
d. Fistulogram diindikasikan jika terjadi fistula ke umbilikus.
e. MRI atau CT-scan dapat digunakan untuk menilai fistula kongenital
(Gerdes, 2004).
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada omphalitis yaitu:
a. Farmakologi
 Antibiotik: ampiclox, cloxacillin, flucloxacillin, methicillin yang
dikombinasi dengan gentamycin.
 Untuk bakteri anaerob, dapat diberikan antibiotik berupa metronidazole.
 Terapi diberikan selama 10-14 hari.
 Untuk omphalitis sederhana yang tidak terjadi komplikasi, dapat
diberikan terapi antibiotik jangka pendek selama 7 hari.
b. Nonfarmakologi
Penatalaksanaan omphalitis berdasarkan klasifikasi:

37
38

a) Infeksi tali pusat lokal atau


terbatas
Cara penanganannya :
 Biasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum memegang atau
membersihkan tali pusat, untuk mencegah berpindahnya kuman
dari tangan.
 Bersihkan tali pusat menggunakan larutan antiseptik (misalnya
klorheksidin atau iodium povidon 2,5%) dengan kain kassa yang
bersih.
 Olesi tali pusat pada daerah sekitarnya dengan larutan antiseptik
(misalnya gentian violet 0,5% atau iodium povidon 2,5%)
delapan kali sehari sampai tidak ada nanah lagi pada tali pusat.
 Anjurkan Ibu melakukan ini kapan saja bila memungkinkan. Jika
kemerahan atau bengkak pada tali pusat meluas melebihi area 1
cm, obati seperti infeksi tali pusat berat atau meluas.
b) Infeksi tali pusat berat atau
meluas
Cara penanganannya :
 Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan kultur
dan sensivitasi.
 Dapat diberikan pemberian antibiotik sesuai indikasi seperti
Kloksasilin oral selama lima hari jika terdapat pustule / lepuh
kulit dan selaput lendir.
 Cari tanda-tanda sepsis.
 Lakukan perawatan umum seperti dijelaskan untuk infeksi tali
pusat lokal atau terbatas (Gerdes, 2004).
9. Komplikasi

38
39

Patofisiologi komplikasi omphalitis erat kaitannya dengan anatomi


umbilikus. Infeksi dapat menyebar sepanjang arteri umbilikalis, vena
umbilikalis, sistem limfatik dinding abdomen, dan dengan penyebaran
langsung ke daerah perbatasan.

Gambar 4. Patofisiologi komplikasi dari omfalitis

Komplikasi yang dapat terjadi pada omphalitis berupa :


a. Necrotizing fasciitis
Necrotizing fasciitis adalah salah satu komplikasi serius yang paling
sering dilaporkan dari omphalitis, 1.8 – 12 terjadi dalam 26% dari pasien.
Telah tercatat terjadi pada 13.5% neonatus dengan omphalitis. Kondisi ini
dimulai dengan selulitis periumbilikalis, yang, tanpa pengobatan, dengan
cepat menjadi nekrosis kulit dan jaringan subkutan, dan dalam beberapa
kasus, mionekrosis.
Skrotum adalah yang paling sering terpengaruh oleh necrotizing
fasciitis, tetapi dinding perut juga mungkin terlibat. Jika diobati dini,
selulitis periumbilikalis dapat dikontrol dengan menggunakan antibiotik

39
40

parenteal spectrum luas. Rezim antibiotik harus selalu menyertakan sebuah


antianaerob seperti metronodazole.
Necrotizing fasciitis harus ditangani dengan debridement yang cepat,
menghapus semua jaringan yang mati, diikuti dengan perawatan luka
harian. Jika bayi terlalu sakit untuk anastesi umu, debridement dapat
dilakukan dengan menggunakan parasetamol parenteral atau perrektal
untuk analgesia. Luka yang dihasilkan nantinya akan memerlukan
penutupan sekunder (atau pencangkokan kulit jika cacat besar). Namun,
luka skrotum dapat sembuh dengan baik tanpa penutupan sekunder atau
pencangkokan kulit.

