Anda di halaman 1dari 289

GAMBARAN PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS

YANG BEROBAT DI PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR


TAHUN 2015

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:
PUTRI KHAIRINA
(1110101000072)

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016

i
i
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 16 September 2016

Putri Khairina, NIM. 1110101000072


Gambaran Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015
xvii + 216 halaman, 2 gambar, 8 tabel

ABSTRAK
Pertama kali HIV di temukan pada kaum homoseksual, tetapi pada
perkembanganya, HIV/AIDS juga menyerang kaum heteroseksual, khususnya
perempuan. Banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan tertular HIV
karena suami atau pasangan mereka memiliki perilaku seksual yang tidak aman
diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui secara mendalam mengenai gambaran perempuan
dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, yang
meliputi gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS serta gambaran
distribusinya menurut tempat, dan waktu. Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah epidemiologi deskriptif dengan pendekatan kualitatif
menggunakan desain studi kasus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara
purpose sampling. Subjek penelitian ini adalah perempuan dengan HIV/AIDS dan
melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Jumlah subjek
yang diambil adalah 5 (lima) subjek yang berusia 30- 39 tahun pada saat
pengambilan data, dari total 48 kasus HIV pada perempuan di Puskesmas Kramat
Jati Jakarta Timur mulai dari Januari hingga Oktober 2014. Hasil penelitian
gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menunjukan bahwa tingkat
pendidikkan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada
keluarga, pengetahuan mengenai HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai
mengalami HIV/AIDS berperan serta dalam proses sehingga akhirnya subjek
terdiagnosis HIV positif. Peran serta yang juga ikut mempengaruhi adalah
gambaran distribusi menurut tempat yang dalam hal ini ditunjukkan dengan
keberadaan dan kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat serta alasan
iv
memilih layanan kesehatan sebagai tempat melakukan pengobatan HIV/AIDS.
Begitupula dengan gambaran distribusi menurut waktu yang terdiri dari lama sakit
dan usia ketika pertamakali terdiagnosis HIV positif. Sehingga akan lebih baik
jika pencegahan primer dimulai dalam bentuk VCT bagi perempuan produktif,
baik yang telah menikah maupun belum menikah, seperti dalam prong pertama
PPIA, dapat terlaksana dengan maksimal. Agar perempuan usia produktif mampu
terhindar dari infeksi HIV positif sedini mungkin. Edukasi HIV/AIDS bagi
penderitan HIV, keluarga penderita, dan masyarakat umum perlu lebih di
maksimalkan lagi, sebab masih terdapat penderita yang belum bisa menerima
status HIV kemudian merasa kecewa sehingga akhirnya menularkannya ke orang
lain. Diskriminasi yang terjadi di lingkungan penderita HIV juga masih banyak
ditemukan, baik berasal dari pihak masyarakat umum maupun pihak keluarga
penderita itu sendiri.

Kata Kunci : Perempuan dengan HIV/AIDS, Gambaran karakteristik, Gambaran


distribusi menurut tempat, Gambaran distribusi menurut waktu

Daftar Bacaan: 95 (1997-2015)

v
RIWAYAT HIDUP

Nama : Putri Khairina

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Januari 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Telp/ HP : 085718007315
Alamat : Jl. Pesantren Sirojul Munir, RT 004 RW 02 No.48,
Kelurahan Jatisari, Kecamatan Jatiasih, Kp. Bojongsari,
Kota Bekasi. 17426.

Email : putri_purisakia@rocketmail.com

Riwayat Pendidikan :

1998 – 2000 : SDN Layung Sari, Cileungsi, Bogor

2000 – 2004 : SDS Nasional 1 (NASSA), Pondok Gede, Kota Bekasi

2004 – 2007 : MTs. Al-Falah, Jatiasih, Kota Bekasi

2007 – 2010 : SMA Negeri 7 Kota Bekasi

2010 – Sekarang : S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat

(Peminatan Epidemiologi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Divisi PSDMO (Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Organisasi),


PAMI (Pergerakkan Anggota Muda IAKMI [Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia] ) periode 2011- 2012

2. Anggota Departemen Kemahasiswaan, BEM FKIK periode 2012- 2013

3. Bendahara Umum, Komisariat Dakwah FKIK periode 2012-2013


4. Ketua Divisi Kewirausahaan, PAMI Jakarta periode 2012-2013
5. Anggota Departemen Pengembangan Ekonomi, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) periode 2012-2013
6. Komisi Aspirasi DPM FKIK (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan) periode 2013-2014
7. Anggota Departemen Pengembangan Ekonomi, ESA (Epidemiology Students
Association) periode 2013-2014
8. Anggota Divisi Pengembangan Ekonomi, LDK (Lembaga Dakwah Kampus)
periode 2013-2014
9. Koordinator Akhwat Departemen Kaderisasi dan Pembinaan, ITSAR 7 (Ikatan Tali
Silahturahim Alumni Rohis SMA 7 Bekasi) periode 2013- sekarang
10. Pembina Organisasi Pelajar GENOSI (Generasi OSIS SMP Se- Kota Bekasi) periode
2014- sekarang

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum wr.wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat akal dan ilmu
pengetahuan agar manusia mampu ber-ma’rifatullah (mengenal Allah) juga dapat
bermanfaat bagi manusia lainnya, melaluiilmu pengetahuan yang tersebar di seluruh
dunia ini.Tak lupa terpanjatkan syukur yang tidak terhingga atas segala berkah, rahmat,
dan ridho-Nya sehingga memudahkan dan melancarkan setiap proses dalam penyelesaian
skripsi ini. Skripsi ini berjudul “GAMBARAN PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS
YANG BEROBAT DI PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN
2015”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan mungkin tersusun dan
terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA dan Ibu Narila Mutia Nasir, SKM,
MKM, Ph.D selaku Dosen Pembimbing selama penyusunan proposal, yang telah
meluangkan waktu dan membantu memberikan masukan- masukan yang sangat
luar biasa setiap kali proses bimbingan.
4. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen pembimbing 1 skripsi, yang
senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingannya
hingga tugas akhir ini selesai. Jazakallah bapak, semoga Allah SWT membalas
segala kebaikan bapak dengan sebaik- baiknya balasan.
5. Ibu Minsarnawati Tahangnaca, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 2 dan
Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi, yang senantiasa meluangkan waktu
untuk memberikan arahan dan berdiskusi juga tidak pernah bosan mengingatkan
agar segera menyelesaikan tugas akhir ini. Jazakillah ibu, semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan ibu dengan sebaik- baiknya balasan.
6. Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku penguji proposal skripsi sekaligus dosen
peminatan epidemiologi. Jazakillah ibuu.

vii
7. Ibu Yuli Amran, MKM selaku penguji. Jazakillah ibuu.
8. Bu Dela Aristi, MKM selaku penguji. Jazakillah ibuu.
9. Bapak dr. Tony Wandra, Ph.D selaku dosen epidemiologi penyakit menular dan
tidak menular sekaligus penguji. Jazakallah pak.
10. Ibu Ida sebagai penanggung jawab di Poli HIV dan IMS Puskesmas Kramat Jati
Jakarta Timur. Terimakasih banyak bu.
11. Ibu- ibu petugas lapangan LSM Tegak Tegar, yang juga merupakan petugas
pendamping dari para informan utama dalam penelitian ini. Jazakumullah untuk
semuanya ya buibu yang MaasyaAllah luar biasa.
12. Para Informan utama yang cerita hidupnya sangat menguras emosi dan air mata,
namun syarat makna dan sangat menginspirasi. Jazakumullah sudah meluangkan
waktu dan mau memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mendengarkan
dan menjadikan kisah luar biasa ini sebagai bahan penelitian dalam tugas akhir
ini.
13. Papah dan mamah yang tiada pernah berhenti berdoa serta mendukung. Adik-
adik shalihah Ipha, sapit, dan entas yang tak pernah bosan memotivasi melalui
syair sebuah nyanyian “ingatlah, ingat skripsimu… Semangat garap skripsi...
Garap skripsi harus semangat...”
14. Kak nauri mahasiswi S2 FKM UI yang juga sedang menyelesaikan tugas akhir.
Jazakillah sudah banyak berbagi ilmu dan motivasi, sempat bareng juga dalam
pengambilan data di Poli HIV PKM Kramat Jati.
15. Sahabatku sejak MTs yang tak ada bosan- bosannya memberi semangat, berbagi
kesedihan juga berbagi kegembiraan Lili Rahmawati, SH dan Siti Khoiriyah.
Juga partner kerja kak nisa, Liya, dan seluruh teman- teman di Dompet Dhuafa.
Tak lupa teruntuk Meriza Dwi, SPd sahabat semenjak masih aktif di IKRAR atau
Rohisnya Jakarta Timur hingga sekarang.
16. Kak Vivin, M.Pd dan kak Elsa, M.Pd, teman ODOJ sekaligus mahasiswi S2 IIQ
yang mau berbagi ilmu, memotivasi, hingga bermalam mengerjakan tesisnya
bersama dengan penulis yang sedang mengerjakan skripsi. Tak lupa juga untuk
para penghuni kostan yang lainnya, Anggita, Yaza, dan Ita. Jazakumullah telah
membersamai hari- hari gentingku menjelang sidang skripsi dan juga saat revisi
menuju wisuda. Selamat garap skripsi di semester depan yaa adik- adik shalihah.
17. Bu Medy, Bu Diana, Bu Widi, Bunda Tuti, Teh Sri, Uyun, Dahlan, Fahru, beserta
keluarga besar bimbingan belajar dan TPA NAJWA lainnya yang selalu

viii
menghibur, memberikan penginapan beserta fasilitas hotspot, sarapan, dan makan
malam, juga memberikan dukungan melalui do’a- do’a terbaiknya.
18. Ukhty- ukhty dalam lingkaran penuh cinta, para pengikat hati dengan ikatan do’a
Robithoh. Bu Marwati, Ayu, Dira, Rahma, Nuzul, Vivi, Bidan Fitri, Bidan Fika,
Indah, dan Widya. Juga para kakak- kakak super di “Moment of LC”, Kak Saylis,
Kak Ira, Kak Estri, Kak Anifah, Kak Azkiya, Kak Tiwi, dan Hilda.
19. Kakak- kakak, teman- teman, dan adik- adik ITSAR SMA Negeri 7 Kota Bekasi,
Adik- Adik ROHIS SMA 7 Kota Bekasi, dan Adik- Adik pengurus GENOSI
yang selalu mentransfer energi semangat dan terus memotivasi serta
mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan tugas akhir ini.
20. Wiwid, Luthfi, Nida, Tika, Zata, Karlina, Ana, Rizka, Ati, Bebe, Ii, Najah, Harun
dan Bayu yang meskipun sekarang hanya dapat berjumpa via chat grup whatsapp
saja, namun tetap terasa dekat di hati, karena selalu menyapa, menghibur,
memotivasi, memberikan banyak bantuan, serta saling mendo’akan walaupun
hanya melalui media sosial. Juga Eliza, Asiva, Nita, dan Yuli yang masih sering
berkeliaran di FKIK, terimasih atas obrolan- obrolan penyemangatnya.
21. Kiky, Dhea, dan Amel serta para penghuni grup whatsapp “Maju terus skripsi”,
“Wisuda Februari 2017”, dan grup “Perhatian Akhwat An-Najm” yang tiada
henti saling mendo’akan dan saling memberi semangat, juga semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Sangat berharap
ada kritik atau saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan ini.
Wassalamu’alaykum wr. wb.

Jakarta, 16 September 2016

Penulis

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................. I

PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................................... II

ABSTRAK ......................................................................................................................IV

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................................... VI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... VII

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... X

DAFTAR TABEL.......................................................................................................... XIV

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................XV

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... XVI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 7

1.4 Tujuan ................................................................................................................. 8

1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 8

1.4.2 Tujuan khusus ............................................................................................. 8

3.1 Manfaat ............................................................................................................... 9

3.1.1 Bagi Mahasiswa .......................................................................................... 9

3.1.2 Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ................................................ 9

3.1.3 Bagi LSM Tegak Tegar .............................................................................. 9

3.1.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta ............... 10

3.2 Ruang Lingkup ................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 11

2.1 HIV/AIDS .............................................................................................................. 11

2.1.1 Definisi HIV/AIDS ......................................................................................... 11

x
2.1.2 Faktor Risiko HIV/ AIDS ................................................................................ 12

2.1.3 Distribusi HIV/AIDS ...................................................................................... 18

2.1.4 Faktor yang mempercepat Distribusi ........................................................ 39

2.1.5 Etiologi HIV/AIDS ................................................................................... 41

2.1.6 Patogenesis HIV/AIDS ............................................................................. 43

2.1.7 Cara Penularan HIV/AIDS ....................................................................... 43

2.1.8 Fase–Fase Perkembangan Infeksi HIV ..................................................... 45

2.1.9 Gejala Klinis HIV/ AIDS .......................................................................... 48

2.2 HIV dalam Pandangan Islam ............................................................................ 50

2.3 Pengobatan HIV/AIDS ..................................................................................... 54

2.4 Dampak Sosial yang di Alami Perempuan dengan HIV Positif ....................... 57

2.5 Kerangka Teori ................................................................................................. 63

BAB III KERANGKA PIKIR .......................................................................................... 64

3.1 Kerangka Pikir ....................................................................................................... 64

3.2 Definisi Istilah........................................................................................................ 66

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 69

4.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 69

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 69

4.3 Informan Penelitian........................................................................................... 70

4.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ....................................... 73

4.4.1 Instrumen Penelitian ........................................................................................ 73

4.4.2 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................. 73

4.5 Prosedur Penelitian ........................................................................................... 75

4.5.1. Tahap Pra Penelitian ....................................................................................... 75

4.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 76

4.5.3. Tahap Paska Penelitian ................................................................................... 77

4.6 Pemeriksaan Keabsahan Data ........................................................................... 77

4.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal).................................................................. 77


xi
4.6.2. Transferability (Validitas Eksternal) .............................................................. 79

4.6.3. Dependability (Reliabilitas) ............................................................................ 79

4.6.4. Confirmability (Obyektivitas) ......................................................................... 79

4.7 Pengolahan Data ............................................................................................... 80

4.8 Analisis Data ..................................................................................................... 80

4.8.1. Analisis Sebelum di Lapangan........................................................................ 81

4.8.2. Analisis Data di Lapangan .............................................................................. 81

4.9 Penyajian Data .................................................................................................. 83

BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 84

5.1 Gambaran Proses Penelitian di Lapangan............................................................... 84

5.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS ........................................ 89

5.2.1 Tingkat Pendidikan Perempuan Terdiagnosis HIV Positif ............................. 89

5.2.2 Status Pernikahan Perempuan dengan HIV/AIDS ........................................... 95

5.2.3 Sosial Ekonomi Perempuan dengan HIV/AIDS ............................................ 107

5.2.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Perempuan dengan HIV/AIDS ............. 128

5.2.5 Pengetahuan HIV/AIDS................................................................................. 132

5.2.6 Agama ............................................................................................................ 139

5.2.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS............................................... 142

5.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat ............... 144

5.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu ................ 147

5.4.1 Lama Sakit .................................................................................................... 147

5.4.2 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS saat Pertamakali Terdiagnosis HIV


Positif 150

BAB 6 PEMBAHASAN ................................................................................................ 154

6.1 Keterbatasan Penelitian................................................................................... 154

6.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS ................................ 155

6.2.1 Tingkat Pendidikan ........................................................................................ 155

6.2.3 Status Pernikahan ........................................................................................... 158

xii
6.2.4 Sosial Ekonomi .............................................................................................. 169

6.2.5 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga ............................................................... 175

6.2.6 Pengetahuan HIV/AIDS................................................................................. 178

6.2.7 Agama ............................................................................................................ 184

6.2.8 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS............................................... 187

6.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat ......... 188

6.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu ........... 189

6.5 Pengobatan yang Dijalani oleh Perempuan TerdiagnosisHIV Positif ............ 192

6.6 Dampak Sosial yang Dialami oleh Perempuan Terdiagnosis HIV Positif ...... 197

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 202

7.1 Simpulan ............................................................................................................... 202

7.2 Saran ............................................................................................................... 206

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 210

LAMPIRAN ................................................................................................................... 216

A. Panduan wawancara ........................................................................................ 216

B. Matriks Wawancara ........................................................................................ 222

c. Transkrip Wawancara ..................................................................................... 250

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ………………………………………………… 66


Tabel 4.1 Informan Penelitian ………………………………………………….. 73
Tabel 5.1 Pendidikan Formal Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat
di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ………………………… 91
Tabel 5.2 Pendidikan Non Formal Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang
Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ……………….. 94
Tabel 5.3 Jumlah Anak, Usia Anak, dan Status Anak Terhadap HIV dari
Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur ……………………………………….. 108
Tabel 5.4 Jenis Pekerjaan dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat
di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Sebelum Terdiagnosis HIV
…………………………………………………………………… 112
Tabel 5.5 Jenis Pekerjaan dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat
di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Setelah Terdiagnosis HIV
…………………………………………………………………… 118
Tabel 5.6 Besar Penghasilan Perbulan dan Sumber Pendapatan ……………. 121
Tabel 5.7 Keaktifan Perempuan dengan HIV Positif yang Berobat di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur dengan Lingkungan Sekitar Sebelum dan
Sesudah Terdiagnosis HIV ………………………………………. 130
Tabel 5.8 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga, Pola Asuh Orang Tua, serta Jumlah
Saudara Kandung dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang
Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur
……………………………………………………………………. 134

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori ……………………………………………………. 63


Gambar 3.1 Kerangka Pikir …………………………………………………..… 65

xv
DAFTAR SINGKATAN

AIDS :Aquaired Immunodeficiency Syndrome

ART : Antiretroviral Therapy

ARV : Antiretroviral

CDC : Centers For Disease Control And Prevention

Depkes : Departemen Kesehatan

HIV :Human Immunodeficiency Virus

IDU : Injecting Drug User

IMS : Infeksi Menular Seksual

IRT : Ibu Rumah Tangga

Kemenkes : Kementrian Kesehatan

KNPP : Komisi Nasional Pemberdayaan Perempuan

KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

KTS : Konseling dan Tes Sukarela

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

ODHA : Orang dengan HIV/AIDS

PITC : Provider Initiated HIV Testing and Counseling

PMO : Pendamping Minum Obat

xvi
PMTCT : Prevention of Mother To Child Transmission

PPIA : PencegahanPenularan HIV dari Ibu ke Anak

PSK : Pekerja Seks Komersial

P2ML : Pengendalian Penyakit Menular Langsung

P2PL : Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

TB : Tuberkulosis

UNAIDS : Joint United NationsProgramme of HIV/AIDS

VCT : Voluntary Counseling and Testing

WHO : World Health Organization

WPS : Wanita Pekerja Seks

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini Indonesia mengalami masalah kesehatan yang sangat

kompleks, isu kesehatan cukup menjadi perhatian bagi masyarakat luas.

Penyebaran penyakit menular yang masih menjadi persoalan dunia,

merupakan tugas lama yang belum terselesaikan, ditambah lagi

permasalahan penyakit tidak menular yang dapat menambah beban

masalah kesehatan dunia. Hal ini menandakan telah terjadi beban ganda

pada waktu yang bersamaan (double burdens) (P2PL, 2012).

HIV merupakan virus penyebab AIDS (Kemenkes RI, 2012).

