Anda di halaman 1dari 38

Mata Kuliah : Komplikasi Dalam Pelayanan Kebidanan

Dosen Pengampu : Syamsuryanita S.ST.,M.Kes

Ifeksi, Hepatitis dan Torch, Komplikasi Dalam Kehamilan dan


Persalinan (Preterm,KMK, Trauma Persalinan), Komplikasi pada
Bayi Baru Lahir (Ikterus Patologis dan Kelainan Kongenital)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. GRACE WIDYA PAONGANAN (A1 A221 043)
2. ANDI RIZKI AMALIYAH (A1 A221 018)
3. REZKI WAHYUNI (A1 A221 044)
4. LILI MAISARA MIRZAD (A1 A221 074)
5. RESKI AMELIA (A1A221 086)
6. SRI WAHYUNI (A1A221 042)

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN DAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah
Komplikasi dalam Pelayanan Kebidanan yang berjudul “Ifeksi, Hepatitis dan
Torch, Komplikasi Dalam Kehamilan dan Persalinan (Preterm,KMK, Trauma
Persalinan), Komplikasi pada Bayi Baru Lahir (Ikterus Patologis dan Kelainan
Kongenital)” yang alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.

Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah kami, Ibu
Syamsuryanita S.ST.,M.Kes yang telah membimbing kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena
itu, kritik dan saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah
SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Makassar, 1 Juli 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................i
Daftar Isi ..............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................3
C. Tujuan Makalah...............................................................................3
D. Manfaat Penulisan..........................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................4

A. Infeksi, Hepatitis, TORCH...............................................................4

B. Komplikasi dalam Kehamilan dan Persalinan &Penanganan.......18

1. Preterm......................................................................................18
2. Kecil Masa Kehamilan...............................................................21
3. Trauma Persalinan....................................................................22

C. Komplikasi Pada Bayi Baru Lahir.................................................23

1. Ikterus Patologis dan Managementnya....................................23


2. Kelainan Kongeniatal dan Pengelolaannya..............................28

BAB III PENUTUP.............................................................................33

A. Kesimpulan....................................................................................33

B. Saran.............................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Persalinan kurang bulan sampai saat ini masih merupakan masalah di
dunia termasuk Indonesia, terkait prevalensi, morbiditas dan mortalitas
perinatal yaitu penyebab utama kematian bayi dan penyebab kedua kematian
setelah pneumonia pada anak di bawah usia lima tahun (Erez , 2013).
Kejadian persalinan kurang bulan berbeda pada setiap negara, di negara maju
seperti Eropa angkanya sekitar 5-11 %, sedangkan di USA sebesar 11,5%,
sedangkan di negara yang sedang berkembang angka kejadiannya masih jauh
lebih tinggi, misalnya di Sudan sekitar 31 %, India sebesar 30%, dan
Afrika Selatan yaitu 15% (Osterman et al.,2015). Berghella (2017)
menyatakan bahwa lebih dari satu juta bayi meninggal karena persalinan
kurang bulan setiap tahun didunia atau 1 (satu) bayi setiap 30 detik.
Di Indonesia angka kejadian persalinan kurang bulan dapat
dicerminkan secara kasar berdasarkan angka kejadian bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Angka kejadian BBLR nasional di rumah sakit
adalah 27,9% (POGI Cabang Bandung, 2011), BBLR di Indonesia pada tahun
2013 (10,2%) (Riskesdas, 2013), dan pada tahun 2015 sebesar 13,03%
dengan presentase tertinggi yaitu Maluku Utara (19,77%), Kalimantan
Barat (19,79%) dan Papua Barat (20,27%), sedangkan terendah di Kepulauan
Riau (8,38%), DI. Yogyakarta (8,9%) dan Bali (9,08%) (BPS, 2015),
sedangkan menurut WHO (2018) yaitu sebesar 15,5%/100 KH atau sekitar
675,700 jumlah bayi yang lahir karena prematur di Indonesia.
Kementerian Kesehatan melaksanakan beberapa program
peningkatan status kesehatan masyarakat (impact atau outcome) dengan
beberapa indikator, dari 5 (lima) indikator tentang Angka Kematian Bayi
(AKB) dan BBLR diantaranya yang akan dicapai yaitu menurunkan AKB
dari 32 menjadi 24/1000 KH dan menurunkan presentase BBLR dari 10,2%
menjadi 8%. Hal ini berarti faktor kondisi ibu sebelum dan selama

1
kehamilan amat menentukan kondisi bayinya, sehingga tantangan kedepan
adalah mempersiapkan calon ibu agar benar-benar siap untuk hamil,
melahirkan, dan menjaga serta mampu melindungi bayi dari infeksi
(Kemenkes RI., 2015).
Beberapa terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut yang
telah dilakukan di Indonesia salah satunya program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Program tersebut menitikberatkan
kepedulian dan peran keluarga serta masyarakat dalam melakukan upaya
deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, menyediakan
akses dan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal dasar di tingkat
Puskesmas (PONED) dan Pelayanan Kegawadaruratan Obstetri dan Neonatal
Komprehensif di rumah sakit (PONEK) (Kemenkes RI, 2015).
Untuk mencegah terjadinya risiko kesehatan pada ibu hamil, bersalin
dan nifas perlu dilakukan deteksi dini dan monitoring penyebab kematian ibu
dan bayi mulai dari pemeriksaan fisik sampai dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat dan terarah pada setiap ibu hamil, bersalin dan nifas
agar dapat dilakukan intervensi lebih awal.
Oleh karena itu setiap ibu hamil, bersalin dan nifas harus dapat dengan
mudah mengakses fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan sesuai
standar, termasuk deteksi kemungkinan adanya penyakit yang dapat
berdampak negatif terhadap kesehatan ibu. Sebagai komponen penting dalam
pelayanan kesehatan, hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
digunakan untuk penetapan diagnosis, pemberian pengobatan, pemantauan
hasil pengobatan dan penentuan prognosis. Dengan demikian diharapkan
semua hasil pemeriksaan yang benar dan akurat turut berperan membantu
menurunkan angka kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan
nifas (PerMenkes RI., 2013).

2
B. RUMUSAN MASALAH
Atas dasar latar belakang diatas, maka kami dapat mengambil perumusan
masalah yaitu :

1. Jelaskan tentang infeksi, Hepatitis, dan TORCH?


2. Bagaimanakah komplikasi dalam kehamilan dan persalinan khususnya
pada preterm, kecil masa kehamilan trauma persalinan?
3. Bgaimanakah komplikasi pada bayi baru lahir khususnya tentang ikterus
patologis dan kelainan kongenital?