Gambar 5. Necrotising fasciitis awal yang dimulai dari umbilicus

b. Evisceration
Evisceration intestinal merupakan komplikasi serius yang sering
dilaporkan. Yang biasanya mengalami eviscerasi adalah usus halus, tetapi
usus besar mungkin terlibat. Secara jarang, presentasi klinik dapat timbul
lama, dan dapat menjadi gangren.
Eviserasi intestinal ini harus ditutupi oleh kain kasa lembab yang
bersih, dan ditempatkan dalam kantong usus (atau dapat juga pada kantong
plastic transparan). Perawatan dilakukan untuk memastikan bahwa usus
tidak terpelintir.
Di bawah anastesi umum, usus dibersihkan dan dikembalikan ke
rongga peritoneal dan umbilikus diperbaiki. Jika terdapat gangrene

40
41

peritonitis atau usus, sebuah laparotomi perlu dilakukan untuk


mengeringkan dan membersihkan setiap abses rongga peritoneal.

Gambar 6. Evisceral intestinal


c. Peritonitis
Peritonitis dapat terjadi dengan atau tanpa abses intraperitoneal. Jika
tidak terdapat abses, infeksi bisa diterapi dengan penggunaan antibiotik
intravena spectrum luas, dan operasi biasanya tidak diperlukan. Jika abses
intraperitoneal dikonfirmasi oleh USG, atau jika tidak ada fasilitas untuk
USG, maka laparotomi diperlukan. Abses apapun dikeringkan dan rongga
peritoneal dibersihkan.
d. Abses
Abses dapat terjadi di berbagai tempat, namun sering intraabdominal.
Abses intraperitoneal dilakukan drainase dengan laparotomi. Abses
retroperitoneal dilakukan drainase dengan pendekatan ekstraperitoneal,
tetapi jika terletak anterior di retroperitoneal tersebut, pendekatan
intraperitoneal mungkin diperlukan.
Abses hati harus benar-benar diketahui lokasinya dengan
ultrasonografi atau CT-scan. Abses disedot oleh jarum dengan lubang yang
lebar di bawah bimbingan pencitraan, dan rongga abses tersebut diairi
dengan normal saline. Hal ini dapat diulangi sekali lagi jika masih terdapat
abses. Dalam kasus-kasus sulit, atau kekambuhan setelah aspirasi jarum,
drainase terbuka mungkin diperlukan. Jika abses multiple, antibiotik
parenteral saja mungkin cukup, dan aspirasi / drainase disediakan untuk
kasus yang persisten. Abses dapat terletak di dinding perut anterior atau di

41
42

lokasi dangkal lainnya. Keadaan ini akan membutuhkan drainase.


Komplikasi lanjut yang dapat terjadi yakni:
 Thrombosis vena porta
Portal vein thrombosis (PVT) adalah komplikasi dengan konsekuensi
serius. Meskipun komplikasi awal, konsekuensi utama dihasilkan dalam
jangka panjang. Trombosis dapat menghasilkan carvernoma, yang dapat
menyebabkan obstruksi empedu. Sebuah shunt portosystemic mungkin
diperlukan jika hipertensi portal meningkat.

 Hernia umbilikalis
Hernia umbilikalis adalah masalah umum dan beberapa adalah hasil dari
melemahnya sikatriks umbilikus dari omphalitis neonatus.
 Adhesi peritoneal
Adhesi peritoneal adalah hasil dari subklinis sebelumnya. Adhesi dapat
menyebabkan obstruksi usus, yang biasanya tidak bisa menerima
tindakan nonoperatif. Laparotomi dan lisis / eksisi adhesi biasanya
diperlukan. Setiap segmen usus iskemik perlu direseksi (Ameh Ea,
2002).
10. Prognosis
Omphalitis uncomplicated yang diterapi dengan baik biasanya sembuh
tanpa morbiditas serius. Morbiditas dan mortalitas yang serius dapat terjadi
akibat komplikasi seperti necrotizing fasciitis, peritonitis, dan eviserasi.
Thrombosis vena portal dapat berakibat fatal.
Selain itu, faktor-faktor risiko tertentu seperti prematuritas, kecil masa
kehamilan, jenis kelamin (laki-laki), dan proses kelahiran yang sepsis, terkait
dengan prognosis yang buruk (Perry, 2005).
11. Pencegahan

