Anda di halaman 1dari 63

REFERAT

KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

DISUSUN OLEH:
Ardiga Pridiasko 1161050188
Adinda Adia Putri 1261050240
I Gusti Ayu Ratna Dewi 1361050238
Juniardo Purba 0302013105
Natalia Permata 112015428

DOSEN PENGUJI
dr. Julia Ike Haryanto, Sp.KF

Residen Pembimbing
dr. Yudhitya Meglan Haryanto

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Rumah Sakit Umum Dokter Kariadi
Periode 6November 2017 – 2 Desember 2017
SEMARANG

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh dosen pembimbing, referat dari:

Nama/NIM:

Ardiga Pridiasko 0302013053

Adinda Adia Putri 0302013169

I Gusti Ayu Ratna Dewi 1361050238

Juniardo Purba 0302013105

Natalia Permata 112015428

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Kristen Indonesia, Universitas Trisakti,

Universitas Kristen Krida Wacana

Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik

Judul : Kekerasan Seksual pada Anak

Dosen Pembimbing : dr. Julia Ike Haryanto, Sp.KF

Residen Pembimbing : dr. Yudhitya Meglan Haryanto

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Semarang, November 2017

Dokter Penguji,

dr. Julia Ike Haryanto, Sp.KF

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat, hidayah, serta inayahNya kepada penulis dalam menyelesaikan

referat yang berjudul “ KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK”, sebagai salah satu

tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP

Dr. Kariadi Semarang.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

dr. Julia Ike Haryanto, Sp.KF sebagai dosen penguji dan dr. Yudhitya Meglan

Haryanto, sebagai residen pembimbing dalam penulisan referat ini.

Seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dengan

penulisan referat ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan

referat ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas hal

tersebut. Besar harapan penulis agar referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

dan pihak-pihak lainnya.

Semarang, November 2017

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus generasi di

masa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak-anak merupakan fase dimana anak

mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa depannya. Perlu adanya optimalisasi

perkembangan anak, karena selain krusial juga pada masa itu anak membutuhkan perhatian

dan kasih sayang dari orang tua atau keluarga sehingga secara mendasar hak dan kebutuhan

anak dapat terpenuhi secara baik.1

Anak seharusnya mendapatkan haknya dan salah satunya adalah mendapatkan

perlindungan dari berbagai pihak. Sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hak

anak yaitu, UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 (2) menyatakan

bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal,

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.1

Kekerasan seksual merupakan salah satu kekerasan fisik yang termasuk tindakan

krimal. Pelaku tindak kekerasan seksual melakukan untuk memuaskan hasratnya secara

paksa. Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan hubungan seksual secara

paksa, namun aktivitas lain seperti meraba, bahkan jika hanya memandangi, hal ini sesuai

dengan penuturan Orange dan Brodwin dalam Jurnal Psikologi Early Prevention Toward

Sexual Abuse on Children yang menjelaskan bahwa kekerasan seksual pada anak adalah

pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual (melihat,

1
meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan). Dampak kekerasan seksual pada

anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial. Secara fisik dapat berupa luka atau robek

pada selaput dara. Secara psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan

bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri. Secara sosial misalnya perlakuan sinis dari

masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya.1

Kekerasan seksual pada anak mendapatkan perhatian dari banyak masyarakat karena

merupakan tingkat kekerasan paling tinggi dibandingkan dengan kekerasan fisik dan

psikologis. Kekerasan seksual pada anak tidak memandang korbannya anak laki-laki

ataupun anak perempuan. Hal ini diperkuat oleh data yang terdapat pada Jurnal Gail Hornor

2010 bahwa anak perempuan dan laki‐laki memungkinkan menjadi korban kekerasan

seksual. Anak korban kekerasan seksual mengalami sejumlah masalah yang sama antara lain

trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan, kehilangan semangat hidup, membenci

lawan jenis dan memiliki keinginan untuk balas dendam .1

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2007, dari 555

kekerasan terhadap anak yang muncul, 11,8% kekerasan terjadi di sekolah. Pada tahun 2008

diterapkan metode yang sama, persentasenya meningkat menjadi 39%. Kekerasan seksual

juga semakin tinggi, 527 angka kejadian KSA (Kekerasan Seksual pada Anak) pada tahun

2007. Pada tahun 2008 angka kejadian tersebut meningkat menjadi 626, kemudian pada

tahun 2009 meningkat lagi menjadi 705.2

Masih banyaknya kasus yang melibatkan anak di Indonesia dan salah satunya adalah

kasus pelecehan seksual. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor

lingkungan, teknologi, dan kurangnya pengawasan dari berbagai pihak. Anak yang

mengalami pelecehan seksual akan mengalami gangguan secara psikologis maupun fisik. Di

2
Indonesia sendiri kasus pelecehan seksual pada anak masih kurang terperhatikan oleh

Komisi Nasional Perlindungan Anak, padahal jika dilihat banyak sekali kasus pelecahan

pada anak di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih dan harus segera ditindak

lanjuti.1

Pada penelitian, korban kekerasan seksual mayoritas adalah anak di bawah 18 tahun,

80.000 anak Amerika setiap tahunnya mengalami kekerasan seksual. Dimana 1 diantara 5

wanita (44,6%) pernah mengalami pemerkosaan atau pelecehan seksual, sedangkan pada

pria 1 diantara 71 orang (22,2%). Hal ini diakibatkan oleh belum stabilnya emosi remaja

wanita dan kelemahan secara fisik dalam melawan pelaku. Semakin muda wanita, semakin

berisiko untuk mengalami kekerasan seksual dari pria.2

B. RUMUSAN MASALAH

B.1 Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual.

B.2 Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak.

B.3 Apa tanda yang dapat ditemukan dari kekerasan seksual pada anak.

B.4 Apa dampak yang terjadi terhadap korban kekerasan seksual pada anak.

B.5 Apa dasar hukum atau perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan

terhadap kekerasan seksual pada anak.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

C.1 Tujuan Penelitian

Mengetahui peranan dokter umum secara menyeluruh dalam menangani kasus

kekerasan seksual terhadap anak.

3
C.2 Manfaat Penelitian

Dari penulisan ini diharapkan dapat diberoleh beberapa manfaat, khususnya bagi

penulis dan umumnya bagi pembaca, antara lain :

1. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan

meningkatkan pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual pada anak serta

dampak-dampak yang ditimbulkannya.

