Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MAKALAH

DETEKSI DINI PENYAKIT YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN


PERSALINAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Patologi yang diampu oleh
Ni Wayan Suarniti.,SST.,M.Keb

Oleh :
Mahasiswa Semester VI / Sarjana Terapan

1. Ni Kadek Mita Widiari P07124218004


2. Ni Putu Risma Sintya Jayanti P07124218005
3. Putri Nur Asyifa P07124218008
4. Made Vira Yudia Rartri P07124218009
5. Dwi Wulan Tuisnayani P07124218010

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PRODI SARJANA TERAPAN
JURUSAN KEBIDANAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Deteksi Dini Penyakit Yang
Menyertai Kehamilan dan Persalinan” tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun secara
maksimal dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Patologi, jurusan
Kebidanan tahun ajaran 2021/2022.
Selama proses penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Yth:
1. Ni Wayan Suarniti SST.,M.Keb selaku Pengampu Mata Kuliah Asuhan Kebidanan
Patologi yang telah membimbing dan membina saya dalam menyelesaikan makalah
ini.
2. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung, baik
berupa material maupun non-material demi terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan baik dari segi
susunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan dan
kekurangan tersebut. Dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang
membangun dari pembaca dengan harapan agar kami mampu menyusun makalah dengan
lebih baik lagi. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
inspirasi bagi pembaca.

Denpasar, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Tujuan ....................................................................................................................2
C. Manfaat ..................................................................................................................2

BAB II KAJIAN TEORI


A. Penyakit TB paru pada kehamilan dan persalinan................................................3
B. Penyakit ginjal pada kehamilan dan persalinan....................................................9
C. Penyakit jantung pada kehamilan dan persalinan...............................................13
D. Penyakit DM pada kehamilan dan persalinan.....................................................21
E. Penyakit asma pada kehamilan dan persalinan...................................................26