C. TUJUAN MAKALAH
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
tentang infeksi, Hepatitis, dan TORCH, untuk mengetahui tentang komplikasi
dalam kehamilan dan persalinan khususnya pada preterm, kecil masa
kehamilan trauma persalinan, untuk mengetahui tentang komplikasi pada bayi
baru lahir khususnya tentang ikterus patologis dan kelainan kongenital.
D. MANFAAT MAKALAH
Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai bahan
referensi di bidang pelajaran Komplikasi dalam Pelayanan Kebidanan
khususnya materi tentang komplikasi pada kehamilan, persalinan, serta
komplikasi pada bayi baru lahir.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Infeksi, Hepatitis dan TORCH


1. Infeksi
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan
bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara
bertahan hidup dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan
mampu mencari reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar atau
berpindah. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi
orang-orang yang dalam kondisi sehat, lebih-lebih bagi orang-orang yang
sedang dalam keadaan sakit. Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang
yang sedang sakit serta sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah
sakit akan memperoleh “tambahan beban penderita” dari penyebaran mikroba
patogen ini. Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen
kepejamu yang rentan (suspectable host) dapat terjadi melalui dua cara.
1) Transmisi langsung (direct transmission)
Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk (port d’entrée)
yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan,
ciuman, atau adanya droplet nuclei saat bersin, batuk, berbicara, atau saat
transfusi darah dengan darah yang terkontaminasi mikroba patogen.
2) Transmisi tidak langsung (indirect transmission)
Penularan mikroba pathogen melalui cara ini memerlukan adanya “media
perantara” baik berupa barang / bahan, udara, air, makanan / minuman,
maupun vektor.
a. Vehicle-borne
Dalam kategori ini, yang menjadi media perantara penularan adalah
barang / bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum,
instrumen bedah / kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus /
transfusi.

4
b. Vector-borne
Sebagai media perantara penularan adalah vektor (serangga), yang
memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut.
1) Cara mekanis
Pada kaki serangga yang menjadi vektor melekat kotoran / sputum
yang mengandung mikroba patogen, lalu hinggap pada makanan /
minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu.
2) Cara biologis
Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus
perkembangbiakan dalam tubuh vektor / serangga, selanjutnya
mikroba berpindah tempat ke tubuh pejamu melalui gigitan.
c. Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang terbukti cukup
efektif untuk menjadi saran penyebaran mikroba patogen ke pejamu,
yaitu melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran cerna.
d. Water-borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terutama
untuk kebutuhan rumah sakit, adalah suatu hal yang mutlak. Kualitas air
yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis, diharapkan telah
bebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk dikonsumsi manusia.
Jika tidak, sebagai salah satu media perantara, air sangat mudah
menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk (port
d’entrée) saluran cerna maupun pintu masuk lainnya.
e. Air-borne
Udara bersifat mutlak diperlukan bagi setiap orang, namun sayangnya
udara yang telah terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit untuk
dapat dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran napas
pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita
(reservoir) saat batuk atau bersin, bicara atau bernapas melalui mulut atau
hidung. Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat terbang bersama
debu lantai / tanah. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi

5
di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan /
bangsal / kamar perawatan, atau pada laboratorium klinik.
Mekanisme transmisi mikroba patogen atau penularan penyakit infeksi
pada manusia sangat jelas tergambar dalam uraian di atas, dari reservoir ke
pejamu yang peka atau rentan. Dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu
yang peka (suspectable host) akan berinteraksi dengan mikroba patogen, yang
secara alamiah akan melewati 4 tahap.
1) Tahap Rentan
Pada tahap ini pejamu masih berada dalam kondisi yang relatif sehat, namun
kondisi tersebut cenderung peka atau labil, disertai faktor predisposisi yang
mempermudah terkena penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku /
kebiasaan hidup, sosial-ekonomi, dan lain-lain. Faktor– faktor predisposisi
tersebut akan mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba
patogen) untuk dapat berinteraksi dengan pejamu.
2) Tahap Inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba pathogen akan mulai beraksi,
namun tanda dan gejala penyakit belum tampak (subklinis). Saat mulai
masuknya mikroba patogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda
dan gejala penyakit dikenal sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi satu
penyakit berbeda dengan penyakit lainnya; ada yang hanya beberapa jam,
dan ada pula yang sampai bertahun-tahun.
3) Tahap Klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi-fungsi organ yang dapat
memunculkan tanda dan gejala (signs and symptomps) dari suatu penyakit.
Dalam perkembangannya, penyakit akan berjalan secara bertahap. Pada
tahap awal, tanda dan gejala penyakit masih ringan. Penderita masih mampu
melakukan aktivitas sehari–hari dan masih dapat diatasi dengan berobat
jalan. Pada tahap lanjut, penyakit tidak dapat diatasi dengan berobat jalan,
karena penyakit bertambah parah baik secara objektif maupun subjektif.
Pada tahap ini penderita sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas
sehari–hari dan jika berobat, umumnya harus melakukan perawatan.

6
4) Tahap Akhir Penyakit
Perjalanan semua jenis penyakit pada suatu saat akan berakhir pula.
Perjalanan penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif.
a. Sembuh sempurna
Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi sel /
jaringan / organ tubuh kembali seperti semula saat sebelum sakit.
b. Sembuh dengan cacat
Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya kecacatan.
Cacat dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat sosial.
c. Pembawa (carrier)
Perjalanan penyakit seolah–olah berhenti, ditandai dengan
menghilangnya tanda dan gejala penyakit. Pada tahap ini agen penyebab
penyakit masih ada dan masih memiliki potensi untuk menjadi suatu
sumber penularan.
d. Kronis
Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gejala yang tetap
atau tidak berubah (stagnan).
e. Meninggal dunia
Akhir perjalanan penyakit dengan adanya kegagalan fungsi- fungsi
organ yang menyebabkan kematian.
Sifat–Sifat Penyakit Infeksi
Sebagai agen penyebab penyakit (biotis), mikroba patogen memiliki
sifat–sifat khusus yang sangat berbeda dengan agen penyebab penyakit lainnya
(abiotis).12 Sebagai makhluk hidup, mikroba patogen memiliki ciri– ciri
kehidupan, yaitu :
1) Mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan cara berkembang biak
2) Memerlukan tempat tinggal yang cocok bagi kelangsungan hidupnya
(habitat–reservoir)
3) Bergerak dan berpindah tempat (dinamis)
Ciri–ciri kehidupan mikroba patogen tersebut di atas, merupakan sifat– sifat
spesifik mikroba patogen dalam upaya mempertahankan hidupnya. Cara

7
mikroba tersebut menyerang / menginvasi pejamu / manusia adalah melalui
tahapan sebagai berikut.
1) Sebelum berpindah ke pejamu (calon penderita), mikroba patogen tersebut
hidup dan berkembang biak pada reservoir (orang / penderita, hewan,
benda–benda lain).
2) Untuk mencapai pejamu (calon penderita), diperlukan adanya suatu
mekanisme penyebaran.
3) Untuk masuk ke tubuh pejamu (calon penderita), mikroba patogen
memerlukan pintu masuk (port d’entrée) seperti kulit / mukosa yang
terluka, hidung, rongga mulut, dan sebagainya. Masing-masing mikroba
patogen memiliki jeda waktu yang berbeda dari saat masuknya mikroba
pathogen tersebut melalui port d’entrée sampai timbulnya manifestasi
klinis.
4) Pada prinsipnya semua organ tubuh pejamu dapat diserang oleh mikroba
patogen, namun kebanyakan mikroba pathogen hanya menyerang organ–
organ tubuh tertentu dari pejamu (target organ) secara selektif.
5) Besarnya kemampuan merusak dan menimbulkan manifestasi klinis dari
mikroba patogen terhadap pejamu dapat dinilai dari beberapa faktor
berikut.
a. Infeksivitas
Besarnya kemampuan yang dimiliki mikroba patogen untuk melakukan
invasi, berkembang biak dan menyesuaikan diri, serta bertempat tinggal
pada jaringan tubuh pejamu.
b. Patogenitas
Derajat respon / reaksi pejamu untuk menjadi sakit.
c. Virulensi
Besarnya kemampuan yang dimiliki mikroba patogen untuk merusak
jaringan pejamu
d. Toksigenitas

