Epilepsi
I. Pendahuluan
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah salah satu gangguan perilaku yang
sering terdiagnosis pada anak-anak. Kondisi ini secara klasik ditandai oleh gejala inatensi,
impulsivitas, dan hiperaktivitas. ADHD memiliki onset pada awal masa kanak-kanak, tetapi
sering baru terdiagnosis pada usia sekolah. ADHD menjadi sangat relevan dalam masyarakat
modern saat ini karena merupakan diagnosis yang paling sering ditemukan dalam bidang
kesehatan neuropsikiatri anak dan pendidikan. Banyak anak yang terdiagnosis dengan ADHD
kemudian memiliki masalah yang terkait dengan pendidikan, fungsi sosial, dan atau
kesehatan jiwa lainnya ketika beranjak remaja atau dewasa muda, sehingga kelainan ini
memberikan kerugian baik pada individu maupun masyarakat (Thursina &Sutarni, 2019).
Epilepsi berhubungan dengan gangguan kognitif dan kejiwaan pada sekitar setengah dari
populasi pasien epilepsi. ADHD didefinisikan oleh Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorder Edisi Kelima (DSM ‐ 5) sebagai pola menetap dari kurangnya perhatian dan
atau impulsif hiperaktif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, dan menjadi
komorbiditas paling umum pada anak-anak dengan epilepsi. Prevalensi ADHD pada anak-
anak dengan epilepsi dilaporkan sebesar 30% -40% dan 2,5 hingga 5,5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak yang sehat tanpa kejang. Sebuah penelitian besar kohort
berbasis populasi menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berkontribusi terhadap
komorbiditas ini. Dampak ADHD pada orang dengan epilepsi adalah signifikan, sering
dikaitkan dengan prestasi akademik yang kurang, depresi, perkembangan sosial, perilaku, dan
kecemasan. ADHD sulit terdiagnosis pada anak-anak dengan epilepsi, karena keluhan
kurangnya perhatian dan perilaku hiperaktif seringkali dikaitkan dengan epilepsi itu sendiri,
atau dengan efek obat antiepilepsi (AED). Bahkan ADHD sering tidak diobati karena
diperparah oleh mitos bahwa stimulan dapat menurunkan ambang kejang (Auvin et al, 2018).
II. Definisi
ADHD adalah sebuah gangguan perkembangan yang ditandai dengan tingkat hiperaktivitas,
impulsivitas, dan inatensi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Diagnosis
ADHD berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM-5) dari American Psychiatric
Association (APA) menyatakan bahwa pasien harus mengalami setidaknya enam gejala
inatensi (seperti gagal mempertahankan perhatian dalam melakukan tugas atau aktivitas
bermain, tidak mendengarkan ketika diajak berbicara langsung), atau enam gejala
hiperaktivitas/ impulsivitas (seperti terlalu banyak berbicara, tangan atau kaki yang terus
bergerak) (Thursina &Sutarni, 2019).
III. Epidemiologi
Kejadian ADHD ditemukan pada sekitar 3-12% anak usia sekolah dan 3-5% orang dewasa.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa rasio laki-laki terhadap perempuan diantara anak
ADHD adalah sekitar 2:1 hingga 9:1 pada subjek klinis dan 2:1 hingga 3:1 dalam sampel
komunitas. Persentase anak berusia 4 hingga 17 tahun yang terdiagnosis dengan ADHD telah
menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam kurang dari satu dekade dari 7,8% pada
tahun 2003 dan 2011, mengindikasikan bahwa proporsi anak yang memiliki riwayat ADHD
meningkat hingga 42% dalam kurang dari satu dekade. Hasil dari sebuah meta analisis
terhadap penelitian epidemiologi ADHD pada tahun 2015 menemukan angka prevalensi
sebesar 7,1% lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan dalam penelitian meta-analisis
sebelumnya pada tahun 2007 sebesar 5,3%.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, diantaranya sebuah survei yang telah
dilakukan oleh Dadomoro (1989) mendapatkan prevalensi ADHD sebesar 9,5% dengan
menggunakan instrumen DSM-III R, sedang pada penelitian Kiswarjanu et al (1997)
menunjukkan prevalensi ADHD sebesar 0,4% pada murid taman kanak-kanak di Kotamdaya
Yogyakarta dengan menggunakan DSM-IV. Penelitian Saputro (2004) mendapatkan angka
prevalensi ADHD pada anak sekolah dasar di DKI Jakarta sebesar 26,2% dengan instrumen
SPPAHI/G. Penelitian pada murid Sekolah Dasar Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 2006
menggunakan instrumen DSM-IV didapatkan ADHD sebesar 5,37% (Thursina &Sutarni,
2019).
