Anda di halaman 1dari 180

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA


SISWI SMA 112 JAKARTA TAHUN 2015

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:
INDAH RATIKASARI
1111101000115

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436 H/2015 M
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMNINATAN GIZI
Skripsi, Juli 2015

Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi


(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

xviii + 161 halaman, 22 tabel, 2 bagan, 11 grafik, 7 lampiran

ABSTRAK

Sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan kumpulan gejala psikis dan


fisik yang dialami oleh wanita usia subur (WUS) antara 7 – 10 hari sebelum
menstruasi. PMS merupakan gangguan yang umum terjadi pada WUS, namun
akan berdampak buruk bila gejala dirasakan berat. Pada remaja, PMS dapat
berdampak pada aktivitas sosial dan prestasi di sekolah. Untuk itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
PMS pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan
Juni 2015. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi cross
sectional. Sampel dalam penelitian berjumlah 127 orang siswi kelas X dan XI
dengan metode simple random sampling dan menggunakan uji statistik chi
square.
Hasil penelitian menunjukan bahwa siswi yang mengalami PMS gejala
sedang hingga berat sebanyak 32%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
riwayat keluarga (pvalue = 0,001), asupan kalsium (pvalue = 0,011), dan pola
tidur (pvalue = 0,013) berhubungan dengan kejadian PMS.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan kepada
pihak sekolah SMA 112 Jakarta dapat memberikan promosi kesehatan baik secara
langsung seperti penyuluhan, maupun tidak langsung melalui media kesehatan,
yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi, pentingnya mengkonsumsi
kalsium sesuai kebutuhan, serta pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, yang
mudah dipahami dan menarik bagi siswi.

Daftar Bacaan: 108 (1984 – 2015)

Kata Kunci: Sindrom pramenstruasi, Remaja, SMA

ii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
SPECIALIZATION OF NUTRITION
Undergraduate Thesis, July 2015

Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115

Factors Associated with Premenstrual Syndrom (PMS) in Female Students of


112 Senior High School Jakarta in 2015

xviii + 161 pages, 22 tables, 2 charts 11 graphs, 7 attachments

ABSTRACT

Premenstrual syndrome (PMS) is a collection of psychological and


physical symptoms that usually happen at women of reproductive age (WUS)
between 7 – 10 days before the menstruation. PMS is a common disorder on
WUS, but it would be bad if the symptoms felt heavy. In adolescents PMS can
impact on social activities and its perfomance at school. So, the main purpose of
this study is to determine the factors associated with the PMS in female students
of 112 Senior High School in Jakarta on 2015.
The research was conducted on November 2014 up to June 2015. This
study is an epidemiological study with cross sectional study design. The total of
sample is for 127 female students of classes X and XI by simple random sampling
technique. The statistical test used was chi square.
The results were showed that the students who has experience moderate to
severe PMS symptoms are 32%. Based on the analysis, it is known that family
history (pvalue = 0.001), Calcium intake (pvalue = 0.011), and sleep patterns
(pvalue = 0.013) associated with the PMS.
Based on this research, we recommend to 112 State Senior High School
Jakarta to provide health promotion, such as trough the education and health
media related to premenstrual syndrome, the importance of taking calcium as
needed, and the importance of good sleep patterns, that easy to understand and
attractive to the female students.

References: 108 (1984 – 2015)

Keywords: Premenstrual Syndrome, Adolescent, Senior High School

iii
LEMBAR

Syukurku kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan,


dan karunia, sehingga akhirnya karya yang sederhana ini dapat
terselesaikan. Sholawat dan salam tak lupa terlimpahkan kepada Rasul-Mu,
Muhammad SAW.

Karya ini kupersembahkan untuk :

🙥 Bunda dan Ayah Tercinta 🙧

Sebagai tanda bakti dan rasa terima kasih Indah yang tak terhingga, Indah
persembahkan karya ini kepada bunda dan ayah yang telah memberikan
kasih sayang, cinta, dukungan, dan sujudnya setiap malam untuk
mendoakan Indah. Tak mungkin dapat Indah balaskan hanya dengan
selembar kertas ini. Namun semoga ini menjadi langkah awal untuk
membuat bunda dan ayah bangga .

🙥 Kedua Adikku Tersayang 🙧

Adik-adik kakak, Ibnu dan Iman terima kasih untuk kasih sayang, cinta,
dukungan, dan nasehat yang tiada pernah berhenti kalian berikan kepada
kakak. Maaf karena belum bisa menjadi panutan yang baik bagi kalian,
tapi insyaallah kasih sayang kakak akan selalu ada untuk kalian berdua.

‫طلُب‬
‫)مسلم رواه( اللَّ ْه ِد ِإل ى ا ْل م ْح ِد ْل ِع ْل‬
‫م أُ م ن‬
‫ا‬
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang

lahat” (HR. Muslim)

Jakarta, 9 Juli 2015

Indah Ratikasari

vi
DAFTAR RIWAYAT

Data Pribadi / Personal Details

Nama / Name : Indah Ratikasari

Tempat & Tanggal Lahir / Place & Date of Birth : Jakarta, 9 Juli 1993

Jenis Kelamin / Sex : Perempuan / Female

Status Marital / Marital Status : Belum Menikah / Single

Kewarganegaraan / Nationality : WNI

Agama / Religion : Islam

No. HP / Mobile Phone Number : 081298183008

E-mail : indahratikasari@gmail.com

Jenjang Pendidikan / Education Information

1. 1996 – 1997 Karang Balita Komplek DKI Joglo


2. 1997 – 1999 TK Islam Al-Azhar 19 Pamulang
3. 1999 – 2005 SD Islam Al-Azhar 08 Kembangan
4. 2005 – 2008 SMP Islam Al-Azhar 10 Kembangan
5. 2008 – 2011 SMA Negeri 112 Jakarta (IPA)
6. 2011 – 2015 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Strata
1 Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan)

vii
KATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015” ini. Shalawat
dan salam tak lupa pula dihanturkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Di kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga,


kepada:

1. Ibu Euis Sari Susanti, S.Ag dan Bapak Ir. Deslison, selaku kedua orang tua
yang senantiasa memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan skripsi
ini.

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing
akademik.

3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Febrianti, Sp., M.Si dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku dosen
pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan waktunya untuk
membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Riastuti Kusumawardani, SKM, MKM, Ibu Dewi Utami, M.Kes, Ph.D,
dan Ibu Laily Hanifah, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji skripsi, yang telah
memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Saryono, M.Si, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Triyem, S.Pd,
M.Si, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 112 Jakarta yang telah memberikan
izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.

viii
ix

7. Bapak Anang Burhan, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Gayatri, S.Pd,
selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 65 Jakarta yang telah memberikan izin
penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.

8. Seluruh guru, staf dan siswi SMA 112 Jakarta dan SMA 65 Jakarta yang telah
berpartisipasi dalam proses pengambilan data.

9. Donna Pertiwi, SKM dan Hasanah Putri, SKM, selaku sahabat tercinta, yang
senantiasa memberikan bantuan, doa, nasihat, hiburan, dan semangat selama
kita bersama.

10. Teman-teman gizi 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang
senantiasa berbagi ilmu, canda, tawa, pengalaman, dan pelajaran hidup
selama kita bersama.

11. Semua pihak lainnya yang senantiasa memberikan bantuan dan dukungan dari
awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun skripsi ini,


namun tentu masih ada berbagai kekurangan. Sesuai kata orang bijak, “tidak ada
yang sempurna di dunia ini, kecuali hanya Allah SWT”. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sekalian, untuk dapat menyempurnakan hasil akhir dari skripsi ini. Akhir kata,
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat, menambah wawasan dan ilmu bagi
kita semua.

Jakarta, 9 Juli 2015

Indah Ratikasari
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................i
ABSTRAK..............................................................................................................ii
ABSTRACT............................................................................................................iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN......................................................................iv
PENGESAHAN PANITIA SIDANG...................................................................v
LEMBAR PERSEMBAHAN...............................................................................vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................vii
KATA PENGANTAR........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL...............................................................................................xiv
DAFTAR BAGAN..............................................................................................xvi
DAFTAR GRAFIK............................................................................................xvii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xviii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................7
C. Pertanyaan Penelitian................................................................................7
D. Tujuan Penelitian.......................................................................................9
1. Tujuan Umum...........................................................................................9
2. Tujuan Khusus...........................................................................................9
E. Manfaat Penelitian......................................................................................11
1. SMA 112 Jakarta.....................................................................................11
2. Siswi SMA 112 Jakarta...........................................................................12
3. Peneliti Lainnya.......................................................................................12
F. Ruang Lingkup............................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI.........................13
A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS)..................................................13
B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)....................................................14
C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS)...................................................15
x
D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS)..........................................................................................16
1. Faktor Hormonal.....................................................................................17
2. Faktor Kimiawi.......................................................................................19
3. Faktor Genetik.........................................................................................20
4. Faktor Psikologis.....................................................................................21
5. Faktor Gaya Hidup..................................................................................22
6. Faktor Sosio-Demografi..........................................................................33
E. Kerangka Teori...........................................................................................39
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS..........................................................................................................42
A. Kerangka Konsep....................................................................................42
B. Definisi Operasional................................................................................45
C. Hipotesis Penelitian.................................................................................47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN..........................................................48
A. Desain Penelitian.....................................................................................48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................48
C. Populasi dan Sampel...............................................................................48
1. Populasi...................................................................................................48
2. Sampel.....................................................................................................49
D. Pengumpulan dan Pengolahan Data........................................................51
E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data.........................................................57
1. Teknik Pengolahan Data.........................................................................57
2. Analisis data............................................................................................59
BAB V HASIL......................................................................................................61
A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta.......................61
B. Analisis Univariat....................................................................................62
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015.......................................................................................62
2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015...64
3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
66
4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015....67
5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015...............................................................................................................68
6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015...............................................................................................................69
7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015...................................................................................................70
8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015...........71
9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015..........73
C. Analisis Bivariat......................................................................................74
1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................74
2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................74
3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................75
4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015............................76
5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................76
6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................77
7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015........................................78
8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015........................................79
BAB VI PEMBAHASAN....................................................................................81
A. Keterbatasan Penelitian...........................................................................81
B. Analisis Univariat dan Bivariat...............................................................82
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015.......................................................................................82
2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015....87
3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015...............................................................................................................90
4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015...............................................................................................................92
5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015...................................................................................................96
6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.................98
7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015..............101
8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015...............104
9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015...............106
10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015...............108
11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015..........................110
12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015......................................112
13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015......................................117
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN................................................................119
A. Simpulan................................................................................................119
B. Saran......................................................................................................121
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia........................................121
2. SMA 112 Jakarta...................................................................................121
3. Siswi SMA 112 Jakarta.........................................................................122
4. Peneliti Lain..........................................................................................122
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................123
LAMPIRAN........................................................................................................124
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan 25
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan 27
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan 29
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umum 33
3.1 Definisi Operasional 45
4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang 50
Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya
5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi 62
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 63
Jenis Gejala Sindrom Pramenstruasi yang
Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 65
Jakarta Tahun 2015
5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi 68
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi 69
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi 71
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 72
Jakarta Tahun 2015
5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan 74
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga 75
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan 75
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

xiv
xv

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) 76
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan 77
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg) 77
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan 78
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur 79
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan 79
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
DAFTAR

Nomor Bagan Judul Bagan Halaman


2.1 Kerangka Teori 41
3.1 Kerangka Konsep 44

xvi
DAFTAR

Nomor Grafik Judul Grafik Halaman


5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 63
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 64
Jumlah Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)
yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 65
Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 66
Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 67
Anggota Keluarga yang Memiliki Riwayat
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA
112 Jakarta Tahun 2015
5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 67
Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 69
Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 70
Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 71
Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 72
Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan 73
Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015

xvii
DAFTAR

Nomor Lampiran Judul Bagan Halaman


1 Kuesioner Penelitian 133
2 Perhitungan Kuesioner PSQI 141
3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik 143
4 Surat Izin Studi Pendahuluan 144
5 Surat Izin Penelitian 146
6 Surat Bukti Penelitian 147
7 Hasil Analisis Data 148

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan

proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon

hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron (Benson

dan Pernoll, 1994). Umumnya menstruasi akan terjadi secara normal setiap

bulan pada wanita usia subur (WUS).

Biasanya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, wanita akan

mengalami beberapa gejala perubahan tertentu, dari segi fisik (nyeri

payudara, sakit kepala, jerawat, nyeri panggul bahkan edema (Andrews,

2001, NIH, 2014) maupun emosional (perubahan mood, penurunan fungsi

sosial, penurunan konsentrasi, bahkan depresi (Andrews, 2001, Souza

dkk., 2012, Freeman, 2007, Delara dkk., 2012) yang akan mereda ketika

siklus menstruasi dimulai (NIH, 2014). Namun pada beberapa wanita juga

dapat terjadi gejala yang terus berlanjut hingga 24-48 jam pertama siklus

menstruasi dan akan mereda selama beberapa hari ke depan (O'Brien dkk.,

2007). Gejala-gejala tersebut biasa dikenal dengan sindrom pramenstruasi

(PMS).

Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu masalah yang umum

terjadi pada wanita, dengan demikian maka sindrom pramenstruasi

1
2

merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010). Pada

dasarnya sindrom ini pernah dialami hampir seluruh wanita di dunia.

Dimana sebanyak 90% wanita mengalami setidaknya satu gejala dalam

beberapa siklus menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan

Mahmood, 2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala yang bersifat

sedang sampai berat (Freeman, 2007).

Dari hasil meta analisis pertama yang pernah dilakukan, diketahui

bahwa prevalensi sindrom pramenstruasi dari seluruh dunia adalah 47,8%

(Moghadam dkk., 2014). Dari hasil tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke

tahun kejadian sindrom pramenstruasi berbeda di setiap negara. Sebagai

contoh, di negara Pakistan, kejadian sindrom pramenstruasi pada tahun

1996 sebanyak 41% dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 53%.

Sedangkan di Brazil, kejadian sindrom pramenstruasi stabil dari tahun

2003 hingga 2009 yaitu sebesar 60% (Moghadam dkk., 2014).

Selanjutnya pada remaja putri (usia 14-19 tahun) di Iran,

ditemukan bahwa dari 602 orang, 100% dilaporkan setidaknya pernah

mengalami satu gejala sindrom pramenstruasi (Delara dkk., 2012).

Penelitian lainnya pada remaja putri di Turki, ditemukan sebanyak 61,4%

mengalami sindrom pramenstruasi (49,5% sindrom pramenstruasi ringan

dan 50,5% sedang hingga berat) dengan gejala yang paling umum seperti

stres (87,6%) dan kegelisahan (87,6%) (Derman dkk., 2004).

Di Indonesia dari 260 orang wanita usia subur, ditemukan

sebanyak 95% memiliki setidaknya satu gejala sindrom pramenstruasi,

dengan tingkat sindrom pramenstruasi sedang hingga berat sebesar 3,9%


3

(Emilia, 2008). Penelitian yang dilakukan di kota Padang menunjukkan

bahwa 51,8% siswi SMA mengalami sindrom pramenstruasi (Siantina,

2010). Sedangkan penelitian yang dilakukan di kota Purworejo pada siswi

SMA, prevalensi sindrom pramenstruasi sebanyak 24,6% (Nurmiaty dkk.,

2011). Penelitian lainnya juga dilakukan pada siswi SMA di kota Bogor,

ditemukan bahwa seluruh responden mengalami sindrom pramenstruasi,

dengan jenis keluhan ringan sebanyak 32,2% dan keluhan sedang sampai

berat sebanyak 67,8% (Aldira, 2014).

Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap siswi SMK Jakarta

Selatan didapatkan sebanyak 45% siswi mengalami sindrom pramenstruasi

(Devi, 2009). Penelitian selanjutnya di SMA “X” di Kecamatan Pulo

Gadung Jakarta Timur didapatkan bahwa sebanyak 43,9% siswi

mengalami sindrom pramenstruasi (Sianipar dkk., 2009). Kemudian

penelitian yang dilakukan di MAN 4 Jakarta Selatan menemukan sebanyak

28,66% siswi yang mengalami sindrom pramenstruasi.

Diketahui bahwa berdasarkan berbagai penelitian tersebut, kejadian

sindrom pramenstruasi cukup banyak dan bervariasi jenis gejalanya pada

setiap individu. Bagi beberapa wanita, gejala ini ada yang masuk dalam

kategori berat, sehingga dapat mengganggu aktivitas mereka (NIH, 2014).

Khusus bagi para remaja putri yang bersekolah, dapat menganggu kualitas

kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah.

Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh

Delara dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan

pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental,


4

peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu sindrom pramenstruasi juga

dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri, tingkat kecelakaan, dan

masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Oleh karena itu, perlu

diketahuinya penyebab dari kejadian sindrom ini, agar masalah yang

terjadi dapat dikurangi atau bahkan dicegah.

Namun sampai saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi

belum diketahui secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Walaupun dari

beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor penyebab utamanya

adalah akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan

progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003) serta adanya

perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Pada sebuah

penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada

wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid

(Saryono dan Sejati, 2009).

Selain faktor hormonal, ada beberapa faktor lain yang berhubungan

dengan timbul dan parahnya gejala sindrom pramenstruasi. Salah satu

faktor tersebut adalah riwayat keluarga (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad

dkk., 2014) dan gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Riwayat keluarga

memainkan peran yang penting. Dimana faktor ini erat kaitannya dengan

insidens sindrom pramenstruasi, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi

(93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur

(44%) (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, terdapat penelitian

yang menemukan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan

PMS (Abdillah, 2010).


5

Untuk faktor gaya hidup, terbagi menjadi beberapa faktor lainnya

seperti status gizi berdasarkan IMT (Masho dkk., 2005); dan aktivitas fisik

(Saryono dan Sejati, 2009). Faktor status gizi memiliki peranan yang

cukup penting pada tingkat keparahan kejadian sindrom pramenstruasi.

Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki

keterkaitan yang dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat

dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa

setiap kenaikan 1 kg/m2 pada IMT dikaitkan dengan peningkatan yang

signifikan terhadap risiko sindrom pramenstruasi sebesar 3% (Johnson

dkk., 2010).

Sedangkan faktor aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat

mengurangi rasa sakit akibat sindrom pramenstruasi, dimana dengan

rendahnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan keparahan gejala,

seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat

menurunkan resiko gejala sindrom pramenstruasi, seperti perubahan nafsu

makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009,

Kroll, 2010).

Berdasarkan berbagai ulasan di atas, maka peneliti tertarik untuk

mengetahui lebih mendalam tentang hubungan kejadian sindrom

pramenstruasi dengan faktor-faktornya pada siswi di SMA 112 Jakarta.

Dasar dari pemilihan SMA untuk penelitian ini karena peneliti

menganggap bahwa hampir seluruh remaja putri di SMA sudah

mengalami menstruasi, berbeda halnya dengan remaja putri yang masih


6

duduk di bangku SMP. Sindrom pramenstruasi umumnya mulai terjadi

sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche (Zaka dan Mahmood,

2012). Di samping itu, remaja di SMA merupakan remaja yang memiliki

rentang umur 16-17 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delara,

dkk. (2012), didapatkan bahwa usia 16-17 tahun paling banyak (52%)

mengalami sindrom pramenstruasi, disusul oleh remaja berusia 14-15

tahun sebesar 44%, dan remaja berusia 18-19 tahun sebesar (3,8%).

Selanjutnya dipilihnya SMA 112 Jakarta didasarkan karena SMA

ini merupakan salah satu sekolah peringkat kelima terbesar yang memiliki

jumlah siswi terbanyak di Jakarta Barat (Kemdikbud, 2014). Berdasarkan

studi pendahuluan di SMA 112, ditemukan bahwa dari 30 orang siswi,

seluruh siswi mengalami gejala sindrom pramenstruasi (sedikitnya

mengalami nyeri payudara dan perut), dimana 36,7% mengalami sindrom

pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Berbeda dengan di SMA 112, di

SMA 65 ditemukan sebesar 19,0% siswi mengalami sindrom

pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Di samping itu, di SMA 112 ini

juga belum ada peneliti yang meneliti tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS), bahkan di

Jakarta Barat. Melihat kondisi tersebut, maka peneliti tertantang untuk

memilih SMA 112 Jakarta sebagai lokasi penelitian tentang kejadian

sindrom pramenstruasi dan faktor-faktornya.


7

B. Rumusan Masalah

Diketahui berdasarkan hasil studi pendahuluan, kejadian PMS

merupakan masalah yang banyak terjadi di SMA 112 Jakarta. Dari paparan

latar belakang diketahui bahwa pada remaja kejadian PMS dapat

mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi belajar, keaktifan kegiatan

belajar, dan prestasi di sekolah. Dampak terparah dari kejadian PMS

adalah dapat meningkatkan risiko tingkat kecelakan, masalah kejiwaan

akut, bahkan kasus bunuh diri. Faktor utama dari kejadian PMS adalah

ketidakseimbangan hormon dan kadar serotonin. Namun terdapat beberapa

faktor lainnya yang memiliki asosiasi dengan kejadian PMS, yaitu riwayat

keluarga dan gaya hidup.

C. Pertanyaan Penelitian

Sebagai landasan awal untuk memulai penelitian dan

merangkumnya dalam skripsi ini, peneliti mengajukan beberapa

pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada

siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta

tahun 2015?

3. Bagaimana gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta

tahun 2015?
8

4. Bagaimana gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?

5. Bagaimana gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015?

6. Bagaimana gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015?

7. Bagaimana gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015?

8. Bagaimana gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?

9. Bagaimana gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?

10. Apakah ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

11. Apakah ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?

12. Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

13. Apakah ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?
9

14. Apakah ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015?

Apakah ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstrua
Apakah ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada
Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS)

pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

b. Diketahuinya gambaran usia menarche pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.


1

c. Diketahuinya gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.

d. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta

tahun 2015.

e. Diketahuinya gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi

SMA 112 Jakarta tahun 2015.

f. Diketahuinya gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA

112 Jakarta tahun 2015.

g. Diketahuinya gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi

SMA 112 Jakarta tahun 2015.

h. Diketahuinya gambaran pola tidur pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.

i. Diketahuinya gambaran status gizi pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.

j. Diketahuinya hubungan antara usia menarche dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta

tahun 2015.

k. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015.

l. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun

2015.
1

m. Diketahuinya hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan

kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.

n. Diketahuinya hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan

kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi di SMA 112

Jakarta tahun 2015.

o. Diketahuinya hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan

kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015.

p. Diketahuinya hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

q. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

E. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa

pihak:

1. SMA 112 Jakarta

a. Memberikan tambahan informasi tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

b. Menjadi bahan dalam pemberian promosi kesehatan reproduksi

kepada siswi terkait sindrom pramenstruasi (PMS).


1

2. Siswi SMA 112 Jakarta

a. Memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

b. Menjadi bahan pembelajaran tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

3. Peneliti Lainnya

a. Memberi informasi pada peneliti lainnya tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

b. Sebagai pengalaman dan pembelajaran untuk peneliti lainnya

dalam melakukan penelitian lanjutan.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi

cross sectional tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta yang dimulai

pada November 2014 sampai Juni 2015. Penelitian ini dilatarbelakangi

oleh kejadian PMS yang masih banyak terjadi di kalangan siswi SMA 112

Jakarta dan dapat berdampak buruk. Penelitian ini dilakukan oleh

mahasiswi peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan jenis data primer.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.


1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Menstruasi adalah peristiwa paling penting pada masa pubertas

remaja putri dan merupakan penanda biologis terjadinya kematangan

seksual (Almatsier dkk., 2011). Menstruasi atau pendarahan periodik

normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya

pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan

progesteron, dengan interval siklus normal antara 24-32 hari dan

pengeluaran darah sekitar 35-90 ml (Benson dan Pernoll, 1994). Pada

beberapa wanita, sebelum siklus menstruasi berlangsung akan mengalami

beberapa perubahan hormonal dan fisiologis menstruasi, seperti nyeri

payudara, kembung, dan perubahan psikologis yang biasa disebut dengan

sindrom pramenstruasi (Nelson, 2012).

Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan kumpulan gejala

fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita,

terjadi selama fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi yang

berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium)

dan menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). PMS ini biasanya akan terjadi

pada rentang 1-2 minggu, atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi

menstruasi dan akan berhenti saat dimulainya siklus menstruasi (NIH,

2014). Akan tetapi, pada beberapa wanita juga bisa terjadi gejala PMS
1

yang terus berlanjut hingga 1-2 hari atau 24-48 jam pertama siklus

menstruasi dan akan segera mereda selama beberapa hari ke depan siklus

menstruasi (O'Brien dkk., 2007). Pada remaja umumnya PMS mulai

dialami sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan

berlanjut sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012).