8
Besarnya kemampuan mikroba patogen untuk menghasilkan toksin, di
mana toksin tersebut akan berpengaruh bagi tubuh pejamu dalam
perjalanan penyakitnya.
e. Antigenitas
Kemampuan mikroba patogen merangsang timbulnya mekanisme
pertahanan tubuh (antibody) pada diri pejamu. Kondisi ini akan
mempersulit mikroba patogen itu sendiri untuk berkembang biak,
karena mekanisme tersebut akan memperlemah respon tubuh pejamu
untuk menjadi sakit.
Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi
Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah
tindakan yang harus diutamakan. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan
dengan cara memutuskan rantai penularannya. Rantai penularan adalah suatu
rangkaian proses berpindahnya mikroba patogen dari sumber penularan
(reservoir) ke pejamu dengan / tanpa media perantara.14 Jadi, kunci untuk
mencegah atau mengendalikan penyakit infeksi adalah dengan mengeliminasi
mikroba patogen yang bersumber pada reservoir serta mengamati mekanisme
transmisinya, khususnya yang menggunakan media perantara.
Sumber-sumber penularan atau reservoir yang telah diketahui adalah orang
(penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang
sekaligus dapat berfungsi sebagai media perantara. Contoh lain adalah sampah,
limbah, ekskreta / sekreta dari penderita, sisa makanan, dan lain–lain. Apabila
perilaku hidup sehat sudah menjadi budaya dan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari–hari, serta sanitasi lingkungan yang sudah terjamin, diharapkan kejadian
penularan penyakit infeksi dapat ditekan serendah mungkin.
Beberapa faktor yang dapat berperan dalam terjadinya infeksi dibagi
menjadi 4, yaitu:
1) Faktor intrinsik: seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum, resiko terapi,
adanya penyakit lain, tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja.

9
2) Faktor ekstrinsik: seperti dokter, perawat, penderita lain, bangsal /
lingkungan, peralatan, material medis, pengunjung/keluarga, makanan dan
minuman.
3) Faktor keperawatan: lamanya hari perawatan, menurunnya standar
perawatan, dan padatnya penderita.
4) Faktor mikroba patogen: kemampuan invasi / merusak jaringan, dan
lamanya paparan.

2. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang dapat disebabkan oleh
berbagai kausa,termasuk infeksi virus atau pajana ke bahan – bahan toksik.
Pada hepatitis virus, Peradangan hati yang berkepanjangan atau berulang,
yang biasanya berkaitan dengan alkoholisme kronik, dapat menyebabkab
sirosis, suatu keadaan berupa penggantian hepatosit yang rusak secara
permanen oleh jaringan ikat. Jaringan hati memiliki kemampuan mengalami
regenerasi, dan dalam keadaan normal mengalami pertukaran sel yang
bertahap. Apabila sebagian jaringan hati rusak, jaringan yang rusak tersebut
dapat diganti melalui peningkatan kecepatan pembelahan sel – sel yang sehat.
Tampaknya terdapat suatu faktor dalam darah yang bertanggung jawab
mengatur proliferasi sel hati, walaupun sifat dan mekanisme factor pengatur
ini masih merupakan misteri. Namun, seberapa cepat hepatosit dapat diganti
memiliki batas. Selain hepatosit, di antara lempeng – lempeng hati juga
ditemukan beberapa fibroblast ( sel jaringan ikat ) yang membentuk jaringan
penunjang bagi hati. Bila hati berulang – ulang terpajan ke bahan – bahan
toksik misalnya alcohol, sedemikian seringnya, sehingga hepatosit baru tidak
dapat beregenerasi cukup cepat untuk mengganti sel – sel yang rusak,
fibroblast yang kuat akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi
berlebihan.
Tambahan jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan
kembali hepatosit berkurang. Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus

10
pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik
terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi).
Hepatitis adalah peradangan dari sel-sel liver yang meluas/ menyebar ,
hepatitis virus merupakan jenis yang paling dominan. Luka pada organ liver
dengan peradangan bisa berkembang setelah pembukaan untuk sejumlah
farmakologi dan bahan kimia dari inhalasi, ingesti, atau pemberian obat
secara parenteral (IV). Toxin dan Drug induced Hepatitis merupakan hasil
dari pembukaan atau terbukanya hepatotoxin, seperti : industri toxins, alkohol
dan pengobatan yang digunakan dalam terapi medik.
Istilah "Hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati
(liver). Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan
obat-obatan, termasuk obat tradisional. Virus hepatitis juga ada beberapa
jenis, hepatitis A, hepatitis B, C, D, E, F dan G. Manifestasi penyakit hepatitis
akibat virus bisa akut ( hepatitis A ) dapat pula hepatitis kronik (hepatitis
B,C) dan adapula yang kemudian menjadi kanker hati ( hepatitis B dan C ).
hepatitis yang biasanya disebabkan oleh obat-obatan, alkohol (hepatitis
alkoholik), dan obesitas serta gangguan metabolisme yang menimbulkan
nonalkoholik steatohepatitis (NASH) disebut Hepatitis nonvirus.
a. Penularan
Daerah dimana penyakit ini endemik ( Kutub, Afrika, Cina, Asia Selatan
dan Amazon ), bentuk penularan yang sering adalah secara perinatal dari
ibu terinfeksi pada bayinya. Di Negara berkembang dengan prevalensi
penyakit lebih rendah, rute utama penularan adalah seksual dan
parenteral. Di Amerika Serikat, populasi risiko tinggi meliputi laki – laki
homoseksual, pengguna obat intravena, petugas perawatan kesehatan dan
mereka yang mendapat transfusi darah.
b. Patofisiologi
Virus harus dapat masuk ke aliran darah dengan inokulasi langsung,
melalui mebran mukosa atau merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati,
replikasi perlu inkubasi 6 minggu sampai 6 bulan sebelum penjamu
mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk mereka yang

