Anda di halaman 1dari 19

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) komorbid

Epilepsi

I. Pendahuluan
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah salah satu gangguan perilaku yang
sering terdiagnosis pada anak-anak. Kondisi ini secara klasik ditandai oleh gejala inatensi,
impulsivitas, dan hiperaktivitas. ADHD memiliki onset pada awal masa kanak-kanak, tetapi
sering baru terdiagnosis pada usia sekolah. ADHD menjadi sangat relevan dalam masyarakat
modern saat ini karena merupakan diagnosis yang paling sering ditemukan dalam bidang
kesehatan neuropsikiatri anak dan pendidikan. Banyak anak yang terdiagnosis dengan ADHD
kemudian memiliki masalah yang terkait dengan pendidikan, fungsi sosial, dan atau
kesehatan jiwa lainnya ketika beranjak remaja atau dewasa muda, sehingga kelainan ini
memberikan kerugian baik pada individu maupun masyarakat (Thursina &Sutarni, 2019).

Epilepsi berhubungan dengan gangguan kognitif dan kejiwaan pada sekitar setengah dari
populasi pasien epilepsi. ADHD didefinisikan oleh Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorder Edisi Kelima (DSM ‐ 5) sebagai pola menetap dari kurangnya perhatian dan
atau impulsif hiperaktif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, dan menjadi
komorbiditas paling umum pada anak-anak dengan epilepsi. Prevalensi ADHD pada anak-
anak dengan epilepsi dilaporkan sebesar 30% -40% dan 2,5 hingga 5,5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak yang sehat tanpa kejang. Sebuah penelitian besar kohort
berbasis populasi menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berkontribusi terhadap
komorbiditas ini. Dampak ADHD pada orang dengan epilepsi adalah signifikan, sering
dikaitkan dengan prestasi akademik yang kurang, depresi, perkembangan sosial, perilaku, dan
kecemasan. ADHD sulit terdiagnosis pada anak-anak dengan epilepsi, karena keluhan
kurangnya perhatian dan perilaku hiperaktif seringkali dikaitkan dengan epilepsi itu sendiri,
atau dengan efek obat antiepilepsi (AED). Bahkan ADHD sering tidak diobati karena
diperparah oleh mitos bahwa stimulan dapat menurunkan ambang kejang (Auvin et al, 2018).

II. Definisi
ADHD adalah sebuah gangguan perkembangan yang ditandai dengan tingkat hiperaktivitas,
impulsivitas, dan inatensi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Diagnosis
ADHD berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM-5) dari American Psychiatric
Association (APA) menyatakan bahwa pasien harus mengalami setidaknya enam gejala
inatensi (seperti gagal mempertahankan perhatian dalam melakukan tugas atau aktivitas
bermain, tidak mendengarkan ketika diajak berbicara langsung), atau enam gejala
hiperaktivitas/ impulsivitas (seperti terlalu banyak berbicara, tangan atau kaki yang terus
bergerak) (Thursina &Sutarni, 2019).
III. Epidemiologi
Kejadian ADHD ditemukan pada sekitar 3-12% anak usia sekolah dan 3-5% orang dewasa.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa rasio laki-laki terhadap perempuan diantara anak
ADHD adalah sekitar 2:1 hingga 9:1 pada subjek klinis dan 2:1 hingga 3:1 dalam sampel
komunitas. Persentase anak berusia 4 hingga 17 tahun yang terdiagnosis dengan ADHD telah
menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam kurang dari satu dekade dari 7,8% pada
tahun 2003 dan 2011, mengindikasikan bahwa proporsi anak yang memiliki riwayat ADHD
meningkat hingga 42% dalam kurang dari satu dekade. Hasil dari sebuah meta analisis
terhadap penelitian epidemiologi ADHD pada tahun 2015 menemukan angka prevalensi
sebesar 7,1% lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan dalam penelitian meta-analisis
sebelumnya pada tahun 2007 sebesar 5,3%.

Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, diantaranya sebuah survei yang telah
dilakukan oleh Dadomoro (1989) mendapatkan prevalensi ADHD sebesar 9,5% dengan
menggunakan instrumen DSM-III R, sedang pada penelitian Kiswarjanu et al (1997)
menunjukkan prevalensi ADHD sebesar 0,4% pada murid taman kanak-kanak di Kotamdaya
Yogyakarta dengan menggunakan DSM-IV. Penelitian Saputro (2004) mendapatkan angka
prevalensi ADHD pada anak sekolah dasar di DKI Jakarta sebesar 26,2% dengan instrumen
SPPAHI/G. Penelitian pada murid Sekolah Dasar Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 2006
menggunakan instrumen DSM-IV didapatkan ADHD sebesar 5,37% (Thursina &Sutarni,
2019).

