Anda di halaman 1dari 11

CONTOH KASUS DARI GANGGUAN DISRUPTIVE, IMPULSIVE CONTROL DAN

CONDUCT DISORDER

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu Devy Sekar Ayu Ningrum, M.Psi, Psikolog.

Disusun Oleh :
Yulianti 18010368
Melinda Basri 18010028
Elma arianissa 18010349
Neng desvia fitri dayati 18010382
Shufiyani 18010094

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat
kepada umat manusia.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama Dosen Mata
Kuliah Psikologi Abnormal yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Cimahi, Oktober 2020

Tim penyusun
CONTOH KASUS DARI GANGGUAN DISRUPTIVE, IMPULSIVE CONTROL DAN
CONDUCT DISORDER

A. Gangguan Prilaku Disruptive Disorder

1. Contoh Kasus Gangguan Prilaku Disruptive Disorder

Perilaku disruptive merupakan bentuk perilaku yang negatif baik secara verbal dan
non-verbal, seperti mengamuk, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan
agresivitas yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong dan
perilaku mengganggu lainnya. Banyak studi penelitian yang meneliti pentingnya hubungan
orang tua-anak demi perkembangan anak. Namun, bagaimana hubungan ini mempengaruhi
kehidupan anak dalam berperilaku.

Usia prasekolah adalah masa ketika anak mendapat berbagai stimulasi dari
lingkungan sekitarnya. Lingkungan menstimulasi fungsi fisik dan psikis, agar
selanjutnya anak mampu memberikan bentuk-bentuk respon secara tepat (Papalia dkk.,
2002). Hal ini sesuai dengan fungsi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yaitu sebagai
wadah pengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak sekaligus memberikan
kerangka dasar untuk membentuk interaksi sosialnya. Namun dalam praktiknya, anak
justru memunculkan perilaku maladaptif di lingkungan sekolah.

Hasil wawancara awal dengan kepala sekolah beberapa TK ABA di Yogyakarta


(Penelitian yang di lakukan oleh Ega Asnatasia Maharani dan Intan Puspitasari/ PG
PAUD/ Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/ Universitas Ahmad Dahlan)
menunjukkan adanya fenomena guru kesulitan mengatasi problem emosi dan perilaku pada
beberapa anak di kelas masing-masing. Rata-rata terdapat 4 - 10 anak di setiap
sekolah yang diduga mengalami gangguan emosi dan perilaku. Problem tersebut antara lain:
menangis berlebihan (temper tantrum), suka berbohong, anak memukul temannya, enggan
berpisah dengan ibu, menantang guru dengan cara kasar, dan hiperaktif. Akan tetapi di sisi
lain, guru pun mengalami kesulitan menentukan apakah perilaku yang ditunjukkan anak
didiknya tersebut memang digolongkan gangguan, atau masih dalam tingkatan yang wajar
dalam perkembangan anak. Kesulitan guru dalam memahami kondisi anak ini juga
diperparah dengan minimnya informasi dari orangtua. Umumnya orangtua mengatakan
anaknya ’baik-baik saja’ jika di rumah, atau cenderung menghindar ketika diajak
berdiskusi oleh pihak sekolah.

Berdasarkan uraian umum yang diberikan tersebut, dimungkinkan anak


mengalami gangguan emosi dan perilaku disruptif. Wehby, Lane and Falk mengatakan
bahwa gangguan emosi mengacu pada siswa yang menunjukkan beberapa tipe perilaku tidak
sesuai/pantas yang pada akhirnya mempengaruhi pendidikan dan kemampuan berprestasi
(Salmon, 2006). Seorang anak dikatakan memiliki gangguan emosi apabila menunjukkan
gejala-gejala psikopatologi yang mengakibatkan berbagai permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara perilaku disruptif merupakan pola perilaku yang berulang-ulang
yang mengganggu proses belajar atau interaksi sosial. Pola perilaku tersebut antara lain
seperti tantrum, agresi fisik maupun verbal, merusak barang-barang, melukai diri sendiri
dan penolakan (Claessens & Dowsett, 2014; Hayes, Giallo, & Richardson, 2010; McCabe &
Frede, 2007; Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza, & Hapsari, 2010)