AIDSdidefinisikan oleh Smeltzer dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner Suddarth sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit

terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV (Smeltzer, 2001). HIV-

AIDS kini telah menjadi masalah kesehatan dunia. Permasalahan

HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot

perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. HIV/AIDS

pertama kali ditemukan di dunia sekitar tahun 1980-an dan sejak saat itu

hingga sekarang, lebih dari 78 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV

dan 35 juta orang meninggal karena AIDS (UNAIDS, 2015). Sedangkan

menurut data dari WHO, di tahun 2015 terdapat penambahan lebih dari 2

juta kasus baru HIV positif dengan 77% kasus adalah pada wanita hamil

1
yang telah mendapatkan akses PMTCT. Hingga sekarang telah tercatat

lebih dari 36 juta orang telah meninggal akibat AIDS (WHO, 2015)

Sejak pertama kali di temukan di Indonesia tahun 1987 sampai

dengan September 2014, HIV/AIDS sudah tersebar di 69,4% wilayah,

yakni tersebar di 345 dari 497 kabupaten/ kota di seluruh provinsi di

Indonesia. Pada Januari hingga September 2013, telah tercatat kumulatif

kasus HIV positif lebih dari 118.000 kasus dan lebih dari 45.000 kasus

AIDS, dengan faktor risiko HIV/AIDS tertinggi di Indonesia adalah

melalui hubungan seks berisiko pada heteroseksual yakni sebesar

60,9%nya (P2PL, 2013). Sementara di Januari hingga September 2014

kumulatif kasus HIV positif, kasus AIDS, serta presentase faktor risiko

melalui heteroseksual mengalami peningkatan. Diketahui lebih dari

150.000 kasus HIV positif dan lebih dari 55.000 kasus AIDS, dengan

faktor risiko melalui heteroseksual menjadi 61,5%. Jumlah kasus

terbanyak terdapat pada jenis kelamin perempuan yakni sebesar 6.539

kasus (P2PL, 2014). Berdasarkan data jenis profesi, IRT berada di urutan

tertinggi dengan HIV/AIDS, kasusnya mencapai 9.000 kasus (Kemenkes

RI, 2015).

Kondisi peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS pada perempuan

menunjukkan telah terjadi feminisasi epidemi HIV di Indonesia. Dari hasil

proyeksi HIV yang dibuat KPAN, diperkirakan pada waktu mendatang

akan terdapat peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun

dari 0,22% pada tahun 2008 menjadi 0,37% di tahun 2014. Peningkatan

2
jumlah kasus baru HIV pada perempuan, akan berdampak pada

meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak. Menurut estimasi

Kemenkes, pada tahun 2009 terdapat 3.045 kasus baru HIV pada anak

dengan kasus kumulatif 7.546, sedangkan pada tahun 2014 diperkirakan

terdapat 5.775 kasus baru dengan 34.287 kasus kumulatif anak HIV di

seluruh Indonesia (KPAN, 2010 ). Banyak perempuan masuk dalam

kelompok rentan tertular IMS dan HIV karena suami/pasangan mereka

memiliki perilaku seksual yang tidak aman diluar pernikahannya dan

menggunakan narkoba suntik (UNAIDS, 2011).

Penelitian mengenai penularanHIV/AIDS, khususnya pada

perempuan belum banyak ditemui, adapun beberapa penelitian yang

berkaitan dengan hal ini antara lain, penelitian yang dilakukan oleh

Oktarinda (2005) dengan judul “Study life story pada perempuan yang

terpapar HIV/AIDS di Jakarta” di sebutkan bahwa empat dari lima

informan ODHA perempuan dalam perjalanan pernikahannya tidak dapat

melindungi mereka dari penularan HIV karena pasangan mereka

berselingkuh, melakukan hubungan seksual dengan PSK, atau memiliki

riwayat pecandu narkoba. Sementara itu satu informan lainnya merasa

dalam berhubungan seksual tidak berani menolak, sekalipun ketika sedang

menstruasi, hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar dalam relasi

seksual (Oktarianda, 2005).

Penelitian lain mengenai penularan HIV/AIDS pada perempuan,

yakni pada penelitian oleh Imraldian Ramadhan (2005) mengenai “Study

3
Relasi Gender dalam Rumah Tangga” menyebutkan bahwa satu dari dua

informan ODHA perempuan mengaku memiliki ketergantungan ekonomi

kepada suaminya, sehingga mengakibatkan dirinya tidak leluasa untuk

mengatur hal- hal lain dalam rumah tangganya, hal inilah yang mendasari

banyak perempuan yang terinfeksi penyakit menular seksual dari

suaminya karena masalah rendahnya posisi tawar perempuan dalam rumah

tangga, adanya kemandirian ekonomi pada perempuan membuat

keberanian perempuan dalam menuntut hak- haknya (Ramadhan, 2005).

Penelitian lainnya oleh DM shinta, dkk (2013) dengan judul “Kerentanan

perempuan terhadap penularan IMS dan HIV: gambaran perilaku seksual

berisiko di Kota Denpasar” gambaran perilaku berisiko pada laki- laki

yang menyebabkan kerentanan perempuan terhadap penularan IMS dan

HIV yaitu hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan seksual,

biseksual, membeli seks, IDU, serta tidak konsisten menggunakan

kondom. Sedangkan perilaku berisiko pada perempuan itu sendiri

diantaranya memiliki lebih dari satu pasangan seksual, posisi tawar rendah

dalam negosiasi kondom, melacur dan hubungan seks dalam keadaan

terpaksa (Shinta, 2013).

DKI Jakarta adalah Provinsi di Indonesia yang menempati urutan

pertama kasus dengan jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS terbanyak.

Dari Januari hingga September 2013, dilaporkan terdapat 22.869 kasus

HIV dan 1.876 kasus AIDS. Prevalensi kasus HIV di Provinsi DKI Jakarta

menduduki urutan keempat se- Indonesia dengan prevalensi 77,82 per

4
100.000 penduduk (P2PL, 2014). Ini berarti dari setiap 100.000 penduduk

di Provinsi DKI Jakarta, 78 penduduk diantaranya telah terinfeksi HIV.

Sementara itu di Jakarta timur, kasus baru HIV yang di temukan pada

Januari hingga September 2014 sebanyak 1.152 kasus baru HIV, dengan

26,5% atau 305 kasus diantaranya merupakan kasus HIV pada perempuan

(Dinas Kesehatan Jakarta Timur, 2014).

Pada Januari hingga Oktober 2014, Puskesmas Kramat Jati

menempati urutan ketiga tertinggi di antara Puskesmas yang ada di Jakarta

Timur dalam penemuan kasus baru HIV di wilayah kerja Dinas Kesehatan

Jakarta Timur, yakni terdapat 155 kasus HIV dengan 31% atau 48 kasus

diantaranya merupakan HIV positif pada perempuan, kemudian 7 kasus

pada anak berusia kurang dari 4 tahun, 3 kasus pada usia 15-19 tahun, 13

kasus pada usia 20-24 tahun, dan 84 kasus lainnya berusia 25-49 tahun.

Jumlah kasus baru ini didapatkan dari hasil pemeriksaan skrining HIV

baik dengan VCT maupun PITC di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

(Dinas Kesehatan Jakarta Timur, 2014).

Kondisi ini menunjukkan pentingnya melihat karakteristik

perempuan penderita HIV/AIDS, agar dapat mengetahui distribusi

HIV/AIDS menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan penderita

HIV/AIDS dan juga agar mampu melakukan pencegahan sedini mungkin

pada perempuan yang belum terinfeksi HIV/AIDS. Oleh sebab itu, peneliti

tertarik untuk meneliti “Gambaran Perempuan dengan HIV/AIDS yang

Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015”.

5
1.2 Rumusan Masalah

Meskipun pertama kali di temukan pada kaum homoseksual, tetapi

pada perkembanganya, HIV/AIDS juga menyerang kaum heteroseksual,

khususnya perempuan. Banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan

tertular HIV karena suami/ pasangan mereka memiliki perilaku seksual

yang tidak aman diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik.

Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin

meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

hubungan seksual tidak aman, yang akan menularkan HIV pada pasangan

seksualnya. Di Indonesia, hingga November 2014 jumlah orang yang

terinfeksi HIV dan sudah menjadi AIDS mencapai 55.799 kasus dengan

29 % diantaranya adalah kasus HIV pada perempuan.

Provinsi DKI Jakarta menduduki urutan pertama di Indonesia

dengan jumlah kumulatif HIV dan AIDS terbanyak di Indonesia, dengan

prevalensi 77,82 kasus per 100.000 penduduk, padahal target dari salah

satu pembangunan kesehatan adalah terkendalinya HIV pada populasi

dewasa hingga 0,5%. Sementara itu di Jakarta Timur, kasus baru HIV

yang di temukan pada Januari hingga September 2014 sebanyak 1.152

kasus baru HIV, dengan 26,5% kasus diantaranya merupakan kasus HIV

pada perempuan, serta 10% kasus HIV positif terjadi pada anak usia 0-5

tahun. Puskesmas Kramat Jati di Jakarta Timur memiliki jumlah kasus

ketiga tertinggi dengan HIV positif, yakni terdapat 155 kasus HIV dengan

31% atau 48 kasus diantaranya merupakan HIV positif pada perempuan

6
Peneliti tertarik dengan penelitian mengenai distribusi HIV/AIDS

menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan penderita HIV/AIDS,

karena secara fisik maupun biologis perempuan lebih rentan di bandingkan

dengan laki- laki. Sehingga perlu diketahui bagaimana “Gambaran

Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati

Jakarta Timur Tahun 2015”.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana Gambaran Karakteristik pada Perempuan dengan HIV/AIDS

yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015?

2. Bagaimana Gambaran Distribusi Menurut Tempat pada Perempuan

dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2015?

3. Bagaimana Gambaran Distribusi Menurut Waktu pada Perempuan dengan

HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun

2015?

7
1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara

mendalam gambaran perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui Gambaran Karakteristik pada Perempuan dengan

HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2015.

2 Mengetahui Gambaran Distribusi Menurut Tempat pada Perempuan

dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta

Timur Tahun 2015.

3 Mengetahui Gambaran Distribusi Menurut Waktu pada Perempuan

dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta

Timur Tahun 2015.

8
3.1 Manfaat

3.1.1 Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar dalam melakukan

penelitian lebih lanjut terutama mengenai karakteristik perempuan dengan

HIV/AIDS. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan informasi

mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015.

3.1.2 Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Sebagai bahan masukan dan informasi mengenai karakteristik

perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati

Jakarta Timur tahun 2015, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam

mengembangkan penelitian selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk

meningkatkan program PMTCT/ PPIAyang sudah ada.

3.1.3 Bagi LSM Tegak Tegar

Hasil penelitian diharapkan dapat sebagai bahan masukan dan

informasi mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang

berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015, sehingga

dapat dijadikan bahan masukan dalam mengembangkan penelitian

selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk meningkatkan juga

mengembangkan program- programyang telah berjalan dan yang belum

berjalan di LSM Tegak Tegar.

9
3.1.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN
Jakarta

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang

berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015 dan juga di

harapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengembangan

penelitian selanjutnya.

3.2 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik perempuan

dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif pendekatan

kualitatif desain studi kasus dengan metode analisis isi/ content analysis.

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 5 informan dengan

HIV/AIDS yang memiliki usia produktif (19-49 tahun) dan berobat di

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Pengumpulan data dilakukan pada

dengan wawancara mendalam/ indepth interview dan telaah dokumen.

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu pada bulan Oktober

2014- Februari 2015 (pencarian subjek, observasi, dan pendekatan) dan

Maret- Mei 2015 (wawancara mendalam dan triangulasi).

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Definisi HIV/AIDS

HIV adalah virus yang dapat menyerang dan menurunkan sistem

kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan munculnya kumpulan

berbagai gejala penyakit yang disebut AIDS (CDC, 2013). Orang yang

terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun untuk menjadi

AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS, dan

status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negative (Shams, 2008).

Sementara itu, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu

penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan

imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma

sekunder dan manifestasi neurologis (Vinay, 2007).

HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab acquired Immune

Deficiency Syndrom (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis

tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia, 2006).

Definisi AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit, telah

berubah beberapa waktu sejak gejala pertama ditemukan pada tahun 1981.

Secara umum definisi ini menyusun suatu titik dalam kontinum penyimpangan

HIV dimana penjamu telah menunjukan secara klinis disfungsi imun. Jumlah

besar infeksi oportunistik dan neoplasma merupakan tanda supresi imun berat

sejak tahun 1993. Definisi AIDS telah meliputi jumlah CD4 kurang dari 200

11
sebagai criteria ambang batas. Sel CD4 adalah bagian dari limposit dan satu

target sel dari infeksi HIV (P2PL, 2012).

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome adalah suatu sindrom

(kumpulan gejala) yang menyebabkan turunnya/hilangnya sistem kekebalan

tubuh manusia. AIDS disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus),

yaitu virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah

tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika sistem kekebalan tubuh telah sangat

rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan sekalipun dan pada

akhirnya menyebabkan kematian. HIV dan AIDS secara klinis untuk pertama

kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1981, dimana fase penyebaran

HIV dan AIDS dimulai (KNPP RI, 2008).

2.1.2 Faktor Risiko HIV/ AIDS

Faktor risiko adalah ciri atau kondisi yang mempengaruhi seseorang atau

sekelompok orang, yang berhubungan dengan adanya peningkatan terhadap

kemungkinan/ risiko untuk mengalami atau berkembangnya keadaan yang tidak di

harapkan. Faktor risiko tersebut bisa berupa sebab atau tanda- tanda yang harus

diamati atau diidentifikasi sebelumnya. Pengertian lain tentang faktor risiko

adalah faktor- faktor yang berhubungan dengan kenaikan risiko yang terjadi pada

penyakit. Faktor risiko terjadinya penyakit perlu diketahui agar dapat berguna

dalam hal- hal berikut ini: (1) untuk meramalkan kejadian penyakit, (2)

identifikasi faktor penyabab suatu penyakit, (3) membantu proses diagnosis, (4)

untuk pencegahan penyakit (Bustan, 1997).

12
Faktor risiko HIV/ AIDS berkaitan erat dengan perilaku berisiko dari

seorang individu terhadap penularan infeksi HIV. faktor risiko tersebut antara

lain faktor risiko melalui transmisi seksual, faktor risiko melaui transmisi non

seksual, dan faktor risiko melalui transplasental.

2.1.2.1 Faktor Risiko Melalui Transmisi Seksual

Faktor risiko melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun

heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.

Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat

ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya.

Risiko infeksi HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah

pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual

dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi

terinfeksi virus HIV. Adapun jenis dari faktor risiko melalui transmisi seksual

antara lain homoseksual dan heteroseksual.

2.1.2.1.1 Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat homoseksual

yang menderita AIDS, berusia antara 20-40 tahun dari semua golongan usia.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan

resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif

menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini

13
sehubungandengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali

mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara anogenital.

2.1.2.1.2 Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan

heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok

usia seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak

pasangan dan berganti-ganti. Ini adalah faktor risiko yang paling umum

terjadi. Angka kejadian mencapai 80-90% dari total kejadian di dunia.

Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan

ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genetalis, sifilis, gonorea,

klamidia, kankaroid, dan trikomonalis. Risiko pada seks anal lebih besar

dibandingkan seks pervaginam (Notoatmodjo, 2005).

Beberapa hal yang berkaitan dengan infeksi melalui hubungan seksual

adalah resiko penularan melalui hubungan seksual dari laki-laki ke

perempuan lebih besar daripada dari perempuan ke laki-laki, hal ini

disebabkan perempuan adalah pasangan penerima (recipient partner) dalam

hubungan seksual. Seks anal (melalui dubur) beresiko lebih tinggi daripada

seks melalui vagina, karena seringkali terjadi perlukaan pada daerah anal

(dubur). Oleh karena itu pencegahan infeksi dicapai dengan menggunakan

kondom secara tepat dan konsisten pada mereka yang berperilaku beresiko

(KNPP RI, 2008).

14
2.1.2.2 Faktor Risiko Melalui Transmisi Non Seksual

2.1.2.2.1 Transmisi Parenteral

Transmisi parental yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk

lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang telah terkontaminasi HIV, misalnya

pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang

tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum

suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.

Pemakaian jarum yang tidak steril atau pemakaian bersama jarum

suntik pada pengguna narkona suntik berisiko mencapai 0,5-1% dan terdapat

5-10% dari total kejadian di dunia. Sedangkan penularan lewat kecelakaan,

seperti tertusuk jarum pada petugas kesehatan, risikonya kurang dari 0,5%

dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kejadian di dunia

(Notoatmodjo, 2005).

2.1.2.2.2 Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-

negarabarat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur

ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum

ditransfusikan. Transfusi darah/ produk darah yang tercemar HIV, risikonya

sangat tinggi hingga mencapai 90% dan ditemukan sekitar 3-5% dari total

kejadian di dunia.

15
2.1.2.2.3 Faktor Risiko Melalui Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai

resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan

sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan

dengan resiko rendah.Berikut adalah kelompok yang paling berisiko dalam

menularkan HIV pada bayi/ anak, munurut Kementrian Negara

Pemberdayan Perempuan RI (2008):

1. Perempuan Hamil

Penularan HIV dari ibu HIV positif ke bayi yang dikandungnya

merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari

seorang laki-laki HIV positif yang menularkan kepada pasangannya

(istrinya) melalui hubungan seksual tidak aman, dan selanjutnya

perempuan itu menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut secara potensial

memiliki resiko untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya jika ia

kembali hamil.

Pada saat kehamilan, risiko penularan HIV dari ibu ke bayinya lebih

rendah, yaitu sebesar 5%-10%. Dukungan yang kuat dari keluarga dan

masyarakat di mana mereka tinggal sangat dibutuhkan, di samping

konseling dari petugas kesehatan, tokoh agama, dan tokoh

masyarakat(Kemenkes RI, 2013).

16
2. Perempuan Bersalin

Banyak kalangan termasuk juga tenaga kesehatan, berasumsi bahwa

semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pastilah akan terinfeksi

HIV karena darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan.

Ternyata sirkulasi darah janin dan ibu dipisahkan di plasenta oleh

beberapa lapisan sel. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan

memang dapat menembus plasenta, tetapi HIV biasanya tidak dapat

menembusnya. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Namun

jika plasenta meradang, terinfeksi, ataupun rusak maka bisa jadi virus akan

lebih mudah menembus plasenta, sehingga terjadi risiko penularan HIV ke

bayi.

Penularan HIV umumnya terjadi pada saat persalinan ketika

kemungkinan terjadi percampuran darah ibu dan lendir ibu dengan bayi.

Tetapi sebagian besar bayi dari ibu HIV postif tidak tertular HIV. Maka

mutlak diperlukan pelayanan persalinan dan nifas yang sesuai dengan

Standard Pelayanan Minimal (SPM). Resiko terbesar penularan HIV dari

Ibu ke bayi terjadi saat persalinan, Risikonya sebesar 10-20%. (Kemenkes

RI, 2013). Oleh karena itu disarankan persalinan pada ibu dengan HIV

positif adalah dengan Bedah Cesar, sehingga resiko penularan HIV dapat

ditekan seminimal mungkin.

17
3. Perempuan Menyusui

Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama

masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV

melalui pemberian ASI. HIV terdapat dalam ASI, meskipun

konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah.

Antara 10-15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi

HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih)(Kemenkes RI,

2013).

2.1.3 Distribusi HIV/AIDS

Pengetahuan tentang distribusi penyakit diperlukan untuk

menjelaskan pola penyakit serta merumuskan hipotesis tentang

kemungkinan faktor penyebab suatu penyakit atau pencegahan yang

dibutuhkan oleh suatu penyakit. Ada tiga komponen penting dalam

epidemiologi, tiga komponen tersebut antara lain: frekuensi, distribusi, dan

determinan. Distribusi berkaitan dengan penyebaran penyakit atau masalah

kesehatan pada masyarakat. Epidemiologi menggambarkan kejadian

tersebut menurut karakter orang (person), tempat (place), dan waktu

(time) (Masriadi, 2012).

Karakter itu sendiri dapat dipahami sama dengan kepribadian dan

kepribadian dapat dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau

sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang

18
diterima dari lingkungan. Karakteristik mengacu kepada karakter dan gaya

hidup seseorang serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur sehingga

tingkah laku menjadi lebih konsisten dan mudah di perhatikan . Selain itu

karakteristik juga merupakan ciri yang secara alamiah melekat pada diri

seseorang yang meliputi umur, jenis kelamin, ras/suku, pengetahuan,

agama/ kepercayaan dan sebagainya (Nanda, 2012).

