Anda di halaman 1dari 6

PERTEMUAN 5

PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM

A. TUJUAN PERKULIAHAN
Setelah menyelesaikan pertemuan ke-5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan
Perubahan sosial dan hukum.

B. URAIAN MATERI

1. Defenisi Dan Konsep Perubahan Sosial


Kehidupan manusia itu adalah proses dari suatu tahap hidup ke tahap lainnya, karena itu
perubahan sebagai proses dapat menunjukkan perubahan sosial dan perubahan budaya
atau berlaku kedua duanya pada satu runtuntan proses itu. Adapun perubahan sebagai
proses tanpa membicarakan dahulu macam dan arah proses itu. Proses dalam makna
sosial pada hakekatnya ialah perjalanan kehidupan suatu masyarakat yang ditunjukkan
oleh dinamikanya baik mengikuti evolusi biologi dalam daur hidup, maupun perubahan
tingkah laku dalam menghadapi situasi sosial mereka. Menurut Astrid S.Susanto ( 1985 )
perubahan sosial adalah perubahan masyarakat menjadi kemajuan masyarakat yang sesuai
bahkan dapat menguasai kemajuan teknologi dan menghindari bahaya degradasi
martabatnya. Perubahan sosial diberi arti sebagai development atau perkembangan yang
merupakan perubahan tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat,
sehingga akan dinikmati pula oleh individu. Tujuan pembangunan itu adalah pemanfaatan
kemajuan tehnologi dan ilmu dalam memperbaiki keadaan materi – mental manusia, agar
martabat manusia dapat ditingkatkan. 167 Robert H. Lauer memberikan uraian tentang
perubahan sosial dalam versi lain. Paling tidak ia menganggap penting untuk terlebih
dahulu menguraikan definisi perubahan sosial dimasa lalu yang dibangun diatas mitos –
mitos tentang perubahan yang merintangi pemahaman dan menghalagi penyusunan
perspektif baru, karena itu ia menyatakan ” Understanding of social change,
therefore,must begin by defining the concept and by shedding The mythical from our
thought.” Pemahaman mengenai perubahan sosial harus dimulai dengan memberikan
batasan konsepnya dan menghilangkan mitos dari pikiran kita. Mitos membentuk pola
pikiran yang menyimpang,trauma dan ilusi,yang akan merupakan kendala untuk
memahami perubahan sosial sebagai hakekat kehidupan manusia. Kebanyakan literatur
tentang perubahan sosial , dimulai tanpa mendefinisikan dengan jelas mengenai apa yang
dimaksud dengan konsep perubahan itu. Perubahan sosial diperlakukan seakan
mempunyai makna berupa fakta intuitif. Tetapi arti perubahan sosial sebenarnya bukanlah
berupa fakta intuitif dan bukan berarti suatu yang sama dengan fakta intuitif seperti yang
diartikan kebanyakan para ahli. 168 Lalu apa yang kita artikan dengan perubahan sosial
itu? Kebanyakan definisi membicarakan perubahan sosial dalam arti yang sangat luas.
Wilbert Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan penting
dari striktur sosial”, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku
dan interaksi sosial. Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial sebagai
ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Perubahan sosial
didefinisikan sebagai fariasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola soaial,
dan bentuk-bentuk sosial, serta “setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan
standart perilaku. Disadari atau tidak perubahan dalam masyarakat itu pasti terjadi,
meskipun terkadang perubahan didalamnya tidak selamanya mencolok atau sangat
berpengaruh terhadap kehidupan luas. Ada perubahan yang bersifat cepat dan mencakup
aspek-aspek yang luas, ada pula yang berjalan sangat lambat. Perubahan tersebut akan
terlihat dan dapat ditemukan oleh seseorang yang mau meneliti susunan dan kehidupan
suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu dan dibandingkan dengan susunan dan
kehidupan masyarakat tersebut pada masa lampau Rogers et.al. mengemukakan bahwa
perubahan sosial adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan 169 didalam
struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarkatan. Sedangkan Selo Soemarjan dan
Soelaeman Soemardi mengemukakan bahwa perubahan sosial diartikan sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-peubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, idiologi, maupun karena adanya
difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut Soerjono Soekanto
merumuskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembagalembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk didalamnya nilainilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan diantara
kelompokkelompok dalam masyarakat Kiranya sulit untuk membayangkan bahwa
perubahanperubahan sosial yang terjadi pada salah satu lembaga kemasyarakatan, tidak
akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Walaupun hal itu mungkin
saja terjadi, akan tetapi pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan
mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Masalah kemudian adalah sampai seberapa jauh
suatu lembaga kemasyarakatan dapat mempengaruhi lembagalembaga kemasyarakatan
lainnya, atau sampai sejauh 170 manakah suatu lembaga kemasyarakatan dapat bertahan
terhadap rangkaian perubahan-perubahan yang dialami lembaga kemasyarakatan lainnya
(Rosana, 2011)

2. Realitas Perubahan Sosial Di Indonesia


Perubangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang membawa perubahan
terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan dengan
melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang rusak, dengan tetap mempertahankan
elemen budaya dasar yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan
budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih
cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan pada
keteraturan sosial tersebut. Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan
“cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah
kesepakatan-kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih
dari 60 tahun silam. Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-
pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki, Kekuasaan terpusat pada
sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-
sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dan sebagainya.). Krisis dalam
representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio– Cultural Animosity). Pola konflik di
Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung
Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dan sebagainya.
Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering
horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif
tetapi destruktif.
a) Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest
conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai
golongan. b) Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari
perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu,
sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat
laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir
seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga,
sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dan
sebagainya.
c) Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
d) Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan
kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih
mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif)
e) Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya
pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status
sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas
atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial
(Umanailo, 2013)