11
mengalami gejala, tingkat kerusakan hati, dan hubungannya dengan
demam yang diikuti ruam, kekuningan, arthritis, nyari perut, dan mual.
Pada kasus yang ekstrem, dapat terjadi kegagalan hati yang diikuti
dengan ensefalopati. Mortalitas dikaitkan dengan keparahan mendekati
50%. Infeksi primer atau tidak primer tampak secara klinis, sembuh
sendiri dalam 1 sampai 2 minggu untuk kebanyakan pasien. Kurang dari
10% kasus, infeksi dapat menetap selama beberapa dekade. Hepatitis B
dipertimbangkan sebagai infeksi kronik pada saat pasien mengalami
infeksi sisa pada akhir 6 bulan. Komplikasi berhubungan dengan
hepatitis kronik dapat menjadi parah, dengan kanker hati, sirosis dan
asites terjadi dalam beberapa tahun sampai dengan puluhan tahun setelah
infeksi awal.
c. Diagnosis.
Tes serologik untuk hepatitis akan memberi informasi diagnostik dan
informasi tentang tingkat penularandan kemungkinan tahap penyakit. Tes
dilakukan langsung berhubungan dengan virus dan antibodi yang
dihasilkan penjamu dalam merespons protein tersebut. Virus mempunyai
inti dan bagian luar sebagai pelindung. Protein behubungan dengan
bagian antigen inti dan antigen permukaan.
Tes laboratorium untuk antigen inti tidak tersedia, tetapi antigen
permukaan sering menunjukan HBsag, yang dapat didetekasi, dalam
beberapa minggu awal infeksi. Peningkatan titer selama beberapa minggu
dan juga terjadi penurunan pada tingkat yang tidak dapat dideteksi.
Adanya HBsag menadakan infeksi saat itu dan tingkat penularan relative
tinggi. Antigen lain yang merupakan bagian dari virus disebut e antigen
( HBeag ). HBeag adalah penanda ketajaman yang sangat sensitive
karena dapat dideteksi dalam perkiraan terdekat pada waktu penyakit
klinis dan pada saat di mana tampak risiko menjadi lebih besar untuk
menular.
d. Vaksin

12
Vaksin hepatiis B dihasilkan dengan menggunakan antigen hepatitis B
untuk menstimulasi produksi antibodi dan untuk memberikan
perlindungan terhadap infeksi, keamanan, dan keefektifannya mendekati
90% dari vaksinasi. Karena virus hepatitis B mudah ditularkan dengan
jarum suntik di area perawatan kesehatan. Penurunan infeksi perinatal
dan risiko penularan terjadi setelah kelahiran, vaksin hepatitis B
diberikan secara rutin pada bayi setelah lahir. Vaksinasi individual ( yang
sebelumnya tidak terinfeksi ) akan memiliki serologi hepetitis B yang
positif hanya pada HBsab. Ini menjamin kekebalan yang dihasilkan olah
vaksin yang dapat dibedakan dari produksi alami, saat inti antbodi juga
ada.
3. TORCH
a. Pengertian Torch
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella,
Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri
dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak
klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus,
Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).
b. Penyebab
Penyebab utama dari virus dan parasit TORCH (Toxoplasma,
Rubella, CMV, dan Herpes) adalah hewan yang ada di sekitar kita,
seperti ayam, kucing, burung, tikus, merpati, kambing, sapi, anjing,
babi dan lainnya. Meskipun tidak secara langsung sebagai penyebab
terjangkitnya penyakit yang berasal dari virus ini adalah hewan, namun
juga bisa disebabkan oleh karena perantara (tidak langsung) seperti
memakan sayuran, daging setengah matang dan lainnya.
Dalam dunia medis, Toxoplasma sering disebut juga dengan virus
kucing. Biasanya disebut juga Toxo, tokso, toksoplasma, atau
toksoplasmosis. Padahal sesungguhnya ini bukan virus kucing, tetapi
parasit darah. Kenapa sering disebut virus kucing : selain sebutan ini
sudah salah kaprah, memang parasit ini tumbuhnya di dalam tubuh

13
binatang. Hal mana menurut penelitian di dalam maupun di luar negeri,
70% penyebab penyakit ini adalah kotoran kucing. Kemudian melalui
hewan lain yang menempel dalam makanan, lalu masuklah ke dalam
tubuh manusia dan menyatu dalam darah.
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut
Toxoplasma gondi. Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa
disertai gejala yang spesipik. Kira-kira hanya 10-20% kasus infeksi
Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa
timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan
masalah.
Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil
atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya
penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat
penekan respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat
terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%)
atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan. pada Toxoplasmosis
bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata
dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis.
Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis sukar ditentukan karena
gejala-gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala
(sub klinik). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mutlak
diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang
lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta
Aviditas Anti-Toxoplasma IgG.
Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada orang yang diduga
terinfeksi Toxoplasma, ibu-ibu sebelum atau selama masa hamil (bila
hasilnya negatif pelu diulang sebulan sekali khususnya pada trimester
pertma, selanjutnya tiap trimeter), serta bayi baru lahir dari ibu yang
terinfeksi Toxoplasma.

14
Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan
janin yang dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada
searing sulit dibedakan dari penyakit lain karena gejalanya tidak
spesifik. Walaupun ada yang memberi gejala ini tidak muncul sehingga
menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosis. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk membantu
mengetahui infeksi TORCH agar dokter dapat memberikan penanganan
atau terapi yang tepat.
c. Cara Penularan TORCH
Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama,
secara aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan
secara aktif disebabkan antara lain sebagai berikut :
1) Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang
terinfeksi (mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing,
domba, kerbau, babi, ayam, kelinci dan lainnya. Kemungkinan
terbesar penularan TORCH ke manusia adalah melalui jalur ini,
yaitu melalui masakan sati yang setengah matang atau masakan lain
yang dagingnya diamsak tidak semnpurna, termasuk otak, hati dan
lainnya.
2) Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing
yang menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung oosista
akan mencemari tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber
penularan baik pada manusia maupun hewan. Tingginya resiko
infeksi TORCH melalui tanah yang tercemar, disebabkan karena
oosista bisa bertahan di tanah sampai beberapa bulan ( Howard,
1987).
3) Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok
jaringan (trozoid, sista), kecelakaan di laboratorium yang
menyebabkan TORCH masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja
masuk melalui luka (Remington dan McLeod 1981, dan Levine
1987).

