Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH SEPAK BOLA

OLEH :
RIMBA MAHARDIKA
203516416083

MATA KULIAH OLAHRAGA


DOSEN : Drs. R. Iwan Siswadijaya, M.Si.
KELAS K.03

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kehidupan masyarakat dan budaya akan senantiansa ditemukan dalam


perkembangan-perkembangan setiap manusia yang bergerak dinamis dari generasi ke
dalam generasi lainnya, perwarisan akan tradisi ini dilestarikan tanpa lagi batas-batas
sosial yang diperlukan.

Kondisi seperti inilah menyebabkan setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang


menjadi pedoman dalam pencanangan keteraturan sosial. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Paul B. Horton (1999), yang mengartikan bahwa masyarakat yang hidup
dalam sebuah wilayah memiliki kebudayaan yang sama sehingga mendorong
tindakan yang sudah menjadi rutinitas dari kelompoknya.

Persoalan budaya menurut Ralph Linton (dalam Waluyo; 2009) tidak terlepas dari
beragam pengetahuan, sikap, dan pola, akan tetapi lebih dari itu. Yakni, memberikan
stimulasi kepribadian seseorang untuk melakukan tindakan secara individu dengan
sistem kecenderungan tertentu.

Kondisi tersebut tentusaja menjadi kesimpulan bahwa segala prilaku manusia akan
melahirkan budaya dan kemudian diteruskan oleh generasi lainnya dengan tidak
memandang benar ataupun salah. Kasus seperti ini sangatlah terlihat dalam kehidupan
sosial yang umumnya dilakukan oleh pengedara jalan yang melewati Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas (APILL) “Bangjo Ngoresan” yang kerapkali ditemukan
penyimpangan dalam sistem budaya, khususnya pada koredor hukum.

Lampu Lalu Lintas dengan sebutan “Bangjo Ngoresan” ini terlatak di Daerah
Ngoresan, Kecamatan Jebres, Kota Suratakarta. Tepatnya berada di sekitar gerbang
belakang UNS Solo. Dalam kesehariannya fungsi lampu lalu lintas sebagai APILL
tak banyak dianggap ada oleh sebagian orang (TrimbunSolo; 2018).
Sebutan tentang “Bangjo Ngoresan” sendiri lahir dari sejarah jalan Ngoresan dan
fungsinya yang tidak dianggap perlu di masyarakat yang melintasi wilayah tersebut,
hasil ini didapatkan dari beberapa wawancara kepada pengendara serta Ojol (ojek
online) yang kerapkali dipergunakan oleh penulis. Bahkan dari sematan itu adapula
beberapa pengedara menyebutnya dengan nama lain, yakni “Bangjo Mati”.

Fenomena penyimpangan akan budaya hukum ini terjadi misalnya banyak


pengendara yang melajukan kendarannya ketika lampu menunjukkan warna merah,
yang arti sebenarnya setiap pengendara harus berhenti, ataupun sebaliknya lampu
hijau pengendara malah berhenti lantaran sesuai kondisi perlintasan sedang di lewati
oleh penyebrang jalan.

Budaya pelanggaran hukum diatas, menunjukan bahwa ada ketidaksesuaian dengan


peranan yang diberikan pada APILL yang di definisikan sebagai alat kendali (kontrol)
yang fungsinya untuk memberikan tujuan kepada semua penguna jalanan agar
mentaatinya. Fungsi ini sebagimana dikemukakan oleh Djoesmanto (2002) yang
mengatakan bahwa pengaturan arus lalu lintas yang terdapat dalam persimpangan
untuk menggerakan setiap jenus kendaraan pada masing-masing kelompok
pergerakan kendaraan (vehicle group movements) agar berjalan secara bergantian
tanpa menggangu antar arus yang ada.

Adapun dalam konsensus Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan Jalan: Alat pemberi isyarat lalu lintas/APILL adalah lampu yang
mengendalikan segala bentuk arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan,
tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas lainnya.
Lampu ini memberikan tanda yang jelas kapan kendaraan harus berjalan dan berhenti
secara bergantian dari berbagai arah.