Laporan awal tentang gangguan perilaku yang dialami oleh anak-anak dengan epilepsi
menunjukkan bahwa mereka berisiko tinggi untuk gejala ADHD. Prevalensi gejala ADHD
pada populasi epilepsi pediatrik sangat bervariasi tergantung pada sampel anak-anak dengan
epilepsi yang diteliti dan ukuran gejala ADHD yang digunakan. Mengenai studi populasi
ADHD pada anak-anak dengan epilepsi, Davies et al. (2003) melaporkan bahwa 12% dari 25
anak dengan epilepsi kompleks menderita ADHD. Tak satu pun dari 42 anak-anak dengan
epilepsi tanpa komplikasi memiliki ADHD. Epilepsi kompleks meliputi anak-anak dengan
kesulitan belajar yang parah (Vocabulary quotient <60), masalah bicara atau bahasa, cerebral
palsy, gangguan fisik lainnya, dan kondisi bawaan. Hesdorffer et al. (2004) melaporkan
penelitian berdasarkan populasi anak-anak dengan kejang yang tidak terprovokasi yang baru
didiagnosis dan menemukan bahwa 13,7% anak-anak dengan epilepsi memenuhi kriteria
DSM-IV untuk ADHD. Hedderick dan Buchhalter (2003) melaporkan bahwa tinjauan rekam
medis dari semua kasus epilepsi yang didiagnosis kurang dari 16 tahun di Rochester,
Minnesota menunjukkan bahwa prevalensi DSM-IV ADHD adalah 17% dalam sampel 134
anak. Caplan et al. (1997) melaporkan bahwa 28% klinik yang merujuk anak-anak dengan
epilepsi memiliki ADHD berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui wawancara
diagnostik dan menggunakan kriteria DSM-IV.
Epilepsi masa kanak-kanak pada populasi ADHD
Sementara ada sejumlah penelitian tentang prevalensi ADHD dan gejala yang terkait pada
anak-anak dengan epilepsi, ada juga upaya untuk memeriksa frekuensi epilepsi pada anak-
anak dengan diagnosis ADHD. Williams et al. (2001) melaporkan bahwa dari 130 anak yang
didiagnosis dengan ADHD di pusat perkembangan, tiga anak telah didiagnosis dengan
epilepsi sebelum didiagnosis dengan ADHD dan tiga anak didiagnosis dengan epilepsi
setelah diagnosis ADHD. Dari tiga anak yang didiagnosis dengan epilepsi setelah ADHD,
satu memiliki cerebral palsy dan satu mengalami keterlambatan perkembangan. Para penulis
menyimpulkan bahwa tidak ada peningkatan risiko kejang yang tidak diprovokasi pada
individu dengan ADHD yang tidak memiliki cacat perkembangan lain seperti cacat
intelektual atau cerebral palsy. Davis et al. (2010) melaporkan bahwa ada 2,7 kali lipat
kejadian epilepsi yang lebih besar di antara anak-anak dengan ADHD daripada pada anak-
anak kontrol tanpa ADHD berdasarkan tinjauan catatan medis. Ada kecenderungan untuk
anak-anak dengan ADHD untuk memiliki serangan kejang yang lebih awal dan frekuensi
kejang yang lebih besar daripada anak-anak dengan epilepsi tanpa ADHD. Mereka dengan
epilepsi dan ADHD lebih cenderung memiliki status epileptikus dan epilepsi yang refrakter
dibandingkan pada mereka yang hanya epilepsi. Anak-anak yang didiagnosis dengan ADHD
telah dilaporkan memiliki risiko tinggi untuk kelainan electroencephalogram (EEG), serta
kejang-kejang berikutnya, dan kelainan EEG telah ditemukan pada 6,1% anak-anak dengan
ADHD dibandingkan dengan 3,5% dari populasi. Socanski, Herigstad, Thomsen, Dag, dan
Larsen (2010) memeriksa file medis anak-anak dengan ADHD dan mencatat bahwa kelainan
epileptiform terdapat pada 7,5% dari 517 kasus. Dari mereka dengan EEG positif, riwayat
kejang epilepsi sebelumnya dilaporkan pada 14 anak-anak. Anak-anak dengan kelainan EEG
lebih sering perempuan dan lebih sering memanifestasikan subtipe ADHD-inatensi. Para
penulis menyimpulkan bahwa tidak jelas apakah angka ini secara signifikan lebih tinggi
daripada studi aktivitas epileptiform pada anak yang sehat (Reilley, 2011).

IV. Etiologi
Sejumlah faktor genetik dan lingkungan saling bekerja sama untuk menciptakan sebuah
spektrum gangguan neurobiologis

1. Factor resiko genetik


Penelitian genom scan terhadap alel potensial untuk ADHD menemukan linkage
untuk kromosom 5p13, 6q12, 16p13, 17p11 dan 11q22-25. Sejumlah gen
kemungkinan juga berperan dalam kemunculan ADHD diantaranya gen reseptor
dopamine D2,D4,D5 (DRD2, DRD4, DRD5), gen transporter serotonin (SLC6A3,
SLC6A4), gen reseptor serotonin 1B (HTR1B), gen dopamine beta-hydroxylase
(DBH), synaptosome associated protein 25kDa (SNAP25), reseptor glutamat
metabotropik (GRM1,GRM5,GRM7,GRM8)
2. Faktor resiko lingkungan
Faktor pre, peri dan post natal. Faktor prenatal berhubungan dengan gaya hidup ibu
selama kehamilan. Paparan alkohol prenatal diketahui memicu anomali struktural
otak, khususnya di serebelum. Anak yang terpapar alkohol prenatal bisa menjadi
hiperaktif, impulsive dan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk sejumlah gangguan
psikiatrik. Perilaku merokok ibu berhubungan dengan peningkatan risiko 2,7 kali lipat
untuk ADHD.
3. Interaksi gen-lingkungan
4. Penelitian mengenai efek varian gen (DRD4 dan DAT1) dan paparan prenatal pada
subtype ADHD, menemukan bahwa merokok selama kehamilan berhubungan dengan
tipe ADHD kombinasi pada anak yang memiliki kerentanan genetik. Laki-laki
homozigot untuk DAT1 10-repeat allele memiliki impulsivitas hiperaktivitas yang
lebih tinggi daripada laki-laki dari kelompok lain. Meski ada heterogenitas etiologik
dan patofisiologi ADHD, abnormalitas densitas DAT sepertinya umum ditemukan
diantara subjek ADHD (Thursina &Sutarni, 2019).

V. Panduan diagnostik
Kriteria terbaru untuk pemusatan perhatian mengacu pada DSM V sebagai berikut:

1. Inatensi
 Harus mencakup setidaknya 6 dari gejala inatensi berikut dan harus menetap
selama setidaknya 6 bulan pada tingkat yang maladaptif dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan
 Sering gagal memperhatikan hal-hal yang rinci atau membuat kesalahan dalam
tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya
 Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian pada tugas atau
akivitas bermain
 Sering tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang dikatakan
 Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,
Pekerjaan rumah, atau tugas di tempat kerja
 Sering mengalami kesulitan dalam mengorganisir tugas dan aktivitas
 Sering menghindari atau membenci tugas yang diberikan (seperti tugas
sekolah atau tugas rumah) yang memerlukan upaya mental yang menetap
 Sering kehilangan benda-benda yang diperlukan untuk menjalankan tugas atau
aktivitas (buku, pensil, alat-alat atau mainan)
 Sering mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulasi luar
 Sering lupa melakukan aktivitas keseharian
2. Hiperaktivitas/impulsivitas
 Harus mencakup setidaknya 6 dari gejala hiperaktivitas/ impulsivitas berikut
yang menetap selama 6 bulan pada tingkat maladaptive yang tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan
 Menggerakkan atau mengetuk tangan dan kaki, sering menggeliat di kursi
 Sering meninggalkan tempat tidur di kelas atau dalam situasi lainnya dimana
diharapkan agar anak tetap duduk
 Sering berlarian atau memanjat berlebihan dalam situsi dimana tindakan ini
tidak sesuai (pada remaja atau dewasa, terbatas pada perasaan gelisah yang
subjektif)
 Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan
senggang dengan tenang
 Tidak mampu atau tidak nyaman untuk tetap diam dalam jangka waktu yang
lama
 Bicara berlebihan
 Mengucapkan jawaban terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
disampaikan
 Kesulitan menunggu antrian atau menunggu giliran dalam permainan atau
situasi kelompok
 Menggganggu orang lain (untuk remaja dan orang dewasa, mungkin
mengganggu atau mengambil alih apa yang orang lain sedang lakukan)
3. Lainnya
 Onset tidak lebih dari usia 12 tahun
 Gejala harus muncul dalam 2 atau lebih situasi, seperti sekolah, tempat kerja
atau rumah
 Gangguan menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis
dalam fungsi sosial, akademik dan pekerjaan
 Gangguan tidak terjadi hanya selama perjalan schizophrenia atau gangguan
psikotik lainnya dan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan mood, kecemasan,
disosiatif, kepribadian atau intoksikasi atau withdrawal obat (Thursina
&Sutarni, 2019).