Laporan awal tentang gangguan perilaku yang dialami oleh anak-anak dengan epilepsi
menunjukkan bahwa mereka berisiko tinggi untuk gejala ADHD. Prevalensi gejala ADHD
pada populasi epilepsi pediatrik sangat bervariasi tergantung pada sampel anak-anak dengan
epilepsi yang diteliti dan ukuran gejala ADHD yang digunakan. Mengenai studi populasi
ADHD pada anak-anak dengan epilepsi, Davies et al. (2003) melaporkan bahwa 12% dari 25
anak dengan epilepsi kompleks menderita ADHD. Tak satu pun dari 42 anak-anak dengan
epilepsi tanpa komplikasi memiliki ADHD. Epilepsi kompleks meliputi anak-anak dengan
kesulitan belajar yang parah (Vocabulary quotient <60), masalah bicara atau bahasa, cerebral
palsy, gangguan fisik lainnya, dan kondisi bawaan. Hesdorffer et al. (2004) melaporkan
penelitian berdasarkan populasi anak-anak dengan kejang yang tidak terprovokasi yang baru
didiagnosis dan menemukan bahwa 13,7% anak-anak dengan epilepsi memenuhi kriteria
DSM-IV untuk ADHD. Hedderick dan Buchhalter (2003) melaporkan bahwa tinjauan rekam
medis dari semua kasus epilepsi yang didiagnosis kurang dari 16 tahun di Rochester,
Minnesota menunjukkan bahwa prevalensi DSM-IV ADHD adalah 17% dalam sampel 134
anak. Caplan et al. (1997) melaporkan bahwa 28% klinik yang merujuk anak-anak dengan
epilepsi memiliki ADHD berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui wawancara
diagnostik dan menggunakan kriteria DSM-IV.
Epilepsi masa kanak-kanak pada populasi ADHD
Sementara ada sejumlah penelitian tentang prevalensi ADHD dan gejala yang terkait pada
anak-anak dengan epilepsi, ada juga upaya untuk memeriksa frekuensi epilepsi pada anak-
anak dengan diagnosis ADHD. Williams et al. (2001) melaporkan bahwa dari 130 anak yang
didiagnosis dengan ADHD di pusat perkembangan, tiga anak telah didiagnosis dengan
epilepsi sebelum didiagnosis dengan ADHD dan tiga anak didiagnosis dengan epilepsi
setelah diagnosis ADHD. Dari tiga anak yang didiagnosis dengan epilepsi setelah ADHD,
satu memiliki cerebral palsy dan satu mengalami keterlambatan perkembangan. Para penulis
menyimpulkan bahwa tidak ada peningkatan risiko kejang yang tidak diprovokasi pada
individu dengan ADHD yang tidak memiliki cacat perkembangan lain seperti cacat
intelektual atau cerebral palsy. Davis et al. (2010) melaporkan bahwa ada 2,7 kali lipat
kejadian epilepsi yang lebih besar di antara anak-anak dengan ADHD daripada pada anak-
anak kontrol tanpa ADHD berdasarkan tinjauan catatan medis. Ada kecenderungan untuk
anak-anak dengan ADHD untuk memiliki serangan kejang yang lebih awal dan frekuensi
kejang yang lebih besar daripada anak-anak dengan epilepsi tanpa ADHD. Mereka dengan
epilepsi dan ADHD lebih cenderung memiliki status epileptikus dan epilepsi yang refrakter
dibandingkan pada mereka yang hanya epilepsi. Anak-anak yang didiagnosis dengan ADHD
telah dilaporkan memiliki risiko tinggi untuk kelainan electroencephalogram (EEG), serta
kejang-kejang berikutnya, dan kelainan EEG telah ditemukan pada 6,1% anak-anak dengan
ADHD dibandingkan dengan 3,5% dari populasi. Socanski, Herigstad, Thomsen, Dag, dan
Larsen (2010) memeriksa file medis anak-anak dengan ADHD dan mencatat bahwa kelainan
