Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH TERAPI FUNGSI EKSEKUTIF DALAM MENINGKATKAN

KEMASAKAN SOSIAL ANAK DENGAN GPPH ; STUDI EKSPERIMEN PADA POLI


PSIKOLOGI RSU CERIA KANDANGAN

Hidayat Taufik1
1
Prodi Bimbingan Penyuluhan Islam, UIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan

taufikhidayat@uin-antasari.ac.id

ABSTRAK

Anak dengan GPPH memiliki masalah perilaku non adaptif terkait kemasakan sosial beberapa di
antaranya masalah relasi dengan teman sebaya, tidak patuh pada aturan, impulsif dalam bertindak
tanpa memikirkan risikonya yang bisa melukai diri maupun orang lain, tidak bisa diam. Hal ini
tentu sangat mengkhawatirkan mengenai masa depan anak terutama peran sosial sebagai orang
dewasa sehingga menuntut akses ke treatment yang tepat. Studi eksperimen ini bertujuan untuk
menguji terapi fungsi eksekutif dalam meningkatkan kemasakan sosial anak dengan GPPH
melalui pendekatan one group pre-test post-test design. Terapi fungsi eksekutif sebagai intervensi
eksperimen dilakukan terhadap 20 anak GPPH dengan memperhatikan karakteristik CA
Chronological Age, jenis kelamin, dan Pendidikan. Nilai kemasakan sosial anak dengan GPPH
saat pemeriksaan awal antara 32 sampai dengan 86 termasuk dalam kategori rendah dan sangat
rendah diukur menggunakan skala VSMS (Vineland Social Maturity Scale) dan selanjutnya
dianalisis menggunakan Paired Samples T Test melalui SPSS. Hasil penelitian menunjukkan
adanya peningkatan kemasakan sosial anak dengan GPPH setelah dilakukan terapi fungsi
eksekutif (mean pre-post 61.35 < 75,90) dengan hubungan yang sangat kuat dan signifikan, r =
0,872; n = 20; p < 0,05 dengan arah positif, semakin tinggi intervensi terapi fungsi eksekutif
diberikan, semakin tinggi pula kemasakan sosial anak GPPH. Dengan demikian terdapat pengaruh
signifikan terapi fungsi eksekutif dalam meningkatkan kemasakan sosial anak dengan GPPH,
t(19) = -8,708 ; p < 0,05 dengan efektivitasnya tergolong sedang N-Gain 0.4 (0,3 < N-Gain < 0,7),
sehingga dapat diyakini terapi fungsi eksekutif untuk meningkatkan kemasakan sosial anak
dengan GPPH pengaruhnya secara umum cukup baik khususnya di Poli Psikologi RSU Ceria
Kandangan.