Satuan Tugas Komorbiditas Pediatrik direkrut oleh Komisi Pediatrik Internasional League
Against Epilepsy (ILAE) untuk memberikan panduan berbasis bukti untuk menginformasikan
klinisi mengenai skrining, diagnosis, dan manajemen ADHD pada pasien dengan epilepsi
pediatrik. Kelompok kerja ini mengidentifikasi 5 pertanyaan spesifik yang sangat relevan
dengan perawatan klinis.
Rekomendasi dinilai berdasarkan tingkat data berbasis bukti sesuai dengan American
Academy of Neurology Practice Parameter.
(1). Apakah factor resiko terjadinya ADHD pada pasien anak dengan epilepsi?

Ada hubungan dua arah antara epilepsi dan ADHD, dengan ADHD terjadi 2,54 kali lebih
sering pada anak-anak dengan epilepsi daripada pada anak-anak kontrol tanpa epilepsi dan
epilepsi terjadi 3,94 kali lebih banyak pada anak-anak dengan ADHD daripada pada anak-
anak kontrol tanpa ADHD

Jenis kelamin (Level A)


Dalam populasi umum, ADHD adalah 3 sampai 7 kali lipat lebih umum pada anak laki-laki
daripada perempuan. Namun, sebagian besar penelitian mendokumentasikan distribusi jenis
kelamin yang sama dari ADHD pada anak-anak dengan epilepsi. Dua studi mengevaluasi
anak-anak dengan epilepsi onset baru menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki tidak
memprediksi tingkat ADHD yang lebih tinggi. Temuan serupa dicatat dalam studi anak-anak
dengan epilepsi yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, sebuah studi cross-sectional tunggal
menyelidiki risiko ADHD pada pasien usia 10-19 tahun dengan epilepsi fokal atau umum
menemukan tren yang kuat antara kehadiran ADHD dan jenis kelamin laki-laki (P = 0,06).
Sebagai kesimpulan, sebagian besar penelitian tidak menemukan peningkatan risiko pada
anak laki-laki dengan epilepsi dibandingkan dengan anak perempuan dengan epilepsi.

Riwayat prenatal
Sebuah studi observasional prospektif tunggal kelas I pada anak-anak yang lahir dari ibu
yang menjalani monoterapi AED selama masa kehamilan menemukan bahwa tingkat inatensi
dan hiperaktif yang lebih tinggi pada anak-anak pada usia 3 tahun dengan paparan prenatal
terhadap valproate, dibandingkan dengan carbamazepine, lamotrigine, atau fenitoin.

Gangguan intelektual dan perkembangan (Level A)


Studi Kelas I dan II secara konsisten mencatat prevalensi ADHD yang lebih tinggi pada anak-
anak dengan gangguan intelektual dan perkembangan terkait. Sebuah survei cross-sectional
anak-anak Inggris mencatat tingkat ADHD yang lebih tinggi pada mereka dengan epilepsi
yang kompleks, termasuk gangguan belajar yang parah, berbicara, atau masalah bahasa. Studi
85 anak-anak dengan epilepsi menemukan bahwa ADHD hanya terdapat pada 20% pasien
dengan fungsi kognitif normal, dibandingkan 59% dari anak-anak dengan keterlambatan
kognitif. Kesimpulannya, anak-anak dengan epilepsi serta gangguan intelektual dan
perkembangan memiliki peningkatan risiko ADHD.

Riwayat keluarga ADHD


Secara umum diterima bahwa faktor-faktor genetik memainkan peran penting dalam
predisposisi terhadap ADHD. Hanya satu studi kelas III kecil yang mengevaluasi hubungan
ini pada anak-anak dengan epilepsi dan ADHD komorbiditas. Enam belas ibu dari anak-anak
dengan ADHD plus epilepsi dievaluasi menggunakan ADHD-Rating Skala IV, dan setengah
memenuhi kriteria untuk ADHD

Usia saat onset epilepsi (Level U)


Meskipun beberapa studi menunjukkan prevalensi ADHD yang lebih tinggi di antara mereka
dengan usia awal epilepsi, literatur bertentangan dengan hipotesis ini. Alfstad dan rekannya
menunjukkan bahwa timbulnya epilepsi dini meningkatkan risiko pengembangan gangguan
kejiwaan secara keseluruhan, meskipun penelitian ini tidak secara khusus membahas ADHD
saja (kelas II). Demikian pula, sebuah penelitian tentang remaja dengan epilepsi mencatat
tingkat ADHD yang lebih tinggi pada mereka yang lebih muda usia saat kejang (kelas II).
Sebuah penelitian kecil pada anak-anak dengan epilepsi masa kanak-kanak dengan
gelombang paku centrotemporal (CECTS) menemukan bahwa anak-anak yang lebih muda
pada serangan epilepsi memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari defisit perhatian (kelas II).
Sebaliknya, Hermann dan rekannya tidak menemukan korelasi yang signifikan antara usia
yang lebih muda pada onset kejang dan tingkat yang lebih tinggi dari ADHD (kelas II) dalam
kelompok anak-anak dengan epilepsi yang baru didiagnosis. Demikian pula, Kral et al tidak
menemukan hubungan antara usia lebih dini pada onset epilepsi dan ADHD dalam studi
kohort retrospektif anak-anak dengan epilepsi (kelas III).

Jenis kejang dan epilepsi (Level U)


Beberapa penelitian yang dirancang dengan baik memberikan bukti bahwa anak-anak dengan
epilepsi absans masa kanak-kanak (CAE) memiliki tingkat ADHD yang tinggi; Namun, studi
ini tidak membandingkan CAE dengan tipe epilepsi lain. Empat studi telah menilai apakah
tipe kejang spesifik berkorelasi dengan risiko ADHD yang lebih besar dan tidak menemukan
korelasi. Sebaliknya, satu studi membandingkan 23 anak-anak dengan epilepsi lobus
temporal hingga 20 anak-anak dengan epilepsi umum idiopatik menemukan bahwa mereka
dengan epilepsi lobus temporal berperforma lebih buruk pada tes kontrol atensi (kelas III).