B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Terdapat macam-macam gejala PMS yang terjadi pada wanita.

Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi hampir seluruh sistem tubuh.

Namun setiap individu mungkin akan mengalami gejala yang berbeda.

Berikut merupakan beberapa gejala yang umum terjadi (Saryono dan

Sejati, 2009):

1. Perubahan fisik

a. Gejala gastrointestinal: sakit punggung, perut kembung, perubahan

nafsu makan, daerah panggul terasa berat tertekan, mual, muntah,

penambahan berat badan, kram abdominal.

b. Gejala-gejala pada payudara: payudara terasa penuh, bengkak,

mengeras, nyeri.

c. Permasalahan pada kulit: kulit wajah, leher, dada, tampak merah

dan terasa terbakar, kelainan kulit(misalya jerawat).

d. Gejala vaskuler dan neurologi: pusing, pingsan, sakit kepala, tidak

bertenaga, kelelahan, nyeri sendi,dan kejang otot.

e. Keluhan mata: gangguan pengelihatan.


1

f. Permasalahan pernapasan: alergi, peradangan.

2. Perubahan suasana hati: mudah marah, cemas, depresi, mudah

tersinggung, gelisah, agresif, tertekan, gugup, hipersensitivitas secara

emosional, kemurungan.

3. Perubahan mental: kalut, bingung, sulit berkonsentrasi, dan pelupa.

4. Perubahan tingkah laku: perubahan pada libido, pola tidur, dan nafsu

makan.

C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS)

Bagi beberapa wanita gejala PMS dapat terjadi cukup parah,

sehingga dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Umumnya dampak

dari PMS tersebut adalah gangguan aktivitas harian (NIH, 2014), seperti

penurunan produktivitas kerja, sekolah, dan hubungan interpersonal

penderita (Suparman, 2010). Di samping itu PMS yang berat juga dapat

berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat kecelakaan, dan

masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014).

Dari segi aktivitas harian, penelitian membuktikan bahwa sebanyak

17% dari penderita PMS merasakan dampak klinis yang signifikan pada

ADL (activities daily life) dan 9% yang terkena dampak serius terhadap

ADL (Dennerstein dkk., 2010). Sedangkan dari segi produktivitas,

penelitian yang dilakukan Borenstein (2004) menemukan bahwa

penurunan produktivitas lebih banyak dialami oleh penderita PMS

dibandingkan dengan bukan penderita PMS, yang dikaitkan dengan


1

keluhan sulit berkonsentrasi, menurunnya entusiasme, menjadi pelupa,

mudah tersinggung, dan labilitas emosi (Borenstein dkk., 2004). Di

samping itu penderita PMS juga lebih banyak mengalami gangguan hobi,

peningkatan frekuensi kunjungan ke dokter rawat jalan dan peningkatan

hari tidak bekerja dengan alasan kesehatan.

Kemudian khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, PMS

dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan

kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk.

(2012) menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi

mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental, vitalitas, peran

fisik, fungsi sosial, dan kesehatan secara keseluruhan.

D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS)

Sampai saat ini penyebab PMS belum dapat dijelaskan secara pasti

(Wiley dan Sons, 2012). Beberapa teori menyebutkan PMS terjadi karena

ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Andrews,

2001, Dickerson dkk., 2003, Saryono dan Sejati, 2009, Zaka dan

Mahmood, 2012) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan

Sejati, 2009). Sedangkan beberapa penelitian lainnya menemukan bahwa

PMS berhubungan dengan faktor riwayat keluarga (Abdillah, 2010, Amjad

dkk., 2014), status gizi (Johnson dkk., 2010, Masho dkk., 2005), dan

aktivitas fisik (Kroll, 2010).


1

Namun secara umum diketahui bahwa ada beberapa faktor yang

memiliki hubungan dengan PMS, yaitu faktor hormonal, faktor kimiawi,

faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor gaya hidup (Saryono dan

Sejati, 2009). Kemudian terdapat faktor lainnya yang berhubungan dengan

kejadian PMS, yaitu faktor sosio-demografi (Saryono dan Sejati, Amjad

dkk., 2014). Di bawah ini merupakan penjelasan masing-masing faktor

dari kejadian PMS, antara lain:

1. Faktor Hormonal

Hormon berasal dari kata Yunani, hormein, yang berarti

memacu atau menggalakan (Wijaya, 2006). Hormon merupakan

senyawa khas yang dihasilkan oleh organ tubuh, yang bekerja dalam

memacu fungsi organ tubuh tertentu sehingga akan terlihat hasilnya

(Wijaya, 2006). Pengertian lain menyebutkan bahwa hormon adalah

zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, yang disekresikan ke

dalam darah untuk sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh

tempat hormon tersebut menimbulkan efek fisiologis (William dan

Wilkins, 2000).

Hormon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,

termasuk dari kejadian PMS yang dialami oleh para wanita. Dalam

beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor hormon adalah

faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan PMS, yaitu akibat

adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron

(Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain menunjukkan

bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron


1

dalam fase luteal dari siklus menstruasi akan menyebabkan PMS

(Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar

hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat

menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar

estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh

termasuk vitamin B6 (piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti

depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin (Brunner dan

Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Di samping itu, pada

sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi

pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid

(Saryono dan Sejati, 2009).

Untuk mengetahui kadar estrogen dan progesteron di dalam

tubuh, diperlukan pengukuran metabolit urin. Pengukuran ini telah

lama dilakukan dan masih dilakukan sampai saat ini untuk

memperkirakan fungsi hormonal secara keseluruhan, walaupun sudah

tersedia pemeriksaan-periksaan spesifik untuk mengukur kadar

hormon serum (Sacher dan McPherson, 2004). Ekskresi di urin

merupakan 70-95% dari estrogen total yang diproduksi, dimana hasil

yang disajikan akan terlihat estrogen total atau sebagai proporsi Estriol

(E1), Estradiol (E2), dan Estron (E3) yang ada (Sacher dan McPherson,

2004). Sedangkan aktivitas progesteron tercemin dari pregnanediol

(produk ekskretorik progesteron) urin (Sacher dan McPherson, 2004).


1

2. Faktor Kimiawi

Faktor kimiawi juga berhubungan dengan kejadian PMS. Zat

kimia tertentu seperti serotonin dan endorfin dapat mengalami

perubahan selama siklus menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009).

Menurut Saryono dan Sejati (2009), perubahan senyawa kimia

serotonin merupakan salah satu penyebab dari PMS. Serotonin

merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang

dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini

dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang

berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan,

kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, agresif dan

peningkatan selera (Saryono dan Sejati, 2009).

Sedangkan endorfin merupakan senyawa kimia mirip opium

yang dibuat di dalam tubuh yang terlibat dalam sensasi euphoria dan

persepsi nyeri (Saryono dan Sejati, 2009). Namun, dikarenakan kadar

endorfin di dalam darah berfluktuasi, tetapi tidak mencerminkan

aktivitas di dalam otak, penjelasan keterkaitan endorfin dengan

kejadian PMS ini belum memiliki cukup teori yang mendukung

(Saryono dan Sejati, 2009).

Pernyataan terkait serotonin di atas diperkuat dengan hasil dari

sebuah penelitian, yang menemukan bahwa SSRI (selective serotonin

reuptake inhibitors) efektif dalam mengurangi gejala PMS, khususnya

mual (Marjoribanks dkk., 2013). SSRI itu sendiri merupakan zat kimia

yang mengandung serotonin, yang digunakan untuk terapi para


2

penderita PMS. SSRI dapat dikonsumsi baik pada fase luteal (pasca

ovulasi) atau terus menerus (setiap hari). SSRI umumnya dianggap

efektif untuk mengurangi gejala pramenstruasi namun dapat

menyebabkan efek samping bila dikonsumsi secara berkelanjutan.

Untuk mengukur kadar serotonin di dalam tubuh, terdapat dua

metode utama, yaitu metode konvensional dan metode positron

emission tomography (PET) (Visser dkk., 2011). Metode konvensional

merupakan metode yang invasif dan tidak langsung mengukur tingkat

sintesis dari serotonin itu sendiri, namun metode ini dapat memberikan

hasil pada tingkat turnover, seperti pengukuran melalui sampel darah.

Sedangkan pengukuran PET adalah teknik non-invasif yang dapat

melacak proses metabolisme dari serotonin tersebut, seperti dengan

cara autoradiography.

3. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada

kejadian PMS. Dimana, gen sangat erat kaitannya dengan insidens

(kasus baru) PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%)

pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%)

(Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009). Hal ini

dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan

perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Penelitian terbaru

pada perilaku manusia, telah meneliti peran genetik dalam etiologi dari

PMS, dimana terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang

dapat menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007). Di


2

samping itu, varian di promotor untuk gen serotonin transporter juga

memiliki efek pada ekspresi serotonin 5-HT transporter molekul

(Praschak-Rieder dkk., 2002). Varian promotor ini berhubungan

dengan depresi dan gangguan afektif.

Faktor genetik dapat dilihat dari riwayat keluarga. Sebuah

penelitian menemukan bahwa ada hubungan secara signifikan antara

riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010). Di samping itu, hasil

penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat

hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan

kejadian PMS. Dimana seseorang yang memiliki ibu dan/atau saudara

kandung perempuan yang mengalami PMS lebih banyak yang

menderita PMS, dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki

ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS

(Amjad dkk., 2014). Namun, hal tersebut bertentangan pada penelitian

lain yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan terhadap

faktor gen pembawa PMS dengan kejadian PMS itu sendiri (Magnay

dkk., 2006).

4. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang dimaksud adalah stres (Saryono dan

Sejati, 2009). Stres inilah yang akan memperberat gangguan PMS

(Saryono dan Sejati, 2009). Menurut sebuah teori, dikatakan bahwa

seorang wanita akan lebih mudah menderita PMS apabila wanita

tersebut lebih peka terhadap perubahan psikologis, khususnya stres

(UMM, 2013).
2

Stres ini sebenarnya memiliki hubungan dengan hormon

progesteron. Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh

Michel dan Bonnet (2014) pada marmut, ditemukan bahwa konsentrasi

progesteron dapat menurun sebesar 50,9% setelah terjadinya stres

(Michel dan Bonnet, 2014).

Penelitian lainnya ditemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat kecemasan dengan PMS. Hubungan ini

membentuk kecenderungan semakin tinggi tingkat kecemasan

seseorang maka sindrom yang dialami seseorang juga akan semakin

berat (Siyamti dan Pertiwi, 2011) Hasil yang sejalan juga dihasilkan

oleh penelitian lainnya yang menemukan bahwa terdapat hubungan

positif dengan korelasi yang sedang antara tingkat stres dengan

kejadian PMS (Mayyane, 2011).

5. Faktor Gaya Hidup

Faktor gaya hidup yang berhubungan dengan PMS terdiri atas

aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009, Lustyk dan Gerrish, 2010,

Zaka dan Mahmood, 2012), pola tidur (Saryono dan Sejati, 2009,

Shechter dan Boivin, 2010), asupan zat gizi mikro (Saryono dan Sejati,

2009), dan status gizi (Masho dkk., 2005). Berikut penjelasan dari

masing-masing dari faktor tersebut:

a. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi


2

(WHO, 2014b). Aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat

mengurangi rasa sakit akibat PMS, sehingga apabila aktivitas fisik

rendah dapat meningkatkan keparahan dari PMS, seperti rasa

tegang, emosi, dan depresi. Sebuah teori menyebutkan, dengan

adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi endorfin,

menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya,

memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol,

dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984).

Hal ini juga diperkuat sebuah review, yang menyatakan bahwa

melakukan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan kadar serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya

serotonin ini sangat erat kaitannya dengan depresi dan perubahan

mood yang berujung pada masalah kesehatan.

Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat

menurunkan resiko gejala PMS, seperti perubahan nafsu makan,

hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009,

Kroll, 2010). Namun terdapat penelitian lain, yang mendapatkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat

keluhan sindrom pramenstruasi (Aldira, 2014, Pujihastuti, 2012).

Menurut WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004),

terdapat 3 (tiga) kategori aktivitas fisik, yaitu (Dinkes, 2014):


2

1) Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk

duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam

bidang pekerjaannya;

2) Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk

duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam

bidang pekerjaannya;

3) Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk

dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang

pekerjaannya.

b. Asupan Zat Mikro

Asupan zat mikro memiliki keterkaitan sendiri terhadap

PMS. Menurut Saryono dan Sejati (2009), salah satu penyebab

PMS adalah karena kurang asupan piridoksin (B 6), kalisum (Ca),

dan magnesium (Mg). Berikut ini merupakan penjelasan dari

masing-masing zat mikro

1) Asupan Piridoksin (B6)

Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut

air, yang wujudnya seperti kristal putih dan tidak berbau;

memiliki sifat yang tahan terhadap panas; serta tidak tahan

terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier,

2010). Piridoksin memiliki keterkaitan sendiri dengan kejadian

sindrom pramenstruasi. Menurut Saryono dan Sejati (2009)

salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan

piridoksin.
2

Hal ini dikarenakan piridoksin sangat penting dalam

pembentukan serotonin yang berkaitan dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (Almatsier, 2010). Sehingga apabila tubuh

mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi gejala-gejala yang

berhubungan dengan metabolisme protein, seperti lemah, mudah

tersinggung, dan sukar tidur yang. merupakan gejala dari sindrom

pramenstruasi (Almatsier, 2010). Piridoksin juga diketahui dapat

memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan perilaku yang

berlangsung selama PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,depresi,

dan mual (Lustyk dan Gerrish, 2010). Di samping itu,

berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa

dengan mengonsumsi suplemen 50-100 mg/hari piridoksin

dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS

(Lustyk dan Gerrish, 2010).

Berikut merupakan angka kecukupan piridoksin untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG

2013 (Kemenkes, 2014):

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan


Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
Usia Asupan B6 (mg)
13-15 tahun 1,2
16-18 tahun 1,3
Rata-rata 1,25

Sumber: Kemenkes (2014)


Untuk memenuhi asupan piridoksin di atas, dibutuhkan

bahan makanan yang memiliki kandungan piridoksin tinggi.


2

Bahan makanan tersebut adalah kecambah gandum, hati, ginjal,

serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier,

2010).

2) Asupan Kalsium (Ca)

Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak

disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di

tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam

mengatur fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan

penggumpulan darah), mengatur kerja hormon, dan faktor

pertumbuhan (Almatsier, 2010).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui

bahwa kalsium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab

kalsium berperan dalam meringankan dan menekan resiko

terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu,

berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa

dengan mengonsumsi suplemen 1200-1600 mg/hari kalsium

dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS

(Lustyk dan Gerrish, 2010).

Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys-

Jacobs (2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu

mineral yang terbukti secara signifikan menghasilkan 50%

pengurangan dari gejala sindrom pramenstruasi, seperti gangguan

mood dan perilaku yang berlangsung selama sindrom

pramenstruasi, kegelisahan, hidrasi, depresi, dan mual. Kalisum


2

juga memiliki keterkaitan dengan hormon, karena pada

dasarnya hormon estrogen mempengaruhi metabolisme

kalsium, penyerapan kalsium dalam usus, dan memicu fluktuasi

siklus menstruasi (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan kalsium di

dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) telah lama

dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan

kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek

terhadap metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs,

2000).

Berikut merupakan angka kecukupan kalsium untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG

2013 (Kemenkes, 2014):

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan


Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
UsiaAsupan Ca (mg)
13-15 tahun 1200
16-18 tahun 1100
Rata-rata 1150

Sumber: Kemenkes (2014)

Untuk memenuhi asupan kalsium di atas, dibutuhkan

bahan makanan yang memiliki kandungan kalsium tinggi.

Bahan makanan tersebut adalah susu dan hasil produksi susu,

seperti keju dan yoghurt (Almatsier, 2010).


2

3) Asupan Magnesium (Mg)

Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling

banyak setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak

terlibat pada berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010).

Magnesium memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem

enzim di dalam tubuh, karena magnesium bertindak di dalam

semua sel jaringan lunak sebagai katalisator, termasuk

metabolisme zat gizi makro (Almatsier, 2010). Sehingga

magnesium sangat penting baik tubuh, seperti mengendorkan otot,

melemaskan saraf, dan mencegah kerusakan gigi (Almatsier,

2010).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui

bahwa magnesium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab

magnesium berperan dalam meringankan dan menekan resiko

terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu,

berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa

dengan mengonsumsi 400-800 mg/hari magnesium dapat

mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan

Gerrish, 2010). Magnesium juga memiliki keterkaitan dengan

hormon. Karena pada dasarnya hormon estrogen

mempengaruhi metabolisme magnesium (Thys-Jacobs, 2000).

Magnesium juga berfungsi dalam membantu relaksasi otot,

transmisi sinyal syaraf, mengurangi migren, dan sebagai


2

penenang ilmiah yang dibutuhkan oleh perempuan saat

mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).

Berikut merupakan angka kecukupan magnesium untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes,
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan Berdasarkan Ang

Usia Asupan Mg (mg)


13-15 tahun 220
16-18 tahun 310
Rata-rata 265

Sumber: Kemenkes (2014)

Untuk memenuhi asupan magnesium di atas, dibutuhkan bahan makanan yang memi
4) Metode Pengukuran Asupan Zat Mikro

Dalam mengukur asupan zat mikro digunakan food

recall 3x24 jam., sebab food recall yang dilakukan selama 3

hari dapat melihat kebiasaan asupan zat gizi seseorang

(Gibson, 2005). Dalam metode food Recall, responden

diwawancarai oleh enumerator yang telah terlatih dalam

melakukan wawancara terhadap jenis dan jumlah makanan

yang dikonsumsi responden selama 24 jam yang lalu (Gibson,


3

2005). Untuk meningkatkan keakuratan hasil dari food recall

ini, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan (Gibson, 2005):

a) Memberikan pelatihan kepada enumerator terkait estimasi

ukuran porsi sebelum recall dilakukan

b) Menyediakan alat makan, seperti mangkuk, piring dan

gelas untuk membantu responden membayangkan jumlah

makanan yang dikonsumsi

c) Menimbang ukuran porsi dari makanan yang dikonsumsi

oleh responden.

Kemudian untuk memvalidasi food recall, digunakan

food record 3x24 jam. Dalam penggunaan food record,

responden melakukan pencatatan sendiri terhadap jenis dan

jumlah makanan yang dikonsumsinya selama periode yang

ditentukan (Gibson, 2005).

c. Pola Tidur

Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara

normal dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan

dapat diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan

kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati,

2008). Hal ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletak di otak

akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan

(Lanywati, 2008).
3

Tidur tidur merupakan salah satu faktor yang memiliki

keterkaitan dengan PMS. Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa

gangguan) ternyata dapat memperingan gejala PMS. Hal ini

dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi

sekresi berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan

Boivin, 2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007),

meskipun pola tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari

PMS yang parah, namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui

bahwa pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari

gejala PMS yang dirasakan (Baker dkk., 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan di Surabaya, diketahui

bahwa prevalensi kejadian insomnia pada wanita yang sedang

mengalami sindroma pramenstruasi lebih tinggi, yaitu sebesar

66,67% dari jumlah responden yang mengalami insomnia (Hapsari,

2010). Kemudian, dari hasil analisis data yang dilakukan ditarik

kesimpulan bahwa ada perbedaan insomnia antara wanita yang

mengalami sindroma pramenstruasi dan wanita yang tidak

mengalami sindroma pramenstruasi. Di samping itu, penelitian

yang serupa dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan

bahwa PMS memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur

(Cheng dkk., 2013, Karaman dkk., 2012).

d. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh adanya

keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah


3

yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi

biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau

produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes,

2006). Status gizi ini memiliki peranan yang cukup penting pada

tingkat keparahan kejadian PMS. Hal ini dikarenakan seseorang

yang mengalami kegemukan atau obesitas dapat meningkatkan

risiko terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada

meningkatnya risiko mengalami gejala PMS (Bussell, 2014).

Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas

memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kejadian PMS

(Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut,

penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa teradapat hubungan

yang kuat antara IMT pada awal dan risiko kejadian PMS, dengan

setiap kenaikan 1 kg / m2 pada IMT , yang dikaitkan dengan

peningkatan yang signifikan terhadap risiko PMS sebesar 3%

(Johnson dkk., 2010). Sedangkan menurut Dickerson, dkk. (2003),

pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin, yang

berujung pada terjadinya gejala PMS.

Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Aminah, dkk.

(2011) yang juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara status

gizi menurut IMT dengan PMS, dimana siswi dengan status gizi

tidak normal (obesitas, overweight iatau under weight) memiliki

kemungkinan mengalami PMS 3,3 kali lebih besar dibandingkan

dengan siswi yang memiliki status gizi normal. Namun, ada juga
3

penelitian lain yang menemukan bahwa ternyata tidak ada

hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada remaja

puteri (Munthe, 2013).

Pada remaja status gizi dilihat berdasarkan indeks massa

tubuh menurut umur (IMT/U) dengan 5 (lima) kategori, yaitu

(Kemenkes, 2011):

Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umur

KategoriStandar Deviasi
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk > 1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas > 2 SD

Sumber: Kemenkes (2014)

6. Faktor Sosio-Demografi

Faktor sosio-demografi yang berhubungan dengan kejadian

PMS adalah umur (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014),

status perkawinan (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014),

pernah atau tidak melahirkan (Saryono dan Sejati, 2009), pendidikan

(Amjad dkk., 2014), pendapatan (Amjad dkk., 2014), usia menarche

(Amjad dkk., 2014), dan tempat tinggal (Amjad dkk., 2014). Berikut

penjelasan masing-masing faktor:

a. Umur

Umur menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan

kejadian PMS. Dimana PMS akan terjadi pada saat wanita berada

pada usia subur hingga saat wanita mengalami menoupause.


3

Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi

hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi

berhenti (North American Menopause Society, 2010). Menurut

Saryono dan Sejati (2009), seiring bertambahnya usia tingkat risiko

kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40

tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang

dikemukakan oleh UMM (2013), yang menyatakan bahwa kejadian

PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada

di akhir 20-an dan di awal 40-an.

Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang

meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita

setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada

wanita setengah baya (Brahmbhatt dkk., 2013). Meskipun hal ini

tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini

mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi

hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut

(Brahmbahtt dkk., 2013).

Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan terdapat

hubungan (P value < 0,05) antara usia wanita dengan PMS. Dari

hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia

15-24 tahun lebih banyak (64,67%) menderita PMS dibandingkan

dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun (22,75%)


3

dan 35-45 tahun (12,57%). Namun terkait hal ini belum dapat

dijelaskan secara pasti.

b. Status perkawinan

Saryono dan Sejati (2009) menjelaskan bahwa status

perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS.

Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan

memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini

sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada

wanita tersebut.

Sejalan dengan Saryono dan Sejati (2009), hasil penelitian

Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa status perkawinan

memiliki hubungan (P value < 0,05) dengan kejadian PMS. Dari

hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih

banyak yang mengalami PMS (59,88%) dibandingan dengan

wanita yang sudah menikah (39,52%) dan wanita yang sudah

menjanda (0,6%).

c. Pernah atau tidak melahirkan

Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan

beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan

komplikasi seperti toksima (pre-eklampsia) (Saryono, 2009).

d. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan

seseorang secara intelektual dan emosional (Notoatmodjo, 2007).

Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan


3

kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan

sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan,

khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS

dapat disikapi dengan lebih baik (Dewi, 2010).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan

bahwa sebanyak 52,6% responden yang memiliki pengetahuan

baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS,

sedangkan 92,9% responden yang memiliki pengetahuan kurang

baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS (Dewi,

2010). Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa

terdapat hubungan (P value < 0,05) antar pengetahuan dengan

sikap remaja dalam menghadapi PMS.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014)

menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara

pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan

bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak

mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan

yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres

yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan (Amjad

dkk., 2014).

e. Pendapatan

Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung

dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat

mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup (Lustyk dan


3

Gerrish, 2010). Sehingga, apabila seseorang memiliki pendapatan

yang cukup, tentunya risiko seseorang mengalami stres akan

menurun. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat

hubungan antara kejadian PMS dengan pendapatan seseorang.

f. Usia menarche

Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang

biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk.,

2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Sedangkan kategori usia

menarche dibagi menjadi 3, yaitu (Bagga dan Kulkarni, 2000):

1) Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun.