epileptiform terdapat pada 7,5% dari 517 kasus. Dari mereka dengan EEG positif, riwayat
kejang epilepsi sebelumnya dilaporkan pada 14 anak-anak. Anak-anak dengan kelainan EEG
lebih sering perempuan dan lebih sering memanifestasikan subtipe ADHD-inatensi. Para
penulis menyimpulkan bahwa tidak jelas apakah angka ini secara signifikan lebih tinggi
daripada studi aktivitas epileptiform pada anak yang sehat (Reilley, 2011).
IV. Etiologi
Sejumlah faktor genetik dan lingkungan saling bekerja sama untuk menciptakan sebuah
spektrum gangguan neurobiologis
V. Panduan diagnostik
Kriteria terbaru untuk pemusatan perhatian mengacu pada DSM V sebagai berikut:
1. Inatensi
Harus mencakup setidaknya 6 dari gejala inatensi berikut dan harus menetap
selama setidaknya 6 bulan pada tingkat yang maladaptif dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan
Sering gagal memperhatikan hal-hal yang rinci atau membuat kesalahan dalam
tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya
Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian pada tugas atau
akivitas bermain
Sering tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang dikatakan
Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,
Pekerjaan rumah, atau tugas di tempat kerja
Sering mengalami kesulitan dalam mengorganisir tugas dan aktivitas
Sering menghindari atau membenci tugas yang diberikan (seperti tugas
sekolah atau tugas rumah) yang memerlukan upaya mental yang menetap
Sering kehilangan benda-benda yang diperlukan untuk menjalankan tugas atau
aktivitas (buku, pensil, alat-alat atau mainan)
Sering mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulasi luar
Sering lupa melakukan aktivitas keseharian
2. Hiperaktivitas/impulsivitas
Harus mencakup setidaknya 6 dari gejala hiperaktivitas/ impulsivitas berikut
yang menetap selama 6 bulan pada tingkat maladaptive yang tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan
Menggerakkan atau mengetuk tangan dan kaki, sering menggeliat di kursi
Sering meninggalkan tempat tidur di kelas atau dalam situasi lainnya dimana
diharapkan agar anak tetap duduk
Sering berlarian atau memanjat berlebihan dalam situsi dimana tindakan ini
tidak sesuai (pada remaja atau dewasa, terbatas pada perasaan gelisah yang
subjektif)
Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan
senggang dengan tenang
Tidak mampu atau tidak nyaman untuk tetap diam dalam jangka waktu yang
lama
Bicara berlebihan
Mengucapkan jawaban terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
disampaikan
Kesulitan menunggu antrian atau menunggu giliran dalam permainan atau
situasi kelompok
Menggganggu orang lain (untuk remaja dan orang dewasa, mungkin
mengganggu atau mengambil alih apa yang orang lain sedang lakukan)
3. Lainnya
Onset tidak lebih dari usia 12 tahun
Gejala harus muncul dalam 2 atau lebih situasi, seperti sekolah, tempat kerja
atau rumah
Gangguan menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis
dalam fungsi sosial, akademik dan pekerjaan
Gangguan tidak terjadi hanya selama perjalan schizophrenia atau gangguan
psikotik lainnya dan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan mood, kecemasan,
disosiatif, kepribadian atau intoksikasi atau withdrawal obat (Thursina
&Sutarni, 2019).