Variabel EEG (Level U)


Tidak ada bukti yang meyakinkan untuk hubungan antara perubahan EEG interiktal dan
keparahan defisit perhatian

Frekuensi kejang dan kontrol (Level B)


Sebagian besar penelitian mendukung hubungan antara kontrol kejang yang buruk dan risiko
ADHD yang lebih tinggi. Dalam sebuah penelitian prospektif observasional kelas III dari 40
anak-anak dengan "epilepsi idiopatik atau kriptogenik," baik frekuensi kejang yang lebih
tinggi dan polifarmasi berkorelasi dengan risiko yang lebih besar untuk mengembangkan
ADHD.
Berdasarkan temuan penelitian gabungan, tetapi diimbangi dengan keterbatasan sebagian
besar data dari studi kelas III, ada bukti untuk mendukung hubungan antara kontrol kejang
yang buruk dan peningkatan risiko ADHD.

Kapan dilakukan skrining ADHD pada anak-anak dengan epilepsi (Level U; pendapat
ahli)
Tidak ada penelitian yang mengevaluasi kapan skrining anak-anak dengan epilepsi untuk
ADHD. Berdasarkan laporan bahwa anak-anak dengan epilepsi berisiko tinggi mengalami
ADHD pada saat presentasi dengan kejang pertama mereka atau ketika epilepsi adalah
pertama kali didiagnosis, skrining untuk ADHD harus dilakukan pada setiap anak dengan
epilepsi mulai pada usia 6 tahun, atau pada saat diagnosis jika lebih dari 6 tahun, dan harus
diulang setiap tahun. Evaluasi ulang harus dilakukan kembali setelah perubahan AED.
Penapisan tidak boleh dilakukan dalam waktu 48 jam setelah kejang yang terkait dengan
keadaan postictal

(2). Alat skrining apa yang harus digunakan dan bagaimana seharusnya ADHD didiagnosis
pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi?

Diagnosis ADHD harus melibatkan praktisi kesehatan dengan keahlian dalam ADHD, seperti
psikolog, psikiater anak, ahli saraf anak, dan dokter anak perkembangan (Level U: pendapat
ahli). Diagnosis ADHD membutuhkan berikut ini: (1) skala penilaian ADHD-divalidasi dari
orang tua dan guru berdasarkan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental — edisi
ke-4 atau ke-5 (DSM-IV dan 5); (2) informasi skala penilaian melalui wawancara orang tua;
dan (3) mengesampingkan penyebab lain. Skala penilaian memungkinkan penyaringan untuk
menilai gejala ADHD tetapi tidak ada rekomendasi formal yang menyatakan menggunakan
satu alat di atas yang lain.
Skor total SDQ perbatasan atau abnormal sangat berkorelasi dengan adanya diagnosis
psikiatrik yang teruji (93,6%), di mana ADHD adalah yang paling umum (31,7%). Secara
keseluruhan, SDQ memiliki kualitas sensitivitas yang lebih baik daripada spesifisitas,
menunjukkan bahwa skor ini dapat digunakan sebagai screener, tetapi diagnosis psikiatrik
yang lebih rinci harus diikuti untuk mereka yang teridentifikasi berisiko.
Lebih penting untuk mengidentifikasi secara berlebihan (false-positive) pada skrining
daripada melewatkan diagnosis (false negative) yang berisiko (Level U; pendapat ahli).
Keterbatasan lain dari SDQ, serta langkah-langkah lain, mungkin utilitasnya dalam
subpopulasi yang berbeda yang memiliki epilepsi termasuk anak-anak dengan cacat
intelektual atau latar belakang ras dan etnis yang berbeda.

(3). Kriteria apa yang dapat digunakan untuk membedakan ADHD dari kondisi lain seperti
kejang absans, gangguan belajar, dan kondisi lain yang meniru ADHD?
ADHD mungkin salah didiagnosis pada anak-anak dengan epilepsi absan dan sebaliknya.
Lebih lanjut, ADHD adalah komorbiditas yang umum pada anak-anak dengan kejang absan,
terjadi pada 30-60% kohort.
Hiperventilasi menginduksi kejang pada sebagian besar anak-anak dengan epilepsi absan
masa kanak-kanak yang tidak diobati. Perbedaan antara ADHD dan CAE harus didasarkan
pada riwayat dan EEG dengan hiperventilasi (Level U, pendapat ahli).
Kira-kira, 21% -33% anak-anak dengan epilepsi memiliki gangguan intelektual. Bahkan pada
anak-anak dengan IQ normal, ketidakmampuan belajar adalah hal yang biasa. Telah
didokumentasikan bahwa gangguan intelektual berkorelasi dengan risiko ADHD yang lebih
tinggi. Demikian pula, gangguan tidur lebih umum di antara anak-anak dengan epilepsi dan
ADHD dibandingkan dengan mereka yang hanya dengan epilepsi. Tes kognitif formal harus
sangat dipertimbangkan pada anak-anak yang bersekolah (Level U: pendapat ahli).
Penapisan yang hati-hati untuk kecemasan dan depresi, serta gangguan bipolar dan
skizofrenia onset dini, dan pertanyaan mengenai tidur harus dilakukan secara rutin pada anak-
anak dengan epilepsi, terutama jika ada perhatian dan kekhawatiran akademis (Level U:
pendapat ahli). Ketika ahli saraf anak tidak dapat menyingkirkan gangguan ini, evaluasi
psikolog atau psikiatrik menggunakan instrumen skrining harus dilaksanakan.

(4).Apa manajemen ADHD yang direkomendasikan pada anak-anak dan remaja dengan
epilepsi?

Apakah ada beberapa tindakan pencegahan untuk dipertimbangkan dengan AED


tertentu sehubungan dengan ADHD?

Enam belas studi diidentifikasi. Ada 3 penelitian kelas I. Populasi penelitian yang ditinjau
adalah CAE dan kejang fokus yang diobati dengan berbagai AED. Kedua studi yang
meninjau etosuximide, lamotrigin, dan valproate di CAE memberikan bukti kuat bahwa
valproate terkait dengan eksaserbasi dari masalah inatensi dalam populasi ini. Studi lain
membandingkan levetiracetam dengan plasebo pada anak-anak dengan kejang fokal dan
menunjukkan peningkatan marginal dalam perilaku, tetapi tidak secara khusus mengganggu
perhatian pada mereka yang diobati dengan levetiracetam.
Ada 2 studi kelas II, satu menilai kejang fokus dan anak-anak lain dengan CECTS. Studi
kejang fokus melaporkan bahwa anak-anak yang menggunakan monoterapi atau terapi
kombinasi dengan carbamazepine, oxcarbazepine, atau sodium valproate tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dalam pemrosesan kecepatan dan perhatian, sebagai hasil
sekunder, tetapi dibatasi oleh periode penelitian yang pendek. Studi lain meninjau topiramate
dan carbamazepine pada anak-anak dengan CECTS. Kelompok topiramate memiliki
kecenderungan ke arah peningkatan perhatian tetapi kognisi memburuk, dibandingkan
dengan mereka yang menggunakan carbamazepine; Namun, kurangnya signifikansi temuan
ini membatasi kesimpulan lebih lanjut.
Ada 11 studi kelas III. Dua studi meninjau CECTS, satu kejang fokus, satu kejang umum,
satu gangguan kejang kompleks, dan 6 semua jenis kejang. Beragam AED dimasukkan
dengan sedikit konsistensi antar studi yang membatasi perbandingan. Politerapi dikaitkan
dengan tingkat masalah perilaku yang lebih tinggi. (Level C).
Apakah methylphenidate, atomoxetine, atau amfetamin memiliki efek buruk pada
frekuensi kejang?