Hal ini berarti, epidemiologi menggambarkan penyebaran penyakit

pada suatu populasi menurut faktor sosio- ekonomi- demografi- geografi,

seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, ras,

keyakinan agama, pola makan, kebiaasaan, gaya hidup, tempat tinggal,

tempat bekerja, tempat sekolah, dan waktu terjadinya penyakit (Masriadi,

2012).

2.1.3.1 Menurut Orang

Dalam epidemiologi distribusi suatu penyakit juga dapat dilihat

dari konsep penyebab penyakit. Distribusi menurut orang dalam konsep

penyebab penyakit merupakan interaksi manusia sebagai Host / pejamu

dengan berbagai sifatnya. Host atau pejamu merupakan organisme

(manusia atau hewan) tempat berlabuhnya agen penyakit. Keberadaan

pejamu yang rentan terhadap penyakit menular di populasi sangat

tergantung pada mobilitas pejamu, kontak personal serta derajat dan lama

imunitas yang dimiliki oleh pejamu.

Faktor pejamu sendiri merupakan faktor intrinsik yang

mempengaruhi keterpaparan individu, kerentanan dan respon terhadap

19
agen penyebab. Faktor pejamu meliputi intrinsik dan ekstrinsik. Faktor

instrinsik terdiri dari usia, jenis kelamin, ras, genetik, fisiologi (termasuk

kebugaran dan riwayat penyakit) serta ketanggapan imunitas. Fase

ekstrinsik meliputi aktifitas seksual berisiko, cara hidup/ perilaku, nutrisi,

pekerjaan, rekreasi dan imunisasi. Faktor- faktor tersebut penting karena

memperngaruhi risiko untuk terpapar sumber infeksi, dan kerentanan serta

resistensi dari manusia terhadap suatu penyakit. (Nisa, 2007)

Pejamu adalah hal- hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit

pada manusia, manusia juga memiliki karakteristik yang sangat

berpengaruh terhadap timbulnya penyakit, seperti umur, jenis kelamin, ras,

kelompok etnis (suku), hubungan keluarga, bentuk anatomi tubuh, fungsi

fisiologi, status kesehatan (termasuk status gizi), kebiasaan hidup,

kehidupan sosial, dan pekerjaan (Masriadi, 2012).

Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan

masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum.

Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna

narkoba suntik (Injecting Drugs User), kelompok masyarakat yang

melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual)

misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat menular ke

pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut

dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang

berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL).

Narapidana dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima

20
donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok

yang rawan tertular HIV (P2PL, 2012).

Perempuan Secara biologis, perempuan lebih mudah tertular penyakit-

penyakit melalui hubungan seksual dibanding laki-laki. Perempuan

memiliki permukaan (mukosa) alat kelamin yang lebih luas sehingga

cairan sperma mudah terpapar ketika hubungan seksual. Selain itu, sperma

yang terinfeksi HIV mempunyai konsentrasi virus yang lebih tinggi

dibanding konsentrasi HIV pada cairan vagina. Hal lain yang berkaitan

dengan faktor biologis adalah kecenderungan perempuan untuk

tidakmengalami gejala pada waktu menderita sebuah penyakit

menularseksual. Penyakit menular seksual diketahui selain

menjadiindikatorperilaku berisiko, juga bisa menjadipintu bagi HIV,

terutama bagipenyakit yang menyebabkan luka atau ulcer (Dalimunthe,

2012).

Tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi

HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS

diasumsikan bersifat umum, sehingga setiap orang, mungkin untuk

terserang HIV/AIDS (Kandun Nyoman, 2012). Namun, terdapat beberapa

distribusi HIV/AIDS yang menjadi karakteristik menurut orang.

karakteristik tersebut di antaranya adalah tingkat pendidikan, status

pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada keluarga,

pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai mengalami

HIV/AIDS.

21
2.1.3.1.1 Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan proses pengubahan

sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan,

proses, cara, perbuatan mendidik (Notoatmodjo, 2010).

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke

generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.

Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga

memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki

efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat

dianggap pendidikan. Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh

beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 PBB 1966

Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya,

mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Menurut UU RI No. 20

Tahun 2010, tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga, formal, non

formal, dan in formal.

22
1. Formal

Pendidikan di Indonesia dilaksanakan dan dibagi dalam

beberapa jenjang. Jenjang pendidikan tersebut dibagi berdasarkan

tingkatan usia dan kemampuan peserta didik, masing-masing

jenjang pendidikan memiliki rentang usia dan lama pendidikan

yang berbeda-beda. Dengan pengaturan jenjang pendidikan seperti

ini memudahkan dalam pengelompokan peserta didik dan target

serta kebijakan dan hal-hal lain mengenai pendidikan .


Banyak diketahui bahwa sistem pendidikan di Indonesia

menerapkan wajib belajar 9 tahun pada penduduk, jenjang

pendidikan yang wajib ditempuh 9 tahun adalah jenjang pendidikan

dasar yang terdiri dari 6 tahun sekolah dasar atau sederajat dan 3

tahun sekolah menengah pertama atau sederajat. Mengacu pada

Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 8, menyatakan bahwa

jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan

dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Dalam Undang-

Undang tersebut disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal di

Indonesia terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi (Kemenkes RI, 2015).

23
a. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan

Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah

(MTs) atau bentuk lain yang sederajat.

b. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah

umum dan pendidikan menengah jurusan, seperti : SMA, MA,

SMK, atau bentuk lain yang sederajat.

c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,

sekolah tinggi, institut dan universitas

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi cara pandang seseorang tentang hidup, dalam hal

ini cara pandang seseorang tentang kesehatan. Orang yang

memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki

pengetahuan yang luas pula. Salah satu sumber informasi yang

berperan penting bagi pengetahuan adalah media masa. Banyak

tempat atau media yang bisa dijadikan sumber informasi untuk

menambah pengetahuan, salah satunya berasal dari guru yang

24
memberikan informasi kepada siswa-siswi melalui proses belajar

mengajar mereka dalam menempuh suatu pendidikan

(Notoatmodjo, 2007)

Menurut hasil penelitian “Fakor- faktor risiko yang

berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan

sekitarnya” dihasilkan bahwa secara epidemiologi tingkat

pendidikan rendah mempunyai risiko 3,742 kali lebih besar

terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009).

2. Jalur Non-formal

Pendidikan non-formal ialah pendidikan yang disusun dan

dilaksanakan di luar dari pada sistem pendidikan formal.

Pendidikan ini boleh diperoleh melalui program seperti latihan,

kursus dalam, seminar, bengkel, forum dan persidangan. Menurut

definisi yang diberikan oleh PBB (Pertubuhan Bangsa-Bangsa

Bersatu) mengenai UNESCO, (pendidikan, sains dan kebudayaan)

program pendidikan yang bercorak vokasional, teknikal dan

kecakapan dikategorikan sebagai pendidikan non-formal di mana

program tersebut menyediakan orang dewasa didalam sesuatu

bidang kerja yang baru (Nanda, 2013).

pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita – cita tertentu.

25
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam memotivasi

sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin

tinggi tingkat kesehatan, seseorang makin menerima informasi

sehingga makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki

(Notoatmodjo, 2005).

3. Jalur Informal

Pendidikan informal ialah proses pendidikan pembelajaran

sampingan yang berlangsung secara spontan dan tanpa struktur.

Seseorang itu akan memperoleh dan menambahkan pengetahuan,

kemahiran dan membentuk sikap serta pandangan berdasarkan

pengetahuannya tiap-tiap hari sama ada di tempat bekerja, di

sekolah atau di tempat rekreasi. Misalnya, jika seseorang mendapat

pengalaman dan merubah perlakuan melalui membaca dan

menonton televisi, maka ia boleh dikatakan mendapat pendidikan

informal dari pada media massa. Pendidikan informal banyak

disalurkan melalui media massa dan juga melalui interaksi dengan

masyarakat (Suparyanto, 2010).

26
2.1.3.1.2 Status pernikahan

Berdasarkan UU Pernikahan No.1 Tahun 1974 Pernikahan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam penelitian ini jumlah perkawinan sangat mempengaruhi

akseptor dalam pemakaian alat kontrasepsi. Misalnya lamanya

perkawinan yang dilakukan sekali seumur hidup, atau adanya kawin

cerai. Lazimnya awal perkawinan akseptor sering menggunakan Pil

KB untuk mengatur jarak kehamilannya, setelah itu baru dilanjutkan

dengan alat kontrasepsi lain. Perkawinan dapat diklasifikasikan dengan

satu kali perkawinan, atau lebih dari satu. Usia minimal untuk suatu

perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria

(Nasry, 2009).

Menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun,

sehingga usia ideal seseorang untuk menikah adalah 21 tahun untuk

perempuan dan 25 tahun untuk laki- laki.Sementarai itu menurut WHO

batasan usia remaja adalah 12- 24 tahun,sedangkan dari segi program

pelayanan, definisi yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah

mereka yang berusisa 10-19 tahun dan belum menikah. kelompok usia

remaja memiliki kemampuan kognitif untuk menentukan perilaku yang

sehat, pada praktiknya remaja sering terdorong oleh kekuatan lain yang

membuat mereka tidak berperilaku secara sehat. Ini termasuk perilaku

27
mencoba atau memulai hubungan seksual (Anggreani, 2005). Menurut

Dachlia (2000) dalam penelitian Yowel Kambu (2012), usia

pertamakali melakukan hubungan seks penting dalam epidemiologi

HIV karena berkorelasi dengan jumlah pasangan seks selama

hidupnya. Umumnya seseorang mulai aktif secara seksual sejak

remaja, kemudian berangsur- angsur aktivitas seksual meningkat

sampai usia 30 tahun, lalu menurun setelah usia 30 tahun (Kambu Y. ,

2012).

Hasil dari penelitian Dian Anggraeni Raidah (2015) menunjukan

bahwa, usia pernikahan pada pasangan memiliki hubungan yang

signifikan dengan penyesuaian pernikahan. Selain itu mayoritas

pasangan yang memiliki usia pernikahan lebih lama akan menerima

penyesuaian pernikahan yang semakin baik, seperti memiliki keeratan

yang lebih tinggi, saling memahami, dan saling menghindari konflik

rumah tangga (Raidah, 2015).

ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk bisa terus

hidup dan memiliki harapan bahwa kehidupan mereka akan lebih baik

daripada kehidupan sebelumnya. Membina hubungan dengan orang

yang tidak terinfeksi HIV adalah salah satu tindakan yang dilakukan

untuk memotivasi dirinya kembali menemukan kebahagiaan dan

penyesuaian diri pada lingkungan (Arriza, 2011). ODHA senantiasa

khawatir akan perlakuan yang akan didapatkan dari orang lain atas

28
dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak engan dekat dengan

para penderita HIV/AIDS karena takut pada virus yang bersifat

menular tersebut (Nursalam, 2007).

Bagi ODHA yang memiliki pasangan bukan penderita

HIV/AIDS, Pasangan tersebut lebih dikenal dengan istilah pasangan

ODHA serodiskordan, yaitu jalinan hubungan antara orang yang telah

terdiagnosis HIV positif dengan orang yang berstatus HIV negatif.

Namun pasangan ODHA serodiskordan ini sebenarnya memiliki

banyak risiko di dalam pernikahannya. Salah satunya adalah

penularan HIV terhadap pasangan yang negatif. Sehingga pasangan

tersebut harus selalu menggunakan kondom setiap kali melakukan

hubungan suami istri, agar suami dari ODHA terhindar dari penularan

HIV/AIDS (Raidah, 2015).

Penyakit HIV/AIDS secara luas juga akan berdampak pada

semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Tidak hanya akan

menimbulkan perubahan fisik saja, tapi juga menimbulkan perubahan-

perubahan dari segi psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual

(Nursalam, 2007).

2.1.3.1.3 Sosial Ekonomi.

Kondisi sosial ekonomi adalah suatu kedudukkan yang diatur

secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam

masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak

29
dan kewajiban yang harus dimainkan oleh orang yang membawa status

tersebut. Sosial ekonomi juga menunjukkan kemampuan finansial dan

perlengkapan material yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005) .

Sosial ekonomi identik dengan kemandirian dalam segi

pekerjaan dan pendapatan yang didapatkan juga dalam hubungan

sosial dengan lingkungan sekitar. Menurut hasil penelitian mengenai

“Tingkat pengetahuan pelajar SMA Harapan1 Medan tentang seks

bebas dengan risiko HIV/AIDS” diketahui bahwa perempuan secara

sosial maupun ekonomi tidakmandiri. Sehingga perempuan akan sulit

melindungi dirinya dari infeksi HIV karenapasangan seksualnya.

Perempuan sangat tergantung secara ekonomi kepada pasangan. Dan

hal ini menimbulkan kondisi timpang yang membuka kemungkinan

terjadinya kekerasan dari pihak yang lebih tinggi daya tawarnya atau

menganggap diri dapat menguasai yang lain (Dalimunthe, 2012).

Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk

mendapatkan suatu pendapatan. Manusia perlu bekerja untuk

mempertahankan hidupnya. Dengan bekerja seseorang akan

mendapatkan uang. Uang yang diperoleh dari hasil bekerja tersebut

digunakanuntuk memenuhi kebutuhan hidup (Suparyanto, 2010).

Status pendapatan merupakan suatu posisi dalam hal mendapatkan

penghasilan, pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh pembawa status.Salah satu faktor

30
yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pola hidup adalah stres

psikososial, yaitu kemelaratan. Selain itu, status ekonomi yang tinggi

pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mempunyai pola

hidup dan cara hidup yang lebih baik. Hal tersebut mempengaruhi pola

pikir dari seseorang sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap

pemilihan alat kontrasepsi dengan kaca mata ekonomi atau pendapatan

mereka masing-masing (Nanda, 2012). Infeksi HIV tidak boleh

dijadikan alasan sebagai pemutusan hubungan kerja, seperti layaknya

kondisi penyakit lain, infeksi HIV tidak harus membuat seseorang

kehilangan hak bekerja, sepanjang orang tersebut masih layak bekerja

dan dapat dibenarkan secara medis (ILO, 2001).

Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterampilan

khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya risiko menurut sifat

pekerjaan yang juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat

sosial ekonomi karyawan terhadap pekerjaan tertentu (Masriadi,

2012). Sementara pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil

dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga.

Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan

yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan

produksi. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari usaha

itu sendiri, bekerja pada orang lain, dan hasil dari kepemilikkan

(Notoatmodjo, 2007).

31
2.1.3.1.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga

Hubungan terkecil dari suatu masyarakat yang memiliki

keterkaitan satu sama lain, bisa disebut dengan keluarga. Keluarga

terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan hubungan yang terjalin erat dan

terangkum bersama melalui ikatan perkawinan. Pengertian dari keluarg

sendiri merupakan kesatuan dari orang- orang yang berinteraksi dan

berkomunikasi yang menciptakan peranan- peranan sosial (Moleong,

2010). Menurut hasil penelitian “Fakor- faktor risiko yang

berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan

sekitarnya” dihasilkan bahwa secara epidemiologi responden dengan

Riwayat penyakit keluarga yang HIV/AIDS mempunyai risiko 2,597

kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009).

Posisi anak dalam keluarga juga dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini dapat dilihat pada anak

pertama atau tunggal kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat

berkembang di bandingkan anak kedua karena pada anak pertama

orang tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam segala hal, baik

pendidikan, gizi, atau yang lain (Hidayat, 2005). Menurut

Soetjiningsih, jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan

ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan

kasih sayang orang tua yang di terima anaknya, terutama kalau jarak

anak yang terlalu dekat (Soetjiningsih, 1998 ).

32
2.1.3.1.5 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui telinga.Pengetahuan

merupakan bagian penting dalam pembentukan perilaku. Perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo., 2007).

Hasil penelitian dari Oktarina bahwa hasil penelitian

menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat

pengetahuan mengenai HIV/AIDS, sehingga ini menggambarkan

bahwa para wanita kurang mendapatkan informasi HIV/AIDS

dibanding laki- laki. Hal ini disebabkan karena laki- laki lebih banyak

berada diluar rumah sehingga mudah mendapatkan segala sumber

informasi kesehatan khususnya HIV/AIDS dari manapun.

(Oktarina.dkk, 2009).

Kurangnya pengetahuan dan kesadaran perempuantentang

HIV/AIDS. Penyebaran virus HIV/AIDS tidak hanya mengancam

kelompok dengan perilaku seks yang tidak aman, tetapi juga telah

mengancam kalangan ibu rumahtangga yang suaminya telah terinfeksi

virus mematikan itu. Perempuan yang tidakberpendidikan dan tidak

memiliki pengetahuan yang cukupmengenai kesehatan reproduksi,

33
termasuk persoalan seputar HIV/AIDSdan pelayanan kesehatan yang

menjadi hak mereka akan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV

dari pasangan seksualnya (Dalimunthe, 2012).

Menurut hasil penelitian “Fakor- faktor risiko yang

berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan

sekitarnya” dihasilkan bahwa secara epidemiologi tingkat pengetahuan

kurang mempunyai risiko 2,442 kali lebih besar terhadap kejadian HIV

dan AIDS (Susilowati, 2009). Biasanya ODHA akan mengalami

ketakutan dan keputusasaan ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV

(Arriza, 2011). Cara untuk mengetahui keberadaan HIV dalam tubuh

salah satunya dengan VCT, dalam pelayanan VCT harus memenuhi

persyaratan dasar yang meliputi konseling pre test, konseling post test,

informconsent, dan kerahasiaan. Pada proses pre test setiap pasien

harus mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS, penularan, serta

perilaku berisiko (P2PL, 2008).Lingkungan juga memiliki peran

penting dalam mempengaruhi jumlah informasi yang didapatkan, hal

ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik yang akan direspon

sebagai pengetahuan oleh individu (Umam, 2015)

2.1.3.1.6 Agama

Ajaran agama merupakan nilai atau norma agama yang

diyakini seseorang dan menjadi pertimbangan dalam melakukan suatu

tindakan. Seseorang yang patuh terhadap agama cenderung tidak

34
melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Kepatuhan menjalankan agama merupakan suatu bentuk ibadah yang

dilaksanakan secara kontinyu oleh seseorang terhadap agama yang

dianutnya dan merupakan suatu hal yang rutin dan wajib dijalankan

oleh manusia (Shams, 2008).

Fungsi agama dalam kehidupan individu adalah sebagai suatu

sistem nilai yang membuat norma- norma tertentu. Norma- norma

tersebut yang menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah

laku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. sebagai sebuah

motivasi agama memiliki unsur ketaatan dan kesucian sehingga

memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perlindungan, dan rasa

puas. Sedangkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat meliputi

fungsi edukatif, penyelamat, sebagai pendamai, dan kontrol sosial.

Melalui agama dapat menjamin ketertiban dalam kehidupan moral dan

ketertiban bersama (Jalaluddin, 2008).

Menurut hasil penelitian “Analisis perilaku sex remaja SMAN

14 Bandarlampung” dihasilkan bahwa remaja yang pelaksanaan

ketaatan beribadahnya buruk (tidak melaksanakan sesuai ajarannya)

beresiko 4,84 kali untuk berperilaku sex yang beresiko dibandingkan

dengan remaja yang melaksanakan agamanya dengan baik/ tekun

(Samino, 2011).

35
2.1.3.1.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS

Tes HIV melalui VCT sebagai salah satu pintu masuk untuk

akses layanan pencegahan, pengobatan, perawatan, dukungan

(Kemenkes RI, 2013). Pemberian profilaksis ARV dan kortimoksazol

pada anak, dan pemeriksaan diagnostik pada anak (Kemenkes RI,

2013).