Mengutip dari beberapa hasil studi, anak dengan gangguan emosi atau perilaku
disruptif memiliki berbagai kemungkinan resiko di antaranya: menghambat partisipasi anak
dalam aktivitas pendidikan, menjauhkan anak dari teman sebaya, membahayakan diri anak
maupun teman lain secara fisik, mempengaruhi keberlangsungan proses belajar dan
fungsi individu lain di kelas, mengurangi kesempatan anak untuk dapat terlibat dalam
kegiatan komunitas, serta beresiko tinggi meningkatkan angka kenakalan dan
kriminalitas di masa dewasa (Claessens & Dowsett, 2014; Hayes dkk., 2010; Wiguna
dkk., 2010).

Dampak multidimensi tersebut dapat muncul sebab baik orangtua maupun pihak
sekolah seringkali tidak memahami apa dan bagaimana penanganannya. Anak kerap
mendapat stigma negatif, mendapat label sebagai ‘anak bermasalah’, dijauhi teman
sebaya, dilihat sebagai anak bodoh yang tidak memiliki harapan. Padahal prognosa
anak dengan gangguan emosi dan perilaku disruptif cenderung positif pada kasus yang
terdeteksi sejak dini.

2. Terapi Gangguan Prilaku Disruptive

Terdapat beberapa bentuk intervensi untuk mengatasi disruptive yang pernah


dilakukan oleh para pelaksana terapi klinis dan perkembangan dengan fokus sasaran yang
berbeda-beda, yaitu pada anak, orangtua dan lingkungan. Pada anak dapat dilakukan
intervensi berupa pelatihan keterampilan sosial dan pelatihan keterampilan kognitif.
Intervensi yang melibatkan orangtua dapat berupa pelatihan terhadap tingkah laku orangtua
dan interaksi orangtua-anak. Sedangkan intervensi di lingkungan dapat berupa terapi keluarga
dan intervensi sekolah (Schroeder dan Gordon, 2002).

Kemampuan regulasi diri dinilai lebih cocok untuk mengatasi masalah internal
maupun eksternal anak dengan masalah perilaku. Anak yang mampu meregulasi diri akan
mampu mengontrol emosi dan perilakunya. Hubungan antara regulasi diri dan masalah
perilaku eksternal ditemukan di penelitian longitudinal (Berger, 2011). Model regulasi diri
terbukti dapat menuerunkan perilaku (Endler & Kocovski, 2000). Anak dengan regulasi diri
yang lemah cenderung memiliki masalah perilaku, seperti agresivitas terhadap teman
sebayanya dan hal ini juga ditemukan di masa remaja (Berger, 2011).

Anak-anak perlu mengembangkan keterampilan regulasi diri. Pengaruh yang kuat dari
keterampilan meregulasi diri dapat memberikan efek baik seperti kesiapan sekolah,
membangun hubungan dengan teman sebaya, menghindari perilaku buruk dan pola makan
sehat (Bandy & Moore, 2010). Perkembangan regulasi diri berkaitan erat dan melekat dalam
konteks sosial. Contohnya, tingkat regulasi diri yang rendah, akan mempengaruhi gaya
pengambilan keputusan kognitif impulsif, tingkat rangsangan emosional yang lebih tinggi,
sertatingkat aktivitas perilaku yang lebih tinggi (Novak & Clayton, 2001).

Terapi regulasi diri dirasa cocok untuk mengurangi perilaku mengganggu pada anak,.
Namun terapi regulasi diri saja dirasa kurang dapat menarik perhatian anak-anak dengan
perilaku menganggu sehingga terapi regulasi diri ini disajikan dalam bentuk permainan.
Terapi bermain memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk hidup, bermain, berbagi
pengalaman dan perasaan yang terkait. Proses ini memungkinkan terapis untuk masuk ke
dunia anak yang berisi aksi dan aktivitas. Terapis ikut mengalami secara pribadi dan
interaktif mengenai dimensi batin dunia anak. Hubungan terapeutik ini adalah yang
memberikan pertumbuhan dan penyembuhan yang dinamis bagi anak. Anak tidak dibatasi
untuk mendiskusikan apa yang terjadi, saat bermain anak mengidupkan pengalaman masa
lalu dan perasaan terkait (Landerth, 2001).