Beragam bentuk penyimpangan dalam sistem budaya hukum terhadap tidak


berfungsinya APILL “Bangjo Ngoresan” dalam mengatur lalu lintas di Jalan
Ngoresan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta inilah menjadi salah satu kajian yang
penting untuk dilakukan dalam pendangan kebenaran yang sejatinya tidakan
kesalahan (pelanggaran hukum). Sehingga diharapkan dalam berbagai rumusan
permasalahan melalui pemecahan kajian ini mampu memberikan jawaban atas
beragam pembenaran yang selama ini terjadi.
Latar belakang yang dimikian sangat menarik untuk ditinjau dalam presfektif
sosiologi, khususnya pada pengamalan Sistem Sosial Budaya Indonesia (SSBI).
Alasannya, kajian pola prilaku peyimpangan pada sistem budaya hukum di Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas “Bangjo Ngoresan” menjadi jawaban yang selama ini
menjadi pembenaran akan kesalahan-kesalahan yang telah membudidaya pada
pelanggaran pengguna jalan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian dalam kajian ini
tentang pola prilaku peyimpangan pada sistem budaya hukum di Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas (APILL) “Bangjo Ngoresan” di Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.

1. Apa sajakah bentuk-bentuk prilaku pelanggaran pada IPILL “Bangjo


Ngoresan” ?
2. Apa saja dampak yang didapatkan dari tindakan atas pelanggaran IPILL
“Bangjo Ngoresan”?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan beragam bentuk prilaku penyimpangan yang dijalankan


pengendara pada IPILL “Bangjo Ngoresan”
2. Mengehetahui dampak-dampak dari tidak berfungsinya IPILL “Bangjo
Ngoresan”.

4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis dan praktis.

1. Secara teoritis, hasil yang didapat dari penelitian ini diharapkan akan mampu
digunakan untuk pengembangan keilmuan sosiologi, khususnya dalam mata
kuliah Sistem Budaya Sosial Indonesia.
2. Secara praktis, hasil kajian ini dapat dipergunakan oleh masyarakat umum,
peneliti, akademisi, dan pemerintah, sebagai bahan penelitian lebih lanjut
terhadap masalah pelanggaran pada IPILL “Bangjo Ngoresan”. yang saat ini
menarik perhatian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Konsep

Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang kerapkali dikenal dengan deviant behavior yang artinya


keadaan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat (Waluyo,
2009). Kondisi dapat menimbulkan gejolak dalam masyarakat, alasannya karena
aturan-aturan yang telah menjadi konsensus bersama dilangar dengan sedikian rupa
sehingga masyarakat menjadi tidak taan terhadap aturan yang ada. Untuk itulah, Paul
B. Horton (1999) memberikan ciri-ciri perilaku menyimpang, antara lain adalah
sebagai berikut;

1. Penyimpangan dapat Didefenisikan

Bentuk penyimpangan dalam kehidupan masyarakat haruslah dapat didefinisikan dari


keadaan yang sudah menjadi aturan-aturan bersama. Definisi ini memberikan
gamabaran secara jelas tentang makna penyimpangan itu sendiri yang tidak berlaku
untuk umum.

Pada persoalan ini dapatlah digambaran secara kontekstual misalnya saja untuk
masyarakat Indonesia yang dinamakan penyimpangan ialah kondisi pelanggaran pada
aturan UU dan Pancasila yang keduanya merupakan unsur terpenting dalam tata muat
hukum masyarakat.