Kata Kunci: Fungsi Eksekutif, Kemasakan Sosial GPPH, VSMS

1
PENDAHULUAN
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan neurodevelopment disorder dalam DSM 5
(APA, 2013). Indonesia belum memiliki data yang valid tentang prevalensi anak dengan GPPH
karena belum banyak penelitian dilakukan. Meskipun demikian, diperkirakan di Indonesia anak
dengan GPPH dijumpai sekitar 3-5%, di Amerika Serikat sekitar 3-7%, sedangkan di Jerman,
Kanada, dan Selandia Baru sekitar 5-10% dari populasi normal. Prevalensi anak dengan GPPH di
seluruh dunia menurut Health Maintenance Organization berkisar antara 7-9%. Penderita anak
dengan GPPH lebih sering dijumpai pada anak laki-laki. Rasio perkiraan anak laki-laki dan anak
perempuan adalah 3 : 1 dan 4 : 1 pada populasi klinis. Tipe inatensi lebih banyak ditemukan pada
Wanita (Simms, 2004). Seiring perkembangan zaman, rasio laki-laki dan perempuan mengalami
penurunan akibat meningkatnya deteksi dini dan terapi pada kasus anak dengan GPPH.
Berdasarkan data ini, di setiap kelas di Amerika Serikat akan dijumpai satu atau dua siswa
menderita anak dengan GPPH pada tahun 2004.
Di Indonesia khususnya di usia sekolah anak dengan GPPH prevalensinya cukup banyak
diperkirakan rata-rata 2-7% dan 5% secara global (Sayal et al., 2018). Masalah utama adanya
disfungsi pada lobus frontal sehingga berdampak impulsif dan hiperaktif. Berdasarkan hal tersebut
terdapat 3 tipe anak dengan GPPH yaitu tipe predominan inatensi, tipe predominan hiperaktif-
impulsif dan tipe kombinasi predominan inatensi serta tipe predominan hiperaktif-impulsif.
Ciri utama anak dengan GPPH menampilkan disfungsi eksekutif yang mengakibatkan
masalah dalam perilaku non adaptif di lingkungan (Juke, 2018). Umumnya terjadi pada
kemasakan sosial dan di bidang akademik. Problem ini dapat berlangsung dari usia anak dan
hingga usia dewasa dalam jangka panjang (long term) atau life disability (Barkley, 2013; Juke,
2018)
Anak dengan GPPH beberapa masalah perilaku non adaptif terkait kemasakan sosial di
antaranya: masalah relasi dengan teman sebaya, tidak patuh pada aturan, impulsif dalam bertindak
tanpa memikirkan risikonya yang bisa melukai diri maupun orang lain, tidak bisa diam (Barkley,
2013). Anak dengan GPPH sering kali mendapatkan penolakan dari teman sebayanya untuk
bermain bersama ataupun bekerja kelompok dalam kelas. Sedangkan permasalahan di bidang
akademik terjadi pada anak dengan GPPH di antaranya: tidak menyelesaikan tugas atau tidak
tuntas, tidak fokus saat belajar, lupa terhadap barang yang dibawanya, tidak mampu
mengorganisasi tugasnya, tidak teliti dalam pengerjaan tugas (Barkley, 2013).
Kemasakan sosial yang rendah menyebabkan disfungsi kognitif pada anak dengan GPPH
tampak pada masalah fokus, perencanaan dan pengorganisasian tugas sehari-hari, sering lupa,
penyelesaian tugas dan pengendalian diri serta pengelolaan perilakunya. Sedangkan disfungsi
afektif menunjukkan masalah suasana hati, kesulitan mengendalikan emosi, motivasi dan
kepercayaan diri pada anak. Kemudian disfungsi perilaku ditampilkannya sering kali seperti
perilaku mengganggu teman atau terkadang menyakiti teman sebayanya, bersikap emosional,
tampak tidak patuh pada aturan, impulsif dalam bertindak tanpa memikirkan risikonya yang bisa
melukai diri maupun orang lain, tidak bisa diam, ceroboh dan cenderung berantakan/ tidak rapi,
tidak menyelesaikan tugas.
Di poli psikologi RSU Ceria Kandangan penanganan anak dengan GPPH diawali dengan
penegakan diagnosa secara akurat dan tepat. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan: pertama,
kriteria utama GPPH yaitu: Inatensi, Implusivitas, Hiperaktivitas. Simtom tersebut harus secara
konsisten ditampilkan pada minimum 2 setting yang berada secara konsisten (misalnya rumah dan
2
sekolah). Kedua, anak menampilkan rentang atensi yang pendek dengan level distrak yang tinggi
untuk usia kronologis dengan level perkembangannya pada minimum setting yang berbeda secara
konsisten (misalnya rumah & sekolah). Ketiga, tingkah laku yang spesifik sering ditampilkan oleh
anak yaitu impulsif/ meledak-ledak, emosi yang labil, reaksi eksplosif, sulit untuk fokus dan
iritabilitas. Keempat, simtom bukan tampilan baru tapi sudah ada sejak paling sedikit 6 bulan
secara terus-menerus. Kelima, kriteria DSM 5 harus dipenuhi sesuai dengan kategori DSM 5
(APA, 2013).
Berdasarkan hasil wawancara orang tua dan observasi anak dengan GPPH, 8 dari 10 kasus
yang ditangani di poli psikologi RSU Ceria Kandangan mempunyai riwayat masalah kehamilan
seperti trauma dan pendarahan pada trimester ketiga, kelemahan mempertahankan atensi,
keterlambatan bahasa, kemunculan ekolalia (repetisi kata-kata yang tak bermakna) dan bahasa
berulang, resistensi terhadap rutinitas yang berbeda, emosi yang dangkal, gagal membangun
sosialisasi sebaya, dan tidak dapat mempertahankan interaksi sosial langsung dengan anak lain.
Terdapat berbagai instrumen untuk mengidentifikasi kemasakan sosial anak dengan
GPPH, diantaranya adalah skala VSMS (Vineland Social Maturity Scale) yang dipublikasi oleh
Edgar Doll pada tahun 1965. Doll menguraikan kematangan sosial merupakan kemampuan anak
mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam aktifitas-aktifitas yang mengarah pada
kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa. Hal ini mencakup self-help (kemampuan
menolong diri sendiri), self-direction (kemampuan mengarahkan diri sendiri), locomotion
(kemampuan gerak motorik), occupation (kemampuan tugas-tugas okupasi). Anak dengan GPPH
dikatakan kemasakan sosial ketika dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang sepadan
dengan usia kalendernya.
Penanganan terhadap masalah perilaku non adaptif terkait kemasakan sosial anak dengan
GPPH dilakukan dengan pelatihan integratif integrasi antara pendekatan psikoedukasi dan
modifikasi tingkah laku dengan menggunakan media, aktivitas-games yang mempunyai nilai
terapeutik (Juke, 2018). Di rumah sakit di poli psikologi umumnya dilakukan dengan terapi fungsi
eksekutif.
Penanganan ini secara umum dilakukan: 1) Memberikan pengetahuan mengenai GPPH
dan memberikan informasi mengenai latihan yang akan dijalani, 2) Latihan untuk membantu
meningkatkan atau menurunkan tingkah laku yang spesifik berkaitan dengan defisit elemen fungsi
eksekutif – simtom ADHD, 3) Meningkatkan performansi akademik, 4) Mengembangkan sosial –
personal.
Secara khusus sifat treatmen anak dengan GPPH. Penanganan jangka pendek: menurunkan
simtom yang berkelebihan, meningkatkan simtom yang kurang. Penanganan jangka panjang
meningkatkan relasi sosial dan akademik pada setting keluarga, sekolah, masyarakat.