15
4) Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan
menularnya TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu
penyakit TORCH kemudian melakukan hubungan seksual dengan
seorang wanita (padahal sang wanita sebelumnya belum terjangkit)
maka ada kemungkinan wanita tersebut nantinya akan terkena
penyakit TORCH sebagaimana yang pernah diderita oleh lawan
jenisnya.
5) ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH
ketika mengandung maka ada kemungkinan juga anak yang
dikandungnya terkena penyakit TORCH melalui plasenta.
6) Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya
penyakit TORCH. Hal ini bisa terjadi seandainya sang ibu yang
menyusui kebetulan terjangkit salah satu penyakit TORCH maka
ketika menyusui penyakit tersebut bisa menular kepada sang bayi
yang sedang disusuinya.
7) keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel
di kulit juga bisa menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH.
Hal ini bisa terjadi apabila seorang yang kebetulan kulitnya
menmpel atau pun lewat baju yang baru saja dipakai si penderita
penyakit TORCH.
8) faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada
manusia, antara lain adalah kebiasaan makan sayuran mentah dan
buah - buahan segar yang dicuci kurang bersih, makan tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu, mengkonsumsi makanan dan
minuman yang disajikan tanpa ditutup, sehingga kemungkinan
terkontaminasi oosista lebih besar.
9) air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH.
Cara penularannya juga hampir sama dengan penularan pada
hubungan seksual.
d. Diagnosa Penyakit TORCH

16
Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk
menangani suatu penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan
gejala klinis sering sukar dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa
laboratorik dengan memeriksa serum darah, untuk mengukur titer-titer
antibodi IgM atau IgG-nya.
Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang
spesifik, bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara
umum keluhan yang dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo,
migran, penglihatan kabur, pendengaran terganggu, radang
tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah lesu, kesemutan, sulit
tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.
Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi
tidak lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh
kembang anak, dan ketidaksempurnaan lainnya.Namun begitu, gejala
diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit TORCH sebelum
dibuktikan dengan uji laboratorik.
e. Pengobatan TORCH
Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.
Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu
Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin M (IgM). Normalnya
keduanya negatif. Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi
terjadi dimasa lampau dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada
keadaan ini tidak perlu diobati.
Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru
terjadi dan harus diobati. Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk
hamil karena ada kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan
ditunda sampai 1 bulan setelah pengobatan selesai (umumnya
pengobatan memerlukan waktu 1 bulan). Jika IgG positif dan IgM juga
positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG Aviditas. Jika
hasilnya tinggi,maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya
rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan.

17
Pada infeksi Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi
kehamilan, teruskan kehamilan dan lanjutkan terapi sampai
melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi kehamilan saat terapi,
pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan dengan konsultasi
kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda. Pengobatan
TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan obat-obatan
seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan,
acyclovir, azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya. Namun
tentu pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu
yang cukup lama. Selain itu, terdapat pula cara pengobatan alternatif
yang mampu menyembuhkan penyakit TORCH ini, dengan tingkat
kesembuhan mencapai 90%.
Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat
spiramisin (spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya
bertujuan untuk menurunkan dampak (resiko) infeksi yang timbul pada
janin. Namun sayangnya obat-obatan tersebut seringkali menimbulkan
efek mual, muntah dan nyeri perut. Sehingga perlu disiasati dengan
meminum obat-obatan tersebut sesudah atau pada waktu makan.
Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan
TORCH untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya
saja yang positif sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati.
Sebaliknya apabila IgM nya positif (IgG bisa positif atau negative),
maka pasien baru perlu mendapatkan pengobatan.
B. Komplikasi dalam Kehamilan dan Persalinan serta Penanganannya
1. Preterm
1.1 Pengertian
Persalinan preterm adalah proses persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 20-36 minggu. Diklasifikasikan menjadi persalinan preterm awal
(sebelum 33 minggu) dan persalinan preterm akhir (34-36 minggu).
1.2 Klasifikasi persalinan kurang bulan
a. Menurut kejadiannya, digolongkan menjadi:

18
1) sekitar 50% penyebab persalinan kurang bulan tidak diketahui, oleh
karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik. Sekitar 12,5%
persalinan kurang bulan spontan didahului oleh ketuban pecah dini,
yang sebagian besar disebabkan faktor infeksi (korioamnionitis).
2) Iatrogenik/elektif
persalinan kurang bulan buatan iatrogenik disebut Juga sebagai elective
preterm (Moutquin, 2003).
b. Menurut usia kehamilan, diklasifikasikan dalam:
1) Preterm/Kurang bulan: usia keharnilan 32-<37 minggu
2) Very Preterm/Sangat kurang bulan: usia kehamilan 28-<32 minggu
3) Extremely Preterm/Ekstrim kurang bulan: usia kehamilan <28
minggu (WHO, 2015).
c. Menurut berat badan lahir, dibagi dalam kelompok:
1) Berat bayi lahir rendah: berat badan bayi 1500-2500 gram,
2) Berat bayi lahir sangat rendah: berat badan bayi 1000-1500 gram
3) Berat bayi lahir ekstrim rendah: Berat badan bayi<1000 gram (WHO,
2015).
1.3 Patofisiologi
Patofisiologi persalinan preterm adalah mekanisme patologis yang
memicu persalinan sebelum usia kehamilan cukup bulan. Keadaan
patologis misalnya infeksi pada ibu, janin, maupun cairan ketuban, yang
dapat memicu Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS), sehingga
menghasilkan kortisol, oksitosin dan berbagai prostaglandin. Keadaan ini
akan menstimulasi pematangan serviks, kontraksi uterus serta ruptur desidua
dan membran.
Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS)
Keadaan patologis seperti korioamnionitis dapat memicu Fetal
Inflammatory Response Syndrome (FIRS), yaitu inflamasi sistemik yang
dapat memicu terjadinya persalinan preterm karena peningkatan kadar fetal
plasma interleukin-6. Hal ini dapat terjadi karena chorioamnionitis memicu
terjadinya stress pada janin sehingga hipotalamus janin bereaksi dengan

19
mensekresi Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang selanjutnya
menstimulasi pelepasan Adrenocortocotropic Hormone (ACTH) sehingga
menghasilkan kortisol. Kortisol inilah yang kemudian akan memicu
aktivasi langkah-langkah proses persalinan.[2] Peningkatan kadar kortisol
juga merupakan etiologi terjadinya abortus karena memicu stres oksidatif
pada janin.
Selain itu, karena peningkatan sel inflamasi yang menginfiltrasi stroma
serviks, akan memicu pelepasan oksitosin dan prostaglandin. Keadaan
tersebut dapat menstimulasi pematangan serviks melalui perubahan struktur
kolagen dan glikosaminoglikan.
Kontraksi uterus yang adekuat terjadi saat pergeseran jalur anti-
inflamasi menjadi pro-inflamasi, termasuk munculnya chemokines
(interleukin-8), cytokines (interleukin-1 dan -6), dan reseptor yang
menginduksi kontraksi (reseptor oksitosin, connexin 43, reseptor
prostaglandin). Perubahan kontraksi uterus ini juga diatur oleh kontrol saraf,
dimana oksitosin memainkan peran yang penting. Miometrium yang
berkontraksi secara menetap dan terkoordinasi ini dapat mendorong janin
memasuki pintu atas panggul. Keberadaan progesteron dapat
mempertahankan ketenangan miometrium dengan cara menekan ekspresi
zat-zat inflamasi di atas.
1.4 Penatalaksanaan
Tata laksana wanita hamil dengan dugaan persalinan preterm adalah
kedaruratan untuk menentukan apakah persalinan benar segera terjadi atau
masih presentasi awal. Berbagai kemungkinan etiologi segera dicari untuk
penanganan yang tepat. Pada kasus persalinan preterm 24-34 minggu, terapi
dapat diberikan kortikosteroid, tokolitik dan antibiotik. Akan tetapi bila
persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu atau
kurang dari 24 minggu maka tidak perlu diberikan tokolitik dan bayi
dilahirkan secara pervaginal atau perabdominal tergantung kondisi
kehamilan.
Terapi Kortikosteroid

20
Terapi kortikosteroid pada persalinan preterm diberikan pada usia
kehamilan diantara 24 sampai 34 minggu yang bertujuan untuk mengurangi
angka mortalitas dan morbiditas dan diharapkan dapat memberikan luaran
yang lebih baik pada neonatus. Dosis yang diberikan adalah dengan
pemberian Betamethasone, dua dosis 12-mg diberikan secara intramuskular
per 24 jam, atau dexamethasone, empat dosis 6-mg diberikan secara
intramuskular tiap 12 jam.