2. Penyimpangan Diterima atau Ditolak

Konsep lainnya yang berhubungan dengan karakteristik dalam penyimpangan sosial


ialah keadaan tentang adanya sikap masyarakat yang menerima ataupun menolak
penyimpangan tersebut. Bahkan Paul B. Horton (1999), mengungkapkan bahwa tidak
selamanya perilaku menyimpangan dalam masyarakat merupakan hal yang negatif.
Ada beberapa penyimpangan yang dapat diterima bahkan dipuji dan dihormati
lantaran sesuai dengan kondisi dalam kehidupan masyarakat yang dialaminya.
Prilaku ini menurut Max Weber  (dalam Koentjaraningrat, 1990) dikenal dengan
tindakan sosial yang artinya prilaku yang dijalankan seseorang karena mendapatkan
pengeruh pada lingkungan disekeliling. Dengan memiliki 3 bentuk, antara lain;

1. Rasionalitas instrumental yang artinya sebagai prilaku masyarakat dengan


melihat pada objektifitas antara pengetahuan dengan tujuan yang ingin
diacapai.
2. Rasionalitas berorientasi nilai yaitu sebuah prilaku yang dijalankan oleh
masyarakat dengan tidak memberikan perhitungan pada manfaatnya yang
diberikan, akan tetapi lebih pada aspek tujuan yang dicapai serta pandangan
baik dalam kehidupan masyarakat.
3. Tindakan afektif yang artinya adalah prilaku seseorang dijalankan dengan
dramatisisr (dibuat-buat), sehingga kondisi ini kerapkali didasari pada
perasaan emosi dan kepura-puraan seseorang.

3. Penyimpangan Relatif dan Penyimpangan Mutlak

Prilaku penyimpangan dalam koredor ini ialah tindakan yang dijalankan oleh
seseorang dengan menitikberatkan pada pandangan orang lainnya. Prilaku ini
kerapkali dihubungan dengan sikap tengangrasa yang dilakukan antar kelompok
dengan pengaruh budaya di dalamnya. 

4. Penyimpangan terhadap Budaya Ideal

Bentuk prilaku menyimpang lainnya yang memiliki ciri khas dengan kondisi yang
seharusnya dijalankan oleh masyarakat. Keadaan ini kerapkali berhubungan erat
dengan kebudayaan, dimana kebudayaan itu sendiri ialah menurut Soekamto, (1989)
adalah keadaan yang memberikan cangkupan atas semua yang dapat dipelajari dari
beragam pola-pola perilaku yang normative dalam kehidpan masyarakat, termasuk
pola berfikir, merasakan, dan bertindak.

5. Terdapat Norma-Norma Penghindaran

Ciri penyimpangan sosial lainnya ialah terdapatnya beragam norma penghindaran


pada pola perbuatan yang kerapkali dijalankan oleh seseorang untuk memenuhi
keinginan pihak lain, tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terang-
terangan atau terbuka.

6. Penyimpangan Sosial Bersifat Adaptif

Perilaku menyimpang yang terdapat dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah


element dasar dalam proses menyesuaikan kebudayaan dengan berhubungan erat
pada perubahan sosial. Dalam konsep ini diartikan bahwa tidak ada masyarakat bisa
bertahan dalam kondisi statis untuk jangka waktu lama.

Sistem Budaya

Kehidupan masyarakat dalam lingkungan sosialnya dalam jangka waktu yang lama
tentusaja akan menghasilkan sebuah kebudayaan (tradisi) berupa sistem nilai, sistem
ilmu pengetahuan dan kebudayaan terhadap kebendaan (Waluya, 2009). Kelahiran ini
memunculkan deskripsi bahwa setiap masyarakat pasti memiliki ciri khas tersendiri
yang berbeda dengan masyarakat yang lainnya.

Pengertian masyarakat disini adalah sekelompok manusia yang secara sadar untuk
memilih hidup mandiri dengan kurun waktu tertentu dalam sebuah wilayah, sehingga
kemudian menghasilkan kebudayaan yang sama untuk dilestarikan pada penerusnya
(Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L, 1999). Melalui konsep inilah dapat dikatakan
bahwa kebudayaan akan senantiasa teratur guna menyeimbangkan antar generasi.

Ketarturan yang dapatkan dari penularan kepada generasi lain ini kemudian dikenal
dengan istilah sistem budaya, yang memiliki pengaruh besar pada pembentukan
prilakunya (Stephen dan Timothy, 2008). Atas dasar inilah kemudian setiap
masyarakat akan memiliki pola-pola tertentu yang menghasilkan kesepatan
(konsensus) untuk mejaganya.