METODE
Penelitian ini bermetode eksperimental One group pre-test post-test design. Memberikan
manipulasi suatu varibel bebas untuk melihat pengaruhnya pada variabel yang lain. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah terapi fungsi eksekutif, yakni perlakuan integrative integrasi antara
pendekatan psikoedukasi dan modifikasi tingkah laku dengan menggunakan media, aktivitas-
bermain yang mempunyai nilai teurapeutik. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kemasakan sosial, yakni kemampuan anak mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam
aktifitas-aktifitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa.
Interval tinggi rendahnya kemasakan sosial diukur menggunakan skala VSMS (Vineland
Social Maturity Scale). Nilai kemasakan sosial anak dengan GPPH saat pemeriksaan awal antara
3
32 sampai dengan 86 dengan nilai rata-rata (median) adalah 59,50. Kemasakan sosial anak dengan
GPPH termasuk dalam kategori kemasakan sosial rendah dan sangat rendah. Terapi fungsi
eksekutif sebagai intervensi eksperimen dilakukan terhadap 20 anak GPPH dengan
memperhatikan karakteristik CA (Chronological Age) atau usia kalender, jenis kelamin, dan
Pendidikan.
Terapi fungsi eksekutif dirancang intervensinya sebanyak 30 kali pertemuan dengan 2 kali
intervensi dalam 1 minggu. Secara prosedur penanganan dimulai dengan asesmen awal, rapport
dan observasi (8 stimulus yang diobservasi) dalam 6 kali pertemuan, dilanjutkan dengan program
pelatihan 24 kali pertemuan. Dalam intervensi ada 3 Fase yaitu: Fase I Edukasi Orang Tua, Fase II
Integrasi Orang Tua dan Anak, Fase III Program Intervensi Fungsi Eksekutif, dengan Skema
berikut:

FASE TINDAKAN ORIENTASI PENDEKATAN


- Memberikan pengetahuan mengenai
FASE I GPPH dan pengasuhan
Edukasi Orang - Membantu memahami diri dalam
Tua/Pengasuh pengasuhan
(pertemuan 1-2) - Mengembangkan keterampilan dalam
Psikoedukasi
pengasuhan
TERAPI FASE II - Mengintegrasikan peran orang tua-
FUNGSI Integrasi antara orang guru dan anak dengan GPPH
EKSEKUTIF anak dengan GPPH
(pertemuan 3-4)
1. Memberikan pengetahuan mengenai
GPPH dan memberikan informasi
Integratif
mengenai latihan yang akan dijalani
(integrasi
2. Latihan untuk membantu:
pendekatan
FASE III - Meningkatkan atau menurunkan
psikoedukasi,
Observasi dan Rapport tingkah laku yang spesifik berkaitan
behavior, dan
(pertemaun 5-11) dengan defisit elemen fungsi
media games
Program intervensi eksekutif – simtom GPPH.
yang
(pertemuan 12-30) - Meningkatkan performansi
therapeutic).
akademik.
- Mengembangkan sosial – personal.

Gambar 1. Fase-Fase Intervensi Terapi Fungsi Eksekutif

Efektivitas pengaruh terapi fungsi eksekutif dalam meningkatkan kemasakan sosial anak
dengan GPPH pada poli psikologi RSU Ceria Kandangan diketahui melalui uji beda
menggunakan Paired Sample T-Test dengan SPSS. Proses analisis dengan membandingkan antara
skor kemasakan sosial pretest (sebelum terapi) dengan skor kemasakan sosial posttest (setelah
terapi) seminggu setelah intervensi terakhir.

4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi karakteristik anak GPPH yang diberikan terapi fungsi eksekutif berjumlah 20
anak sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Karakteristik Anak GPPH Poli Psikologi RSU Ceria Kandangan

No Karakteristik f %
1 Usia
Anak-Anak (2,5 th<) 17 85 %
Balita (2,4 th>) 3 15 %
2 Jenis Kelamin
Pria 14 70 %
Wanita 6 30 %
3 Tingkat Pendidikan
SD 2 10 %
TK 4 20 %
PAUD 10 50 %
Belum Sekolah 4 20 %

Berjarak satu minggu usai intervensi ke 30, skala VSMS (Vineland Social Maturity Scale)
dikasihkan kembali pada 20 anak GPPH dengan bantuan orang tua ataupun pengasuh. Hal ini
bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat kemasakan sosial. Perbedaan tingkat kemasakan sosial
anak sebelum pelatihan (pretest) dan sesudah pelatihan (posttest) dapat dilihat pada Tabel 1
berikut ini:
Tabel 2. Perbandingan Tingkat Kemasakan Sosial GPPH (Pretest) dan (Posttest)

No. Pretest Posttest


Res. Skor Kategori Skor Kategori
1. 53 Rendah 77 Rendah
2. 61 Rendah 88 Rendah
3. 83 Rendah 98 Sedang
4. 86 Rendah 92 Sedang
5. 69 Rendah 90 Sedang
6. 72 Rendah 88 Rendah
7. 77 Rendah 90 Sedang
8. 66 Rendah 90 Sedang
9. 52 Rendah 75 Rendah
10. 32 Sangat Rendah 62 Rendah
11. 71 Rendah 92 Sedang
12. 83 Rendah 93 Sedang
13. 52 Rendah 75 Rendah

5
14. 44 Sangat Rendah 55 Rendah
15. 58 Rendah 90 Sedang
16. 34 Sangat Rendah 50 Rendah
17. 58 Rendah 91 Sedang
18. 67 Rendah 93 Sedang
19. 56 Rendah 90 Sedang
20. 53 Rendah 74 Rendah

Uji normalitas data dilakukan peneliti untuk memenuhi prasyarat analisis data. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui keadaan data yang diolah berdistribusi normal atau tidak normal.
Adapun uji normalitas ditunjukkan padaTabel 2 berikut:

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Pretest dan Posttest

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig. Pada
*
Pretest .119 20 .200 .966 20 .663
Posttest .128 20 .200* .970 20 .755
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
kolom Komogorov-Smirnov diperoleh signifikansi sebesar 0.200 untuk masing-masing variabel.
Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa sebaran skor pretest (D(20) = 0,119 ; p = 0,200) dan posttest
(D(20) = 0,128 ; p = 0,200) terdistribusi normal keduanya. Berikutnya langkah analisis yang
dilakukan adalah menguji perbedaan antara skor pretest dan posttest dengan metode hitung
Paired-Samples T Test.
Pengujian efektivitas pengaruh terapi fungsi eksekutif untuk meningkatkan kemasakan
sosial anak GPPH dianalisis dengan menggunakan analisis uji beda dua sampel berpasangan atau
Paired-Samples T Test melalui SPSS. Perbedaan mean antar variabel pretest dan posttest disajikan
sebagai berikut.

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Pretest dan Posttest

Paired Samples Statistics


Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pretest 61.35 20 15.191 3.397
Posttest 75.90 20 12.653 2.829

Pada kolom mean menunjukkan bahwa nilai mean atau nilai rata-rata pretest sebesar 61,35
dengan standar deviasi 15,191 sedangkan nilai mean atau nilai rata-rata posttest menunjukkan
sebesar 75,90 dengan standar deviasi 12,653. Dari data tersebut nilai mean posttest lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai mean pretest (61.35 < 75,90), hal ini dapat diterjemahkan bawah secara
deskriptif data yang diolah menunjukkan adanya perbedaan mean atau nilai rata-rata antara pretest
dan posttest VSMS anak dengan GPPH sebagai hasil dari terapi fungsi eksekutif yang
6
diintervensikan. Mean atau nilai rata-rata posttest yang lebih tinggi pretest menunukkan
terjadinya peningkatan kompetensi tugas-tugas perkembangan anak dengan GPPH sehingga juga
menyebabkan perubahan kriteria kemasakan sosialnya secara normatif melalui terapi fungsi
eksekutif.
Selanjutnya untuk pembuktian ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara mean
atau nilai rata-rata pretest dengan nilai rata-rata posttest, dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Korelasi Variabel Pretest dan Posttest

Paired Samples Correlations


N Correlation Sig.
Pair 1 Pretest 20 .872 .000
Posttest

Hasil analisis uji korelasi di atas menemukan bahwa variabel pretest mempunyai hubungan
yang sangat kuat dan signifikan dengan variabel posttest, r = 0,872; n = 20; p < 0,05 (hipotesis
alternatif diterima). Arah hubungan kedua variabel adalah positif, sehingga dapat diartikan bahwa
makin tinggi intervensi terapi fungsi eksekutif pada variabel pretest, makin tinggi pula kemasakan
sosial anak GPPH pada variabel posttest.
Kemudian, untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh terapi fungsi eksekutif
dalam meningkatkan kemasakan sosial anak GPPH dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6. Output Paired Samples T Test

Paired Samples Test


Pair 1
Pretest -
Posttest
Paired Differences Mean -14.550
Std. Deviation 7.473
Std. Error Mean 1.671
95% Confidence Interval of Lower -18.047
the Difference Upper -11.053
t -8.708
df 19
Sig. (2-tailed) .000

Berdasarkan hasil Uji-t, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan terapi fungsi
eksekutif dalam meningkatkan kemasakan sosial anak dengan GPPH, t(19) = -8,708 ; p < 0,05
(hipotesis alternatif diterima). Karena nilai t hitung negatif signifikan pada skor kemasakan sosial
variabel posttest setelah dilakukan intervensi terapi fungsi eksekutif lebih besar daripada sebelum
dilakukan intervensi terapi fungsi eksekutif.
7
Langkah terakhir untuk mengetahui seberapa besar nilai efektivitas pengaruh terapi fungsi
eksekutif dalam meningkatkan kemasakan sosial anak GPPH dilakukan dengan analisis N-Gain
Score yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7 ini:

Tabel 7. Output Hasil Uji N-Gain Score


Descriptives
Statistic Std. Error
N_Gain Mean .4020 .04339
95% Confidence Interval for Lower Bound .3111
Mean Upper Bound .4928
5% Trimmed Mean .3942
Median .4317
Variance .038
Std. Deviation .19405
Minimum .06
Maximum .88
Range .82
Interquartile Range .26
Skewness .441 .512
Kurtosis .654 .992

Memperhatikan hasil uji N-Gain pada tabel 6 di atas, menunjukkan bahwa mean atau nilai
rata-rata N-Gain sebesar 0,4020. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa peningkatan kemasakan sosial
anak dengan GPPH saat menjalani terapi fungsi eksekutif rata-rata sebesar 0,4. Penetapan nilai
efektivitas intervensi terapi fungsi eksekutif dalam penelitian ini mengacu kriteria Meltzer (2002)
sebagaimana tabulasinya di bawah ini:

Tabel 8. Kriteria N-Gain

No. N-Gain Score Kriteria


1. 0.7 ≤ N-Gain ≤ 1 Tinggi
2. 0.3 ≤ N-Gain < 0.7 Sedang
3. N-Gain < 0.3 Rendah

Merujuk pada kriteria pada tabel 8. Rata-rata nilai N-Gain yang dihitung diketahui sebesar
0,4, maka berarti nilai N-Gain dalam penelitian ini berada pada kriteria sedang (0,3 < N-Gain <
0,7). Dengan demikian, dapat diketahui pemberian intervensi terapi fungsi eksekutif untuk
meningkatkan kemasakan sosial anak dengan GPPH nilai efektivitas pengaruhnya cukup baik
(sedang).
Riset Seok-Young (2011) menunjukkan bahwa penelitian GPPH dalam perspektif dari
para terapis dan pendidik di Amerika Serikat dilihat sebagai perilaku anak yang kurang mampu
8
untuk fokus dan memperhatikan dengan baik, tidak bisa menetap atau susah diatur ketika
mendapatkan suatu tugas, berlebihan dalam hal gerak dan berbicara, agresif baik secara fisik
maupun verbal kepada orang lain. Menurut terapis dan pendidik di Korea, tantangan terbesarnya
adalah ketidakmampuan anak dalam mengontrol dirinya, keras kepala ketika diarahkan, serta tidak
memperdulikan aturan atau petunjuk. Tentu saja mengkhawatirkan mengenai masa depan anak
dengan GPPH, terutama mengenai masalah sosial dan peran sosial mereka nantinya sebagai orang
dewasa sehingga menuntut akses ke treatment yang tepat.
Kendati demikian mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru memang tidak
mudah dan membutuhkan usaha ekstra. Menurut Gardner & Rebar (2019) selain waktu yang lama,
perubahan tingkah laku ditentukan oleh kesadaran individu yang mengalami perilaku maladaptive
atau bermasalah serta menunggu kemauan dan motivasi untuk berubah. Riset Lally et al., (2010)
menghasilkan kesimpulan mendasar bahwa dibutuhkan waktu sampai 254 hari bagi individu untuk
membentuk perilaku dan kebiasaan yang baru.
Berdasarkan observasi perjalanan intervensi dengan terapi fungsi eksekutif, terlihat
loyalitas orang tua atau pengasuh sangat tinggi, mereka konsisten datang sesuai penjadwalan yang
ditetapkan selama proses terapi berlangsung. Treatmen yang dilakukan khusus usia 2-10 tahun
adalah terapi yang bersifat formal. Setiap treatmen selalu menerapkan pola 1) Readiness,
bertujuan mempersiapkan anak memasuki proses pelatihan, serta mendorong dan menumbuhkan
kesadaran bahwa dirinya akan mengikuti pelatihan yang bermanfaat– self awareness. 2) Activity,
anak diberi kesempatan merefleksikan dirinya melalui aktivitas yang disusun sesuai kondisinya –
self reflection. 3) Closing, penutupan juga waktu pemberian reward, feedback atau umpan balik,
serta support bagi anak sesuai proses latihan yang diikutinya. Penerapan pola readiness-self
awarness, activity-self reflection, closing-reward and feedback cukup berpengaruh di dalam
penelitian ini cukup berpengaruh membentuk kematangan sosial anak dengan GPPH.
Memperhatikan uraian dan penjelasan di atas, meningkatnya kemasakan sosial anak
dengan GPPH menunjukkan gejala positif bahwa terapi fungsi eksekutif mempunyai pengaruh
yang efektif sebagai proses intervensi untuk mengubah perilaku terhadap kecukupan tugas-tugas
perkembangan kemasakan sosial anak meskipun pada level sedang.