2. Kecil Masa Kehamilan


2.1 Pengertian
KMK adalah berat badan bayi dibawah persentil 10 atau ≤ 2 standar
deviasi sesuai usia kehamilan. Definisi KMK dijelaskan sebagai berat badan
bayi lebih rendah dari populasi normal atau lebih rendah dari berat badan
yang telah ditentukan. Ponderal index merupakan suatu formula
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi massa jaringan lunak pada
bayi yang tidak sesuai dengan perkembangan skeletal. Oleh karena itu,
Ponderal index dibawah persentil 10 digunakan untuk identifikasi bayi PJT
(Pertumbuhan janin terhambat).5 Jadi, semua bayi PJT belum tentu KMK,
dan semua bayi KMK belum tentu kecil sebagai hasil dari proses restriksi
pertumbuhan.
2.2 Etiologi
Penyebab bayi KMK dapat diketahui meskipun tidak secara
pasti, mekanisme yang mendasari bermacam-macam dan dapat
mempengaruhi panatalaksanaannya. Mekanisme utama dihubungkan
dengan metabolisme abnormal yang bervariasi dan dapat mempengaruhi
penentuan pengelolaan bayi dengan KMK. Perlu dicatat bahwa diagnosis
keluarga dengan perawakan pendek, Turner syndrome, sindroma
perawakan pendek yang lainnya, defisiensi Hormon Pertumbuhan, atau
displasia skeletal tidak dapat disamakan dengan klasifikasi KMK.

21
Kelemahan pertumbuhan saat janin bisa disebabkan banyak faktor
mencakup faktor maternal, plasenta, dan janin itu sendiri :
a) Faktor maternal : umur, paritas, kondisi medis seperti hipertensi,
infeksi (biasanya toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan
herpesvirus), malnutrisi, penggunaan alkohol, merokok.
b) Faktor plasenta : meliputi ketidaksesuaian antara perfusi plasenta dan
oksigenasi janin, pemeriksaan plasenta oleh patologis dapat membantu
menemukan penyebabnya termasuk vaskular.
c) Faktor janin : kromosom abnormal, dan kerusakan genetika, tes
genetik khusus dan atau konsultasi dengan ahli genetika sangat
berguna.

3. Trauma Persalinan
3.1 Pengertian
Melahirkan bisa menjadi hal yang memunculkan trauma bagi para ibu.
Proses kelahiran yang traumatis akan berdampak pada kesehatan mental
setelah melahirkan bagi perempuan. Tidak hanya itu, kelahiran yang
traumatis dapat pula berdampak pada hubungan keluarga. Pregnancy Birth
Baby menjelaskan trauma kelahiran adalah kesusahan yang dialami ibu
selama atau setelah melahirkan. Meskipun trauma dapat menyerang pada
fisik, trauma kelahiran sering kali berlaku secara emosional dan psikologis.
Diperkirakan 1 dari 3 wanita mengalami trauma setelah melahirkan.
Trauma selama melahirkan tidak selalu disebabkan oleh proses yang
terjadi selama melahirkan. Trauma dapat pula muncul pada proses setelah
melahirkan. Penelitian menyebutkan faktor yang menyebabkannya adalah
kehilangan kontrol diri, ketakutan akan kesehatan atau keadaan bayi
mereka, nyeri fisik, dan kurangnya komunikasi yang menjelaskan keadaan-
keadaan tersebut kepada ibu hamil. Selama beberapa tahun terakhir, tingkat
trauma kelahiran terus menurun.

22
Faktor Penyebab Trauma Kelahiran Ada berbagai hal yang dapat
memicu trauma pada proses kelahiran yang akan dilangsungkan. Beberapa
diantaranya dilansir dari Pregnancy Birth Baby adalah sebagai berikut:
a. Proses persalinan yang tidak sesuai dengan harapan
b. Persalinan yang sulit dan menyakitkan
c. Komplikasi dalam persalinan
d. Operasi sesar darurat
e. Bayi atau ibu yang menderita cedera saat lahir
f. Bayi yang membutuhkan perawatan medis setelah melahirkan
g. Kematian bayi yang baru lahir
h. Tidak mendapatkan dukungan atau perawatan yang dibutuhkan selama
atau setelah proses kelahiran
i. Trauma pada kelahiran sebelumnya
j. Cemas Namun ada pula alasan lain yang dapat memicu trauma saat atau
setelah proses kelahiran. Beberapanya adalah kekerasan dalam rumah
tangga, pelecehan seksual pada masa anak-anak, atau pemerkosaan.
3.2 Penanganan
Cara Mengatasi Trauma Pasca-Kelahiran Gejala psikologis termasuk
baby blues menjadi hal yang umum pasca kelahiran. Namun, apabila ibu
masih merasa tertekan selama lebih dari 2 minggu kemungkinan besar ibu
mengalami depresi atau kecemasan dan trauma setelah melahirkan.
Penelitian di Australia menyebutkan bahwa 1 dari 20 ibu dapat
menunjukkan tanda trauma setelah melahirkan pada 12 minggu setelah
proses mleahirkan
Berikut adalah cara untuk mengatasinya:
a. Berbicara dengan tenaga kesehatan segera setelah melahirkan tentang
pengalaman yang dialami.
b. Minta dukungan secara praktis dan emosional dari teman atau keluarga
c. Alihkan stres pada hal positif seperti berolahraga dan lain-lain.
d. Minum obat dan lakukan terapi jika diperlukan.
e. Konsultasi terus dengan dokter atau tenaga kesehatan yang profesional

23
C. Komplikasi Pada Bayi Baru Lahir
1. Ikterus Patologis dan Menajemennya
1.1 Pengertian
Ikterus patologis adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda
penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit
dalam darah.
1.2 Diagnosis
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit dalam cahaya buatan. Paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan
sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena
pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat
ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar
bilirubin bebas; kadar bilirubin 1 dan 2 atau secara klinis dilakukan di
bawah sinar matahari biasa (day-light). Sebaiknya penilaian ikterus
dilakukan secara laboratoris, apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat
dilakukan secara klinis. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk
penegakan diagnosa ikterus, yaitu:
1) Visual
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus
secara visual, yaitu sebagai berikut :
a) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang
hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah
bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan biasanya tidak terlihat
pada pencahayaan yang kurang.
b) Tekan kulit bayi dengan lembut menggunakan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
c) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning.