2. Dapat menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya tentang

kekerasan seksual pada anak, serta dapat mengetahui bagaimana cara menangani

kasus tersebut.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kekerasan Seksual pada Anak

Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

ditegaskan bahwa kekerasan adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum”. Sedangkan kekerasan terhadap anak diartikan sebagai: “Perbuatan yang

disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun

emosional”.3

Secara yuridis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengartikan kekerasan

sebagai perbuatan yang dapat membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Berdasarkan

beberapa pengertian tersebut, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh

seseorang (orang yang berkuasa) yang dapat menimbulkan sakit, penderitaan, baik fisik,

psikis, dan sosial pada seseorang (identik orang yang lemah).4

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) didefinisikan sebagai perlakuan

fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai

tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana semua diindikasikan dengan

kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.5,6

Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak

dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur

tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau

5
anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari

anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual.7

Menurut Ricard J. Gelles kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang

menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun

emosional). Sedangkan menurut Lyness kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan

menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap

anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan

sebagainya.7

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan hubungan atau interaksi antara seorang

anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa

seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan

sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan

dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak

harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk

kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan.7

B. Definisi Anak

Pengertian anak menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah

Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.8 Convention On The Rights Of

Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun

1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.9

6
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak

adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya.10

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan”.11 Pengertian Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) adalah “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig)

karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan,

memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau

pemeliharaannya, tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah

diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan

kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut.”11

C. Anatomi Genitalia

a. Genitalia Wanita

Gambar 1. Alat Kelamin Luar Wanita.12

Vulva adalah istilah yang diberikan untuk alat kelamin luar wanita. Strukturnya

meliputi mons pubis, labia mayora dan labia minora. Bagian yang menonjol di bagian
7
depan simfisis terdiri dari jaringan lemak dan tertutup oleh rambut. Terdapat bagian yang

sedikit meluas beberapa sentimeter pada mons pubis yang disebut klitoris. Dibawah

klitoris terdapat uretra, klitoris berada 1 cm diatas meatus uretra. Terdapat labia mayora

yang berlemak, memanjang dan membentuk lipatan yang merupakan batas lateral dari

vulva. Labia minora merupakan bagian medial dari labia mayora dan merupakan lapisan

kulit tipis yang masuk ke pintu masuk vagina. Bagian depan labia minora bergabung dan

melingkupi klitoris yang dikenal sebagai preputium klitoris. Bagian belakang labia

minora bergabung ke garis tengah menuju pintu masuk vagina. Uretra berada diatas pintu

masuk vagina. Himen atau selaput dara adalah lipatan tipis selaput lendir yang berada di

dalam lubang vagina.13

Alat kelamin dalam wanita terdiri atas vagina, serviks, uterus, tuba uterina dan

ovarium. Vagina berada di depan rektum dan di belakang kandung kemih yang

merupakan saluran fibromuskular yang menghubungkan pintu masuk vagina dengan

serviks. Uterus berada dibelakang dan diatas kandung kemih. Tuba uterina dan ovarium

berada di lateral dari uterus.13

b. Genitalia Laki-laki

Gambar 2. Alat Kelamin Laki-laki.14

8
Organ reproduksi luar laki-laki adalah skrotum dan penis. Penis terdiri dari tiga

rongga yang berisi jaringan spons. Dua rongga yang terletak di bagian atas berupa

jaringan spons korpus kavernosa. Satu rongga lagi berada di bagian bawah yang berupa

jaringan spons korpus spongiosum yang membungkus uretra. Uretra pada penis

dikelilingi oleh jaringan erektil yang rongga-rongganya banyak mengandung pembuluh

darah dan ujung-ujung saraf. Bila ada suatu rangsangan, rongga tersebut akan terisi penuh

oleh darah sehingga penis menjadi tegang dan mengembang (ereksi).16

Skrotum (kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya berisi testis. Skrotum

berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Di antara skrotum kanan dan

skrotum kiri dibatasi oleh sekat yang berupa jaringan ikat dan otot polos (otot dartos).

Otot dartos berfungsi untuk menggerakan skrotum sehingga dapat mengerut dan

mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat serat-serat otot yang berasal dari penerusan

otot lurik dinding perut yang disebut otot kremaster. Otot ini berperan penting pada

pengaturan suhu lingkungan testis. Suhu di dalam skrotum dipertahankan 20°C lebih

rendah dari suhu rongga abdomen. Hal tersebut berkaitan dengan proses pembentukan

sperma (spermatogenesis) normal yang membutuhkan suhu stabil.15

Organ reproduksi dalam pria terdiri atas gonad yang menghasilkan gamet (sel-sel

sperma) dan hormon, kelenjar aksesoris yang menghasilkan produk yang esensial bagi

pergerakan sperma dan sekumpulan duktus yang membawa sperma dan sekresi

glandular.15

Testis (gonad jantan) berbentuk oval dan terletak didalam kantung pelir (skrotum).

Testis berjumlah sepasang (jamak=testes). Testis kiri dan kanan dibatasi oleh suatu sekat

yang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos. Fungsi testis secara umum merupakan

9
alat untuk memproduksi sperma dan hormon seks jantan, androgen. Testes terdiri atas

saluran melilit yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang tubulus seminiferus. Pada saluran

inilah sperma dibentuk. Di antara tubulus seminiferus tersebar sel-sel interstisial Leydig

yang menghasilkan androgen.15

D. Prevalensi Kekerasan Seksual Pada Anak

Salah satu faktor yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan

anak adalah kekerasan pada anak. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (KPP-PA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008,

menyebutkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak 3,02%. Artinya, di antara 100 anak

terdapat 3 anak yang mengalami kekerasan. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan

terbanyak yang ditemukan. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat

sebanyak 216 korban kekerasan seksual anak pada tahun 2011, meningkat pada tahun 2012

menjadi 412 korban, dilaporkan pada tahun 2013 terdapat 343 kasus, 656 kasus pada tahun

2014. Pada tahun 2015 1didapatkan 218 kasus kekerasan seksual pada anak. Data penelitian

terakhir dari KPAI yaitu pada tahun 2016 yaitu 120 kasus anak sebagai korban kekerasan

seksual.16

700
600
500
400
300
200
100
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 1. Statistik Korban Kekerasan Seksual pada Anak berdasarkan Tahun

10
Namun, dari penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa anak tidak hanya menjadi

korban dari kekerasan seksual, namun juga terdapat kasus-kasus kekerasan seksual dimana

anak menjadi pelaku dari kekerasan tersebut. Hasil penelitian pada tahun 2011 terdapat 123

anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual, sedangkan pada tahun 2012 mengalami

peningkatan menjadi 324 kasus, 247 kasus pada tahun 2013, dilaporkan pada tahun 2014

terdapat 561 kasus, 157 kasus pada tahun 2015, dan pada penelitian yang terakhir dilakukan

pada tahun 2016 adalah 86 kasus dimana anak menjadi pelaku kekerasan seksual.16

600

500

400

300

200

100

0
2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 2. Statistik Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Dari penelitian yang dilakukan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menyatakan

bahwa data korban dari kekerasan seksual yang masuk ke IGD RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten, mayoritas adalah wanita, usia remaja, jenis kasusnya adalah

pemerkosaan anak di bawah umur, distribusi luka terbanyak pada selaput dara, berprofesi

sebagai pelajar, dan pelakunya adalah orang yang tidak dikenal. Hal ini sesuai dengan

prevalensi kekerasan seksual di Amerika, dimana 1 diantara 5 wanita pernah mengalami

11
pemerkosaan atau pelecehan seksual, sedangkan pada pria 1 diantara 71 orang. Sekitar

44,6% wanita dan 22,2% pria, pernah mengalami pelecehan seksual di dalam hidupnya.