BAB III PENUTUP


A. Simpulan.............................................................................................................28
B. Saran...................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan suatu tahapan
perkembangbiakan manusia yang alamiah, namun tetap harus diwaspadai dan
dipantau agar tidak menjadi berisiko. Setiap ibu hamil merupakan ibu hamil dengan
faktor risiko. Faktor risiko merupakan situasi dan kondisi serta keadaan umum ibu
selama kehamilan, persalinan dan nifas yang dapat memberikan ancaman pada
kesehatan dan jiwa ibu maupun janin yang dikandungnya, terutama pada ibu yang
tidak mendapatkan asuhan dari tenaga kesehatan.
Risiko adalah suatu ukuran statistik dari peluang atau kemungkinan untuk
terjadinya suatu keadaan gawat-darurat yang tidak diinginkan pada masa mendatang,
yaitu kemungkinan terjadi komplikasi obstetrik pada saat persalinan yang dapat
menyebabkan kematian, kesakitan, kecacatan, atau ketidakpuasan pada ibu atau bayi
(Rochjati, 2011). Faktor risiko adalah keadaan yang menambah risiko kehamilan,
tetapi tidak secara langsung meningkatkan risiko kematian ibu maupun bayi. Semakin
banyak faktor risiko yang ditemukan pada ibu hamil maka semakin tinggi risiko
kehamilannya (Saifudin, 2009).
Bebarapa peneliti (Rochjati, 2011) menetapkan kehamilan dengan risiko tinggi
sebagai berikut : primipara muda berusia < 16 tahun, primipara tua berusia > 35
tahun, primipara skunder dangan usia anak terkecil diatas 5 tahun, tinggi badan < 145
cm, riwayat 2 kehamilan yang buruk (pernah keguguran, pernah persalinan prematur,
bayi mati dalam kandungan), riwayat persalinan dengan tindakan (ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep, operasi sesar), pre-eklamsi-eklamsia, gravid serotinus, kehamilan
dengan perdarahan antepartum, kehamilan dengan kelainan letak, kehamilan dengan
penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan. Risiko tinggi atau komplikasi kebidanan
pada kehamilan merupakan keadaan yang abnormal, yang secara langsung
menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Untuk menurunkan angka kematian ibu secara bermakna maka deteksi dini
dan penanganan ibu hamil berisiko atau komplikasi kebidanan perlu lebih
ditingkatkan baik fasilitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) maupun di
masyarakat. Adapun penyakit penyerta yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu
1
penyakit TB paru pada kehamilan, penyakit ginjal, jantung, diabete, dan asma pada
kehamilan dan persalinan.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah, yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Patofisiologis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui deteksi dini penyakit TB Paru pada kehamilan
b. Untuk mengetahui deteksi dini penyakit Ginjal pada kehamilan.
c. Untuk mengetahui deteksi dini penyakit Jantung pada kehamilan.
d. Untuk mengetahui deteksi dini penyakit DM pada kehamilan.
e. Untuk mengetahui deteksi dini penyakit Asma pada kehamilan.
C. Manfaat
Apabila tujuan dari pembuatan makalah tentang penulisan ini tercapai, maka
manfaat dari makalah ini adalah dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang
deteksi dini penyakit penyerta pada kehamilan dan persalinan agar dapat mengurangi
masalah masalah keterlambatan penanganan pada ibu hamil yang memiliki penyakit.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. TB Paru Pada Kehamilan dan Persalinan
Tuberkolosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacter
um Tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai-sel (Cell- Mediated-
Hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ
lain. (Arif Mansjoer, 2000)
Sejak zaman Hippokrates, adanya kehamilan dianggap menguntungkan pada
pasien-pasien tuberkulosis paru, tetapi sejak pertengahan abad 19 pendapat berubah
berlawanan. Kehamilan dianggap memperburuk penyakit tuberkulosis. Wanita yang
mengidap tuberkulosis paru dianjurkan untuk tidak hamil atau bila telah terjadi
konsepsi maka dianjurkan untuk dilakukan aborsi. Tetapi saat ini, aborsi terapetik
jarang dilakukan kecuali atas indikasi komplikasi TB paru pada kehamilan. Pada
kenyataannya, terdapat perburukan penyakit sebesar 15%-30% pada pasien yang tidak
diobati. Tidak terdapat peningkatan reaktivasi pada pasien TB paru pada saat
kehamilan. Jumlah reaktivasi berkisar antara 5%- 10% pada saat kehamilan atau pada
saat tidak hamil. Beberapa penelitian sebelum era kemoterapi terhadap tuberkulosis
menunjukkan, selama kehamilan perjalanan penyakit tuberkulosis paru relatif stabil,
tetapi perjalanan penyakit menjadi progresif sejak ± 6 minggu setelah melahirkan
Beberapa teori diajukan untuk menjelaskan fenomen ini antara lain faktor kadar
estrogen yang meningkat pada bulan pertama kehamilan, kemudian tiba-tiba menurun
segera setelah melahirkan. Disamping faktor lain yang memperburuk tuberkulosis
paru pada masa nifas adalah trauma pada waktu melahirkan, kesibukan atau kelelahan
ibu siang dan malam mengurus anak yang baru lahir dan faktor-faktor sosial ekonomi.
Sejak ditemukannya obat-obat anti tuberkulosis, kontroversi pengaruh kehamilan
terhadap tuberkulosis paru dianggap tidak begitu penting. Pasien tuberkulosis aktif
dengan kehamilan dan mendapat kemoterapi adekuat mempunyai prognosis yang
sama seperti pasien tuberkulosis paru tanpa kehamilan. Kecepatan dalam diagnosis
dan tatalaksana sangat berperan dalam prognosis penyakit tuberkulosis. Mortalitas
wanita hamil yang baru diketahui menderita tuberkulosis paru sesudah hamil adalah
2x lipat dibandingkan wanita hamil yang telah diketahui menderita tuberkulosis paru
sebelum dia hamil. Pasien-pasien yang tidak mendapat kemoterapi adekuat, yang
3
resisten terhadap terapi, sesudah melahirkan karena diafragma turun mendadak,
komplikasi yang sering dijumpai adalah hemoptisis atau penyebaran kuman secara
hematogen atau tuberkulosis milier.
1. Pengaruh Tuberkulosis Paru terhadap Kehamilan
Dulu pernah dianggap bahwa wanita dengan tuberkulosis paru aktif
mempunyai insidensi yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan wanita hamil
tanpa infeksi tuberkulosis paru dalam hal abortus spontan dan kesulitan persalinan.
Banyak sumber yang mengatakan peranan tuberkulosis terhadap kehamilan antara lain
meningkatnya abortus, pre-eklampsi, serta sulitnya persalinan. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa hal tersebut tergantung dari letak tuberkulosis apakah paru atau
nonparu serta apakah tuberkulosis terdiagnosis semasa kehamilan. Pada penelitian
terhadap wanita-wanita Indian yang mendapat pengobatan selama 6-9 bulan semasa
kehamilan maka kematian janin 6 kali lebih besar dan insidens dari: prematuritas,
KMK ( kecil untuk masa kehamilan), BBLR (berat badan lahir rendah) (<2500g)
adalah 2 kali lipat. Pengaruh tidak langsung tuberkulosis terhadap kehamilan ialah
efek teratogenik terhadap janin karena obat anti tuberkulosis yang diberikan kepada
sang ibu. Efek samping pasien yang mendapat terapi anti tuberkulosis yang adekuat
adalah gangguan pada traktus genitalis dimana traktus genitalis terinfeksi dari fokus
primer TB paru. Tuba falopii biasanya merupakan tempat pertama yang terinfeksi
terutama tuba falopii bagian distal. bila infeksinya menyebar maka tuba falopii
bagian proximal dan bahkan uterus dapat terinfeksi. Infeksi jarang mengenai cervix
atau tractus genitalia bagian bawah. Tidak seperti TB paru, infeksi pada genital
biasanya tidak menunjukkan gejala yang berarti, memerlukan beberapa tahun bisa
menimbulkan kerusakan yang besar dan terjadinya perlengketan pada rongga pelvis,
walaupun pasien dengan TB pelvis biasanya steril, tetapi kadang- kadang dapat
terjadi konsepsi tetapi implantasinya lebih sering terjadi pada tuba daripada intra
uterin.
2. Tuberkulosis Kongenital
Tuberkulosis kongenital yang terjadi secara hematogen yang disebabkan oleh
infeksi pada plasenta yang didapat dari ibu yang menderita tuberkulosis paru.
Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dari amnion, desidua, dan vili
chorionic. Walaupun infeksi fetal yang didapat secara langsung dari darah ibu tanpa
pembentukan lesi caseosa pada plasenta yang pernah dilaporkan pada binatang
4
percobaan, tetapi ini tidak jelas terjadi pada manusia. Bila tuberkulosis menyebar
melalui plasenta dari peredaran darah ibu ke peredaran darah janin, infeksi dapat
terjadi. Bayi juga dapat terinfeksi selama atau segera setelah kelahiran dari
terhirupnya bahan yang terinfeksi, atau dari penolong persalinan atau orang lain yang
menderita tuberkulosis paru aktif dengan sputum positif. Bila seorang anak terinfeksi
sebelum lahir, ibunya pasti menderita tuberkulosis selama kehamilan. Kuman
tuberkulosis telah mencapai janin melalui darah ibunya.
Ibu tersebut pasti menderita infeksi primer yang baru, atau penyakit yang progresif.
Selama infeksi primer yang baru, seringkali ada suatu periode dimana kuman akan
mencapai aliran darah. Kuman melalui plasenta memasuki peredaran darah janin.
Setelah itu kuman terbawa melalui vena umbilikalis kehati. Kebanyakan anak tampak
sehat pada saat lahir, tetapi pada usia sekitar 3 minggu, berat badan bayi tersebut tidak
naik dan bayi tersebut menjadi ikterik dengan tinja berwarna dempul dan air seni
berwarna gelap. Hati dan limfa membesar. Bayi tersebut menderita ikterus obtruktif
akibat adanya fokus primer pada hati dan kelenjar getah bening yang membesar dan
menghalangi aliran empedu ke porta hepatis. Penyebab ikterus yang lain pada masa
tersebut harus disingkirkan. Terkadang kuman dapat melalui duktus venosus
kejantung dan paru, yang menjadi lokasi infeksi. Bila anak telah terinfeksi selama atau
segera sesudah lahir, penyakit tersebut tidak nyata sebelum 3 sampai 4 minggu dan
kemudian dengan cepat menyerupai pneumonia akut. Tanda-tanda awal dapat
menyerupai serangan sianosis atau batuk, tetapi penyakit tersebut dapat berkembang
dengan pesat dan dapat terdengar ronki basah pada kedua sisi paru. Bila diambil foto
thorax, akan tampak kelainan peradangan pada kedua sisi paru. Satu-satunya harapan
adalah untuk mempertimbangkan kemungkinan tuberkulosis dan memeriksa bilas
lambung. Kuman tuberkulosis umumnya ditemukan dalam jumlah besar. Tes
tuberkulin negatif. Begitu diagnosis ditegakkan, segera harus diberikan pengobatan
lengkap. Sejumlah anak dengan keadaan tersebut berhasil disembuhkan. Kriteria
diagnosis meliputi : pemeriksaan bakteriologi yang positif, ditemukannya komplek
primer pada hati, penyakit timbul dalam beberapa hari sejak bayi lahir dan adanya
infeksi extrauterin dapat disingkirkan.
Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, meliputi : demam, kegagalan
pertumbuhan, limfadenopathi, hepatomegali & splenomegali. Obat yang diberikan
merupakan kombinasi NH (10-20 mg/kg/hari), etambutol (15 mg/kg/hari) dan
5
rifampisin (15 mg/kg/hari).
Walaupun infeksi fetal yang didapat secara langsung dari darah ibu tanpa
pembentukan lesi kaseosa pada plasenta yang pernah dilaporkan pada binatang
percobaan, tetapi ini tidak jelas terjadi pada manusia. Tuberkulosis kongenital jarang
terjadi bila ibu mendapat pengobatan yang efektif pada saat kehamilan.
3. Penatalaksanaan
a. Umum
Penatalaksanaan Pasien Hamil dengan Tes PPD Positif
b. Masalah Kehamilan Trimester 1
1) Kurangi aktivitas fisik (bedrest); Terpenuhinya kebutuhan nutrisi (tinggi
kalori tinggi protein); Pemberian vitamin dan Fe; Dukungan keluarga &
kontrol teratur.
2) Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan
segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada orang-orang disekitarnya.
Dahulu pasien tuberkulosis paru dengan kehamilan harus dirawat dirumah
sakit, tetapi sekarang dapat berobat jalan dengan pertimbangan istirahat
yang cukup, makanan bergizi, mencegah penularan pada keluarga dll.
3) Bila pada pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis paru
(batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu makan
menurun, nyeri dada,dll) maka sebaiknya diperiksakan PPD (Purified
Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan pemeriksaan foto
dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka tuberkulosis maka
dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali dan biakan BTA. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan kelainan bakteriologis, tetapi
diagnosis dapat juga dengan gejala klinis ditambah kelainan radiologis
paru.
Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang diperlukan
perawatan, untuk membuat diagnosis serta untuk memberikan pendidikan. Perlu
diterangkan pada penderita bahwa mereka memerlukan pengobatan yang cukup
lama dan ketekunan serta ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit akan
sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita.
Penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan
tertawa. Pengobatan terutama dengan kemoterapi, dan sangat jarang diperlukan
6
tindakan operasi. TBC paru tidak merupakan indikasi untuk abortus buatan dan
terminasi kehamilan
c. Masa kehamilan trimester II dan III
Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu dapat
pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya jangan dicampurkan dengan
wanita hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal dan ketika mendekati persalinan
sebaiknya dirawat di rumah sakit; dalam kamar isolasi. Gunanya untuk mencegah
penularan, untuk menjamin istirahat dan makanan yang cukup serta pengobatan
yang intensif dan teratur. Dianjurkan untuk menggunakan obat dua macam atau
lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Untuk diagnosis pasti dan