2.1.3.2 Berdasarkan Tempat

Konsep penyebab penyakit dalam epidemiologi yang dapat melihat

faktor risiko berdasarkan tempat adalah environtment atau lingkungan.

Kejadian penyakit dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya

yang disebabkan oleh perbedaan geografi, topografi, dan lingkungan. Unsur

lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan

terjadinya sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan ikut memegang

peranan dalam proses kejadian penyakit (Katiandagho, 2015).

Lingkungan terbagi menjadi tiga macam, yaitu lingkungan biologis

(meliputi beberapa organisme patogen dan tidak patogen, vektor, binatang,

dan tumbuhan), lingkungan fisik (merupakan keadaan sekitar manusia yang

berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung), serta lingkungan

sosial. Unsur dari lingkungan sosial meliputi sistem hukum, administrasi,

lingkungan, sosial politik, sistem ekonomi yang berlaku, bentuk organisasi

36
masyarakat setempat yang berlaku, sistem pelayanan kesehatan, kebiasaan

hidup masyarakat, dan kepadatan penduduk (Masriadi, 2012).

Sementara itu, menurut Budiman Chandra, dalam bukunya

“Penyakit Menular Pada Manusia”, Riwayat dari penyakit HIV yang paling

mempengaruhi dan memegang peran penting dalam penularan virus HIV

adalah faktor lingkungan yang lebih di khususkan pada lingkungan sosial,

seperti gaya hidup, tempat hiburan malam, dan wisata (Chandra, 2011).

Sehingga, terdapat beberapa faktor risiko HIV/AIDS yang menjadi

karakteristik berdasarkan tempat. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah

keberadaan dan kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat dari

tempat tinggal dan alasan lebih memilih untuk melakukan pengobatan

bukan di layanan kesehatan terdekat.

2.1.3.2.1 Keberadaan dan Kebermanfaatan Pusat Layanan


Kesehatan Terdekat dari Tempat Tinggal
Informasi yang diperoleh serta pendidikan kesehatan yang

didapatkan berkaitan dengan keadaan dan kebermanfaatan pusat

layanan kesehatan terdekat yang berada di wilayah tempat tinggal

seseorang Informasi dan pendidikan perempuan jauh lebihrendah

sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukupmengenai

kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDSdan

pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka. Tak bisa dilupakan,hal

ini juga terjadi karena perempuan disosialisasikan sedemikian

rupauntuk menomorduakan kebutuhan kesehatannya sesudah

anggotakeluarganya. Bahkan ada anggapan bahwa penyakit-penyakit

37
yangberkaitan dengan reproduksi dianggap suatu hal yang memalukan

dankotor jika terjadi pada perempuan(Shams, 2008).Faktor jarak daerah

tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan juga mempengaruhinya,

semakin dekat jaraknya, semakin memudahkan seseorang dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan (Katiandagho, 2015).

2.1.3.3 Berdasarkan Waktu

Pada penyakit yang menular langsung dari orang ke orang maka jarak

antara kasus yang satu ke kasus berikutnya ditentukan dengan waktu

generasi (generation time), yakni masa antara masuknya penyakit pada

pejamu tertentu sampai ke masa kemampuan maksimal pejamu tersebut

untuk dapat menularkan penyakit (Nasry, 2009).

Dari tahun ke tahun, angka kejadian HIV/AIDS di kalangan

perempuan semakin mengkhawatirkan, Hal ini menempatkan anak pada

posisi rentan dengan HIV/ AIDS dari orang tuanya dalam proses persalinan,

menyusui, dan melalui media lain seperti transfusi darah. Berdasarkan jenis

kelamin kasus baru HIV/AIDS tahun 2008, persentase laki-laki sebesar

74,9% menurun menjadi 73% di tahun 2010, sedangkan persentase

perempuan cenderung meningkat yaitu 24,6% tahun 2008 naik menjadi

26,6% tahun 2010 (Departemen Kesehatan RI, 2010). Sementara dari tahun

2012 ke tahun 2013, presentase kasus baru HIV/AIDS pada laki- laki

cenderung stabil yakni sebesar 55,3% di tahun 2012 dan 55,1% di tahun

2013. Sedangkan kasus baru HIV/AIDS pada perempuan mengalami

38
peningkatan, yaitu 28,7% kasus baru di tahun 2012 dan 29,7% kasus baru di

tahun 2013 (P2PL, 2014).

2.1.4 Faktor yang mempercepat Distribusi

Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya distribusi atau penyebaran

HIV pada perempuan dapat ditelusuri melalui dua jenjang penyebab pada setiap

tahap kehidupan yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Kedua jenjang

penyebab ini melibatkan unit sosial yang berbeda yaitu, individu, keluarga, dan

masyarakat:

1. Pada Tingkat Individu

Penyebab langsung dari penyebaran adalah terjadinya penularan

infeksi virus HIV, kerentanan pada IMS dan tidak adanya ketahanan

psikososial, karena hak-hak dan keamanan sosial tidak terjamin (KNPP RI,

2008).

2. Pada Tingkat Keluarga

Penyebab tidak langsung meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan

kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak,

sehingga muncul permasalahan gender. Kondisi ekonomi, pembatasan

wewenang dalam mengambil keputusan di tingkat keluarga, tidak

memadainya tingkat kesehatan perempuan dan kurangnya akses terhadap

kebutuhan hidup dasar (KNPP RI, 2008).

Ketimpangan gender berdampak pada ketidakmampuan perempuan

mengontrol perilaku seksual suami, seperti membeli jasa WPS dan memakai

39
narkoba suntik. IRT seringkali tidak berdaya ketika meminta suaminya

memakai kondom saat berhubungan seks, sehingga lebih rentan tertular HIV

(Anggreani, 2005).

3. Pada Tingkat Masyarakat

Penyebab tidak langsung meliputi faktor-faktor kemiskinan,

pendidikan yang rendah, rendahnya dukungan kebijakan dan politik,

kurangnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, rendahnya

keterlibatan masyarakat dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap

upaya penyembuhan (KNPP RI, 2008).

Mengingat pola penularan HIV seperti disebutkan di atas, maka ada orang-

orang yang berpeluang atau berisiko lebih besar untuk tertular HIV, yaitu:

Individu yang sering berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan

seksual, Penjaja seks dan pelanggannya, Pengguna jarum suntik secara bersama

(bergantian), Bayi yang dikandung ibu yang terinfeksi HIV, serta orang yang

memerlukan transfusi darah secara teratur seperti: penderita thalasemia,

haemofilia(bila darah donor tidak dilakukan skrining)(KNPP RI, 2008).

Sedangkan menurut James Chin (2000) yang disampaikan oleh I Nyoman

Kandun (2012), Penyakit HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui

kontak seksual, penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi

darah atau komponen-komponennya yang terinfeksi, transplantasi dari organ dan

jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-kadang ditemukan di air

40
liur, air mata, urin dan sekret bronkial, penularan sesudah kontak dengan sekret

ini belum pernah dilaporan.

Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah

dibandingkan dengan penyakit menular seksual lainnya, namun adanya penyakit

yang ditularkan melalui hubungan seksual terutama penyakit seksual dengan luka

seperti chancroid, besar kemungkinan dapat menjadi pencetus penularan HIV.

Determinan utama dari penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan

prevalensi dari orang orang dengan “Sexual Risk Behavior” seperti melakukan

hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks. Tidak ada

bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan bahwa gigitan serangga

bisa menularkan infeksi HIV, risiko penularan melalui seks oral tidak mudah

diteliti, tapi diasumsikan sangat rendah (Kandun Nyoman, 2012).

2.1.5 Etiologi HIV/AIDS

AIDS di sebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh

Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur , Paris 1983) yang

mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga

pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Robert

Gallo (National Institute Of Health, USA 1984) menemukan virus THLV-III

(Human T Lymphotropic Virus) yang jugaadalah penyebab AIDS. Pada penelitian

lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil

pertemuan International Committee On Taxonomy Of Viruses (1986) WHO

memberikan nama resmi HIV (Nisa, 2007).

41
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae, penyebab

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA famili

Retrovirus,subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV

yaitu HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) dan HIV-2 yang

dikenal sebagai LymphadenopathyAssociated Virus type-2 (LAV-2). Secara

morfologik HIV-1 berbentuk bulat danterdiri dari inti (core) dan

selubung(envelope). Inti tersusun dari protein genom RNA dan enzim reverse

transcriptaseyang membuatnya mampumemperbanyak diri secara

khusus,sedangkan selubung terdiri dari suatu glikoprotein (Brooks, 2001).

Retrovirus berdiameter 70-130 nm (Longo, 2005). Masa inkubasi virus ini

selama sekitar 10 tahun (Kayser et al, 2005). Virion HIV matang memiliki bentuk

hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda

yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua

glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17

yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti

dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat

dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase

dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang

mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran

(Lan, 2005).

42
2.1.6 Patogenesis HIV/AIDS

Masa klinis bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini, terjadi

banyak replikasi virus. Waktu virus dalam plasma sekitar 6 jam, dan siklus hidup

virus (dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang menginfeksi sel

berikutnya) rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4+, target utama yang bertanggung

jawab pada produksi virus tampaknya mempunyai angka pembalikan yang sama

tinggi. Akhirnya, pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit

klinis yang nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma (Brooks G. F.,

2005).

Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel

pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seusia hidup akan tetap terinfeksi.

Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu

setelah infeksi. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA

mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan,

demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi

jamur, herpes dan lain-lain (Nursalam, 2007).

2.1.7 Cara Penularan HIV/AIDS

HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular,

walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV

hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau

darah. Dosis virus memegang peranan penting. Semakin besar jumlah virus yang

43
terdapat dalam tubuh maka semakin besar kemungkinan terinfeksi. Jumlah virus

terbanyak terdapat dalam darah, sperma, cairan vagina dan serviks serta cairan

dalam otak. Sedangkan di dalam saliva, air mata, urine, keringat dan air susu

hanya ditemukan sedikit sekali (Notoatmodjo, 2005).

Adapun cara penularan dari HIV/ AIDS dilakukan dengan beberapa cara,

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Hubungan Seksual

Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan

seorang pengidap. Ini adalah faktor risiko yang paling umum terjadi,

meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Penularan mudah terjadi apabila

terdapat lesi penyalit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti

herpes genetalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis.

Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vagina, dan risiko lebih

besar pada reseptif daripada insertif (Notoatmodjo S. , 2007).

b. Kontak Langsung dengan Darah, Produk Darah, atau Jarum Suntik

Transfusi darah atau produk darah yang tercemar mempunyai risiko

sampai >90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia. Pemakaian jarum suntik

tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan spuitnya pada pecandu

narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% total kasus sedunia. Penularan

melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan mempunyai

risiko 0,5%, dan mencakup <0,1% total kasus sedunia (Katiandagho, 2015).

44
c. Melalui Kehamilan, Persalinan, dan Air Susu Ibu (ASI)

Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif,

dan melahirkan lewat vagina, kemudian menyusui bayinya dengan ASI.

Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (mother-to-child transmission)

berkisar antara 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan ibu HIV positif

kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif (KPAN, 2010 )

2.1.8 Fase–Fase Perkembangan Infeksi HIV

Fase–fase perkembangan infeksi HIV pada diri seseorang bisa di

klasifikasikan sebagai berikut (Shams, 2008) :

1. Stadium Infeksi Primer

Pada stadium infeksi HIV primer biasanya belum ditemukan gejala

apapun, tetapi pada 30-60% setelah 6 minggu terinfeksi, penderita

dapat mengalami gejala- gejala ringan, seperti influenza, demam, lelah,

sakit pad otot dan persendian, sakit pada saat menelan, dan

pembengkakkan kelenjar getah bening. Ada juga yang menunjukkan

gejala radang selaput otak , sakit kepala, hingga terjadi kejang dan

kelumpuhan sarah otak (Shams, 2008).

Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya

perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah

dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam

tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut

45
window period. Lama window period antara satu sampai tiga bulan,

bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan. Gejala ini biasanya

sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus (Nursalam, 2007).

2. Stadium Tanpa Gejala

Stadium ini merupakan lanjutan dari infeksi primer yang di mulai

sejak terinfeksi atau setelah sembuh dari gejala infeksi primer sampai

beberapa bulan/ tahun setelah infeksi. Selama bertahun- tahun juga

tidak terlihat gejala apapun, bahkan yang bersangkutan tidak

mengetahui dan tidak merasa dirinya tertular HIV karena tetap merasa

sehat seperti biasanya, pada stadium ini hanya tes darah yang dapat

memastikan bahwa yang bersangkutan telah tertular HIV. Ini yang di

sebut sebagai silence periode (Shams, 2008).

Tanpa gejala berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV

tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat

berlangsung selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang

tampak sehat sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain

(Nursalam, 2007).

3. Stadium Dengan Gejala (Ringan/ Berat)

Setelah melewati masa beberapa tahun tanpa gejala, akan mulai

timbul gejala ringan pada kulit, kuku, dan mulut. Beberapa infeksi

jamur, sariawan berulang- ulang, dan peradangan sudut mulut atau

bercak – bercak kemerahan akan muncul di kulit. Gejala pada mulut

berakibat pada penurunan nafsu mkan dan diare ringan. Berat badan

46
pasien juga akan menurun, tetapi tidak mencolok (sekitar 10% dari

berat badan sebelumnya) (Shams, 2008). Sering juga ada infeksi

saluran nafas bagian atas yang berulang, tapi penderita masih bisa

beraktivitas, seperti biasanya (Yuly, 2011).

Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, gejala seperti itu

akan semakin berat. Beberapa gejala tersebut bisa timbul secara

bersamaan sekaligus. Sering terjadi infeksi paru (pneumonia) bacterial,

atau berup TBC (tuberculosis) yang berat. Aktivitas sudah menurun

dankarena sakit, pada bulan terakhir, penderita bisa berada di tempat

tidur hampir dua belas jam setiap hari. Juga terjadi pembesaran

kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized

lymphadenophaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan

berlangsung lebih dari satu bulan (Nursalam, 2007).

4. Stadium AIDS

Pada tahap ini, berat badan menurun lebih dari 10% dari berat

bedan sebelumnya, ada pneumonia yang berat, taksoplasmosis otak,

demam terus-menerus atau berulang lebih dari satu bulan, diare juga

terjadi karena berbagai sebab misalnya, jamur kriptosporodiosis, virus

sitomegalo (CMV), infeksi virus herpes, jamur kandida pada

kerongkongan, jamur saluran napas, atau infeksi jamur lainnya.

Disamping itu dapat juga di temukan kanker kelenjar getah bening.

Aktivitas sangat berkurang dan dalam bulan terakhir penderita sudah

berada di tempat tidur lebih dari dua belas jam sehari, lebih lama dari

47
pada stadium sebelumnya. Stadium ini juga disebut dengan istilah

masa baring (Shams, 2008).

2.1.9 Gejala Klinis HIV/ AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus

yangmenyerang manusia dan menyebabkan terjadinya gangguan system

kekebalan tubuh sehingga penderita mudah sekali terkena

penyakitinfeksi,kanker dan lainnya.Kumpulan gejala - gejala penyakitnya

dikenal sebagai Acquired ImunoDeficiency Syndromes (AIDS), antara lain

seperti berat badan terusmenurun,sering demam,gejala penyakit yang

terkait seperti penyakitinfeksi dan kanker, dan pada akhirnya dapat

menimbulkankematian (Chandra, 2011).

Seorang dewasa dianggap menderita HIV jika menunjukkan HIV

positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya

didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejal minor. Gejala tersebut bukan

disesbkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi

HIV atau ditemukan sarcoma kaposi atau pneumonia yang mengancam

jiwa berulang (Notoatmodjo., 2007).

Gejala mayor dari infeksi HIV, yaitu:

a. Berat badan menurun >1% dalam 1 bulan

b. Diare kronik yang berlangsung >1 bulan

c. Penurunan kesadaran atau gangguan neurologi

48
d. Dimensia/ enselopati HIV

Sedangkan gejala minor dari infeksi HIV, yaitu:

a. Batuk menetap >1 bulan

b. Dermatitis generalis yang gatal

c. Herpes zoster berulang

d. Candidosis orofaring

e. Herpes simplek kronis progresif

f. Limpadenopati generalis

g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

Reproduksi virus terjadi secara cepatdalam 2-6 minggu sesudah

pajanan,menimbulkan gejala klinis menyerupai penyakit mononukleosis

akut (acutemononucleosis like illness) sepertidemam, nyeri kepala, lesu,

ruam kulit,dan limfadenopati. Masa inkubasiberkisar 17-35 hari dan gejala

klinis berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala klinis

infeksiprimer tidak terlihat pada bayimungkin karena transmisi

prenatal,perbedaan beban transmisi virus ataufenotip atau karena

imaturitas responimun. Selain itu bayi yang lahir dari ibupengidap HIV

telah mempunyai antibodi spesifik HIV yang dapat mengurangi gejala

klinis. Fase laten asimptomatik pada dewasa dapat bertahun-tahun setelah

infeksiprimer. Pada sebagian anak umumnya fase laten lebih singkat atau

49
tanpa fase laten sama sekali dengan kerusakan progresif sel T-CD4 dan

jaringan sel FDC kelenjar limfoid (Yuly, 2011).

2.2 HIV dalam Pandangan Islam

HIV/AIDS adalah problem lain yang semakin mengkhawatirkan

terhadap kesehatan manusia. Dalam banyak pandangan kaum muslimin,

persoalan HIV/ AIDS seringkali dinyatakan sebagai hukuman atau kutukan

Allah atas para pendurhaka kepada-Nya, karena tidak mengikuti petunjuk-

petunjuk Allah. HIV/AIDS seringkali hanya dilihat sebagai akibat dari

hubungan seksual yang haram, baik karena tidak melalui perkawinan yang

sah maupun karena hubungan homoseksual. Namun faktanya, tidak sedikit

pula mereka yang terinfeksi virus HIV ini merupakan orang baik-baik.

Bahkan terkadang, beberapa perempuan yang terinfeksi virus ini adalah

perempuan baik-baik, ibu-ibu rumah tangga, dan bahkan anak-anak yang

tidak berdosa.

Dengan kata lain, penularan HIV/AIDS bisa juga terjadi melalui

hubungan seks yang halal, yang ditularkan melalui virus yang dibawa oleh

pasangannya. Masalah HIV/AIDS lebih tepat disebut sebagai cobaan, ujian

yang buruk, atau peringatan Allah kepada manusia. Cobaan buruk ini, Allah

peringatkan agar semua orang waspada dan berhati-hati, serta menghindari

perbuatan yang dilarang Allah.

50
Dalam Alquran dinyatakan:

“Berhati-hati lah dan jaga lah diri kalian dari sebuah “fitnah” (cobaan

buruk) yang tidak hanya menimpa mereka yang melakukan kezaliman”. (QS.

al-Anfal: 25).

Ayat ini merupakan perintah Allah agar menghindari semua perbuatan

dan lingkungan sosial yang buruk. Dengan begitu, penyakit HIV/AIDS ini,

selain berhubungan dengan masalah medis dan kesehatan fisik, juga

merupakan masalah sosial. Manusia selain sebagai mahluk sosial juga

merupakan mahluk individu yang secara alamiah mempunyai naluri untuk

hidup berpasang- pasangan. Seperti dalam QS. An- Nisa : 1.