2) Normal, jika usia menarche 12-13 tahun.

3) Lambat, jika usia menarche >13 tahun

Usia menarche juga merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Aminah, dkk. (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan (P

value < 0,05) antara usia menarche siswi dengan PMS. Menurut

penelitian tersebut, siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun)

berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan

dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah

dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014)

yang juga menemukan hal yang serupa.

Sebenarnya mekanisme antara usia menarche yang

dikaitkan dengan PMS masih belum jelas (Amjad dkk., 2014).


3

Namun ada kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi

fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada

awal fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas

hubungan tersebut (Aminah dkk., 2011, Amjad dkk., 2014).

Namun terdapat juga penelitian lain yang menemukan

bahwa tidak ditemukannya hubungan antara usia menarche dengan

gejala pra menstruasi dan gejala PMS (Padmavathi dkk., 2013,

Silvia dkk., 2008), meskipun terlihat bahwa tingkat prevalensi

gejala dan sindrom pramenstruasi lebih tinggi pada wanita usia

yang pada menarche kurang dari 11 tahun (Silvia dkk, 2008).

g. Tempat Tinggal

Tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan

dengan PMS. Tempat tinggal yang dimaksud adalah daerah rural

(pedesaan) dan urban (perkotaan) (Amjad dkk., 2014). Amjad, dkk.

(2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05)

antara tempat tinggal dan PMS. Dimana menurut hasil peneitian

tersebut, wanita yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak

(85,62%) yang mengalami PMS, dibandingankan dengan wanita

yang tinggal di daerah pedesaan (12,57). Hal ini sejalan dengan

penelitian lainnya, yang menemukan bahwa remaja putri yang

mengalami PMS lebih banyak ditemukan pada remaja putri yang

tinggal di kota (70,3%), dibandingkan dengan remaja putri yang

tinggal di desa (56,6%) (Emilia dkk., 2013, Ray dkk., 2010).


3

Kejadian PMS tersebut disebabkan karena adanya faktor

stres pada siswi, dimana siswi yang tinggal di kota lebih banyak

mengalami stres (Emilia dkk., 2013). Kehidupan yang penuh stres

akan mempengaruhi dan memperparah gejala-gejala fisik maupun

psikologis dari PMS (Emilia dkk., 2013).

E. Kerangka Teori

Saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi (PMS) belum

diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa literatur yang

menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbul

dan parahnya gejala PMS. Menurut Saryono (2009), terdapat empat faktor

umum yang menyebabkan PMS, yang meliputi, faktor genetik (riwayat

keluarga (Amjad dkk., 2014)), faktor psikologis (stres), faktor gaya hidup

(aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, dan asupan

magnesium, dan aktivitas fisik), faktor hormonal (kadar estrogen dan

progestreron), dan faktor kimiawi (kadar serotonin dan endorfin).

Selanjutnya menurut Amjad, dkk. (2014), diketahui bahwa terdapat

faktor lain, yaitu sosio-demografi yang dapat menyebabkan PMS, seperti

umur, status perkawinan, pendidikan, pendapatan, usia menarche, dan

tempat tinggal. Faktor sosio-demografi ditambah lagi dengan faktor pernah

atau tidaknya melahirkan yang dikemukakan oleh Saryono dan Sejati

(2009).
4

Kemudian Shecter dan Boivin (2010), menyatakan bahwa pola

tidur dapat mempengaruhi sekresi hormon, yang berkaitan dengan

kejadian PMS. Sedangkan penelitian Masho (2005) menyatakan bahwa

status gizi yang dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) juga dapat

menjadi salah faktor yang menyebabkan PMS.

Adapun kerangka teori dari kelima literatur tersebut dapat

terlihat pada bagan 2.1:


41

Faktor Genetik Faktor


b Hormonal

Faktor Sosio-Demografi
Riwayat keluarga1,4 Penurunan kadar hormon
progesteron1
Umur1,4
Faktor Psikologis
Peningkatan kadar hormon
Status perkawinan 1,4 estrogen1
Stres1

Pernah/ tidak melahirkan1 Gejala sindrom Kejadian


pramenstruasi sindrom
Pendidikan4

Pendapatan4 Faktor Gaya Hidup

Usia menarche4 Aktifitas fisik1

Asupan piridoksin Faktor Kimiawi


Tempat tinggal4
(B6)1

Perubahan kadar serotonin1


Asupan kalsium (Ca)1
Sumber: 1. Saryono dan
Defisiensi endorfin1
Asupan magnesium (Mg) 1
Sejati (2009), 2. Masho, dkk
Keterangan:
(2005), 3. Shecter dan
Perbedaan garis hanya
Pola tidur3
untuk memudahkan dalam Boivini (2010), 4. Amjad,
membaca.
dkk. (2014)
Status gizi2

Bagan 2.1 Kerangka Teori


BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, yaitu variabel

dependen yang meliputi kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) dan

variabel independen yang meliputi usia menarche, riwayat keluarga,

aktivitas fisik, asupan sumber piridoksin, asupan sumber kalsium, asupan

magnesium, pola tidur, dan status gizi.

Peneliti tidak meneliti semua faktor yang ada. Beberapa faktor

yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik wanita (kecuali usia

menarche), faktor psikologis, dan faktor kimiawi. Faktor karakteristik

wanita yang meliputi umur, pendapatan, pendidikan, status perkawinan,

tempat tinggal, dan pernah atau tidaknya melahirkan tidak diteliti karena

apabila faktor ini diteliti kemungkinan akan terjadinya kehomogenan data.

Hal ini disebabkan objek penelitian ini adalah anak sekolah yang secara

umum memiliki karakteristik yang sama. Kemudian faktor lainnya yang

tidak diteliti meliputi faktor psikologis, faktor hormonal, dan kimiawi

karena sudah banyak penelitian yang meneliti ketiga hal tersebut dan

mendapatkan hasil yang sama, yaitu memiliki hubungan dengan kejadian

PMS.

42
4

Sedangkan variabel independen akan dijelaskan secara lebih rinci

di bawah ini:

1. Usia menarche memiliki hubungan dengan PMS karena dengan

terjadinya usia menarche yang cepat, perkembangan remaja putri dari

segi fisiologis dan psikologis belum maksimal, sehingga dapat

menyebabkan risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala PMS.

2. Riwayat keluarga memiliki hubungan dengan PMS karena adanya gen

yang dapat membawa gejala PMS kepada keturunan. Sehingga apabila

ada seorang ibu yang mengalami PMS berat, dapat menurunkan PMS

tersebut kepada anak-anaknya.

3. Asupan zat mikro, khususnya piridoksin, kalsium, dan magnesium

dapat berhubungan dengan PMS karena ketiga zat tersebut merupakan

zat-zat yang dapat menurunkan keparahan dari PMS. Dimana

metabolisme ketiga zat tersebut berhubungan dengan kadar estrogen,

progesteron dan serotonin di dalam tubuh yang berhubungan langsung

dengan PMS.

4. Pola tidur dan aktivitas fisik memiliki hubungan dengan faktor kimia,

yaitu perubahan kadar serotonin di dalam tubuh. Kadar serotonin ini

merupakan faktor langsung yang dapat menyebabkan timbulnya gejala

PMS.

5. Status gizi juga berhubungan dengan PMS, khususnya bagi status gizi

lebih (overweight dan obesitas). Dimana seseorang dengan status gizi

lebih akan mengalami peningkatan jaringan adipositas yang dapat


4

menyebabkan inflamasi pada jaringan, termasuk jaringan pada organ

reproduksi.

Sehingga berdasarkan kerangka teori yang ada, maka peneliti

menyusun kerangka konsep yang terlihat pada bagan 3.1 berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Usia menarche

2. Riwayat keluarga

3. Aktivitas fisik

4. Asupan piridoksin (B6)

Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Remaja


5. Asupan kalsium (Ca)

6. Asupan magnesium (Mg)

7. Pola tidur

8. Status gizi

Bagan 3.1 Kerangka Konsep


B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Skala


No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian Kumpulan gejala fisik dan psikis yang Pengisian Shortened 1. Tidak ada gejala hingga gejala ringan, Ordinal
sindrom dialami oleh wanita pada 7 hari sebelum kuesioner premenstrual jika skor total < 30.
pramenstruasi menstruasi (keluarnya darah normal) assessment form
2. Gejala sedang hingga berat, jika skor
(PMS) dimulai, dalam siklus menstruasi terakhir. (sPAF) total ≥ 30.
(Allen dkk., 1991)
(Allen dkk., 2010, Anggrajani dan Muhdi,
2011, Lustyk dan Gerrish, 2010)
Variable Independen
1. Usia menarche Umur responden pada saat pertama kali Pengisian Kuesioner usia 1. Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun. Ordinal
mendapatkan menstruasi (keluarnya darah kuesioner menarche 2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun.
normal). 3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun
(Bagga dan Kulkarni, 2000)
2, Riwayat Ada atau tidaknya anggota keluarga (ibu Pengisian Kuesioner riwayat 1. Ada, jika terdapat anggota keluarga Nominal
keluarga dan/atau saudara kandung perempuan) yang kuesioner keluarga yang memiliki riwayat mengalami PMS.
memiliki riwayat mengalami PMS yang 2. Tidak ada, jika tidak terdapat anggota
sampai mengganggu aktivitas harian, yang keluarga yang memiliki riwayat
diketahui berdasarkan pengakuan ibu mengalami PMS.
dan/atau saudara kandung perempuan.
3. Aktivitas fisik Setiap gerakan tubuh yang membutuhkan Wawancara Recall aktivitas 1. Ringan, jika 75% dari waktu yang Ordinal
pengeluaran energi (pembakaran kalori), fisik 2x24 jam digunakan adalah untuk duduk atau
seperti duduk, berjalan, berlari, dsb. WHO (1985) berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja
modifikasi WNPG khusus dalam bidang pekerjaannya.
VIII (2004) 2. Sedang jika 40% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk dan
berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja

45
46

Skala
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
khusus dalam bidang pekerjaannya.
3. Berat, jika 25% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk dan
berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja
khusus dalam bidang pekerjaannya.
(Dinkes, 2014)
4. Asupan Rata-rata magnesium yang biasa Wawancara Food recall 24 jam 1. Kurang, jika < 80% AKG (< 212 mg) Ordinal
magnesium dikonsumsi oleh responden dalam sehari. dan pengisian 3x dan Food 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 212 mg)
(Mg) kuesioner Record 24 jam 3x
(Kemenkes, 2010)
5. Asupan kalsium Rata-rata kalsium yang biasa dikonsumsi Wawancara Food recall 24 jam 1. Kurang, jika < 80% AKG ( <1150 mg) Ordinal
(Ca) oleh responden dalam sehari. dan pengisian 3x dan Food 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1150 mg)
kuesioner Record 24 jam 3x
(Kemenkes, 2010)
6. Asupan Rata-rata piridoksin yang biasa dikonsumsi Wawancara Food recall 24 jam 1. Kurang, jika < 80% AKG (< 1 mg) Ordinal
piridoksin (B6) oleh responden dalam sehari. dan pengisian 3x dan Food 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1 mg)
kuesioner Record 24 jam 3x
(Kemenkes, 2010)
7. Pola tidur Kebiasaan tidur yang biasa dilakukan oleh Pengisian Pittsburgh Sleep 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5 Ordinal
responden selama satu bulan terakhir, yang kuesioner Quality Index
2. Buruk, jika skor PSQI > 5
dinilai berdasarkan tujuh komponen utama (PSQI)
yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan (Buysse dkk., 1989)
(Buysse dkk.,
memulai tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, 1989)
gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan
gangguan aktivitas di siang hari
8. Status gizi Keadaan tubuh sebagai akibat dari Pengukuran Timbangan berat 1. Sangat kurus, jika IMT/U < -3 SD Ordinal
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat antropometri badan dan
2. Kurus, jika IMT/U -3 SD s/d < -2 SD
gizi yang diukur dengan indeks microtoise
antropometri IMT/U dan disesuaikan 3. Normal, jika IMT/U -2 SD s/d 1 SD
dengan standar z-score berdasarkan 4. Gemuk, jika IMT/U > 1 SD s/d 2 SD
Kepmenkes RI No: 1995/MENKES/SK/
XII/2010 tentang Standar Antropometri 5. Obesitas, jika IMT/U > 2
Penilaian Status Gizi Anak. SD (Kemenkes, 2011)
47

C. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

2. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

3. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

4. Ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

5. Ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

6. Ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian

sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

7. Ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

8. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom

pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.


BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi cross-sectional. Stu
pramenstruasi (PMS).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SMA 112 Jakarta. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan p

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Berikut merupakan kriteria populasi pada penelitian ini, antara

lain:

a. Populasi target adalah seluruh siswi di SMA 112 Jakarta yang telah

mengalami menstruasi sebanyak 445 orang.

48
4

b. Populasi terjangkau adalah siswi kelas X dan XI di SMA 112

Jakarta yang telah mengalami menstruasi sebanyak 295 orang.

Sampel

Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau, yang meliputi siswi kelas X d
a. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan dengan rumus uji beda dua proporsi untuk two tail. Hal ini dikarena

{z1−𝖺⁄2√2̅P(1 −̅P) + z1−𝛽 √P1(1 − P1) + P2(1 − P1)}


n = (P1− P2)2

Keterangan:

n = Besar sampel minimum

Z1-α/2 = 1,96 (derajat kemaknaan 95% CI dengan α = 5%)


Z1-β = 0,84 (kekuatan uji pada 1-β = 80%)
P1 = 74,5 % = 0,583 (proporsi kejadian sindrom
pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur
baik (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P2 = 61,9 % = 0,399 (proporsi kejadian sindrom
pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur
buruk (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P = (P1+P2)
= 0,682
2
5

Tabel 4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang


Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya
Variabel Kejadian PMS Ʃ
P1 P2 Sampel
Usia menarche (Aminah dkk., 2011) 0,198 0,471 46
Status gizi (Aminah dkk., 2011) 0,562 0,172 23
Riwayat keluarga (Abdillah, 2010) 0,882 0,434 17
Asupan magnesium (Mg) 0,758 0,468 44
(Nurmalasari, 2013)
Asupan kalsium (Ca) (Nurmalasari, 2013)0,860 0,270 10
Asupan piridoksin (B6) (Pujihastuti, 2012)
0,100 0,000 9

Pola tidur (Kusumawardhani dkk., 0,583 0,399 115


2014)
Aktivitas fisik (Sianipar, dkk., 2009) 0,670 0,330 44

Berdasarkan perhitungan besar sampel pada setiap variabel dengan menggunakan nilai P1
b. Teknik Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini, sampel diambil dengan teknik simple

random sampling (SRS), yaitu suatu metode pengambilan sampel

yang didasarkan bahwa setiap anggota atau unit pada populasi

memiliki kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel

(Groves dkk., 2009). SRS ini dapat dilaksanakan hanya jika

populasi tidak begitu banyak variasinya dan secara geografis tidak

terlalu menyebar, di samping itu harus tersedianya daftar populasi


5

(sampling frame) (Hastono dan Sabri, 2008). Dalam penelitian ini,

SRS dilakukan dengan melakukan pengundian nama siswi yang

sebelumnya didapatkan dari absen (frame sampling) yang

diberikan oleh pihak sekolah.

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Sumber Data

Jenis sumber data yang dikumpulkan pada penelitian ini,

adalah data primer. Data primer tersebut digunakan untuk seluruh data

variabel penelitian, yang terdiri dari variabel dependen (kejadian PMS)

dan variabel independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas

fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan Magnesium, pola

tidur, dan status gizi).

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan instumen

penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner, yang digunakan untuk mengumpulkan seluruh data variabel

yang diteliti, kecuali variabel status gizi yang didapatkan dengan

pengukuran antropometri.

Terdapat dua jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian

ini, yaitu jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat tertutup

(variabel kejadian PMS, usia menarche, riwayat keluarga dan pola

tidur) dan jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat terbuka


5

(variabel asupan zat gizi mikro dan aktvitas fisik). Pertanyaan yang

bersifat tertutup maksudnya adalah pertanyaan yang sudah memiliki

pilihan jawaban tersendiri, sehingga mempunyai keuntungan mudah

dalam mengarahkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2010).

Sedangkan untuk kuesioner yang bersifat terbuka adalah pertanyaan

yang belum memiliki jawaban. Dalam penelitian ini, penggunaan

kuesioner terbuka recall akan dilakukan dengan cara wawancara oleh

peneliti.

3. Instrumen Pengumpulan Data

a. Sindrom pramenstruasi (PMS)

Data sindom pramenstruasi (PMS) diperoleh dari hasil

pengisian shortened premenstrual assessment form (sPAF) oleh

responden. Kuesioner ini merupakan ringkasan dari premenstrual

assessment form (PAF) yang terdiri dari 95 pertanyaan(Allen dkk.,

1991). SPAF merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat

tetap, dan sudah teruji validitas dan reabilitasnya (Allen, dkk.,

1991). Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan di Korea,

diketahui bahwa keandalan dari kuesioner ini adalah 0,80,

konsistensi internal (Cronbach alpha) adalah 0,91, dan korelasi

antara coeffeciecy score adalah 0,92 (Lee dkk., 2002). Di samping

itu instrumen ini juga sudah banyak digunakan oleh berbagai

penelitian PMS di luar maupun di dalam negeri dan masih

dipergunakan hingga sekarang.


5

Kuesioner ini berisi 10 (sepuluh) pertanyaan terkait gejala

PMS yang diderita responden, yang terdiri atas tiga sub skala (nyeri

(pertanyaan #1, #6, dan #8), emosi (pertanyaan #2 sampai #5) dan

retensi air (pertanyaan #7, #9, #10)), dengan setiap pertanyaan

memiliki bobot nilai 1-6 poin(1 = tidak mengalami, 2 = sangat

ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 = ektrim)

tergantung jawaban yang dipilih oleh responden (Allen dkk., 1991).

Hasil dari kuesioner ini dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Tidak

ada gejala hingga gejala ringan, jika skor total < 30; dan 2. Gejala

sedang hingga berat, jika jika skor total ≥ 30 (Allen dkk., 2010,

Anggrajani dan Muhdi, 2011, Lustyk dan Gerrish, 2010)

b. Usia menarche

Data usia menarche juga didapatkan dengan cara

menyebarkan kuesioner kepada responden dengan mengisi kolom

usia menarche pada kuesioner identitas diri. Hasil dari data ini

dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Cepat, jika usia

menarche ≤11 tahun; 2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun;

dan 3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun (Bagga dan Kulkarni,

2000).

c. Riwayat Keluarga

Data riwayat keluarga juga didapatkan dengan cara

menyebarkan kuesioner kepada responden. Kuesioner terdiri dari

tiga pertanyaan terkait ada atau tidaknya riwayat kejadian PMS

pada anggota keluarga. Hasil dari data ini dikelompokkan ke dalam


5

dua kategori, yaitu: 1. Ada, jika ada riwayat kejadian PMS dalam

keluarga; 2. Tidak, jika tidak ada riwayat kejadian PMS dalam

keluarga.

d. Aktivitas Fisik

Data aktivitas fisik didapatkan dengan cara melakukan

penyebaran recall aktivitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi

WNPG VIII (2004) kepada responden. Kuesioner ini merupakan

kuesioner dengan pertanyaan terbuka, dimana peneliti melakukan

wawancara kepada responden untuk mengisi kuesioner ini sesuai

dengan aktivitas yang dilakukannya selama 24 jam sebelumnya.

Kemudian peneliti akan menghitung persentase kegiatan yang

dilakukan oleh responden (cara hitung terdapat pada lampiran 3).

Hasil ukur dari variabel ini dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu: 1. Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk

duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam

bidang pekerjaannya; 2. Sedang jika 40% dari waktu yang

digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan

kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 3. Berat, jika 25% dari

waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75%

untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya (Dinkes,

2014).
5

e. Asupan Zat Mikro (Piridoksin, Kalsium, dan Magnesium)

Data untuk variabel asupan zat mikro didapatkan dari

pengisian kuesioner food record 24 jam selama tiga hari oleh

responden dan food recall 24 jam selama tiga hari oleh peneliti.

Dalam penggunaannya, setelah kuesioner tersebut diisi, kemudian

peneliti melakukan input data bahan makanan yang dikonsumsi

responden ke dalam software khusus untuk menghitung asupan zat

gizi. Kemudian software tersebut akan menghasilkan zat-zat gizi

total dari makanan yang dikonsumsi oleh responden. Hasil ukur

dari variabel ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Kurang, jika

<80% AKG; 2. Cukup, jika ≥80% AKG (Kemenkes, 2010).

f. Pola Tidur

Data pola tidur didapatkan dari kuesioner Pittsburgh Sleep

Quality Index (PSQI) yang secara subjektif diisi oleh responden

dengan penilaian terhadap 7 komponen utama yaitu latensi, durasi,

kualitas, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan

gangguan aktivitas di siang hari (Buysse dkk., 1989). Kuesioner

PSQI merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat tetap,

dan sudah teruji menghasilkan sensitivitas diagnostik 89,6% dan

spesifisitas 86,5% (kappa = 0,75, p kurang dari 0,001) dalam

membedakan yang pola tidur baik dan yang buruk (Buysse dkk.,

1989). Di samping itu validitas instrumen PSQI juga sudah teruji,

yaitu sebesar 0,89 (Cunha dkk., 2008) dan 0,84 (Fauziah, 2013),
5

sedangkan reliabilitasnya sebesar 0,88 (Cueller dan Ratcliffe, 2008)

dan 0,766 (Agustin, 2012).

Kuesioner ini berisi sembilan pertanyaan utama tentang

kuantitas dan kualitas tidur responden. Cara perhitungan untuk

kuesioner ini dijelaskan pada lampiran 2. Sedangkan hasil ukur

variabel aktivitas ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: 1.

Baik, jika skor PSQI ≤ 5; 2. Buruk, jika skor PSQI > 5 (Buysse,

dkk., 1989).

g. Status Gizi

Data untuk variabel status gizi dilihat dari indeks IMT/U.

Data ini didapatkan dari pengukuran antropometri, yang dilakukan

dengan penimbangan berat badan (dalam kg) menggunakan

timbangan (ketelitian 0.1 kg) dan pengukuran tinggi badan (dalam

cm) menggunakan microtoise (ketelitian 0.1 cm).

Dalam melakukan penimbangan berat badan, responden

diukur tanpa menggunakan alas kaki. sweater, kaca mata, jam

tangan juga dilepaskan. Sedangkan dalam melakukan pengukuran

tinggi badan, responden berdiri tegak dengan posisi membelakangi

dinding (kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel pada

dinding), microtoise harus berada tepat di tengah kepala serta arah

pandang responden harus tepat lurus ke depan.


5

Kemudian, hasil dari kedua pengukuran tersebut dihitung

dengan menggunakan rumus IMT dan dibandingkan dengan

standar Kemenkes (2011). Berikut rumus IMT:

IMT = Berat badan (kg)

(Tinggi badan)² (m²)

Hasil dari pengukuran tersebut dikelompok menjadi 5 (lima) kategori berdasarkan Ke


> 1 SD s/d 2 SD; 5. Obesitas, jika IMT/U > 2 SD (Kemenkes,

2011).

E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1.Teknik Pengolahan Data


Teknik pengolahan data merupakan tahapan yang dilakukan sebelum data dianalisis. Terdapa

pengolahan data, yaitu:

a. Editing

Editing adalah langkah dimana peneliti melakukan

pengecekan ulang terhadap kelengkapan pengisian jawaban pada

kuesioner yang telah diisi oleh responden pada setiap saat

kuesioner selesai diisi oleh responden. Apabila ada kuesioner yang


5

tidak diisi dengan lengkap, maka peneliti akan mengembalikan

kuesioner dan meminta responden mengisi kuesioner kembali

dengan lengkap. Sehingga dapat dipastikan bahwa kuesioner diisi

dengan lengkap, dan tidak akan mempengaruhi analisis data dan

ke-valid-an hasil penelitian.

b. Coding

Coding adalah langkah pemberian kode pada setiap

pertanyaan dan jawaban pada kuesioner agar siap di-entry ke dalam

software statistik. Pada penelitian ini, coding di mulai dari angka 1

untuk setiap hasil ukur variabel, seperti yang telah disebutkan pada

definisi operasional dan pengumpulan data.

c. Entry

Entry atau pemasukan data adalah langkah dimana peneliti

memasukan data ke dalam software statistik agar siap dianalisis.

