Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

1. Pengertian

Gangguan hiperaktivitas kurang perhatian (attention deficit

hyperactivity disorder, ADHD), juga dikenal dengan gangguan kurang

perhatian (attention deficit disorder, ADD), adalah gangguan perilaku pada

anak yang paling lazim terjadi, diderita oleh lebih dari 4 juta anak di

Amerika Serikat. Kondisi ini juga dapat disebut disfungsi otak minimal dan

gangguan kurang perhatian dengan hiperaktivitas (attention deficit disorder

with hyperactivity, ADDH). Kondisi ini umumnya pertama kali didiagnosis

pada masa kanak– kanak dan sering kali terus dialami hingga masa dewasa.

ADHD melibatkan ketidakmampuan belajar dan gangguan perilaku.

(Rosdahi C.B dkk, 2014)

Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau dalam

istilah kedokteran lebih dikenal dengan singkatan ADDH (Attention Deficit

Hyperaktivity Disorder) adalah salah satu masalah psikiatri utama yang

sering ditemukan pada anak. Gangguan ini dapat dijumpai dalam kehidupan

sehari – hari, baik pada anak usia prasekolah, remaja, bahkan dewasa dapat

mengalami gangguan ini. Sebagian besar masyarakat, baik dalam

lingkungan keluarga, sekolah dan klinik, masih belum mengenali adanya

gangguan ini sebagai atensi yang kurang baik yang tidak dapat diterima

oleh. GPPH ini menjadi salah satu alasan terbesar orang tua untuk

membawa anaknya berkonsultasi dengan psikiater. Mayoritas dari para

8
9

orang tua tersebut mengeluhkan anaknya nakal, tidak mau belajar, tidak bisa

diam, cepat beralih perhatian, baik dirumah maupun disekolah.(Novriana

D.E dkk,2013)

2. Prevalansi

Penelitian yang dilakukan oleh Amri S,Kandjani ARS, et, al,(2013) di

Iran,dari 5,29% anak dengan GPPH, ditemukan bahwa lebih dari 50% anak

mengalami GPPH dengan gangguan menentang oposisionall mencapai

29,4% gangguan depresi 4% hingga 21%,gangguan kecemasan 5,6% dan

gangguan konduksi sekitar 12,2% dibandingkan dengan anak perempuan

sekitar 7,4%.

Penelitian mengenai pravalensi GPPH di Indonesia masih sangat

sedikit sehingga sampai saat ini belum didapatkan angka pasti mengenai

kejadian GPPH di Indonesia. Salah satu data dari unit Psikiatri Anak

RSUD Dr.Soetomo, Surabaya ,melaporkan 60 kasus GPPH pada tahun

2000 dan 86 kasus pada tahun 2001. Salah satu penelitian yang dilakukan

oleh Dwijoko Saputro (2009) pada anak usia sekolah dasar di DKI Jakarta

didapatkan angka pravalensi sekitar 26,2%. Di Indonesia sendiri

dilaporkan angka pravalensi yang berbeda antara anak laki laki dan anak

perempuan yaitu 35,2% untuk anak laki – laki dan 18,3% untuk anak

perempuan.(Novriana D.E dkk,2013)

3. Penyebab

Penyebab pasti dari ADHD sampai saat ini belum ditemukan. Faktor

risiko yang diduga meningkatkan kejadian ADHD adalah genetik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila orang tua mengalami


10

ADHD, sebagian anak mereka dijumpai mengalami gangguan tersebut.

Faktor risiko lain adalah berbagai zat yang dikonsumsi oleh ibu saat

hamil yaitu tembakau dan alcohol. Riwayat BBLR juga diduga dapat

meningkatkan risiko kejadian ADHD pada anak, meskipun belum

diketahui apakah gejala ADHD aka nada sampai anak menjadi dewasa.