”Wahai manusia! Bertakwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu

dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa)

dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki

dan perempuan yang banyak ………” (QS. An- Nisa: 1)

Dalam prakteknya, naluri untuk hidup berpasang-pasangan tidak

selamanya sesuai dengan tuntunan Allah SWT, oleh karena itu Islam

mengaturnya, maka Allah menurunkan hukum perkawinan secara berangsur-

angsur tapi pasti untuk membangun rumah tangga yang teratur, mewujudkan

kesejahteraan dan kesehatan baik individu maupun masyarakat, serta

memelihara moralitas. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk

melanjutkan keturunan. Dalam memperoleh keturunan Allah telah

mensyariatkan bahwa hal tersebut harus dalam ikatan suami-istri, sehingga

51
Allah mengharamkan zina. Allah mengharamkan hambaNya untuk zina

sebagaimana yang terdapat dalam firmanNya :

“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu pebuatan

keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al- Isra: 32)

Ayat diatas menerangkan bahwa zina merupakan perbuatan keji dan

termasuk jalan yang buruk, karena perzinahan akan menimbulkan dampak-

dampak negatif, seperti timbulnya penyakit- penyakit menular, khususnya

HIV/AIDS.

Berdasarkan data P2PL tahun 2014, angka kejadian HIV/AIDS pada

perempuan cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya. Penyebab meningkatnya jumlah perempuan terinfeksi

HIV/AIDS sudah diakui UNAIDS, yaitu karena terjadinya ketidaksetaraan

dan ketidakadilan gender yang menyebabkan perempuan tidak bisa memilih

dengan siapa dia akan menikah, kapan, dengan siapa, dan bagaiman dia

melakukan hubungan seksual. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender

menyebabkan adanya hubungan yang tidak seimbang antara suami dan istri,

sehingga perempuan tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya

menggunakan kondom ketika memaksakan hubungan seksual yang tidak

aman. Perempuan juga tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun dia

mengetahui suaminya memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain

di luar perkawinannya. Padahal di dalam Al-Qur’an, antara laki-laki dan

52
peremuan memiliki kedudukkan yang sama dalam segi kewajiban beribadah,

agama, dan sosial.

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan

mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki

dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki

dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,

laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan

memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut (nama)

Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang

besar.” (QS. Al- Ahzab: 35)

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka

menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang

makruf, dan mencegah yang munkar, melaksanakan sholat, menunaikan

zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat

oleh Allah. Sungguh, Allah maha perkasa, maha bijaksana. Allah

menjanjikan kepada orang- orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan

mendapat) surga yang mengair dibawahnya sungai- sungai, mereka kekal

didalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di syurga „And. Dan

keridhaaan Allah lebih besar. ilah kemenangan yang agung.” (QS. At-

Taubah: 71-72).

Sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi perlakuan yang tidak setara

maupun tidak adil pada perempuan. Sebab, dalam Al- Qur’an pun

53
menyebutkan kata laki- lak dan perempuan secara sejajar. Hal ini

menggambarkan bahwa dalam seg beribadah kedudukan antara laki- laki dan

perempuan adalah sejajar.

2.3 Pengobatan HIV/AIDS

Pengobatan akan lebih maksimal bila informasi dan rawatan HIV

dimulai lebih awal sebelum melakukan terapi ARV, sebab pasien akan

mempunyai kesempatan lebih panjang untuk mempersiapkan diri demi

keberhasilan terapi ARV jangka panjang, malalui konseling pra terap ARV

yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin

terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis, dan

pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan

jumlah CD4 (P2PL, 2011).

Memulai terapi ARV, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila

tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV nya. Hal tersebut untuk

menentukan penderita sudah memenuhi syarat untuk terapi ARV atau belum

memenuhi syarat. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 maka penentuan

mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. Namun jika tersedia

pemeriksaan CD4 maka terpai ARV dimulai pada semua pasien dengan

jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi

ARV juga dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (P2PL, 2011).

54
Terapi ARV adalah terapi yang memerlukan kepatuhan yang

sangat tinggi karena jika terapi yang dijalankan tidak serius maka virus

akan menjadi resistensi. Istilah kepatuhan yang digunakan didunia medis

adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien

dalam meminum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya

(Nursalam, 2007). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu

keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar

kesadaransendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter (P2PL,

2011).

Menurut Dedy Syahputra (2009), Terdapat 3 golongan obat ARV,

dari 3 golongan obat ARV yang telah lama digunakan, ketiganya memiliki

respon dan efek samping yang berbeda, adapun respon dan efek

sampingnya antara lain:

1. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Obat- obatan yang termasuk kedalam golongan ini dihubungkan

dengan skin rash yang mungkin ringan atau meningkat menjadi suatu

sindrom kulit yang akut dan menyebabkan terjadinya erosi pada

membrane mukosa. Golongan ini juga dapat menibulkan peningkatan

alaninelasparte aminotrasferase dan kasus hepar parah. Golongan ini

paling banyak menyebabkan hepatitis klinis yang akan meningkat dengan

cepat menjadi kegagalan hepar yang sangat mengkhawatirkan

(Sigalingging, 2009).

55
2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)

Obat yang termasuk kedalam golongan ini dihubungkan dengan

degenerasi lemak hepar dan asidosis laktat sehubungan dengan

keracunan mitokondrial seluler. Pada awalnya asidosis laktat

kemungkinan muncul dengan gejala gastrointestinal yang tidak spesifik,

seperti mual, muntah, rasa sakit, dan peregangan abdomen yang disertai

dengan kelemahan secara menyeluruh.hal ini memungkinkan akan

meningkatkan terjadinya kegagalan respirasi. Gejalanya termasuk

demam, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare atau rasa sakit

perut), keletihan atau gejala respirasi (faringitis, batuk, atau dyspnoe)

(Sigalingging, 2009).

3. Protase Inhibitor (PI)

Pada golongan ini, efek samping spesifik dari kelas protease

inhibitor, yang dalam hal ini termasuk tahanan insulin, diabetes melitus,

hyperlipidemia, lipodistrophy, hepatitis, kerusakan tulang dan

peningkatan perdaparahan pada hemophilia (Sigalingging, 2009).

Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis)

dapat dicegah dengan pemberian kortimoksasol. Berbagai penelitian telah

membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kortimoksasol dalam

menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi

HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial,

parasit (toxoplasma), dan pneumocytis carinii pneumonia (sekarang

56
disebut P.jiroveci, yang disingkat sebagai PCP). Pemberian kortimoksasol

untuk mencegah (secara primer maupu sekunder) terjadinya PCP dan

toxoplasmosis disebut sebagai pengobatan pencegahan kortimoksasol

(PPK). Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis

primer dan profilaksis sekunder. Primer untuk mencegah suatu infeksi

yang belum pernah diderita, sementara sekunder untuk mencegah

berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya (P2PL, 2011).

Hingga sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan

HIV/AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus didalam

tubuh dapat ditekan dengan baik, sehingga ODHA dapat tetap hidup

layaknya orang sehat (Siegfried, 2011).

2.4 Dampak Sosial yang di Alami Perempuan dengan HIV Positif

Di Indonesia, permasalahan gender pada perempuan dengan HIV

Positif masih menjadi persoalan, diperkirakan jumlah perempuan yang

terinfeksi HIV akan terus meningkat, karena penyebab utamanya adalah

penularan dari suami ke istri mereka. Ketimpangan gender itu telah membuat

posisi tawar perempuan sangat rendah dalam pengambilan keputusan

termasuk aspek kesehatan reproduksinya (Carr, 2008).

Dalam banyak kasus, para perempuan yang merupakan ibu rumah

tangga tertular dari suaminya yang sudah lebih dahulu terpapar HIV/AIDS

57
karena kerap bergantipasangan atau menggunakan jarum suntik saat

mengonsumsi narkoba. Di lain pihak, pria dengan HIV Positif tetap

berhubungan dengan pasangannya. Menurut Puhl, (dalam simanjuntak, 2005)

dampak sosial dari deskriminasi yang dialami penderita HIV/AIDS terlebih

lagi perempuan yaitu (Simanjuntak, 2005):

1. Dijauhi Keluarga

Keluarga tidak berhak memberi tahu orang lain, termasuk petugas

perawatan kesehatan, tentang status HIV positif keluarganya, kecuali dia

memberi persetujuan yang jelas. Keluarga harus sangat berhati-hati dengan

pengunjung agar mereka tidak dapat mengetahui secara tidak sengaja,

misalnya dengan melihat buku mengenai AIDS atau obat khusus untuk

infeksi (Spiritia, 2008).

Dampak sosial dari deskriminasi ini biasanya dilakukan oleh orang

terdekat atau keluarga yang sering berinteraksi langsung dalam kehidupan

sehari- hari. Akibat adanya ketakutan akan terinfeksi sehingga

dijauhi(Simanjuntak, 2005). Padahal keluarga memiliki peran penting dalam

pendekatan masalah HIV/AIDS, arah dan strategi nasional penanggulangan

HIV/AIDS (Keppres 36/94) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan

ketahanan keluarga sejalan dengan UU pokok no 10 tahun 1992 tentang

kependudukan dan keluarga sejahtera. Misalnya untuk perawatan penderita,

peranan keluarga, baik keluarga batih maupun keluarga jaringan (nuclear and

extended family) akan semakin dibutuhkan (Spiritia, 2008).

58
2. Penolakkan Oleh Keluarga, Teman, dan Masyarakat

Pada tingkatan ini masyarakat menganggap perempuan yang teinfeksi

HIV tidak layak untuk hidup bersama dan akan menimbulkan ketakutan dan

pencemaran nama baik keluarga. Sehingga keluarga pun melakukan

diskriminasi untuk menyelamatkan nama baik anggota keluarganya, selain itu

untuk menghindarkan diri dari virus yang sama, karena adanya ketakutan

akan tertular jika berinteraksi langsung (Simanjuntak, 2005).

Akibat dari ketakutan- ketakutan yang dialami ODHA, maka terjadilah

reaksi penangkalan yang diantaranya berupa menutup diri dan merahasiakan

status HIV nya. Reaksi penyangkalan dilakukan dalam bentuk menutupi

statusnya dari lingkungan sekitar, dilakukan untuk mengembalikan

keberadaannya di masyarakat (Mumpuni, 2001). Unuk itu dibutuhkan

dukungan dari keluarga karena hasil penelitian mengenai pengaruh dukungan

keluarga terhadap keberfungsian sosial dalam masyarakat pada ODHA

menunjukan bahwa ada pengaruh antara dukungan keluarga terhadap

keberfungsian ODHA (Kristian, 2013).

3. Anggapan Tidak Bermoral

Orang yang terinfeksi HIV/AIDS sering dianggap tidak bermoral,

terlebih lagi perempuan yang tidak bisa menjaga kesehatan reproduksinya.

Paradigma masyarakat sudah terbentuk bahwasanya HIV/AIDS merupakan

penyakit yang disebabkan oleh seks bebas, narkoba, dan hubungan seksual

59
lainnya sehingga tidak pantas untuk di toleransi karena perilaku buruknya

(Simanjuntak, 2005).

Mengidap HIV di Indonesia juga masih dianggap aib, sehingga dapat

menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun

keluarga, dan lingkungan di sekeliling penderita (Nursalam, 2007). Kondisi

HIV/AIDS terlebih pada perempuan dianggap sebagai penyakit yang

memalukan sehingga akan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran,

karena hal tersebut perempuan terdiagnosis HIV positif akan menjadi tidak

lagi percaya diri dan menganggap bahwa dirinya berbeda dengan orang lain

disekitarnya, yang tidak terinfeksi HIV positif. Hal ini akan mempengaruhi

kondisi individu (Jackson, 1999).

4. Pelecehan Terhadap Perempuan baik Lisan Maupun Fisik

Pada bentuk ini perempuan seringkali mendapatkan cibiran dari

masyarakat ataupun orang- orang disekeliling yang mengenalnya, timbulnya

cibiran dan bahkan kekerasan fisik saat diketahui perempuan tersebut

terinfeksi HIV/AIDS ada di sekeliling mereka. Sehingga timbul perasaan

untuk menjauhi atau mencibiri karena dianggap perempuan yang terinfeksi

virus tersebut memiliki perilaku buruk.

Menurut Dubois (Dubois, 2005) terdapat empat faktor yang menjadi

penyebab adanya stigma dan diskrikiminasi terhadap perempuan terinfeksi

HIV/AIDS, yaitu:

60
1. Salah informasi tentang HIV/AIDS

Salah informasi tentang HIV/AIDS khususnya mengenai cara-cara

penularannya, padahal penularan AIDS itu tidak mudah. AIDS tidak melular

karena bersalaman atau bersin, yang pasti HIV/AIDS bisa manular meIalui

darah, air mata, atau ibu pengidap AIDS kepada anak yang dikandungnya.

2. Pandangan Masyarakat

Masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai pembawa

malapetaka dan sampah masyarakat. Pandangan sebagian besar masyarakat

demikian terkait erat dengan budaya Tirnur yang memandang orang yang

tertimpa penyakit menular adalah konsekuensi dari perbuatannya yang

amoral.

3. Doktrin atau Ajaran Agama

Doktrin atau ajaran agama selama ini masih memandang bahwa

penyakit menular yang menimpa suatu kaum adalah kutukan atau hukuman

(adzab) dari Tuhan akibat perbuatan suatu kaum yang melakukan dosa,

seperti dalam ajaran Islam menggambarkan Bangsa Sodom umat Nabi Luth

telah dibinasakan karena perbuatan mereka amoral. Akibat Ianjutannya

adalah para ODHA mengalami kondisi kejiwaan yang semakin terpuruk,

sehingga tidak jarang ODHA akan melampiaskannya dengan secara sengaja

menularkan HIV pada orang lain agar merasakan penderitaan yang dialami.

61
4. Negara belum sepenuhnya rnemberikan perlindungan ODHA

Negara belum sepenuhnya rnemberikan perlindungan secara holistik

terhadap para ODHA. Hal terbukti bahwa selama ini pemerintah belum

mempunyai sebuah undang-undang penanggulangan yang didalamnya

membahas perlindungan hak-hak ODHA. Hampir dapat dikatakan bahwa

kegagaIan pemerintah mengatasi masalah penyebaran HIV/AIDS selama ini

belum menunjukan keberhasilan, walaupun sudah membentuk Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional melalui Perpres No. 75 Tahun 2006

tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

62
2.5 Kerangka Teori

Distribusi Menurut Orang

(Usia, Jenis Kelamin, Ras, Suku Bangsa, Genetik, Fisiologi, Gejala, Riwayat
Penyakit pada diri sendiri dan keluarga, Hubungan Keluarga, Ketanggapan
Imunitas, Kebiasaan Hidup, Kehidupan Sosial, Agama, Pekerjaan).

Distribusi Menurut Tempat


Perempuan
dengan (Geografi, Topografi, Lingkungan,
HIV/AIDS dan Pelayanan Kesehatan).

Distribusi Menurut Waktu

(Generation Time, Usia Saat Terinfeksi, dan Lama


Sakit yang Sudah diderita).

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : (Masriadi, 2012) dan (Katiandagho, 2015).

63
BAB III
KERANGKA PIKIR

3.1 Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka pikir yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari dua teori. Ketika

seorang perempuan sudah mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV

positif, peneliti ingin melihat karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu

pada perempuan dengan HIV/AIDS.

Dari banyaknya karakteristik menurut orang yang berpengaruh terhadap

status HIV/AIDS telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, pada penelitian

ini, karakteristik HIV/AIDS menurut orang yang peneliti ikutsertakan hanya

meliputi tingkat pendidikan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat

HIV/AIDS pada keluarga, pengetahuan mengenai HIV/AIDS, agama, dan

gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS. Jenis kelamin sengaja tidak

diikutsertakan sebab dalam penelitian ini hanya dilakukan penelitian pada

jenis kelamin yang homogen, yaitu perempuan. Ras dan suku bangsa tidak

peneliti ikut sertakan karena tidak dipilih karena keduanya masih kontroversi

karena terdapat perbedaan dalam frekuensi dan beratnya penyakit dalam ras

dan suku bangsa, alasan lainnya karena pada umumnya penyakit yang

berkaitan dengan hal tersebut berkaitan dengan faktor genetik atau

lingkungan. Genetik dan ketanggapan imunitas tidak dapat peneliti ikut

sertakan sebab butuh pemeriksaan klinis terkait hal tersebut. Begitu pula

dengan kebiasaan hidup yang tidak ikut dipilih karena akan sulit dalam

64
mengingat- ingat mengenai kebiasaan yang dilakukan sebelum terdiagnosis

HIV positif.

Sementara karakteristik menurut tempat, hal- hal yang diikutsertakan

meliputi keberadaan, kebermanfaatan serta alasan pemilihan tempat layanan

kesehatan. Geografi dan topografi tidak peneliti ikutsertakan dikarenakan

membutuhkan ahli khusus dibidang tersebut. Sementara berdasarkan

karakteristik waktu meliputi lama sakit yang telah diderita subjek dan usia

saat pertamakali terdiagnosis HIV. Generation time adalah masa antara

masuknya penyakit pada pejamu sampai ke masa pejamu tersebut dapat

menularkan penyakit, sehingga hal ini juga tidak peneliti ikutsertakan.

Berdasarkan hal tersebut, maka disusun kerangka pikir sebagai berikut:

1. Tingkat Pendidikan

2. Status Pernikahan

3. Sosial Ekonomi

4. Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga

Orang 5. Pengetahuan HIV/AIDS

6. Agama

7. Gejala Awal dicurigai Mengalami


HIV/AIDS
Perempuan
Tempat
dengan Keberadaan,
Kebermanfaatan, serta
HIV/AIDS
Pemilihan Pusat Layanan
Kesehatan
Waktu
1. Lama Sakit

2. Usia saat Pertamakali terdiagnosis HIV

Gambar 3.1 Kerangka Pikir

65
3.2 Definisi Istilah

Tabel 3.1

Definisi Istilah

No Istilah Definisi

Karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut


orang. Terdiri dari usia, tingkat pendidikan, status
1. Orang
pernikahan , ekonomi, latar belakang keluarga,
pengetahuan HIV/AIDS dan agama.

Keadaan pendidikan perempuan dengan HIV positif, baik


Tingkat berupa pendidikan formal terakhir, pendidikan non formal
1.a
Pendidikan yang pernah diikuti, hingga keinginan untuk melanjutkan
pendidikan.

Keadaan mengenai hubungan perempuan dengan


HIV/AIDS dengan pasangannya, yang terdiri dari status
pernikahan, jumlah dan lama pernikahan, usia perempuan
dengan HIV positif saat menikah, usia pasangannya saat
Status menikah, status pasangan sekarang, jumlah anak, usia
1.b
Pernikahan anak, status anak terhadap HIV, reaksi keluarga terhadap
status pernikahan baik dari keluarga perempuan maupun
dari keluarga pasangannya, hubungan dengan keluarga
setelah menikah atau memiliki hubungan dengan
pasangan

Keadaan sosial ekonomi dari perempuan dengan


HIV/AIDS, baik berupa pekerjaan sebelum dan setelah
Sosial
1.c terdiagnosis HIV, besar penghasilan sebelum dan setelah
Ekonomi
terdiagnosis HIV, hingga keinginan untuk mendapatkan
pekerjaan lebih baik.

66
Informasi terkait keadaan keluarga dari perempuan
Riwayat
dengan HIV/AIDS. Baik ada atau tidaknya riwayat
HIV/AIDS
1.d keluarga yang juga menderita HIV positif maupun jumlah
pada
saudara kandung serta kedekatan hubungan antara
Keluarga
informan dengan keluarga.

Informasi yang dipahami oleh perempuan dengan


HIV/AIDS terkait penyakit HIV, yang meliputi:
pengetahuan mengenai singkatan HIV, pengetahuan
mengenai cara penularan HIV, pengetahuan mengenai
Pengetahuan
1.e cara pencegahan HIV, pengetahuan mengenai cara
HIV/AIDS
pengobatan HIV, pengetahuan mengenai perilaku seks
berisiko HIV, pengetahuan mengenai perilaku non seks
berisiko HIV, serta pengetahuan preventif agar informan
tidak menularkannya ke orang lain.

Keyakinan yang dianut oleh Perempuan yang terdiagnosis


HIV beserta pasangannya, yang meliputi ketaatannya
1.f Agama
dalam beribadah baik sebelum dan sesudah terinfeksi
HIV.