Terapi bermain dilakukan dengan memggunakan beberapa alat untuk bermain seperti
kartu, bola, papan, dan uno stacko. Tanpa kehadiran bahan bermain, terapis hanya bisa
berbicara dengan anak mengenai perilaku yang dilakukan oleh anak kemarin atau minggu
lalu. Terapi bermain mengajak terapis untuk mengetahui dan mengalami serta aktif
menagnani masalah anak. Proses ini merupakan proses di mana anak mengeluarkan perasaan,
membawa mereka ke permukaan, mengeluarkannya di tempat terbuka, menghadapinya, dan
belajar untuk mengendalikan atau mengabaikannya (Landerth, 2001).

Penelitian Terapi ini bertujuan untuk mengembangkan model yang dapat


digunakanpada anak yang memiliki masalah perilaku mengganggu di sekolah. Penelitian ini
berfokus pada terapi bermain dalam kelompok teman sebaya untuk meningkatkan regulasi
diri anak. Terapi kelompok bermain regulasi diri ini dilakukan secara kelompok karena ada
beberapa kelebihan dalam pelatihan dengan kelompok teman sebaya. Anak-anak yang
berangkat ke sekolah dengan tujuan untuk bertemu dengan teman-temannya. Pertemuan
anak-anak dengan teman sebayanya dapat memberikan keuntungan dalam perkembangan
motivasi (Kindermann, 2016). Model ini dinamakan model terapi bermain regulasi diri untuk
mengurangi perilaku mengganggu.

B. Gangguan Prilaku Impulsive Control

1. Contoh Kasus Gangguan Impulsive Control

Sulit mengendalikan suatu perilaku agresif yang buruk bisa jadi itu tanda gangguan
kontrol impuls/ Impulsive control. Jika diartikan secara medis, gangguan kontrol
impuls/Impulsive Control adalah jenis gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan
sulitnya mengendalikan impuls agresif atau antisosial. Disebut antisosial karena gangguan ini
kerap memiliki efek berbahaya pada pengidap dan orang lain di sekitarnya.

Impulsive Control dapat juga menyebabkan kekerasan Impulsif, yaitu suatu reaksi
yang tidak terkontrol, yang mempunyai potensi melukai orang lain yang terjadi setelah
peristiwa yang dianggap membahayakan individu yang melakukan kekerasan.

Kasus yang menimpa siswa SD Negeri Cinere 1, SM (12), yang ditemukan nyaris
tewas di got Perumahan Bukit Cinere Indah, Cinere, Kota Depok, Jawa Barat dengan delapan
luka tusuk di perut, tangan, dan betis. Anak pasangan tunanetra ini diduga ditusuk teman
sekelasnya, Amn (13). Peristiwa itu dipicu oleh pencurian telepon seluler milik SM oleh
Amn, Rabu lalu (Kompas.com 18 Feb 2012).

seorang anak kecil yang belum juga mencapai masa remaja akhir sudah mampu
melakukan perbuatan yang kita anggap keji itu. Lebih mengherankan lagi diketahui bahwa
Amn dan SM ini sebenarnya adalah teman baik. Amn juga dikenal sebagai anak baik-baik
oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dia bukanlah anak yang terkenal nakal atau sering
melakukan hal-hal yang meresahkan. Apa yang terjadi pada Amn (13) yang diketahui tidak
memiliki riwayat perilaku kekerasan terhadap orang lain mungkin adalah sesuatu Kekerasan
Impulsif.

Pada kasus Amn (13) dan SM (12) ini, kejadian yang memicu adalah ketahuannya
Amn oleh SM mencuri HP miliknya yang baru saja dibelikan oleh ayahnya SM sebagai
hadiah khitanan. Ketakutan atau rasa malu membuat Amn berbuat nekat dan impulsif dengan
melukai SM. Yang tidak masuk di akal adalah ada kesan memang hal yang dilakukan Amn
adalah untuk menghabisi nyawa SM agar perbuatan tersebut tidak menyebar. Kalau ini yang
benar terjadi sungguh sangat meyesakkan jika kekerasan seperti ini bisa terjadi pada diri anak
yang masih sangat muda itu.