pengobatan selalu bekerja sama dengan ahli paru-paru.3-5 Penatalaksanaan sama


dengan masa kehamilan trimester pertama tetapi pada trimester kedua
diperbolehkan menggunakan rifampisin sebagai terapi
d. Masa Persalinan
Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selama kehamilan biasanya
masuk kedalam persalinan dengan proses tuberkulosis yang sudah tenang.
Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak aktif lagi, dapat
berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif, penderita
ditempatkan dikamar bersalin tertentu ( tidak banyak digunakan penderita lain).
Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat misalnya dengan tindakan ekstraksi
vakum atau forsep, dan sedapat mungkin penderita tidak mengedan, diberi masker
untuk menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke
sekitarnya. Sedapat mungkin berlangsung pervaginam. Sedangkan sectio caesarea
hanya dilakukan atas indikasi obstetrik dan tidak atas indikasi tuberkulosis paru.
e. Masa Nifas
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kehamilan terhadap
tuberkulosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal tersebut mungkin karena
faktor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan bayinya dll.
Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal persalinan berjalan lancar,
tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Cegah terjadinya perdarahan pospartum
seperti pada pasien-pasien lain pada umumnya. Setelah penderita melahirkan,
penderita dirawat diruang observasi selama 6-8 jam, kemudian penderita dapat

7
dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta
nasihat perawatan masa nifas yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak
mungkin dipulangkan, harus dirawat di ruang isolasi.

1) Pencegahan pada Bayi


a) Jangan pisahkan anak anak dari ibunya, kecuali ibu sakit sangat parah,
b) Apabila ibu dahak negatif, segera bayi diberikan BCG,
c) Apabila dahak sediaan langsung ibu positif selama kehamilan, atau tetap
demikian saat melahirkan,
- Bila bayi tampak sakit saat dilahirkan dan anda mencurigai adanya
tuberkulosis kongenital berilah pengobatan anti TB yang lengkap.
- Bila anak tampak sehat, berikanlah isoniazid 5 mg/kgbb dalam dosis
tunggal setiap hari selama 2 bulan. Kemudian lakukan tes tuberkulin.
Jika negatif, hentikan isoniazid dan berikan BCG. Jika positif,
lanjutkan isoniazid selama 4 bulan lagi. Jangan berikan BCG pada saat
diberikan isoniazid atau jangan lakukan tes tuberkulin dan berikan
isoniazid selama 6 bulan
d) Di banyak negara adalah paling aman bagi ibu untuk menyusui bayinya. Air
Susu Ibu (ASI) merupakan gizi yang paling tinggi mutunya bagi bayi.
2) Laktasi
Kontak segera antara ibu dan anak diperbolehkan jika ibu telah mendapatkan
pengobatan dan tidak terdapat reaktivasi penyakit. Ibu dengan tuberkulosis
aktif baru dapat berhubungan dengan bayinya minimal 3 minggu pengobatan,
dan bayinya juga mendapat isoniazid. Tidak ada kontraindikasi untuk menyusui
pada ibu yang menderita tuberkulosis, walaupun obat antituberkulosis
ditemukan pada air susu ibu tetapi jumlahnya sangat rendah dan resiko
keracunan pada bayi sangat minimal. Anda perlu menginstruksikan pasien di
rumah sakit agar menutupi mulut di saat batuk dan saat sedang menyusui.

Batuk harus ke dalam tisu yang sekali pakai.5-8 Yang penting adalah
pendidikan pada penderita dan keluarganya tentang keadaan penyakit TB paru
yang sedang diidap serta bahaya penularan penyakit TBC ini pada anaknya,
sehingga penderita dan keluarganya menyadari sepenuhnya bagaimana cara
melakukan perawatan bayinya dengan baik.

8
4. Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun
setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah
sputum BTA mikroskopik dan foto thorax. Sputum BTA mikroskopis 3, 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto thoraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.
B. Ginjal Pada Kehamilan dan Persalinan
1. Pengertian
Pada ibu hamil dengan penyakit ginjal kronis (PGK), struktur dan fungsi ginjal
mengalami kerusakan sehingga ginjal tidak dapat beradaptasi dengan kehamilan
seperti umumnya dan mengalami peningkatan risiko bagi ibu maupun janin,
termasuk dalam penurunan yang cepat dari fungsi ginjal sehingga dapat
menyebabkan kematian perinatal. Secara empiris, kehamilan pada ibu yang
mengalami kelainan ginjal kronis merupakan kehamilan dengan risiko yang tinggi.
Hal ini dikarenakan oleh kehamilan yang memiliki kelainan-kelainan pada ginjal
seperti infeksi saluran kemih, hipertensi dan lain sebagainya (Prasanto, 2019).
Secara fisiologi, ginjal mengalami perubahan hemodinamik, tubulus ginjal,
dan perubahan endokrin selama kehamilan. Adaptasi ginjal untuk kehamilan
diantisipasi sebelum konsepsi, yaitu menjelang akhir setiap siklus menstruasi, laju
filtrasi glomerulus (GFR) akan meningkat 10-20%. Jika kehamilan terjadi, GFR
terus meningkat, sehingga pada kehamilan 16 minggu, nilai GFR 55% di atas nilai
GFR pada seseorang yang tidak hamil. Kenaikan ini dimediasi melalui peningkatan
aliran darah ginjal pada trimester kedua yang mencapai maksimum 70-80% di atas
nilai yang tidak hamil, sebelum turun pada saat aterm menjadi sekitar 45% di atas
nilai yang tidak hamil. Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal
menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus hingga 50-70% diatas normal di
dua trimester awal dan tetap 40% di atas normal pada trimester ketiga. Peningkatan
aliran darah ginjal ini disebabkan adanya peningkatan curah jantung dan penurunan
resistensi vaskuler ginjal akibat vasodilatasi vaskularisasi ginjal (Aprilia, 2019).
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu spektrum dari berbagai proses
patofisiologi yang berkaitan dengan kelainan fungsi ginjal serta penurunan
progresif laju filtrasi glomerulus (LFG), yang pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
9
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, diikuti dengan penimbunan sisa
metabolism protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang pada
derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal permanen, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Aprilia, 2019).
2. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulo interstitial
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius
belum muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan tidak bertenaga, susah
berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan, susah tidur,
kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan pergelangan kaki pada malam
hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama pada malam hari. Pada LFG di
bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti,
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran
nafas. Sampai pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
3. Diagnosis
Jika penyakit ginjal kronik dapat dikenali secara dini, maka pengobatan dapat
segera dimulai, dengan demikian komplikasi akibat penyakit ini dapat dicegah.
10
Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
penyakit ginjal sedini mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat diberikan.
Untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini dapat dilakukan dengan
pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin,
ureum, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Pemeriksaan urin dengan melihat kadar
albumin atau protein (Kemenkes RI, 2017).
4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis
Wanita hamil dengan penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Wanita hamil dengan insufisiensi renal ringan (kreatinin serum <1,4 mg/dl) dan
tanpa hipertensi
b. Wanita hamil dengan insufisiensi renal moderat/sedang ( kreatinin serum 1,4-
2,8 mg/dl)
c. Wanita hamil dengan insufisiensi renal berat (kreatinin serum > 2,8 mg/dl).
Wanita dengan insufisiensi renal ringan, tingkat mortalitas perinatal rendah
dan kehamilan tidak terlalu mempengaruhi penyakit dasar. Pada wanita dengan
insufisiensi renal sedang atau berat, masalah yang berkaitan dengan memburuknya
fungsi ginjal, hipertensi dan/ atau komplikasi obstetri semakin meningkat (Aprilia,
2019).
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) baik secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis
kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara
langsung, tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu
penanda filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik
klinis adalah kreatinin serum (Kemenkes RI, 2017).
Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD KDIGO)
proposed classification, dapat dibagi menjadi :

11
Sumber : (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan albumin didalam urin (albuminuia), penyakit ginjal kronis dibagi
menjadi :

Sumber : (Kemenkes RI, 2017).


5. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul karena penyakit ginjal biasanya sangat umum
(juga tampak pada penyakit lain) seperti :
a. Tekanan darah tinggi
b. Perubahan jumlah kencing dan berapa kali kencing dalam sehari
c. Adanya darah dalam kencing
d. Rasa lemah serta sulit tidur
e. Kehilangan nafsu maka
f. Sakit kepala
g. Tidak dapat berkonsentrasi
h. Gatal
i. Sesak
j. Mual dan muntah
k. Bengkak, terutama pada kaki dan pergelangan kaki,bengkak pada kelopak mata
waktu bangun tidur pagi hari
6. Penatalaksanaan
Wanita dengan PGK harus memahami dampak jangka panjang yang ditimbulkan
12
terhadap fungsi ginjal bila terjadi kehamilan, namun apabila seseorang merencanakan
kehamilan, yang harus diperhatikan adalah untuk menghindari obat-obatan yang
bersifat fetotoksik, seperti ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor dan ARB
(angiotensin II receptor blocker). Asam folat 400 µg/hari juga sebaiknya diberikan
dari sebelum kehamilan hingga kehamilan 12 minggu. Aspirin dosis rendah (50-150
mg/hari) dianjurkan untuk diberikan dari awal kehamilan untuk mengurangi risiko
preeklampsia dan memperbaiki kondisi perinatal. Pemantauan gejala klinis,
laboratorium, maupun pemeriksaan USG harus ditingkatkan seiring besarnya usia
kehamilan. Beberapa hal yang perlu dipantau pada wanita dengan PGK, yaitu :
a. Urin yang dipantau setiap 4-6 minggu urin harus diperiksa apakah ada infeksi,
dan pemberian antibiotik profilaks dianjurkan setelah adanya infeksi saluran
kemih. Proteinuria ditatalaksana dengan menggunakan tromboprofilaks Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) bila terdapat protein lebih dari 1 gr/24
jam. Bila terjadi hematuria, pemeriksaan mikroskopis silinder sel darah merah
menandakan adanya penyakit parenkim ginjal yang aktif, sedangkan morfologi
sel darah merah yang normal menandakan adanya kelainan urologi.
b. Tekanan darah harus diperiksa secara teratur, dan target pencapaian adalah
diantara 120/70 mmHg dan 140/90 mmHg dengan pengobatan antihipertensi.
Tekanan darah yang rendah berhubungan dengan restriksi perkembangan janin
dan tekanan darah tinggi berhubungan dengan kerusakan renovaskuler.
c. Fungsi ginjal. Serum kreatinin dan ureum harus diperiksa secara teratur,
frekuensinya tergantung dari stadium penyakit.
d. Darah lengkap. Pemeriksaan hemoglobin disertai pemeriksaan besi (feritin
serum) diperlukan untuk mempertahankan hemoglobin dalam batas 10-11
mg/dl.
e. USG ginjal. Pemeriksaan ini dilakukan mulai dari kehamilan 12 minggu untuk
melihat dimensi pelvikalis ginjal dan ulangi pemeriksaan bila terdapat tanda-
tanda obstruksi.
C. Jantung Pada Kehamilan dan Persalinan
1. Definisi
Kehamilan dengan penyakit jantung selalu saling mempengaruhi karena
kehamilan dapat memberatkan penyakit jantung yang dideritanya. Dan penyakit
jantung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.
13
Penyakit jantung dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan
kematian yang tinggi pada kehamilan atau persalinan. Pasien dengan penyakit jantung
biasanya dibagi dalam 4 golongan. Klasifikasi fungsional yang diajukan oleh New
York Heart Association adalah:
a. Klas I : aktivitas tidak terganggu (tidak perlu membatasi kegiatan fisik).
b. Klas II : aktivitas fisik terbatas, namun tak ada gejala saat istirahat (bila melakukan
aktifitas fisik maka terasa lelah, jantung berdebar-debar, sesak nafas atau terjadi
angina pektoris).
c. Klas III : aktivitas ringan sehari-hari terbatas (kalau bekerja sedikit saja merasa
lelah, sesak nafas, jantung berdebar).
d. Klas IV : waktu istirahat sudah menimbulkan keluhan (memperlihatkan gejala-
gejala dekompensasio walaupun dalam istirahat).
Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus atau kematian
intrauterin karena oksigenasi janin terganggu. Dengan kehamilan pekerjaan jantung
menjadi sangat berat sehingga klas I dan II dalam kehamilan dapat masuk ke dalam
klas III atau IV.
2. Epidemiologi
Kelainan primer akibat kelainan kongenital, katup, iskemik dan kardiomiopati.
Sedangkan sekunder akibat penyakit lain seperti hipertensi, anemia berat, dan lain-
lain.
3. Kehamilan dan Fisiologi Kardiovaskuler
Adaptasi normal yang dialami seorang wanita yang mengalami kehamilan
termasuk system kardiovaskuler akan memberikan gejala dan tanda yang sukar
dibedakan dari gejala penyakit jantung. Keadaan ini yang menyebabkan beberapa
kelainan yang tidak dapat ditoleransi pada saat kehamilan.
4. Perubahan Hemodinamik
Pada wanita hamil akan terjadi perubahan hemodinamik karena peningkatan
volume darah sebesar 30-50% yang dimulai sejak trimester pertama dan mencapai
puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu dan menetap sampai aterm.
Sebagian besar peningkatan volume darah ini menyebabkan meningkatnya
kapasitas rahim, mammae, ginjal, otot polos dan sistem vaskuler kulit dan tidak
memberi beban sirkulasi pada wanita hamil yang sehat. Peningkatan volume
plasma (30-50%) relatif lebih besar dibanding peningkatan sel darah (20-30%)
14
mengakibatkan terjadinya hemodilusi dan menurunya konsentrasi hemoglobin.
Peningkatan volume darah ini mempunyai 2 tujuan yaitu pertama mempermudah
pertukaran gas pernafasan, nutrien dan metabolit ibu dan janin dan kedua
mengurangi akibat kehilangan darah yang banyak saat kelahiran.
Peningkatan volume darah ini mengakibatkan cadiac output saat istirahat akan
meningkat sampai 40%. Peningkatan cadiac output yang terjadi mencapai
puncaknya pada usia kehamilan 20 minggu. Pada pertengahan sampai akhir
kehamilan cadiac output dipengaruhi oleh posisi tubuh. Sebagai akibat pembesaran
uterus yang mengurangi venous return dari ekstremitas bawah. Posisi tubuh wanita
hamil turut mempengaruhi cadiac output dimana bila dibandingkan dalam posisi
lateral kiri, pada saat posisi supinasi maka cadiac output akan menurun 0,6 l/menit
dan pada posisi tegak akan menurun sampai 1,2 l/menit. Umumnya perubahan ini
hanya sedikit atau tidak memberi gejala, dan pada beberapa wanita hamil lebih
menyukai posisi supinasi. Tetapi pada posisi supinasi yang dipertahankan akan
memberi gejala hipotensi yang disebut supine hypotensive syndrome of pregnancy.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki posisi wanita hamil miring pada
salah satu sisi, Perubahan hemodinamik juga berhubungan dengan perubahan atau
variasi dari cadiac output. Cadiac output adalah hasil denyut jantung dikali stroke
volume.
Curah jantung (cadiac output) juga berhubungan langsung dengan tekanan
darah merata dan berhubungan terbalik dengan resistensi vascular sistemik. Pada
awal kehamilan terjadi penurunan tekanan darah dan kembali naik secara perlahan
mendekati tekanan darah tanpa kehamilan pada saat kehamilan aterm. Resistensi
vascular sistemik akan menurun secara drastic mencapai 2/3 nilai tanpa kehamilan
saat kehamilan sekitar 20 minggu. Dan secara perlahan mendekati nilai normal
pada akhir kehamilan. Cadiac output sama dengan oxygen consumption dibagi
perbedaan oksigen arteri-venous sistemik Oxygen consumption ibu hamil
meningkat 20 persen dalam 20 minggu pertama kehamilan dan terus meningkat
sekitar 30 persen diatas nilai tanpa kehamilan pada saat melahirkan. Peningkatan
ini terjadi karena kebutuhan metabolisme janin dan kebutuhan ibu hamil yang
meningkat. Cadiac output juga akan meningkat pada saat awal proses melahirkan.
Pada posisi supinasi meningkat sampai lebih dari 7 liter/menit. Setiap kontraksi
uterus cadiac output akan meningkat 34 persen akibat peningkatan denyut jantung
15
dan stroke volume, dan cadiac output dapat meningkat sebesar 9 liter/menit. Pada
saat melahirkan pemakaian anestesi epidural mengurangi cadiac output menjadi 8
liter/menit dan penggunaan anestesi umum juga mengurangi cadiac output. Setelah
melahirkan cadiac output akan meningkat secara drastis mencapai 10 liter/menit
(7-8 liter / menit dengan seksio sesaria) dan mendekati nilai normal saat sebelum
hamil, setelah beberapa hari atau minggu setelah melahirkan. Kenaikan cadiac
output pada wanita hamil kembar dua atau tiga sedikit lebih besar dibanding
dengan wanita hamil tunggal. Adakalanya terjadi sedikit peningkatan cadiac output
sepanjang proses laktasi.
5. Distribusi aliran darah
Distribusi aliran darah dipengaruhi oleh resistensi vaskuler lokal. Renal blood
flow meningkat sekitar 30 persen pada trimester pertama dan menetap atau sedikit
menurun sampai melahirkan. Aliran darah ke kulit meningkat 40 - 50 persen yang
berfungsi untuk menghilangkan panas. Mammary blood flow pada wanita tanpa
kehamilan kurang dari 1 persen dari cadiac output. Dan dapat mencapai 2 persen
pada saat kehamilan aterm. Pada wanita yang tidak hamil aliran darah ke rahim
sekitar 100 ml/menit (2 persen dari cadiac output) dan akan meningkat dua kali
lipat pada kehamilan 28 minggu dan meningkat mencapai 1200 ml/menit pada saat
kehamilan aterm, mendekati jumlah nilai darah yang mengalir ke ginjalnya sendiri.
Nilai semasa kehamilan pembuluh darah rahim berdilatasi maksimal, aliran darah
meningkat akibat meningkatnya tekanan darah maternal dan aliran darah. Pada
dasarnya wanita hamil selalu menjaga aliran darah ke rahimnya, apabila
redistribusi aliran darah total diperlukan oleh ibu atau jika terjadi penurunan
tekanan darah maternal dan cadiac output, maka aliran darah ke uterus menurun
dan tetap dipertahankan.
Pada wanita normal aliran darah rahim mempunyai potensi dapat dibatasi. Dan
pada wanita berpenyakit jantung, pengalihan aliran darah dari rahim menjadi
masalah karena aliran darah sudah tidak teratur. Mekanisme perubahan
hemodinamik juga tidak sepenuhnya dimengerti, yang diakibatkan oleh perobahan
volume cairan tubuh. Total body water semasa kehamilan meningkat 6 sampai 8
liter yang sebagian besar berada pada ekstraseluler. Segera setelah 6 minggu
kehamilan volume plasma meningkat dan pada trimester kedua mencapai nilai