42
43

Saat ini, sudah tidak digunakan pencucian tali pusat dengan bahan
medis, tetapi hanya menggunakan perawatan kering tali pusat sampai tali
pusat tersebut kering dan lepas dengan sendirinya. Merawat tali pusat
dengan prinsip bersih dan kering. Jadi, saat memandikan bayi, tali pusat juga
digosok dengan air dan sabun, lalu dikeringkan dengan handuk bersih
terutama daerah tali pusat yang masih berwarna putih di bagian pangkalnya
(tali pusat yang bermuara ke perut bayi). Bagian pangkal ini bisa dibersihkan
dengan cotton budpovidone yodine) dan biarkan terbuka sehingga cepat
mengering, atau dibungkus dengan kasa kering yang steril.
Hindari kontak langsung tali pusat dengan air kencing bayi karena air
kencing tersebut adalah salah satu penyebab timbulnya infeksi pada tali
pusat bayi. Menggunakan popok sekali pakai sebaiknya di bawah pusar
(Cunningham, 2005).

43
44

44
BAB III
ASUHAN KEBIDANAN

ASUHAN NEONATAL ABSTINENCE SYNDROME

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam

Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

2. Keluhan Utama

44
Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang tua bbl tersebut

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala yang terjadi (misal bayi
menangis terus menerus, tremor, kejang dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-jamuan dan obat yang
pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 ataulebih,Tidak ada ataupun jarang control kehamilan, Anak
sebelumnya yang tidak tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis ,Disorientasi selama anamnesa)
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara
persalinan (spontan, ekstraksi vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau kelainan congenital.
Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit , masalah-masalah yang berhubungan
dengan gangguan system, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna
kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya. Selama neonatal perlu dikaji
adanya asfiksia, trauma, dan infeksi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah
tangga yang harmonis dan pola asuh, asah, dan asih. Ekonomi dan adat

45
istiadat berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal eksternalyang
dapat memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta
keterampilan anak. Di samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan
bahan pangan, sandang, dan papan.
6. Pola fungsi kesehatan
Pola nutrisi, makanan pokok utama apakah ASI
Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan pada anak perlu di kaji
BAB atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi, jumlah, serta bau). Biasanya
untuk bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence Syndrom) ada gejala diare.
B. OBJECTIVE DATA
7. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2
Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda
seluruhnya
(warna kulit) Ekstremitas biru
Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100
kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)
Jumlah

46
8. Penilaian Down Score

Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah

Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 meski diberi
O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

9. Pemeriksaan Skoring NASS

47
48
10. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : pasien saat dikaji , kesan kesadaran, tanda-tanda vital
(perubahan suhu, frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi
jaringan). Ukuran berat badan bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence
Syndrom) ditandai dengan BBLR, suhu yang tidak stabil dan lebih sering
mengalami demam.
 Mata : reflex mata baik, sclera adakah ikterus, konjungtiva adakah anemis,
penurunan penglihatan (visus).
 Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik.

49
 Mulut/leher , keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia), adakah
pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah kelainan,
bengkak, dan gangguan fungsi). Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok)
yang dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
 Kulit, keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi, pada bayi dengan
NAS (Neonatal Abstinence Syndrom) ditandai kulit berkeringat, noda
kehitam-hitaman disekujur tubuh
 Thorak, bentuk simetris, gerakan
 Paru, normal vesicular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi ,wheezing).
 Jantung, pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.
 Genitalia, testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor pada
perempuan.
 Ekstremitas, reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang, sensibilitas,
tonus, dan motorik.
11. Pemeriksaan Reflek Primitif
Pada bayi dengan NAS (Neonatal Abstinence Syndrome) refleks hisap yang
tidak adekuat disertai gerakan seperti tremor di kedua lengan dan kaku seluruh
tubuh
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang biasa dilakukan pada bayi dengan NAS (Neonatal
Abstinence Syndrom) yaitu pemeriksaan darah, gula darah, elektrolit, darah
tepi, C-Reactive Protein (CRP), perbandingan neutrofil imatur dan neutrofil
total (rasio IT).
13. Intervensi
Hal yang paling tepat dilakukan bila mendapatkan bayi dengan NAS
(Neonatal Abstinence Syndrome adalah di rujuk ke RS yang memadai untuk
dilakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan lanjut)
14. Implementasi