Walaupun pada banyak kasus kekerasan impulsif oleh anak biasanya masalah
pemicunya sepele, namun reaksi perilaku yang diberikan oleh anak yang mengalami masalah
ini terkadang lebih dari yang dibayangkan. Menendang, memecahkan barang-barang,
memukul dan melukai diri sendiri adalah sebagian reaksi perilaku yang dilakukan oleh anak
yang melakukan kekerasan impulsif. Selain itu berteriak, memaki, bicara kasar dan
kotor/vulgar adalah reaksi verbal yang juga sering dilakukan oleh anak yang mengalami hal
ini.

Pelaku Anak tersebut adalah seorang peniru ulung. Segala gerak geriknya pada awal
masa kehidupan didapatnya dari meniru orang di sekitarnya. Orang tua dan keluarga adalah
tempat belajar pertama kali. Selanjutnya lingkungan akan berkontribusi lebih banyak lagi
dalam membuat si anak belajar hal-hal baru termasuk dalam mengungkapkan perasaan dan
berperilaku.

3. Contoh Kasus Gangguan Conduct Disorder

1. Contoh Kasus gangguan Conduct disorder

Conduct disorder atau gangguan perilaku merupakan masalah perilaku dan emosional yang
biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja. Dilansir dari Healthline, anak dengan
gangguan perilaku biasanya mengalami kesulitan mengikuti aturan dan berperilaku dengan
cara yang bisa diterima lingkungan.

Kondisi ini bisa menyebabkan perilaku agresif, destruktif dan menipu yang bisa
melanggar hak orang lain. Orang dewasa dan anak seusianya mungkin menyebut perilaku ini
sebagai hal buruk atau nakal, dibandingkan penyakit mental. Jika anak memiliki gangguan
perilaku, ia akan terlihat tangguh dan percaya diri. Namun kenyataannya, anak-anak
seringkali merasa tidak aman dan tidak percaya bahwa orang-orang bersikap agresif atau
mengancam mereka.

Perkembangan pemeriksaan kejiwaan ABG pembunuh bocah 6 tahun di Sawah besar,


NF (15) telah menarik perhatian publik. Psikolog Klinis, Melissa Grace menduga bahwa
tindakan NF mungkin disebabkan kekurangan kasih sayang. (Suara.com)

Tetapi, Melissa tidak menyinggung bahwa pelaku NF adalah seorang psikopat karena masih
di bawah umur. Dalam istilah psikologis, Melissa menyebut perilaku seperti NF bisa
dikategorikan sebagai conduct disorders.

Melissa menjelaskan istilah conduct disorders lebih tepat untuk anak di bawah usia 18
tahun yang berperilaku menetap, seperti merusak, melukai, mencuri dan lainnya.

"Perilaku yang menetap dalam jangka waktu 12 bulan ini bisa diindikasi masuk
conduct disorder atau gangguan perilaku. Ketika ini diabaikan dan mengarah ke usia
dewasa, maka berubah diagnosanya jadi gangguan kepribadian anti sosial yang dikenal
masyarakat sebagai sociopath atau psychopath," kata Melissa Grace.

Ada 3 jenis gangguan perilaku yang dikategorikan berdasarkan usia yang mana gejala
gangguan pertama kali terjadi.

1. Onset masa anak-kanak terjadi ketika tanda-tanda gangguan perilaku muncul sebelum usia
10 tahun.

2. Onset remaja terjadi ketika tanda-tanda gangguan perilaku muncul selama masa remaja.

3. Onset yang tidak ditentukan berarti usia di mana gangguan perilaku pertama kali terjadi
tidak diketahui.

Beberapa anak akan didiagnosis memiliki gangguan perilaku dengan emosi prososial
terbatas. Anak-anak dengan gangguan perilaku jenis tertentu juga sering berperasaan dan
tidak emosional.

2. Terapi gangguan conduct disorder

Kazdin (1997b dalam Wenar & Kerig, 2000) memperkenalkan empat treatmen yang
dapat digunakan untuk mengatasi conduct disorder, yaitu:

1. Parent Management Training (PMT).


Sesuai dengan namanya, training ini menekankan pada interaksi antara orang tua
dengan anak agar berjalan efektif. Jadi, orang tua akan dilatih untuk memanage perilaku
anaknya dengan beberapa startegi psikologis.