Satuan Tugas Komorbiditas Pediatrik direkrut oleh Komisi Pediatrik Internasional League
Against Epilepsy (ILAE) untuk memberikan panduan berbasis bukti untuk menginformasikan
klinisi mengenai skrining, diagnosis, dan manajemen ADHD pada pasien dengan epilepsi
pediatrik. Kelompok kerja ini mengidentifikasi 5 pertanyaan spesifik yang sangat relevan
dengan perawatan klinis.
Rekomendasi dinilai berdasarkan tingkat data berbasis bukti sesuai dengan American
Academy of Neurology Practice Parameter.
(1). Apakah factor resiko terjadinya ADHD pada pasien anak dengan epilepsi?
Ada hubungan dua arah antara epilepsi dan ADHD, dengan ADHD terjadi 2,54 kali lebih
sering pada anak-anak dengan epilepsi daripada pada anak-anak kontrol tanpa epilepsi dan
epilepsi terjadi 3,94 kali lebih banyak pada anak-anak dengan ADHD daripada pada anak-
anak kontrol tanpa ADHD
Riwayat prenatal
Sebuah studi observasional prospektif tunggal kelas I pada anak-anak yang lahir dari ibu
yang menjalani monoterapi AED selama masa kehamilan menemukan bahwa tingkat inatensi
dan hiperaktif yang lebih tinggi pada anak-anak pada usia 3 tahun dengan paparan prenatal
terhadap valproate, dibandingkan dengan carbamazepine, lamotrigine, atau fenitoin.
Kapan dilakukan skrining ADHD pada anak-anak dengan epilepsi (Level U; pendapat
ahli)
Tidak ada penelitian yang mengevaluasi kapan skrining anak-anak dengan epilepsi untuk
ADHD. Berdasarkan laporan bahwa anak-anak dengan epilepsi berisiko tinggi mengalami
ADHD pada saat presentasi dengan kejang pertama mereka atau ketika epilepsi adalah
pertama kali didiagnosis, skrining untuk ADHD harus dilakukan pada setiap anak dengan
epilepsi mulai pada usia 6 tahun, atau pada saat diagnosis jika lebih dari 6 tahun, dan harus
diulang setiap tahun. Evaluasi ulang harus dilakukan kembali setelah perubahan AED.
Penapisan tidak boleh dilakukan dalam waktu 48 jam setelah kejang yang terkait dengan
keadaan postictal
(2). Alat skrining apa yang harus digunakan dan bagaimana seharusnya ADHD didiagnosis
pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi?
Diagnosis ADHD harus melibatkan praktisi kesehatan dengan keahlian dalam ADHD, seperti
psikolog, psikiater anak, ahli saraf anak, dan dokter anak perkembangan (Level U: pendapat
ahli). Diagnosis ADHD membutuhkan berikut ini: (1) skala penilaian ADHD-divalidasi dari
orang tua dan guru berdasarkan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental — edisi
ke-4 atau ke-5 (DSM-IV dan 5); (2) informasi skala penilaian melalui wawancara orang tua;
dan (3) mengesampingkan penyebab lain. Skala penilaian memungkinkan penyaringan untuk
menilai gejala ADHD tetapi tidak ada rekomendasi formal yang menyatakan menggunakan
satu alat di atas yang lain.
Skor total SDQ perbatasan atau abnormal sangat berkorelasi dengan adanya diagnosis
psikiatrik yang teruji (93,6%), di mana ADHD adalah yang paling umum (31,7%). Secara
keseluruhan, SDQ memiliki kualitas sensitivitas yang lebih baik daripada spesifisitas,
menunjukkan bahwa skor ini dapat digunakan sebagai screener, tetapi diagnosis psikiatrik
yang lebih rinci harus diikuti untuk mereka yang teridentifikasi berisiko.
Lebih penting untuk mengidentifikasi secara berlebihan (false-positive) pada skrining
daripada melewatkan diagnosis (false negative) yang berisiko (Level U; pendapat ahli).