SIMPULAN
Karakteristik anak dengan GPPH yang memberikan kontribusi pada penelitian ini sebagian
besar jenis kelamin pria 70%, usia anak-anak (2,5 tahun <) 85%, tingkat pendidikan PAUD 50%.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Paired-Samples T Test melalui SPSS, ditemukan
nilai rata-rata kemasakan sosial anak dengan GPPH setelah mengikuti terapi fungsi eksekutif
(pottest) lebih tinggi dari pada pretest (61.35 < 75,90) secara deskriptif menunjukkan adanya
peningkatan kemasakan sosial anak dengan GPPH setelah dilakukan terapi fungsi eksekutif.
Melalui uji korelasi antara variabel pretest dan posttest didapat adanya hubungan yang
sangat kuat dan signifikan, r = 0,872; n = 20; p < 0,05 dengan arah positif, berarti semakin tinggi
intervensi terapi fungsi eksekutif diberikan, semakin tinggi pula kemasakan sosial anak GPPH.
Kemudian melalui uji t terdapat pengaruh signifikan terapi fungsi eksekutif dalam
meningkatkan kemasakan sosial anak dengan GPPH, t(19) = -8,708 ; p < 0,05. Dari sisi
efektivitasnya tergolong sedang dengan rata-rata nilai N-Gain sebesar 0.4 (0,3 < N-Gain < 0,7),
sehingga dapat diyakini terapi fungsi eksekutif untuk meningkatkan kemasakan sosial anak
dengan GPPH secara umum pengaruhnya cukup baik khususnya di Poli Psikologi RSU Ceria
Kandangan.

9
REFERENSI

Ahmaan, E., Savet, M., dan Tuttle, L.J. 2017. “Intervention for ADHD in Children and Teen: A
Focus on ADHD Coaching”. Pediatric Nursing, 43(3): 121-131
American Psychological Association (2019). Publication Manual of the American Psychological
Association (7th ed). American Psychological Assiciation.
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorder,
Fifth Edition: DSM 5. USA : American psychiatric Association.
Anderson, V., Jacobs, R., & Anderson, P.J. (2008). Executive Functions and the frontal lobes, a
lifespan Perspective. New York: Taylor & Fransus Group.
APA (American Psychiatric Association). 2005. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (4th Ed.) Text Revised. Washington, D.C.: American Psychiatric Association.
Baihaqi, M. dan Sugiarmin, M. 2006. Memahami dan Membantu anak ADHD. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Barkley, R. A. (2013). Taking charge of ADHD: The complete, authoritative guide for parents
(3rd ed.). Guilford Press.
Beauchaine, T.P., Hinshaw, S.P. (2013). Child and adolescent Psychopatology; 2nd Ed. New
Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Daly, B.P., Hildenbrand, A.K., Brown. RT. (2016). ADHD in Children and adolescents. USA :
Massa-chussets; Hogrefe Pub.
Dawson, P & Guene, R. (2005). Executive Skills in Children and Adolescents: A Pratical Guide
to Assessment and Intervention. New York : The Guildford Press.
Doll Edgar A. (1965). Vineland Social Maturity Scale ; Condensed Manual of Directions (5st
ed.). Minnesota: American Guidance Service.
Fein, D., Dixon, P., Paul, J., dan Levin, H. 2005. “Breif Report: Pervasive Developmental
Disorder Can Evolve into ADHD: Case Illustration”. Journal of Autism and
Developmental Disorder, 35(4), 525-534. DOI: 10.1007/s10803-005-5066-3.
Gardner, B., & Rebar, A. L. (2019). Habit Formation and Behavior Change. Psychology,
September, 1– 26. https://doi.org/10.1093/obo/9780199828340-0232
Harrison, C. & Rees Bronwyn. (2004). Attention Deficit Disorder: Therapist Manual. Brisbane
Australia: The University of Queensland.
Juke, Siregar. (2018). Teori, Penelitian dan Praktik ADHD (1st ed.). Bandung: PT. Alumni.
Kaplan, H.I & Sadock, B.J. (2015). Synopsis of psychiatry, 11th Ed. Philadelphia: Wolters
Kluwor.
Lally, P., Jaarsveld, C. H. M. Van, Potts, H. W. W., & Jane Wardle. (2010). How are habits
formed: Modelling habit formation in the real world. European Journal of Social
Psychology Eur., 40(June 2009), 998–1009. https://doi.org/10.1002/ejsp.674
Mann, E., Ikeda, Y., Mueller, C., Takahashi, A., Tao, K., Humris, E., …Chin,D. 1992. “Cross-
cultural Differences in Rating Hyperactive-disruptive Behaviors in Children”. AM J.
Psychiatry, 149(11), 1539-1542. DOI : 10.1176/ajp.149.11.1539.
Mash, G.J & Wolfe, D.A (2016). Abnormal child Psychology 6 th Ed. Australia: Cengage
Learning.