Hukum

Hukum akan senantinsa menjadi pedoman bagaimana setiap individu agar senantinya
mampu untuk bertindak, bersikap dan menyesuaikan dengan aturan aturan yang ada.
Aturan-aturan yang ada ini muncul secara turun-temurun, dan biasanya akan terus
menjadi tradisi dari nenek moyang sampai generasi di bawahnya jika tidak ada
pengaruh yang muncul dari luar (Waluya, 2009).

Proses inilah melahirkan sebuah keyakinan bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam


masyarakat akan senantinya dapat diatasi baik apabila setiap anggotanya mentati
aturan yang telah dietentukan. Adapun untuk di Indonesia menurut Purnomosidi
(2012), yang menjadi salah sumber aturan tersebut adalah UUD 1945 dan Pancasila
yang secara tegas mengesahkan bahwa negara Indonesia adalah negara dengan
berdasarkan hukum (rechtsstaat).

APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas)

Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang lebih dikenal dengan APILL adalah teknologi
kekinian yang memiliki peranan sebagai alat kontrol (kendali) dengan memanfaatkan
lampu yang terpasang di wialayah-wilayah persimpangan dengan tujuan memberikan
aturan atas arus lalu lintas (Djoesmanto: 2002).

Pengaturan atas  alat ini dilatakan di wilayah persimpangan yang pada dasarnya
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan atau peluang kepada kendaraan lain
agar berkendara dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.

APILL memiliki fungsi yang sangat penting dalam era sekarang, alasannya dengan
keberadaan alat kontrol ini secara tidak langsung mamberikan kotribusi kepada
masyarakat untuk menataati aturan-aturan yang telah ditentukan.

Bahkan secara khusus pemerintah melalaui lembaga hukum telah meletakan APILL
sebagai salah satu aturan yang diteukan. Hal ini sesuai dengan UU No. 22/2009
tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan: alat pemberi isyarat lalu lintas atau APILL
adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan
jalan, tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas
lainnya.

Kaitannya dengan penelitian ini ialah melihat banyaknya pelanggaran yang terlihat
dalam APILL “Bangjo Ngoresan”. Di wilayah ini fungsi serta peranan sebagai rambu
lalu lintas kerapkali ditemukan banyak pelanggaran, sehingga wujud penyimpangan
tersebut dianggap biasa oleh sebagai masyarakat. Prilaku ini tentusaja menarik untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut, dengan penelitian yang terencana diharapkan dalam
memberikan solusi atas sejumlah pembenaran pada kesalahan-kesalahan terhadap
aturan masyarakat.

Landasan Teori

Dalam penelitian peyimpangan pada sistem budaya hukum di Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas (APILL) “Bangjo Ngoresan”  Di Kecamatan Jebres, Kota Surakarta ini
penulis mempergunakan teori anomi sebagimana pelopor penggunakan teori ini
adalah Emil Durkheim dan Robert K. Merton. Durkheim (1897 dalam Waluya,:
2009), memberikan arti bahwa anomi adalah keadaan yang dijalankan masyarakat
tanpa adanya lagi keterikatan antara norma sehingga dalam kondisi masyarakat
seperti ini terjadi penyimpangan, utamanya kesetaraan antara kenyataan yang
diharapkan dan realitas sosial yang ada.

Melalui penggunaan teori ini tentusaja dapat mengulas beragam penyimpangan atas
ketidakfungsinya APILL “Bangjo Ngoresan” yang selama ini banyak dilakukan oleh
masyarakat yang melewati Jalan Ngoresan.

Selain itu melalui penggunakan teori ini dapat memberikan gambaran bahwa
serangkaian penyimpangan dalam kehidupan masyarakat akan terjadi apabila dalam
suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus (yang meliputi etnik, agama,
kebangsaan, kedaerahan, dan kelas sosial) sehingga secara kasat mata mampu
memberikan pengurangan pada kesepakatan nilai (value consensus) yang disepakati
dalam bentuk Undang-Undang Lalu Lintas.