50
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan dan sesuaikan dengan
keadaan pasien (Kolaborasi dengan dokter spesialis anak, perawat dan
juga tenaga gizi dalam penanganan lanjut)
15. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

ASUHAN KEBIDANAN

ASUHAN NEONATAL DENGAN HSV (HERPES)

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

51
Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam

Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

2. Keluhan Utama

Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang tua bbl tersebut

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala yang terjadi (misal bayi
lemah, demam,kejang dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal

52
a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-jamuan dan obat yang
pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 atau lebih,Tidak ada ataupun jarang control kehamilan, Anak
sebelumnya yang tidak tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis ,Disorientasi selama anamnesa) yang paling penting
adalah mengkaji adanya Riwayat penykit infeki yang diderita ibu saat
hamil missal infeksi TORCH, dll)
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara
persalinan (spontan, ekstraksi vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau kelainan congenital.
Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.mengkaji fktor risiko penyebab
infeksi yang terjadi pada saat proses persalinan misalnya KPD,
korioamnionitis dll
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit , masalah-masalah yang berhubungan
dengan gangguan system, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna
kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya. Selama neonatal perlu dikaji
adanya asfiksia, trauma, dan infeksi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah
tangga yang harmonis dan pola asuh, asah, dan asih. Ekonomi dan adat
istiadat berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal eksternalyang
dapat memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta

53
keterampilan anak. Di samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan
bahan pangan, sandang, dan papan.
6. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi = apakah bisa dilakukan IMD/tidak
 Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan pada anak
perlu di kaji BAB atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi,
jumlah, serta bau).

B. OBJECTIVE DATA
1. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2
Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda
seluruhnya
(warna kulit) Ekstremitas biru
Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100
kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)
Jumlah

54
2. Penilaian Down Score

Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah

Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 meski diberi
O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum pasien saat dikaji , kesan kesadaran, tanda-tanda vital
(perubahan suhu, frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi
jaringan). Pada kasus neonates dengan HSV timbul gejala letargi,
iritabilitas, demam atau hipotermia dan vesikel kulit dengan atau tanpa
gejala neurologi.Mata : Gerakan mata abnormal
 Kepala : Hidrocephali / microscephali

55
 Mata : terjadi inflamasi, katarak kongenital
 Telinga: ada kecacatan/tidak, simetris, fungsi pendengaran baik.
 Mulut/leher: keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia),
adakah pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah
kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi).
 Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang dapat mengganggu
proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
 Kulit: keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi.
 Thorak : bentuk simetris / tidak, danya retraksi /tidak
 Paru : normal vesicular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi ,wheezing).
 Jantung : pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.
 Genitalia : testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor
pada perempuan.

 Ekstremitas : reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang,


sensibilitas, tonus, dan motorik.

4. Pemeriksaan Diagnostik
. Hal ini harusnya dipertimbangkan ketika kultur bakteri negatif dalam 48 jam.
5. Diagnosis kebidanan

Diagnsosis berdasarkan kecurigaan klinis yang tinggi terutama ibu dengan


riwayat herpes genital

6. Rencana Intervensi
Kolaborasi dengan spesialis anak, perawat dan tenaga gizi untuk
penanganan dan perawatan lanjut. Pada dasarnya terapi infeksi HSV
neonatus bertujuan untuk :
 mengurangi lamanya perjalanan penyakit;

56
 mengurangi keparahan penyakit;
 mencegah terjadinya komplikasi;
 mengurangi kemungkinan kekambuhan.
7. Seluruh bayi baru lahir yang dicurigai atau terdiagnosis herpes neonatus harus
segera mulai mendapatkan obat antivirus yang aman dan efektif. 5-iodo-2-
deoxyuridine (idoxuridine, IDU), cytosine arabinoside, adenine arabinoside
dan asiklovir telah diteliti peranan dan keamanannya pada herpes neonatus.
Obat anti virus ini menghambat sintesis DNA dan kemudian menghambat
replikasi virion. Efek lebih banyak didapatkan pada terapi dini. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS DENGAN OMPHALITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

Bayi

Nama : By. ....