10
Sayal, K., Prasad, V., Daley, D., Ford, T., & Coghill, D. (2018). ADHD in children and young
people: prevalence, care pathways, and service provision. The Lancet Psychiatry, 5(2),
175-186. Doi:10.1016/s2215-0366(17)30167-0.
Seok-Young, M. 2011. “Cultural Perspectives on Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A
Comparison Between Korea and The U.S.” Journal of International Business and Cultural
Studies, 6(1987), 1-11.
Shadiqi M Abdan (2023) Statistik Untuk Penelitian Psikologi dengan SPSS Depok : Rajawali
Pers.
Simms. 2004. “Attention Deficit/Hyperactivity Disorder”. Dalam : Berham, R.E., Kliegman,
R.M., Jenson, H.B. (Ed.). Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th Edition. Amerika Serikat:
Saunders.
Silver, L.B. (1999). Attention Deficit Hyperactivity Disorder.: A Clinical Guide to Diagnosis and
Treatment for Health and Mental Health Professionals, Second Edition. Washington DC:
American Psychiatric Press. Inc.
Sohlberg, M.M. & Mateer, C.A. (2001). Cognitive Rehabilitation: an Integrative
Neuropsychology Approach. New York: The Guildford Press.
Thomas, J.c & Hersen, M. (2010). Handbook of clinical Psychology Competencies. USA:
Springer.

11
ABSTRACT
Children with ADHD have non-adaptive behavior problems related to social maturity, some of
which are relationship problems with peers, not obeying rules, being impulsive in acting
without thinking about the risks that can hurt themselves or others, can't be silent. This is of
course very worrying about the future of children, especially social roles as adults so that they
demand access to treatments right. This experimental study aims to test executive function
therapy in increasing the social maturity of children with ADHD through an approach one
group pre-test post-test design. Executive function therapy as an experimental intervention was
carried out on 20 ADHD children taking into account the characteristics of CA Chronological
Ages, gender, and Education. The social maturity value of children with ADHD at the initial
examination between 32 and 86 is included in the low and very low categories measured using
the VSMS scale (Vineland Social Maturity Scale) and then analyzed using Paired Samples T
Test via SPSS. The results showed that there was an increase in the social maturity of children
with ADHD after executive function therapy (mean pre-post61.35 < 75.90) with a very strong
and significant relationship, r = 0.872; n = 20; p < N-Gain < 0.7), so that it can be believed that
executive function therapy to increase the social maturity of children with ADHD is generally
quite good, especially in the Psychology Polyclinic of RSU Ceria Kandangan.

12

Anda mungkin juga menyukai