Robert K. Merton (dalam Waluya, 2009) mengatakan bahwa anomi bisa terjadi dalam
kehidupan masyarakat lantaran tidak adanya  harmonisan antara tujuan budaya
dengan cara yang dipergunakan masyarakat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Perilaku inilah sangat sesuai jika di ilutrasikan dalam kehidupan masyarakat di


APILL “Bangjo Ngoresan” yang mana secara tujuan pemerintah memasangnya
disana ialah untuk memberikan pengaturan yang seimbang antara pengedara dan
pejalan kaki, atas tindakan seperti penyimpangan seperti ini tentusaja tujuan tersebut
akan sulit untuk terjadi, lantaran penyimpangan-penyimpangan masih terus
dilestraikan.
Akhirnya, melalui kajian atas teori ini dapat dikatakan bahwa bentuk penyimpangan
pada APILL ini jika tidak dilakukan penanganan yang pas akan meluas dan dianggap
wajar oleh masyarakat, untuk beralih pada cara-cara yang menyimpang.

Pembenaran atas teori anomi ini secara keseluruhkan memberikan gambaran kepada
masyarakat bahwa memiliki banyak aturan hukum yang dibuat serta fasilitas yang
dibangun untuk mendukungnya, tetapi tidak dijalankan dengan maksimal atau terjadi
kesalahan. Akibatnya dapat dikatakn timbul keadaan tidak adanya seperangkat aturan
hukum tersebut dalam kehidupan masyarakat yang ada.

Kerangka Berpikir

Kerangka pikiran pada dasarnya merupakan arah penalaran yang dipergunakan untuk
dapat memberikan jawaban sementara atas beragam bentuk permasalahan yang telah
dirumuskan.

Sedangkan membahas pola prilaku peyimpangan pada sistem budaya hukum di Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) “Bangjo Ngoresan” pada dasarnya berhubungan
erat dengan kebiasaan masyarakat yang umumnya melawati ruas jalan di wilayah
Ngoresan. Penyimpangan yang ada dalam masyarakat tersebut umumnya sudah
dianggap sebagai keadaan normal padahal jikalau ditinjau dari segi hukum kondisi
tersebut merupakan bagain pelenggaran yang tidak dapat ditoleransi sedikipun.

Untuk mempermudah kajian mengenai penyimpangan prilaku masyarakat pada


APILL tersebutlah setidaknya berikut ini akan disajikan tentang proses
penyusunannya dalam bentuk bagan.
BAB III

METODE PENELITIAN

Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini mempergunakan metode kualitatif yaitu memberikan


gambaran menyeluruh tentang suatu masalah yang berkembang di masyarakat,
sejalan dengan Y.Slamet (2008) yang mengartikan bahwa gejala sosial dalam
masyarakat dengan objek  berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar
dari ada tidaknya suatu gejala yang diteliti sangat berkorelasi pada metode penelitian
kualitatif.

Sedangkan untuk pendekatan yang dipergunakan ialah dengan metode studi kasus,
yakni metode penelitian yang dilakukan melalui serangkaian pengamatan tentang
keadaan, kelompok, masyarakat setempat, lembaga-lembaga, ataupun individu-
individu (Waluya, 2009).

Waktu dan Tempat Penulisan

1. Waktu Kepenulisan

Waktu kepenulisan penelitian ini disusun dan diselesaikan pada bulan September
sampai Oktober 2020.

2. Tempat Penelitian dan Penulisan

Lokasi penulisan dan penelitian dilakukan di lingkungan Univeritas Sebelas Maret,


khusunya dilakukan pengambilan data-data penelitian di wilayah APILL “Bangjo
Ngoresan” dengan dukungan sumber referensi yang berasal dari buku pribadi,
Perpustakaan UNS, dan browsing disitus-situs (websaite) yang ada di internet.