Keterbatasan lain dari SDQ, serta langkah-langkah lain, mungkin utilitasnya dalam
subpopulasi yang berbeda yang memiliki epilepsi termasuk anak-anak dengan cacat
intelektual atau latar belakang ras dan etnis yang berbeda.
(3). Kriteria apa yang dapat digunakan untuk membedakan ADHD dari kondisi lain seperti
kejang absans, gangguan belajar, dan kondisi lain yang meniru ADHD?
ADHD mungkin salah didiagnosis pada anak-anak dengan epilepsi absan dan sebaliknya.
Lebih lanjut, ADHD adalah komorbiditas yang umum pada anak-anak dengan kejang absan,
terjadi pada 30-60% kohort.
Hiperventilasi menginduksi kejang pada sebagian besar anak-anak dengan epilepsi absan
masa kanak-kanak yang tidak diobati. Perbedaan antara ADHD dan CAE harus didasarkan
pada riwayat dan EEG dengan hiperventilasi (Level U, pendapat ahli).
Kira-kira, 21% -33% anak-anak dengan epilepsi memiliki gangguan intelektual. Bahkan pada
anak-anak dengan IQ normal, ketidakmampuan belajar adalah hal yang biasa. Telah
didokumentasikan bahwa gangguan intelektual berkorelasi dengan risiko ADHD yang lebih
tinggi. Demikian pula, gangguan tidur lebih umum di antara anak-anak dengan epilepsi dan
ADHD dibandingkan dengan mereka yang hanya dengan epilepsi. Tes kognitif formal harus
sangat dipertimbangkan pada anak-anak yang bersekolah (Level U: pendapat ahli).
Penapisan yang hati-hati untuk kecemasan dan depresi, serta gangguan bipolar dan
skizofrenia onset dini, dan pertanyaan mengenai tidur harus dilakukan secara rutin pada anak-
anak dengan epilepsi, terutama jika ada perhatian dan kekhawatiran akademis (Level U:
pendapat ahli). Ketika ahli saraf anak tidak dapat menyingkirkan gangguan ini, evaluasi
psikolog atau psikiatrik menggunakan instrumen skrining harus dilaksanakan.
(4).Apa manajemen ADHD yang direkomendasikan pada anak-anak dan remaja dengan
epilepsi?
Enam belas studi diidentifikasi. Ada 3 penelitian kelas I. Populasi penelitian yang ditinjau
adalah CAE dan kejang fokus yang diobati dengan berbagai AED. Kedua studi yang
meninjau etosuximide, lamotrigin, dan valproate di CAE memberikan bukti kuat bahwa
valproate terkait dengan eksaserbasi dari masalah inatensi dalam populasi ini. Studi lain
membandingkan levetiracetam dengan plasebo pada anak-anak dengan kejang fokal dan
menunjukkan peningkatan marginal dalam perilaku, tetapi tidak secara khusus mengganggu
perhatian pada mereka yang diobati dengan levetiracetam.
Ada 2 studi kelas II, satu menilai kejang fokus dan anak-anak lain dengan CECTS. Studi
kejang fokus melaporkan bahwa anak-anak yang menggunakan monoterapi atau terapi
kombinasi dengan carbamazepine, oxcarbazepine, atau sodium valproate tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dalam pemrosesan kecepatan dan perhatian, sebagai hasil
sekunder, tetapi dibatasi oleh periode penelitian yang pendek. Studi lain meninjau topiramate
dan carbamazepine pada anak-anak dengan CECTS. Kelompok topiramate memiliki
kecenderungan ke arah peningkatan perhatian tetapi kognisi memburuk, dibandingkan
dengan mereka yang menggunakan carbamazepine; Namun, kurangnya signifikansi temuan
ini membatasi kesimpulan lebih lanjut.