Faktor riwayat lahir prematur juga diduga meningkatkan kejadian

ADHD dan hal ini diperkuat beberapa penelitian lain yang melaporkan

bahwa 30% anak yang lahir pada usia kehamilan 36 minggu mengalami

ADHD pada usia sekolah. Bayi premature juga lebih rentan terhadap

masalah perkembangan termasuk ADHD. Faktor risiko lain yang juga

diduga dapat meningkatkan kejadian ADHD tetapi belum banyak

dilakukan penelitian adalah riwayat persalinan dengan ekstrasi forceps.

Faktor riwayat kejang demam juga diduga meningkatkan kejadian

ADHD selain faktor riwayat trauma kepala pada anak. Hasil penelitian

lain yang cukup menarik adalah adanya dugaan bahwa konsumsi

makanan manis dapat meningkatkan kejadian ADHD.

4. Jenis – Jenis

a. ADHD/GPPH Tipe Kombinasi

Kelompok anak kurang mampu memperhatikan aktivitas permainan

atau tugas, perhatian mudah pecah, dan cenderung kehilangan, bukan

hanya miliknya sangat disukainya, melainkan juga buku atau

pekerjaan rumahnya yang penting. Mudah berubah pendirian,

implusif (seenaknya)”selalu aktif” dan tidak dapat asyik dalam

kegiatan yang menghabiskan waktu, seperti membaca buku atau main

puzzle.
11

b. ADHD/GPPH Tipe Kurang Mampu Memperhatikan.

Anak tipe ini sering tidak diperhatikan oleh guru karena pendiam dan

kecil hati, tetapi bukan berarti “tidak ada”, tidak memperhatikan guru

mengajar melainkan melihat langit – langit kelas atau dilapangan bola,

mengamati kupu – kupu, mendengarkan bila diajak bicara, pada

umumnya tidak bisa mengikuti instruksi, pelupa, dan “kacau”.

c. ADHD/GPPH Tipe Predominan Hiperaktif – Implusif.

Tipe ini anak cenderung terlalu energik, anak lari kesana-sini atau

tidak bisa diam dan melompat seenaknya. Hal demikian membuat

heran setiap orang, sering bisa menaruh perhatian di kelas dan

kelihatan memang belajar, bahkan ketika seakan sedan tidak

mendengarkan (Yayasan Pembinaan Anak Cacat,2015)

5. Faktor – faktor Risiko Terjadinya GPPH

Perjalanan GPPH/ADHD sangat bervariasi, dimana gejala dapat

menetap sampai remaja atau dewasa atau gejala dapat hilang pada masa

pubertas. Banyak faktor sebagai risiko terjadinya GPPH/ADHD

meliputi :

a. Faktor biologis terjadi dari adanya kehamilan yang terganggu,

prematurinitas, BBLR, trauma persalinan dan pola penyakit

keluarga.

b. Faktor Psikososial mencakup keintiman keluarga termasuk ekspresi

emosi, status anak dalam keluarga, kepadatan penghuni atau

banyaknya jumlah anggota keluarga.


12

Sampai sekarang ini belum ditemukan penyebab utama GPPH,

berbagai faktor berperan terhadap terbentuknya gangguan tersebut

meliputi :

a. Faktor bawaan, khususnya genetik, misalnya masalah saat hamil,

melahirkan, menderita sakit parah pada usia dini dan racun.

Penelitian menunjukkan bahwa 25% keluarga dekat dari anak yang

menderita GPPH, juga menderita GPPH. Penelitian pada anak

kembarpun menunjukkan adanya kaitan genetik yang kuat. Sampai

saat ini belum dapat dibuktikan adanya kromosom abnormal sebagai

penyebab gangguan ini. Walaupun GPPH sangat terkait dengan

faktor bawaan, namun kemungkinan besar disebabkan oleh faktor

heterogen.

b. Faktor psikososial bukan merupakan penyebab dapat berpengaruh

pada perjalanan penyakit dan prognosis. Kondisi psikososial buruk

berpengaruh besar terhadap interaksi anak dengan orang tua.

c. Faktor Neurologik (kerusakan dalam otak)

Rutter berpendapat bahwa GPPH disebabkan oleh gangguan pada

fungsi otak, karena defisit aktivasi disebabkan adanya patologi di

area prefrontal dan sigital frontal pada otak dengan predominan pada

korteks otak. Adanya kerusakan otak berisiko tinggi terjadinya

gangguan jiwa, termasuk GPPH. Kerusakan otak pada janin dan

neonatal paling sering disebabkan oleh kondisi hipoksia.