3. Hukum Dan Perannya Dalam Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Indonesia


Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal
adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum,
badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum, merupakan ciri-ciri yang
terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana, ketiga fungsi berada
pada satu tangan terntentu atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat
seperti keluarga. Akan tetapi, baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga
fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluruan-saluran melalui mana hukum
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan sosial dan perubahanperubahan
hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari
masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Agent of
change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Hukum mempunyai pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung di
dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Seperti misalnya hukum yang mengatur
pengendara bermotor untuk memakai helm bagi penggunanya. Realitas yang memaksa
pengendara untuk mamakai tidak terlepas dari intervensi hukum, dimana ada kekuatan
berupa sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Maka dengan demikian hukum mampu
merubah masyarakat untuk memakai helm ketika berkendaraan di jalan umum. Selain itu,
hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga
masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu
masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila yang terjadi apa yang
dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai Soft Developmnet (Soekanto, 1980). Hukum-
hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala
semacam itu akan timbul, apabila ada fktor-faktor tertentu yang menjadi halangan.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari
keadilan, maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.

4. Fungsi Hukum Sebagai Siklus Perubahan Sosial


Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat
mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau
direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan yang
direncanakan dan dikehendaki tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor.
Dalam masyarakat yang kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam
tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal
ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan sosial,
walaupun secara tidak Langsung. Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan
sosialnya tidak akan pernah terlepas dari adanya kebutuhan dalam menunjang
kelangsungan kehidupan mereka, oleh sebab itulah manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya akan saling memiliki kepentingannya masing-masing dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Namun karena manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri
sendiri) dan angkuh yang menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika
menjalankan dan mengejar kepentingan mereka, jadi tidak mustahil akan sering terjadi
konflik di antara manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut,
disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah. Dari needs dan problem itu,
kemudian hukum hadir untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial
manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan mengejar kepentingannya
masing-masing (Mertokusumo, 2005: 3).
Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di dalam Undang-Undang, sebagai
aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam kajian tentang budaya hukum
(Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu disitu difungsikan sebagai motor keadilan,
kemudian dalam berbagai kajian lainnya terkadang hukum disebut sebagai institusi sosial,
dan juga sebagai alat rekayasa sosial, bahkan sebagian orang menyatakan hukum itu
sebagai mitos dari kenyataan. Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu
permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan hukum tersebut.
Namun ada hal yang menarik dalam kajian sosiologi hukum, yaitu ketika melihat prilaku
manusia sebagai hukum. Sebagaimana dipaparkan oleh Satjipto Rahardjo (2009: 20),
maka akan diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai hukum, dimana
hukum itu tidak hanya diartikan sebagai peraturan (rule), tetapi juga prilaku (behavior).
Lawrence M. Friedman, sebagaimana di kutip oleh Saifullah, (2007: 26) yang
menyatakan bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga
hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan), dankultur hukum atau budaya
hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang mendukung berjalannya sistem hukum di
suatu Negara. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem
hukum yang terdapat dalam masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan
sebagai akibat pengaruh dari modernisasi atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun
revolusi. Dan bisa juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang
mempengaruhi hukum. Demikian halnya dengan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat (sosial), tentunya bisa mengalami perubahan-perubahan seperti yang
terjadi pada hukum itu sendiri. Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu
mengalami perubahan. apakah hukum itu yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau
sebaliknya. dan bagaimana peran social control dan social enginerring dalam
perkembangan masayarakat tersebut. 178 Fuady (2011: 52), yang jika dilihat dari
perkembangan hokum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat, hokum dapat
dibedakan sebagai berikut;
1. Hukum Social engineering
2. Hukum Progressive
3. Hukum Slow Motion
4. Hukum Stagnan
Gerakan dari empat model hokum tersebut berfungsi dan berkembang secara berbeda-
beda, dengan konsekuensi yang berbeda-beda pula
Perubahan hukum dan perubahan masyarakat, ada dua macam perubahan hukum yaitu;
1. Perubahan hokum yang bersifat ratifikasi. Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah
terlebih dahulu berubah dan sudah mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian
diubahlah hukum untuk disesuaikan dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi
dalam mayarakat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta
terjadi perubahan hukum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering
ialah hukum sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya
hokum itu super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti
iramanya sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendirir dijalan yang
sunyi. Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hokum ini sering terjadi
perubahan dalam bentuk perubahan undangundang yang ada. Tetapi sekali-kali juga
perubahan dalam Yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya Yurisprudensi
belanda tahun 1919 yang mengubah paradigma pranata perbuatan hukum.
2. Perubahan hukum yang bersifat proaktif. Dalam hal ini masyarakat belum
mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap
perubahn dimaksud. Kemudian sebelum masyarakat mempraktikkan perubahan ynag
dimaksud, hukum sudah terlebih dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat praktik
perubahan masyarakat tersebut. dalam hal ini, berlakulah ungkapan “hukum sebagai
sarana rekayasa masyarakat” (law as a tool social enginerring) (Fuadi, 2011: 52-55)

C. UJI PEMAHAMAN MATERI

1. Bagaimana pemahaman anda tentang hukum dan perubahan sosial?


2. Jelaskan empat kaidah hukum yang bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat?
3. Bagaimana realitas perubahan sosial di Indonesia yang terjadi saat ini?
4. Jelaskan hukum dan perannya dalam perubahan masyarakat Indonesia?
5. Fungsi hukum sebagai siklus perubahan sosial di Indonesia

D. DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Sosiologi Hukum. (Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 1999)
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1978)
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. (Djakarta:
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964)

Anda mungkin juga menyukai