Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN

Disusun Oleh :

Silvani Dania 11.2015.384

Ruth Putri Thauladan Kuncoro- 11.2015.208

Letidebora Enjuvina Tamabawan- 11.2015.371

Constantia Evalin Kwandang -11.2015.365

Dian Nurul Hikmah -11.2015.267

Dosen Penguji:
dr. Arif R.Sadad, Sp.KF

Pembimbing:
dr. Stephanie Renni Anindita

Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal


RSUP dr.Kariadi Semarang
PERIODE 9 OKTOBER - 4 NOVEMBER 2017
REFERAT

KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN

Disusun Oleh :

Silvani Dania 11.2015.384

Ruth Putri Thauladan Kuncoro- 11.2015.208

Letidebora Enjuvina Tamabawan- 11.2015.371

Constantia Evalin Kwandang -11.2015.365

Dian Nurul Hikmah -11.2015.267

Dosen Penguji:
dr. Arif R.Sadad, Sp.KF

Pembimbing:
dr. Stephanie Renni Anindita

Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal


RSUP dr.Kariadi Semarang
PERIODE 09 OKTOBER 04 NOVEMBER 2017
2
HALAMAN PENGESAHAN

Telah Disetujui oleh Dosen Pembimbing referat dari :

Nama/NIM
Silvani Dania 11.2015.384
Ruth Putri Thauladan Kuncoro 11.2015.208
Letidebora Enjuvina Tamabawan 11.2015.371
Constantia Evalin Kwandang 11.2015.365
Dian Nurul Hikmah 11.2015.267

FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS : UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

BAGIAN : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


JUDUL : Kekerasan terhadap anak dan perempuan
Dosen Penguji : dr. Arif R.Sadad, Sp.KF
Dosen Pembimbing : dr. Stephanie Renni Anindita
Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik.

Semarang, Oktober 2017


Dosen Penguji,

dr. Arif R.Sadad, Sp.KF

3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan referat
Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal, mengenai Kekerasan
terhadap anak dan perempuan Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam
menempuh Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Arif R.Sadad, Sp.KF. selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
dosen penguji.
2. dr. Stephanie Renni Anindita selaku residen pembimbing yang telah
berkenan membimbing selama proses penyusunan laporan referat ini.
3. Orang tua yang telah membantu dalam bentuk dana dan doa.
4. Teman-teman sejawat yang telah memberikan dorongan dan masukan
dalam mencari informasi untuk menyelesaikan referat ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, namun
diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami lebih lanjut tentang
Kekerasan terhadap anak dan perempuan Kami mengharapkan adanya saran-
saran atas penulisan referat ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi kita di
kemudian hari. Terima kasih.

Semarang, Oktober 2017

Penulis

4
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

5
BAB I
PENDAHULUAN

Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan
ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan
malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya,ada anak yang disiksa orangtuanya
atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan ada saja
gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan, Setiap menit ada saja anak yang
ditelantarkan orangtuanya karena kesibukan karier, kemiskinan, atau sekedar
egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba.
Umumnya mereka mati perlahan-lahan. Mereka tidak muncul dalam media
karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan polisi.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi. Data
laporan K3JHAM selama tahun 2000 di Kota Semarang terjadi 29 kasus
perkosaan yang terpublikasi, jumlah tersebut terbesar terjadi di antara 29
kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terlaporkan perempuan. Kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terpublikasi 26 kasus. Demikian juga kasus kekerasan
terhadap anak secara kualitatif dilaporkan oleh Unicef sering terjadi di Kota
Semarang baik di rumah, di sekolah maupun di komunitas. (www.semarang.go.id
edisi Kamis, 06 Juli 2006).
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan secara sengaja kekuatan
fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang
lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau
kemungkinan besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis,
pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. (Kusworo, Danu. 2006 : 1).
Penggunaan kata kekuasaan di dalam definisi kekerasan bertujuan untuk
memperluas pemahaman tentang kekerasan dan memperluas pemahaman
konvensional tentang kekerasan dengan memasukkan juga tindakan-tindakan
kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan, termasuk di dalam
ancaman dan intimidasi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik
membahas masalah kekerasan pada anak.