13

d. Faktor Neurotransmiter diperkirakan berkaitan dengan terjadinya

GPPH antara lain nor-epinefrin dan dopamine.

e. Faktor Lingkungan

Berbagai toksin dari lingkungan sebagai penyebab GPPH antara lain

rokok dan alcohol, serta konsentrasi timbal (Pb) pada cat, asap

knalpot, bensin yang tinggi dalam tubuh anak pra sekolah berisiko

tinggi terhadap terjadinya GPPH.

f. Trauma otak yang mengalami kecelakaan mungkin menunjukkan

beberapa gejala yang sama dengan perilaku penderita GPPH, namun

hanya sedikit penderita GPPH yang mempunyai riwayat trauma

otak.

g. Gula dan Zat Tambahan Pada Makanan (Adiktif)

Pada tahun 1982, The National Institute of Health America

menyatakan bahwa pembatasan diet hanya menolong 5% dari anak

penderita GPPH, umumnya hanya pada anak yang alergi terhadap

gula atau zat tambahan (Saputro D, 2009).

6. Diagnosa Yang Muncul

Beberapa diagnose yang mungkin muncul pada kasus anak dengan

hiperaktivias antara lain:

a. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan koping individu

tidak efektif.

b. Risiko cidera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku

impulsive.
14

c. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan kelainan

fungsi dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat,

serta penganiayaan dn penelantaran anak.

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif.

e. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman

konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system

keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak

memuaskan.

f. Koping defensive berhubungan dengan harga diri rendah, kurang

umpan balik atau umpan balik negative yang berulang yang

mengakibatkan penurunan makna diri.

g. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan perasaan bersalah

yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota

keluarga tentang perilaku anak, kepenatan oranng tua karena

menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu yang lama.

h. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan

kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi,

interpretasi yang salah tentang informasi(Rappley, 2005).

7. Penanganan GPPH/ADHD

Ketika orang tua dan guru menduga bahwa ada anak yang memiliki

ADHD, langkah pertama adalah berkonnsultasi dengan dokter. Dokter

akan merujuk anak ke spesialis seperti psikolog, psikiater, atau dokter

perilaku anak. Mereka adalah ahli yang tahu tentang anak-anak yang

memiliki ADHD dan jenis lain dari masalah perilaku. Bagian dari
15

pekerjan dokter adalah untuk memeriksa penyakit lainnya yang terlihat

seperti ADHD tetapi perlu berbagai jenis pengobatan.

Anak-anak yang memiliki ADHD membutuhnkan lebih dari sekedar

obat. Mereka membutuhkan bantuan belajar bagaimana mengubah cara

mereka bertindak. Beberapa mungkin juga perlu bantuan berurusan

dengan perasaan marah, sedih, dan cemas.(Suryani E, dkk,2010)

Orang tua perlu mengetahui informasi yang benar berkaitan dengan

GPPH, sehingga informasi tidak salah dalam pengelolaan risiko trauma

dengan benar dan bekerja sama dengan ahli. Terapi untuk anak GPPH

berupa pengobatan medis, modifikasi perilaku, dan diet makanan tertentu.

Ada tiga jenis obat dalam terapi GPPH, yaitu methylphenidate (Ritalin),

dextroamphetamine (Dexedrine) dan pemoline berfungsi sebagai

stimulant (perangsang) (Rohmah F.A dan Widuri E.L,2012).