Gejala Awal
Keadaan dari anggota keluarga ataupun diri perempuan
dicurigai
1.g dengan HIV/AIDS itu sendiri yang menyebabkan
Mengalami
terjadinya tes HIV dengan hasil HIV positif
HIV/AIDS

Karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut


2. Tempat tempat. Hal ini dilihat dari keberadaan pusat layanan
kesehatan.

Keberadaan, Informasi mengenai ada atau tidaknya pusat layanan


2.a Kebermanfaa kesehatan di dekat daerah tempat tinggal perempuan
tan, serta dengan HIV/AIDS , kebermanfaatan pusat layanan

67
Pemilihan kesehatan terdekat, dan alasan dari pemilihan tempat
Pusat berobat.
Layanan
Kesehatan

Karakteristik perempuan penderita HIV/AIDS menurut


3. Waktu waktu. Terdiri dari lama sakit HIV/AIDS yang telah
diderita dan usia pertamakali terdiagnosis HIV positif.

Informasi mengenai waktu mulai dari informan tedeteksi


3.a Lama Sakit
HIV positif, hingga saat informan di wawancara.

Usia saat
pertamakali Informasi mengenai usia saat terdiagnosis HIV positif
3.b
terdiagnosis pada perempuan terdiagnosis HIV.
HIV

68
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

epidemiologi deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan desain studi

kasus, dimana studi kasus merupakan penelitian yang bertujuan mengkaji

kasus- kasus tertentu secara mendalam dan menyeluruh, berusaha

menyelidiki proses dan memperoleh pengertian yang mendalam tentang

individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan

situasi dalam waktu tertentu.

Penelitian ini bertujuan menjelaskan secara terperinci masalah sosial

tertentu dan akan di hasilkan data yang relavan, yaitu berupa data yang

dinyatakan secara tertulis dan perilaku yang nyata diteliti dan dipelajari

sebagai suatu yang utuh dengan mengumpulkan data kepustakaan dan

wawancara mendalam, analisis kasus, dan analisis dokumen. Dalam

penelitian ini dilakukan analisis deskriptif mengenai distribusi faktor risiko

perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat

Jati Jakarta Timur.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

69
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat, untuk pengambilan

data sekunder di lakukan di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur yang

beralamatkan di Jl. Matraman Raya No.218, RT 3 RW 6, Jatinegara, Kota

Jakarta Timur. Sementara untuk pengambilan data primer dilakukan di

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur yang beralamat di Jl. RS Polri RT 6

RW 10, Kramat Jati Jakarta Timur, juga di sekretariat LSM Tegak Tegar

yang beralamat di Jalan Gudang Seng, kalimalang, Jakarta Timur, serta di

tempat tinggal informan utama, daerah Cililitan dan Ciracas. Secara

keseluruhan penelitian ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 6

(enam) bulan. Mulai Oktober 2014- Februari 2015 4 (empat) bulan ini

digunakan untuk pencarian subjek, observasi, dan pendekatan. Kemudian

2 (dua) bulan selanjutnya mulai dari Maret- Mei 2015 untuk melakukan

wawancara mendalam.

4.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber untuk mencari

informasi mengenai distribusi faktor risiko perempuan terdiagnosis HIV

positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Pemilihan

informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,

dimana informan dipilih secara sengaja berdasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti berdasarkan ciri- ciri

70
atau sifat- sifat informan yang sudah diketahui sebelumnya untuk

memperoleh informasi yang lengkap dan mencukupi.

Pemilihan informan ini juga disesuaikan dengan prinsip penelitian

kualitatif yaitu kesesuaian (Apropriateness) dan kecukupan (Adequacy).

Kesesuaian dalam penelitian ini adalah informan dipilih berdasarkan status

HIV positif yang dimilikinya serta informan merupakan perempuan

dengan HIV positif yang melakukan pengobatan di Puskesmas Jati Kramat

Jakarta Timur. Sementara prinsip kecukupan adalah informasi yang di

dapat harus bervariasi dan memenuhi kriteria atau kategori yang berkaitan

dengan penelitian. Informan utama penelitian ini adalah perempuan-

perempuan dengan HIV positif yang melakukan pengobatan di Puskesmas

Kramat Jati Jakarta Timur. Ada beberapa hal yang harus terpenuhi oleh

informan agar informasi yang didapat bervariasi. Adapun hal tersebut

antara lain:

a. Kriteria Inklusi

1) ODHA berjenis kelamin perempuan yang melakukan pengobatan

di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur.

2) Berusia 19-49 tahun (usia produktif).

3) Bersedia menjadi narasumber selama proses penelitian dan

menyepakati informed consent.

71
4) Mampu berkomunikasi verbal menggunakan bahasa Indonesia

dengan baik.

b. Kriteria Eksklusi

1) ODHA tertular HIV karena pernah menjadi pekerja seks

komersial (PSK).

2) ODHA tertular HIV akibat menggunakan narkoba suntik.

3) Tidak bersedia, menghilang, atau membatalkan menjadi

narasumber selama proses penelitian

Tabel 4.1
Informan Penelitian

Nama Informan Kode Usia Jenis Pekerjaan


(disamarkan) Informan (tahun)
RH Informan 1 30 IRT, Wirausaha
PN Informan 2 37 IRT
SK Informan 3 38 IRT, Wirausaha
HI Informan 4 38 IRT, Wirausaha, Aktivis HIV
UM Informan 5 39 IRT, Aktivis Gereja dan HIV

72
4.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

4.4.1 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat

penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti juga memiliki kedudukan

khusus, yaitu sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis,

penafsir data, serta pelapor hasil penelitiannya (Moleong, 2010).

Kedudukan peneliti itu menjadikan peneliti sebagai key instrument atau

instrument kunci yang mengumpulkan data berdasarkan criteria- criteria

yang di pahami (Sugiyono, 2009). Oleh karena itu peneliti sebagai

instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap

melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Instrumen lain

yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar permohonan dan

persetujuan menjadi responden selama penelitian berlangsung, panduan

untuk wawancara, dan lembar observasi.

4.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada

natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik

pengumpulan data lebih banyak pada observasi, wawancara mendalam

(indepth interview), telaah dokumen, dan dokumentasi. Dalam penelitian

ini teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain:

73
4.4.2.1 Wawancara/Interview

Wawancara/interview merupakan pertemuan dua orang

untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab. Dalam

penelitian ini menggunakan jenis wawancara mendalam (indepth

interview), dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila

dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2008).

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan penggalian

secara medalam terhadap satu topik dengan pertanyaan terbuka

menurut perspektif informan. Peneliti melakukan pengumpulan

data dengan menggunakan alat bantu berupa pertanyaan-

pertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara mendalam,

buku catatan, dan voice recorder untuk merekam wawancara.

Selain menggunakan alat perekam, selama wawancara, peneliti

juga membuat catatan yang bertujuan untuk menuliskan keadaan

yang atau situasi saat berlangsungnya wawancara dan semua

respon yang diperlihatkan oleh parisipan berupa respon non verbal.

Namun dalam pelaksanaaannya, wawancara tersebut dilakukan

dengan cara berbincang- bincang sehingga tidak terkesan kaku dan

tidak menimbulkan keengganan informan untuk menjawab

pertanyaan yang di ajukan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu

peneliti agar dapat merencanakan pertanyaan baru berikutnya serta

membantu untuk mencari pokok- pokok penting dalam wawancara,

sehingga hal ini dapat mempermudah analisis.

74
Peneliti memberikan kebebasan yang seluas- luasnya pada

partisipan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, peneliti juga

berusaha mendorong partisipan agar mengungkapkan hal yang di

tanyakan dengan sejujur- jujurnya. Prosedur ini berlaku pada

semua informan. Melalui wawancara ini diharapkan terdapat

informasi dan ide dari partisipan yang dapat digunakan peneliti

untuk membangun makna dalam setiap topik.

4.4.2.3 Telaah Dokumen

Dokumen yang diamati dalam penelitian ini berupa catatan

peneliti saat mewawancara informan, transkrip wawancara,

matriks, dan buku bacaan yang menjadi referensi peneliti. Dengan

menggunakan teknik ini peneliti dapat lebih mudah dalam

mendapatkan data- data serta mengelompokan data- data terkait

karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di

Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur tahun 2015.

4.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dari tahap pra penelitian,

pelaksanaan penelitian, dan paska penelitian. Berikut rinciannya :

4.5.1. Tahap Pra Penelitian

Adapun yang dipersiapkan pada tahap ini antara lain adalah :

75
a. Mencari topik atau memilih tema yang diminati

b. Melakukan studi literatur

c. Membuat proposal penelitian

d. Membuat kriteria subjek yang diingankan

e. Meminta izin penelitian untuk mendapatkan persetujuan dari

pihak Puskesmas Kramat Jati

f. Menyiapkan instrument penelitian

g. Berkoordinasi dengan pihak LSM Tegak Tegar yang ditemui di

Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur

h. Menentukan informan penelitian

i. Melakukan pendekatan terhadap informan penelitian

4.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap pelaksanaan penelitian, persiapannya antara lain yaitu:

a. Bertemu dan berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Kramat Jati,

Jakarta Timur

b. Bertemu dan berkoordinasi dengan pihak infoman

c. Melakukan wawancara dan observasi dengan informan penelitian.

76
4.5.3. Tahap Paska Penelitian

Data yang telah dikumpulkan melalui wawancara serta telaah

dokumen dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan metode content

analysis (deskripsi isi). Content analysis terdiri dari coding dan

pengelompokkan data kedalam matriks. Hal ini untuk

mengidentifikasi transkrip data sekaligus untuk memilah milah pesan

penting yang tersembunyi di setiap wawancara.

4.6 Pemeriksaan Keabsahan Data

Dalam penelitian ini uji validitas data dalam penelitian kualitatif

meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas

eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas).

4.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal)

Uji kredibilitas data hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan:

1. Perpanjangan Pengamatan

Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali

ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan

informan, baik informan utamaa maupun informan pendukung

yang pernah ditemui maupun yang baru. Lama perpanjangan

pengamatan dilakukan tergantung pada kedalaman,

keleluasaan, dan kepastian data yang peneliti telah dapatkan.

77
2. Peningkatan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan

kepada informan, catatan peneliti, serta rekaman yang telah di

peroleh secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan

cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan

dapat direkam secara sistematis.

3. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara/

metode, dan berbagai waktu. Triangulasi meliputi triangulasi

sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data. Dalam

penelitian ini triangulasi yang digunakan hanya triangulasi

sumber, metode, dan data.

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara cross-check data

dengan fakta dari sumber lainnya dan menggunakan kelompok

informan yang berbeda. Triangulasi ini dilakukan dengan

mencari orang- orang yang terlibat secara langsung dengan

informan utama serta melakukan wawancara mendalam, seperti

pemegang program HIV di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta

Timur dan pendamping informan dari LSM Tegak Tegar.

Triangulasi metode dalam dalam penelitian ini, Selain

menggunakan metode wawancara mendalam (indepth-

interview) dan telaah dokumen melalui rekam medis.

78
Sedangkan triangulasi data dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara meminta umpan balik dari informan yang berguna

untuk alasan etik serta perbaikaan kualitas laporan, data, dan

kesimpulan yang ditarik dari data tersebut. Untuk triangulasi

data, peneliti mengecek kembali jawaban yang diberikan

informan dengan cara menanyakan kembali maksud dari

jawaban informan untuk memastian kebenaran.

4.6.2. Transferability (Validitas Eksternal)

Peneliti membuat laporannya dengan memberikan uraian yang

rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, sehingga pembaca menjadi

jelas atas hasil penelitian.

4.6.3. Dependability (Reliabilitas)

Uji dependability, dilakukan dengan melakukan audit terhadap

keseluruhan proses penelitian. Jika peneliti tak mempunyai dan tak

menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka depenability

penelitiannya patut diragukan.

4.6.4. Confirmability (Obyektivitas)

Dalam penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji

dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.

Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan

proses yang dilakukan. Dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada,

tetapi hasilnya ada.

79
4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut:

1. Melakukan pemeriksaan keabsahan data

2. Menelaah semua data yang tersedia dari berbagai sumber informan

3. Membuat tanskip rekaman hasil wawancara mendalam segera setelah

selesai mewawancarai

4. Melakukan reduksi data dengan cara membuat rangkuman inti dan

menjaga agar pernyataan yang perlu, tetap ada di dalamnya

5. Kategorisasi pada data yang mempunyai karakteristik yang sama

6. Menyajikan ringkasan data dalam bentuk matriks.

4.8 Analisis Data

Pada penelitian ini data yang dikumpulkan dari hasil wawancara dan

catatan lapangan dilakukan analisis dengan menggunakan content analysis.

Content analysis terdiri dari coding dan pengelompokan data. Hal ini untuk

mengidentifikasi transkrip data dan untuk memilah-milah pesan penting

yang tersembunyi di setiap wawancara. Proses content analysis terus

meninjau kembali data dan meninjau kategorisasi data sampai peneliti yakin

bahwa tema dan kategori yang digunakan untuk menggambarkan penemuan

adalah suatu refleksi jujur dan akurat dari data. Setelah menentukan tema

80
yang muncul dari hasil wawancara dengan informan, peneliti kemudian

melakukan validasi data kepada informan untuk meminta klarifikasinya bila

hal ini memungkinkan.

Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung selama proses

pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data. Proses analisis

data meliputi:

4.8.1. Analisis Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti

memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi

pendahuluan, atau data sekunder, yang digunakan untuk menentukan fokus

penelitian yang masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah

peneliti masuk dan selama di lapangan.

4.8.2. Analisis Data di Lapangan

Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap

jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah

dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan

pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap

kredibel. Aktivitas dalam analisis data, yaitu:

4.8.2.1. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup

banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci.

Semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan

81
semakin banyak, kompleks, dan rumit. Oleh sebab itu dilakukan

analisis data melalui reduksi data (merangkum, memilih hal-hal

yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema

dan polanya). Data yang akan direduksi adalah data- data yang

diperoleh dari hasil wawancara, data yang diperoleh kemudian

dipilih dan diklasifikasikan, untuk merekomendasikan perlu atau

tidaknya data tambahan.

4.8.2.2. Data Display

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

men-display-kan data. Dengan men-display-kan data, akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan

kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami. Dalam

men-display-kan data selain dengan teks yang naratif, juga dapat

berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart.

4.8.2.3. Conclusion Drawing/Verification

Langkah ke tiga dalam analisis data adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan

masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan

bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan

data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada

tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten

saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang

82
kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan

temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat

berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya

masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi

jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau

teori.

4.9 Penyajian Data

Dalam penelitian ini, peneliti menyusun laporan ke dalam bagian

pengumpulan data kualitatif dan analisis data kualitatif. Selanjutnya,

dalam bagian kesimpulan dan interpretasi, peneliti memberikan komentar

tentang bagaimana hasil-hasil kualitatif membantu menggambarkan

Distribusi Faktor Risiko perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat

di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Data yang diperoleh disajikan

dalam bentuk narasi dengan menggunakan matriks hasil wawancara

dengan informan yang telah dilakukan.

83
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Proses Penelitian di Lapangan

A. Proses Penelitian Di Lapangan

Beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti hingga dapat bertemu dan

menjadikan perempuan penderita HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas

Kramat Jati sebagai subjek penelitian adalah pertama- tama peneliti melakukan

observasi di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur terlebih dahulu. Peneliti

mengikuti alur administrasi dengan sebagaimana mestinya, dimulai dari

membuat surat di akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian surat yang telah disetujui oleh

Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta peneliti sampaikan ke Suku

Dinas Kesehatan Jakarta Timur, untuk di setujui melakukan penelitian di

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Setelah mendapatkan surat balasan

berupa surat persetujuan penelitian dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur,

peneliti mengantarkan ke bagian administrasi Puskesmas Kramat Jati Jakarta

Timur hingga mendapatkan persetujuan dari kepala Puskesmas Kramat Jati

Jakarta Timur, barulah setelah itu peneliti dapat melakukan pendekatan dengan

pemegang program HIV & IMS.

Kondisi poli HIV & IMS Puskesmas Karamat Jati, saat jam pelayanan,

cukup padat dengan pasien. Ibu- ibu dengan kondisi hamil dan menggendong

balita terlihat lebih mendominasi ruang tunggu di poli HIV & IMS. Ketika

84
peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan pemegang program HIV dan

IMS, peneliti sangat kesulitan dalam mendapatkan subjek penelitian, bahkan

data jumlah kasus HIV positif pada perempuan yang ada di Puskesmas Kramat

Jati Jakarta Timur pun tidak bisa peneliti dapatkan dari pemegang program

HIV & IMS di Puskesmas tersebut. Perihal ini terjadi karena selain memang

pemegang program tengah disibukkan dengan banyaknya jumlah pasien, ini

juga disebabkan karena penanggung jawab HIV & IMS Puskesmas Kramat Jati

saat itu mengakui bahwa beliau belum sempat merapihkan data- data HIV di

Puskesmas. Pada saat itu beliau juga agak sulit ditemui karena pekerjaan yang

mengharuskan beliau untuk bolak- balik pergi keluar kota. Beliau juga

menyampaikan bahwa bersamaan dengan itu, anak beliau sedang sakit dan

beliau juga harus mengurus anaknya, yang saat itu tengah dirawat di salah satu

Rumah Sakit di daerah Bandung. Sehingga pada akhirnya peneliti memutuskan

untuk melakukan pengambilan data sekunder di Suku Dinas Kesehatan Jakarta

Timur.

Peneliti membutuhkan waktu yang cukup lama dalam melakukan

pencarian dan mendapatkan subjek penelitian yang sesuai dengan karakteristik

inklusi penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti sulit dalam mendapatkan

informasi pribadi dari subjek penelitian yang meliputi nama, nomer telpon, dan

alamat subjek penelitian dari pihak Puskesmas Kramat Jati. Hingga akhirnya

peneliti berhasil menghubungi salah satu ODHA perempuan yang

direkomendasikan oleh dosen pembimbing skripsi. Namun sayangnya ODHA

perempuan tersebut tidak melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati

85
Jakarta Timur, beliau menyarankan saya untuk menghubungi salah satu

pendamping ODHA dari LSM Tegak Tegar yang ternyata juga bertugas untuk

menjadi pendamping beberapa ODHA yang berobat di Puskesmas Kramat Jati

Jakarta Timur. Beliaulah yang pada akhirnya telah banyak membantu

menghubungkan, mempertemukan, hingga mendampingi peneliti selama

proses pendekatan dan wawancara dengan subjek penelitian. Cara beliau dalam

menghubungan peneliti dengan subjek adalah dengan menghubungi via telepon

dan menawarkan suatu pekerjaan kepada subjek yang merupakan ODHA

perempuan yang berobat di Puskesmas Kramat Jati dan mendapatkan

pendampingan dari LSM Tegak Tegar.

Saat subjek bertemu dengan peneliti, peneliti membuka identitas yang

sebenarnya yaitu bahwa peneliti adalah mahasiswi yang sedang melakukan

penelitian untuk syarat kelulusan Strata-1 di sebuah Perguruan Tinggi Negeri

di Jakarta. Dari 6 (enam) orang yang dihubungi oleh petugas pendamping

untuk di pertemukan dengan peneliti, 1 (satu) orang diantaranya tidak bersedia

untuk di wawancara oleh peneliti. Peneliti tidak mengganti 1 (satu) orang

tersebut, karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti, maka

penelitian dihentikan hanya pada 5 (lima) subjek penelitian saja, dan kelima

subjek tetap mau diwawancarai setelah peneliti membuka identitas. Hanya saja

mereka meminta agar nama dan identitas mereka tidak dipublikasikan kepada

masyarakat umum.