Ada 11 studi kelas III. Dua studi meninjau CECTS, satu kejang fokus, satu kejang umum,
satu gangguan kejang kompleks, dan 6 semua jenis kejang. Beragam AED dimasukkan
dengan sedikit konsistensi antar studi yang membatasi perbandingan. Politerapi dikaitkan
dengan tingkat masalah perilaku yang lebih tinggi. (Level C).
Apakah methylphenidate, atomoxetine, atau amfetamin memiliki efek buruk pada
frekuensi kejang?
Data yang berkaitan dengan pengobatan ADHD pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi
terbatas. Bukti mendukung kemanjuran methylphenidate pada anak-anak dengan epilepsi dan
komorbid ADHD. Bukti yang terbatas membahas atomoxetine dan amfetamin pada anak-
anak dengan epilepsi dan ADHD.
(5). Apa tindak lanjut yang direkomendasikan dan transisi anak-anak dan remaja dengan
ADHD dan epilepsi?
• Kapan dan bagaimana menghentikan pengobatan farmakologis ADHD pada anak-anak dan
remaja dengan epilepsi
Tidak ada penelitian yang berfokus secara khusus pada riwayat alami ADHD pada anak-anak
dan remaja dengan epilepsi. Dengan demikian, tidak ada data untuk menginformasikan
mengenai perlunya pemeliharaan pengobatan farmakologis untuk ADHD dalam kelompok
tersebut.
Namun, pada sekitar dua pertiga dari kasus-kasus dengan ADHD saja, gejalanya menetap
sampai dewasa. ADHD sering dikaitkan dengan komorbiditas lain termasuk penyalahgunaan
zat dan gangguan mood, dan kurangnya manajemen gejala pada saat kritis ini pada masa
remaja dan dewasa muda yang mungkin memiliki konsekuensi mendalam pada kinerja
akademik, hubungan sosial, dan perilaku pengambilan risiko. Selain itu, orang dewasa muda
dengan ADHD tidak mencari perawatan untuk gejala mereka, atau mereka dapat
menghentikan stimulan karena mereka menganggap mereka telah mengatasi gangguan ini.
Dengan demikian, jika pengobatan farmakologis ADHD bermanfaat dan tampaknya
ditoleransi dengan baik, itu dapat dilanjutkan selama itu tetap efektif, tetapi harus ditinjau
setiap tahun, seperti yang direkomendasikan oleh pedoman klinis ADHD (kelas IV).
Pedoman National Institute for Health and Care Excellence (NICE) untuk transisi remaja
dengan ADHD dikeluarkan di Inggris pada tahun 2008 dan diterima di seluruh Eropa (kelas
IV). Rekomendasi (Level U: pendapat ahli) termasuk keterlibatan multidisiplin dalam masa
transisi dan klinik ADHD untuk dewasa. Ini penting karena banyak pasien mengalami
tantangan dengan pekerjaan, hubungan, dan kesejahteraan psikososial (Auvin., et al, 2018).
VI. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya ADHD masih belum diketahui dan hingga saat ini masih menjadi
pusat perhatian peneitian. Beberapa penulis meyakini bahwa ADHD timbul meliputi faktor
genetik, struktural dan fungsional otak serta disregulasi neurotransmitter. Teori tentang
ADHD yang ada saat ini meliputi faktor genetik, struktural fungsional otak, dan disregulasi
neurotransmitter serta aspek interaksi lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan
pajanan lingkungan.
1. Faktor genetik
Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar menunjukkan keterlibatan faktor
genetik didalam ADHD. Dari berbagai kandidat gen yang diduga terlibat dalam
pathogenesis ADHD, yang paling banyak diteliti adalah kandidat gen dopaminergic,
terutama adalah DAT1 dan DRD4. Alel dopamine transporter 1 (DAT1) 10R
berhubungan dengan peningkatan aktivitas reuptake dopamine, sedangkan alel
dopamine receptor D4 (DRD4) 7R mengubah transmisi dopamine dalam jaringan
neural dan membuat reseptor pos-sinaptik menjadi kurang sensitive terhadap
dopamine sehingga terjadi penurunan aktivitas jalur dopaminergic dalam lintasan
mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.