Eksaserbasi kejang dilaporkan pada 0% -18% populasi penelitian pada methylphenidate,


tetapi sebagian besar adalah ringan dan sementara, dengan tidak lebih dari 5% menghentikan
pengobatan. Karena studi ini tidak terkontrol plasebo, tidak mungkin untuk menentukan
apakah perubahan tersebut terkait dengan fluktuasi awal. Tingkat eksaserbasi kejang untuk
atoxoxetine adalah 7%-9%, tetapi sekali lagi jumlahnya terlalu kecil untuk menarik
kesimpulan, dan tidak ada data untuk amfetamin. Tujuh studi, yang termasuk pasien dengan
epilepsi refrakter, menunjukkan bahwa methylphenidate mungkin aman. Hanya ada satu studi
yang mendokumentasikan toleransi terhadap atomoxetine dalam kelompok populasi yang
kompleks; 7% mengalami eksaserbasi kejang. Data yang dikumpulkan oleh produsen farmasi
menemukan bahwa kejang tidak lebih umum pada anak-anak dengan ADHD yang diobati
dengan atomoxetine daripada pada anak-anak dengan ADHD tanpa intervensi psikostimulan.
Data ini tidak memisahkan anak-anak dengan epilepsi komorbiditas. Tolerabilitas untuk
amfetamin pada anak-anak dengan epilepsi tidak didefinisikan.

Adakah rekomendasi pengobatan berbasis bukti sehubungan dengan pengelolaan


ADHD pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi?

Data yang berkaitan dengan pengobatan ADHD pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi
terbatas. Bukti mendukung kemanjuran methylphenidate pada anak-anak dengan epilepsi dan
komorbid ADHD. Bukti yang terbatas membahas atomoxetine dan amfetamin pada anak-
anak dengan epilepsi dan ADHD.

(5). Apa tindak lanjut yang direkomendasikan dan transisi anak-anak dan remaja dengan
ADHD dan epilepsi?

• Kapan dan bagaimana menghentikan pengobatan farmakologis ADHD pada anak-anak dan
remaja dengan epilepsi
Tidak ada penelitian yang berfokus secara khusus pada riwayat alami ADHD pada anak-anak
dan remaja dengan epilepsi. Dengan demikian, tidak ada data untuk menginformasikan
mengenai perlunya pemeliharaan pengobatan farmakologis untuk ADHD dalam kelompok
tersebut.
Namun, pada sekitar dua pertiga dari kasus-kasus dengan ADHD saja, gejalanya menetap
sampai dewasa. ADHD sering dikaitkan dengan komorbiditas lain termasuk penyalahgunaan
zat dan gangguan mood, dan kurangnya manajemen gejala pada saat kritis ini pada masa
remaja dan dewasa muda yang mungkin memiliki konsekuensi mendalam pada kinerja
akademik, hubungan sosial, dan perilaku pengambilan risiko. Selain itu, orang dewasa muda
dengan ADHD tidak mencari perawatan untuk gejala mereka, atau mereka dapat
menghentikan stimulan karena mereka menganggap mereka telah mengatasi gangguan ini.
Dengan demikian, jika pengobatan farmakologis ADHD bermanfaat dan tampaknya
ditoleransi dengan baik, itu dapat dilanjutkan selama itu tetap efektif, tetapi harus ditinjau
setiap tahun, seperti yang direkomendasikan oleh pedoman klinis ADHD (kelas IV).

Pedoman National Institute for Health and Care Excellence (NICE) untuk transisi remaja
dengan ADHD dikeluarkan di Inggris pada tahun 2008 dan diterima di seluruh Eropa (kelas
IV). Rekomendasi (Level U: pendapat ahli) termasuk keterlibatan multidisiplin dalam masa
transisi dan klinik ADHD untuk dewasa. Ini penting karena banyak pasien mengalami
tantangan dengan pekerjaan, hubungan, dan kesejahteraan psikososial (Auvin., et al, 2018).

VI. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya ADHD masih belum diketahui dan hingga saat ini masih menjadi
pusat perhatian peneitian. Beberapa penulis meyakini bahwa ADHD timbul meliputi faktor
genetik, struktural dan fungsional otak serta disregulasi neurotransmitter. Teori tentang
ADHD yang ada saat ini meliputi faktor genetik, struktural fungsional otak, dan disregulasi
neurotransmitter serta aspek interaksi lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan
pajanan lingkungan.

1. Faktor genetik
Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar menunjukkan keterlibatan faktor
genetik didalam ADHD. Dari berbagai kandidat gen yang diduga terlibat dalam
pathogenesis ADHD, yang paling banyak diteliti adalah kandidat gen dopaminergic,
terutama adalah DAT1 dan DRD4. Alel dopamine transporter 1 (DAT1) 10R
berhubungan dengan peningkatan aktivitas reuptake dopamine, sedangkan alel
dopamine receptor D4 (DRD4) 7R mengubah transmisi dopamine dalam jaringan
neural dan membuat reseptor pos-sinaptik menjadi kurang sensitive terhadap
dopamine sehingga terjadi penurunan aktivitas jalur dopaminergic dalam lintasan
mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.