Setelah mengenal dan dikenal oleh subjek penelitian, peneliti melakukan

wawancara dengan mereka. wawancara dilakukan dengan beberapa kali

86
pertemuan dengan subjek. Tempat wawancara sebagian subjek dilakukan di

dalam sebuah kamar tidur di sekretariat LSM Tegak Tegar dan sebagian subjek

penelitian lainnya di wawancara di dalam salah satu ruangan di rumah subjek.

Pertimbangan tempat yang dipilih tersebut adalah tempat yang paling nyaman

bagi subjek penelitian. Wawancara dilakukan setelah makan siang, sekitar

pukul 14.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB disesuaikan dengan waktu luang

yang dimiliki oleh subjek. Waktu yang dibutuhkan peneliti dalam satu kali

pertemuan wawancar, minimal satu jam hingga dua jam.

Peneliti juga memberikan fee kepada subjek agar subjek tidak merasa

kecewa, karena pada saat dihubungi oleh pendamping ODHAnya, hal yang

pertamakali ditawarkan adalah sebuah pekerjaan. Secara Keseluruhan,

pelaksanaan penelitian ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 6 (enam)

bulan. Diperlukan waktu selama 4 (empat) bulan, dari Oktober 2014- Februari

2015 untuk pencarian subjek, observasi, dan pendekatan. Kemudian 2 (dua)

bulan selanjutnya, mulai Maret- Mei 2015 adalah waktu untuk melakukan

wawancara mendalam dan triangulasi.

B. Hambatan Di Lapangan

1. Peneliti kesulitan dalam mendapatkan data sekunder mengenai data jumlah

kasus dan identitas ODHA perempuan yang berobat di Puskesmas Kramat

Jati Jakarta Timur.

Cara Mengatasi :

87
Peneliti akhirnya meminta data jumlah kasus HIV/AIDS di Puskesmas

Kramat Jati melalui data jumlah kasus HIV/AIDS di seluruh Jakarta Timur

yang dimiliki oleh Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Sementara subjek

penelitian peneliti dapatkan dari petugas pendamping HIV/AIDS LSM

Tegak Tegar.

2. Peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pendekatan

hingga menciptakan rasa aman, nyaman, dan menjaga kepercayaan subjek

yang mau memberikan informasi.

Cara Mengatasi :

Setelah mengenal dan dikenal oleh subjek, peneliti sangat berusaha untuk

menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan menjaga kepercayaan subjek

dengan berusaha menciptakan suasana kekeluargaan, santai, dan akrab,

seperti berbincang bersama dengan isu diluar pembahasan status

HIV/AIDSnya, menonton televisi bersama, berbelanja untuk keperluan

kegiatan LSM bersama, mengikuti kegiatan di LSM, memasak bersama,

hingga makan bersama dalam satu piring dengan mereka. Sehingga subjek

tidak lagi merasa malu dan canggung saat menceritakan pengalaman

hidupnya kepada peneliti.

88
5.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS

Gambaran karakteristik perempuan penderita HIV/AIDS berdasarkan

distribusi menurut orang sebagai informan dalam penelitian ini meliputi: tingkat

pendidikan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada keluarga,

pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicuriga mengalami HIV/AIDS.

5.2.1 Tingkat Pendidikan Perempuan Terdiagnosis HIV Positif

Tingkat pendidikan dalam penelitian ini membahas mengenai pendidikan

formal dan non formal dari perempuan terdagnosis HIV positif, serta keinginan

mereka untuk melanjutkan kembali pendidikannya, baik pendidikan formal

maupun pendidikan non formal.

5.2.1.1 Pendidikan Formal Terakhir

Sebagian besar informan dalam penelitian ini memiliki pendidikan

menengah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, pendidikan

formal yang dilalui oleh para informan pada penelitian ini yang paling tinggi

hanya mencapai bangku sekolah menengah atas (SMA) atau sederajatnya

seperti sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah ekonomi

akuntansi (SMEA).Namun ada satu dari lima informan yang memiiki

pendidikan terakhir hanya sampai di bangku sekolah menengah pertama

(SMP). Informasi ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut :

“Pendidikan terakhir saya SMP, itu juga ijazahnya ilang


waktu kebanjiran, jadi saya udah gak punya ijazah apa-
apa lagi yang bisa di pake buat nyari atau buat ngelamar
kerjaan.” (Informan 1)

89
Informan mengakui bahwa selain hanya sekolah hingga bangku SMP,

ia juga sekarang ini tidak memiliki ijazah dari pendidikan terakhirnya

tersebut, hal ini disebabkan karena bencana alam berupa banjir yang pernah

terjadi di daerah tempat tinggalnya. Seluruh berkas-berkas penting yang ia

dan keluarganya miliki habis terendam genangan banjir, termasuk

ijazahnya. Sehingga dari kondisi tersebut menyebabkan informan tidak bisa

menggunakan ijazahnya kembali dalam mendukung pekerjaan sehari-

harinya, dan jelas hal ini telah terasa semakin mempersulit dan membatasi

informan dalam hal mendapatkan pekerjaan.

Agar lebih memudahkan dalam melihat pendidikan formal terakhir

dari perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati

Jakarta Timur, sebagai informan dalam penelitian ini, maka peneliti

menyajikan data dalam bentuk tabel, seperti berikut ini:

Tabel 5.1
Pendidikan Formal Terakhir dari Perempuan dengan HIV/AIDS yang
Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur
Nama
Pendidikan
No Informan Kode Informan
Formal Terakhir
(disamarkan)

1 RH Informan 1 SMP

2 PN Informan 2 SMA

3 SK Informan 3 SMK

4 HI Informan 4 SMA

5 UM Informan 5 SMEA

90
5.2.1.2 Pendidikan Non Formal

Sebagian informan pernah menempuh pendidikan non formal,

dengan waktu belajar antara 3 bulan hingga 1 tahun. Ini berarti sebagian

besar informan sudah memiliki keterampilan lebih dari hasil pendidikan non

formal yang telah mereka tempuh. Pendidikan non fomal adalah jalur

pendidikan di luar dari pendidikan formal. Jalur ini dapat dihargai setara

dengan hasil program pendidikan formal, setelah melalui proses penyetaraan

oleh lembaga yang di tunjuk pemerintah. Informasi yang peneliti peroleh

dari hasil wawancara mendalam dengan kelima informan menyatakan

bahwa dua dari lima informan mengakui bahwa selama ini tidak pernah

mengikuti pendidikan non formal, seperti dalam hasil wawancara berikut

ini:

“Gak pernah ikutan kursus- kursus mbak.” (Informan 5)

Sementara itu tiga informan lainnya, mengakui bahwa pernah

mengikuti pendidikan non formal, pendidikan non formal yang mereka

tempuh beragam jenisnya dengan lama pendidikan yang bervariasi pula, ada

yang pernah menjalani pendidikan non formal dengan kursus membuat kue,

hal ini merupakan salah satu fasilitas yang ia didapatkan selama satu tahun,

pelatihan ini dilakukan bersamaan dengan pelatihan di toko kue tempatnya

bekerja. Adapula informan yang pernah mengikuti pendidikan non formal

berupa kursus membuat pola dan menjahit, namun ia mengakui bahwa ia

belum tuntas dalam mengikuti pendidikan non formal tersebut, sehingga ia

91
merasa bahwa dirinya masih belum terlalu mahir dalam hal tersebut. Ia juga

meungkapkan bahwa penyebab ia tidak melanjutkan pendidikan tersebut

dikarenakan tidak adanya dana untuk melanjutkan pendidikan non formal

tersebut.

Adapula pula informan yang pernah beberapa kali menjalani

pendidikan non formal yang beragam, yang terdiri dari kursus rias

pengantin, kursus salon, kursus bahasa inggris, dan kursus montir. Kursus

salon dan pengantin ia jalankan dengan tanpa biaya, karena pendidikan non

formal ini di fasilitasi oleh pemerintah. Berbeda dengan pendidikan non

formal berupa bahasa asing yang ia sempat jalani, pendidikan tersebut

memakan biaya cukup banyak hingga ia tidak sanggup untuk

melanjutkannya. Sementara kursus montir ia dapatkan saat ia hendak

melamar pekerjaan di bengkel, namun saat ditengah perjalanan pendidikan

montir, ia pun berhenti dan tidak jadi melamar pekerjaan di bengkel. Hal ini

dibuktikan dalam hasil wawancara pada informan berikut ini:

“…. Kursus rias penganten, terus kusrsus salon juga pernah ikut,
kursus salon kan gratis dari pemerintah waktu itu, terus waktu itu
pengen banget kursus bahasa inggris, akhirnya sempet kursus
bahasa inggris di IEC tapi yaa itu putus di tengah jalan yaa
karena ekonomi biayanya besar…”. “…. Terus juga pernah
tadinya kan mau kerja di bengkel terus kursus montir….”
(Informan 4)
Untuk memudahkan dalam mengetahui pendidikan non formal pada

setiap informan, beserta lama pendidikan non formal yang pernah ditempuh,

berikut tabel mengenai hal tersebut:

92
Tabel 5.2
Pendidikan Non Formal yang Pernah diikuti oleh Perempuan dengan
HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Kode Jenis Sekolah Non


No Lama Belajar
Informan Formal

1 Informan 1 Kursus Membuat Kue 1 Tahun

2 Informan 2 Kursus Membuat Pola 1 tahun

3 Informan 3 - -

Kursus Salon dan Rias


1 tahun
Pegantin
4 Informan 4
Kursus Bahasa Inggris 3 bulan

Kursus Montir 6 bulan

5 Informan 5 - -

5.2.1.3 Keinginan untuk Melanjutkan Pendidikan

Semua informan dalam penelitian ini memiliki keinginan untuk

melanjutkan pendidikan. Sebagian informan memiliki hambatan biaya,

adapula yang memiliki hambatan karena infeksi oportunistik yang diderita,

dan hambatan usia yang tidak lagi muda. Besar keinginan untuk melanjutkan

pendidikan terkadang tidak berbanding lurus dengan kesempatan yang ada.

Sama halnya dengan informan penelitian ini dalam memaparkan

keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. Berikut hasil wawancara

dengan beberapa informan:

“Pengen, makanya saya pernah sempet ikutan kursus pola. Tapi


uangnya gak ada buat nerusisnnya lagi.” (Informan 2)

93
“Kalo di Tanya pengen sekolah lagi, yaa pengen mbak, lulusan
SMA doang mah bisa kerja apa sih, lowongan kerja buat lulusan
SMA juga sekarang udah susah. Tapi karna faktor U nih saya
udah males deh sama yang namanya sekolah lagi.”(Informan 5)

Sebagian informan memiliki keinginan besar untuk melanjutkan

pendidikan yang sebelumnya pernah diikutinya, karena menyadari akan

pentingnya pendidikan dan persaingan dunia kerja. Namun hal tersebut

terhambat dengan keadaan ekonomi juga usia yang tidak lagi muda,

mereka juga menyadari bahwa pendidikan itu sangat dibutuhkan, terutama

ketika mencari pekerjaan, sebab persaingan dunia kerja semakin ketat

untuk itu perlu pendidikan yang lebih tinggi atau pun keahlian khusus

yang dimiliki.

Adapula salah satu informan yang memiliki keinginan untuk

melanjutkan kuliah, akan tetapi terhambat dengan infeksi

oportunistikakibat HIV/AIDS yang dideritanya. Informan tersebut

mengaku bahwa dirinya terinfeksi virus tokso yang menyerang otaknya

setelah ia terdiagnosis HIV positif. Hal tersebut yang telah membuatnya

tidak lagi percaya diri dan tidak yakin dengan kemampuan dirinya sendiri

untuk melanjutkan pendidikan. Informasi ini dibuktikan dalam wawancara

berikut ini:

“Pengen sih sekolah lagi, tapi otak aku sekarang udah lemot,
kan aku pernah kena virus tokso, ini setelah aku kena HIV, aku
malah ketularan virus tokso di otakku.” (Informan 3)

94
Dari informasi- informasi diatas, dapat disimpukan bahwa

perempuan dengan HIV positif yang menjadi informan pada penelitian ini,

kelimanya memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, namun

masing – masing memiliki hambatan yang beragam dalam merealisasikan

kenginan mereka yang besar dalam dunia pendidikan.

5.2.2 Status Pernikahan Perempuan dengan HIV/AIDS

Berdasarkan wawancara dengan informan, status pernikahan perempuan

dengan HIV/AIDS menggambarkan keadaan mengenai hubungan perempuan

dengan HIV/AIDS dengan pasangannya, yang terdiri dari status pernikahan,

jumlah dan lama pernikahan, usia perempuan dengan HIV positif saat menikah,

usia pasangannya saat menikah, status pasangan sekarang, serta jumlah, usia, dan

status anak terhadap HIV.

5.2.2.1 Status Pernikahan

Sebagian informan telah menjadi janda karena suami yang meninggal

akibat terinfeksi HIV/AIDS. Terdapat dua orang informan yang telah menjadi

janda atau sudah berstatus tidak menikah lagi.Ada juga informan yang hingga

sekarang masih berstatus menikah dengan suami pertama. Hasil dari

wawancara mengenai status pernikahan, diketahui sebanyak dua informan

masih memiliki suami, mereka masih dalam status menikah dari pernikahan

pertamanya.Sementara itu, ada satu informan yang belum resmi bercerai secara

hukum, dari suami kedua dan ketiga, sebab saat menikah juga tidak menikah

secara hukum, namun menikah dengan cara siri. Sebelum menikah dengan

suami kedua dan suami ketiga, salah satu informan ini menikah secara resmi

95
dengan suami pertamanya, namun saat itu suami pertama meninggal dunia,

sehingga saat itu telah resmi cerai dengan suami pertama. Informasi ini

dibuktikan dalam hasil wawancara seperti berikut ini:

“Belum cerai secara resmi dengan suami terakhir, cuma omongan


talak dari suami, trus juga suami saya yang terakhir itu.. kita pas
nikahnya, nikah siri. ” (Informan 4)

Sehingga dapat disimpulkan, dari hasil wawancara mendalam di atas,

dapat diketahui bahwa tiga dari lima informan telah memiliki status janda,

dengan satu informan belum resmi bercerai secara hukum negara. Jumlah ini

lebih banyak daripada informan yang berstatus masih menikah, yaitu hanya

dua orang. Berdasar gambaran tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa

perempuan yang menderita HIV positif memiliki risiko lebih besar untuk

berstatus tidak menikah atau menjadi janda akibat suami meninggal dunia,

ataupun karena ketidakcocokkan satu dengan yang lainnya.

5.2.2.2 Frekuensi dan Lama Pernikahan

Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar informan

menikah dengan 1 kali pernikahan. Hal ini terjadi karena ada beberapa

informan yang masih memiliki suami dan ada pula informan yang walaupun

sudah tidak memiliki suami lagi, namun masih belum menikah kembali setelah

pernikahan pertamanya. Hasil penelitian juga mendapati bahwa sebagian dari

informan memiliki usia pernikahan dibawah 5 tahun. Kondisi ini tidak hanya

terjadi pada informan yang hanya sekali menikah, namun juga terjadi pada

informan yang menikah lebih dari satu kali pernikahan. Informan tersebut

96
menikah sebanyak 3 kali, dengan suami kedua dan ketiga bukan merupakan

ODHA (Pasangan ini dikenal dengan sebutan pasangan serodiskordan).

Informan memaparkan bahwa pernikahan terlamanya hanya dengan

suami pertama, yaitu selama tujuh tahun pernikahan, dan akhir dari pernikahan

pertamanya tersebut dikarenakan suaminya meninggal dunia akibat HIV/AIDS.

Sementara pada pernikahan kedua, lama pernikahan terjadi selama empat

tahun, dan bercerai bukan akibat status HIV yang diinfeksi oleh informan atau

bukan pula karena HIV tertular pada suaminya. informan menyatakan bahwa

suami keduanya sudah mengetahui status informan sebagai penderita HIV

positif, semenjak sebelum mereka menikah. Walaupun status suaminya

bukanlah penderita HIV, namun suaminya tetap mau menerima kondisi yang

diderita oleh informan dan tetap menyetujui pernikahan mereka saat itu terjadi.

Suami kedua informan ini tidak tertular HIV/AIDS. Perceraian dengan

suami keduanya ini terjadi karena antara mereka berdua sudah merasa saling

tidak cocok lagi antara satu dengan yang lainnya. Ketidak cocokkan ini

dikarenakan tekanan dari keluarga suami informan agar informan dan

suaminya segera memiliki keturunan. Keluarga dari suami informan tidak

pernah mengetahui status HIV/AIDS yang diderita oleh informan. Informan

juga menyatakan bahwa ia dan suaminya sempat mengangkat seorang anak

yatim piatu yang juga menderita HIV/AIDS dari LSM Tegak Tegar, akan

tetapi hal tersebut tidak bertahan lama karena anak yang mereka angkat

kondisinya sakit dan membutuhkan biaya pengobatan yang cukup mahal,

sementara informan dan suami merasa tidak kuat dalam menanggung biaya

97
pengobatan anak tersebut, hingga akhirnya mereka mengembalikan anak

tersebut pada LSM Tegak Tegar. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara

berikut:

“Akhirnya kita adopsi anak yatim piatu 1 orang dari Yayasan


Tegak Tegar, waktu itu kita nemuin anak ini di RS Cipto, anak itu
penderita HIV, dan ternyata punya penyakit hernia, karena biaya
berobatnya mahal, kitanya gak ada biaya dan daripada terlantar
juga kan anaknya? akhirnya kita kembalikan ke yayasan Tegak
tegar.”(Informan 4)

Sulitnya informan dan suami dalam mendapatkan keturunan menjadi

alasan retaknya hubungan rumah tangga tersebut dan berakhir dengan

perceraian. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut ini:

“Pernikahan yang mana? Saya 3 kali menikah. Hehe


Suami pertama 7 tahun, suami ke-2 kita Cuma betahan 4 tahun dan
saya tinggalin dia tanpa bawa barang apa- apa karna saya
ngerasa udah sangat gak cocok, suami ke-3 Cuma beberapa bulan
aja trus langsung saya tinggalin, karena ternyata dia udah punya
istri dan saat itu lagi hamil tua, saya pun saat itu ternyata lagi
hamil juga.”(Informan 4)

Ada informan yang mengungkapkan bahwa ia menikah tanpa

menjalin hubungan pacaran terlebih dahulu, ia dikenalkan oleh saudaraya,

tak menunggu banyak waktu, ketika sama- sama sudah yakin untuk menikah,

mereka pun menikah. Artinya proses perkenalan mereka tidak berjalan

dengan waktu yang lama. Berikut ini pemaparannya dalam hasil wawancara

mendalam:

98
“Tahun 2011 saya nikah, berarti udah mau 4 tahun
pernikahannya. Saya sama suami gak pake pacar- pacaran mbak,
saya baru kenal, di kenalin sodara, trus dia serius mau nikahin
saya, yaudah deh kita nikah.” (Informan 2)

Adapula informan yang walaupun sudah melalui proses perkenalan

yang panjang melalui hubungan pacaran, tetap tidak menjamin bahwa dirinya

akan terbebas dari infeksi HIV, justru akibat informan terlalu lama

berpacaran, hal ini menyebabkan informan dan pasangannya menjadi

terlampaui batas yang seharusnya tidak dibenarkan, sehingga mengalami

hamil diluar nikah. Berikut bukti dari hasil wawancara mendalam dengan

informan tersebut:

“Aku nikah dari 2002- 2006, sekitar 4 tahun. bercerainya karena


suami aku meninggal dunia. Tapi aku yah yang namanya
pacarannya memang terlampau bebas, sebelum menikah itu aku
udah sering ngelakuin seks, jadi pas nikah posisinya aku sudah
hamil di luar nikah.” (Informan 3)

Sehingga mengenai banyak pernikahan informan, sebagian besar

informan mengakui hanya melakukan satu kali pernikahan saja, walaupun

tetap ada informan yang mengaku pernah tiga kali melakukan pernikahan,

namun pernikahan kedua dan ketiganya tidak ia tutupi dari pasangannya.

