Disusun Oleh :
Dosen Penguji:
dr. Arif R.Sadad, Sp.KF
Pembimbing:
dr. Stephanie Renni Anindita
Disusun Oleh :
Dosen Penguji:
dr. Arif R.Sadad, Sp.KF
Pembimbing:
dr. Stephanie Renni Anindita
Nama/NIM
Silvani Dania 11.2015.384
Ruth Putri Thauladan Kuncoro 11.2015.208
Letidebora Enjuvina Tamabawan 11.2015.371
Constantia Evalin Kwandang 11.2015.365
Dian Nurul Hikmah 11.2015.267
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan referat
Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal, mengenai Kekerasan
terhadap anak dan perempuan Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam
menempuh Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Arif R.Sadad, Sp.KF. selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
dosen penguji.
2. dr. Stephanie Renni Anindita selaku residen pembimbing yang telah
berkenan membimbing selama proses penyusunan laporan referat ini.
3. Orang tua yang telah membantu dalam bentuk dana dan doa.
4. Teman-teman sejawat yang telah memberikan dorongan dan masukan
dalam mencari informasi untuk menyelesaikan referat ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, namun
diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami lebih lanjut tentang
Kekerasan terhadap anak dan perempuan Kami mengharapkan adanya saran-
saran atas penulisan referat ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi kita di
kemudian hari. Terima kasih.
Penulis
4
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB I
PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan
ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan
malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya,ada anak yang disiksa orangtuanya
atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan ada saja
gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan, Setiap menit ada saja anak yang
ditelantarkan orangtuanya karena kesibukan karier, kemiskinan, atau sekedar
egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba.
Umumnya mereka mati perlahan-lahan. Mereka tidak muncul dalam media
karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan polisi.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi. Data
laporan K3JHAM selama tahun 2000 di Kota Semarang terjadi 29 kasus
perkosaan yang terpublikasi, jumlah tersebut terbesar terjadi di antara 29
kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terlaporkan perempuan. Kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terpublikasi 26 kasus. Demikian juga kasus kekerasan
terhadap anak secara kualitatif dilaporkan oleh Unicef sering terjadi di Kota
Semarang baik di rumah, di sekolah maupun di komunitas. (www.semarang.go.id
edisi Kamis, 06 Juli 2006).
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan secara sengaja kekuatan
fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang
lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau
kemungkinan besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis,
pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. (Kusworo, Danu. 2006 : 1).
Penggunaan kata kekuasaan di dalam definisi kekerasan bertujuan untuk
memperluas pemahaman tentang kekerasan dan memperluas pemahaman
konvensional tentang kekerasan dengan memasukkan juga tindakan-tindakan
kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan, termasuk di dalam
ancaman dan intimidasi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik
membahas masalah kekerasan pada anak.
6
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu
lugu
Kemiskinan keluarga (banyak anak).
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu
dalam jangka panjang.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan
mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted
Child)atau anak lahir diluar nikah.
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering
memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama.
Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi
pemicu kekerasan terhadap anak
Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
9
menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah
diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun
dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional
abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-
18 tahun (0.9%)Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua
terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering
membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang
lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan
seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri,
hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang
telah dikenal anak seperti keluarga, tetangga, guru maupun
temansepermainannya sendiri.Kasus pelecehan eksual: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk
kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma
mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual
terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, baik ada atau
tidaknya hubungan antara korban dan pelaku kekerasan. Pembedaan aspek fisik
dan seksual dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan
yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.
3. Kekerasan psikologi
Pada kekerasan psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih
menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk
dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi.
Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur.
12
Sekal]ipun tindak kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan, karena dapat
merusak kehormatan seseorang, melukai harga diri seseorang, merusak
keseimbangan jiwa, namun kekerasan psikologis tidak akan merusak organ tubuh
bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya, tindakan
kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian.
4. Kekerasan ekonomi
Yaitu dimisalkan dengan seorang suami mengontrol hak keuangan isteri,
memaksa atau melarang isteri bekerja untuk memenuhi kebutuhan seharihari
keluarga, serta tidak memberi uang belanja, memakai/ menghabiskan uang isteri
(Martha, 2003:45-48).
2.8 Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat.
Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI)
terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana pada tahun 2013
jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika dibandingkan dengan
tahun 2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat, telah terjadi 1.620 kasus
kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik
(sebesar 30%), 313 kasus kekerasan psikis (sebesar 19%), dan yang terbanyak
adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 817 kasus (sebesar 51%). Pada hasil
rekapitulasi akhir data korban kekerasan terhadap anak, yang tercatat oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2013 telah terjadi 209 kasus kekerasan fisik, 163 kasus kekerasan
psikis, dan 636 kasus kekerasan seksual.