Pada penelitian yang lain, korban kekerasan seksual mayoritas adalah anak di bawah 18

tahun, 80.000 anak Amerika setiap tahunnya mengalami kekerasan seksual. Hal ini

diakibatkan oleh belum stabilnya emosi remaja wanita dan kelemahan secara fisik dalam

melawan pelaku. Semakin muda wanita, semakin berisiko untuk mengalami kekerasan

seksual dari pria.2

Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena kekerasan seksual pada anak tidak hanya

dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Selain itu, kebanyakan pelaku adalah

orang dekat korban atau berada di lingkungan yang sama.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi

kedalam dua kategori berdasar identitas pelaku, yaitu:18

a. Familial Abuse

Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana

antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam

12
keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang

tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya

merawat anak. Mayer menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan

mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu :18

1. Kategori pertama, penganiayaan (sexual molestation), hal ini

meliputi Interaksi noncoitus, petting, fondling (meraba-raba dada korban,

alat genital, paha, dan bokong), exhibitionism (memamerkan atau

menelanjangi anak), dan voyeurism (masturbasi depan anak atau sekadar

meremas kemaluan anak), semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi

pelaku secara seksual.

2. Kategori kedua, perkosaan (sexual assault), berupa oral atau

hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis

(fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus).

3. Kategori terakhir, perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi

kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi

korban.

b. Extra Familial Abuse

Extra Familial Abuse adalahkekerasan seksual yang dilakukan oleh orang

lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku

biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi

dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana

pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu

yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap

13
diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari

orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di

mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak

yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan

harus diwaspadai.

E. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan

seksual pada anak, antara lain:2

a. Psikopatologi yaitu seseorang yang pecandu obat-obatan, alkoholisme, memiliki harga

diri rendah, dan gangguan personal lainnya

b. Seseorang yang memiliki pengalaman terhadap perilaku orang tua yang buruk seperti

mendapat perilaku penganiayaan ketika masa kecilnya

c. Seseorang yang memiliki masalah dengan pasangannya, seperti hubungan yang tidak

saling mendukung satu dengan yang lain atau tujuan yang tidak searah

d. Seseorang yang mendapatkan stresor dari lingkungan, seperti keuangan dan kesehatan

yang buruk

e. Seseorang dengan isolasi sosial seperti memiliki teman yang sedikit atau tidak ada

teman

f. Seseorang yang memiliki kesalahan ekspektasi atau pandangan terhadap level perkem

bangan anak-anak.

Kemiskinan juga dapat menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual pada

anak. Kekerasan seksual terjadi di sekitar masyarakat yang secara sosial ekonomi miskin.

14
Hal ini dapat dicermati melalui kasus-kasus yang kemudian bermunculan sebelum dan

sesudah pemerkosaan yang berakhir dengan pembunuhan. Kemiskinan akan

mengakibatkan orang atau masyarakat mengabaikan lingkungannya, termasuk keluarga

dan anak-anak mereka. Padahal keluarga adalah lembaga sosial terkecil yang menjadi

dasar awal sebelum beranjak ke lingkungan yang lebih besar. 19

Faktor pendidikan dalam keluarga dapat menjadi pemicu terjadinya pelanggaran

yang berbuntut kekerasan pada anak. Anak sebagai kelompok yang rentan, tidak berdaya,

dan masih memerlukan perlindungan orang dewasa tetapi justru menjadi korban

kebiadaban orang dewasa dan juga teman sebayanya. Rendahnya kualitas pribadi pelaku

tindak kekerasan seksual pada anak menunjukkan bahwa keluarga yang diharapkan

memberikan dasar pembangunan kepribadian anak tidak menjalankan fungsinya dengan

benar, termasuk juga fungsi kontrol keluarga dan lingkungan keluarga tidak terpenuhi

dengan baik.19

Seseorang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai

korbannya dikenal sebagai Pedophile (Pedofilia), dan yang menjadi korban utamanya

adalah anak-anak. Pedofilia dapat diartikan ”menyukai anak-anak” yang dalam Pasal 1

Ayat 1 UU No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan anak, “anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.19

Menurut Adrianus E. Meliala, ada beberapa kategori pedofilia, yaitu :21

1. Infantophilia, yaitu mereka yang tertarik dengan anak berusia di bawah 5 tahun

2. Hebophilia, yaitu mereka yang tertarik dengan anak perempuan berusia 11-14 tahun

3. Ephebohiles, yaitu mereka yang tertarik dengan anak berusia 15-19 tahun

15
Berdasarkan perilaku, ada yang disebut :

1. Exhibitionism, yaitu bagi mereka yang suka memamerkan, suka menelanjangi anak

2. Voyeurism, yaitu suka masturbasi depan anak, atau sekadar meremas kemaluan anak

Pedofilia bisa memang dapat disebabkan karena kelainan, yaitu merupakan bentuk

ketertarikan seksual yang tidak wajar. Artinya orang ini (pelaku) mungkin saja pernah

mengalami trauma yang sama, sehingga mengakibatkan perilaku yang menyimpang, bisa

juga karena gaya hidup, seperti kebiasaan menonton pornografi, sehingga membentuk

hasrat untuk melakukan hubungan seksual. Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel

menjelaskan tak semua kekerasan seksual pada anak dilakukan orang dewasa yang

memiliki orientasi seksual pada anak, tetapi bisa juga terjadi dengan pelakunya orang

dewasa normal. Kedua macam orang itu bisa digolongkan pedofilia selama melakukan

hubungan seksual dengan anak. Terdapat dua tipe pedofilia yaitu :21

1. Tipe pertama adalah Pedophilia Eksklusif, yaitu hanya memiliki ketertarikan pada

anak.

2. Tipe kedua adalah Pedophilia Fakultatif, yaitu memiliki orientasi heteroseksual

pada orang dewasa, tetapi tidak menemukan penyalurannya sehingga memilih anak

sebagai substitusi.

Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman,

sehingga korban tak berdaya itu disebut Molester. Kondisi itu menyebabkan korban

terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit pula

pelaku kekerasan seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi

dengan menggunakan manipulasi psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti

16
keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum

mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan.22

F. PEMERIKSAAN FORENSIK KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Penerapan ilmu kedokteran forensik memiliki dua aspek yang berbeda untuk

mengumpulkan informasi dari anak dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak,

yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik.

a. Anamnesis

Dalam usaha mendapatkan infromasi yang berguna pada wawancara dengan anak yang

mengalami kekerasan seksual, terdapat beberapa hal psikologis yang harus diperhatikan,

yaitu sebagai berikut: 23

 Membuat pendekatan dengan memperhatikan kepekaan dan kerentanan mereka

untuk dipahami

 Membangun lingkungan netral dan hubungan yang baik dengan anak sebelum

memulai anamnesis

 Menetapkan tingkat perkembangan anak untuk memahami batasan dan interaksi

yang tepat

 Menempatkan diri sebagai orang yang membantu

 Meminta anak untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan kata-kata mereka

sendiri

 Selalu memulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbuka

Informasi yang diperlukan untuk menilai keadaan medis anak serta gejala yang

timbul dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai:23

17
 Waktu terjadinya kekerasan seksual atau pelecehan.

 Pertama kalinya dugaan kekerasan seksual terjadi.

 Sifat serangan, yaitu penetrasi anal, vaginal atau oral.

 Sakit/nyeri di daerah genital dan anal

 Perdarahan, terdapat darah di dalam celana.

 Kesulitan atau nyeri buang air besar ataupun kecil.

 Inkontinensia urin.