Daerah kulit bayi yang berwarna kuning ditentukan


menggunakan rumus Kremer, seperti di bawah ini

24
Daerah (Lihat Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)
Gambar)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 9
(+)
Badan bagian atas
3 Daerah 1,2 11
(+)
Badan bagian bawah dan tungkai
4 Daerah 1,2,3 12
(+)
Lengan dan kaki di bawah
dengkul
5 Daerah 1,2,3,4 16
(+)
Tangan dan kaki

Pada kern-ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain,
bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements),kejang, tonus otot meninggi, leher
kaku dan akhirnya epistotonus.

2) Bilirubin Serum

25
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi
lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakna invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus
dilindungi dari cahaya dengan aluminium foil. Beberapa senter
menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total >20
mg/dl atau usia bayi >2 minggu.
3) Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja
dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan
panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan
representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan
bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini yang dipakai alat menggunakan
multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.
Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan
untuk diagnosis.
4) Pemeriksaan Bilirubin Bebas dan Co
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal
ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada
konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan
untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan
metode oksidase-peroksidase. Prinsip dari metode ini berdasarkan
kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin
menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas,
tatalaksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui
bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran

26
konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan
sebagai indeks produksi bilirubin.
1.3 Penanganan
Penanganan ikterus pada bayi baru lahir yang ditandai dengan warna kuning
pada kulit dan sklera mata tanpa adanya hepatomegali, perdarahan kulit
dan kejang-kejang, yaitu:
1) Ikterus Fisiologis
a) Ikterus fisiologis yang mempunyai warna kuning di daerah 1 dan 2
(menurut rumus Kremer), dan timbul pada hari ke 3 atau lebih serta
memiliki kadar bilirubin sebesar 5-9 mg% maka penanganan yang
dapat dilakukan yaitu bayi dijemur di bawah sinar matahari pagi
sekitar pukul 7-9 pagi selama 10 menit dengan keadaan bayi telanjang
dan mata ditutup. Kemudian bayi tetap diberikan ASI lebih sering dari
biasanya.
b) Ikterus fisiologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 4
(berdasarkan rumus Kremer) yang timbulnya pada hari ke 3 atau
lebih dan memiliki kadar bilirubin 11-15 mg% maka penanganan
yang dapat dilakukan bila di bidan atau puskesmas yaitu menjemur
bayi dengan cara telanjang dan mata ditutup di bawah sinar matahari
sekitar jam 7-9 pagi selama 10 menit, memberikan ASI lebih sering
dibandingkan biasanya. Bila dirawat di rumah sakit maka penanganan
yang dapat dilakukan yaitu terapi sinar, melakukan pemeriksaan
golongan darah ibu dan bayi serta melakukan pemeriksaan kadar
bilirubin.
2) Ikterus Patologis
a) Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan kadar bilirubin >5-20
mg% maka penanganan yang dapat dilakukan bila di bidan atau
puskesmas yaitu menjemur bayi dengan cara telanjang dan mata
ditutup di bawah sinar matahari sekitar jam 7-9 pagi selama 10 menit,
memberikan ASI lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di

27
rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu terapi sinar,
melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta
melakukan pemeriksaan kadar bilirubin, waspadai bila kadar bilirubin
nail > 0,5 mg/jam, coomb’s test.
b) Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan kadar bilirubin >20 mg
% maka penanganan yang dapat dilakukan bila di bidan atau
puskesmas yaitu rujuk ke rumah sakit dan anjurkan untuk tetap
memberikan ASI lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di
rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu melakukan
pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta melakukan
pemeriksaan kadar bilirubin, tukar darah.
1.4 Pencegahan Ikterus
Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam rangka pencegahan terhadap
ikterus yaitu :
1) Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugai
dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan
membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang
berarti, mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu 2 hari sebelum
kelahiran bayi.
2) Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubin bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma yang dosisnya 30 ml/kgBB.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
3) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi, ini ternyata
setelah dicoba dengan bantuan alat dapat menurunkan kadar bilirubin
dengan cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikna
tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan
untuk pra dan pasca tranfusi tukar, alat fototerapi dapat dibuat sendiri.

28
4) Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cra pengawasan
kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sendiri mungkin
infeksi pada janin dan hipoksia (kekurangan oksigen)pada janin di dalma
rahim. Pada masa persalinan, jika terjadi hipoksia, misalnya karena
kesulitan lahir, lilitan tali pusat dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat
dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir biasakan anak dijemur di bawah
sinar matahari pagi sekitar jam 7-8 pagi selama 15 menit dengan
membuka pakaian.
2. Kelainan Kongenital dan Pengelolaannya
Pada banyak kasus, kelainan kongenital terjadi pada 3 bulan pertama
kehamilan, yaitu saat organ pada tubuh bayi baru mulai terbentuk. Kelainan
kongenital umumnya tidak berbahaya, namun ada pula yang harus segera
ditangani.Kelainan kongenital bisa terdeteksi pada masa kehamilan atau saat
bayi dilahirkan. Tetapi ada juga kelainan kongenital yang baru bisa
diketahui pada masa tumbuh kembang anak, misalnya gangguan
pendengaran.

2.1 Jenis dan Gejala Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital dapat dibedakan menjadi kelainan fisik dan kelainan


fungsional, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:

1) Kelainan fisik
Cacat lahir yang memengaruhi fisik atau bagian tubuh bayi antara lain:
a) Bibir sumbing
Bibir sumbing adalah kondisi terbentuknya celah pada bibir bagian atas,
langit-langit mulut, atau keduanya.
b) Kelainan jantung bawaan
Kelainan jantung bawaan adalah pembentukan jantung atau pembuluh
darah besar yang tidak normal. Ada beberapa jenis kelainan jantung

29
bawaan, yaitu Kebocoran katup jantung, Patent ductus arteriosus,
Penyempitan katup jantung, Tetralogy of Fallot
c) Kelainan bentuk tangan atau kaki
Kelainan bawan pada bentuk tangan atau kaki dapat berupa:
 Satu tangan atau kaki lebih besar atau lebih kecil.
 Jumlah jari tangan atau jari kaki lebih banyak dari normal
(polidaktili).
 Satu atau lebih jari tangan atau jari kaki menempel satu sama lain.
 Terlahir tanpa tangan atau kaki.
Perlu diketahui, cacat lahir pada bentuk tangan dan kaki merupakan
kelainan yang jarang terjadi.
d) Neural tube defect (NTD)
NTD adalah cacat lahir pada struktur otak, tulang belakang, atau ruas
tulang belakang. Beberapa contoh kelainan neural tube defect adalah
anensefali, encephalocele, iniencephaly, dan spina bifida.
2) Kelainan Fungsional
Kelainan fungsional merupakan kelainan bawaan yang terkait dengan
kelainan sistem atau fungsi organ tubuh. Kelainan tersebut antara lain:
a) Kelainan fungsi otak dan saraf, yang terkait dengan aspek intelektual,
perilaku, bahasa, dan gerak tubuh. Contoh penyakit kelainan ini adalah
sindrom Down dan sindrom Prader-Willi.
b) Kelainan yang membuat tubuh tidak mampu membuang zat kimia sisa
metabolisme. Contoh kelainan ini adalah fenilketonuria dan kekurangan
hormon tiroid (hipotiroid kongenital).
c) Kelainan yang sering kali tidak terlihat saat lahir, namun memburuk
secara bertahap. Contohnya adalah distrofi otot atau gangguan
pendengaran.
Cacat lahir seperti bibir sumbing atau kelainan bentuk tangan dan kaki bisa
langsung terdeteksi saat bayi lahir. Sedangkan pada bayi dengan kelainan
jantung bawaan, penting bagi orang tua bayi untuk mengamati gejala di
bawah ini:

30
 Napas yang cepat.
 Sesak napas saat disusui.
 Berat badan menurun.
 Kulit kebiruan atau sianosis.
 Pembengkakan pada kelopak mata, perut, dan tungkai.