6
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak dan perempuan


Kekerasan terhadap anak adalah perilaku salah baik dari orangtua,
pengasuh, atau orang lain di sekitarnya dalam bentuk perlakuan kekerasan
terhadap fisik dan mental, termasuk di dalamnya adalah penganiayaan,
penelantaran dan eksploitasi, mengancam, serta hal buruk lainnya yang
berpengaruh terhadap fisik dan mental anak.

Kekerasan terhadap perempuan adalah Segala bentuk kekerasan berbasis


jender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang
terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Anamnesis :Umur, Urutan kejadian, Jenis penderaan,Oleh siapa, kapan,


dimana, dengan apa, berapa kali, Akibat pada anak, Orang yang ada disekitar
kejadia, Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS, Kesehatan sebelumny,
Trauma serupa waktu lampau,Riwayat penyakit lampau, Pertumbuhan fisik dan
psikis, Siapa yang mengawasi sehari-hari.

Pemeriksaan Fisik : Gizi, higiene, tumbuh kembang anak,Keadaan umum,


fungsi vital, Keadaan fisik umum, Daftar dan plot pada diagram topografi jenis
luka yang ada,Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga, mulut dan
kelamin, Kasus berat bisa dipotret, Raba dan periksa semua tulang.

2.4 Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak


Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv,
bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over

8
protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu
lugu
Kemiskinan keluarga (banyak anak).
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu
dalam jangka panjang.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan
mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted
Child)atau anak lahir diluar nikah.
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering
memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama.
Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi
pemicu kekerasan terhadap anak
Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.

2.4. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak


1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya
bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase
tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun
(16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan
benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan
seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga
seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa
atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya
meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti
ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak

9
menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah
diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun
dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional
abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-
18 tahun (0.9%)Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua
terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering
membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang
lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan
seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri,
hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang
telah dikenal anak seperti keluarga, tetangga, guru maupun
temansepermainannya sendiri.Kasus pelecehan eksual: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk
kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma
mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.

2.5 Undang-undang kekerasan pada anak

Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak


yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk
kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk
kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana,
seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana
kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
10
(Pasal 77);
2) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit
atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
3) Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian,
kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal
78);
4) Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
5) Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
6) Melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal
80);
7) Melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan
(Pasal 81)
8) Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul (Pasal 82);
9) Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual (Pasal 83);
10) Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak
lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
secara melawan hukum(Pasal 84);
11) Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85)
12) Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang
menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan
yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
13) Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu
muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
11
14) Mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
15) Menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol,
dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).

2.7 Bentuk bentuk kekerasan pada perempuan terdiri dari :


1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa dorongan, cubitan,
tendangan, jambakan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan
alat pemukul, kekerasan dengan benda tajam, siraman air panas atau zat kimia,
menenggelamkan dan penembakan. Kadang kadang kekerasan fisik ini diikuti
dengan kekerasan seksual ,baik berupa serangan kealatalat seksual (payudara dan
kemaluan) maupun berupa persetubuhan paksa (pemerkosaan). Pada pemeriksaan
terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat
penganiayaan adalah bila di dapati luka yang bukan karena kecelakaan, namun
bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu peristiwa kekerasan yang tunggal atau
berulangulang, dari yang ringan hingga yang fatal.

2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual
terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, baik ada atau
tidaknya hubungan antara korban dan pelaku kekerasan. Pembedaan aspek fisik
dan seksual dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan
yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.

3. Kekerasan psikologi
Pada kekerasan psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih
menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk
dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi.
Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur.

12
Sekal]ipun tindak kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan, karena dapat
merusak kehormatan seseorang, melukai harga diri seseorang, merusak
keseimbangan jiwa, namun kekerasan psikologis tidak akan merusak organ tubuh
bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya, tindakan
kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian.

4. Kekerasan ekonomi
Yaitu dimisalkan dengan seorang suami mengontrol hak keuangan isteri,
memaksa atau melarang isteri bekerja untuk memenuhi kebutuhan seharihari
keluarga, serta tidak memberi uang belanja, memakai/ menghabiskan uang isteri
(Martha, 2003:45-48).