2. Faktor struktural dan fungsional otak


Bukti fungsional dan struktural ADHD mennjukkan pada disfungsi otak di korteks
prefrontral, nucleus kaudatus dan serebelum. Area-area ini saling terhubungkan oleh
sebuah jaringan neuron dan bersama-sama meregulasi atensi, berpikir, emosi, perilaku
dan tindakan. Penelitian pada pasien ADHD menunjukkan maturasi korteks prefrontal
yang lebih lambat atau volume yang lebih kecil dan penurunan aktivitas korteks
prefrontal, kaudatus, atau serebelum. Aktivitas jaringan diantara area ini sangat
sensitif terhadap lingkungan neurokimia dan dipertahankan oleh neurotransmitter,
ADHD disebabkan karena ketidakseimbangan antara norepinefrin (NE) dan dopamine
(DA), lebih tepatnya kemungkinan terjadi kelebihan NE dalam lokus seruleus dan
terjadi deficit DA dalam system mesolimbic frontal

3. Faktor disregulasi neurotransmitter


Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan ADHD adalah dopamin, norepinefrin,
dan serotonin. Studi neurofarmakologi menunjukkan bahwa disregulasi system
noradrenalin menyebabkan gangguan fungsi atensi kortikal posterior, serta gangguan
disregulasi dopamine yang menyebabkan gangguan fungsi eksekutif. Akson
noradrenergic dari lokus seruleus dan berakhir di reseptor noradrenergic  subtype 2A
pada korteks prefrontalis. Stimulasi yang tidak memadai pada reseptor noradrenergic
subtype 2A pada presinaps dan post sinaps korteks prefrontal mengakibatkan
disfungsi korteks prefrontal dalam regulasi pemusatan perhatian dan working memory.
Sirkuit fronto-subkortikal (korteks prefrontalis lateral, korteks singulata anterior
dorsal, kaudatus dan putamen) yang berhubungan dengan ADHD kaya dengan
katekolamin, yang terlibat dalam mekanisme kerja obat yang digunakan untuk
menangani ADHD. Penelitian neurofarmakologik memberikan bukti bahwa dalam
ADHD terdapat disregulasi system NE dan DA. Sebagai contoh, pengobatan dengan
methylphenidate akan meningkatan persinyalan DA melalui beberapa cara, termasuk
blockade transporter reuptake DA, penguatan durasi kerja DA, disinhibisi reseptor
dopamine D2 dan penguatan tonus DA. Methylphenidate juga menghambat reuptake
NE.

4. Faktor lintasan atau tahapan perkembangan otak


Kasus ADHD tertentu karena tidak diterimanya suatu “budaya” pada usia tertentu
sehingga gejala ADHD diharapkan membaik jika kondisi lingkungan mendukung atau
sebaliknya, gejala tersebut akan menetap jika stressor psikososial dialami
berkepanjangan.

Gambar 1. Patofisiologi ADHD

Efikasi obat stimulant dalam penatalaksanaan ADHD memberikan dasar untuk model ADHD
dan kemungkinan penjelaan untuk efek obat-obatan yang dari luar tampak berlawanan,
karena hiperaktivitas yang dianggap sebagai hipoarousal patologis, bisa diredakan dengan
stimulan. Dalam ADHD, gejala inti berupa hiperaktivita, inatensi dan impulsivitas diketahui
merespon terhadap terapi dengan obat stimulant, tetapi ada bukti bahwa anak normal yang
mendapatkan stimulan juga menunjukkan perbaikan yang sama dalam perilaku. Diperkirakan
70-90% pasien ADHD yang mendapatkan terapi dengan obat stimulant menunjukkan respon
positif. Beberapa individu ADHD mungkin tidak merespon dan mengalami efek samping
negative. Hingga kini masih sedikit yang diketahui tentang efek jangka panjang terapi
stimulant untuk penderita ADHD

Dasar neurobiologis ADHD masih belum dikatahui dengan jelas, tetapi saat ini ada dua
hipotesis yang berkembang: 1) hipotesis frontostriatal yang mempostulasikan adanya
disfungsi sirkuit frontosriatal, didasarkan pada sejumlah temuan penelitian anatomis dan
fungsional serta dari temuan penelitian neuroimaging, 2) hipotesis kortikal posterior yang
menunjukkan adanya perubahan pada area korteks posterior lainnya, pada tingkat anatomis
dan fungsional. Hipotesis frontostriatal adalah yang paling popular, sirkuit ini dianggap
sebagai bagian penting dalam fungsi eksekutif.

Adanya keterlibatan frontostriatal lebih spesifik pada deficit kognitif dan motivasional yang
terkait dengan ADHD, sedangkan clumsiness atau kecanggungan motorik di dalam gangguan
ADHD mungkin memiliki dasar neurologis yang berbeda. Disfungsi korteks prefrontalis
(prefrontal cortex, PFC) adalah komponen fundamental di dalam ADHD. PFC menggunakan
working memory untuk memandu perilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan
memungkinkan perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu yang memiliki ADHD
menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Penelitian pencitraan otak structural
dan fungsional menunjukkan bukti adanya perubahan fungsi PFC pada individu dengan
ADHD. Secara spesifik, PFC kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek
ADHD dibandingkan control yang sesuai usianya, dan ketidakmampuan untuk menekan
respon terhadap stimuli yang tidak relevan berhubungan dengan penurunan volume PFC
kanan (Thursina &Sutarni, 2019).

Penelitian neuroimaging menggunakan MRI telah berupaya menjelaskan kemungkinan


mekanisme saraf bersama yang mendasari epilepsi dan komorbiditas ADHD. Daerah dengan
penurunan ketebalan kortikal telah dilaporkan dalam kelompok dengan komorbid epilepsi
dan ADHD, dibandingkan dengan epilepsi saja, yang dapat mengindikasikan perubahan
perkembangan jaringan fungsional. Saute et al. melaporkan bahwa epilepsi pediatrik dengan
komorbiditas ADHD dikaitkan dengan penurunan ketebalan kortikal di daerah bilateral
frontal, parietal, dan temporal, bersama dengan volume nucleus caudatus, thalamus,
hippocampus, dan batang otak yang lebih kecil, dibandingkan dengan kelompok epilepsi non-
ADHD; otak kecil dan thalamus yang berhubungan dengan epilepsi umumnya, tetapi volume
otak dan luas permukaan tidak menunjukkan perbedaan. Demikian pula, Dabbs et al.
melaporkan bahwa masalah ADHD dinilai dengan CBCL dikaitkan dengan penurunan
ketebalan kortikal di daerah superior frontal dan lateral oksipital superior dan gyrus fusiform
kanan. Studi genetik, terutama pada tingkat populasi, juga telah mulai mengidentifikasi faktor
risiko yang terkait dengan ini dan gangguan perkembangan saraf. Selain faktor genetik yang
diwariskan, mutasi de novo dan varian langka lainnya, seperti yang terlibat dalam fungsi
sinaptik, transmisi neurotransmisi, dan remodeling metilasi, harus diselidiki sebagai faktor
risiko potensial (Choudary, 2018).
Patogenesis hubungan antara epilepsi dan ADHD masih belum diketahui. Disfungsi jaringan
frontostriatal terkait dengan ADHD tanpa epilepsi, sedangkan bukti disfungsi lobus frontal
muncul pada kedua onset fokal dan tipe epilepsi onset general. Dengan demikian, lobus
frontal dapat berkorelasi antara epilepsi dan ADHD. Komorbiditas mereka juga didukung
oleh model-model hewan, yang dapat menjelaskan cacat genetik umum yang mendasari
gangguan ini. Dalam sebuah penelitian, tikus dibiakkan secara selektif untuk menguji
kecepatan amigdala (model untuk epilepsi lobus temporal). Tikus yang sama dinilai untuk
gejala seperti ADHD pada generasi berikutnya. Tikus kindling cepat (rawan kejang secara
genetik) mirip dengan manusia dengan ADHD dibandingkan dengan tikus kindling lambat.
Studi lain menunjukkan bahwa kejang yang diinduksi tikus secara simultan mengembangkan
karakteristik perilaku dan fisik yang mirip dengan gejala ADHD. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa mekanisme neurobiologis yang umum dapat hadir pada epilepsi dan
ADHD (Ching chou, et al, 2013). Identifikasi mekanisme ini merupakan pertimbangan
penting dalam manajemen klinis epilepsi. Studi lebih lanjut harus menyelidiki kelainan
genetik yang, melalui penetrasi variabel, dapat menyebabkan epilepsi saja, epilepsi dengan
ADHD, atau ADHD saja. Efek aktivitas epileptiformis dalam berbagai fungsi jaringan saraf
juga membutuhkan pemahaman yang lebih baik.