 Periode menstruasi (khusus perempuan)

 Rincian dari aktivitas seksual sebelumnya.

b. Pemeriksaan Fisik

Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan

cemas di kamar periksa. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perlu diajukan persetujuan

(informed consent) yang diperoleh dari anak atau pengasuh untuk melakukan

pemeriksaan fisik dan mengumpulkan spesimen untuk bukti forensik serta

menjelaskan tentang maksud, tujuan, proses, dan lama pemeriksaan.

Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus didampingi oleh

petugas kesehatan lainnya. Jika anak berjenis kelamin perempuan, sebaiknya

diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan sebaliknya. Dalam kasus-kasus

dimana pengasuh menolak untuk memberikan persetujuan untuk evaluasi medis,

bahkan setelah kebutuhan untuk pemeriksaan telah dijelaskan, otoritas perlindungan

anak mungkin perlu disebut. Pemeriksaan fisik harus terdiri dari pemeriksaan head to

toe ditambah dengan inspeksi daerah anogenital.22 Sebagai fungsinya dalam bidang

18
penyelidikan, ilmu kedokteran forensik pada kasus kekerasan seksual berguna untuk

melakukan pemeriksaan terhadap:

 Korban, dengan tujuan untuk:

1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan

Persetubuhan atau senggama adalah suatu peristiwa penetrasi penis ke

dalam liang vagina, baik total maupun sebagian, dengan ataupun tanpa

ejakulasi. Laki-laki hanya dapat melakkan persetubuhan dalam keadaan aktif,

yaitu suatu keadaan yang menggambarkan adanya respon seksual, baik fase

eksitasi ataupun fase plato yang ditadai adanya ereksi penis. Sedangkan wanita

dapat disetubuhi dalam keadaan aktif maupun pasif. Tanda yang paling

menyolok pada wanita yang aktif (mengalami respon seksual) adalah ereksi

klitoris dan lubrikasi, guna membasahi dinding vagina agar tidak terjadi

iritasi.24

Tujuan utama pemeriksaan fisik ini adalah pada area anogenital. Pada anak,

jaringan pada area ini mampu beregenerasi dengan cepat dan sempurna, maka

kerusakan fisik yang disebabkan oleh kekerasan menjadi kurang jelas seiring

berjalannya waktu; hal inilah yang menyebabkan jarang ditemukan temuan

positif. Oleh karena itu pemeriksaan yang segera menjadi sangat penting

mengingat serigkali cedera yang awalnya ada, dapat sembuh ketika pasien

datang.25

Tanda-tanda persetubuhan: 24

- Tanda langsung

a) Robeknya hymen akibat penetrasi penis

19
Pemeriksaan fisik dalam kasus kecurigaan kekerasan seksual terdiri

dari inspeksi daerah anogenital melalui berbagai metode dan teknik

pemeriksaan. Anak diposisikan dengan sesuai, yaitu supine (posisi

katak), posisi knee-chest (sujud), atau posisi lateral dekubitus (miring).

Diantara ketiga posisi tersebut, kombinasi antara posisi knee-chest,

pemisahan labia, dantraksi labia adalah yang paling memudahkan dalam

visualisasi hymen.25

Penetrasi penis ke dalam vagina wanita yang masih perawan akan

dapat mengakibatkan robeknya hymen yang mungkin disertai

perdarahan. Oleh karena itu robekan baru pada hymen dapat diketahui

jika pada daerah robekan tersebut masih terlihat darah atau hiperemis.

Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio)

dari hymen. Letak robekan hymen pada persetubuhan umumnya di

bagian belakang (comisura posterior), yang dinyatakan sesuai menurut

angka pada jam. Tidak tertutup kemungkinan selaput dara dari perawan

yang mengalami kekerasan seksual masih utuh, yaitu pada penetrasi

penis yang paling ringan (antara kedua labia) atau kondisi selaput dara

sangat elastis disertai ukuran penis yang sangat kecil.23,25

Seluruh cedera harus didokumentasikan dengan teliti. Tentukan

apakah pada hymen terdapat atau tidaknya robekan, robekan baru atau

lama, dan lokasi robekan tersebut yang dinyatakan sesuai arah jarum jam.

Saat ini penggunaan kolposkopi masih yang terbaik, mengingat

fungsinya yang dapat memberikan kombinasi yang baik antara

20
pencahayaan, pembesaran, dan dokumentasi dengan kualitas tinggi.

Namun alat ini jarang digunakan karena harganya yang mahal. 23,25

Berdasarkan bukti-bukti medik yang ditemukan akan dapat

disimpulkan kebenaran terjadinya senggama. Hanya saja, apakah

senggama dilakukan dengan paksaan atau tidak, sangat mustahil dokter

dapat menyimpulkan sebab bukti medik antara senggama dengan paksa

dan tidak dengan paksa tidak ada bedanya.24

b) Iritasi atau hematom

Gesekan-gesekan penis terhadap vagina akan dapat mengakibatkan

lecet atau memar pada dinding vagina. Kelainan tersebut terjadi karena

pada korban tidak terjadi lubrikasi sehingga vagina dalam keadaan kering

(pasif), disamping dilakukan dengan kasar. Perlu diketahui bahwa

lubrikasi merupakan respon seksual pada wanita, yang akan berfungsi

sebagai pelicin. Dalam keadaan diperkosa, diragukan korban dapat

mengalami respon seksual. Meskipun terdapat beberapa wanita yang

diperkosa dapat mengalami respon seksual, bahkan orgasme, peristiwa

tersebut tetap digolongkan sebagai tindak pidana perkosaan.24

Perlukaan genital pada anak perempuan akibat kekerasan seksual

dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi perlukaannya, yaitu perlukaan

eksternal, internal dan anal. Perlukaan eksternal bila terjadi di labia

mayor, labia minor, area periuretral, perineum dan fourchette posterior.

Sedangkan dapat dikatakan perlukaan internal bila terjadi di fossa

21
navicularis, hymen, dan cervix vagina. Dikatakan perlukaan anal bila

terjadi pada anus dan rectum.26

Menurut Slaughter et al, perlukaan genital terjadi paling sering pada

bagian posterior fourchette, yaitu sebanyak 70%, pada labia minora

sebanyak 53%, pada hymen sebanyak 29%, dan fossa navicularis 25%.