2.8 Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat.
Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI)
terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana pada tahun 2013
jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika dibandingkan dengan
tahun 2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat, telah terjadi 1.620 kasus
kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik
(sebesar 30%), 313 kasus kekerasan psikis (sebesar 19%), dan yang terbanyak
adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 817 kasus (sebesar 51%). Pada hasil
rekapitulasi akhir data korban kekerasan terhadap anak, yang tercatat oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2013 telah terjadi 209 kasus kekerasan fisik, 163 kasus kekerasan
psikis, dan 636 kasus kekerasan seksual.

2.9 Dampak Kekerasan pada Anak


Kekerasan yang terjadi terhadap anak dapat mengakibatkan dampak sebagai
berikut:
1. Dampak Fisik

13
Dampak dari kekerasan secara fisik dapat mengakibatkan organ-
organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, trauma
pada korban, kecacatan, bahkan dapat mengakibatkan korban meninggal.

2. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat berupa rasa takut, rasa tidak aman,
gelisah, dendam, menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi,
menjadi pendiam, serta mental anak menjadi lemah, menurunnya rasa
percaya diri, bahkan depresi. Dampak psikologi dapat dibagi menjadi
ringan, sedang, dan berat. Dampak psikologi ringan seperti resistensi
terhadap lingkungan. Dampak psikologi sedang seperti pendiam, menutup
diri atau dikenal dengan introvert. Dampak psikologi yang berat seperti
bunuh diri.

3. Dampak seksual
Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-
simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi,
emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Finkelhor dan Browne
(dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat
kekerasan seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan
seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan
itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas
orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai
konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.

14
3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan
kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak
berdaya mengakibatkan individu merasa lemah.

4) Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan
untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang
lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang
dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol
untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut.
Gangguan Sosial PTSD :
- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami
serangan panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang
mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan
yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik
dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar, berkeringat,
gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa kedinginan,
badan panas, mati rasa.

- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat
mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang
penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari
dengan trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi
trauma yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga
penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh
orang lain jika harus keluar rumah.
15
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma
dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar,
perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang
dialami merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.

- Membunuh pikiran dan perasaan.


Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya
sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban
kekerasan mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang
yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan
dan berkonsultasi dengan para profesional.

- Merasa disisihkan dan sendiri.


Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi
mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka
tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan
mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang
lain dapat memahami apa yang telah dia alami.

- Merasa tidak percaya dan dikhianati.


Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau
ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan. Marah dan mudah tersinggung
adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Tentu saja kita
dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti,
marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan.
Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses

16
penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan
orang lain di rumah dan di tempat terapi.

- Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.


Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait
dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang
lama setelah trauma. Seorang korban kekerasan mungkin menjadi sangat
takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di
sekolah.

Diagnosis Banding kekerasan pada anak

1. Lethargy / coma
Kelesuan dan koma terjadi pada banyak penyakit metabolik, sering
terjadi secara episodik, dan tampaknya berasal dari penganiayaan anak.
Contoh: Aciduria glutarik tipe 1: penyakit ini menyebabkan episode koma
berulang, kadang disertai dengan hematoma subdural atau perdarahan
retina, tampak seperti kasus pelecehan anak yang jelas. Orangtua
menggambarkan apa yang terjadi pada kasus asiduria glutarik tipe 1
dimana anak tersebut mengalami koma dan hematoma subdural.

2. Bleeding and bruising


Perdarahan dan memar sering terjadi pada pelecehan anak, namun
memiliki banyak penyebab medis, mulai dari gangguan koagulasi sampai
kelainan yang melemahkan pembuluh darah. Contoh:
Obat: banyak menimbulkan kecenderungan berdarah.
Gangguan koagulasi: biasanya menyebabkan kecenderungan
berdarah. Contohnya adalah Sindrom Hermansky-Pudlak, dimana
menurut Donna Appell dari jaringan sindrom Hermansky-Pudlak,