VII. Manifestasi klinis

Gambaran ADHD ini dapat diterangkan lebih rinci sebagai berikut:

1. Perhatian yang pendek


Individu dengan gangguan ini mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan
cenderung melamun, kurang motivasi, sulit mengikuti instruksi. Mereka sering
menunda tugas dan cepat berpindah ke topik lain.

2. Menurunnya daya ingat jangka pendek


Keadaan ini dapat mempengaruhi kegiatan belajar, karena anak cenderung tidak dapat
merespon dengan baik setiap instruksi, juga mengalami kesulitan dalam mempelajari
symbol-simbol, seperti warna dan alphabet.

3. Gangguan motorik dan koordinasi


Dalam ketrampilan motorik kasar, mereka mengalami kesulitan dalam keseimbangan
melompat, berlari, atau naik sepeda. Dalam ketrampilan motorik halus, seperti
mengancingkan baju, memakai tali sepatu, menggunting, mewarnai dan tulisannya
sulit dibaca. Dalam koordinasi mata-tangan seperti melempar bola, menangkap bola,
menendang, maka gerakan-gerakannya cenderung terburu-buru. Hal ini tampak juga
ketika mengikuti kegiatan olahraga, gerakannya tampak kurang terampil.

4. Terdapat gangguan impulsivitas


Individu dengan gangguan ini sering bertindak sebelum berpikir, bahkan seringkali
berbahaya bagi orang lain. Impulsivitas ini muncul pula dalam bentuk verbal. Mereka
berbicara tanpa berpikir lebih dahulu, tidak memperhitungkan bagaimana perasaan
orang lain yang mendengarkan, apakah kan menyinggung atau menyakitkan hati dan
anak seperti tidak sabaran, kurang mampu untuk menunda keinginan, menginterupsi
pembicaraan orang.

5. Kesulitan untuk menyesuaikan diri


Individu ini sering mempunyai masalah dalam penyesuaian diri terhadap semua hal
yang baru, misalnya sekolah, guru, rumah, baju baru. Mereka lebih menyukai
lingkungan yang sudah dikenal dengan baik, tidak mudah berubah, dan bersifat
kekeluargaan. Seringkali apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil akan berlanjut
sampai dewasa.

6. Gangguan memiliki ketidakstabilan emosi, baik watak maupun suasana hati


menampakkan perilaku sangat labil dalam menentukan derajat suasana hati dari sedih
ke gembira. Anak seringkali marah hanya disebabkan oleh factor pemicu yang sepele.
Mereka juga cenderung mengalami masalah untuk merasakan kegembiraan. Pada
masa remaja kurang merasakan perasaan kehilangan semangat atau tidak berdaya
(Thursina &Sutarni, 2019).

Korelasi ADHD pada anak-anak dengan epilepsi


Sejumlah penelitian telah memasukkan variabel kejang / epilepsi terkait mungkin berkorelasi
untuk gejala ADHD pada anak-anak dengan epilepsi. Sherman et al. (2007) melaporkan
bahwa anak-anak dengan subtipe dominan ADHD inatensi lebih cenderung memiliki epilepsi
terkait lokalisasi daripada epilepsi umum dalam sampel anak-anak dengan epilepsi tipe
kompleks. Hermann et al. (2007) melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara diagnosis
ADHD dan epilepsi idiopatik terkait lokalisasi. Thome-Souza et al. (2004) melaporkan
bahwa etiologi epilepsi bukanlah prediktor signifikan ADHD pada anak-anak yang
didiagnosis dengan epilepsi.

VIII. Tata laksana


1. Edukasi dan informasi kepada orangtua dan anak
Tujuan terapi adalah untuk mengembangkan ketrampilan belajar, mengurangi
perilaku disruptif, dan memperbaiki hubungan interpersonal
2. Manajemen behavioural
Terapi behavioural mencakup implementasi intervensiyang memiliki tujuan untuk
memodifikasi lingkungan fisik dan social sehingga dapat mengubah perilaku anak,
teknik modifikasi perilaku sering digunakan pada anak yang berusia lebih muda,
tetapi juga digunakan pada remaja. Orang tua dan guru dilatih untuk menggunakan
teknik reinforcement untuk membentuk perilaku anak. Positif reinforcement
dilakukan dengan cara mendorong perilaku yang baik dan bisa diterima dengan pujian
dan reward setelah melakukan perilaku positif, sedangkan negative reinforcement
adalah membiarkan konsekuensi dari perilaku sehingga secara perlahan akan
mengubah perilaku anak.
3. Farmakoterapi
Stimulant merupakan pendekatan lini pertama untuk pengobatan hiperaktivitas dan
perilaku disruptif, dan penelitian klinis menunjukkan tingkat keberhasilan respon
mencapai 70-80%. Terapi stimulant digunakan untuk menangani ADHD sedang dan
berat dan dapat menigkatkan alertness, atensi, dan energy selain meningkatkan
tekanan darah, denyut jantung, dan respirasi. Terapi obat ini dapat membantu anak
untuk memfokuskan perhatian dan mengabaikan hal-hal yang mengalihkan perhatian
mereka untuk meningkatkan keberhasilan di sekolah dan rumah. Stimulant yang
paling sering dugunakan adalah methylphenidate dan amphetamine.
4. Pemberian stimulant harus hati-hati
Usia harus diatas 6 tahun, tidak ada kontraindikasi, harus dibawah pengawasan
orangtua atau guru, terkait efek samping dan adiksi, dosis dimulai dengan dosis
rendah dan naik perlahan bila diperlukan “start low go slow”. Studi Cochrane
menunjukkan bahwa pemberian methylphenidate dosis rendah dibandingkan dengan
dosis tinggi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap efek samping
yang ditimbulkan.