16
maksimal 1 dari normal. Masa sel darah merah juga meningkat tetapi tidak untuk

tingkatan yang sama; hematokrit menurun semasa kehamilan meskipun jarang


mencapai nilai kurang dari 30 persen, Perubahan vaskuler berhubungan penting
dengan perobahan hemodinamik pada saat kehamilan. Arterial compliance
meningkat dan terjadi peningkatan kapasitas venous vascular. Perubahan ini sangat
penting dalam memelihara hemodinamik dari kehamilan normal. Perubahan
arterial yang berhubungan dengan peningkatan fragilitas bila kecelakaan vaskuler
terjadi yang sering terjadi pada kehamilan dapat merugikan hemodinamik.
6. Perubahan hemodinamik dengan exercise
Kehamilan akan merubah respons hemodinamik terhadap exercise. Pada
wanita hamil derajat exercise yang diberikan pada posisi duduk menyebabkan
peningkatan cadiac output yang lebih besar dibanding dengan wanita tanpa
kehamilan dengan derajat exercise yang sama. Dan maksimum cadiac output
dicapai pada tingkatan exercise yang lebih rendah. Peningkatan cadiac output
relatif lebih besar dari peningkatan konsumsi oksigen, sehingga terdapat perbedaan
oksigen arterio-venous yang lebih lebar dari yang dihasilkan pada wanita tanpa
kehamilan dengan derajat exercise yang sama. Keadaan ini menunjukkan
pelepasan oksigen ke perifer sedikit kurang efisien selama kehamilan. Pada wanita
tanpa kehamilan, latihan akan meningkatkan stroke volume yang lebih besar dan
sedikit peningkatan denyut jantung dari pada yang didapati pada individu yang
tidak terlatih. Pada saat kehamilan efek latihan ini tidak terlihat dan kemungkinan
karena peningkatan stroke volume dibatasi akibat kompresi vena kava inferior atau
meningkatnya distensibility vena.
7. Deteksi dini dan Penanganan
a. Anamnesa
Pada pasien dengan penyakit jantung yang telah terdiagnosis sebelum
kehamilannya, harus dicari data-data mengenai: usia saat pertama kali diagnosis
ditegakkan, gejala-gejala sebelumnya dan komplikasi yang ada, prosedur
diagnostik sebelumnya termasuk kateterisasi jantung, excercise test (treadmill)
atau ekokardiografi, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat operasi, derajat
kesembuhan, gejala sisa, obat-obat yang dipakai, diet, pembatasan-pembatasan
aktifitas, serta sedapat mungkin didapatkan catatan medis mengenai perawatan
17
rumah sakit, prosedur diagnostik dan pengobatan sebelumnya. Pada pasien
tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya, harus ditanyakan mengenai riwayat
demam rematik atau penyakit-penyakit lainnya yang berhubungan dengan
penyakit jantung seperti demam scarlet, sistemik lupus eritematosus, penyakit
paru-paru, penyakit ginjal, difteri atau pneumonia, riwayat perawatan di Rumah
sakit dan riwayat operasi besar sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai
tanda-tanda dan gejala penyakit jantung seperti sianosis pada waktu lahir atau
waktu aktivitas, “squatting” pada masa kanak-kanak, infeksi saluran napas
berulang, gangguan irama jantung, dispnu pada saat istirahat atau aktifitas,
batuk-batuk lama, hemoptisis, asma, nyeri dada, riwayat keluarga dengan
penyakit jantung dan kelainan-kelainan kongenital
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi mengenai berat badan dan tinggi badan,
kelainan pada wajah, jari-jari dan tubuh yang menunjukkan kelainan kongenital
dan perubahan-perubahan pada kulit seperti sianosis, pucat, angioma,
xantelasma, dan xanthoma. Tekanan darah harus diukur secara hati-hati dengan
cuff yang sesuai, kalau perlu pada kedua lengan dan pada beberapa posisi.
Denyut nadi radial harus dinilai dengan cermat, pada Aorta Insufisiensi dapat
dijumpai denyut yang kolaps (Collapsing pulse), denyut yang lemah pada cadiac
output yang rendah, pulsus alternans atau pulsus paradoksus. Inspeksi pada
kepala dan wajah untuk mencari adanya tanda-tanda kelainan kongenital,
pengukuran JVP dan penilaian denyut karotid dan kelenjar thyroid. Inspeksi dan
palpasi pada dada untuk mencari adanya kelainan bentuk dinding toraks seperti
pectus excavatum, precordial bulging, denyut apeks kordis, thrill. Pada
auskultasi perlu dinilai bunyi jantung I, II, III, IV, murmur jantung, opening
snap, gallop dsb. Selanjutnya juga perlu dilakukan pemeriksaan pada paru-paru,
abdomen dan ekstremitas serta sistim-sistim organ tubuh lainnya.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium rutin, seperti hematologis, kimia darah, gula darah.
2) EKG, bila perlu dapat dilakukan monitor 24 jam.
3) Phonokardiogram, untuk menilai bunyi jantung dan murmur.
4) Ekokardiografi.