Pada tahap ini dilakukan editing atau pengecekan ulang kembali

terhadap setiap data yang telah dimasukan, untuk mencegah

terjadinya pengisian cell yang tidak lengkap.

d. Cleaning

Cleaning adalah langkah dimana peneliti melakukan

pengecekan ulang terakhir kalinya pada data yang sudah di-entry

untuk mencegah adanya error dan missing dalam menganalisis

data. Sehingga data yang sudah di-entry dapat dipastikan sudah

benar-benar lengkap sebelum dianalisis.


5

2. Analisis data

Terdapat dua analisis data yang digunakan pada penelitian ini,

yaitu analisis univariat dan bivariat. Dalam menganalisis keduanya

peneliti menggunakan program komputer, yaitu software uji statistik.

Berikut penjelasan masing-masing analisis data, antara lain:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah sebuah analisis yang bertujuan

untuk menjelaskan atau menggambarkan karakteristik (distribusi

frekuensi) setiap variabel penelitian, yang mencakup variabel

dependen (kejadian sndrom pramenstruasi (PMS)) dan variabel

independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik,

asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan magnesium, pola tidur,

dan status gizi). Analisis ini ditampilkan dalam bentuk persentase

yang disajikan dalam grafik dan tabel.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan dengan

menggunakan uji statistik untuk menguji hipotesis penelitian. Uji

statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah chi square test

karena variabel dependen dan independen yang ada dalam

penelitian ini bersifat kategorik. Ada pun rumus chi-square adalah

sebagai berikut:

X2 = Σ (O – E)2
Df = (b-1) (k-1)
E
6

Keterangan:
X2 = Nilai chi-square
O = Nilai observasi (nilai yang diamati)
E = Nilai ekspektasi (nilai yang diharapkan)
b = Jumlah baris
k = Jumlah kolom

Namun dalam penggunaan uji tersebut perlu diperhatikan

syarat uji chi square, yaitu tidak boleh lebih dari 20% jumlah sel

(dalam tabulasi) yang mempunyai nilai harapan (expected count) <

5 (Dahlan, 2009). Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, maka

hal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji alternatif

chi-square, yaitu uji Fisher’s Exact Test (Dahlan, 2009).

Interpretasi hasil dari chi square adalah dengan melihat

pvalue. Jika pvalue > 0,05, maka keputusannya adalah Ho gagal

ditolak, artinya Ho diterima atau tidak ada hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya jika

pvalue < 0,05, maka keputusannya adalah Ho ditolak atau hipotesis

penelitian diterima, artinya ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen.


BAB V
HASIL

A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta

SMA 112 Jakarta terletak di Jalan Sanggrahan No. 2 Meruya Utara

Kembangan Jakarta Barat. Jumlah seluruh siswa SMA 112 Jakarta

sebanyak 790 orang, dengan jumlah siswi sebanyak 445 orang. Sedangkan

jumlah kelas yang terdapat di SMA 112 Jakarta sebanyak 22 kelas, yang

terdiri dari kelas X sebanyak 8 kelas, kelas XI sebanyak 7 kelas, dan kelas

XII sebanyak 7 kelas. Namun pada penelitian ini, yang menjadi responden

penelitian hanya siswi kelas X (6 kelas) sampai dengan XI sebanyak (7

kelas).

Berdasarkan hasil sampling menggunakan teknik simple random

sampling, didapatkan sampel sebesar 127 orang, dengan distribusi

frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas sebesar 44,1% (56

orang) siswi kelas X dan 55,9% (71 orang) siswi kelas XI. Sedangkan

distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur sebagian

besar responden berusia 16 tahun, yakni sebesar 47,2% (60 orang), yang

diikuti dengan usia 15 tahun sebesar 27,6% (35 orang), usia 17 tahun

23,6% (30 orang), dan usia 14 tahun sebesar 1,6% (2 orang).

61
6

B. Analisis Univariat

1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi


SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Kejadian PMS dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

dua kelompok, yaitu tidak ada gejala hingga ringan apabila skor total <

30 dan gejala sedang hingga berat apabila skor total ≥ 30. Kejadian

PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)


pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Skor Kejadian PMS (poin)
Median 27
Nilai Minimum 11
Nilai Maksimum 49

Dari tabel di atas diketahui bahwa skor kejadian PMS memiliki

nilai tengah sebesar 27 poin. Nilai tengah digunakan karena hasil uji

normalitas menunjukkan data tidak normal. Arti dari nilai tengah pada

tabel 5.1 adalah umur pertengahan kejadian PMS pada siswi di SMA

112 Jakarta, berada pada kelompok tidak ada gejala hingga gejala

ringan. Kemudian bila dilihat dari nilai terendah sebesar 11 poin, dapat

diartikan bahwa tidak ada siswi yang tidak mengalami gejala PMS

(skor < 10).

Kemudian untuk lebih jelasnya, berikut ini distribusi frekuensi

responden berdasarkan kejadian PMS yang dapat dilihat pada grafik

5.1.
6

Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015

32.3%

67.7%

Tidak ada gejala hingga ringanGejala sedang hingga berat

Dari grafik 5.1 dapat disimpulkan bahwa kejadian PMS gejala sedang hingga berat sebesa
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta T
Jenis Gejala Tidak Sangat ringan Sedang Berat hingga
PMS yang mengalami hingga ringan (skor 4) ekstrim
Dialami (skor 1) (skor 2-3) % (skor 5-6)
% % %
Mudah 8,7 38,6 20,5 32,3
tersinggung
Nyeri perut 8,7 45,7 19,7 25,9
Sedih, tidak 10,2 44,1 23,6 22,1
bersemangat
Sakit panggul, 12,6 44,1 18,1 25,2
nyeri sendi
Kewalahan atas 22,0 44,1 25,2 8,7
persoalan
Nyeri payudara 26,0 50,4 21,3 10,3
Tertekan 26,8 39,4 16,5 17,3
Peningkatan 37,8 39,4 18,9 3,9
berat badan
Perut kembung 44,1 40,9 10,2 4,7
Adanya edema 85,8 12,6 1,6 0
6

Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa gejala PMS yang paling

banyak dialami adalah mudah tersinggung dan nyeri perut, yang

keduanya memiliki persentase yang sama, yakni 91% (116 orang).

Sedangkan tiga gejala PMS yang paling berat dialami adalah mudah tersinggung 32,
panggul 25,2% (33 orang).

Kemudian untuk banyaknya gejala PMS yang dialami oleh siswi dapat dilihat pada gra
Grafik 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Gejala Sindrom

13.4%

86.6%

≤ 5 gejala> 5 gejala

Dari grafik 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswi

SMA 112 Jakarta mengalami gejala PMS > 5 gejala, yakni sebesar

86,6% (110 orang).

2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun


2015

Usia menarche pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu cepat, jika usia menarche ≤ 11 tahun; normal, jika usia menarche

12-13 tahun; dan lambat, jika usia menarche > 13 tahun. Hasil uji
6

normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang

digunakan adalah median. Berikut median usia menarche pada siswi di

SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Usia Menarche (tahun)
Median 13
Nilai Minimum 10
Nilai Maksimum 16

Dari tabel 5.3 diketahui bahwa usia menarche memiliki nilai

tengah 13 tahun. Yang artinya usia pertengahan menarche pada siswi

SMA 112 Jakarta berada pada usia menarche normal.

Untuk lebih jelasnya, berikut grafik 5.3 yang menyajikan data

distribusi frekuensi responden berdasarkan usia menarche.

Grafik 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia


Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
80.0%
70.0%
60.0%
50.0%
40.0%
30.0% 67.7%
20.0%
10.0% 13.4% 18.9%
0.0%
Cepat Ideal Lambat

Grafik 5.3 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112

Jakarta mengalami menstruasi pertama di usia 12-13 tahun, yakni

sebesar 68% (86 orang).


6

3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun


2015

Riwayat keluarga pada penelitian ini terbagi atas dua kategori,

yaitu ada riwayat keluarga dan tidak ada riwayat keluarga. Berikut

distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat keluarga pada

siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada grafik 5.4.

Grafik 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat


Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

48.0% 52.0%

Ada Tidak ada

Grafik 5.4 menggambarkan bahwa sebagian besar siswi SMA

112 Jakarta, yakni 52% (66 orang) memiliki riwayat keluarga yang

mengalami sindrom pramenstruasi.

Ada pun untuk lebih jelasnya, di bawah ini grafik 5.5

menggambarkan distribusi frekuensi anggota keluarga yang memiliki

riwayat sindrom pramenstruasi:


6

Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggota


Keluarga yang Memiliki Riwayat Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
100%
80%
60%
40% 74% 63%
20% 37%
26%
0%
Riwayat saudara kandung Riwayat ibu

Ada Tidak ada

Grafik 5.5 menunjukan bahwa riwayat pada ibu lebih banyak

dimiliki oleh siswi SMA 112 Jakarta, yakni sebesar 37% (47 orang).

4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun


2015

Aktivitas fisik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga

kelompok, yakni ringan, sedang, dan berat. Berikut distribusi frekuensi

responden berdasarkan aktivitas fisik yang terlihat pada grafik 5.6.

Grafik 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
100.0%

80.0%

60.0%

40.0% 75.6%
20.0%
24.4%
0
0.0%
Ringan Sedang Berat

Grafik 5.6 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112

Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan, yakni sebesar 75,6% (96

orang). Selanjutnya untuk memudahkan dalam melakukan uji statistik,


6

peneliti menggabungkan kelompok aktivitas sedang dengan aktivitas

berat. Sehingga variabel aktivitas dikelompokkan kembali menjadi dua

kelompok, yakni aktivitas ringan dan aktivitas sedang.

5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Asupan piridoksin pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam

dua kelompok yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG).

Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai

yang digunakan adalah median. Berikut median asupan piridoksin

pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.4 berikut.

Tabel 5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B 6) pada Siswi SMA 112


Jakarta Tahun 2015
Asupan B6 (mg)
Median 0,7
Nilai Minimum 0,2
Nilai Maksimum 1,8

Dari tabel 5.3 diketahui bahwa nilai tengah asupan piridoksin

adalah 0,7 mg, yang berarti nilai pertengahan asupan piridoksin siswi

SMA 112 Jakarta berada pada asupan yang kurang (< 1 mg).

Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden

berdasarkan asupan piridoksin yang terlihat pada grafik 5.7.


6

Grafik 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan


Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

31.5%

68.5%

KurangCukup

Grafik 5.7 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta yang memiliki as
(87 orang).

6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Asupan kalsium pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni kurang
siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan Ca (mg)
Median 297
Nilai Minimum 38
Nilai Maksimum 1198
7

Dari tabel 5.5 diketahui bahwa nilai tengah asupan kalsium

sebesar 297 mg, yang artinya nilai pertengahan asupan kalsium pada

siswi SMA 112 Jakarta berada pada asupan kurang (< 920 mg).

Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden berdasarkan asupan kalsium
Grafik 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Kalsium (Ca) pada

17%

83%

KurangCukup

Grafik 5.8 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112


Jakarta memiliki asupan kalsium kurang, yakni sebesar 82,7% (105 orang).

7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Asupan magnesium pada penelitian ini dikelompokkan ke

dalam dua kelompok, yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80%

AKG). Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga

nilai yang digunakan adalah median. Berikut median asupan

magnesium pada siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.6 berikut.
7

Tabel 5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA


112 Jakarta Tahun 2015
Asupan Mg (mg)
Median 146
Nilai Minimum 44
Nilai Maksimum 426

Dari tabel 5.6 diketahui bahwa nilai tengah asupan magnesium sebesar 146 mg, yang artin
Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden berdasarkan asupan magnesiu
Grafik 5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Magnesium (Mg) p

19.0%

81.1%

KurangCukup

Grafik 5.9 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112

Jakarta memiliki asupan magnesium kurang, yakni sebesar 81,1% (103

orang).

8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Pola tidur pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua

kelompok yakni baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan buruk, jika skor PSQI >
7

5. Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai

yang digunakan adalah median. Berikut median skor pola tidur pada

siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 terlihat pada tabel 5.7 berikut:

Tabel 5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Skor Pola Tidur (poin)


Median 7
Nilai Minimum 1
Nilai Maksimum 17

Dari tabel 5.7 diketahui bahwa nilai tengah skor pola tidur sebesar 7, yang artinya nilai pe
Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden berdasarkan pola tidur yang t
Grafik 5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Tidur pada Siswi SM

34.6%

65.4%

Baik Buruk

Grafik 5.10 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112

Jakarta memiliki pola tidur yang buruk, yakni sebesar 65,4% (83

orang).
7

9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Status gizi dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam lima

kelompok, yakni sangat kurus dengan ambang batas <-3 SD, kurus

dengan ambang batas -3 SD sampai dengan <-2 SD, normal dengan

ambang batas -2 SD sampai dengan 1 SD, gemuk dengan ambang

batas > 1 SD sampai dengan 2 SD, dan obesitas dengan ambang batas

> 2 SD. Berikut grafik 5.11 yang menyajikan data distribusi frekuensi

responden berdasarkan status gizi.

Grafik 5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status


Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
100.0%
80.0%
60.0%
40.0% 81.1%
20.0%
0.0% 7.1% 11.8% 0.0%
0.0%
Sanga Kurus Normal Gemuk Obesitas
t
kurus

Dari grafik 5.11 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswi

SMA 112 Jakarta memiliki status gizi normal, yakni sebesar 81.1%

(103 orang). Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada siswi yang

memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas, sehingga peneliti

mengelompokan kembali status gizi tersebut ke dalam tiga kelompok

menjadi kurus, normal, dan gemuk.


7

C. Analisis Bivariat

1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara usia menarche dengan k
Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sind

Usia Kejadian PMS Total P


menarche value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Cepat 9 52,9 8 47,1 17 100 0,315
(<12 tahun)
Normal 59 68,6 27 31,4 86 100
(12-13
tahun)
Lambat 18 75,0 6 25,0 24 100
(>13 tahun)

Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa dari hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,315, artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan hipotesis

antara usia menarche dengan kejadian PMS.

2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.9.


7

Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan


Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Riwayat Kejadian PMS Total P
Keluarga value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Ada 36 54,5 30 45,5 66 100 0,001
Tidak ada 50 82,0 11 18,0 61 100

Tabel 5.9 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan nilai pvalue = 0,001, artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara riwayat

keluarga dengan kejadian PMS.

3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada

siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan


Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Aktivitas Kejadian PMS Total P
fisik value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Ringan 63 65,6 33 34,4 96 100 0,375
Sedang 23 74,2 8 25,8 31 100

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari hasil uji chi

square didapatkan nilai pvalue = 0,375 artinya pada ɑ = 5% dapat


7

disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS.

4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.11.

Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6)


dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA
112 Jakarta Tahun 2015
Asupan Kejadian PMS Total P
Piridoksin value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Kurang 56 64,4 31 35,6 87 100 0,234
Cukup 30 75,0 10 25,0 40 100

Tabel 5.11 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan nilai pvalue = 0,234 artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

hubungan antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS.

5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara asupan kalsium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut.


7

Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan


Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan Kejadian PMS Total P
Kalsium value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Kurang 66 62,9 39 37,1 105 100 0,011
Cukup 20 90,9 2 9,1 22 100

Tabel 5.12 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan nilai pvalue = 0,011 artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara asupan

kalsium dengan kejadian PMS.

6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara asupan magnesium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112

Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut.

Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg) dengan


Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan Kejadian PMS Total P
Magnesium value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Kurang 67 65,0 36 35,0 103 100 0,183
Cukup 19 79,2 5 20,8 24 100

Tabel 5.13 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan nilai pvalue = 0,183 artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada


7

hubungan yang signifikan antara asupan magnesium dengan kejadian

PMS.

7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi

SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut.

Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Pola Tidur Kejadian PMS Total P
value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Baik 36 81,8 8 18,2 44 100 0,013
Buruk 50 60,2 33 39,8 83 100

Tabel 5.14 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan nilai pvalue = 0,013 artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan yang signifikan

antara pola tidur dengan kejadian PMS.

Untuk itu peneliti mencoba analisis lebih lanjut untuk

mengetahui komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS.

Berikut Tabel 5.15 yang menunjukan hubungan pada setiap komponen.


7

Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur dengan


Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Komponen Pola TidurPvalue
Durasi tidur 0,715
Gangguan tidur 0,089
Latensi tidur 0,034
Gangguan aktivitas di siang hari 0,050
Efisiensi tidur 0,825
Kualitas tidur 0,004
Penggunaan obat tidur 0,354

Tabel 5.15 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square

didapatkan bahwa komponen latensi tidur, gangguan aktivitas di siang

hari, dan kualitas tidur memiliki hubungan antara pola tidur dengan

kejadian PMS (pvalue ≤ 0,05).

8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

antara status gizi dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta

tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.16.

Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Status Gizi Kejadian PMS Total P
value
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat
n % n % n %
Kurus 5 55,6 4 44,4 9 100 0,108
Normal 74 71,8 29 28,2 103 100
Gemuk 7 46,7 8 53,3 15 100
8

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa dari hasil uji chi

square didapatkan nilai pvalue = 0,108 artinya pada ɑ = 5% dapat

disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS.


BAB VI
PEMBAHASA
N

A. Keterbatasan Penelitian

Peneliti telah melakukan penelitian ini secara maksimal dengan

cara atau metode yang sesuai dengan kaidah yang berlaku secara umum,

namun ada beberapa keterbatasan yang dikategorikan sebagai random

error dan berusaha agar random error tersebut dapat di minimalisir.

Keterbatasan tersebut meliputi:

1. Dalam mengambil data asupan zat mikro responden, peneliti

menggunakan food record 24 jam dan food recall 24 jam. Kedua

metode tersebut dapat memungkinkan terjadinya bias, karena food

record bergantung pada kepatuhan responden dalam mencatat

makanan yang dikonsumsi, sedangkan recall bergantung pada daya

ingat responden. Sehingga pada record peneliti berusaha untuk

sesering mungkin mengingatkan responden untuk mencatat makanan

yang dikonsumsi melalui penanggung jawab kelas. Sedangkan pada

recall, peneliti menggunakan food model.

2. Keterbatasan lainnya yang mungkin terjadi adalah adanya

kecenderungan pada responden untuk menambah atau mengurangi

makanan yang dikonsumsi (flat slope syndrome), yang berakibat pada

81
82

terjadinya data pola konsumsi yang tidak menggambarkan kondisi

sebenarnya.

3. Penggunaan recall untuk aktivitas fisik juga memiliki keterbatasan

yang sama dengan recall pada asupan zat mikro. Hanya saja untuk

mengurangi keterbatasan tersebut, peneliti melakukan probing yang

berguna agar responden dapat lebih mengingat dan merincikan

kegiatan yang dilakukannya selama 24 jam.

4. Pengolahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software

memiliki kelemahan, karena tidak semua jenis bahan makanan yang

dikonsumsi responden tersedia dan dapat dianalisis oleh program

tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya bias, peneliti

melakukan perhitungan kandungan zat gizi yang hampir sama dengan

makanan yang sejenis atau mencari sendiri nilai zat gizi pada sumber

lain (seperti daftar kandungan bahan makanan (DKBM) dan situs

web), sehingga hasil yang diperoleh dapat mendekati nilai gizi yang

sebenarnya.

B. Analisis Univariat dan Bivariat

1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi


SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan gangguan siklik

umum dari wanita muda dan setengah baya yang ditandai dengan

gejala emosional dan fisik yang konsisten terjadi selama fase luteal

(pasca ovulasi) dari siklus menstruasi (Dickerson dkk., 2003).


83

Biasanya gejala ini terjadi pada rentang 1-2 minggu atau lebih tepatnya

7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, dan akan berhenti saat

dimulainya siklus menstruasi (NIH, 2014). Sindrom ini merupakan

salah satu masalah yang sangat umum terjadi pada wanita, sehingga

PMS merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010).

Hal ini disebabkan karena pada dasarnya PMS pernah dialami

hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90% wanita

mengalami setidaknya satu gejala PMS dalam beberapa siklus

menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan Mahmood,

2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang

sampai berat (Freeman, 2007). Sedangkan di Indonesia dari 260 orang

WUS, ditemukan sebanyak 95% wanita mengalami setidaknya satu

gejala PMS dan 3,9% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat

sedang sampai berat (Emilia, 2008).

Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik

5.1 diketahui bahwa jumlah siswi yang mengalami PMS dengan gejala

sedang hingga berat sebesar 32,2% (41 orang). Bila dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya, penelitian di Turki menemukan sebesar

31% remaja putri mengalami PMS tingkat sedang hingga berat

(Derman dkk, 2004). Hal ini berarti prevalensi kejadian PMS tingkat

sedang hingga berat pada penelitian ini, sedikit lebih tinggi

dibandingkan dengan penelitian di Turki. Namun juga terdapat

penelitian lain pada siswi SMA di Tasikmalaya dan Bogor, yang


84

menemukan prevalensi yang jauh lebih besar, yaitu sebesar 58,7% dan

67,8% (Nurmalasari dkk., 2013, Aldira, 2014).

Sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

yang menggunakan metode sama (sPAF) dalam menilai kejadian PMS,

diketahui bahwa prevalensi pada penelitian ini lebih besar. Hal ini

dapat dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan di

Purworejo dan Semarang yang masing-masing hanya menemukan

sebesar 24,6% dan 3,2% remaja putri yang mengalami PMS tingkat

sedang hingga berat (Tambing, 2012, Putri, 2013). Kemudian

penelitian lainnya yang dilakukan oleh Prabowo juga hanya

menemukan sebesar 5,91% remaja putri yang mengalami PMS tingkat

sedang hingga berat (Prabowo dkk., 2013).

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif juga diketahui

bahwa nilai tengah skor PMS sebesar 27 poin (tabel 5.1). Hal ini

menunjukan bahwa kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta juga

lebih parah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat

dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan angka pemusatan

skor PMS sebesar 24,7 poin dengan angka penyebaran 10-49 poin

(Nurmiaty dkk., 2011).

Tingginya kejadian PMS ini disebabkan karena masa remaja

merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dimana

masa remaja adalah masa dimana seseorang berada pada rentang usia

antara 10-19 tahun (Depkes, 2006, WHO, 2014a). Pada masa inilah
85

terjadi perubahan yang sangat signifikan, tidak hanya dari fisik, namun

dari fisiologis dan psikologis pula.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif pada

penelitian ini juga diketahui bahwa jenis gejala PMS yang paling

sering dialami adalah mudah tersinggung (91,3%) dan nyeri pada perut

(91,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana

ditemukan bahwa gejala yang paling banyak dialami adalah masalah

pada psikologis (87,6%) (Derman dkk, 2004) dan nyeri perut (75,3%)

(Tambing, 2012).

Sedangkan tiga jenis gejala PMS yang paling berat dialami

pada penelitian ini adalah mudah tersinggung (32,3%), nyeri perut

(25,9%), dan nyeri panggul (25,2%). Ketiga gejala tersebut sejalan

dengan penelitian sebelumnya bahwa gejala yang paling berat

dirasakan oleh responden adalah nyeri perut (17,6%), mudah

tersinggung (10,8%), dan nyeri panggul (9,1%) (Nurmiaty dkk, 2011).

Namun gejala dari PMS dapat terjadi tidak murni hanya akibat

dari PMS itu sendiri. Seperti halnya nyeri perut, dapat juga disebabkan

oleh suatu gangguan organ reproduksi yang disebut endometriosis.

Endometriosis adalah suatu keadaan yang terjadi karena adanya

ketidakseimbangan hormonal, dimana jaringan yang menyerupai dan

beraksi seperti lapisan rahim, berada diluar rahim di dalam tulang

panggul (Saryono dan Sejati, 2009). Kemudian bila jaringan ini

mengalami pendaharan ringan (seperti saat menstruasi), darah ini akan

mengiritasi jaringan terdekat yang dapat menimbulkan rasa sakit


86

(Saryono dan Sejati, 2009). Untuk itu perlu adanya pemeriksaan lebih

lanjut terkait masalah ini bila dirasakan sangat menggaggu, karena

akan berdampak buruk bagi yang mengalami.

Sejauh ini berdasarkan hasil pencarian literatur yang peneliti

lakukan, dampak dari PMS hanya sebatas masalah sosial (Saryono dan

Sejati, 2009, Suparman, 2010). Hal ini dikarenakan gejala utama dari

PMS adalah pada masalah psikologis (Saryono dan Sejati, 2009).