Umur : ... hari/jam

Tanggal/ jam lahir : / ... . ...

57
Jenis kelamin :

Orang tua

KRITERIA AYAH IBU

Nama

Umur

Suku/ Bangsa / /

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Alamat

2. Keluhan Utama

Mengkaji keluhan utama yang bisa ditanyakan ke orang tua bbl tersebut
biasanya ditandai dengan adanya nanah pada tali pusat, bau tidak sedap, dan
suhu tubuh meningkat

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

Mengkaji dari bayi baru lahir dan tanda gejala yang terjadi (misal bayi
lemah, tidak menangis dan lebih banyak tidur dll)

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


d. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-jamuan dan obat yang

58
pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.mengkaji faktor risiko ibu
(Gravida 4 atau lebih,Tidak ada ataupun jarang control kehamilan, Anak
sebelumnya yang tidak tinggal dengan ibunya, Riwayat CPS, Riwayat
penyakit kronis
e. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara
persalinan (spontan, ekstraksi vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan
gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau kelainan congenital.
Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.mengkaji faktor risiko penyebab
infeksi yang terjadi pada saat proses persalinan misalnya penggunaan alat
yang tidak steril saat pemotongan tali pusat.
f. Pascanatal
Pola perawatan tali pusat yang tidak higienis menjadi faktor pemicu
terjadinya omfalitis.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Status sosial dan ekonomi ibu,ras,dan latar belakang mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui
sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio dan ekonomi rendah mungkin nutrisinya
buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Sebagian masyarakat
misalnya dengan memberikan berbagai ramuan-ramuan atau serbuk-serbuk
yang dipercaya bisa membantu mempercepat kering dan lepasnya potongan
tali pusat
6. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi = apakah bisa dilakukan IMD/tidak
 Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan pada anak
perlu di kaji BAB atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi,
jumlah, serta bau).

59
B. OBJECTIVE DATA
1. Pemeriksaan Apgar Score

Aspek yang Nilai Jumlah


Menit 1
dinilai 0 1 2
Appearance Biru pucat Tubuh merah muda Merah muda
seluruhnya
(warna kulit) Ekstremitas biru
Pulse Tidak ada <100 kali/menit >100
kali/menit
(detak jantung)

Grimace Tidak ada Reaksi menyeringai Menarik


anggota gerak
(reflek) secara aktif

Activity Tidak ada Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


(tonus otot)

Respiratory Tidak ada Tangisan lemah Menangis


dengan kuat
(usaha nafas)
Jumlah

2. Penilaian Down Score

Aspek yang dinilai 0 1 2 Jumlah

Frekuensi Nafas < 60 x/ menit 60 – 80 x/ menit >80 x /menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi


berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


meski diberi

60
dengan O2 O2

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk

Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar Dapat


dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu

Jumlah

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum pasien saat dikaji , kesan kesadaran, tanda-tanda vital
(perubahan suhu, frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi
jaringan). Pada kasus omfalitis biasanya ditandai dengan tidak banyak
menangis,bayi yang terinfeksi umumnya tidak banyak menagis. Ia justru
lebih banyak tidur.Gejala ini juga ditandai bayi malas minum, demam, dan
kejang
 Mata : lebih banyak terpejam
 Telinga: simetris, fungsi pendengaran baik.
 Mulut/leher: keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia),
adakah pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah
kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi).

 Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang dapat mengganggu


proses pertumbuhan dan perkembangan anak.

61
 Kulit: keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi terutama pada
bagian tali pusat
 Thorak : bentuk simetris / tidak, danya retraksi /tidak
 Paru : normal vesicular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi ,wheezing).
 Jantung : pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.
 Genitalia : testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor
pada perempuan.
 Ekstremitas : reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang,
sensibilitas, tonus, dan motorik.