17
penganiayaan anak sering dicurigai. Petechiae dan purpura harus
dicari sebagai bukti adanya masalah koagulasi lainnya.
Penyebab mekanis perdarahan: adanya ruang hidrosefalus atau
subarachnoid eksternal dikaitkan dengan perdarahan subdural dan
perdarahan retina, tampaknya dengan hidrosefalus eksternal sebelum
pendarahan. Hidrosefalus eksternal terjadi pada aciduria glutarik tipe
1, yang kemungkinan besar akan menjadi bingung dengan
penganiayaan anak karena episode kelesuan atau koma yang
berulang.
Penyakit menkes: aneurisme berkembang dan menjadi predisposisi
hematoma subdural, sehingga meniru sindrom bayi yang terguncang.
Sindrom Marfan: menurut beberapa laporan ada kecenderungan
memar pada penyakit Marfan akibat kerapuhan pembuluh darah,
meski ada yang memar memar yang sering jatuh. Seorang ibu
menggambarkan dituduh MSBP karena beberapa keluhan dan
memarnya yang berusia dua tahun.
Gangguan jaringan ikat: beberapa gangguan seperti sindrom Ehlers-
Danlos dapat menyebabkan kelemahan pembuluh darah, yang
menyebabkan perdarahan. Contoh di mana diagnosis sindrom bayi
terguncang yang salah dibuat awalnya dijelaskan oleh Dr. Heskel
Haddad.
Kelainan struktural: lokasi atau ukuran anal abnormal yang kongenital
dapat menyebabkan sembelit dan perdarahan rektum yang
diakibatkan, yang menyebabkan kekhawatiran tentang
penyalahgunaan.

3. Failure to thrive
Kelalaian atau pelecehan sering dipertimbangkan jika seorang
anak gagal menambah berat badan. Hal ini juga dapat menyebabkan
kerapuhan tulang, menyebabkan patah tulang yang memberikan temuan
kedua yang menyerupai temuan dalam penganiayaan anak. Hal ini lebih
18
cenderung terjadi pada sindrom langka yang kemungkinan besar tidak
akan dikenali oleh profesional medis. Contoh: Sindrom Dubowitz: Sharon
Terzian dari kelompok Dukungan Sindrom Dubowitz menceritakan
bahwa orang tua dari anak-anak dengan Sindrom Dubowitz kadang-
kadang diselidiki karena kegagalan anak berkembang. Meskipun retardasi
pertumbuhan sering kali bersifat intrauterine, terkadang hal ini hanya
mengubah waktu selama pelecehan dicurigai mencakup masa kehamilan.

4. Immunodeficiency
Seorang anak dengan banyak penyakit dapat dianggap
terbengkalai atau sengaja terinfeksi.

5. High muscle enzymes


Enzim otot yang tinggi terkadang dianggap berasal dari trauma,
walaupun banyak penyakit memiliki kadar kinase kreatin tinggi karena
penyebab gangguan otot yang tidak traumatis.

6. Bones breaking, bending or joints dislocating


Banyak penyakit menyebabkan tulang menjadi rentan pecah,
menyebabkan tuduhan penganiayaan anak-anak. Seseorang harus
memeriksa apakah indikasi trauma superfisial sepadan dengan fraktur.
Pengukuran serial aktivitas alkalin fosfatase serum juga membantu.
Penyakit tulang lainnya menyebabkan tulang menjadi tidak teratur dan
cenderung membungkuk atau membungkuk, menyebabkan tuduhan
kelalaian. Contoh yang sangat mungkin menyebabkan kesalahan adalah:
Sindroma alagil
Osteogenesis imperfecta
X-linked hypophosphatemia: Joan Reed, Presiden Jaringan XLH,
berkaitan dengan kecurigaan kelalaian gizi dan penundaan diagnosis.
Bahkan setelah didiagnosis beberapa gangguan terkait seperti
Autosomal Dominant Hypophosphatemic Rickets, penggunaan kata

19
rakhitis menyebabkan banyak orang non-medis menganggap
masalahnya adalah nutrisi.
Penyakit tulang prematur
Sindrom Ehlers-Danlos dan gangguan jaringan ikat lainnya
Rickets karena kekurangan vitamin D
Scurvy (kekurangan vitamin C): sangat mencurigakan karena memar
juga sering terjadi
Kekurangan tembaga dan penyakit Menkes: sangat mencurigakan
karena sering terjadi hematoma subdural pada penyakit Menkes dan
kejang.
Mewarisi sistemik hyalinosis: Shieh et al. Mengaitkannya dengan
"reaksi atau fraktur Periosteal pada radiograf skeletal pada hyalinosis
sistemik telah salah untuk trauma nonaccidental.
Ketidakpekaan bawaan terhadap rasa sakit, di mana dijelaskan bahwa
"dalam beberapa kasus, orang tua hampir menyingkirkan anak-anak
mereka karena diduga melakukan pelecehan anak-anak".