Dampak dari PMS bagi remaja putri yang bersekolah dapat

menganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan

kegiatan belajar di sekolah. Apalagi berdasarkan analisis deskriptif

diketahui bahwa sebagian besar (86,6%) siswi SMA 112 Jakarta

dengan mengalami > 5 gejala PMS yang kemungkinan besar dapat

menganggu aktivitas sosial di sekolah. Hal ini dikarenakan bila

merasakan 5 gejala PMS yang dirasakan sangat berat dapat merujuk

kepada premenstrual dhysphoric disorder (PMDD) (Saryono dan

Sejati, 2009).

Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang

dilakukan oleh Delara dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswi dengan

gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti

kondisi mental, peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu, PMS

juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat

kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014).

Oleh karena itu siswi SMA 112 Jakarta perlu memperhatikan faktor-
87

faktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada penelitian ini,

yaitu riwayat keluarga, asupan kalsium, dan pola tidur.

2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun


2015

Aktivitas fisik merupakan kegiatan harian yang mengeluarkan

energy yang mencakup kegiatan pekerjaan, olah raga, pekerjaan rumah

tangga, dan kegitaan lainnya (Caspersen dkk., 1985). Pada penelitian

ini, aktivitas fisik terbagi atas tiga kategori yang meliputi aktivitas fisik

ringan, sedang, dan berat.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik

5.6, diketahui bahwa prevalensi siswi SMA 112 Jakarta yang memiliki

aktivitas fisik ringan sebesar 75,6% (96 orang), sedangkan hanya

sebesar 24,4% (31 orang) yang memiliki aktivitas sedang, dan tidak

ada yang memiliki aktivitas fisik berat.

Prevalensi aktifitas fisik ringan tersebut lebih besar

dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 yang menemukan

hanya sebesar 66,9 % pada usia 10-14 tahun dan 52% pada usia 15-24

tahun, walaupun hasil riskesdas ini tidak membedakan menurut jenis

kelamin. Sedangkan bila dibandingkan dari jenis kelamin, sebanyak

54,4% perempuan di Indonesia memiliki aktivitas fisik kurang yang

artinya prevalensi pada penelitian ini tetap lebih tinggi.

Kemudian bila dibandingkan kembali dengan penelitian pada

remaja putri, ditemukan bahwa prevalensi aktivitas fisik ringan pada

penelitian ini juga lebih tinggi. Dimana berdasarkan penelitian


88

sebelumnya menemukan bahwa dari 59 orang sebesar 69,5% memiliki

aktivitas fisik ringan (Aldira, 2014). Kemudian bila dibandingkan

dengan penelitian yang menggunakan metode penilaian aktivitas fisik

yang sama dengan penelitian ini, menemukan bahwa hanya sebanyak

18% (Setianingsih, 2012) dan 33,3% (Putri, 2013) yang memiliki

aktivitas fisik ringan.

Berdasarkan hasil recall aktivitas fisik, tingginya prevalensi

aktivitas fisik ringan pada penelitian ini disebabkan karena sebagian

besar aktivitas responden pada hari Senin sampai Jumat adalah belajar

(sekolah dan tempat les), mereka hanya melakukan duduk sambil

menulis atau membaca. Sedangkan pada hari libur, sebagian besar

responden menghabiskan waktu dengan beristirahat, seperti tidur dan

bermain gadget. Di samping itu sebagian besar responden pergi dan

pulang sekolah menggunakan kendaraan pribadi (motor dan mobil),

hanya sebagian kecil yang menggunakan angkutan umum dan perlu

sedikit berjalan untuk sampai ke tempat tujuan. Hal ini diperkuat

dengan penelitian Aldira (2014), yang juga menemukan bahwa alasan

tingginya aktivitas fisik ringan yang terjadi pada remaja putri

dikarenakan hal tersebut.

Rendahnya aktivitas fisik juga dapat dikarenakan oleh status

ekonomi. Dimana status ekonomi dapat terlihat dari kepemilikan

kendaraan, karena seseorang yang memiliki kendaraan cenderung

memiliki status ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

seseorang yang tidak memiliki kendaraan. Sebagian besar siswi di


89

SMA 112 Jakarta, memiliki status ekonomi menengah ke atas. Hal ini

yang juga mungkin menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat

aktivitas fisik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Medan dan

Jakarta Selatan, diketahui bahwa terdapat hubungan antara

kepemilikan kendaraan dengan kejadian kegemukan (Adiningrum,

2008). Dimana menurut Adiningrum (2008) kepemilikan kendaraan ini

berkaitan dengan rendahnya aktivitas fisik seseorang.

Dalam jangka panjang, kurangnya aktivitas fisik merupakan

faktor risiko utama keempat kematian di dunia (6% dari kematian di

dunia) (WHO, 2015b). Selain itu aktivitas fisik diperkirakan menjadi

penyebab utama untuk sekitar 21-25% dari kanker payudara dan usus,

27% dari diabetes, dan sekitar 30% dari beban penyakit jantung

iskemik(WHO, 2015a).

Bagi remaja aktivitas fisik telah dikaitkan dengan manfaat

psikologis, seperti peningkatan kontrol terhadap gejala kecemasan dan

depresi; mengembangkan jaringan muskuloskeletal yang sehat (yaitu

tulang, otot dan sendi); mengembangkan sistem kardiovaskular yang

sehat (yaitu jantung dan paru-paru); mengembangkan kesadaran

neuromuskuler (yaitu koordinasi dan gerakan kontrol) (WHO, 2015b).

Oleh karena itu, aktivitas fisik sangat penting untuk dilakukan.

Khusus untuk remaja setidaknya perlu melakukan aktivitas fisik

sedang hingga berat selama 60 menit dalam sehari, seperti jalan cepat,

berlari, menari, berkebun, bersepeda, dan berenang (WHO, 2015b).

Kemudian untuk tambahan, remaja juga perlu setidaknya melakukan


90

kegiatan yang dapat memperkuat otot dan tulang minimal 3 kali

seminggu, seperti push-up, sit-up, dan angkat beban (WHO, 2015b).

3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Vitamin B6 merupakan salah satu jenis vitamin larut air yang

memiliki tiga bentuk; piridoksin, piridoksal, dan piridoksiamin

(Almatsier, 2010). Namun bentuk yang paling umum dari vitamin ini

adalah piridoksin, sedangkan piridoksiamin dan piridoksal merupakan

bentuk lain dari piridoksin (Almatsier, 2010). Dalam keaddan tertentu

piridoksin berperan sebagai koenzim dalam berbagai reaksi di dalam

tubuh (Almatsier, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar

siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin kurang (asupan < 1

mg/hari), yakni sebesar 68,5% (87 orang) (grafik 5,7), dengan nilai

tengah 0,7 mg (tabel 5.4). Prevalensi ini lebih besar dibandingkan

dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni 60,3% (Septiani, 2009),

49,4% (Siantina, 2010), 12% (Pujihastuti, 2012), 46% (Setianingsih,

2012), dan 3,2% (Kusumatutik, 2013).

Rendahnya asupan piridoksin ini disebabkan oleh kurangnya

konsumsi makanan sumber piridoksin pada siswi SMA 112 Jakarta.

Dimana berdasarkan hasil record dan recall, sebagian besar asupan

responden adalah makanan yang kurang bergizi, seperti makanan

ringan (snack), fast food, dan junk food. Hal ini sejalan dengan
91

pernyataan Almatsier (2011) yang mengemukakan bahwa umumnya

remaja lebih banyak mengonsumsi junk food.

Tingginya konsumsi terhadap makanan rendah zat gizi dapat

disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis

makanan tersebut, khususnya di kota besar seperti Jakarta ini. Padahal

sumber utama piridoksin terdapat pada kecambah, gandum, hati,

ginjal, serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier,

2010), yang tentunya harus dikonsumsi dalam keadaan segar (tidak

dibekukan), karena kandungkan piridoksin akan hilang sebesar 36-

55% pada suhu beku (Almatsier, 2010).

Di samping itu, dari hasil record dan recall asupan makanan,

diketahui bahwa sebagian besar responden juga memiliki waktu dan

frekuensi makan yang tidak teratur. Hal ini diperkuat dengan

pernyataan Almatsier (2011), yang mengemukakan bahwa sebagian

besar remaja memiliki kecenderungan untuk mengabaikan dan

melewatkan makan pagi dan/atau makan siang, khususnya pada remaja

putri yang sedang berusaha untuk diet. Sehingga hal ini juga dapat

menjadi salah satu yang mempengaruhi kurangnya asupan piridoksin.

Piridoksin ini sangat penting untuk metabolism protein,

pembentukan precursor hem dalam hemoglobin, dan pembentukan

serotonin yang berkaitan dengan kejadian PMS (Almatsier, 2010).

Sehingga apabilatubuh mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi

gejala-gejala yang berhubungan dengan metabolism protein, seperti

lemah, mudah tersinggung, dan sukar tidur yang merupakan gejala dari
92

PMS (Almatsier, 2010). Dalam jangka panjang dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan, gangguan fungsi motorik, anemia, peradangan

lidah, penurunan antibodi, bahkan kerusakan otak (Almatsier, 2010).

Sebenarnya kekurangan piridoksin di dalam tubuh jarang

terjadi dan biasanya terjadi bersamaan dengan kekurangan beberapa

jenis vitamin B-kompleks lainnya (Almatsier, 2010). Hal ini

dikarenakan vitamin B-kompleks memiliki keterkaitan dalam

fungsinya di dalam tubuh, sehingga saling membantu dalam

penggunaannya (Almatsier, 2010). Kekurangan piridoksin di dalam

tubuh umumnya terjadi dikarenakan konsumsi obat tertentu,

kecanduan alkohol, penyakit kronik, dan gangguan absorbsi

(Almatsier, 2010).

Walaupun kekurangan piridoksin jarang terjadi, tetapi asupan

piridoksin tetap harus diperhatikan, khususnya pada remaja yang

berada dalam masa pertumbuhan. Karena pada hakikatnya remaja

membutuhkan konsumsi zat gizi yang cukup, untuk memaksimalkan

pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, perlu adanya

semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi untuk

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112 Jakarta

terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi.

4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Kalsium merupakan mineral yang tersebar luas di dalam tubuh

(Almatsier, 2010). Dalam keadaan seimbang, kalsium memiliki


93

konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l (9-10,4 mg/100 ml) di

dalam tulang (Almatsier, 2010). Di dalam cairan ekstraselular dan

intraselular kalsium memiliki peranan penting dalam mengatur fungsi

sel (Almatsier, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar

siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang (< 920

mg/hari), yakni sebesar 82,7% (105 orang) (grafik 5.8). Prevalensi

asupan kalsium yang kurang tersebut jauh lebih besar dibandingkan

dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu sebesar 82,2% (Septiani,

2009), 52,4%(Siantina, 2010), 54% (Pujihastuti, 2012), dan 21%

(Kusumatutik, 2013).

Bila dibandingkan dengan angka pemusatan, diketahui bahwa

asupan kalsium pada penelitian ini sebesar 297 mg, dengan angka

penyebaran antara 38-1198 mg (grafik 5.5). Sedangkan berdasarkan

penelitian sebelumnya angka pemusatan asupan kalsium sebesar 276,3

mg, dengan angka penyebaran 59,3-870,7 mg (Nurmiaty dkk., 2011).

Sehingga dapat disimpulkan peneltian ini memiliki asupan kalsium

yang lebih baik.

Sama halnya dengan piridoksin, rendahnya asupan kalsium ini

disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium pada

siswi SMA 112 Jakarta. Dimana berdasarkan hasil record dan recall,

sebagian besar asupan responden adalah makanan yang kurang bergizi,

seperti makanan ringan (snack), soft drink, fast food, dan junk food.

Padahal konsumsi soft drink yang biasa dikonsumsi oleh remaja dapat
94

menurunkan asupan kalsium, karena anak remaja cenderung lebih

sering meminum soft drink dibandingkan susu yang kaya kalsium.

Tingginya konsumsi terhadap makanan tersebut dapat

disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis

makanan dan minuman tersebut, khususnya di kota besar seperti

Jakarta ini. Padahal sumber utama kalsium terdapat pada bahan

makanan yang bergizi, seperti susu (khususnya susu non fat) dan hasil

produksi susu, seperti keju dan yoghurt; dan ikan yang dimakan

dengan tulang, termasuk ikan kering (Almatsier, 2010). Serealia,

kacang-kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau juga merupakan

sumber kalsium yang baik, namun bahan makanan ini mengandung

asam oksalat dan asam fitat yang dapat menghambat absorpsi kalsium

(Almatsier, 2010).

Sehingga untuk mengurangi risiko terhambatnya absorpsi

kalsium akibat oksalat dan fitat dapat dengan melakukan pengolahan

tradisional pada bahan makanan yang mengandung kedua zat tersebut,

yang meliputi perendaman, fermentasi, atau pun merebus (Hotz dan

Gibson, 2007). Cara lain untuk mengurangi risiko tersebut adalah

dengan memberikan jeda antara konsumsi bahan makanan sumber

kalsium tinggi dengan sumber fitat dan oksalat sekitar dua jam

(Chandra, 2014). Sedangkan untuk meningkatkan absorpsi kalsium

dapat dengan cara meningkatkan aktivitas fisik, konsumsi vitamin D,

konsumsi laktosa yang diiringi dengan ketersediaan enzim laktase, dan

konsumis lemak (Almatsier, 2010).


95

Dijelaskan sebelumnya bahwa kalsium sangat penting bagi

remaja. Kekurangan kalsium di dalam darah pada masa pertumbuhan

dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat,

mudah bengkok, dan rapuh. Hal ini diperparah dengan lebih rendahnya

absorpsi kalsium pada perempuan (Almatsier, 2010), walaupun

memang hal tersebut dapat diminalisir dengan menghindari hal-hal

yang dapat menghambat absorpsi kalsium. Di samping itu kadar

kalsium yang sangat rendah di dalam darah dapat menyebabkan kejang

dan kejang otot (Almatsier, 2010).

Namun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang

terjadi, karena adanya cadangan yang relatif stabil dan tidak dapat

digunakan untuk pengaturan keseimbangan jangka pendek (Almatsier,

2010). Hanya 1% kalsium tulang yang merupakan cadangan yang

dapat berubah cepat untuk kegiatan metabolisme (Almatsier, 2010).

Cadangan ini dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang

meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier, 2010). Di samping itu

semakin tinggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium,

tubuh akan otomatis meningkatkan absorpsi kalsium (Almatsier,

2010). Hal ini juga berlaku pada semakin rendah asupan, akan semakin

tinggi absorpsi dari kalsium (Almatsier, 2010).

Walaupun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang

ditemukan, namun kekurangan konsumsi kalsium dalam jangka

panjang dapat menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Oleh

karena itu tetap sangat perlu diperhatikannya asupan kalsium, sehingga


96

perlu adanya semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi

untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112

Jakarta terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi.

5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta


Tahun 2015

Magnesium merupakan salah satu mineral yang dapat disimpan

dan utamanya diabsorbsi di dalam usus halus dengan bantuan alat

angkut aktif dan secara difusi pasif (Almatsier, 2010). Jumlah

magnesium terbesar (60%) terdapat di dalam tulang dan gigi, 26% di

dalam otot dan selebihnya di dalam jaringan lunak lainnya serta cairan

tubuh (Almatsier, 2010). Sedangkan konsentrasi magnesium di dalam

plasma sebanyak 0,75- 1,0 mmol/l (Almatsier, 2010).

Berdasarkan hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa

sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta asupan magnesium kurang

(asupan < 212 mg/hari) yakni sebesar 81,1% (103 orang) (Tabel 5.9).

Prevalensi asupan magnesium kurang ini jauh lebih besar

dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni sebesar

46,6% (Septiani, 2009), 49,4% (Siantina, 2010), 20% (Pujihastuti,

2012), dan 54% (Setianingsih, 2012) .

Selanjutnya bila dibandingkan dengan angka pemusatan,

diketahui bahwa angka pemusatan asupan magnesium pada penelitian

ini sebesar 144 mg, dengan angka penyebaran 44-426 mg. Sedangkan

berdasarkan penelitian sebelumnyasebesar 186,2, dengan angka


97

penyebaran 52,4-778 mg (Nurmiaty dkk., 2011), yang artinya asupan

magnesium pada penelitian ini lebih buruk.

Tingginya prevalensi asupan magnesium kurang pada

penelitian ini disebabkan karena sebagian besar responden cenderung

mengonsumsi makanan yang kurang bergizi, seperti snack, soft drink,

fast food, dan junk food. Hal ini dikarenakan di zaman ini makanan

seperti junk food dan fast food sangat mudah didapatkan, khususnya di

kota besar seperti Jakarta ini. Hal ini diperkuat dengan Berdasarkan

Riskesdas (2007) diketahui bahwa sebesar 93,6% remaja usia 10-14

tahun dan 93,8% usia 15-24 tahun kurang mengkonsumsi buah dan

sayur. Sehingga tentu saja hal ini juga dapat menjadi penyebab

kurangnya asupan vitamin dan mineral pada remaja. Padahal sumber

utama magnesium terdapat pada bahan makanan bergizi, seperti

sayuran hijau, serealia tumbuk,biji-bijian, kacang-kacangan, daging,

susu dan hasilnya (Almatsier, 2010).

Kekurangan magnesium di dalam tubuh memang jarang terjadi

akibat makanan, karena tubuh memiliki cadangan di tulang, gigi, otot,

jaringan lunak, dan cairan tubuh (Almatsier, 2010). Konsentrasi

magnesium di dalam darah dipertahankan tubuh pada nilai yang

konstan, dengan cara mengeluarkan cadangan magnesium (khususnya

cadangan pada tulang) untuk bagian tubuh yang membutuhkan

(Almatsier, 2010). Di samping itu pada konsumsi magnesium yang

rendah tubuh akan mengabsorpsi sebanyak 60% dari asupan


98

magnesium, sedangkan pada konsumsi tinggi tubuh hanya akan

mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier, 2010).

Kekurangan magnesium di tubuh umumnya terjadi akibat

kekurangan protein, gangguan absorpsi akibat komplikasi penyakit,

penurunan fungsi ginjal, dan terlalu lama mendapat makanan tidak

melalui mulut (Almatsier, 2010). Kekurangan magnesium yang berat

dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan, gangguan pertumbuhan,

mudah tersinggung, gugup, kejang, gangguan sistem saraf pusat,

halusinasi, koma, dan gagal jantung (Almatsier, 2010).

Walaupun kurangnya kadar magnesium di dalam tubuh sangat

jarang terjadi akibat konsumsi makanan, namun asupan magnesium

tetap perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan bila cadangan magnesium

terus digunakan, tentunya lama kelamaan cadangan tersebut akan

habis. Sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan

magnesium, khususnya bagi remaja yang sedang dalam masa

pertumbuhan. Perhatian khusus tersebut dapat dituangkan dengan cara

meningkatkan asupan makanan sumber magnesium sesuai kebutuhan.

6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang

biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk.,

2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Menarche merupakan penanda

utama seorang wanita telah memasuki ciri maturitas seksual. Hal ini

dikarenakan menarche merupakan salah satu indikator tahap pubertas


99

pada remaja (Almatsier dkk., 2011). Bila remaja telah mendapatkan

mentruasi untuk pertama kalinya, maka dapat disimpulkan remaja

tersebut telah memasuki masa pubertas.

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,315 (>

0.05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian

ditolak yaitu tidak ada hubungan antara usia menarche dengan

kejadian PMS. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Silvia (2008), Nurmiaty (2011), Tambing (2012), dan Padmavathi

(2013) yang juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia

menarche dengan PMS.

Walaupun hasil penelitian ini menunjukan secara statistik tidak

ada hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel

5.8), terlihat bahwa cenderung responden yang memiliki usia

menarche cepat, lebih banyak yang mengalami PMS tingkat sedang

hingga berat (47,1%), dibandingkan dengan usia menarche normal dan

lambat. Sejalan dengan penelitian ini, Silvia (2008) juga menemukan

bahwa tingkat prevalensi gejala PMS cenderung lebih tinggi pada

wanita usia yang mengalami menarche cepat (< 11 tahun).

Mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS

sebenarnya masih belum jelas (Amjad dkk., 2014). Hal ini

menyebabkan tidak adanya alasan yang jelas pada keempat penelitian

sebelumnya terkait tidak adanya hubungan antara usia menarche

dengan PMS. Namun menurut Silvia (2008), kemungkinan asosiasi

antara usia menarche dan gejala-gejala PMS dapat diselidiki dengan


10

mengendalikan beberapa faktor pembaur potensial (yang tidak

disebutkan). Sedangkan menurut Nurmiaty (2011), hal tersebut terjadi

disebabkan angka pemusatan usia menarche responden adalah 12,9

tahun yaitu berada pada rentang usia yang tidak berisiko, yang sejalan

dengan hasil penelitian ini yaitu 12,6 tahun.

Di samping itu alasan lain yang mungkin menjadi penyebab

tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS adalah

dikarenakan adanya faktor lain yang lebih dominan seperti faktor

riwayat keluarga dan faktor psikologis. Dimana faktor genetik

memainkan peranan penting terhadap hormon estogen dan serotonin

(Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007), sedangkan faktor

psikologis berhubungan dengan hormon progesterone (Michel dan

Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab utama dari kejadian PMS.

Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Aminah

(2011) dan Amjad (2014) yang menemukan adanya hubungan antara

usia menarche dengan PMS. Menurut Aminah (2011) siswi dengan

usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk

menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche

lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian

Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan usia menarche <12 tahun

cenderung mengalami PMS.

Usia menarche cepat dikaitkan dengan ovulasi dini (ACOG,

2006). Ketika usia menarche lebih muda dari 12 tahun, maka 50% dari

siklus ovulasi terjadi saat satu tahun setelah menarche (ACOG, 2006).
10

Di samping itu umumnya pada remaja, PMS mulai dialami pada usia

sekitar 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan berlanjut

sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012). Sehingga ketika

menarche lebih cepat/ dini, maka akan mengalami PMS lebih cepat

pula. Menarche ditandai dengan siklus anovulasi (siklus tanpa ovulasi

dan fase luteal), sementara PMS terjadi pada saat fase luteal (ACOG,

2006). Kecenderungan ini terjadi karena ketidakteraturan pola

menstruasi yang umum terjadi selama 2 tahun pertama saat menarche

terjadi (Dangal, 2004), yang diakibatkan oleh adanya penyesuaian

keseimbangan hormon yang dilepaskan pada saat pubertas (ACOG,

2006). Sedangkan Aminah (2011) dan Amjad (2014) berpendapat

bahwa adanya kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi

fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal

fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas

kecenderungan tersebut.

7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada

kejadian PMS (Saryono dan Sejati, 2009). Peran genetik ini dapat

dilihat dari riwayat keluarga (Abdillah, 2010). Keluarga yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah anggota keluarga kandung, yaitu

ibu dan saudara kandung perempuan. Jika riwayat PMS ada pada salah

satu anggota keluarga tersebut, maka seseorang dikatakan memiliki

risiko yang lebih besar untuk mengalami PMS.


10

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,001 (<

0.05), yang menunjukkan bahwa Ho ditolak atau hipotesisi penelitian

diterima yaitu ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian

PMS. Artinya siswi yang memiliki riwayat keluarga yang pernah

mengalami gejala PMS berpeluang untuk mengalami PMS gejala

sedang hingga berat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Abdillah (2010) yang menemukan bahwa ada

hubungan antara riwayat keluarga dengan PMS. Di samping itu, hasil

penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat

hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan

kejadian PMS.

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.9), terlihat

bahwa dari 66 orang yang memiliki riwayat keluarga, sebesar 45,5%

mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan dari 61 orang yang

tidak memiliki riwayat keluarga, hanya sebesar 18,0% (11 orang)

mengalami PMS sedang hingga berat. Artinya cenderung responden

yang memiliki riwayat keluarga lebih banyak yang mengalami PMS

tingkat sedang hingga berat dibandingkan dengan responden yang

tidak memiliki riwayat keluarga.

Adanya hubungan riwayat keluarga dikarenakan adanya faktor

psikologis dan biologis yang diturunkan dari keluarga (Amjad dkk.,

2014). Dari segi biologis, adanya hubungan tersebut karena adanya

peran genetik yang diturunkan. Sebab genetik merupakan faktor yang

memainkan peran penting pada kejadian PMS. Gen sangat erat


10

kaitannya dengan insiden PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih

tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar

dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009).