4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya akan dilakukan pada kasus ini,
seperti: pemeriksaan darah lengkap, Kultur darah, Kultur bakteri yang diambil
dari nanah tali pusat.
5. Diagnosis kebidanan

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Adanya tanda-tanda infeksi disekitar umblikus seperti
bengkak, kemerahan sampai keluarnya nanah.
6. Rencana Intervensi

Sebagai pengobatan lokal dapat diberikan salep yang mengandung neomisin


dan basitrasin. Selain itu juga dapat diberikan salep gentamisin. Jika terdapat
granuloma,dapat pula dioleskan dengan larutan nitras argenti 3% :

 Pertahankan tubuh bayi tetap hangat


 ASI tetap diberikan
 Diberi injeksi antibiotika berspekturum luas sesuai dosis. (basitrasin)
 Perawatan sumber infeksi, misalnya diberi salep yang mengandung
neomisin dan bastitrasin pada tali pusat yang terinfeksi

62
Cara penanganannya infeksi tali pusat local atau terbatas:
 Biasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum memegang atau
membersihkan tali pusat, untuk mencegah berpindahnya kuman dari
tangan.
 Cuci umbilikus dengan menggunakan larutan antiseptik polividon iodion
2,5%
 Apus umbilikus dan area di sekitar umbilikus dengan gentian violet 0,5%
empat kali sehari sampai tidak ada lagi pus yang keluar dari umbilikus,
 Kemudian berikan salep yang mengandung neomisin ataupun basitrasin .
Kandungan neosimin dan basitrasin berfungsi untuk pengobatan infeksi
dan membunuh bakteri gram yang ada
 Jika kemerahan atau bengkak pada tali pusat meluas melebihi area 1 cm,
obati seperti infeksi tali pusat berat atau meluas
 Jika infeksi telah bersih,bayi makan dengan baik dan tidak terdapat
masalah lain yang membutuhkan hospitalisasi ,pulangkan bayi.
Cara penanganannya infeksi tali pusat berat atau meluas :
 Ambil sampel darah dan kirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur
dan sensivitasi.
 Beri kloksasilin per oral selama 5 hari.jika terdapat pustule / lepuh kulit
dan selaput lendir.
 Cari tanda-tanda sepsis.
 Lakukan perawatan umum seperti dijelaskan untuk infeksi tali pusat lokal
atau terbatas.
7. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

63
BAB IV
KESIMPULAN

A. Neonatus dengan Ibu Kecanduan obat narkotika (NAS)


Neonatal Abstinence Syndrome (NAS) adalah sebuah istilah untuk
sekelompok masalah bayi yang disebabkan oleh pengaruh penggunaan narkoba
yang digunakan si ibu bayi. Hampir setiap obat berpindah dari aliran darah ibu
melalui plasenta ke janin. Zat akditif yang menyebabkan ketergantungan dan
kecanduan obat pada ibu juga menyebabkan janin menjadi kecanduan.
Saat lahir, bayi ketergantungan pada substansi tersebut terus berlanjut.
Namun, karena obat ini tidak lagi tersedia, sistem saraf pusat bayi menjadi
berlebihan menyebabkan NAS. Beberapa obat cenderung menyebabkan NAS
daripada yang lain, tapi hampir semua memiliki beberapa efek pada bayi. Opiat,
seperti heroin dan metadon, menyebabkan penarikan di lebih dari separuh dari

64
bayi mengalami kematian sebelum lahir. Kokain dapat menyebabkan beberapa
penarikan, tetapi gejala utama pada bayi disebabkan oleh efek racun dari obat itu
sendiri. Obat lain seperti amfetamin, barbiturat, dan narkotika juga berakibat
kurang lebih sama. Alkohol menyebabkan pada bayi mengalai beberapa kelaian
termasuk cacat lahir yang disebut sindrom alkohol pada janin.
Gejala
Berikut ini adalah gejala yang paling umum dari sindrom pantang bayi. Namun,
setiap bayi mungkin mengalami gejala yang berbeda. Gejala tersebut dapat
meliputi:
 tremor (gemetar)
 iritabilitas (berlebihan menangis)
 masalah tidur
 tangisan bernada tinggi
 otot kencang