18
5) Lain-lain, seperti kultur tenggorok (throat culture), C-reactive protein,
ASTO, kultur darah.
d. Diagnosis
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan bila ditemukan adanya satu diantara
gejala-gejala berikut :
a. Bising diastolik, presistolik, atau bising jantung terus-menerus
b. Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thrill
c. Pembesaran jantung yang jelas pada gambaran foto toraks
d. Aritmia yang berat. Kadang-kadang penyakit jantung dalam kehamilan baru
diketahui kalau sudah terjadi dekompensasio seperti adanya sesak nafas,
sianosis, edema atau ascites.
e. Penanganan
Pada penderita penyakit jantung diusahakan untuk membatasi penambahan
berat badan yang berlebihan, anemia secepat mungkin diatasi, infeksi saluran
pernafasan atas dan preeklampsia sedapat-dapatnya dijauhkan karena sangat
memberatkan pekerjaan jantung. Saat-saat berbahaya adalah pada kehamilan 28
– 32 minggu karena merupakan puncak hemodilusi, partus kala II karena venous
return yang meningkat saat mengedan, dan masa postpartum sebagai akibat
kembalinya cairan tubuh ke dalam sistim sirkulasi sehingga beban jantung
bertambah berat.
Penanganan ibu hamil dengan penyakit jantung membutuhkan kerja sama tim
yang kompak dan terpadu dari berbagai disiplin ilmu seperti obstetri ginekologi,
kardiologi, ilmu penyakit dalam, dan anestesi.
1) Kelas I dan II
Umumnya penderita dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan
melahirkan pervaginam. Namun tetap harus diwaspadai terjadinya gagal
jantung pada kehamilan, persalinan dan nifas. Faktor pencetus utama
terjadinya gagal jantung adalah endokarditis, oleh karena itu semua wanita
hamil dengan penyakit jantung harus sedapat mungkin dicegah terjadinya
infeksi terutama infeksi saluran napas atas .
Dalam penanganan penyakit jantung selama kehamilan terdapat 4 hal yang
perlu diperhatikan, yaitu :

19
a) Cukup istirahat ( 10 jam istirahat malam, ½ jam setiap kali setelah
makan ) dan hanya pekerjaan ringan yang diizinkan.
b) Harus dilakukan pencegahan terhadap kontak dengan orang-orang yang
dapat menularkan infeksi saluran nafas atas, merokok, penggunaan obat-
obat yang memberatkan pekerjaan jantung.
c) Tanda-tanda dini dekompensasio harus cepat diketahui, seperti adanya
batuk, ronki basal, dispnoe dan hemoptoe.
d) Sebaiknya pasien masuk rumah sakit 2 minggu sebelum persalinan untuk
istirahat.
Persalinan biasanya pervaginam, kecuali ada indikasi obstetri untuk seksio
sesarea. Penggunaan teknik analgesia untuk menghilangkan nyeri persalinan
sangat dianjurkan, yang umum dipakai adalah analgesia epidural. Apabila
akan dilakukan seksio sesarea, kebanyakan klinikus menyukai analgesia
epidural namun penggunaan harus hati-hati pada hipertensi pulmonar.
Anestesi umum dengan tiopental, suksinil kolin, N2O dan 30 % O2 juga
memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada persalinan pervaginam
adalah :
a) Ibu harus dalam posisi setengah duduk (kepala dan dada ditinggikan) dan
miring ke kiri.
b) Penolong persalinan harus memberikan pendekatan psikologis supaya ibu
tetap tenang dan merasa aman.
c) Untuk mencegah timbulnya dekompensasio kordis sebaiknya dibuat daftar
pengawasan khusus untuk mencatat nadi dan pernapasan secara berkala
(tanda-tanda vital harus dimonitor diantara tiap his, dalam kala I setiap 10-
15 menit dan dalam kala II setiap 10 menit. Apabila terdapat peningkatan
denyut nadi lebih dari 115 x/mt atau peningkatan respirasi lebih dari 28
x/mt dan disertai dispnu merupakan tanda-tanda dini kegagalan ventrikel,
dan pasien perlu diberikan morfin, digitalis, oksigen dan diuretik).
d) Bila dibutuhkan oksitosin, berikan dalam konsentrasi tinggi (20 U/ltr)
dengan tetesan rendah dan pengawasan keseimbangan cairan.
e) Nyeri persalinan dapat diatasi dengan pemberian obat seperti Tramadol
100 mg supositoria, pethidin 50 mg IM, atau morphin 10-15 mg IM.
20
f) Persalinan kala II biasanya diakhiri dengan ekstraksi forseps atau ekstraksi
vakum dan sedapat mungkin ibu dilarang mengedan.
g) Penanganan kala III dilakukan secara aktif, namun pemakaian preparat
ergometrin merupakan kontraindikasi, karena kontraksi uterus yang
dihasilkan bersifat tonik dengan akibat terjadi pengembalian darah ke
dalam sirkulasi sistemik kurang lebih 1 liter.
h) Setelah kala III selesai, harus dilakukan pengawasan yang ketat untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya gagal jantung atau edema paru,
karena saat tersebut merupakan saat yang paling kritis selama hamil,
pemasangan gurita dengan kantong pasir di dinding perut dapat dilakukan
untuk mencegah perubahan mendadak sirkulasi (kolaps postpartum).