Hal ini dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat

dengan perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Dimana

terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang dapat

menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007).

Ketidakseimbangan esterogen merupakan salah satu faktor

utama yang dapat menyebabkan PMS (Andrews, 2001, Dickerson

dkk., 2003). Adanya kelebihan estrogen dalam fase luteal (pasca

ovulasi) akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001,

Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang

meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan

beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan

mengganggu proses kimia tubuh termasuk piridoksin yang dikenal

sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi

serotonin (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009).

Di samping itu genetik juga dapat mempengaruhi kadar

serotonin karena varian di promotor untuk gen serotonin transporter

juga memiliki efek pada ekspresi serotonin molekul 5-HT transporter

(Praschak-Rieder dkk., 2002). Serotonin merupakan suatu zat kimia

yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas

tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini dikarenakan, zat ini sangat

mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan


10

gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan,

perubahan pola makan, kesulitan tidur, agresif dan peningkatan selera

(Saryono dan Sejati, 2009).

Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

riwayat keluarga merupakan faktor yang memiliki keterkaitan dengan

kejadian PMS. Sayangnya faktor ini merupakan faktor yang tidak

dapat diubah, sehingga tidak dapat diintervensi. Sehingga hal yang

perlu diperhatikan bagi siswi yang memiliki riwayat keluarga adalah

dengan lebih memberikan perhatian terhadap faktor lainnya yang

berhubungan dengan kejadian PMS.

8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi

(WHO, 2014b). Aktivitas fisik tersebut meliputi seluruh kegiatan yang

dilakukan setiap hari (Caspersen dkk., 1985).

Berdasarkan hasil uji chi square, diperoleh nilai p = 0,375 (>

0,05) , yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian

ditolak yaitu tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian

PMS (tabel 5.10). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Pujihastuti (2012) dan Aldira (2014) yang juga

menemukan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS.

Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukan adanya

hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.10)


10

diketahui bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan, sebanyak

34,4% mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan responden

dengan aktivitas fisik sedang hingga berat, sebanyak 74,2% tidak

mengalami hingga mengalami gejala ringan PMS. Hal ini bahwa

responden dengan aktivitas fisik ringan cenderung lebih banyak yang

mengalami PMS sedang hingga berat dibandingkan dengan aktivitas

fisik sedang.

Tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian

PMS, dapat dikarenakan aktivitas fisik bukan satu-satunya faktor yang

mempengaruhi PMS (Aldira, 2014). Sepertinya halnya faktor riwayat

keluarga yang memainkan peranan penting pula terhadap perubahan

serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002) atau pun faktor psikologis

yang berhubungan dengan hormon progesteron (Michel dan Bonnet,

2014). Sehingga apabila faktor yang lain terpenuhi, risiko PMS tetap

dapat diturunkan.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sianipar (2009),

Kroll (2010), dan Teixeira (2011) yang menemukan adanya hubungan

antara aktivitas fisik dengan PMS. Perbedaan ini mungkin disebabkan

adanya perbedaan dari metodologi yang digunakan antara penelitian

ini dengan ketiga penelitian lainnya.

Penelitian Sianipar (2009) memiliki kriteria khusus dalam

pengambilan sampel, seperti tidak boleh mengalami penyakit berat.

Sehingga dapat mempengaruhi hasil dari data aktivitas fisik, dimana

seseorang yang memiliki penyakit berat akan cenderung memiliki


10

aktivitas fisik yang rendah. Penelitian Teixeira (2011) memiliki

perbedaan dalam metode pengumpulan data aktivitas fisik, yaitu

menggunakan tiga bagian kuesioner (aktivitas harian, latihan

fisik/olahraga, dan mobilitas), yang ketiganya dilihat berdasarkan

kebiasaan responden pada 12 bulan terakhir. Sedangkan penelitian

Kroll (2010) menghitung aktivitas fisik berdasarkan recreational

physical activity.

Sementara adanya kecenderungan yang terjadi, dikarenakan

aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi gejala PMS.

Karena dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi

endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya,

memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol,

dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984). Hal

ini juga diperkuat oleh penelitian, yang menemukan bahwa melakukan

aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar

serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya serotonin ini sangat erat

kaitannya dengan depresi dan perubahan mood yang berujung pada

masalah kesehatan.

9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015

Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut air

(Almatsier, 2010). Piridoksin memiliki sifat fisik seperti kristal putih

dan tidak berbau (Almatsier, 2010). Bila dilihat dari sifat kimianya,
10

piridokin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, namun tidak tahan

terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier,

2010).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,234 (>

0,05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian

ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan piridoksin dengan

kejadian PMS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Septiani (2009), Pujihatuti (2012), dan Kusumatutik

(2013).

Meskipun asupan piridoksin tidak berhubungan dengan PMS,

tetapi berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.11), dari 87 orang

yang memiliki asupan piridoksin kurang terdapat 35,6 % yang

mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari

40 orang yang memiliki asupan piridoksin cukup, terdapat 25,0% yang

mengalami gejala sedang hingga berat. Hal ini terlihat bahwa

cenderung siswi dengan asupan piridoksin kurang lebih banyak

mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan

dengan siswi dengan asupan piridoksin cukup. Hal ini dikarenakan

piridoksin dapat memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan

perilaku pada PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,dan depresi (Lustyk

dan Gerrish, 2010).

Penyebab tidak berhubungannya variabel ini mungkin

disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan, yaitu

keseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Kusumatutik,


10

2013). Hal ini dikarenakan hormon adalah faktor utama penyebab dari

PMS, yaitu adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan

progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain

menunjukkan bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit

progesteron dalam fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi

akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan

Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat,

disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa

gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan

mengganggu proses metabolisme piridoksin. Padahal piridoksin

merupakan vitamin anti depresi karena berfungsi dalam mengontrol

produksi serotonin, yang juga berkaitan dengan PMS (Brunner dan

Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009).

Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Siantina

(2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara asupan

piridoksin dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lokasi

penelitian dan metode dalam pengumpulan data, dimana Siantina

menggunakan kuesioner FFQ (Siantina, 2010).

10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015

Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak

disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di

tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam mengatur


10

fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan penggumpulan darah),

mengatur kerja hormon, dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2010).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,011 (<

0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian

diterima yaitu ada hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian

PMS. Artinya siswi yang memiliki konsumsi kalsium kurang

berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat. Hal ini

sejalan dengan penelitian Nurmalasari (2013), Nurmiaty (2011), dan

Kusumatutik (2013) yang menemukan bahwa kalsium berhubungan

dengan PMS. Sebab kalsium memiliki peran dalam meringankan dan

menekan resiko terjadinya gejala PMS.

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.12) pun

ditemukan bahwa dari 105 orang yang memiliki asupan kalsium

kurang, terdapat 37,1% yang mengalami PMS dengan gejala sedang

hingga berat. Sedangkan dari 22 orang yang memiliki asupan kalsium

cukup, hanya 9,1% yang mengalami gejala sedang hingga berat. Hal

ini menunjukan bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan kalsium

kurang lebih banyak yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat

dibandingkan dengan siswi yang memiliki asupan kalsium cukup.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys-Jacobs

(2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu mineral yang

terbukti secara signifikan menghasilkan 50% pengurangan dari gejala

PMS, seperti gangguan mood dan perilaku, kegelisahan, hidrasi,

depresi, dan mual. Namun kalsium sangat bergantung pada hormon


11

estrogen, karena estrogen mempengaruhi metabolisme kalsium dan

penyerapan kalsium di dalam usus (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan

kalsium di dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) juga telah

lama dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan

kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek terhadap

metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000).

Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan

kalsium pada siswi di SMA 112 Jakarta. Perhatian tersebut dapat

dilakukan dengan cara meningkatkan asupan sumber kalsium, seperti

susu dan hasilnya, minimal 1 gelas/hari. Hal ini dikarenakan

berdasarkan hasil recall diketahui konsumsi susu dan hasilnya pada

sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta masih jarang, karena lebih

cenderung mengonsumsi minuman ringan. Sehingga diperlukan pula

pengurangan konsumsi minuman ringan, yang digantikan dengan

konsumsi susu.

11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian


Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling banyak

setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak terlibat pada

berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010). magnesium

memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem enzim di dalam

tubuh, karena magnesium bertindak di dalam semua sel jaringan lunak

sebagai katalisator , termasuk metabolisme zat gizi makro (Almatsier,

2010).
11

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,183 (>

0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian

ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan magnesium dengan

kejadian PMS. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurmiaty

(2011), Pujihastuti (2012), Septiani (2009), dan Kusumatutik (2013).

Meskipun asupan magnesium tidak berhubungan dengan PMS,

namun terlihat bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan

magnesium kurang, lebih banyak yang mengalami PMS. Hal ini

terlihat dari tabel distribusi frekuensi (tabel 5.13), dari 103 orang yang

memiliki asupan magnesium kurang, terdapat 35,0% yang mengalami

PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 24 orang

yang memiliki asupan magnesium cukup, terdapat 20,8% yang

mengalami gejala sedang hingga berat.

Tidak adanya hubungan antara asupan magnesium dengan

PMS dapat disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan,

yaitu estrogen, karena hormon estrogen dapat mempengaruhi

metabolisme dari magnesium (Thys-Jacobs, 2000). Hal tersebut juga

mungkin dapat dikarenakan siswi SMA 112 Jakarta masih memiliki

cadangan magnesium yang cukup di dalam tubuh. Sehingga apabila

asupan kurang, tubuh akan secara otomatis mengeluarkan cadangan

tersebut, sehingga kadar di dalam darah tetap stabil. Di samping itu

pada konsumsi magnesium yang rendah tubuh akan mengabsorpsi

sebanyak 60% dari asupan magnesium, sedangkan pada konsumsi


11

tinggi tubuh hanya akan mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier,

2010), sehingga kadar di dalam tubuh akan tetap stabil.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Christiany (2007)

dan Siantina (2010), yang menemukan adanya hubungan antara

magnesium dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan

metode pengumpulan data (FFQ) dan hasil ukur (rasio) yang

digunakan (Siantina, 2010). Perbedaan jenis uji pun dapat menjadi

salah satu penyebab dari bedanya hasil penelitian, dimana Christiany

(2007) menggunakan regresi dan Siantina (2010) menggunakan uji

spearman.

Sementara kecenderungan yang terjadi pada penelitian ini

dikarenakan magnesium merupakan mineral yang dapat menurunkan

risiko terjadi dan keparahan dari gejala PMS. Dimana magnesium

berfungsi dalam membantu relaksasi otot, transmisi sinyal syaraf,

mengurangi migren, dan sebagai penenang ilmiah yang dibutuhkan

oleh perempuan saat mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).

Selain itu, magnesium juga dapat mengurangi gejala-gejala seperti

kecemasan,banyak makan, depresi, hidrasi dan gejala total hanya

hidrasi (kembung) (Nurmalasari dkk., 2013).

12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal

dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan dapat

diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi


11

tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Hal

ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletahk di otak akan mengatur

fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).

Tidur merupakan kebutuhan bagi manusia. Hal ini dikarenakan

pada kondisi tidur tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk

mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang

optimal dan terjadinya regenerasi untuk mengembalikan stamina tubuh

sehingga kembali dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat

memberikan kesempatan tubuh untuk beristirahat dan memulihkan

kondisi fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Sebab pusat

saraf tidur yang terletak di otak akan mengatur fisiologis tidur yang

sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).

Untuk menilai baik buruknya tidur responden dalam penelitian

ini dilihat dari pola tidur. Pola tidur yang dimaksud adalah kebiasaan

tidur responden dalam satu bulan terakhir yang diukur melalui tujuh

komponen utama, yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan memulai

tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat

tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari.

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,013 (<

0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian

diterima yaitu ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS.

Artinya siswi yang memiliki pola tidur buruk berpeluang untuk

mengalami PMS gejala sedang hingga berat.


11

Sementara berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.14),

menunjukkan bahwa dari 44 orang yang memiliki pola tidur baik,

terdapat 18,2% (8 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat.

Sedangkan dari 83orang yang memiliki pola tidur buruk, terdapat

39,3% (33 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat. Hal ini

menunjukkan bahwa cenderung responden yang memiliki pola tidur

buruk lebih banyak yang mengalami PMS sedang hingga berat,

dibandingkan dengan responden yang memiliki pola tidur baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang serupa

dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan bahwa PMS

memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur (Cheng dkk., 2013,

Karaman dkk., 2012). Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa

gangguan) ternyata dapat meringankan gejala PMS. Hal ini

dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi sekresi

berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan Boivin,

2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007), meskipun pola

tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari PMS yang parah,

namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pola tidur

yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala PMS yang

dirasakan (Baker dkk., 2007).

Di samping itu berdasarkan hasil uji chi square diketahui pula

bahwa komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS

adalah latensi tidur, kualitas tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari.

Hasil tersebut menunjukan bahwa, siswi yang mengalami latensi tidur


11

> 60 menit memiliki berpeluang mengalami PMS gejala sedang hingga

berat, siswi yang memiliki kualitas tidur buruk berpeluang untuk

mengalami PMS gejala sedang hingga berat, dan siswi yang

mengalami PMS gejala sedang hingga berat berpeluang mengalami

gangguan aktivitas di siang hari ≥ 3 kali dalam seminggu.

Menurut Buysse, dkk. (1988) untuk melihat kesulitan tidur

dilihat berdasarkan latensi tidur. Latensi tidur merupakan periode

waktu antara persiapan untuk tidur dan awal tidur yang sebenarnya

(terlelap) buruk (Buysse dkk., 1989). Dalam hal ini latensi tidur dibagi

menjadi empat skor, yaitu 0 jika ≤ 15 menit; 1 jika 15-30 menit; 2 jika

30-60 menit; dan 3 jika > 60 menit, dengan 0 = sangat baik dan 3 =

sangat buruk (Buysse dkk., 1989).

Kemudian kualitas tidur yang dihasilkan dari kuesioner PSQI

merupakan kualitas tidur yang dinilai berdasarkan subjektivitas

responden. Komponen ini memiliki skor antara 0 (sangat baik) sampai

dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989).

Sedangkan gangguan aktivitas di siang hari merupakan

komponen yang melihat dampak dari komponen lainnya, seperti

latensi tidur dan kualitas tidur (Buysse dkk., 1989). Komponen ini

dihitung berdasarkan gangguan mengantuk saat menjalani aktivitas dan

jumlah masalah yang sedang dihadapi. Skor komponen ini meliputi 0

(sangat baik) sampai dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989).

Buruknya latensi tidur dan kualitas tidur pada siswi di SMA

112 Jakarta mungkin dapat disebabkan oleh penggunaan media


11

elektronik (gadget), seperti handphone mau pun tablet. Sebab telah

kita ketahui bahwa di zaman sekarang ini penggunaan gadget sangat

umum di masyarakat, khususnya para remaja yang cenderung

mengikuti tren. Berdasarkan penelitian di SMA Santo Thomas 1

Medan yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi

penggunaan handphone dan durasi penggunaan handphone terhadap

kualitas tidur (Meliani, 2014).

Dengan demikian maka siswi SMA 112 Jakarta perlu

memperhatikan pola tidur, karena berdasarkan hasil pengumpulan data

diketahui bahwa pola tidur siswi SMA 112 Jakarta sebagian besar

kurang memenuhi syarat. Hal ini dibuktikan dari hasil pengumpulan

data, diketahui banyak siswi yang mengalami gangguan aktivitas pada

siang hari, seperti mengantuk, yang mungkin disebabkan adanya

latensi tidur dan kualitas tidur yang buruk. Salah satu yang dapat

dilakukan adalah dengan meningkatkan upaya untuk memperbaiki

latensi dan kualitas tidur, yang mungkin dapat dilakukan dengan cara

mengurangi penggunaan gadget.

Di samping itu buruknya pola tidur juga mungkin dapat

disebabkan oleh rendahnya asupan kalsium pada siswi SMA 112

Jakarta. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kalsium memiliki efek

terhadap metabolism dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000).

Sedangkan serotonin merupakan zat kimia yang berguna untuk kualitas

tidur yang normal (Lau, 2011). Dikarenakan zat ini sangat

mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan


11

gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, dan

kesulitan tidur (Saryono dan Sejati, 2009). Sehingga cara lain yang

dapat dilakukan dalam memperbaiki pola tidur adalah dengan

meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil

produksinya.

13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh seimbang

atau tidaknya jumlah asupan (intake) dan jumlah zat gizi yang

dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis,

seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas,

pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes, 2006). Dalam

Kemenkes (2011) disebutkan bahwa terdapat lima jenis status gizi,

yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas.

Berdasarkan hasil uji chi square,diperoleh nilai p = 0,108 (>

0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian

ditolak yaitu tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian

PMS. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Munthe

(2013) bahwa tidak ada hubungan antara tatus gizi dengan kejadian

PMS.

Meskipun hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan,

namun cenderung responden yang memiliki status gizi gemuk lebih

banyak yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat

dibandingkan dengan status gizi kurus dan normal. Hal ini dibuktikan
11

berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.16), ditemukan 44,4%

dari 9 orang yang memiliki status gizi kurus, 28,2% dari 103 orang

yang memiliki status gizi normal, dan 53,5% dari 15 orang yang

memiliki status gizi gemuk PMS dengan gejala sedang hingga berat.

Hal ini mungkin dapat disebabkan adanya faktor lain yang

lebih dominan seperti faktor riwayat keluarga dan faktor psikologis.

Dimana faktor genetik memainkan peranan penting terhadap hormon

estogen dan serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007),

sedangkan faktor psikologis berhubungan dengan hormon

progesterone (Michel dan Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab

utama dari kejadian PMS.

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

Masho (2005), Aminah (2011), dan Seedhom (2013) yang

menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan PMS.

Hasil penelitian ini yang menemukan tidak berhubungan mungkin

dapat dikarenakan tidak adanya siswi yang memiliki status gizi

obesitas. Karena menurut penelitian Masho (2005), PMS berkaitan

dengan obesitas. Karena pada wanita obesitas terjadi peningkatan

kadar serotonin (Dickerson, dkk., 2003) dan dapat meningkatkan risiko

terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada tingginya risiko

mengalami gejala PMS (Bussell, 2014). Sedangkan berbedanya hasil

penelitian ini dengan penelitian Aminah (2011) dapat disebabkan

dengan hasil ukur yang berbeda, dimana Aminah (2011) menggunakan

dua hasil ukur, yaitu normal dan tidak normal.


BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami PMS gejala ringan

sebesar 68% (86 orang) dan sebesar 32% (41 orang) yang mengalami

gejala sedang hingga berat. Gejala yang paling banyak dialami antara

lain mudah tersinggung dan nyeri perut, yang keduanya masing-

masing sebesar 91% (116 orang).

2. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami usia menarche

normal yakni 68% (86 orang), sebesar 13% (17 orang) mengalami usia

menarche cepat, dan sebesar 19% (24 orang) mengalami usia

menarche lambat.

3. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki riwayat keluarga

yang mengalami sindrom pramenstruasi yakni sebesar 52% (66 orang),

dan sebesar 48% (61 orang) tidak memiliki riwayat keluarga yang

mengalami sindrom pramenstruasi

4. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan

yakni sebesar 75% (96 orang), sebesar 25% (31 orang) memiliki

aktivitas sedang, dan tidak ada yang memiliki aktivitas fisik berat.

5. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin

kurang yakni sebesar 68% (87 orang) dan sebesar 32% (40 orang)

memiliki asupan piridoksin cukup.


119
12

6. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium

kurang yakini sebesar 83% (105 orang) dan sebesar 17% (22 orang)

memiliki asupan kalsium cukup.

7. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan magnesium

kurang yakni sebesar 81% (103 orang) dan sebesar 19% (24 orang)

memiliki asupan magnesium cukup.

8. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki pola tidur yang buruk

yakni sebesar 70% (89 orang) dan sebesar 30% (38 orang) memiliki

kualitas tidur baik.

9. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki status gizi sangat gizi

normal yakni sebesar 81% (103 orang), sebesar 7% (9 orang) memiliki

status gizi kurus, sebesar memiliki status gizi gemuk 12% (15 orang),

dan tidak ada yang memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas.

10. Tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS

pada siswi SMA 112 Jakarta.

11. Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada

siswi SMA 112 Jakarta.

12. Tidak terdapat ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian

PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.

13. Tidak terdapat hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan

kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.

14. Terdapat hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian PMS

pada siswi SMA 112 Jakarta.


12

15. Tidak terdapat hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan

kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.

16. Terdapat hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS pada siswi

SMA 112 Jakarta.


17. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 J

B. Saran

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Diharapkan dapat melakukan promosi kesehatan berupa pembuatan pedoman atau media kese

SMA 112 Jakarta


a. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan promosi kesehatan berupa penyuluhanataupembu

dipahami dan menarik, yang berkaitan dengan PMS, pola tidur

yang baik dan konsumsi zat kalsium sesuai kebutuhan siswi.

b. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan yang dapat mengajak siswi

SMA 112 Jakarta untuk mengonsumsi susu, seperti “hari minum

susu bersama”.
12

3. Siswi SMA 112 Jakarta

a. Diharapkan dapat memperbaiki pola tidur dengan meningkatkan

upaya untuk memperbaiki kualitas tidur dan mengurangi latensi

tidur, dengan cara mengurangi penggunaan gadget sebelum tidur

dan meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil

produksinya.

b. Diharapkan dapat memperbaiki pola makan, terkait konsumsi

kalsium dengan meningkatkan konsumsi susu minimal 1

gelas/sehari dan tetap mengonsumsi bahan makanan yang

mengandung fitat dan oksalat seperti serealia, kacang-kacangan,

dan sayuran hijau, namun dengan melakukan pengolahan tertentu

sebelum dikonsumsi dan tidak dikonsumsi secara bersamaan

dengan konsumsi susu (minimal jedal 2 jam).

4. Peneliti Lain

a. Diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan dengan

melakukan penelitian lanjutan tentang pola tidur, untuk mengetahui

latar belakang buruknya pola tidur pada remaja.

b. Diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan

desain penelitian lain, seperti case control study yang dapat

menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel penyebab

kejadian PMS.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, T. J. 2010. Kadar Serum Magnesium terhadap Gambaran Sindrom


Premenstruasi yang Dinilai dengan Premenstrual Syndrome Scale Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
ACOG. 2006. Menstruation in Girls and Adolescents: Using the Menstrual Cycle
as a Vital Sign [Online]. Washington The American College of
Obstetricians and Gynecologists Available:
http://www.acog.org/Resources-And-Publications/Committee-
Opinions/Committee-on-Adolescent-Health-Care/Menstruation-in-Girls-
and-Adolescents-Using-the-Menstrual-Cycle-as-a-Vital-Sign [Accessed 10
Juli 2015].
Adiningrum, R. D. 2008. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan
Remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Skripsi, Institut Pertanian Bogor.
Agustin, D. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon. Skripsi, Universitas
Indonesia.
Aldira, C. F. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dan Stres dengan Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja Putri di SMA Bina Insani Bogor. Skripsi,
Institut Pertanian Bogor.
Allen, S. S., Allen, A. M., Lunos, S. dan Pomerleau, C. S. 2010. Severity of
Withdrawal Symptomatology in Follicular versus Luteal Quitters: The
Combined Effects of Menstrual Phase and Withdrawal on Smoking
Cessation Outcome. Addict Behav, 35, 549-52.
Allen, S. S., Mc Bride, C. M. dan Pirie, P. L. 1991. The Shortened Premenstrual
Assessment Form. J Reprod Med, 36, 769-72.
Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
Almatsier, S., Soetrdjo, S. dan Soekarti, M. 2011. Gizi seimbang dalam Daur
Kehidupan., Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Amaliah, N., Sari, K. dan Rosha, B. C. 2012. Status Tinggi Badan Pendek
Beresiko terhadap Keterlambatan Usia Menarche pada Perempuan
Remaja Usia 10-15 Tahun. Penel Gizi Makan, 35, 8.
Aminah, S., Rahmadani, S. dan Munadhiroh 2011. Hubungan Status Gizi dengan
Kejadian Premenstrual Syndrome di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4
Jakarta Tahun 2011. Health Quality Jurnal Kesehatan, 2.