65
 hiperaktif refleks
 kejang
 menguap, hidung tersumbat, dan bersin
 kurang nafsu makan dan minum air susu ibu
 muntah
 diare
 dehidrasi
 berkeringat
 temperatur demam atau suhu yang tidak stabil
Pengobatan
Pengobatan khusus untuk NAS akan ditentukan oleh dokter bayi Anda
berdasarkan: usia kehamilan bayi, kesehatan menyeluruh, dan riwayat kesehatan
luasnya
B. Neonatus dengan Ibu Penderita Herpes
Infeksi Herpes simplex virus (HSV) pada neonatus merupakan infeksi HSV
pada bayi baru lahir sampai dengan 28 hari postpartum. Infeksi HSV neonatus
sebagian besar disebabkan oleh Herpes Simplex Virus tipe 2 (HSV-2) hanya
sebagian kecil disebabkan oleh HSV-1. Ibu dengan herpes genitalis primer
episode pertama mempunyai derajat penularan yang paling besar, sedangkan ibu
dengan herpes genitalis rekuren mempunyai derajat penularan yang lebih rendah.
Gejala klinik infeksi HSV neonatus sangat bervariasi, mulai yang asimtomatik
sampai gejala berat dan mengancam jiwa. Gambaran klinis infeksi HSV neonatus
terdiri dari tiga jenis: (1) infeksi yang mengenai kulit, mata dan mulut (KMM) ;
(2) infeksi HSV neonatus yang mengenai SSP, terutama dalam bentuk ensefalitis;
(3) infeksi HSV neonatus diseminata. Pemeriksaan pilihan adalah kultur virus
dari lesi serta pemeriksaan PCR dari lesi, darah atau cairan serebrospinal.
Pengobatan pilihan untuk infeksi HSV neonatus adalah pemberian asiklovir
intravena dengan dosis 60 mg/kg/hari. Untuk penyakit tipe KMM diberikan
selama 14 hari, sedangkan untuk infeksi SSP atau yang menyebar diberikan
selama 21 hari. Untuk pencegahan infeksi HSV neonatus dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan melakukan persalinan sectio caesaria, pemberian
terapi supresif antivirus, vaksin HSV, pencegahan infeksi HSV selama kehamilan
dan pencegahan infeksi postnatal pada pihak ibu hamil
C. Neonatus dengan Ompalitis
Infeksi umbilikus atau omfalitis merupakan infeksi yang umumnya terjadi
pada neonatus dan dapat menjadi penyebab mortalitas bayi pada negara miskin
atau berkembang. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya kebersihan pada saat
persalinan maupun perawatan tali pusat. Infeksi pada tali pusat berhubungan
dengan tetanus neonatorum yang dapat menimbulkan spasme dan kejang pada
neonatus.
Kematian akibat omfalitis yang menimbulkan komplikasi adalah sekitar 7-
15% dari seluruh neonatus dengan omfalitis. Angka kematian meningkat hingga
38-87% bila telah terjadi komplikasi necrotizing fasciitis atau myonekrosis.
Untuk itu diperlukan langkah pencegahan, deteksi dini oleh tenaga kesehatan,
dan penatalaksanaan yang tepat untuk bayi dengan omfalitis.
Tatalaksana bayi dengan infeksi umbilikus meliputi terapi farmakologis
hingga pembedahan disertai dengan perawatan suportif terhadap komplikasi
seperti gagal nafas. Pemberian antibiotik parenteral kombinasi penisilin
vankomisin antistaphylococcus dan aminoglikosida direkomendasikan. Terapi
pembedahan ditujukan untuk melakukan debridement pada jaringan dan otot
dengan necrotizing fasciitis dan myonekrosis. Keterlambatan diagnosis dapat
menimbulkan perburukan dan penyebaran dari jaringan yang nekrosis. Lakukan
rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dengan spesialis anak dan
bedah.
Bila omfalitis disertai dengan gejala sistemik, berikan nutrisi melalui jalur
parenteral. Pemberian makanan secara enteral sebaiknya tidak dilakukan hingga
infeksi akut dan ileus teratasi. Untuk mencegah terjadinya omfalitis, pemberian
antimikroba pada tali pusat merupakan hal rutin dalam perawatan tali pusat
47