7. Repeated injuries
Banyak penyakit dan obat-obatan menghasilkan ketidakpekaan
terhadap rasa sakit, dengan kasus anak-anak melanggar tulang tapi tidak
melaporkan rasa sakit pada saat cedera dan kecurigaan jatuh pada
pengasuh. Orangtua anak-anak dengan neuropati sensori dan neuropati
turun-temurun telah diselidiki karena penganiayaan anak-anak.

8. Mutism
Penyakit seperti mutasi selektif dan obat-obatan dapat
menghasilkan mutisme yang ditafsirkan sebagai bukti pelecehan anak.

9. Recurring odd complaints


Orang tua terkadang dituduh MSBP karena kunjungan medis
berulang untuk berbagai gejala aneh. Konstelasi temuan semacam itu
20
dapat terjadi pada banyak penyakit warisan dan banyak sindrom jarang
dokter seringkali tidak mengenali pola tersebut. Sebuah artikel di New
York mencatat satu cerita seperti itu, meskipun jelas bahwa ada sesuatu
yang salah secara fisik karena berbagai cacat bawaan. Yang lebih sulit
adalah kasus dimana tidak jelas apakah temuan tersebut sebenarnya
disebabkan oleh penyakit fisik.

3 Penanganan Kekerasan pada Anak


Upaya perlindungan terhadap anak akibat tindak kekerasan harus diberikan
secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu
golongan atau kelompok anak. Dengan demikian, didalam penanganan
kekerasan terhadap anak, perlu adanya sinergi antara keluarga, masyarakat
dan negara. Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap
anak seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan
pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum
(dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan
sosial. Apabila kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius
dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penyembuhan
trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar
dari semua pihak yang terlibat.

a. Peran Individu dan Keluarga


Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari
kekerasan seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua
memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman
kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika melihat
sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban
kekerasan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah
dikenali. Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara
persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan
korban merupakan hal wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh
pihak keluarga maupun ahli saat membantu proses pemulihan anak-
21
anak korban kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang
lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan pikiran
korban saat peristiwa tersebut terjadi. Anak-anak cenderung sulit
mendeskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental
yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut. Sedangkan
untuk membicarakan hal tersebut berulang-ulang agar mendapatkan
data yang lengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak negatif
pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam
benak mereka. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah
memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang
tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan
lebih mudah untuk melakukannya.

Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective


Service for Children and Young People Department of Health and
Community Service(1993) keberadaan dan peranan keluarga sangat
penting dalam membantu anak memulihkan diri pasca pengalaman
kekerasan seksual mereka. Orang tua (bukan pelaku kekerasan) sangat
membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak pasca
peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan
seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk
mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua
membutuhkan kembali kepercayaan diri dan perasaaan untuk dapat
mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan orang tua berkaitan
erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai individu dan
juga resiliensi keluarga tersebut.

b. Peran Masyarakat
Berkaitan dengan peran masyarakat oleh media massa harus
dilakukan dengan bijaksana demi perlindungan anak karena dalam

22
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
ditegaskan Pasal 64, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi. Artinya dalam hal ini
seharusnya masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan
korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi
korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian
buruk kepada korban. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah
satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap
masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat.

c. Peran Negara
Peran negara tentu paling besar dalam penanganan kekerasan
seksual terhadap anak. Sebab, pada hakikatnya negara memiliki
kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta
masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk
dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai
generasi penerus. Oleh karena itu, Pemerintah bertanggung jawab
untuk melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual yang
terjadi pada anak-anak. Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah
ada jaminan peraturan yang mampu melindungi anak, namun fakta
membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak
dari tindakan kekerasan seksual. Oleh karena itu, upaya yang harus
menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak dari
tindakan kekerasan seksual adalah melalui reformasi hukum. Spirit
untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma
pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-
centred approach) berbasis pendekatan hak. Usaha-usaha yang
rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan sudah
barang tentu tidak hanya dengan menggunakan hukum pidana, tetapi
dapat juga menggunakan sarana yang non hukum pidana.