123
12

Amjad, A., Kumar, R. dan Mazher, S. B. 2014. Socio-demographic Factors and


Premenstrual Syndrome among Women attending a Teaching Hospital in
Islamabad, Pakistan. J Pioneer Med Sci, 4, 4.
Andrews, G. 2001. Sindrom Pramenstruasi. In: ANDREWS, G. (ed.) Buku Ajar:
kesehatan Reproduksi Wanita. 2 ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Anggrajani, F. dan Muhdi, N. 2011. Korelasi Faktor Risiko dengan Derajat
Keparahan Premenstrual Syndrome pada Dokter Perempuan. Jurnal
Universitas Airlangga.
Bagga, A. dan Kulkarni, S. 2000. Age at Menarche and Secular Trend in
Maharashtrian (Indian) Girls. Acta Biologica Szegediensis, 44, 5.
Baker, F. C., Kahan, T. L., Trinder, J. dan Colrain, I. M. 2007. Sleep Quality and
the Sleep Electroencephalogram in Women with Severe Premenstrual
Syndrome. Sleep, 30, 1283-1291.
Balaha, M. H., Abd El Monem Amr, M., Saleh Al Moghannum, M. dan Saab Al
Muhaidab, N. 2010. The Phenomenology of Premenstrual Syndrome in
Female Medical Students: a Cross Sectional Study. The Pan African
Medical Journal, 5, 4.
Benson, R. C. dan Pernoll, M. L. 1994. Buku Saku Obsertri dan Ginekologi,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Borenstein, J. E., Dean, B. B., Endicott, J., Wong, J., Brown, C., Dickerson, V.
dan Yonkers, K. A. 2004. Health and economic impact of the
premenstrual syndrome. J Reprod Med, 48, 515-24.
Brahmbhatt, S., Sattigeri, B. M., Shah, H., Kumar, A. dan Parikh, D. 2013. A
Prospective Survey Study on Premenstrual Syndrome in Young and Middle
Aged Women with an Emphasis on Its Management. Int J Res Med Sci, 1,
69-72.
Brunner dan Suddarth 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bussell, G. 2014. Fact Sheet: Premenstrual Syndrome (PMS) [Online]. UK:
British Dietetic Association. Available:
https://www.bda.uk.com/foodfacts/pms [Accessed 30 November 2014].
Buysse, D. J., Reynolds, C. F., 3rd, Monk, T. H., Berman, S. R. dan Kupfer, D. J.
1989. The Pittsburgh Sleep Quality Index: a New Instrument for
Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Res, 28, 193-213.
Caspersen, C. J., Powell, K. E. dan Christenson, G. M. 1985. Physical activity,
exercise, and physical fitness: definitions and distinctions for health-
related research. Public Health Reports, 100, 126-131.
12

Chandra, D. N. 2014. Mengapa Tidak Boleh Minum Teh Langsung Setelah


Makan? Intisari. Jakarta: Kompas Gramedia.
Cheng, S. H., Shih, C. C., Yang, Y. K., Chen, K. T., Chang, Y. H. dan Yang, Y.
C. 2013. Factors Associated with Premenstrual Syndromed A Survey of
New Female University Students. Kaohsiung Journal of Medical Sciences,
29, 6.
Cueller, G. dan Ratcliffe, J. 2008. A Comparison Of Glycemic Control , Sleep,
Fatique, and Depression, in Type 2 Diabetes with and without Restless
Leg Syndrome. J clin sleep med, 4, 7.
Cunha, d. B., Zanetti, L. dan Hass, J. 2008. Sleep Quality in Type 2 Diabetics.
Rev Latino-am Enfermagem, 16, 6.
Dahlan, M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan, Jakarta, Salemba
Medika.
Dangal, G. 2004. Menstrual Disorders in Adolescents. The Internet Journal of
Gynecology and Obstetrics, 4.
Delara, M., Ghofranipour, F., Azadfallah, P., Tavafian, S. S., Kazemnejad, A. dan
Montazeri, A. 2012. Health Related Quality of Life Among Adolescents
With Premenstrual Disorders: a Cross Sectional Study. Health and Quality
of Life Oucomes, 10.
Dennerstein, L., Lehert, P., Keung, L. S., Pal, S. A. dan Choi, D. 2010. Asian
Study of Effects of Premenstrual Symptoms on Activities of Daily Life.
Menopause Int, 16, 146-51.
Depkes 2006. Glosarium: Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta, Pusat Data dan
Informasi Depkes RI.
Derman, O., Kanbur, Tokur dan Kutluk 2004. Premenstrual Syndrome and
Associated Symptoms in Adolescent Girls. Eur. J. Obstet Gynecol Reprod
Biol., 116, 5.
Devi, M. 2009. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja Putri. Teknologi dan Kejuruan, 32, 11.
Dewi, A. S. 2010. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Remaja dalam
Menghadapi Sindrom Premenstruasi di SMP Al-Azhar Medan Tahun
2010. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
Dickerson, L. M., J, P., Mazyck dan Hubter, M. 2003. Premenstrual Syndrome.
Am Fam Physician, 67, 9.
Dinkes. 2014. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi: Kategori Tingkat
Aktivitas [Online]. Available:
http://dinkes.jogjaprov.go.id/gizi/index.php/home/halpenting [Accessed 25
November 2014].
12

Emilia, O. 2008. Premenstrual Syndrome (PMS) and Premenstrual Dysphoric


Disorder (PMDD) in Indonesian Women. Journal of The Medical
Sciences, 40.
Emilia, S. L., Salmah, A. U. dan Rahma 2013. Perbandingan Usia Menars dan
Pola Siklus Menstruasi antara Remaja Putri di Kota dan Desa (SMP
Negeri 6 Makassar dan SMP Negeri 11 Bulukumba) di Sulawesi Selatan
Tahun 2013. Jurnal Unhas.
Fauziah, R. R. N. 2013. Gambaran Kualitas Tidur pada Wanita Lanjut Usia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung. Skripsi, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Freeman, E. W. 2007. Epidemiology and Etiology of Premenstrual Syndromes.
Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment, New York, Oxford
University Press.
Groves, R. M., Fowler, F. J., Couper, M. P., Lepkowski, J. M., Singer, E. dan
Tourangeau, R. 2009. Survey Methodology, Canada, Wiley Series.
Hapsari, N. D. 2010. Hubungan Sindroma Pramenstruasi dan Insomnia pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Skripsi, Universitas Sebelas Maret.
Harber, V. J. dan Sutton, J. R. 1984. Endorphins and Exercise. Sports Med., 1,
154-71.
Hastono, S. P. dan Sabri, L. 2008. Statistik Kesehatan, Jakarta, PT. RahaGrafindo
Persada.
Hotz, C. dan Gibson, R. S. 2007. Traditional food-processing and preparation
practices to enhance the bioavailability of micronutrients in plant-based
diets. J Nutr, 137, 1097-100.
Huo, L., Straub, R. E., Roca, C., Schmidt, P. J., Shi, K., Vakkalanka, R.,
Weinberger, D. R. dan Rubinow, D. R. 2007. Risk for Premenstrual
Dysphoric Disorder Is Associated with Genetic Variation in ESR1, the
Estrogen Receptor Alpha Gene. Biological Psychiatry, 62, 925-933.
Johnson, E. R. B., Hankinson, S. E., Willett, W. C., Johnson, S. R. dan Manson, J.
E. 2010. Adiposity and the Development of Premenstrual Syndrome. J
Womens Health (Larchmt). 19, 7.
Karaman, H. I. O., Tanriverdi, G. dan Degimenci, Y. 2012. Subjective Sleep
Quality in Premenstural Syndrome. Jurnal Gynecological Endocrinology,
28, 5.
Kemdikbud. 2014. Jumlah Siswi SMA menurut Tingkat Berdasarkan Data Tahun
2013/2014 [Online]. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas Direktorat Jederal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan
12

dan Kebudayaan. Available:


http://psma.kemdikbud.go.id/home/statistik/data03.php?kota=KOTA%20J
AKARTA%20BARAT&stat=NEGERI [Accessed 27 Maret 2015].
Kemenkes 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Kemenkes 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Jakarta,
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI.
Kemenkes 2014. Pedoman Gizi Seimbang, Jakarta, Direkrorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.
Kroll, A. R. 2010. Recreational Physical Activity and Premenstrual Syndrome in
College-Aged Women. S2, University of Massachusetts Amherst.
Kusumatutik, W. 2013. Hubungan antara Asupan Gizi Vitamin B6 dan kalsium
terhadap Kejadian Pra Menstruasi Sindrom pada Siswi Kelas X SMA
Bhinneka Karya 2 Boyolali. Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Kusumawardhani, D. A., Husein, A. N. dan Bakhriansyah, M. 2014. Hubungan
Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) dengan Kejadian Insomnia pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran ULAM Banjarmasin. Berkala
Kedokteran, 10, 9.
Lanywati, E. 2008. Insomnia Gangguan Sulit Tidur, Yogyakarta, Kanisius.
Lau, E. 2011. Super Sehat dalam 2 Minggu, Penerbit, Gramedia Pustaka Utama.
Lee, M., Kim, J., Lee, J. dan Kim, D. 2002. The Standardization of the Shortened
Premenstrual Assessment Form and Applicability on the Internet. . J
Korean Neuropsychiatr Assoc, 41, 8.
Lustyk, M. K. B. dan Gerrish, W. G. 2010. Issues of Quality of Life, Stress and
Exercise. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder.
Jerman: Springer Science.
Magnay, KM, I., G, C., L, C., PW, J. dan S, O. B. 2006. Serotonin Transporter,
Tryptophan Hydroxylase, and Monoamine Oxidase a Gene
Polymorphisms in Premenstrual Dysphoric Disorder. Am J Obstet
Gynecol., 195, 5.
Marjoribanks, J., Brown, J., O'Brien, P. M. dan Wyatt, K. 2013. Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors for Premenstrual Syndrome. Cochrane
Database Syst Rev, 6, Cd001396.
Masho, S., Adera, T. dan South Paul, J. 2005. Obesity as a Risk Factor for
Premenstrual Syndrome. J Psychosom Obstet Gynaecol., 26, 6.
Mayyane. 2011. Hubungan antara Tingkat Stres dengan Kejadian Sindrom Pra
Menstruasi pada Siswi SMA Negeri 1 Padang Panjang Tahun 2011.
Skripsi, Universitas Andalas.
12

Meliani. 2014. Pengaruh Penggunaan Media Elektronik terhadap Kualitas Tidur


Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Skripsi, Universitas Sumatera
Utara.
Michel, C. L. dan Bonnet, X. 2014. Effect of a brief stress on progesterone
plasma levels in pregnant and non-pregnant guinea pigs. Animal Biology,
64, 19-29.
Moghadam, A. D., Sayehmiri, K., Delpisheh, A. dan Kaikhavandi, S. 2014.
Epidemiology of Premenstrual Syndrome (PMS)-A Systematic Review and
Meta-Analysis Study. Journal of Clinical and Diagnostic Research : JCDR,
8, 106-109.
Munthe, N. B. G. 2013. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual
Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi. Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
Nelson, L. M. 2012. Fact Sheet: Menstruation [Online]. Available:
Http://Www.Womenshealth.Gov/Publications/Our-Publications/Fact-
Sheet/Menstruation.Html [Accessed 20 Oktober 2014].
NIH. 2014. Premenstrual Syndrome [Online]. United states: National Institute of
Health. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/premenstrualsyndrome.html
[Accessed 17 November 2014].
North American Menopause Society 2010. Estrogen and Progestogen Use in
Postmenopausal Women: 2010 Position Statement of The North American
Menopause Society. Menopause., 17, 12.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Rineka Cipta.
Nurmalasari, Y., Hidayanti, L. dan Setiyon, A. 2013. Kebiasaan Konsumsi
Pangan Sumber Kalsium dan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS)
pada Remaja Putri di SMA Negeri 5 Tasik Malaya Tahun 2013. Skripsi,
Universitas Siliwangi.
Nurmiaty, Wilopo, S. A. dan Sudargo, T. 2011. Perilaku Makan dengan Kejadian
Sindrom Premenstruasi pada Remaja. Berita Kedokteran Masyarakat, 27,
7.
O'Brien, P. S., Rapkin, A. J. dan Schmidt, P. J. 2007. The Premenstrual
Syndromes: PMS and PMDD, London, Informa Healthcare.
Padmavathi, P., Sankar, S. R. dan Kokilavani, N. 2013. A Correlation Study on
Premenstrual Symptomps among Adolescents Girls. Asian J Health Sci, 1,
4.
12

Prabowo, A. E., M., R. M. dan Sholehudin, M. 2013. Hubungan Tingkat Stres


Dengan Derajat Keparahan Sindrom Pramenstruasi. Jurnal Kesehatan
Mesencephalon, 1.
Praschak-Rieder, N., Willeit, M., Winkler, D., Neumeister, A., Hilger, E., Zill, P.,
Hornik, K., Stastny, J., Thierry, N., Ackenheil, M., Bondy, B. dan Kasper,
S. 2002. Role of Family History and 5-HTTLPR Polymorphism in Female
Seasonal Affective Disorder Patients with and without Premenstrual
Dysphoric Disorder. Eur Neuropsychopharmacol, 12, 129-34.
Pujihastuti, E. K. 2012. Hubungan antara Rasio Lingkar Pinggang Panggul,
Asupan zat Gizi dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Syndrome
Pramenstruasi pada Siswi MTs N Mlinjon Filial Trucuk Klaten Tahun
2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1, 5.
Putri, R. P. D. P. 2013. Hubungan antara Derajat Sindrom Pramenstruasi dan
Aktivitas Fisik dengan Perilaku Makan pada Remaja Putri. Skripsi,
Universitas Diponegoro.
Ray, S., Mishra, S., Roy, A. G. dan Das, B. M. 2010. Menstrual Characteristics:
A Study of The Adolescent of Rulan and Urban West Bengal, India. Annals
Human Biology, 37, 14.
Sacher, R. A. dan McPherson, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saryono dan Sejati, W. 2009. Sindrom Pramenstruasi, Yogyakarta, Nuha Medika.
Septiani, T. A. 2009. Hubungan Asupan Vitamin B6, Kalsium, dan Magnesium
dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS). Skripsi.
Setianingsih, A. 2012. Hubungan Status Vegetarian dengan Derajat Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja. Skripsi, Universitas Diponegoro.
Shechter, A. dan Boivin, D. B. 2010. Sleep, Hormones, and Circadian Rhythms
throughout the Menstrual Cycle in Healthy Women and Women with
Premenstrual Dysphoric Disorder. International Journal of Endocrinology,
2010, 17.
Sianipar, O., Bunawan, N. C., Almazini, P., Calista, N., Wulandari, P., Rovenska,
N., Djuanda, R. E., Irene, Seno, A. dan Suarthana, E. 2009. Prevalensi
Gangguan Menstruasi danFaktor-faktor yang Berhubungan padaSiswi
SMU di Kecamatan Pulo GadungJakarta Timur. Artikel Penelitian Maj
Kedokt Indon, 59.
Siantina, R. 2010. Hubungan antara Asupan Zat Gizi dan Aktivitas Olahraga
dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri di
SMAN 1 Padang Tahun 2010. Skripsi, Universitas Andalas.
13

Silvia, C. M. L. d., Gigante, D. P. dan Minten, G. C. 2008. Premenstrual


Symptoms and Syndrome According to Age at Menarche in a 1982 Birth
Cohort in Southern Brazil. Cad. Saude Publica, Rio de Janeiro, 24, 10.
Siyamti, S. dan Pertiwi, H. W. 2011. Hubungan antara Tingkat Kecemasan
dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi Tingkat II Akademi
Kebidanan Estu Utomo Boyolali. Jurnal Kebidanana, 3.
Souza, E. G. V., Ramos, M. G., Hara, C., Stumpf, B. P. dan Rocha, F. L. 2012.
Neuropsychological Performance and Menstrual Cycle: a Literature
Review. Trends Psychiatry Psychother, 34, 7.
Suparman, E. 2010. Premenstrual Syndrome, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Tambing, Y. 2012. Physical Activity and Premenstrual Syndrome in Teenagers.
Thesis, Universitas Gajah Mada.
Thys-Jacobs, S. 2000. Review: Micronutrients and the Premenstrual Syndrome:
the Case for Calcium. J Am Coll Nutr, 19, 220-7.
Tolossa, F. W. dan Bekele, M. L. 2014. Prevalence, Impacts and Medical
Managements of Premenstrual Syndrome among Female Students: Cross-
Sectional Study in College of Health Sciences, Mekelle University,
Mekelle, Northern Ethiopia. BMC Women's Health, 14.
UMM. 2013. Premenstrual syndrome [Online]. Available:
http://umm.edu/health/medical/reports/articles/premenstrual-syndrome
[Accessed 18 November 2014].
Visser, A. K. D., van Waarde, A., Willemsen, A. T. M., Bosker, F. J., Luiten, P.
G. M., den Boer, J. A., Kema, I. P. dan Dierckx, R. 2011. Measuring
Serotonin Synthesis: from Conventional Methods to PET Tracers and
Their (Pre)Clinical Implications. Eur J Nucl Med Mol Imaging, 38, 576-
91.
WHO. 2014a. Adolescent Health [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/
[Accessed 17 November 2014].
WHO. 2014b. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/topics/physical_activity/en/
[Accessed 18 November 2014].
WHO. 2015a. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/dietphysicalactivity/pa/en/ 16
Juni 2015].
WHO. 2015b. Physical Activity and Young People [Online]. Switzerland: World
Health Organization. Available:
13

http://www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet_young_people/en/
[Accessed 16 Juni 2015].
Wijaya, A. 2006. Biologi IX, Jakarta, Penerbit Grasindo.
Wiley, J. dan Sons 2012. Premenstrual Syndrome. In: EDMOND, K. (ed.)
Dewhurst's Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 8 ed. UK: Wiley- Blackwell.
William dan Wilkins 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis, Jakarta, Penerbi
Young, S. N. 2007. How to Increase Serotonin in The Human Brain without Drugs. J Psychiatr
Zaka, M. dan Mahmood, K. T. 2012. Premenstrual Syndrome - a Review J. Pharm. Sci. & Res., 4, 7
LAMPIRAN

132
13

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian No. Responden


(diisi peneliti)

KUESIONER PENELITIAN
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi di SMA 112Jakarta Tahun 2014
(Indah Ratikasari | 1111101000115)

Salam Sejahtera,
Perkenalkan, saya Indah Ratikasari mahasiswi Peminatan Gizi Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehubungan dengan
penyelesaian tugas akhir saya, maka saya melakukan penelitian yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada
Siswi di SMA 112 Jakarta Tahun 2014”. Adapun salah satu cara untuk
mendapatkan data adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada responden.
Untuk itu, saya mengharapkan kesediaan adik-adik sekalian untuk membantu saya
dalam mengisi kuesioner ini sebagai data yang akan dipergunakan dalam
penelitian. Kuesioner ini semata-mata hanya digunakan untuk keperluan akademis
dan akan dirahasiakan, untuk itu dimohon untuk menjawab setiap pertanyaan
dengan jujur sesuai dengan apa yang adik-adik alami. Atas kesediaan dan
partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti

(Indah Ratikasari)
13

Petunjuk Umum:
1. Baca setiap poin pertanyaan dengan seksama
2. Isi jawaban pada pertanyaan tanpa pilihan atau berilah tanda silang (X) untuk
pertanyaan pilihan, yang paling sesuai dengan apa yang kamu alami.
3. Periksa kembali lembar kuesioner, dan pastikan tidak ada poin pertanyaan
yang terlewat.
4. Kembalikan lembar kuesioner ini pada petugas yang menjaga.

A. Identitas Responden
No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama lengkap
2. Tanggal lahir Contoh pengisian: 09 - Juli – 1993
(dd/mm/yy)
3. No. HP
4. Umur pertama kali mengalami menstruasi Contoh pengisian: 1 SMP - 13 tahun

B. Status Gizi (diisi peneliti)


No. Pertanyaan Jawaban Koding
(diisi peneliti)
1. Berat Badan (kg)
2. Tinggi Badan (cm)
3. IMT (kg/m2)

4. IMT/U 1. Sangat kurus (< -3 SD) [ ]


2. Kurus (-3 SD sampai dengan < -2 SD)
3. Normal (-2 SD sampai dengan 1 SD)
4. Gemuk (> 1 SD sampai dengan 2 SD)
5. Obesitas (> 2 SD)
13

C. Kejadian Sindrom Pramenstruasi (Shortened Premenstrual Assessment


Form (sPAF))
Petunjuk: Untuk setiap gejala di bawah ini, beri tanda silang (X) pada angka
yang paling sesuai menggambarkan intensitas gejala pramenstruasi pada siklus
menstruasi terakhir. Gejala-gejala dibawah ini, merupakan gelaja yang
mungkin terjadi selama fase pramenstruasi. Fase ini dimulai sekitar 7 hari
sebelum siklus menstruasi dimulai dan berakhir saat waktu menstruasi
dimulai.

Isilah dengan: 1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 =
ektrim).
No. Pertanyaan Jawaban
1. Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi 1 2 3 4 5 6
pembesaran atau pembengkakan.
2. Merasa kamu tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh 1 2 3 4 5 6
tuntutan atau persoalan yang biasanya dijalani
3. Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan) 1 2 3 4 5 6

4. Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak atau 1 2 3 4 5 6


berlebihan
5. Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitive 1 2 3 4 5 6
terhadap penolakan meningkat, mudah menangis
6. Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau 1 2 3 4 5 6
kekakuan sendi
7. Peningkatan berat badan 1 2 3 4 5 6
8. Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri 1 2 3 4 5 6
9. Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air pada 1 2 3 4 5 6
kaki atau pergelangan kaki
10. Perut terasa kembung 1 2 3 4 5 6

Jumlah Skor (diisi peneliti) [ ]


D. Riwayat Keluarga
No. Pertanyaan Jawaban Koding
Ya Tidak (diisi peneliti)
1. Apakah ada anggota keluarga kamu yang 1 2 [ ]
mengalami gejala sindrom pramenstruasi yang
sampai mengganggu aktivitas harian?
2. Jika ada, siapa anggota keluarga tersebut?
2.1 Saudara kandung perempuan 1 2 [ ]
2.2 Ibu 1 2 [ ]
13

E. Pola Tidur (Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI))


I. Bagian I
Petunjuk: Pertanyaan dibawah ini berhubungan dengan kebiasaan tidur
yang biasa kamu lakukan selama 1 (satu) bulan terakhir. Jawabanmu
harus menunjukkan jawaban yang paling tepat yang kamu alami. Dimohon
untuk mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap.

No. Pertanyaan Jawaban


1. Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya
pergi ke tempat tidur?
2. Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa lama (dalam
menit) biasanya waktu yang dibutuhkan untuk terlelap di
setiap
malam?
3. Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya
bangun pagi?
4. Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa jam biasanya kamu
benar-benar tidur (terlelap) di malam hari? (hal ini berbeda
dengan lamanya kamu menghabiskan waktu di tempat
tidur
(seperti: tidur-tiduran)

II. Bagian II
Petunjuk: Untuk setiap pertanyaan di bawah ini, pilihlah 1 (satu) jawaban
yang paling tepat sesuai dengan apa yang kamu alami. Dimohon untuk
mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap.

Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo
dalam seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam
seminggu
No. Pertanyaan Jawaban
5. Selama 1 (satu) bulan terakhir, berapa banyak gangguan tidur yang
kamu alami karena…
5.1 Tidak bisa tidur selama 30 menit 0 1 2 3
5.2 Terbangun ditengah malam 0 1 2 3
5.3 Terbangun karena ingin ke toilet 0 1 2 3
5.4 Batuk atau mendengkur dengan keras 0 1 2 3
5.5 Merasa kedinginan 0 1 2 3
5.6 Merasa kepanasan 0 1 2 3
5.7 Mengalami mimpi buruk 0 1 2 3
5.8 Merasa kesakitan 0 1 2 3
5.9 Alasan lain, bila ada mohon disebutkan

5.10 Seberapa sering kamu mengalami masalah tidur di atas selama 1 0 1 2 3


(satu) bulan teakhir?

Isilah dengan: 0 = sangat baik; 1 = cukup baik; 2 = cukup buruk; 3 = sangat buruk
No. Pertanyaan Jawaban
6. Selama 1 (satu) bulan terakhir, bagaimana tingkat kualitas tidur kamu 0 1 2 3
secara keseluruhan?
13

Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo dalam
seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam
seminggu
No. Pertanyaan Jawaban
7. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengonsumsi 0 1 2 3
obat (resep dari dokter, obat dari apotik, atau pun obat warung) untuk
membantu kamu tidur?
8. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengalami 0 1 2 3
masalah mengantuk ketika menjalani aktivitas di siang hari (seperti:
menyetir, makan, belajar, atau dalam kegiatan aktivitas sosial)?