Efikasi obat stimulant dalam penatalaksanaan ADHD memberikan dasar untuk model ADHD
dan kemungkinan penjelaan untuk efek obat-obatan yang dari luar tampak berlawanan,
karena hiperaktivitas yang dianggap sebagai hipoarousal patologis, bisa diredakan dengan
stimulan. Dalam ADHD, gejala inti berupa hiperaktivita, inatensi dan impulsivitas diketahui
merespon terhadap terapi dengan obat stimulant, tetapi ada bukti bahwa anak normal yang
mendapatkan stimulan juga menunjukkan perbaikan yang sama dalam perilaku. Diperkirakan
70-90% pasien ADHD yang mendapatkan terapi dengan obat stimulant menunjukkan respon
positif. Beberapa individu ADHD mungkin tidak merespon dan mengalami efek samping
negative. Hingga kini masih sedikit yang diketahui tentang efek jangka panjang terapi
stimulant untuk penderita ADHD
Dasar neurobiologis ADHD masih belum dikatahui dengan jelas, tetapi saat ini ada dua
hipotesis yang berkembang: 1) hipotesis frontostriatal yang mempostulasikan adanya
disfungsi sirkuit frontosriatal, didasarkan pada sejumlah temuan penelitian anatomis dan
fungsional serta dari temuan penelitian neuroimaging, 2) hipotesis kortikal posterior yang
menunjukkan adanya perubahan pada area korteks posterior lainnya, pada tingkat anatomis
dan fungsional. Hipotesis frontostriatal adalah yang paling popular, sirkuit ini dianggap
sebagai bagian penting dalam fungsi eksekutif.
Adanya keterlibatan frontostriatal lebih spesifik pada deficit kognitif dan motivasional yang
terkait dengan ADHD, sedangkan clumsiness atau kecanggungan motorik di dalam gangguan
ADHD mungkin memiliki dasar neurologis yang berbeda. Disfungsi korteks prefrontalis
(prefrontal cortex, PFC) adalah komponen fundamental di dalam ADHD. PFC menggunakan
working memory untuk memandu perilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan
memungkinkan perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu yang memiliki ADHD
menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Penelitian pencitraan otak structural
dan fungsional menunjukkan bukti adanya perubahan fungsi PFC pada individu dengan
ADHD. Secara spesifik, PFC kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek
ADHD dibandingkan control yang sesuai usianya, dan ketidakmampuan untuk menekan
respon terhadap stimuli yang tidak relevan berhubungan dengan penurunan volume PFC
kanan (Thursina &Sutarni, 2019).
Tantangan pengobatan dan AED. Pemahaman yang lebih jelas tentang efek obat pada
simptomatologi dan perkembangan epilepsi gabungan dan ADHD diperlukan untuk
menyesuaikan manajemen medis dalam populasi ini. Ada kemungkinan bahwa epilepsi
mengubah gejala ADHD pada anak-anak yang memiliki keduanya, berdasarkan kemungkinan
etiologi bersama dan patofisiologi. Sebagai contoh, anak-anak dengan ADHD cenderung
mengalami kejang epilepsi dan memiliki tingkat kelainan EEG yang meningkat tanpa riwayat
epilepsi.