13
Dampak dari kekerasan secara fisik dapat mengakibatkan organ-
organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, trauma
pada korban, kecacatan, bahkan dapat mengakibatkan korban meninggal.
2. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat berupa rasa takut, rasa tidak aman,
gelisah, dendam, menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi,
menjadi pendiam, serta mental anak menjadi lemah, menurunnya rasa
percaya diri, bahkan depresi. Dampak psikologi dapat dibagi menjadi
ringan, sedang, dan berat. Dampak psikologi ringan seperti resistensi
terhadap lingkungan. Dampak psikologi sedang seperti pendiam, menutup
diri atau dikenal dengan introvert. Dampak psikologi yang berat seperti
bunuh diri.
3. Dampak seksual
Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-
simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi,
emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Finkelhor dan Browne
(dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat
kekerasan seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan
seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan
itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas
orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai
konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
14
3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan
kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak
berdaya mengakibatkan individu merasa lemah.
4) Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan
untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang
lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang
dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol
untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut.
Gangguan Sosial PTSD :
- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami
serangan panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang
mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan
yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik
dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar, berkeringat,
gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa kedinginan,
badan panas, mati rasa.
- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat
mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang
penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari
dengan trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi
trauma yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga
penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh
orang lain jika harus keluar rumah.
15
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma
dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar,
perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang
dialami merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
16
penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan
orang lain di rumah dan di tempat terapi.
1. Lethargy / coma
Kelesuan dan koma terjadi pada banyak penyakit metabolik, sering
terjadi secara episodik, dan tampaknya berasal dari penganiayaan anak.
Contoh: Aciduria glutarik tipe 1: penyakit ini menyebabkan episode koma
berulang, kadang disertai dengan hematoma subdural atau perdarahan
retina, tampak seperti kasus pelecehan anak yang jelas. Orangtua
menggambarkan apa yang terjadi pada kasus asiduria glutarik tipe 1
dimana anak tersebut mengalami koma dan hematoma subdural.
17
penganiayaan anak sering dicurigai. Petechiae dan purpura harus
dicari sebagai bukti adanya masalah koagulasi lainnya.
Penyebab mekanis perdarahan: adanya ruang hidrosefalus atau
subarachnoid eksternal dikaitkan dengan perdarahan subdural dan
perdarahan retina, tampaknya dengan hidrosefalus eksternal sebelum
pendarahan. Hidrosefalus eksternal terjadi pada aciduria glutarik tipe
1, yang kemungkinan besar akan menjadi bingung dengan
penganiayaan anak karena episode kelesuan atau koma yang
berulang.
Penyakit menkes: aneurisme berkembang dan menjadi predisposisi
hematoma subdural, sehingga meniru sindrom bayi yang terguncang.
Sindrom Marfan: menurut beberapa laporan ada kecenderungan
memar pada penyakit Marfan akibat kerapuhan pembuluh darah,
meski ada yang memar memar yang sering jatuh. Seorang ibu
menggambarkan dituduh MSBP karena beberapa keluhan dan
memarnya yang berusia dua tahun.
Gangguan jaringan ikat: beberapa gangguan seperti sindrom Ehlers-
Danlos dapat menyebabkan kelemahan pembuluh darah, yang
menyebabkan perdarahan. Contoh di mana diagnosis sindrom bayi
terguncang yang salah dibuat awalnya dijelaskan oleh Dr. Heskel
Haddad.
Kelainan struktural: lokasi atau ukuran anal abnormal yang kongenital
dapat menyebabkan sembelit dan perdarahan rektum yang
diakibatkan, yang menyebabkan kekhawatiran tentang
penyalahgunaan.
3. Failure to thrive
Kelalaian atau pelecehan sering dipertimbangkan jika seorang
anak gagal menambah berat badan. Hal ini juga dapat menyebabkan
kerapuhan tulang, menyebabkan patah tulang yang memberikan temuan
kedua yang menyerupai temuan dalam penganiayaan anak. Hal ini lebih
18
cenderung terjadi pada sindrom langka yang kemungkinan besar tidak
akan dikenali oleh profesional medis. Contoh: Sindrom Dubowitz: Sharon
Terzian dari kelompok Dukungan Sindrom Dubowitz menceritakan
bahwa orang tua dari anak-anak dengan Sindrom Dubowitz kadang-
kadang diselidiki karena kegagalan anak berkembang. Meskipun retardasi
pertumbuhan sering kali bersifat intrauterine, terkadang hal ini hanya
mengubah waktu selama pelecehan dicurigai mencakup masa kehamilan.