23
Penanggulangan secara hukum pidana yaitu penanggulangan
setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan,
dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali.
Penanggulangan secara hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal
merupakan penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi
pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang lain
tidak melakukan kejahatan. Berlakunya sanksi hukum pada pelaku,
maka memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada korban
perkosaan anak di bawah umur ataupun perlindungan terhadap calon
korban. Ini berarti memberikan hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya atau dengan kata lain para pelaku diminta
pertanggungjawabannya. Upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua.
Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan
sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu
digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan
bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang.
Terkait kekerasan seksual dengan anak sebagai korbannya,
perlu adanya upaya preventif dan represif dari pemerintah. Upaya
preventif perlu dilakukan dengan dibentuknya lembaga yang berskala
nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak
kekerasan seperti perkosaan. Koordinasi dengan pihak kepolisian harus
dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika
mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog,
ahli hukum dan dokter. Secara represif diperlukan perlindungan hukum
berupa:
1. Pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan
kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, serta
penggantian atas biaya yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi
tersebut

24
2. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang
mengalami trauma berupa rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan kondisi psikis korban semula
3. Pelayanan / bantuan medis, diberikan kepada korban yang
menderita secara medis akibat suatu tindak pidana seperti
perkosaan, yang mengakibatkan penderitaan fisik
4. Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat informasi
mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim.
5. Perlindungan yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat.

INDIKASI PEMERIKSAAN PSIKIATRI FORENSIK

Kesaksian ahli psikiatri akan dimintakan apabila pada salah satu pihak
yang berperkara diduga terdapat gangguan jiwa. untuk hal tersebut, diperlukan
batasan antara keadaan normal dan tidak normal ditinjau dari aspek psikiatri.
sebenarnya untuk menentukan seseorang normal atau tidak adalah suatu
hal yang tidak mudah. normal tidaknya seseorang bukanlah sesuatu yang
merupakan gambaran untuk suatu saat dan suatu tempat tertentu, tetapi merupakan
sesuatu yang bersifat relative.
dalam ilmu psikiatri, seseorang dianggap normal apabila ia masih
menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
mampu memenuhi tuntunan lingkungannya sesuai dengan norma dan nilai
lingkungan tersebut, serta menunjukkan produktifitas yang wajar. kriteria normal
ini masih harus dipertimbangkan dari aspek umur, tempat, dan jangka waktu.
dari segi seni (artistic) ada suatu ungkapan bahwa seseorang masih
dianggap normal apabila masih dapat menikmati kesenian, pekerjaan dan cinta.
didalam kehidupan sehari-hari diluar bidang kedokteran banyak terjadi kesulitan
didalam menilai normal tidaknya seseorang. secara sederhana, untuk memudahkan
penilaian tersebut dapat dipakai beberapa patokan :