Menentukan regimen pengobatan yang efektif untuk anak-anak dengan epilepsi dan ADHD
adalah menantang, karena dokter harus mempertimbangkan frekuensi kejang pasien, fungsi
kognitif, interaksi obat, dan kepatuhan minum obat. Penggunaan AED, khususnya politerapi,
dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan defisit kognitif pada anak-anak termasuk
masalah perhatian dan hiperaktivitas. Gangguan tidur akibat AED, bersama dengan kejang
subklinis dan ketidakmampuan belajar, dapat berkontribusi pada kurangnya perhatian, yang
merupakan subtipe ADHD yang didiagnosis pada 59% anak-anak dengan ADHD dalam
penelitian ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan methylphenidate
tampaknya efektif pada anak-anak dengan epilepsi komorbiditas dan ADHD. Sebuah studi
Brasil 2015, yang memberikan dosis rendah hingga sedang methylphenidate, mengamati
penurunan frekuensi kejang dan keparahan seiring dengan peningkatan kualitas hidup di
kalangan remaja dengan ADHD dan epilepsi yang sulit diobati. Namun, peningkatan risiko
kejang dengan dosis tinggi sistem oral rilis osmotik methylphenidate dan penurunan ambang
kejang yang terkait dengan antidepresan trisiklik dan penggunaan bupropion juga telah
dilaporkan. Sebagian besar studi pengobatan untuk ADHD pada anak-anak dengan epilepsi
memiliki jumlah peserta yang sedikit dan / atau durasi studi yang pendek, dan uji klinis di
negara-negara berkembang telah dibatasi. Penelitian tentang obat lain, seperti amfetamin,
atomoxetine, dan alpha-2 adrenergic agonists, juga terbatas pada populasi ini. Efek obat pada
perilaku yang penuh perhatian dan ambang kejang karenanya harus dipantau secara ketat.
Pemantauan EEG adalah alat yang berguna dalam populasi ini untuk mengidentifikasi apakah
episode menatap atau gerakan berulang terkait dengan aktivitas kejang atau ADHD. Anak-
anak dengan epilepsi dalam penelitian ini mengalami ADHD pada tingkat yang tinggi, dan
karenanya penelitian lebih lanjut dalam populasi yang lebih besar harus mengklarifikasi rasio
risiko-manfaat yang terkait dengan berbagai obat.
Selain itu, Gonzalez-Heydrich et al. melaporkan bahwa anak-anak dengan epilepsi dan
ADHD sering memiliki komorbiditas tambahan, seperti kecemasan atau gangguan yang
menentang, membuat keputusan pengobatan menjadi kompleks. Kebijakan AED juga dapat
menciptakan tekanan finansial bagi beberapa keluarga. Manajemen holistik anak-anak
dengan epilepsi akan mencakup skrining dan manajemen masalah kejiwaan, termasuk
ADHD. Kegagalan dan putus sekolah adalah masalah bagi sejumlah anak dalam penelitian
ini dan menggarisbawahi perlunya melibatkan komunitas pendidikan di wilayah ini untuk
meningkatkan hasil akademik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi
kemanjuran terapi perilaku, terapi obat, dan modalitas pengobatan lain untuk individu dengan
epilepsi dan ADHD, serta pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas hidup
(Choudary,2018).
Farmakoterapi umumnya digunakan untuk mengobati ADHD, dan stimulan adalah intervensi
utama dengan sekitar 80-90% individu dengan ADHD menerima stimulan di beberapa titik
dalam hidup mereka. Pengobatan dengan obat stimulan meningkatkan gejala inti ADHD pada
individu tanpa epilepsi dan telah menghasilkan respons positif pada lebih dari 75% anak-
anak. Methylphenidate (MPH), psikostimulan yang paling banyak digunakan umumnya
diyakini menurunkan ambang kejang, meskipun telah disimpulkan bahwa ada sedikit atau
tidak ada bukti bahwa methylphenidate berinteraksi secara signifikan dengan AED yang lebih
umum diresepkan. Gucuyener et al. (2003) menyimpulkan bahwa MPH aman dan efektif
pada anak-anak dengan ADHD berdasarkan studi anak-anak dengan epilepsi dan ADHD dan
anak-anak dengan kelainan ADHD dan EEG, di mana MPH memiliki efek menguntungkan
pada EEG dan efek samping MPH ringan dan sementara
Torres et al. (2008) menganjurkan bahwa pengobatan ADHD pada anak-anak dengan epilepsi
harus multimodal dan telah diusulkan bahwa intervensi farmakologis sebagai bagian dari
pendekatan biopsikososial untuk ADHD dapat mendorong pembelajaran dan fungsi perilaku
yang baik (Reilley, 2011).
DAFTAR PUSTAKA