2. Cognitive Behavioral Therapy: Social Problem Solving Skills Training.


Terapi ini membantu anak mengontrol perilaku menyerang dan mengajarkan perilaku
sosial mereka. Perilaku sosial yang muncul dari anak Teenagers are rewarded and encouraged
for proper behaviors.ihargai Selain itu, terapi ini akan mengajarkan anak untuk lebih
bijaksana dan efisien dalam memecahkan masalah, terutama dalam hubungan dengan rekan-
rekan mereka, orang tua, dan para orang dewasa lain. Karena conduct disorder bisa jadi
muncul karena ketidakmampuan anak melakukan pemecahan masalah selain disebabkan
karena pengaruh dari dalam dirinya sendiri.

Melalui program-program seperti itu, seorang anak laki-laki dapat belajar untuk
mengidentifikasi masalah, mengenali penyebabnya, memahami konsekuensi, belajar dgn
kata-kata dan perasaan, dan mempertimbangkan alternatif cara menangani situasi sulit.
Because most teenagers with conduct disorder feel alone and alienated from the adults in
their lives, efforts are made to diminish mistrust of others, especially adults.

3. Systemic Family Therapy.

Terapi ini fokus pada seluruh anggota keluarga.. Pendekatan ini dapat membantu
anggota keluarga mempelajari cara berkomunikasi satu sama lain. Hal ini akan mendorong
terjadinya saling mendukung, memperkuat nuansa positif, komunikasi yang langsung, serta
pemecahan masalah dan resolusi konflik dalam keluarga yang lebih efektif.It can foster
mutual support, positive reinforcement, direct communication, and more effective problem-
solving and conflict resolution within the family.

4. Multisystemic Therapy (MST).

MST berfokus pada sistem kekeluargaan, namun, terapi ini bersifat individualis dan
fleksibel, menawarkan berbagai intervensi yang tergantung pada kebutuhan khusus pada anak
yang mengalami conduct disoreder. Treatmen ini memungkinkan fokus pada keluarga yang
tidak harmonis, masalah di sekolah, ketiadaan ketrampilan sosial pada anak, serta keadaan di
mana orang tua anak menganggur. Model terapi ini actif, praktis, dan solusi difokuskan
dengan pendekatan. Misal anak tidak mengerti pelajaran di sekolah maka akan dikatakan
kepada anak “kamu bilang kamu tidak mengerti tanggapan yang diberikan gurumu pada
laporan tugasmu Casey? Coba kamu telepon dia sekarang dan tanyakan dengan lebih jelas”.
Itu saja yang dapat saya berikan karena pengetahuan saya dalam hal ini masih terbatas dan
saya juga tidak mendalami mengenai materi ini. Jika anak atau saudara Anda ada yang
menunjukkan tanda-tanda conduct disorder mungkin bisa dibawa ke psikolog terdekat. Pergi
ke psikolog bukanlah pertanda kita gila namun untuk menjadikan hidup kita lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Internet

http://mpsi.umm.ac.id/files/file/46-54%20Asizah.pdf

https://www.researchgate.net/publication/335221588_Deteksi_Gangguan_Emosi_dan_Per
ilaku_Disruptif_Pada_Anak_Usia_Prasekolah

https://www.halodoc.com/artikel/faktor-yang-tingkatkan-risiko-alami-gangguan-kontrol-
impuls

https://www.halodoc.com/artikel/hal-yang-tanpa-disadari-jadi-gejala-gangguan-kontrol-
impulsif

https://primayahospital.com/kejiwaan/perilaku-kompulsif-dan-impulsif/

https://www.halodoc.com/artikel/8-ciri-perilaku-yang-menjadi-tanda-gangguan-kontrol-
impuls?utm_tracker=

https://nasional.kompas.com/read/2012/02/21/10371778/Kekerasan.Impulsif.oleh.Anak-
anak?page=all

https://www.suara.com/health/2020/03/10/133249/psikolog-sebut-perilaku-abg-bunuh-
bocah-termasuk-conduct-disorder-apa-itu

https://cahyosetiadi.wordpress.com/2010/01/08/terapi-conduct-disorder/

Anda mungkin juga menyukai