Isilah dengan: 0 = tidak ada masalah; 1 = hanya sangat sedikit masalah; 2 = sedikit masalah; 3
= 1(satu) masalah yang sangat besar
No. Pertanyaan Jawaban
9. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa banyak masalah yang kamu 0 1 2 3
alami yang secara antusias ingin kamu selesaikan?

Jumlah Skor (diisi peneliti) [ ]


13

F. Asupan Zat Mikro (Food Record dan Food Recall)


I. Food Record 3 x 24 jam
Petunjuk: Isilah tabel di bawah ini secara lengkap setiap kali kamu
mengonsumsi makanan dan minuman.

Waktu Makanan Bahan Makanan Banyak yang Keterangan


makan dikonsumsi
URT Berat (g) Tempat
membeli,
merk)
Hari 1
Pagi

Siang

Malam

Hari 2
Pagi

Siang

Malam

Hari 3
Pagi

Siang

Malam
13

II. Food Recall 3 x 24 jam (diisi peneliti)

Waktu Makanan Bahan Makanan Banyak yang Keterangan


makan dikonsumsi
URT Berat (g) Tempat
membeli,
merk)
Hari 1
Pagi

Siang

Malam

Hari 2
Pagi

Siang

Malam

Hari 3
Pagi

Siang

Malam
14

G. Aktivitas Fisik (Recall aktvitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi
WNPG VIII (2004))
Petunjuk: Tuliskan kegiatan kamu pada 24 jam yang lalu dari bangun tidur
hingga tidur kembali secara lengkap. Kemudian, periksa kembali apakah
kegiatan yang kamu tuliskan sudah sesuai dengan apa yang telah kamu
lakukan.

Contoh pengisian:
Waktu Kegiatan Durasi (…
(jam) jam …menit)
5.00 – 5.10 Bangun tidur (merapikan tempat tidur) 10 menit
5.10 – 5.40 Mandi pagi + pakai seragam 40 menit
5.40 – 5.55 Menyiapkan bekal 15 menit
5.55 – 6.10 Sarapan 10 menit
6.10 – 6.30 Berangkat ke sekolah (diantar naik motor) 20 menit
6.30 – 9.50 Masuk sekolah (belajar) 3 jam 20 menit
9.50 – 10.05 Istirahat I (jajan cemilan) 15 menit
10.05 – 12.25 Belajar 2 jam 20 menit
12.25 – 12.55 Istirahat II (Makan bekal) 30 menit
12.55 – 14.50 Belajar 1 jam 55 menit
14.50 – 16.55 Ekskul saman 2 jam 5 menit
16.55 – 17.35 Pulang ke rumah (naik angkot, harus jalan dulu 3 40 menit
menit)
17.15 – 17.45 Mandi sore + pakai baju 30 menit
17.45 – 19.55 Istirahat (nonton tv) 2 jam 10 menit
19.55 – 20.00 Belajar dan membereskan buku 1 jam 5 menit
20.00 – 20.20 Persiapan tidur (gosok gigi, cuci muka) 20 menit
20.20 – 5.00 Tidur 7 jam 40 menit

Waktu Kegiatan Durasi


(jam) (…jam
…menit)
14

Lampiran 2 Perhitungan Kuesioner PSQI


The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) memiliki 18 pertanyaan. 18
pertanyaan tersebut tergabung dalam 7 komponen skor. Dimana setiap komponen
memiliki nilai antara 0-3 poin, dengan 0 = baik dan 3 = sangat buruk. Sedangkan
hasil dari setiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan skor total, yang
memiliki nilai antara 0-21 poin, dengan 0 = baik dan 21 = sangat buruk. Dari jarak
nilai tersebut dikategorikan kembali menjadi, 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan 2.
Buruk, jika skor PSQI > 5.
A. Komponen 1: Kualitas tidur subyektif
Periksa pertanyaan #6, dan tetapkan nilai:
Respon Skor Komponen 1
Sangat baik 0
Cukup baik 1
Cukup buruk 2
Sangat buruk 3
Skor komponen 1:
B. Komponen 2: Latensi tidur (kesulitan memulai tidur)
1. Periksa pertanyaan #2, dan tetapkan nilai
ResponSkor
≤ 15 menit 0
16-30 menit 1
31-60 menit 2
> 60 menit 3
Skor pertanyaan #2:
2. Periksa pertanyaan #5a, dan tetapkan nilai
ResponSkor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
Skor pertanyaan #5a:
3. Jumlahkan skor pertanyaan #2 dan skor #5a
Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5a:
4. Tetapkan kedua skor
Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5aSkor
0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3
Skor komponen 2:
C. Komponen 3: Durasi tidur
Periksa Periksa pertanyaan #4, dan tetapkan nilai:
ResponSkor Komponen 3
> 7 jam 0
6-7 jam 1
5-6 jam 2
< 5 jam 3
Skor komponen 3:
D. Komponen 4:Efisiensi tidur
1. Tuliskan jawaban pertanyaan nomor 4:
2. Hitung jumlah jawaban pertanyaan 3 dan 1:
3. Hitung Efisiensi tidur
(jawaban #4 / (jawaban #3 + #1)) x 100% = %
14

4. Tetapkan skor komponen 4


% Efisiesi TidurSkor Komponen 4
> 85 0
75-84 1
65-74 2
< 65 3
Skor komponen 4:
E. Komponen 5: Gangguan tidur
1. Periksa pertanyaan #5b-#5j dan tetapkan skor setiap pertanyaan
ResponSkor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3

2. Jumlahkan skor pertanyaan #5b-#5j


Jumlah skor pertanyaan #5b-#5j:
3. Tetapkan skor komponen 5:
Jumlah skor pertanyaan #5b- #5j Skor Komponen 5
0 0
1-9 1
10-18 2
19-27 3
Skor komponen 5:
F. Komponen 6: Penggunaan obat tidur
Periksa pertanyaan #7 dan tetapkan nilai
ResponSkor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
Skor komponen 6:
G. Komponen 7: Gangguan aktifitas di siang hari
1. Periksa pertanyaan #8 dan tetapkan nilai
ResponSkor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
2. Periksa pertanyaan #9 dan tetapkan nilai
ResponSkor
Tidak ada masalah 0
Hanya sangat sedikit masalah 1
Sedikit masalah 2
1 (satu) masalah yang sangat besar 3
3. Jumlahkan skor pertanyaan #8 dan #9
Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9:
4. Tetapkan skor komponen 7
Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9Skor Komponen 7
0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3
Skor komponen 7:
H. Skor global
Jumlah skor komponen 1-7:
14

Lampiran 3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik


Pengelompokan aktivitas fisik berdasarkan proporsi waktu kerja mengacu pada
FAO/WHO (1985) yang dimodifikasi (WNPG VIII, 2004) dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Kelompok AktivitasJenis Kegiatan
Ringan 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau
berdiri dan 25% untuk kegiatan khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Sedang 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan
berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Berat 25% waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri
dan 75% adalah untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Contoh:
Dibagi menjadi dua kategori:
Waktu untuk duduk atau berdiri : 10” + 20”+ 200” + 15” + 140” +
30” + 115” + 40” + 130” + 65” +
460” = 1225”
Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu : 10” + 40” + 15” + 125” + 3” +
30” + 20” = 243”
Kemudian, kategori tersebut diubah menjadi persen:
Waktu untuk duduk atau berdiri : 1224 𝑥 100% = 83,44%
1468
Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu : 243
𝑥 100% = 16,55%
1468
Dari hasil di atas, maka termasuk kategori aktivitas fisik ringan.
14

Lampiran 7 Hasil Analisis Data


Uji Normalitas
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Usia awal menstruasi
.185 127 .000 .925 127 .000
Skor PMS .096 127 .006 .979 127 .046
Pola tidur
.101 127 .003 .962 127 .001
Asupan kalsium
.154 127 .000 .858 127 .000
Asupan magnesium
.105 127 .001 .927 127 .000
Kategori asupan b6
.435 127 .000 .585 127 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Analisis Univariat
Kelas responden
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 10 56 44.1 44.1 44.1
11 71 55.9 55.9 100.0
Total 127 100.0 100.0

Umur responden
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 14 2 1.6 1.6 1.6
15 35 27.6 27.6 29.1
16 60 47.2 47.2 76.4
17 30 23.6 23.6 100.0
Total 127 100.0 100.0

Statistics

Usia awal Asupan Asupan Asupan


menstruasi Skor PMS Pola tidur kalsium magnesium vitamin B6
N Valid 127 127 127 127 127 127
Missing 0 0 0 0 0 0
Mean 12.64 27.36 6.87 417.373 159.561 .814
Median 13.00 27.00 7.00 297.000 145.600 .700
Std. Deviation 1.125 7.479 2.840 330.4910 69.1451 .3631
Minimum 10 11 1 38.2 43.9 .2
Maximum
16 49 17 1198.3 426.3 1.8
14

Kategori PMS

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ada gejala hingga ringan
86 67.7 67.7 67.7

Gejala sedang hingga berat 41 32.3 32.3 100.0


Total 127 100.0 100.0

Payudara teras nyeri, terjadi pembesaran atau pembengkakan


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 33 26.0 26.0 26.0
Sangat ringan 35 27.6 27.6 53.5
Ringan 29 22.8 22.8 76.4
Sedang 17 13.4 13.4 89.8
Berat 10 7.9 7.9 97.6
Ekstrim 3 2.4 2.4 100.0
Total 127 100.0 100.0

Tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan yang dijalani


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 28 22.0 22.0 22.0
Sangat ringan 25 19.7 19.7 41.7
Ringan 31 24.4 24.4 66.1
Sedang 32 25.2 25.2 91.3
Berat 9 7.1 7.1 98.4
Ekstrim 2 1.6 1.6 100.0
Total 127 100.0 100.0

Merasa di bawah tekanan


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 34 26.8 26.8 26.8
Sangat ringan 27 21.3 21.3 48.0
Ringan 23 18.1 18.1 66.1
Sedang 21 16.5 16.5 82.7
Berat 10 7.9 7.9 90.6
Ekstrim 12 9.4 9.4 100.0
Total 127 100.0 100.0

Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 11 8.7 8.7 8.7
Sangat ringan 24 18.9 18.9 27.6
Ringan 25 19.7 19.7 47.2
Sedang 26 20.5 20.5 67.7
Berat 26 20.5 20.5 88.2
Ekstrim 15 11.8 11.8 100.0
Total 127 100.0 100.0
15

Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif, mudah menangis


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 13 10.2 10.2 10.2
Sangat ringan 27 21.3 21.3 31.5
Ringan 29 22.8 22.8 54.3
Sedang 30 23.6 23.6 78.0
Berat 18 14.2 14.2 92.1
Ekstrim 10 7.9 7.9 100.0
Total 127 100.0 100.0

Sakit punggung dan panggul, nyeri sendiri dan otor, atau kekakuan sendi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 16 12.6 12.6 12.6
Sangat ringan 31 24.4 24.4 37.0
Ringan 25 19.7 19.7 56.7
Sedang 23 18.1 18.1 74.8
Berat 21 16.5 16.5 91.3
Ekstrim 11 8.7 8.7 100.0
Total 127 100.0 100.0

Peningkatan berat badan


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 48 37.8 37.8 37.8
Sangat ringan 32 25.2 25.2 63.0
Ringan 18 14.2 14.2 77.2
Sedang 24 18.9 18.9 96.1
Berat 4 3.1 3.1 99.2
Ekstrim 1 .8 .8 100.0
Total 127 100.0 100.0

Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 11 8.7 8.7 8.7
Sangat ringan 31 24.4 24.4 33.1
Ringan 27 21.3 21.3 54.3
Sedang 25 19.7 19.7 74.0
Berat 20 15.7 15.7 89.8
Ekstrim 13 10.2 10.2 100.0
Total 127 100.0 100.0

Adanya edema atau retensi air pada kaki atau pergelangan kaki
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 109 85.8 85.8 85.8
Sangat ringan 11 8.7 8.7 94.5
Ringan 5 3.9 3.9 98.4
Sedang 2 1.6 1.6 100.0
Total 127 100.0 100.0
15

Perut terasa kembung


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak mengalami 56 44.1 44.1 44.1
Sangat ringan 37 29.1 29.1 73.2
Ringan 15 11.8 11.8 85.0
Sedang 13 10.2 10.2 95.3
Berat 5 3.9 3.9 99.2
Ekstrim 1 .8 .8 100.0
Total 127 100.0 100.0

Jumlah gejala
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 1 .8 .8 .8
3 4 3.1 3.1 3.9
4 3 2.4 2.4 6.3
5 9 7.1 7.1 13.4
6 19 15.0 15.0 28.3
7 28 22.0 22.0 50.4
8 42 33.1 33.1 83.5
9 13 10.2 10.2 93.7
10 8 6.3 6.3 100.0
Total 127 100.0 100.0

Kategori usia awal menstruasi


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Cepat 17 13.4 13.4 13.4
Normal 86 67.7 67.7 81.1
Lambat 24 18.9 18.9 100.0
Total 127 100.0 100.0

Riwayat keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ada 66 52.0 52.0 52.0
Tidak ada 61 48.0 48.0 100.0
Total 127 100.0 100.0

Riwayat keluarga dari saudara kandung perempuan Cumulative


Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 33 26.0 26.0 26.0
Tidak 94 74.0 74.0 100.0
Total 127 100.0 100.0

Riwayat keluarga dari ibu


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 47 37.0 37.0 37.0
Tidak 80 63.0 63.0 100.0
Total 127 100.0 100.0

Aktifitas fisik
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ringan 96 75.6 75.6 75.6
Sedang 31 24.4 24.4 100.0
Total 127 100.0 100.0
15

Kategori asupan kalsium


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang 105 82.7 82.7 82.7
Cukup 22 17.3 17.3 100.0
Total 127 100.0 100.0

Kategori asupan magnesium


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang 103 81.1 81.1 81.1
Cukup 24 18.9 18.9 100.0
Total 127 100.0 100.0

Kategori asupan b6
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang 87 68.5 68.5 68.5
Cukup 40 31.5 31.5 100.0
Total 127 100.0 100.0

Kategori pola tidur


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Baik 44 34.6 34.6 34.6
Buruk 83 65.4 65.4 100.0
Total 127 100.0 100.0

Indeks massa tubuh berdasarkan umum Cumulative


Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurus 9 7.1 7.1 7.1
Normal 103 81.1 81.1 88.2
Gemuk 15 11.8 11.8 100.0
Total 127 100.0 100.0

Analisis Bivariat
Kategori usia awal menstruasi * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Kategori usia awal Cepat Count 9 8 17
menstruasi
% within Kategori usia
52.9% 47.1% 100.0%
awal menstruasi
Normal Count 59 27 86
% within Kategori usia
68.6% 31.4% 100.0%
awal menstruasi
Lambat Count 18 6 24
% within Kategori usia
75.0% 25.0% 100.0%
awal menstruasi
Total Count 86 41 127
% within Kategori usia
awal menstruasi 67.7% 32.3% 100.0%
15

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 2.311a 2 .315
Likelihood Ratio 2.240 2 .326
Linear-by-Linear Association 2.028 1 .154
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.49.

Riwayat keluarga * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Riwayat keluarga Ada Count 36 30 66
% within Riwayat keluarga 54.5% 45.5% 100.0%
Tidak ada Count 50 11 61
% within Riwayat keluarga 82.0% 18.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Riwayat keluarga 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 10.904a 1 .001
Continuity Correctionb 9.686 1 .002
Likelihood Ratio 11.243 1 .001
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear
Association 10.818 1 .001
N of Valid Cases 127

0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.69.
Computed only for a 2x2 table

New Aktivitas fisik * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada Gejala
gejala hingga sedang
ringan hingga berat Total
New Aktivitas Ringan Count 63 32 95
fisik
% within New Aktivitas
66.3% 33.7% 100.0%
fisik
Sedang Count 23 9 32
% within New Aktivitas
71.9% 28.1% 100.0%
fisik
Total Count 86 41 127
% within New Aktivitas
fisik 67.7% 32.3% 100.0%
15

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .338a 1 .561
Continuity Correction b
.132 1 .716
Likelihood Ratio .344 1 .558
Fisher's Exact Test .664 .363
Linear-by-Linear
Association .336 1 .562
N of Valid Cases 127

0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.33.
Computed only for a 2x2 table

Kategori asupan b6 * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Kategori asupan b6 Kurang Count 56 31 87
% within Kategori asupan 64.4% 35.6% 100.0%
b6
Cukup Count 30 10 40
% within Kategori asupan
75.0% 25.0% 100.0%
b6
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan
b6 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.417a 1 .234
Continuity Correction b
.972 1 .324
Likelihood Ratio 1.455 1 .228
Fisher's Exact Test .308 .162
Linear-by-Linear
Association 1.406 1 .236
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.91.
b. Computed only for a 2x2 table
15

Kategori asupan kalsium * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Kategori asupan kalsium Kurang Count 66 39 105
% within Kategori asupan 62.9% 37.1% 100.0%
kalsium
Cukup Count 20 2 22
% within Kategori asupan
90.9% 9.1% 100.0%
kalsium
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan
kalsium 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.547a 1 .011
Continuity Correctionb 5.327 1 .021
Likelihood Ratio 7.819 1 .005
Fisher's Exact Test .011 .007
Linear-by-Linear
Association 6.496 1 .011
N of Valid Cases 127

0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.10.
Computed only for a 2x2 table

Kategori asupan magnesium * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Kategori asupan Kurang Count 67 36 103
magnesium
% within Kategori asupan
65.0% 35.0% 100.0%
magnesium
Cukup Count 19 5 24
% within Kategori asupan
79.2% 20.8% 100.0%
magnesium
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan
magnesium 67.7% 32.3% 100.0%
15

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.775a 1 .183
Continuity Correction b
1.188 1 .276
Likelihood Ratio 1.887 1 .170
Fisher's Exact Test .230 .137
Linear-by-Linear
Association 1.761 1 .185
N of Valid Cases 127

0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.75.
Computed only for a 2x2 table

Kategori pola tidur * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Kategori pola tidur Baik Count 36 8 44
% within Kategori pola tidur 81.8% 18.2% 100.0%
Buruk Count 50 33 83
% within Kategori pola tidur 60.2% 39.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori pola tidur 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.124a 1 .013
Continuity Correctionb 5.177 1 .023
Likelihood Ratio 6.483 1 .011
Fisher's Exact Test .017 .010
Linear-by-Linear
Association 6.076 1 .014
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.20.
b. Computed only for a 2x2 table
15

Status Gizi New * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada Gejala
gejala hingga sedang
ringan hingga berat Total
Status Gizi Kurus Count 5 4 9
New
% within Status Gizi 55.6% 44.4% 100.0%
New
Normal Count 74 29 103
% within Status Gizi
71.8% 28.2% 100.0%
New
Gemuk Count 7 8 15
% within Status Gizi
46.7% 53.3% 100.0%
New
Total Count 86 41 127
% within Status Gizi
New 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 4.452a 2 .108
Likelihood Ratio 4.220 2 .121
Linear-by-Linear Association .814 1 .367
N of Valid Cases 127

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.91.

Duration of sleep * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Duration of sleep > 7 jam Count 38 14 52
% within Duration of sleep 73.1% 26.9% 100.0%
6-7 jam Count 20 12 32
% within Duration of sleep 62.5% 37.5% 100.0%
5-6 jam Count 19 11 30
% within Duration of sleep 63.3% 36.7% 100.0%
< 5 jam Count 9 4 13
% within Duration of sleep 69.2% 30.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Duration of sleep 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 1.359a 3 .715
Likelihood Ratio 1.366 3 .714
Linear-by-Linear Association .466 1 .495
N of Valid Cases 127
a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20.
15

Sleep disturbance * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala Gejala
hingga sedang
ringan hingga berat Total
Sleep Tdk pernah slm 1 bln Count 5 2 7
disturbance terakhir
% within Sleep
71.4% 28.6% 100.0%
disturbance
< 1 kali dlm seminggu Count 72 29 101
% within Sleep
71.3% 28.7% 100.0%
disturbance
1-2 kali dlm seminggu Count 9 8 17
% within Sleep
52.9% 47.1% 100.0%
disturbance
>= 3 kali dlm seminggu Count 0 2 2
% within Sleep
0.0% 100.0% 100.0%
disturbance
Total Count 86 41 127
% within Sleep
disturbance 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 6.526a 3 .089
Likelihood Ratio 6.768 3 .080
Linear-by-Linear Association 4.475 1 .034
N of Valid Cases 127

a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
.65.

Sleep latency * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat Total
Sleep latency <= 15 menit Count 20 5 25
% within Sleep latency 80.0% 20.0% 100.0%
16-30 menit Count 38 23 61
% within Sleep latency 62.3% 37.7% 100.0%
31-60 menit Count 26 8 34
% within Sleep latency 76.5% 23.5% 100.0%
> 60 menit Count 2 5 7
% within Sleep latency 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Sleep latency 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 8.644a 3 .034
Likelihood Ratio 8.429 3 .038
Linear-by-Linear Association 1.703 1 .192
N of Valid Cases 127
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.
15

Day disfunction due to sleep * Kategori PMS Crosstabulation


Kategori PMS
Tidak ada
gejala Gejala
hingga sedang
ringan hingga berat Total
Day disfunction due to Skor 0 Count 6 1 7
sleep
% within Day
disfunction due to 85.7% 14.3% 100.0%
sleep
Skor 1-2 Count 34 8 42
% within Day
disfunction due to 81.0% 19.0% 100.0%
sleep
Skor 3-4 Count 34 21 55
% within Day
disfunction due to 61.8% 38.2% 100.0%
sleep
Skor 5-6 Count 12 11 23
% within Day
disfunction due to 52.2% 47.8% 100.0%
sleep
Total Count 86 41 127
% within Day
disfunction due to 67.7% 32.3% 100.0%
sleep

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 7.820a 3 .050
Likelihood Ratio 8.135 3 .043
Linear-by-Linear Association 7.300 1 .007
N of Valid Cases 127

a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.

Sleep efficiency * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada gejala Gejala sedang
hingga ringan hingga berat Total
Sleep efficiency > 85 Count 68 30 98
% within Sleep efficiency 69.4% 30.6% 100.0%
75-84 Count 13 7 20
% within Sleep efficiency 65.0% 35.0% 100.0%
65-74 Count 3 2 5
% within Sleep efficiency 60.0% 40.0% 100.0%
< 65 Count 2 2 4
% within Sleep efficiency 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Sleep efficiency 67.7% 32.3% 100.0%
16

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square .903a 3 .825
Likelihood Ratio .861 3 .835
Linear-by-Linear Association .865 1 .352
N of Valid Cases 127
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.29.

Overall sleep quality * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala hingga Gejala sedang
ringan hingga berat Total
Overall sleep quality Sangat baik Count 11 6 17
% within Overall sleep 64.7% 35.3% 100.0%
quality
Cukup Baik Count 57 14 71
% within Overall sleep
80.3% 19.7% 100.0%
quality
Cukup baik Count 17 20 37
% within Overall sleep
45.9% 54.1% 100.0%
quality
Sangat buruk Count 1 1 2
% within Overall sleep
50.0% 50.0% 100.0%
quality
Total Count 86 41 127
% within Overall sleep
quality 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2-


Value df sided)
Pearson Chi-Square 13.507a 3 .004
Likelihood Ratio 13.367 3 .004
Linear-by-Linear Association 5.378 1 .020
N of Valid Cases 127

a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
.65.
16

Need meds to sleep * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS
Tidak ada
gejala Gejala sedang
hingga hingga berat
ringan Total
Need meds to Tdk pernah slm 1 bln Count 70 29 99
sleep terakhir
% within Need meds to
70.7% 29.3% 100.0%
sleep
< 1 kali dlm seminggu Count 10 5 15
% within Need meds to
66.7% 33.3% 100.0%
sleep
1-2 kali dlm seminggu Count 3 3 6
% within Need meds to
50.0% 50.0% 100.0%
sleep
>= 3 kali dlm seminggu Count 3 4 7
% within Need meds to
42.9% 57.1% 100.0%
sleep
Total Count 86 41 127
% within Need meds to
sleep 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 3.253a 3 .354
Likelihood Ratio 3.048 3 .384
Linear-by-Linear Association 3.047 1 .081
N of Valid Cases 127

a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.94.

Anda mungkin juga menyukai