Penelitian Jones et al juga mendapatkan bahwa 78% perlukaan mengenai

empat bagian genital diatas. Sedangkan menurut Grossin et al, 20%

perlukaan terjadi pada vulvo –vaginal (perlukaan pada organ genital

wanita bagian luar termasuk labia, klitoris, lubang vagina dan vagina),

11% perlukaan hymen, dan 7% perlukaan pada anal. Sebagian besar hasil

penelitian menyimpulkan bahwa fourchette posterior dan labia minora

merupakan lokasi perlukaan di organ genitalia paling sering.26,27

Perlukaan yang terjadi pada organ genital dapat berupa robekan,

ekimosis, abrasi, kemerahan dan pembengkakan jaringan. Robekan

didefinisikan bila adanya diskontinuitas jaringan, termasuk adanya fisura,

retakan, luka gores, luka potong, luka bacok dan luka cabik. Ekimosis

didefinisikan sebagai perubahan warna kulit dan membrane mukosa,

dikenal dengan istilah memar berwarna merah kebiruan karena pecahnya

pembuluh darah kecil diantara kulit dan membrane mukosa. Abrasi

didefinisikan sebagai ekskoriasi kulit karena hilangnya lapisan epidermis

dengan batas tegas. 26

Kemerahan pada kulit eritematous dikarenakan peradangan abnormal

karena iritasi atau perlukaan tanpa batas tegas.Pada perlukaan anal

22
terdapat pembengkakan disekitar lubang anus yang menandakan tanda

trauma akut dan menggambarkan penampakan edema. Hal ini diduga

karena terjadinya hipertrofi pada muskulus sfingter ani. Perlukaan yang

paling berat pada anus adalah dilatasi maksimal pada anus membentuk

huruf “O”.26,28

Selain itu dapat juga dilakukan pencarian perlekatan rambut kemaluan

pelaku dengan cara menyisir rambur kemualuan korban. Rambut lepas

yang ditemukan mungkin milik pelaku sehingga perlu dilakukan analisis

dan identifikasi lebih lanjut.24,29

c) Adanya sperma akibat ejakulasi

Ejakulasi yang dialami oleh pelaku dapat dibuktikan secara medik

dengan ditemukannya sperma pada liang senggama, sekitar alat kelamin

atau pada pakaian korban. Pemeriksaan sperma tersebut sangat penting

karena bukan hanya dapat mengungkapkan adanya persetubuhan tetapi

juga identitas pelakunya melalui pemeriksaan DNA. Dari pemeriksaan

sperma juga dapat diketahui golongan darah pelakunya.25

Adanya ejakulasi di dalam vagina merupakan tanda pasti adanya

persetubuhan. Pada pelaku yang mandul, jumlah spermanya sedikit sekali

(aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu

dalam air mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun nilai

persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang

mutlak atau tidak khas. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin

23
tercecer di TKP (Tempat Kejadian Perkara), misalnya pada sprei atau

kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet dan

akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.24,26

Perlu diketahui bahwa pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar

setiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml, yang mengandung sekitar 60 juta

sperma setiap mililiter dan 90% bergerak (motile). Sehingga sperma

masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam

setelah persetubuhan. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat

ditemukan (tidak bergerak) sampai sekitar 24-36 jam setelah

persetubuhan, sedangkan pada orang mati sperma masih dapat ditemukan

dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah persetubuhan.26

- Tanda tak langsung

a) Terjadinya kehamilan

Adanya kehamilan dapat dijadikan bukti tak langsung tentang adanya

persetubuhan, oleh sebab itu pada setiap korban kekerasan seksual juga

perlu diperiksa ada tidaknya kehamilan. Hanya saja untuk

menghubungkan apakah kehamilan itu sebagai akibat dari perbuatan

yang dilakukan tedakwa, perlu dilakukan pemeriksaan DNA. Ada

baiknya korban terus dimonitor jika pelaku mengalami ejakulasi. Jika

ternyata mengakibatkan kehamilan maka atas gugatan dari yang

bersangkutan, terhukum dari kasus tersebut dapat ditetapkan sebagai

24
ayahnya. Jika jumlah terhukum lebih dari satu orang tentunya

pemeriksaan DNA sangat membantu.24

b) Terjadinya penularan penyakit kelamin

Ketika mengevaluasi anak dan kebutuhan untuk skrining IMS (Infeksi

Menular Seksual), perlu diingat bahwa jika pelecehan seksual terjadi baru

– baru ini, hasil pemeriksaan akan cenderung negatif, kecuali anak

memang sudah terkena IMS sebelumnya. Jika paparan pelecehan dan

pemeriksaan dilakukan dalam hari yang sama, follow up dalam satu

minggu kemudian mungkin diperlukan untuk pengujian IMS.

Pemeriksaan infeksi menular sekunder pada anak yang telah mengalami

pelecehan seksual harusnya dilihat kasus per kasus, dan dapat dilakukan

dengan kondisi berikut:23,31 Anak dengan gejala atau tanda IMS seperti

keputihan.

- Pelaku yang memiliki IMS atau yang memiliki risiko tinggi tertular

- Prevalensi IMS yang tinggi di masyarakat

- Saudara kandung atau anggota rumah lainnya memiliki IMS

- Pasien atau orangtua yang meminta pemeriksaan

2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan adalah tindakan pelaku yang bersifat fisik

yang dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi.

Kekerasan seksual pada anak tidak hanya merugikan secara fisik, namun juga

secara psikologis karena kekerasan tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan

25
ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Oleh sebab itu, yang

perlu dicari selain tanda-tanda persetubuhan, yaitu adanya tanda-tanda

kekerasan fisik yang berada di luar alat kelamin, seperti cekikan di leher,

pukulan di kepala, dan lain sebagainya.24

Pada pemeriksaan mulut dan faring, perlu diperhatikan apakah terdapat

petechiae pada palatum atau posterior faring. Selain itu perlu juga memeriksa

tanda-tanda kekerasan lainnya seperti memar/jejas di kulit pada daerah yang

tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, bokong dan

genital. Terlebih pada kasus kekerasan seksual, perlu sekali diperhatikan

apakah terdapat tanda-tanda perlawanan seperti pakaian yang robek, bercak

darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan

perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan.

Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah beberapa waktu

kemudian. Gunting/kerok kuku korban kanan dan kiri, masukkan dalam

amplop terpisah dan diberi label untuk dilakukan analisis. Jika korban

mencakar pelaku maka ada kemungkinan di bawah kukunya ditemukan sel-sel

darah sehinga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui golongan darah serta

DNA pelaku.26

Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadisme maka ada

kemungkinan dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air liur di

sekitarnya. Pola jejas gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

identifikasi dengan cara mencocokannya dengan pola gigi dari orang yang

diduga sebagai pelakunya. Sedangkan air liur yang ditemukan di sekitarnya

26
dapat digunakan untuk mengetahui golongan darah (bagi yang bertipe sekretor)

atau DNA (sebab di dalam air liur terdapat sel-sel buccal yang lepas).24

Seringkali korban tindak pidana seksual berhasil menjambak rambut pelaku.

Oleh sebab itu perlu dicari di sela-sela jari tangan korban. Dari rambut tersebut

dapat diketahui suku bangsa, golongan darah, dan bahkan DNA asalkan pada

pangkal dari rambut tersebut ditemukan sel.24

Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari

penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari

kekerasan itu sendiri. Termasuk kekerasan disini juga penggunaan obat-obatan

yang dapat mengakibatkan korban tidak sadar. Oleh karenanya, perlu juga

memeriksa keadaan umum korban yang meliputi tanda-tanda bekas kehilangan

kesadaran / obat bius / needle marks. Serta perlu dicari pula racun dan gejala

akibat obat bius/racun pada korban.24,28

Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti

tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan, karena dengan berlalunya

waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, karena racun/obat bius telah

dikeluarkan dari tubuh. Bukti-bukti medik dapat digunakan untuk

menyimpulkan adanya kekerasan. Yang tidak dapat dibuktikan adalah ancaman

kekerasan, sebab pada ancaman kekerasan tidak ditemukan bukti-bukti

medik.24

27
3. Memperkirakan umur

Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur secara pasti. Pada

pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk

memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi, dasar berat badan, tinggi badan, bentuk

tubuh, dan ciri-ciri kelamin sekunder. Perkiraan umur digunakan untuk

menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun) khususnya

pada homoseksual/lesbian serta pada pelaku kasus kekerasan seksual. Sedangkan

pada kasus korban kekerasan seksual perkiraan umur tidak diperlukan.24

4. Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin

Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan,

pengertian pantas/tidaknya untuk kawin tergantung dari apakah korban telah siap

dibuahi yang artinya telah menstruasi. Bila dilihat Undang-Undang Perkawinan,

yaitu pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya diizinkan jika

pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun.24

 Pelaku, dengan tujuan untuk:

Sebetulnya pemeriksaan medik terhadap pelaku hanya diperlakukan apabila ia

menyangkal dapat melakukan persetubuhan karena impotensi. Seorang laki-laki yang

menderita impotensi tentunya tidak mungkin dapat melakukan persetubuhan, sehingga

tidak mungkin dituduh telah melakukan perkosaan. Dalam kaitannnya dengan

impotensi tersebut, dokter hanya dapat memastikannya jika ditemukan penyakit-

penyakit organik yang dapat mengakibatkan impotensi; seperti misalnya diabetes

mellitus, hernia scrotalis atau hydrocele. Impotensi juga dapat dialami laki-laki yang

28
sudah sangat tua. Yang agaknya sulit untuk dibuktikan adalah impotensi yang bersifat

psikik.24,27

Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus

diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Hal ini

dilakukan dengan cara menempelkan gelas objek pada glans penis (tepatnya sekeliling

korona glandis) dan segera dikirim untuk analisis secara mikroskopis.24

G. HUKUM KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIA

Bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti

pembunuhan, penganiayaan, maupun seksual, tetapi juga kekerasan non fisik, seperti

kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi. Sebagai bentuk perlindungan anak

anak di Indonesia, maka pembuat Undang-Undang, melalui perundang-undangan (hukum

positif), seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT), dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang secara mutlak memberikan berbagai bentuk perlindungan hukum yang berkaitan

dengan masalah perlindungan anak. terhadap tindak kekerasan seksual. Bentuk perlindungan

anak yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Sistem Peradilan Pidana Anak

merupakan adopsi, kompilasi, atau reformulasi dari bentuk perlindungan anak yang sudah

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.32

29
Perlindungan Hukum menurut KUHP

Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindungan bagi

anakterhadap kekerasan seksual, perlindungan terhadap anak ditunjukkan dengan pemberian

hukuman (sanksi) pidana bagi pelaku. Hal ini tercantum dalam KUHP pada pasal-pasal

dalam sebagai berikut:33

1. Masalah persetubuhan diatur dalam Pasal 287, Pasal 288, Pasal 291

2. Perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295,

Pasal 298

Jadi bentuk perlindungan hukum yang diberikan KUHP bagi anak terhadap kekerasan

seksual merupakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukanlah pertanggung

jawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih

tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual.33

 Pasal 286

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal

diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu

persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat

mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi

pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah

korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah

30
korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah

berada di bawah pengaruh obat-obatan.

Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau

tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena

dengan membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan dimana

persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh

pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-kasus tersebut Visum et Repertum harus

dapat membuktikan bahwa pada wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan

persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut

perkosaan, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP. Kejahatan seksual yang

dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan upaya apapun;

pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku

kejahatan seksual.

 Pasal 287

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas

tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum

sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal

294.

31
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut

undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi

sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang

bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan,

bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan. Tetapi keadaan akan berbeda jika:

a. Umur korban belum sampai 12 tahun

b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat

perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau

c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak tirinya,

muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau

bawahannya (KUHP pasal 294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada

pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada pemeriksaan akan

diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang pasti

tidak diketahui. Dokter perlu memperkirakan umur korban baik dengan

menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang

dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan,

melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan mengetahui

apakah menstruasi telah terjadi.

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya

atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun

atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan

yang belum pernah mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.

32
 Pasal 288

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling

lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan

dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat

tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal

sebab kematiannya.

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat

timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua

pengertian, yaitu pengertian secara biologis dan pengertian menurut Undang-

Undang. Secara biologis seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia

telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari

menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah.

Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas umur termuda bagi

seorang perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan adalah 16

tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa umur dari

perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288

KUHP.

33
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan

kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si perempuan maka

dalam hal ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan 287.

 Pasal 289

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun.”

 Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya

bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya

atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau

kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:

3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak

jelas yang bersangkutan atau belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan

atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan

dengan orang lain.

34
 Pasal 291

(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290

mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas

tahun

(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290

mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas

tahun.

 Pasal 292

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.”

 Pasal 293

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan

penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik

tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul

dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya

harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya

dilakukan kejahatan itu.

(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-

masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

35
 Pasal 294

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak

angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang

yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya

diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama:

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan

adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan

atau diserahkan kepadanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,

tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah sakit,

rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul

dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Dengan itu maka dihukum juga pegawai negeri yang melakukan perbuatan

cabul dengan orang yang di bawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan

kepadanya untuk dijaga, serta Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau

bujang di penjara, di tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah

piatu, RS jiwa atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul dengan

orang yang dimaksudkan di situ.

36
 Pasal 295

(1) Diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja

menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya,

anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum

dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,

pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya

atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja

menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut

dalam butir 1 di atas., yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum

dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

(2) Jika yang rs melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka

pidana dapat ditam sepertiga.

 Pasal 296

”Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain

dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling

banyak lima belas ribu rupiah.”

 Pasal 297

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam

dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

37
 Pasal 298

(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 –

290 dan 292 – 297, pencabutan hakhak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 5 dapat

dinyatakan.

(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 – 297

dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat

dicabut.

 Pasal 299

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya

diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena

pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu

rupiah.

(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia

seorang tabib, bidan atau juru obat, pidmmya dapat ditambah sepertiga

(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan

pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.

Perlindungan Hukum menurut Undang – undang Perlindungan Anak

Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan pada anak, pemerintah juga

telah memfasilitasi berdirinya lembaga independen yang berfungsi untuk mengontrol

38
keamanan, kenyamanan dan terpenuhinya hak-hak anak yaitu dengan adanya Komisi

Perlindungan Anak Indonesia.34

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak juga memberikan perlindungan bagi anak yang diatur. Undang-

undang ini berfungsi untuk pemberian perlindungan khusus bagi hak-hak anak dari

berbagai macam kekerasan dalam hal ini tindak kekerasan seksual.32

Secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

menyebutkan bahwa, setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:32

1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik

2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure kekerasan

5. Pelibatan dalam peperangan

6. Kejahatan seksual

UU RI. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak35

 Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( limabelas ) tahun dan paling

39
singkat 3 ( tiga ) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh

juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap

orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.

 Pasal 82

“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 ( tiga ) tahun

dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

sedikitRp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). “

Pada undang – undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua,

keluarga, masyarakat, dan negara merupakanrangkaian kegiatan yang dilaksanakan

secara terus – menerus demi terlindungi hak – hak anak. Upaya perlindungan anak

perlu dilaksanakan sedini mungkin yakni sejak janin dalam kandungan sampai anak

berumur 18 ( delapan belas tahun ). Sedangkan pada kasus ini pelaku sebagai ayah tiri

korban bukannya melindungi anak, malah berbuat sebaliknya.