4. Immunodeficiency
Seorang anak dengan banyak penyakit dapat dianggap
terbengkalai atau sengaja terinfeksi.
19
rakhitis menyebabkan banyak orang non-medis menganggap
masalahnya adalah nutrisi.
Penyakit tulang prematur
Sindrom Ehlers-Danlos dan gangguan jaringan ikat lainnya
Rickets karena kekurangan vitamin D
Scurvy (kekurangan vitamin C): sangat mencurigakan karena memar
juga sering terjadi
Kekurangan tembaga dan penyakit Menkes: sangat mencurigakan
karena sering terjadi hematoma subdural pada penyakit Menkes dan
kejang.
Mewarisi sistemik hyalinosis: Shieh et al. Mengaitkannya dengan
"reaksi atau fraktur Periosteal pada radiograf skeletal pada hyalinosis
sistemik telah salah untuk trauma nonaccidental.
Ketidakpekaan bawaan terhadap rasa sakit, di mana dijelaskan bahwa
"dalam beberapa kasus, orang tua hampir menyingkirkan anak-anak
mereka karena diduga melakukan pelecehan anak-anak".
7. Repeated injuries
Banyak penyakit dan obat-obatan menghasilkan ketidakpekaan
terhadap rasa sakit, dengan kasus anak-anak melanggar tulang tapi tidak
melaporkan rasa sakit pada saat cedera dan kecurigaan jatuh pada
pengasuh. Orangtua anak-anak dengan neuropati sensori dan neuropati
turun-temurun telah diselidiki karena penganiayaan anak-anak.
8. Mutism
Penyakit seperti mutasi selektif dan obat-obatan dapat
menghasilkan mutisme yang ditafsirkan sebagai bukti pelecehan anak.
b. Peran Masyarakat
Berkaitan dengan peran masyarakat oleh media massa harus
dilakukan dengan bijaksana demi perlindungan anak karena dalam
22
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
ditegaskan Pasal 64, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi. Artinya dalam hal ini
seharusnya masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan
korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi
korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian
buruk kepada korban. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah
satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap
masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat.
c. Peran Negara
Peran negara tentu paling besar dalam penanganan kekerasan
seksual terhadap anak. Sebab, pada hakikatnya negara memiliki
kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta
masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk
dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai
generasi penerus. Oleh karena itu, Pemerintah bertanggung jawab
untuk melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual yang
terjadi pada anak-anak. Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah
ada jaminan peraturan yang mampu melindungi anak, namun fakta
membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak
dari tindakan kekerasan seksual. Oleh karena itu, upaya yang harus
menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak dari
tindakan kekerasan seksual adalah melalui reformasi hukum. Spirit
untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma
pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-
centred approach) berbasis pendekatan hak. Usaha-usaha yang
rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan sudah
barang tentu tidak hanya dengan menggunakan hukum pidana, tetapi
dapat juga menggunakan sarana yang non hukum pidana.
23
Penanggulangan secara hukum pidana yaitu penanggulangan
setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan,
dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali.
Penanggulangan secara hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal
merupakan penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi
pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang lain
tidak melakukan kejahatan. Berlakunya sanksi hukum pada pelaku,
maka memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada korban
perkosaan anak di bawah umur ataupun perlindungan terhadap calon
korban. Ini berarti memberikan hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya atau dengan kata lain para pelaku diminta
pertanggungjawabannya. Upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua.
Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan
sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu
digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan
bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang.
Terkait kekerasan seksual dengan anak sebagai korbannya,
perlu adanya upaya preventif dan represif dari pemerintah. Upaya
preventif perlu dilakukan dengan dibentuknya lembaga yang berskala
nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak
kekerasan seperti perkosaan. Koordinasi dengan pihak kepolisian harus
dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika
mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog,
ahli hukum dan dokter. Secara represif diperlukan perlindungan hukum
berupa:
1. Pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan
kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, serta
penggantian atas biaya yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi
tersebut
24
2. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang
mengalami trauma berupa rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan kondisi psikis korban semula
3. Pelayanan / bantuan medis, diberikan kepada korban yang
menderita secara medis akibat suatu tindak pidana seperti
perkosaan, yang mengakibatkan penderitaan fisik
4. Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat informasi
mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim.