Bahan dan Sumber Referensi

Alat-alat yang digunakan dalam studi kasus dalam model penelitian ini adalah
wawancara (interview), pertanyaan-pertanyaan atau kuesioner (questionaire), daftar
pertanyaan, dan teknik keterlibatan si peneliti dalam kehidupan sehari-hari dari
kelompok sosial yang sedang diamati (participant observer technique) dengan bahan
dan sumber referensi dikumpulakan dari berbagai macam literatur yang berasal dari
penelitian dalam jurnal ilmiah, artikel ilmiah, serta buku teks ilmiah dan berbagai
sumber yang berhubungan dengan penelitian tentang kajian penyimpangan sistem
budaya hukum di Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) “Bangjo Ngoresan”.

Sehingga dalam mempergunakan jenis data bisa berasal dari data primer dan data
skunder yang diperoleh dari penelitian serta bahan-bahan pustaka yang relevan
dengan topik yang ditulis, baik dari buku, makalah, hasil penelitian, ataupun internet.

Pendekatan Metode-Metode Kepenulisan

Literatur dan hasil penelitian yang telah didapatkan pada tahap ini, selanjutnya
dilakukan pengelolahan data dengan cara mengedit atau kalimatnya kemudian
disesuaikan dengan alur kepenulisan. Penyesuaian yang dilakukan tanpa merubah
maksud dan tujuan dari penulisan tersebut, sehingga diperoleh suatu pembahasan
yang sistematis dari judul penelitian yang telah digagas yakni kajian penyimpangan
sistem budaya hukum di Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) “Bangjo
Ngoresan”.

Data yang diperoleh dianalisis melalui analisis deskriftif yaitu menguraikan data dan
fakta dari hasil penelitian dan telaah pustaka. Analisis data digunakan dalam
menganalisis permasalahan yang ahirnya menentukan sintesis berupa hasil penelitian
yang dapat dipertangungjawabkan.

Adapaun langkah-langkah dalam penulisan penelitian ini sendiri, meliputi:

1. Bab pertama pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah,


rumusan masalah, sertatujuan dan manfaat dalam kepenulisan penelitian ini
2. Bab kedua menguraikan tentang definisi konsep dan landasan teori yang
relevan dengan permasalahan yang dikaji
3. Bab ketiga menyajikan tentang metode penulisan yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini, baik dari metode pengumpulan data sampai pada
prosedur pengumpulan data dan informasi.
4. Bab keempat menguraikan hasil kajian dari masalah yang akan dibahas.
Dalam bab ini juga dikemukakaan pendapat dari berbagai responden yang
melatarbelakangi untuk melakukan penyimpangan ketarturan yang telah
ditentukan.
5. Bab kelima adalah bab penutup dari penelitian ini, dalam bab ini disajikan
kesimpulan dari penelitian dan memberikan jawaban atas masalah yang telah
dikemukakan. Bab ini juga mengemukaan saran/rekomedasi yang sejalan
dengan permasalahan yang diusulkan.
DAFTAR PUSTAKA

 Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1999. Sosiologi Jilid 1. Edisi


Keenam.  Jakarta: Erlangga
 TrimbunSolo. 2020. “Hal Unik Seputar UNS Solo: Ada Bangjo Ngoresan
yang ‘Tak Kasat Mata’ ”.http://solo.tribunnews.com/2018/01/05/hal-
unik-seputar-uns-solo-ada-bangjo-ngoresan-yang-tak-kasat-mata,
diakses 15 September 2018
 Djusmanto, 2002. Teknik Transportasi. Andi Offset, Yogyakarta
 Bagja, Waluya, 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
 Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi Sosial. Jakarta: Rineka
Cipta
 Soekanto, Soerjono. 1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta:
Rajawali Pers
 Purnomosidi, a. 2012. Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 dan Pancasila). Source by;
repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2969/5/T2_322010004_BA
B%20IV.pdf
 Slamet, Yulius. 2011. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : LPP UNS

Anda mungkin juga menyukai