Dalam kondisi sehari-hari, apabila ditemukan pasien dengan kegagalan


jantung maka penanganan awal harus mencakup langkah-langkah standar
resusitasi, termasuk diantaranya:
a) Perhatikan airway, breathing dan circulation.
b) Bagi ibu hamil, posisi yang dianjurkan adalah setengah duduk miring ke
kiri, untuk mencegah efek hipotensi akibat penekanan vena cava inferior
oleh uterus gravidarum.
c) Pemberian Morfin / petidin, β Bloker atau diuretik.
d) Digitalisasi.
e) Antibiotika untuk profilaksis terhadap endokarditis.
2) Kelas III dan IV
Bila seorang ibu hamil dengan kelainan jantung kelas III dan IV ada dua
kemungkinan penatalaksanaan yaitu : terminasi kehamilan atau meneruskan
kehamilan dengan tirah baring total dan pengawasan ketat, dan ibu dalam
posisi setengah duduk. Kelas III sebaiknya tidak hamil, kalau hamil pasien
harus dirawat di Rumah Sakit selama kehamilan, persalinan dan nifas,
dibawah pengawasan ahli penyakit dalam dan ahli kebidanan, atau dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan abortus terapeutikus. Persalinan hendaknya
pervaginam dan dianjurkan untuk sterilisasi. Kelas IV tidak boleh hamil.
Kalau hamil juga, pimpinan yang terbaik ialah mengusahakan persalinan
pervaginam

21
D. DM Pada Kehamilan dan Persalinan
1. Skrining Diabetes Pada Ibu Hamil
a. Skrining selektif
1) Ibu usia tua
2) Obesitas
3) Polihidramnion
4) Curiga Makrosomia
5) Riwayat obstetri buruk
6) PCOS
7) Ras – Indians
8) Riwayat DM
gestasional atau
intolerasni glukosa
9) Riwayat keluarga
dengan diabetes
10) Riwayat makrosomia
(>4000 g)
11) Riwayat stillbirth
12) Riwayat neonatus
dengan hipoglikemia,
hipokalsemia atau
hiperbilirubinemia
2. Skrining Universal pada saat 24-28 minggu
a. Dapat pula dilakukan pada kunjungan antenatal pertama untuk mendeteksi
Overt DM ( Diabetes sebelum hamil)
b. Pemeriksaan HbA1c untuk skrining Overt DM
c. HbA1c ≥ 5.9% – Resiko tinggi DM gestasional, lakukan pemeriksaan ulangan
d. HbA1c ≥ 6.5% – DM tipe 2
Diabetes Mellitus (DM) tidak hanya terjadi pada orang dewasa ataupun remaja,
akan tetapi bisa terjadi pada kondisi tertentu, seperti pada ibu hamil. DM atau
hiperglikemia saat kehamilan atau yang biasa disebut Diabetes Mellitus Gestational
(DMG) adalah kehamilan normal disertai dengan peningkatan insulin resistance
dimana ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia. Kondisi diabetes atau
22
intoleransi glukosa pertama kali didapati selama masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua atau ketiga. (Cahya & Niken, 2017)
3. Gejala dan Tanda
a. Sering merasa haus
b. Frekuensi buang air kecil meningkat
c. Mulut kering
d. Tubuh mudah lelah
e. Penglihatan buram
4. Faktor Resiko
a. Usia saat hamil yang lebih tua
b. Kegemukan (Obese/overweight)
c. Kenaikan berat badan yang berlebih pada saat hamil
d. Riwayat DM di keluarga
e. Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya
f. Riwayat stillbirth (kematian bayi dalam kandungan)
g. Glukosuria (kadar gula berlebih dalam urin) saat hamil
h. Riwayat melahirkan bayi dengan kelainan congenital
i. Riwayat melahirkan bayi besar (>4000 gram)
5. Diagnosis
Diabetes Melitus pada Kehamilan didiagnosis bila memenuhi satu atau lebih criteria di
bawah ini :
Tes Kadar Glukosa Kadar
(mmol/l) Glukosa(mg/dl)
Glukosa darah puasa ≥ 7.0 126

Glukosa darah 2jam pasca pembebanan ≥11.1 200


75 gram glukosa

Glukosa darah sewaktu (dengan gejala ≥11,1 200


khas)

Diagnosis Diabetes Melitus Gestational ditegakkan berdasarkan criteria satu dari


nilai kadar glukosa darah dibawah ini pada saat dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTOG)
23
- Minta ibu untuk makan makanan yang cukup karbohidrat selama 3 hari, kemudian
berpuasa selama 8-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
- Periksa kadar glukosa darah puasa dari darah vena di pagi hari, kemudian diikuti
pemberian beban glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air diminum
dalam waktu paling lama 5 menit
- Dilanjutkan pemeriksaan kadar glukosa darah 1 jam lalu 2 jam kemudian

Kadar Glukosa Kadar


Tes
(mmol/l) Glukosa(mg/dl)
Glukosa darah puasa 5.1 – 6.9 92-125

Glukosa darah 2jam pasca pembebanan ≥ 10 180


75 gram glukosa

Glukosa darah sewaktu (dengan gejala 8.5 - 11 153-199


khas)

6. Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita DMG antara lain:
a. Terapi diet, Terapi ini merupakan strategi utama untuk mencapai control
glikemik. Diet harus mampu menyokong pertambahan berat badan ibu sesuai
masa kehamilan,membantu mencapai normo glikemia tanpa menyebabkan
lipolisis (ketonuria). Latihan dan olah raga juga menjadi terapi tambahan untuk
mencapai target control glikemik.
b. Kontrol Glikemik
Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan sampel darah kapiler adalah :
a) Preprandial (setelah puasa) ≤ 95 mg/dL (5,3 mmol/L) dan
b) 1 jam post-prandial (setelah makan) ≤ 140mg/dL (7,8 mmol/L) atau
c) 2 jam post-prandial (setelah makan) ≤ 120 mg/dL (6,7 mmol/L)
1) Terapi Insulin
Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa plasma tidak tercapai
setelah pemantauan DMG selama1-2 minggu
2) Obat Hipoglikemik Oral

24
Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan metformin merupakan alternative
pengganti insulin pada pengobatan DMG
7. Komplikasi dan Resiko
a. Pada Ibu
Ibu hamil dengan hiperglikemia yang sudah diketahui sejak sebelum hamil dan
berlanjut pada kehamilan apabila kontrol gula darahnya buruk akan
mengakibatkan komplikasi selama kehamilan hingga melahirkan.
Komplikasinya pada ibu meliputi infeksi saluran kemih, polihidramnion,
preeklampsia, eklamsia, risiko pemanjangan kala 2, trauma intranatal, seksio
sesarea. Sedangkan hiperglikemia setelah melahirkan ibu hamil dapat
mengalami obesitas, intoleran glukosa, dan menyandang DMT II.
b. Pada Bayi
Komplikasi pada janin antara lain hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis,
komplikasi metabolik neonatal, dan kematian neonatal. Sedangkan komplikasi
pada neonatus meliputi Intrauterine Growth Restriction (IUGR), bayi baru lahir
(30−60 menit pertama setelah lahir) dalam keadaan hipoglikemia, hipokalemi,
hiperbilirubin, polisitemia. Malformasi kongenital juga dapat terjadi, dalam hal
ini adalah bibir sumbing. Selain itu, bayi dari hiperglikemia pada ibu hamil akan
berisiko terjadinya makrosomia, obesitas saat anak-anak. Komplikasi-
komplikasi tersebut dapat meningkatkan angka morbiditas hingga mortalitas
8. Manajemen resiko
Populasi Manajemen Resiko

Wanita hamil dengan faktor risiko Tes untuk mengetahui adanya DM tipe 2
yang tidak terdiagnosis sebelumnya

pada kunjungan antenatal pertama

Wanita hamil tanpa riwayat DM Tes untuk DMG pada usia kehamilan

sebelumnya dan tanpa faktor risiko 24-28 minggu

Wanita dengan DMG Skrining untuk DM yang persisten pada

6-12 minggu setelah melahirkan

25
Wanita dengan riwayat DMG Skrining untuk diabetes/prediabetes

setiap 3 tahun

Wanita dengan riwayat DMG dan Intervensi gaya hidup dan pertimbangan
pemberian metformin untuk pencegahan
intoleransi glukosa (prediabetes)