5. Perlindungan yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat.
Kesaksian ahli psikiatri akan dimintakan apabila pada salah satu pihak
yang berperkara diduga terdapat gangguan jiwa. untuk hal tersebut, diperlukan
batasan antara keadaan normal dan tidak normal ditinjau dari aspek psikiatri.
sebenarnya untuk menentukan seseorang normal atau tidak adalah suatu
hal yang tidak mudah. normal tidaknya seseorang bukanlah sesuatu yang
merupakan gambaran untuk suatu saat dan suatu tempat tertentu, tetapi merupakan
sesuatu yang bersifat relative.
dalam ilmu psikiatri, seseorang dianggap normal apabila ia masih
menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
mampu memenuhi tuntunan lingkungannya sesuai dengan norma dan nilai
lingkungan tersebut, serta menunjukkan produktifitas yang wajar. kriteria normal
ini masih harus dipertimbangkan dari aspek umur, tempat, dan jangka waktu.
dari segi seni (artistic) ada suatu ungkapan bahwa seseorang masih
dianggap normal apabila masih dapat menikmati kesenian, pekerjaan dan cinta.
didalam kehidupan sehari-hari diluar bidang kedokteran banyak terjadi kesulitan
didalam menilai normal tidaknya seseorang. secara sederhana, untuk memudahkan
penilaian tersebut dapat dipakai beberapa patokan :
1. patokan masyarakat
masyarakat mempunyai kaidah, norma, atau nilai yang dapat dipakai
25
sebagai pegangan apakah perilaku seseorang dianggap normal atau tidak.
perlu diingat bahwa kaidah dan norma tersebut hanya berlaku bagi mereka
yang merupakan warga dari masyarakat tersebut. sangat mungkin kelomok
masyarakat lain mempunyai norma dan nilai yang berbeda. dengan
demikian, seuatu perilaku yang bagi suatu kelompok suatu masyarakat
dianggap tidak normal, bagi masyarakat lain dianggap normal. walau
bagaimanapun suatu perilaku yang dianggap normal atau tidak normal
bagi seluruh masyarakat dimanapun.
2. patokan individu
setiap individu mampu memahami dan merasakan sesuatu pada dirinya
yang berubah atau tidak berjalan seperti biasanya. keadaan ini yang oleh
individu tersebut sebagai tidak seperti semestinya dapat dianggap
sebagai pertanda bahwa individu tersebut merasakan sesuatu yang
abnormal pada dirinya. bagi masyarakat yang inndividu tersebut
merupakan naggotanya, individu tersebut sudah dikenal dengan segala
perilaku dan kebiasaan-kebiasaannya. perilaku dan kebiasaan yang
umumnya diperlihatkan oleh individu tersebut oleh masyarakatnya.
pennyimpangan dari kebiasaan umum dipakai oleh masyarakat sebagai
pertanda bahwa individu tersebut menunjukkan abnormalitas.
3. patokan klinis
dari segi ilmu kedokteran telah ditemukan banyak sekali kriteria-kriteria
normal dari semua organ-organ tubuh manusia beserta aspek psikologi dan
social. telah ditemukan juga berbagai macam hal yang bersifat patologik
baik dari segi fisik organic, psikologik, maupun social. dari segi klinis,
seseorang dianggap abnormal apabila dalam pemeriksaan ditemukan
adanya gejala patologis.
4. patokan melalui pemeriksaan tambahan
walaupun pemeriksaan klinis telah dilakukan dengan seksama, seringkali
masih perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan laboratoorium, radiologis, dan pemeriksaan bantuan lalinnya.
dalam praktik sehari-hari, patokan kemasyarakatan dan patokan individu
dapat dipakai sebagai petunjuk normal tidaknya seseorang. oleh karena petunjuk
26
ini merupakan indicator yng lemah maka untuk pemastiannya diperlukan
pemeriksaan klinis beserta pemeriksaan tambahan lainnya.
satu konsep yang pada saat ini dijadikan suatu pegangan psikiater di
Indonesia adalah konsep eklektik holistic. konsep ini memandang manusia
sebagai satu kesatuan integral dari unsur-unsur organoibologik, psikoedukatif, dan
sosiokultural. dari ketiga unsur inilah dapat tercetus gangguan jiwa; dengan
perkataan lain gangguan jiwa merupakan multi-faktorial (holistic). apabila telah
ditemukan suatu gangguan jiwa, selanjutnya disarankan untuk menentukan salah
satu faktor yang dapat dianggap merupakan faktor utama sedangnkan faktor lain
merupakan faktor tambahan (eklektik).
dari konsep eklektik holistic ini dapat digambarkan bahwa gangguan jiwa
dilandasi oleh faktor-faktor dasar yang biasanya merupakan faktor organobiologik
atau psikoedukatif; yang kemudian menjadi manifest (menampakkan gejalanya)
karena dipicu oleh faktor stressor social yang merupakan faktor pencetus.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
indikasi psikiatri forensic
darmabrata wahjadi, nurhidayat adhi, Psikiatri Forensik. penerbit buku kedokteran
EGC.2003. hal 7-8
29