1. patokan masyarakat
masyarakat mempunyai kaidah, norma, atau nilai yang dapat dipakai
25
sebagai pegangan apakah perilaku seseorang dianggap normal atau tidak.
perlu diingat bahwa kaidah dan norma tersebut hanya berlaku bagi mereka
yang merupakan warga dari masyarakat tersebut. sangat mungkin kelomok
masyarakat lain mempunyai norma dan nilai yang berbeda. dengan
demikian, seuatu perilaku yang bagi suatu kelompok suatu masyarakat
dianggap tidak normal, bagi masyarakat lain dianggap normal. walau
bagaimanapun suatu perilaku yang dianggap normal atau tidak normal
bagi seluruh masyarakat dimanapun.
2. patokan individu
setiap individu mampu memahami dan merasakan sesuatu pada dirinya
yang berubah atau tidak berjalan seperti biasanya. keadaan ini yang oleh
individu tersebut sebagai tidak seperti semestinya dapat dianggap
sebagai pertanda bahwa individu tersebut merasakan sesuatu yang
abnormal pada dirinya. bagi masyarakat yang inndividu tersebut
merupakan naggotanya, individu tersebut sudah dikenal dengan segala
perilaku dan kebiasaan-kebiasaannya. perilaku dan kebiasaan yang
umumnya diperlihatkan oleh individu tersebut oleh masyarakatnya.
pennyimpangan dari kebiasaan umum dipakai oleh masyarakat sebagai
pertanda bahwa individu tersebut menunjukkan abnormalitas.
3. patokan klinis
dari segi ilmu kedokteran telah ditemukan banyak sekali kriteria-kriteria
normal dari semua organ-organ tubuh manusia beserta aspek psikologi dan
social. telah ditemukan juga berbagai macam hal yang bersifat patologik
baik dari segi fisik organic, psikologik, maupun social. dari segi klinis,
seseorang dianggap abnormal apabila dalam pemeriksaan ditemukan
adanya gejala patologis.
4. patokan melalui pemeriksaan tambahan
walaupun pemeriksaan klinis telah dilakukan dengan seksama, seringkali
masih perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan laboratoorium, radiologis, dan pemeriksaan bantuan lalinnya.
dalam praktik sehari-hari, patokan kemasyarakatan dan patokan individu
dapat dipakai sebagai petunjuk normal tidaknya seseorang. oleh karena petunjuk
26
ini merupakan indicator yng lemah maka untuk pemastiannya diperlukan
pemeriksaan klinis beserta pemeriksaan tambahan lainnya.
satu konsep yang pada saat ini dijadikan suatu pegangan psikiater di
Indonesia adalah konsep eklektik holistic. konsep ini memandang manusia
sebagai satu kesatuan integral dari unsur-unsur organoibologik, psikoedukatif, dan
sosiokultural. dari ketiga unsur inilah dapat tercetus gangguan jiwa; dengan
perkataan lain gangguan jiwa merupakan multi-faktorial (holistic). apabila telah
ditemukan suatu gangguan jiwa, selanjutnya disarankan untuk menentukan salah
satu faktor yang dapat dianggap merupakan faktor utama sedangnkan faktor lain
merupakan faktor tambahan (eklektik).
dari konsep eklektik holistic ini dapat digambarkan bahwa gangguan jiwa
dilandasi oleh faktor-faktor dasar yang biasanya merupakan faktor organobiologik
atau psikoedukatif; yang kemudian menjadi manifest (menampakkan gejalanya)
karena dipicu oleh faktor stressor social yang merupakan faktor pencetus.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap


Anak Bago Petugas Kesehatan, diakses tanggal 10 April 2017 dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKAN-KASUS-KtA-
BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
2. Etherington, K. (2000). Counselling in action: Supervising counselors who
work with survivors of childhood sexual abuse. Journal of Counselling
Psychology Quarterly,13, 4, 377-389. Gifford, R. (19..). Environmental
Psychology: Pri
3. Smith MA, Chumley HS, Mayeaux EJ, Jr. Child Sexual Abuse. In: Usatine
RP, eds. The Color Atlas of Family Medicine.Edisi 2. New York, NY:
McGraw-Hill; 2013 diunduh dari
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=685&sectionid=4
5361043 pada 10 April 2017.
2. Berenson AB, Chacko MR, Weimann CM, et al. A case-control study of
anatomic changes resulting from sexual abuse. Am J Obstet Gynecol.
2000;182(4):820-831.
3. Heger A, Ticson L, Velasquez O, et al. Children referred for possible sexual
abuse: Medical findings in 2384 children. Child Abuse Negl. 2002;26(6-
7):645-659.
4. Adams JA, Harper K, Knudson S, Revilla J. Examination findings in legally
confirmed child sexual abuse: It's normal to be normal. Pediatrics.
1994;94(3):310-317.
5. Kellogg ND, Menard SW, Santos A. Genital anatomy in pregnant adolescents:
normal does not mean nothing happened. Pediatrics. 2004;113(1):e67-e69
6. Soesilo R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar -
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. 2007; p87
7. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Peraturan Perundang-
Undangan Bidang Kedokteran. 1994; p33-7
8.
1. Lonsway K.A,Successfully investigating acquaintace sexual assault: A
National Training Manual for law enforcement. The national centre for
women and policing. May 2011.
2. Gilmore T., et al. sexual assault: a protocol for adult forensic and medical
examination. Lowa department of public health. June 2011.

28
indikasi psikiatri forensic
darmabrata wahjadi, nurhidayat adhi, Psikiatri Forensik. penerbit buku kedokteran
EGC.2003. hal 7-8

29

Anda mungkin juga menyukai