9. Pencegahan DMG
a. Penerapan pola hidup sehat dari sejak sebelum hamil
b. Pengaturan diet, perbanyak konsumsi serat (sayur & buah-buahan)
c. Selalu aktif, olahraga
d. Penurunan berat badan bila overweight/obese
e. Persiapan kehamilan yang baik
f. Usia kehamilan
g. Pemeriksaan GD sebelum hamil
h. Menjaga peningkatan berat badan selama Hamil
E. Asma Pada Kehamilan dan Persalinan
a. Pengertian
Asma adalah penyakit kronik yang prevalensnya semakin meningkat di dunia.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa asma berdampak selama proses
kehamilan dan kehamilan dapat mempengaruhi perubahan status klinis pasien
asma. Pengaruh kehamilan terhadap serangan asma pada setiap penderita asma
tidaklah sama bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada
kehamilan pertama dan berikutnya. Hubungan antara asma dan preeklampsi, serta
asma dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah paling sering ditemukan
pada penelitian kohort prospektif dan kasus control.
Uterus yang makin membesar menyebabkan perubahan volume paru dan
dinding dada selama kehamilan. Pembesaran uterus menimbulkan tekanan
abdominal akhir ekspirasi meningkat sehingga diafragma bergerak ke atas.
Perubahan ini menimbulkan tekanan negatif pleura (tekanan esofagus) meningkat
sehingga saluran napas kecil menutup lebih awal yang mengakibatkan penurunan
kapasitas residu fungsional dan volume cadangan ekspirasi serta perubahan
konfigurasi dinding dada. Tinggi rongga toraks menjadi lebih pendek tetapi

26
dimensi dinding toraks sisi lainnya meningkat supaya kapasitas paru total tetap
konstan.
b. Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat ringan
asma. Asma derajat berat dapat mempengaruhi hasil akhir kehamilan seperti
peningkatan insidens abortus, kelahiran prematur, janin BBLR dan hipoksia
neonatus. Mekanisme yang mendasari pengaruh ibu hamil dengan asma meliputi
hipoksia, inflamasi, pengobatan kortikosteroid, riwayat eksaserbasi, ibu merokok,
dan perubahan fungsi plasenta
c. Tatalaksana Asma Pada Kehamilan
Prinsip dasar pengobatan asma pada ibu hamil adalah memberikan terapi
optimal sehingga dapat mempertahankan asma yang telah terkontrol bertujuan
untuk mempertahankan kesehatan dan kualitas hidup ibu serta pertumbuhan janin
yang normal selama kehamilan. Pasien asma harus diberikan informasi jelas
mengenai potensi komplikasi asma yang dapat terjadi dan perubahan fungsi paru
selama masa kehamilan. Edukasi dan penggunaan obat inhalasi secara tepat
merupakan faktor terpenting menghindari pencetus asma dan segera berkonsultasi
ke dokter jika muncul gejala asma.
Mengontrol asma pada kehamilan bertujuan untuk mencegah eksaserbasi akut,
mencegah hipoksemia dan gangguan janin serta menghindari kebutuhan obat yang
berlebihan. Semua obat asma secara umum dapat dipakai saat kehamilan kecuali
komponen alfa-adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Obat inhalasi
kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan akut terutama saat kehamilan. Obat inhalasi agonis beta-2, leukotrien dan
teofilin dengan kadar yang termonitor dalam darah terbukti tidak meningkatkan
kejadian abnormalitas janin. Pemilihan obat asma pada pasien yang hamil
dianjurkan berupa obat inhalasi dan sebaiknya memakai obat-obat asma yang
pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan
terbukti aman.
d. Tatalaksana Asma Saat Persalinan
Setiap pasien asma dengan kehamilan disarankan selalu menggunakan obat
pengontrol asma saat persalinan walaupun asma biasanya tenang selama
persalinan. Arus puncak ekspirasi (APE) harus tetap dinilai saat masuk dan interval
27
fase persalinan. Pemberian stress-dose steroid (seperti hidrokortison 100 mg setiap
8 jam secara intravena) sebaiknya diberikan selama persalinan dan dalam 24 jam
setelah persalinan jika kortikosteroid sistemik telah diberikan dalam 4 minggu
sebelumnya untuk mencegah krisis adrenal.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Setiap ibu hamil merupakan ibu hamil dengan faktor risiko. Faktor risiko
merupakan situasi dan kondisi serta keadaan umum ibu selama kehamilan, persalinan
dan nifas yang dapat memberikan ancaman pada kesehatan dan jiwa ibu maupun janin
yang dikandungnya. Sehingga sangat diperlukan deteksi dini penyakit penyerta yang
diderita ibu saat hamil, dengan mendeteksi dini penyakit penyerta yang diderita maka
penanganan awal dapat segera diberikan dan dapat mencegah komplikasi lebih awal
sebelum terjadi.
Adapun berbagai penyakit penyerta yang di alami saat ibu hamil yaitu TB
paru, ginjal, jantung, diabetes, dan juga asma. Dengan berbagai penyakit penyerta
tersebut jika sudah dideteksi dan didagnosis lebih awal, maka ibu akan mendapatkan
penanganan cepat untuk menjaga kesehatan pada kandungannya, serta dapat
mencegah penuluran penyakit yang beresiko nular pada bayinya.
Maka sangat penting bagi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya secara
rutin ke bidan atau dokter kandungan, agar dapat terdeteksi lebih dini jika terdapat
28
komplikasi – komplikasi yang terjadi pada ibu hamil. Untuk menurunkan angka
kematian ibu secara bermakna maka deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko
atau komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik fasilitas pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) maupun di masyarakat.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., & Bahar, A. (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Tuberculosis Paru (5
ed.). (FKUI, Penyunt.) Jakarta.

Abimbola, & Marais. (2014). Tuberculosis Among Older Adults-Time To Take Notice.
International Joournal of Infectious Disease, 32, 135-137.
Aprilia, D. 2019. Penyakit Ginjal Kronis pada Kehamilan. Jurnal Kesehatan Andalas.
8(3):708-716.
Damayanti T., Sri P.2020. Asma Pada Kehamilan : Mekanisme dan Implikasi Klinis. Jurnal
Respirologi Indonesia. 4(4) : 251- 261
Depkes RI. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis . Jakarta
Fauziah, N. (2010). Faktor yang Berhubungan dengan Drop Out Pengobatan pada Penderita
TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)

Gestational. Jurnal Departemen Ilmu Patologi Klinik Universitas Hasanudin. 43(11)


Immanah I. C., Niken S.D.K. 2017. Karakteristik Ibu Hamil Dengan Hiiperglikemia. Higeia
Journal Of Public Health Research and Development. 1(4) : 131-142

29
Kemenkenterian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Diagnosis, Klasifikasi, Pencegahan,
Terapi Penyakit Ginjal Kronis. Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian
Penyakit.
Liong B.K. 2016. Patofisiologi, Skrining dan Diagnosis Laboratorium Diabetes Melitus
Mason, Roy, Spillane, & Singh. (2015). Social, Historical, And Cultural Dimensions Of
Tuberculosis. 48, 206-232.
Prasanto, R. H. 2019. Penyakit Ginjal Kronis dan Kehamilan. KSM Penyakit Dalam RSUP
Dr. Sardjito. Yogyakarta

Sundariyati, IGA Harry. (2017). Kehamilan Dengan Penyakit Jantung. Denpasar: Universitas
Udayana

30

Anda mungkin juga menyukai