Terapi nutrisi dan diet makanan tertentu banyak dilakukan dalam

penanganan anak GPPH meliputi keseimbangan diet karbohidraat,

penanganan gangguan pecernaan (Intestinal Permeability or “Leaky Gut

Syndrome”), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang makanan

lainnya (Yuwono I,2010).

B. Konsep Tumbuh Kembang Anak

1. Tumbuh Kembang Anak Sehat

a. Definisi

Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari

perubahan morfologi, biokimia dan fisiologi yang terjadi sejak

konsepsi sampai dewasa. Istilah tumbuh kembang mencakup dua


16

peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit

dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan (Soetjiningsih &

Ranuh, 2015).

Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat

kuantitatif, berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,

ukuran, dimensi tingkat sel, organ, maupun individu yang bisa diukur

dengan ukuran berat (gram dan kilogram), ukuran panjang

(sentimeter), umur tulang dan keseimbangan metabolis (retensi

kalsium dan nitrogen tubuh) (Sulistyawati, 2014).

Perkembangan (development) adalah bertambahnya

kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil

dari proses pematangan. Tahap ini menyangkut adanya proses

diferensiasi sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem

organ yang berkembang sehingga memiliki fungsi. Cakupan tahapan

ini termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku

sebagai hasil dari interaksi terhadap lingkungan (Sulistyawati, 2014).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang

Menurut Sulistyawati (2014) tumbuh kembang anak

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, sebagai berikut:

1) Faktor genetik

Genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil

akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik


17

yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat

ditentukan kuantitas dan kualitas pertumbuhan. Hal- hal yang

termasuk dalam faktor genetik antara lain berbagai faktor bawaan

yang normal dan patologis, jenis kelamin dan suku bangsa.

2) Faktor lingkungan

Secara garis besar faktor lingkungan dibagi berdasarkan

faktor lingkungan pranatal dan postnatal. Faktor lingkungan

prenatal yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan

janin adalah gizi pada ibu hamil, mekanis, zat kimia, endokrin,

radiasi, infeksi, stres, imunitas dan anoksi embrio.

Faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh

kembang bayi antara lain lingkungan biologis (suku bangsa, jenis

kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap

penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme dan hormon),

faktor fisik (cuaca, musim, keadaan suatu daerah, sanitasi,

keadaan rumah dan radiasi), faktor psikososial (stimulan,

motivasi belajar, hukuman yang wajar, kelompok sebaya,

sekolah, stres, cinta dan kasih sayang serta kualitas interaksi anak

dan orang tua) dan faktor adat serta istiadat (pekerjaan dan

pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, jumlah saudara, jenis

kelamin, stabilitas rumah tangga, kepribadian orang tua, adat,

norma-norma, agama, urbanisasi dan kehidupan politik dalam

masyarakat).
18

c. Ciri-ciri tumbuh kembang

Menurut Hurlock EB dalam Soetjiningsih & Ranuh (2015)

tumbuh kembang anak memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:

1) Perkembangan melibatkan perubahan

2) Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan

selanjutnya

3) Perkembangan adalah hasil dari maturasi dan proses belajar

4) Pola perkembangan dapat diramalkan

5) Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat

diramalkan

6) Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan

7) Terdapat periode atau tahapan dalam pola perkembangan

8) Terdapat harapan sosial untuk setiap periode perkembangan

9) Setiap area perkembangan mempunyai potensi resiko.

d. Tahapan tumbuh kembang anak

Tahapan tumbuh kembang anak menurut Wulandari & Erawati

(2016) adalah sebagai berikut:

1) Masa prenatal

Tahap ini terdiri dari fase germinal, embrio dan fetal. Fase

germinal yaitu mulai dari konsepsi sampai kurang lebih usia

kehamilan 2 minggu. Fase embrio mulai dari usia kehamilan 2

minggu sampai 8 minggu, dan fase fetal mulai dari usia

kehamilan 8 minggu sampai 40 minggu atau usia kelahiran.