40
UU RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.36

 Pasal 54

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan

perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan

lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama

pesertapendidik, dan/atau pihak lain.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik,

tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Perlindungan yang diberikan yang dimaksudkan bahwa setiap anak dalam

lingkungan pendidikan yaitu sekolah berhak mendapatkan perlindungan dari pihak

yang terkait dengan masalah perlindungan anak. Pada hakikatnya sekolah merupakan

tempat anak-anak untuk mendapatkan haknya untuk belajar dan menuntut ilmu

setinggi-tingginya, dengan demikian demi tercapainya hak anak di sekolah atau

lingkungan pendidikan maka anak-anak perlu di lindungi dari berbagai tindak

kekerasan khususnya tindak kekerasan seksual. Karena sekarang ini banyak anak-

anak yang mengalami tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yaitu

sekolah.

 Pasal 64A dan 71D

Selanjutnya dalam hal anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan

seksual, dalam hal ini Undang-Undang ini memberikan perlindungan khusus dalam

hal pemulihan korban yang diatur dalam Pasal 64A serta pengajuan ganti rugi

41
(restitusi) terhadap diri korban secara langsung yang ditanggungkan kepada pelaku

tindak kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 71D.

 Pasal 76A, 76D dan 76E

Selanjutnya dalam Undang-Undang ini berisi tentang larangan-larangan

melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak anak yang diatur dalam BAB XIA

yang terdiri dari Pasal 76A, 76D yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilarang

dilakukan terhadap anak. Khusus untuk larangan melakukan tindak kekerasan

seksual diatur dalam Pasal 76D dan 76E.

- Pasal 76A

“Setiap orang dilarang:

a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak

mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga

menghambat fungsi sosialnya; atau

b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif. “

- Pasal 76D

“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. “

- Pasal 76E

“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. “

Untuk selanjutnya ketika terdapat orang yang melanggar larangan yang ada,

melakukan kejahatan serta melanggar hakhak anak pada larangan yang telah diatur

42
diatas dalam hal ini melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak maka terhadap

orang tersebut akan dikenakan sanksi (hukuman) pidana untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah diatur dalam Pasal 81 dan Pasal

82 pada BAB XII tentang Ketentuan Pidana dalam undang-undang ini.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dimana, ketentuan Pasal 81 diubah sehingga

berbunyi sebagai berikut:37,38

 Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap

orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

43
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah

dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan

korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,

penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban

meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara

paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4),

dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman

identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai

tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama

dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A

yang berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 81A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka

waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani

pidana pokok.

44
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan

secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah

dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan

korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,

penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban

45
meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat

(4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4)

dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi

elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama

dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang

berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 82A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama

dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan

secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan

Peraturan Pemerintah

Oleh karena pemberian sanksi (hukuman) dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 sendiri dirasa belum mampu menanggulangi terjadinya tindak kekerasan seksual

terhadap anak dengan melihat kenyataan seperti banyaknya contohkasus yang telah

46
dipaparkan diatas, sehingga diperlukan dilakukannya perubahan atau revisi dengan

melakukan penambahan, pengurangan bahkan penghapusan beberapa pasal dalam ini

yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perubahan terjadi

pada pemberian sanksi (hukuman) pidana bagi pelaku tindak kekerasan seksual yang

awalnya diancam dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun penjara dan paling lama 15

(lima belas) tahun penjara serta denda paling Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

diubah menjadi paling singkat 5 (lima) tahun penjara dan paling lama 15 (lima belas)

tahun penjara serta denda Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).32

UU RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT)37

Undang-Undang KDRT merupakan bentuk perundang-undangan hukum positif

Indonesia yang didalamnya mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga yang salah satu tujuannya memberikan perlindungan bagi anak selain perempuan.

 Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa bahwa anak merupakan bagian dari

rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.

47
 Pasal 5 yang secara tegas mengatur adanya larangan kekerasan seksual dalam rumah

tangga (anak) dan berbunyi, Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam

rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. Kekerasan fisik

b. Kekerasan psikis

c. Kekerasan seksual

d. Penelantaran rumah tangga

Pemberian perlindungan korban kekerasan seksual dalam rumah tangga diatur

dalam BAB VI tentang Perlindungan dan pengaturan dalam hal ini anak adalah korban.

 Pasal 27 berbunyi :

“Dalam hal korban adalah anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,

pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan yang berlaku”.

Diatur juga Pasal 46, Pasal 47dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam hal pemberian

hukuman pidana (sanksi) terhadap mereka yang melakukan tindak kekerasan seksual

dalam lingkup rumah tangga (anak) yang dalam hal ini memberikan perlindungan bagi

korban (anak).

UU RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 30

Anak korban kekerasan seksual juga mendapatkan perlindungan di dalam proses

peradilan menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

48
Anak. Di dalamnya terdapat Pasal-Pasal mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak

korban dalam proses beracara diantaranya:

 Pasal 18

“ Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing

Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial,

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum

lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan

suasana kekeluargaan tetap terpelihara.”

 Pasal 19

(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam

pemberitaan di media cetak ataupun elektronik

Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak

Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat

mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

H. DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak

maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap

karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih

sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak

korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit

mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain

itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami

49
konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan

peristiwa kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu

terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa

bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga. Dampak pelecehan seksual yang terjadi

ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa

ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Tindakan kekerasan seksual

pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya.17

1. Secara Emosional

Anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami stress, depresi, goncangan

jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan

dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual,

mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan

penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri,

disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik,

dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress

disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan

gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa,

bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak.

2. Secara Fisik

Anak dapat mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak

nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular

seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak

50
diinginkan dan lainnya. Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota

keluarga adalah bentuk incest, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan

trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.

3. Dampak Jangka Pendek

Anak yang mendapat kekerasan seksual, dampak jangka pendeknya akan

mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan

konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan.

4. Dampak Jangka Panjang

Anak yang mendapat kekerasan seksual, jangka panjangnya adalah ketika

dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan yang

parahnya lagi dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan

seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang

dilakukan kepadanya semasa kecilnya.

Finkelhor dan Browne mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat

kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:17

1. Pengkhianatan (Betrayal)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.

Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan

kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan

otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.

2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization)

Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual

cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi

51
korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor mencatat bahwa

korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak

dapat dipercaya.

3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan

kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak

berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak

mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit

pada tubuhnya.

4. Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri

yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan

merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak

sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban

marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya

menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,

menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut.

52
BAB IV

KESIMPULAN

Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai

penerus generasi di masa mendatang. Terdapat undang-undang yang mengatur

tentang hak anak yaitu, UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

pasal 1 (2) “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang

No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “anak adalah setiap manusia yang

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak

yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) adalah “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur

(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun,

hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan

kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun atau

memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana

apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran

tersebut.”

Kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam

segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur

53
tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang

dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki

pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau

aktivitas seksual.