Tantangan pengobatan dan AED. Pemahaman yang lebih jelas tentang efek obat pada
simptomatologi dan perkembangan epilepsi gabungan dan ADHD diperlukan untuk
menyesuaikan manajemen medis dalam populasi ini. Ada kemungkinan bahwa epilepsi
mengubah gejala ADHD pada anak-anak yang memiliki keduanya, berdasarkan kemungkinan
etiologi bersama dan patofisiologi. Sebagai contoh, anak-anak dengan ADHD cenderung
mengalami kejang epilepsi dan memiliki tingkat kelainan EEG yang meningkat tanpa riwayat
epilepsi.
Menentukan regimen pengobatan yang efektif untuk anak-anak dengan epilepsi dan ADHD
adalah menantang, karena dokter harus mempertimbangkan frekuensi kejang pasien, fungsi
kognitif, interaksi obat, dan kepatuhan minum obat. Penggunaan AED, khususnya politerapi,
dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan defisit kognitif pada anak-anak termasuk
masalah perhatian dan hiperaktivitas. Gangguan tidur akibat AED, bersama dengan kejang
subklinis dan ketidakmampuan belajar, dapat berkontribusi pada kurangnya perhatian, yang
merupakan subtipe ADHD yang didiagnosis pada 59% anak-anak dengan ADHD dalam
penelitian ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan methylphenidate
tampaknya efektif pada anak-anak dengan epilepsi komorbiditas dan ADHD. Sebuah studi
Brasil 2015, yang memberikan dosis rendah hingga sedang methylphenidate, mengamati
penurunan frekuensi kejang dan keparahan seiring dengan peningkatan kualitas hidup di
kalangan remaja dengan ADHD dan epilepsi yang sulit diobati. Namun, peningkatan risiko
kejang dengan dosis tinggi sistem oral rilis osmotik methylphenidate dan penurunan ambang
kejang yang terkait dengan antidepresan trisiklik dan penggunaan bupropion juga telah
dilaporkan. Sebagian besar studi pengobatan untuk ADHD pada anak-anak dengan epilepsi
memiliki jumlah peserta yang sedikit dan / atau durasi studi yang pendek, dan uji klinis di
negara-negara berkembang telah dibatasi. Penelitian tentang obat lain, seperti amfetamin,
atomoxetine, dan alpha-2 adrenergic agonists, juga terbatas pada populasi ini. Efek obat pada
perilaku yang penuh perhatian dan ambang kejang karenanya harus dipantau secara ketat.
Pemantauan EEG adalah alat yang berguna dalam populasi ini untuk mengidentifikasi apakah
episode menatap atau gerakan berulang terkait dengan aktivitas kejang atau ADHD. Anak-
anak dengan epilepsi dalam penelitian ini mengalami ADHD pada tingkat yang tinggi, dan
karenanya penelitian lebih lanjut dalam populasi yang lebih besar harus mengklarifikasi rasio
risiko-manfaat yang terkait dengan berbagai obat.
Selain itu, Gonzalez-Heydrich et al. melaporkan bahwa anak-anak dengan epilepsi dan
ADHD sering memiliki komorbiditas tambahan, seperti kecemasan atau gangguan yang
menentang, membuat keputusan pengobatan menjadi kompleks. Kebijakan AED juga dapat
menciptakan tekanan finansial bagi beberapa keluarga. Manajemen holistik anak-anak
dengan epilepsi akan mencakup skrining dan manajemen masalah kejiwaan, termasuk
ADHD. Kegagalan dan putus sekolah adalah masalah bagi sejumlah anak dalam penelitian
ini dan menggarisbawahi perlunya melibatkan komunitas pendidikan di wilayah ini untuk
meningkatkan hasil akademik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi
kemanjuran terapi perilaku, terapi obat, dan modalitas pengobatan lain untuk individu dengan
epilepsi dan ADHD, serta pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas hidup
(Choudary,2018).
Farmakoterapi umumnya digunakan untuk mengobati ADHD, dan stimulan adalah intervensi
utama dengan sekitar 80-90% individu dengan ADHD menerima stimulan di beberapa titik
dalam hidup mereka. Pengobatan dengan obat stimulan meningkatkan gejala inti ADHD pada
individu tanpa epilepsi dan telah menghasilkan respons positif pada lebih dari 75% anak-
anak. Methylphenidate (MPH), psikostimulan yang paling banyak digunakan umumnya
diyakini menurunkan ambang kejang, meskipun telah disimpulkan bahwa ada sedikit atau
tidak ada bukti bahwa methylphenidate berinteraksi secara signifikan dengan AED yang lebih
umum diresepkan. Gucuyener et al. (2003) menyimpulkan bahwa MPH aman dan efektif
pada anak-anak dengan ADHD berdasarkan studi anak-anak dengan epilepsi dan ADHD dan
anak-anak dengan kelainan ADHD dan EEG, di mana MPH memiliki efek menguntungkan
pada EEG dan efek samping MPH ringan dan sementara
Torres et al. (2008) menganjurkan bahwa pengobatan ADHD pada anak-anak dengan epilepsi
harus multimodal dan telah diusulkan bahwa intervensi farmakologis sebagai bagian dari
pendekatan biopsikososial untuk ADHD dapat mendorong pembelajaran dan fungsi perilaku
yang baik (Reilley, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

1. Thursina, C & Sutarni, S. 2019. Attention Deficit Hyperactivity Disorder


(ADHD). Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok Studi Neurologi Anak Perdossi.
Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia.
2. Choudhary, A., Gulati, S., Sagar, R. 2018. Chilhood epilepsy and ADHD
comorbidity in a Indian tertiary medical center outpatient.
www.nature.com/scientificreports (2018) 8:2670 | DOI:10.1038/s41598-018-
20676-8
3. Reilly, CJ. 2011. Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) in childhood
epilepsy. Research in Developmental Disabilities 32 (2011) 883–893
doi:10.1016/j.ridd.2011.01.019
4. Chou, C., Chang, YZ., Nan Chin, Z. 2013. Correlation between Epilepsy and
Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Population-Based Cohort Study
www.plosone.org 1 March 2013 | Volume 8 | Issue 3 | e57926
5. Auvin, S., Wirrell, E., Donald, KA., Berl, M. 2018. Systematic review of the
screening, diagnosis, and management of ADHD in children with epilepsy.
Consensus paper of the Task Force on Comorbidities of the ILAE Pediatric
Commission. Epilepsia. 2018;59:1867–1880. DOI: 10.1111/epi.14549

Anda mungkin juga menyukai