Sebagai pencegahan, periksakan bayi Anda secara rutin dan penuhi


jadwal imunisasi sesuai anjuran dokter anak. Langkah ini penting agar
dokter dapat memantau proses tumbuh kembang bayi, dan memberikan
penanganan lebih dini jika terdeteksi kelainan bawaan.

Konsultasi genetik sebelum menikah juga sangat disarankan, terutama


bila Anda atau pasangan memiliki penyakit yang dapat diturunkan kepada
anak sebagai kelainan bawaan, misalnya cystic fibrosis dan penyakit Tay-
Sachs.

Periksakan kehamilan secara rutin ke dokter kandungan untuk


menjaga kehamilan tetap sehat. Ikuti jadwal pemeriksaan kehamilan sesuai
anjuran dokter atau menurut jadwal berikut1 bulan sekali, sejak minggu
ke-4 sampai minggu ke-28.

 1 bulan sekali, sejak minggu ke-4 sampai minggu ke-28.


 2 minggu sekali, sejak minggu ke-28 sampai minggu ke-36.
 1 minggu sekali, sejak minggu ke-36 sampai minggu ke-40.

2.2 Diagnosis Kelainan Kongenital

Kelainan bawaan sering kali bisa langsung diketahui melalui


pemeriksaan fisik ketika bayi dilahirkan. Namun pada kondisi tertentu,
misalnya kelainan jantung bawaan, dokter akan menjalankan pemeriksaan
penunjang, seperti foto Rontgen, MRI, echo jantung, atau EKG.

Pada beberapa kasus, kelainan bawaan pada bayi dapat terdeteksi sejak
masa kehamilan. Misalnya, untuk mendeteksi spina bilfida, dokter akan

31
melakukan tes darah, USG kehamilan, dan pemeriksaan sampel cairan
ketuban pada ibu hamil.

2.3 Pengobatan Kelainan Kongenital

Pengobatan kelainan bawaan akan disesuaikan dengan jenis kelainan


yang diderita. Metodenya bisa dengan pemberian obat-obatan, alat bantu,
terapi, sampai operasi. Beberapa contoh pengobatannya adalah:

1) Pemberian obat kortikosteroid, seperti prednisone, untuk distrofi otot.


2) Pemakaian alat bantu jalan untuk kelainan bentuk tangan dan kaki.
3) Pemakaian alat bantu dengar untuk gangguan pendengaran.
4) Operasi untuk kelainan jantung bawaan, misalnya pemasangan sumbatan
pada patent ductus arteriosus, dan bedah jantung pada tetralogy of fallot.
5) Operasi rekonstruksi untuk bibir sumbing atau kelainan bentuk bagian
tubuh lain.
2.4 Pencegahan Kelainan Kongenital
Kebanyakan kelainan bawaan tidak bisa dicegah, namun risiko terjadinya
kelainan tersebut dapat dikurangi dengan melakukan langkah-langkah di
bawah ini :
1) Sebelum kehamilan
a) Pastikan mengikuti imunisasi sesuai jadwal.
b) Pastikan Anda dan pasangan tidak menderita penyakit menular
seksual.
c) Penuhi asupan asam folat sebelum merencanakan kehamilan.
d) Lakukan konsultasi dan tes genetik, terutama jika Anda atau
pasangan memiliki penyakit yang dapat diturunkan kepada anak
sebagai kelainan bawaan.
e) Konsultasikan dengan dokter terlebih dahulu sebelum mengonsumsi
obat-obatan sebelum hamil.
2) Selama kehamilan
a) Jangan merokok dan hindari paparan asap rokok.
b) Hindari mengonsumsi minuman beralkohol.

32
c) Jangan menggunakan NAPZA.
d) Lakukan olahraga ringan dan cukupi waktu
e) Lakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin.

33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir merupakan suatu
keadaan yang fisiologis namun dalam prosesnya terdapat kemungkinan suatu
keadaan yang dapat mengancam jiwa ibu dan bayi bahkan dapat
menyebabkan kematian. Setiap kehamilan dapat menimbulkan resiko
kematian ibu, pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama
kehamilan sampai nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan
bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, kementrian
kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu
dimasyarakat (Riskesdas,2013:169).
Salah satu upaya untuk mengurangi AKI dan AKB yaitu dengan
dilakukannya Asuhan kebidanan pada kehamilan mengutamakan asuhan yang
komprehensif dalam pelayanan, agar perkembangan kondisi ibu hamil dapat
terpantau dengan baik. Asuhan yang komprehensif yaitu meliputi kehamilan,
bersalin, nifas dan bayi baru lahir.
Dasar asuhan pada persalinan normal adalah asuhan yang bersih dan
aman selama persalinan dan setelah bayi lahir. Upaya pencegahan komplikasi
terutama perdarahan pasca persalinan, hipotermia, dan asfiksia bayi baru lahir.
Hal ini merupakan suatu pergeseran paradigma dari sikap menunggu dan
menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Pencegahan komplikasi selama persalinan dan setelah bayi lahir akan
mengurangi kesakitan dan kematian ibu serta bayi baru lahir
B. Kritik dan Saran
Penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal V and Hirsch E, 2012. Intrauterine infection and preterm labor, NIH
Public Access, vol.17, p.12-19

Agustina T, 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan prematur


di Indonesia tahun 2010 (analisis data Riskesdas 2010), Skripsi, Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Berghella V, 2010. Preterm birth prevention and management, Blackwell


(House AH) Publishing Ltd, Philadelphia USA.

Herman, Sriyana. 2020. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan (Premature).


Yayasan Avicenna Kendari: Kota Kendari, Sulawesi Tenggara

PerMenkes RI, 2013. Penyelenggaraan pemeriksaan laboratorium untuk iIbu


hamil, bersalin, dan nifas, Peraturan Menteri Kesehatan, Jakarta.

PerMenKes RI, 2014. PerMenKes RI No 97 Tahun 2014 tentang pelayanan


kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, bersalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, serta
pelayanan kesehatan seksual. Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Robinson JN, Norwitz ER, 2019. Preterm birth: Risk factors, interventions for
risk reduction, and maternal prognosis, CharLockwood CJ (ed.),

35

Anda mungkin juga menyukai