terutama pada negara berkembang. Antimikroba yang dapat digunakan adalah


triple dye, povidone iodine, silver sulfadiazine, bacitracin, dan chlorhexidine 4%.
WHO merekomendasikan pemberian chlorhexidine topikal pada tali pusat pada 1
minggu pertama setelah lahir. Namun pemberian antimikroba ini masih
menimbulkan kontroversi.
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasi untuk kembali ke
perawatan tali pusat kering tanpa pemberian antimikroba topikal. Perawatan tali
pusat secara kering menyebabkan pelepasan tali pusat lebih cepat, namun juga
dilaporkan dapat menyebabkan tali pusat lebih basah, berbau dan kolonisasi
bakteri. WHO tetap merekomendasikan perawatan dengan antimikrobial topikal
disertai dengan antibiotik oral maupun parenteral.
Terdapat 6 langkah untuk mencegah dan mengobati omfalitis dari WHO:
 Menggunakan sistem disinfektan lokal dan topical
 Modulasi imun dengan Taurox topikal atau sublingual
 Antimikroba oral dan intravena
 Perawatan luka dengan medicated dressings
 Dukungan nutrisi dan imunitas
 Skrining kesehatan dan edukasi
Infeksi umbilikus sudah jauh menurun kejadiannya di Indonesia, meskipun
begitu sebagai dokter di faskes primer, kemampuan diagnosis dan terapi infeksi
umbilikus tetap wajib dikuasai.
DAFTAR PUSTAKA

Derita Bayi yang Lahir dri Ibu Pengguna Narkoba (tirto.id) diakses tanggal 15 juni 2022
http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview diakses tanggal 20 Juni 2022
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33509 diakses tanggal 20 Juni 2022
http://www.medscape.com/viewarticle/472409_print diakses tanggan 20 Juni 2022
Mengenali Neonatal Abstinence Syndrome : Morbiditas dan Mortilitas - Alomedika diakses
tanggal 15 Juni 2022
Neonatal Abstinence Syndrome | Pediatrics | American Academy of Pediatrics (aap.org) di
akses tanggal 15 juni 2022
Neonatal abstinence syndrome: assessment and management. - Abstract - Europe PMC di
akses tanggan 15 juni 2022

v
EVALUASI

1. Seorang bbl gemetaran di tempat tidur Rumah Sakit,kaki kecilnya berkedut"tak


terkendali & mengepalkan tangannya juga terengah-engah seperti kejang,usia bayi
baru beberapa minggu,bayi tersebut menderita akibat apa :
a. Tetanus neonatorum
b. Kejang
c. Aspiksia neonatorum
d. Penghentian obat p sikotropika
Jawaban: D
2. Jika pada bayi baru lahir terdapat ada nanah atau benjolan berisi cairan di dekat tali
pusat bayi,atau ada kemerahan di sekitar tali pusat,yang akan menjadi gelap saat
infeksi tali pusat berlanjut,gejala lainnya bisa saja seperti adanya pembengkakan
pada perut,keluarnya cairan berbau busuk dari daerah yang
terinfeksi,demam,pendarahan di sekitar tali pusat,bayi rewel,terlihat lesu,aktivitas
menurun,di sebut tanda dan gejala:
a. Meningitis
b. Omphalitis
c. Distensi perut
d. Ikterus neonatorum
Jawaban : O
3. Seorang ibu hamil yg kecanduan Napza,biasanya bayi yang di lahirkannya akan
mengalami kondisi sbb:
a. Hipotermi
b. Pertambahan berat badan yang cepat
c. Hiperaktif
d. Demam,kejang,Diare, muntah,peningkatan BB yang lambat
Jawaban : D
4 . Ibu hamil primi,usia kehamilan 9 mgg,sedang terinfeksi herpes pada genitalia
dan paha kiri,mengeluh panas,kadang"keluar plek dan sakit perut bagian
bawah,bidan langsung melakukan kolaborasi dengan dokter Puskesmas untuk
rujukan ke Rumah Sakit,maka ibu ini rentan akan terjadi
a. Febris
b. Infeksi saluran kencing
c. Abortus
d. Abortus provocatus
Jawaban : B
5. Seorang ibu nifas mengidap penyakit herpes pada kedua puting susunya,apakah ibu
tersebut bisa mnyusui bayinya?
a. Ibu boleh mnyusui bayi seperti biasa
b. Ibu boleh mnyusui selama ibu tidak merasakan nyeri
c. Ibu di larang mnyusui untuk menghindari penularan pada bayi
d. Jawaban a,b,c salah semua
Jawaban : C

Anda mungkin juga menyukai