19

Tahap ini terjadi pertumbuhan yang sangat cepat dan sangat

penting karena terjadi pembentukan organ dan sistem organ anak.

2) Masa postnatal

a) Masa neonatus (0-28 hari)

b) Masa bayi (28 hari sampai 1 tahun)

c) Masa toddler (1-3 tahun)

d) Masa prasekolah (usia 4-5 tahun)

e) Masa sekolah (usia 6-12 tahun)

f) Masa remaja (usia 12-18 tahun)

C. Konsep Risiko Trauma

1. Pengertian

Risiko adalah kemungkinan, bahaya, kerugian, akibat kurang

menyenangkan dari sesuatu perbuatan, usaha, dan sebagainya (Kamus

Besar Bahasa Indonesia,2011).Menurut Soehatman R (2010), risiko

merupakan kombinasi dari kemungkinan dan keparahan dari suatu

kejadian. Besarnya risiko ditentukan oleh berbagai faktor, seperti

besarnya paparan, lokasi, pengguna, dan kerentanan unsur yang terlibat.

Trauma adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur

organ tubuh manusia sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural

dan atau gangguan fungsional (Sastrodiningrat,2009).

2. Penyebab Risiko Trauma

Secara umum kondisi risiko trauma yang dialami individu

disebabkan antara lain sebagai berikut:


20

a. Pengalaman atau kejadian alam (bencana alam) seperti gempa bumi,

tsunami, banjir, longsor, dan lain-lain.

b. Pengalaman di kehidupan sosial (psiko sosial) seperti pola asuh yang

salah, ketidakadilan, penyiksaan secara psikis atau fisik, terror,

kekerasan, dan perampokan.

c. Pengalaman langsung atau tidak langsung seperti melihat sendiri,

mengalami sendiri (langsung), dan pengalaman orang lain (tidak

langsung) (Ourkami S,2010).

3. Ciri-ciri Risiko Trauma

a. Kehilangan minat pada aktivitas yang biasa dilakukan.

b. Perasaan bersalah.

c. Mudah marah atau agresif.

d. Sulit berkonsentrasi.

e. Cemas.

f. Suasana hati berubah-ubah dengan cepat (Ourkami S, 2010).

4. Dampak Risiko Trauma

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, risiko trauma dikategorikan

menjadi dua, yaitu :

a. Risiko trauma fisik adalah trauma yang mengakibatkan luka fisik,

misalnya kecelakaan, pukulan, dan lain-lain.

b. Risiko trauma psikologis disebabkan kejadian yang melukai batin

dan melibatkan perasaan atau emosi.Misalnya sering disbanding-

bandingkan, sering dicaci maki dan dilabeli, perceraian, kekerasan

seksual, dan lain-lain.


21

Meskipun keduanya memiliki potensi dampak yang sama, tapi risiko

trauma psikologis membekas lebih dalam dan berdampak lebih buruk.

Namun, risiko trauma kerap berdampak begatif bagi masa depan anak

yang disebabkan oleh kejadian yang sangat memukul dalam lingkungan

keluarga seperti perceraian, kematian, atau kekerasan dalam rumah

tangga, apalagi jika berlangsung terus menerus dalam waktu lama.

Bahkan risiko trauma pada anak dapat berdampak buruk pada

perkembangan otak anak, yang akan meningkatkan kewaspadaan

berlebihan, agresif, hiperaktivitas, implusivitas, dan sulit berkonsentrasi

(Futured Team, 2014).

D. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis Risiko Trauma pada anak

dengan GPPH

A. Pengkajian

Menurut Kyle (2016), pengkajian pada anak meliputi data sebagai

berikut:

a. Data demografik

Meliputi nama anak, usia, jenis kelamin dan informasi dari yang

berhubungan.

b. Keluhan utama

Orang tua mengeluhkan anaknya yang terlalu aktif selalu berlari

kesana kemari dan tidak mau diam.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Tsnysksn pada ibu apakah dahulu pada saat mengandung

mengonsumsi rokok atau meminum alcohol,tanyakan pula pada


22

minggu ke berapa sang anak lahir,apakah sudah waktunya atu belum

.(Nurarif dan Kusuma, 2015).

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada anggota keluarga yang mengalami masalah GPPH.

e. Riwayat perkembangan

Riwayat perkembangan pada anak meliputi penanda dalam kontrol

motorik kasar, ketrampilan motorik halus yang sudah dicapai,

kemampuan perawatan diri, toilet training, berpakaian, kebiasaan,

kehadiran ditempat penitipan anak dan penyesuaian serta

pencapaian prasekolah atau sekolah.

f. Riwayat fungsional

Riwayat fungsional didapatkan dari wawancara pada orangtua yang

berisi tentang rutinitas harian dari anak tersebut.

g. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada anak meliputi pengukuran tanda-tanda vital,

berat badan, tinggi badan dan pemeriksaan head to toe serta

pemeriksaan yang lebih spesifik yang berhubungan dengan anak

hiperaktif menurut Fitria (2009).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Heardman dan Kamitsuru (2015-2017) perumusan


masalah pada asuhan keperawatan yang akan dilakukan adalah risiko
trauma.
C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan Risiko Trauma berdasarkan kriteria hasil
NOC (Nursing Outcome Classification) menurut Moorhead (2016).
23

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan klien dapat terhindar dari risiko cedera.
NOC: Kontrol Risiko
Kriteria hasil dari diagnosa risiko trauma dapat dilihat dalam tabel

2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1

Kriteria hasil dan skala dalam kontrol risiko.

No Kriteria Hasil Skala


Awal Tujuan
1. Mengidentifikasi faktor risiko 1 5
2. Memonitor faktor risiko dilingkungan
Memodifikasi gaya hidup untuk 1 5
3. mengurangi risiko
1 5

Keterangan skala:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
Tindakan keperawatan risiko trauma berdasarkan intervensi NIC

(Nursing Intervention Classification) menurut Bulechek (2016).

NIC: Pencegahan jatuh

Intervensi:

1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,

misalnya perubahan status mental, keletihan setelah beraktivitas,

dan lain-lain.

2) Berikan materi pendidikan yang berhubungan dengan strategi dan

tindakan untuk mencegah cidera.


24

3) Berikan informasi mengenai bahaya lingkungan dan

karakteristiknya, misalnya naik tangga, kolam renang, jalan raya.

4) Hidarkan benda-benda disekitar yang dapat membahayakan dan

menyebabkan cidera.

5) Ajarkan pada pasien untuk berhati hati dengan alat permainannya

dan instruksikan pada keluarga untuk memilih permainan yang

sesuai dan tidak menimbulkan cidera.

D. Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk


mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing order untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu,
rencana tindakan spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Implementasi antara
lain membantu orang tua dalam mengimplementasikan program
perilaku penguatan positif sepertilatihan fokus anak, telaten,
bangkitkan kepercayaan diri anak, dan kenali arah minat anak
(Santya dan Kadek, 2012).
E. Evalusi

Evaluasi yang diharapkan berdasarkan intervensi keperawatan pada

diagnosa risiko trauma seperti tertera dalam Kriteria hasil dan skala

dalam evaluasi risiko trauma seperti tertera dalam tabel 2.2 di bawah

ini.
25

Tabel 2.2

Kriteria hasil dan skala dalam kontrol risiko.

No Kriteria Hasil Skala


Awal Tujuan Akhir
1. Mengidentifikasi faktor risiko - 5 -
2. Memonitor faktor risiko -
dilingkungan - 5 -
3. Memodifikasi gaya hidup untuk 5 -
mengurangi risiko

Keterangan skala:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan.

Anda mungkin juga menyukai