Dari penelitian yang dilakukan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

menyatakan bahwa data korban dari kekerasan seksual yang masuk ke IGD RSUP

dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, mayoritas adalah wanita, usia remaja, jenis

kasusnya adalah pemerkosaan anak di bawah umur, distribusi luka terbanyak pada

selaput dara, berprofesi sebagai pelajar, dan pelakunya adalah orang yang tidak

dikenal.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang

biasanya dibagi kedalam dua kategori berdasar identitas pelaku, yaitu familial

abuse (penganniayaan, perkosaan, serta perkosaan secara paksa) dan extra

familial abuse. Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menjadi pemicu

terjadinya kekerasan seksual pada anak yaitu psikopatologi, seseorang memiliki

pengalaman terhadap perilaku orang tua yang buruk, seseorang yang memiliki

masalah dengan pasangannya, seseorang yang memempunyai stressor, seseorang

dengan isolasi sosial, seseorang yang memiliki kesalahan ekspektasi atau

pandangan terhadap leel perkembangan anak, dan lainnya.

Terdapat dua aspek yang berbeda untuk mengumpulkan informasi dari

anak dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak, yaitu anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesis terdapat beberapa hal psikologis yang harus

diperhatikan yaitu dengan cara yang berbeda dengan menempatkan diri di pihak

korban, tanya perlahan, dan juga memberikan pertanyaan yang terbuka kepada

korban, serta bairkan korban bercerita atau menggambarkan kejadian tersebut.

54
Pada pemeriksaan fisik petugas kesehatan harus didampingi oleh petugas

kesehatan lainnya. Terdiri dari pemeriksaan head to toe ditambah dengan inspeksi

daerah anogenital.Sebagai fungsinya dalam bidang penyelidikan, ilmu kedokteran

forensik pada kasus kekerasan seksual berguna untuk melakukan pemeriksaan

terhadap korban (melihat apakah ada tanda tanda persetubuhan baik langsung

ataupun tak langsung, dan juga melihat apakah ada kekerasan benda tumpul pada

korban), pada pelaku (memastikan temuan temuan yang ada di korban merupakan

bukti temuan dari pelaku tersebut).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada

anak maupun pada orang dewasa. Kekerasan seksual lebih sulit bila terjadi pada

anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa

dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga

merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya dan juga anak cenderung takut

melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang

lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa

kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi

karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa

bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.

Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya

powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika

mengungkap peristiwa pelecehan seksual. Yang kemudian akan berdampak baik

dalam jangka pendek ataupun jangka panjang, secara emosional, fisik, maupun

psikologi.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Sari R., Nulhaqim S.A., Irfan M., Pelecehan Seksual Terhadap Anak,

Prosiding KS: Riset & PKM Pustaka Ilmiah Universitas Padjajaran., 2016; 2

(1); 14-18.

2. Wiraagni I. A., Widihartono E., Karakteristik kasus pada Visum et Repertum

di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014-2016, Departemen Ilmu

Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UGM. 2016

November; 6 (2); 163-169.

3. Puryatni A, Sadjimin T. Pola perkembangan seksual sekunder pada pelajar

putri sekolah dasar di kotamadya Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran.

2002; 34(4); 250-1.

4. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIV KUHP,

tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.

5. Suyanto B, Sanituti S. Jurnal Studi Gender dan Anak.2002:114

6. Tower, Cynthia Crosson, 2002, Understanding Child Abuse and Neglect.

Boston: Allyn & Bacon.

7. Noviana I. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial: Kementerian Sosial RI. 2014.

8. Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Sekertariat Negara. Jakarta.

9. Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36

Tahun 1990 tentang Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Sekertariat Negara.

Jakarta.

56
10. Republik Indonesia. 1999.Undang-Undang Dasar No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Sekertariat Negara. Jakarta.

11. Kesowo B. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. Sekretaris Negara

Republik Indonesia: Jakarta. 2002.

12. Hegazy AA, Al-Rukban MO. Hymen: Facts and conceptions. theHealth:

Egypt. 3(4). 2012. p.109-115.

13. Yang C C, Ginger V A T. Functional anatomy of the female sex organs.

Harborview Medical Center: Seattle. 2011. p.13-20.

14. Gambar: Women’s Health Throughout The Lifespan. Anatomy and

Physiology of the Reproductive System. Available at:

http://downloads.lww.com/wolterskluwer_vitalstream_com/sample-

content/9780781787222_Ricci/samples/10995-03_UT2-CH03.pdf. Accessed

by: 17th November, 2017. p. 13-6.

15. Sudirgayasa IG. Sistem Reproduksi Pria. Available at:

https://sudirgayasa.files.wordpress.com/2014/11/sistem-reproduksi-pria.pdf.

Accessed by: 17th November, 2017.

16. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Tingkatkan Kerjasama dan

Kewaspadaan Kekerasan pada Anak. Jakarta. 2017

17. Ivo Noviana, 205, Kekerasan Seksual Terhadap Anak : Dampak Dan

Penanganannya Child Sexual Abuse : Impact and Handling. Sosio Informa

Vol. 01, No. 1, Januari – April 2015.

18. Maslihah, Sri., 2006, “Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan

Dampak Jangka Panjang”. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.I

(1).25-33.

57
19. Ball, Jane.Principles of Pediatric Nursing : Caring for Children.5th Edition.

New Jersey:Pearson Education Inc. 2012

20. Mother and Baby. 2014. Kenali Tipe Penjahat Kekerasan Seksual Anak.

https://www.motherandbaby.co.id/article/2014/4/11/1977/Kenali-Tipe-

Penjahat-Kekerasan-Seksual-Anak, diakses pada 17 November 2017.

21. KPKpos.com. 2014. Stop! Kekerasan pada Anak. http://kpkpos.com/stop-

kekerasan-pada-anak/ diakses pada 17November 2017.

22. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in

Hong Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine

University of Hongkong. 2007

23. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman bagi dokter dan

penegak hukum. Badan penerbit universitas diponegoro semarang. 2007

24. Herrmann B, Banaschak S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R: Physical

examination in child sexual abuse— approaches and current evidence. Dtsch

Arztebl Int 2014; 111: 692–703.

25. Sommers, MS, 2007,Defining Patterns of Genital Injury from Sexual Assault.

University of Pennsylvania School of Nursing. Trauma, Violence, & Abuse.

2007 (July); 8

26. McLean I, Roberts S, White C, Paul S. Female genital injuries resulting from

consensual and non-consensual vaginal intercourse. Forensic Science

International. 2011;204(1-3):27-33.

27. C J Hobbs & J M Wynne.Sexual Abuse of English Boys and Girls :The

Importance of Anal. Examination. Child Abuse and Neglect. 1989; 13

28. Bakti Husada. Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi

Petugas
58
Kesehatan.Available:http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/do

wnloads/2011/01/Pedoman-Rujukan-Kasus-KtA-Bagi-Petugas-

Kesehatan.pdf

29. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. . Sekretariat Negara. Jakarta

30. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of

sexual violence. Library Catologuing Publication Data: Geneva; 2015.h.82-

90.

31. Anastasia Hana Sitompul, 2015, Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan

Seksual terhadap Anak, Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015.

32. Prawestiningtyas e. Kekerasan pada anak dan aspek medikolegal dalam

perhimpunan dokter forensik indonesia the indonesian association of forensic

medicine. Departemen ilmu kedokteran forensik fakultas Kedokteran

universitas brawijaya. July 2017

33. Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang RI. Nomor 23 tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak. Sekertariat Negara. Jakarta

34. Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. Sekertariat Negara. Jakarta

35. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No.23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sekretariat Negara. Jakarta

36. Republik Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

59
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.

Sekertariat Negara. Jakarta.

60

Anda mungkin juga menyukai