Sementara mengenai lama pernikahan informan, usia dari setiap pernikahan

informan berkisar dari tiga hingga sembilan tahun. Pernikahan terlama diatas

usia pernikahan lima tahun hanya terjadi pada dua informan dengan usia

pernikahan selama tujuh dan sembilan tahun pernikahan.

99
5.2.2.3 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS dan Pasangannya Saat

Menikah

Rata- rata usia informan menikah adalah saat usia 25 tahun, ini merupakan

usia produktif. Berdasarkan hasil wawancara mengenai usia perempuan dengan

HIV/AIDS saat menikah didapatkan bahwa menikah di rentang usia 21 hingga

33 tahun. Tidak jauh berbeda dengan usia informan, usia pasangan dari

informan saat menikah rata- rata pada usia 24 tahun, usia ini juga masih

merupakan usia produktif. Rentang usia pasangan informan berkisar mulai dari

20 tahun hingga 33 tahun, dengan sebagian pasangan informan memiliki usia

lebih muda dibanding dengan informan.

Hasil wawancara dapat diperoleh pula informasi mengenai usia saat

informan dan pasangannya melakukan hubungan seksual pertamakali.

Sebagian besar informan melakukan hubungan seksual setelah resmi menikah,

akan tetapi ada informan yang mengakui bahwa ia dan pasangannya telah

melakukan hubungan seksual semenjak dua tahun sebelum mereka menikah.

Informasi ini didukung oleh kutipan wawancara berikut:

“Pertama kali aku ngelakuin hubungan seks sama pacar aku itu
umur hmm duaaaa puluuh hmm 21 tahun, suami aku mah beda 3
tahun sama aku, waktu itu umurnya 18 tahun. jadi kalo lagi
pacaran sama pacar aku yang jadi suami aku itu, kita suka
berhubungan seks, sampe 2 tahun kita melakukan seks diluar
nikah. Dan sebelum ngelakuin hubungan seks sama suamiku itu,
aku belum pernah ngelakuin hubungan seks sama siapapun. Begitu
juga dengan suamiku. Kita sama- sama jadi yang pertama.”
(Informan 3)

100
Berdasarkan kutipan wawancara diatas didapatkan informasi bahwa ada

informan dan pasangannya yang memiliki usia berbeda 3 tahun lebih muda.

Informan mengakui bahwa ia dan pasangannya semenjak dua tahun sebelum

pernikahan mereka, mereka sudah melakukan seks diluar nikah, pada saat itu

usia pasangannya masih 18 tahun.

5.2.2.4 Status Pasangan Sekarang

Sebagian besar informan hingga sekarang memiliki pasangan hidup,

walaupun ada yang merupakan pasangan sah dan ada juga yang belum sah.

Informan yang memiliki pasangan belum sah, belum membuka status HIV kepada

pasangannya yang berstatus bukan ODHA. Terdapat pula informan yang menutup

diri untuk tidak memiliki pasangan lagi. Berdasarkan wawancara dengan

informan, diperoleh hasil yang cukup beragam terkait status pasangan sekarang.

Beberapa menjawab hingga sekarang masih bersama suami sebagai pasangan

sahnya, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini:

“Pasangan saya yang sekarang, yaa masih suami saya.” ( Informan 2)

Adapula informan yang mengaku sekarang sedang memiliki pasangan,

namun bukan dengan suami sah mereka. Kedua informan yang mengakui

keberadaan pasangan yang bukan merupakan suami mereka ini pun juga

mengakui bahwa mereka belum memberitahukan status HIV mereka terhadap

pasanganya masing- masing. Ini didukung dengan informasi sebagai berikut:

101
“Pasangan yang sekarang? Kalo yang sekarang pacar, tapi dia
belom saya kasih tau kalo saya HIV, abis kalo saya kasih tau pasti
bakalan kabur kayak pacar- pacar saya yang sebelumnya. Kasian sih
emang, tapi akunya gak bisa mbak kalo gak punya pacar, rasanya tuh
sepi banget. Nanti aja kalo memang dia serius sama aku, baru aku
kasih tau status HIV ku ke dia.” (Informan 3)
“Pasangan yang sekarang pacar, calon suami usia 19 tahun
tinggalnya di garut. Dia negatif HIV, saya belum ngasih tau status
saya ke dia, kalo dia beneran cinta, dia pasti bakalan tetep mau nikah
sama saya kayak suami ke-2 dan ke-3 saya.” (Informan 4)
Adapula informan yang mengakui bahwa, setelah suaminya meninggal

dunia, ia tidak memiliki pasangan hingga sekarang, baik pasangan sah maupun

pasangan tidak sah, informan ini pun merasa bahwa dengan adanya status HIV

pada dirinya, menyebabkan tidak ada yang mau menerimannya sebagai

pasangan. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini :

“Belum ada pengganti mendiang suami saya sampai detik ini. Siapa
juga laki- laki yang mau nerima saya sepaket dengan penyakit saya
ini? Yaa, untuk masa depan, saya serahin saja semuanya sama
Tuhan.”(Informan 5)
Dari kelima informan, dua informan masih tinggal bersama suaminya,

dua orang lainnya sudah tidak tinggal bersama suaminya, namun tengah

menjalin hubungan dengan orang yang tidak mengetahui bahwa informan

memiliki status HIV positif, informan tidak memberitahukan statusnya karena

takut pasangannya tidak dapat menerima status informan. Sementara satu

informan lainnya tidak memiliki pasangan, dan merasa status HIV positif yang

menjadi alasan hingga sampai sekarang informan belum memiliki pasangan

lagi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status HIV ini mempengaruhi informan

dalam mendapatkan pasangan dan dalam membuka status HIV positifnya

terhadap pasangan.

102
5.2.2.5 Jumlah Anak, Usia, dan Statusnya Terhadap HIV Positif

Seluruh informan memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan sebagian

informan memiliki anak yang masih berusia balita. Sebagian besar informan

memiliki atau pernah memiliki anak dengan status HIV positif. Ada informan

yang setelah terinfeksi HIV positif namun tetap dapat memiliki anak dengan HIV

negatif, hal ini dipengaruhi oleh keikutsertaan informan dalam program PPIA.

Dari hasil wawancara mendalam dengan kelima informan, diketahui bahwa semua

informan memiliki anak dengan usia beragam. Seperti dalam wawancara berikut

ini :

“2 orang, sepasang cowok dan cewek.… Yang cowok kelas 2 SD usia


7 mau naik 8 tahun, yang cewek usia 19 bulan.” ( Informan 1)

Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa informan menyatakan

telah memiliki dua orang anak, dengan jenis kelamin perempuan dan laki- laki.

Usia anak informan adalah 7 tahun dan 19 bulan. Sementara itu informan

lainnya menyatakan bahwa dirinya pun telah memiliki 2 orang anak, dengan

jenis kelamin keduanya adalah laki- laki, dengan usia 3 tahun dan 1 tahun

seperti dalam informasi yang berasal dari wawancara berikut ini:

“Ada 2 orang. Laki- laki semua…. Anak pertama usia 3 tahun, yang
kedua usia 1 tahun.” ( Informan 2)

Ada informan yang menyatakan bahwa dirinya telah memiliki 3 anak

yang berjenis kelamin perempuan, dua orang berasal dari suami pertamanya,

dengan usia 16 tahun dan 12 tahun. sementara satu anaknya lagi berasal dari

103
suami ketiganya, dengan jarak yang cukup jauh dari kakak- kakaknya, karena

anak ketiga berasal dari suami ketiganya. Usia anak ketiganya adalah 3 tahun.

berikut bukti informasi dari wawancara mendalam yang telah didapatkan:

“3 anak perempuan, dari suami pertama 2 orang dari suami ketiga 1


orang.”.“Satu sekarang SMA sekitar eee usia 16 tahun, satunya SD
kelas 6 usia 12 tahun, satunya lagi baru lahir tahun 2012 secara
sesar.” ( Informan 4)
Berbeda dengan informan pertama, kedua, dan keempat yang anak-

anaknya masih hidup hingga informan melakukan wawancara mendalam,

informan ketiga dan kelima memiliki masing- masing satu anak yang telah

meninggal dunia. Informasi ini didukung oleh hasil wawancara mendalam

berikut ini:

“Anak aku ada 2. Anak pertama cewek terus anak keduanya laki- laki.“
“Anak pertamaku yang cewek, lahir tahun 2002...”
“Anak pertamaku yang cewek udah meninggal, anak kedua sekarang 8
tahun.” ( Informan 3)

“Anakku ada 3 perempuan semua. Anak kedua sama ketiga kembar.”


“Usia anak pertama berapa ya? Dia kelahiran tahun 2003, usia 3 tahun
meninggal karena HIV, itu tahun 2006. Kalo si kembar sekarang usia 9
tahun.” ( Informan 5)

Dari kelima informan, hanya terdapat satu informan yang memiliki tiga

anak dengan status negatif HIV pada ketiga anaknya, hal ini dibuktikan dengan

hasil wawancara berikut ini:

“Alhamdulillah tiga- tiganya gak ada yang ketularan HIV.”


(Informan 4)

104
Informan tersebut juga mengungkapkan bahwa memang ia sudah

terdiagnosis HIV positif ketika tengah hamil anak ketiga yang merupakan buah

hati dari pernikahan ketiganya. Informan tersebut juga menjelaskan mengapa

anak terakhir yang ia lahirkan tidak ikut tertular HIV positif, dan ternyata hal ini

dikarenakan saat tahu dirinya sedang mengandung dengan usia kandungan 3

bulan, ia segera disarankan untuk mengikuti program PMTCT atau yang lebih di

kenal dengan PPIA yang memang merupakan program pemerintah. Berikut

kutipan wawancaranya:

“Kayaknya mah pas hamil anak pertama sama kedua belom ada HIV di
tubuh saya, makannya mereka pada negative. Pas adenya yang terakhir
baru deh. posisinya juga sayanya udah tau kan kalo kena HIV, jadi pas
ketauan hamil 3 bulan, yaaa langsung sama bidan Puskesmas disuruh
ikutan program PMTCT .” (Informan 4)
Informan juga menerangkan kegiatan yang ia lakukan selama mengikuti

program PPIA. Saat mengikuti program PPIA informan dituntut untuk patuh

dengan ketentuan yang sudah ada, ketentuan tersebut berupa pengecekkan secara

rutin dan menjalani terapi ARV dengan rutin. Ia juga diberikan konseling, baik

fisik dan mentalnya sudah disiapkan sedini mungkin untuk menghadapi persalinan

secara sesar, dan akan mendapatkan perlakukan khusus yang mungkin akan

berbeda dengan ibu- ibu yang melahirkan sesar pada umumnya. Ia juga sudah

dipersiapkan untuk tidak memberikan ASI kepada bayinya. Berikut hasil kutipan

wawancara mendalam dengan informan tersebut:

“Program PMTCT yang saya ikutin itu, sayanya di kontrol terus mbak,
karna ketauannya udah hamil kan, sayanya disuruh minum obat ARV,
tetep minum walaupun saya lagi hamil, say amah nurutin aja mbak, trus
udah dikasih tau kalo saya pas ngelahirin nanti harus sesar, gak boleh
ngasih ASI juga. Yaudah deh pas udah mendekati hari H bayinya mau

105
launching, baru dah saya nginep di hotel bintang 5, rumah sakit.. hehe.
3hari sebelum sesar udah nginep di rumah sakit saya mbak, dokter sama
perawat yang nanganin waktu itu kan gak boleh sembarangan mbak,
bisa ketularan HIV juga nanti mereka.” (Informan 4)
Informan juga mengungkapkan perihal perilaku dari beberapa tenaga

kesehatan yang takut menghadapi dirinya. Namun ia lantas tidak berkecil hati, ia

lebih memilih untuk berpikir positif. Menurutnya beberapa tenaga kesehatan yang

ia temui saat itu adalah tenaga kesehatan baru yang masih berstatus mahasiswa

yang tengah magang, sehingga hal yang wajar ketika mereka agak sedikit takut

untuk melayani informan. Hal ini diungkapkan informan dalam wawancara

mendalam berikut ini:

“Waktu itu di rujuknya ke RSCM mbak, hmmm pelayanannya bagus kok


mbak, mungkin disana kan emang udah sering kali ya nemuin pasien
kayak model saya. tapi ada aja sih perawat sama bidan yang kayak takut
banget sama saya, saya minta benerin jarum infusan malah oper-
operan. Masih muda sih, anak- anak mahasiswa yg lagi pada magang
kayaknya.. hehe”. (Informan 4)
Agar lebih memudahkan dalam mencerna hasil wawancara mendalam

mengenai jumlah anak, usia anak, dan status anak terhadap HIV dari Perempuan

terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur,

maka dibuatlah tabel seperti berikut ini :

106
Tabel 5.3
Jumlah Anak, Usia Anak, dan Status Anak terhadap HIV dari Perempuan
dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Jumlah Jenis Usia Anak Status Anak


Informan
Anak Kelamin terhadap HIV

Laki- laki 8 tahun -


Informan 1 2
Perempuan 19 bulan +

Laki- laki 3 tahun -


Informan 2 2
Laki- laki 1 tahun +

8 bulan
(usia saat
Perempuan meninggal, +
Informan 3 2 tahun
2002)

Laki- laki 8 tahun +

Perempuan 16 tahun -

Informan 4 3 Perempuan 12 tahun -

Perempuan 3 tahun -

3 tahun
(usia saat
Perempuan meninggal, +
tahun
Informan 5 3 2006)

Perempuan 9 tahun -

Perempuan 9 tahun -

5.2.3 Sosial Ekonomi Perempuan dengan HIV/AIDS

Infomasi yang peneliti dapatkan dari wawancara mendalam dengan

informan mengenai sosial ekonomi perempuan dengan HIV positif adalah

107
keadaan sosial perempuan dengan HIV positif, baik berupa pekerjaan sebelum

terdiagnosis HIV, pekerjaan setelah terdiagnosis HIV, besar penghasilan

sekarang, keinginan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik, maupun kondisi

hubungan sosialnya dengan masyarakat disekitar perempuan dengan HIV

positif tinggal, baik sebelum terdiagnosis HIV maupun setelah terdiagnosis

HIV.

5.2.3.1 Jenis Pekerjaan Sebelum Terdiagnosis HIV Positif

Sebagian besar informan memiliki pengalaman dalam bekerja.

Adapun jenis pekerjaan dari para informan antara lain: kerja di toko kue,

buruh pabrik, SPG, pembukuan di Bank, kasir restoran, dan pengurus

Gereja. Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan, diperoleh

informasi mengenai jenis pekerjaan informan sebelum terdiagnosis HIV,

adapun hasilnya menyebutkan bahwa empat dari lima informan pernah

bekerja. Hal ini di buktikan dengan kutipan dari hasil wawancara berikut

ini:

“Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6


tahun saya kerja disana…”(Informan 1)
“…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum
nikah….”(Informan 2)
“Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar
baru.” (Informan 3)
“….Kerja di Bank bagian pembukukan ituu gak lama sih Cuma
7 bulan, terus saya pindah sebagai SPG terus sekitar 1 tahun
pindah lagi saya sebagai kasir di California fried chicken itu
paling lama ada sekitar 4 tahun. setelah itu saya menikah dan
tidak melanjutkan bekerja.” (Informan 4)

108
Berbeda dengan empat informan lainnya, satu informan ini

mengungkapkan bahwa sebelum menikah ia tidak memiliki pekerjaan

apapun. Saat setelah menikah dan sebelum dirinya terdiagnosis HIV positif,

ia tidak diberikan izin oleh suaminya untuk menjadi wanita yang bekerja

diluar rumah yang terpaku dengan waktu kerja. ia mengakui bahwa setelah

menikah aktifitasnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan tetap menjadi

pengurus kegiatan organisasi di rumah ibadah yang sudah ia emban

semenjak ia belum memutuskan untuk menikah. Hal ini diungkapkannya

dalam hasil wawancara berikut ini :

“Aktif di Gereja dan cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu


itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5)
Informasi mengenai jenis pekerjaan informan sebelum dirinya

terdiagnosis HIV, peneliti gambarkan dalam tabel di bawah ini, agar lebih

memudahkan dalam mencerna informasi tersebut:

Tabel 5.4
Jenis Pekerjaan Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur Sebelum Terdiagnosis HIV

Informan Jenis Pekerjaan Lama Bekerja

Informan 1 Karyawan Toko Kue Kering 6 Tahun

Informan 2 Buruh Pabrik 2 tahun

Informan 3 SPG 2 tahun

Karyawan Bank, SPG,


Informan 4 5 tahun
Karyawan Restoran

Informan 5 IRT -

109
5.1.3.2 Jenis Pekerjaan Setelah Menikah

Sebagian besar informan setelah menikah, hanya menjadi IRT

karena tidak mendapatkan izin dari suami mereka untuk bekerja. Alasan

suami informan tidak mengizinkan adalah karena suami meminta untuk

fokus mengurus rumah tangga saja atau karena suami khawatir dengan

kondisi kesehatan informan. Adapula yang pada pernikahan ketiganya tetap

menjadi pelayan bar dan WPS. Hal ini dibuktikan dengan wawancara

berikut ini:

“kata suami, udah biarin saya aja yang kerja. Kamu urus
pekerjaan rumah aja” (Informan 1)
“gak dapet izin suami buat kerja” (Informan 2)
“ cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak
ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5)

Dari wawancara diatas terlihat bahwa para informan tidak diberikan

izin untuk bekerja oleh suaminya. Adapula informan yang alasan tidak

diberikan izin bekerja oleh suami karena suaminya telah mengetahui status

HIV yang diderita oleh informan, sehingga khawatir terjadi hal yang tidak

diinginkan apabila informan tetap bekerja, hal ini dibuktikan dalam

wawancara berikut:

“… sama yang kedua saya juga ibu rumah tangga aja, kata
suami takut saya kecapean, soalnya suamikan tau kondisi
saya…”(Informan 4)

110
Terdapat pula informan yang mengakui bahwa setelah berpisah

dengan suami pada pernikahan keduanya, ia memutuskan untuk menjadi

pelayan bar sekaligus WPS, hal ini dibuktikan dalam wawancara berikut ini:

“…sama yang ketiga saya udah jadi pelayan bar plus,


plus..hehe” (Informan 4)

Berdasarkan wawancara dengan informan, bisa ditarik kesimpulan

bahwa setelah informan memutuskan untuk menikah, maka mereka mau

tidak mau harus rela untuk kehilangan pekerjaan yang telah mereka jalani

selama beberapa tahun sebelum menikah, seperti apa yang diinginkan oleh

suami mereka. Namun terdapat informan yang pada akhirnya tidak bisa

hanya diam dirumah tanpa mencari tambahan pemasukan, hal ini dibuktikan

dengan hasil wawancara berikut ini:

“udah dari sebelom sakit juga saya sering bikin kue, hasilnya
lumayan buat nambahin kebutuhan rumah.” (Informan 1)
Dari wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa walaupun tidak

mendapatkan izin dari suami untuk bekerja, namun informan tersebut tetap

berusaha untuk bekerja walaupun hanya bekerja di rumah.

5.2.3.3 Jenis Pekerjaan Setelah Terdiagnosis HIV Positif

Sebagian besar jenis pekerjaan informan sekarang adalah IRT yang

juga memiliki kesibukan lain. Kesibukan lain dari informan antara lain:

membuka usaha kue, aksesoris, nasi uduk, menulis, dan juga aktif dalam

mengikuti kegiatan LSM. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan

kelima infoman, setelah informan terdiagnosis HIV positif. Pekerjaannya

111
pun mengalami perubahan. Ada informan yang mengaku bahwa setelah

terdiagnosis HIV, menjadi lebih sering berada di dalam rumah, dan menjadi

tidak mandiri dari segi ekonomi, karena mengandalkan penghasilan

suaminya untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, seperti yang

diungkapkan oleh salah satu informan dalam kutipan wawancara berkut ini :

“Ibu rumah tangga aja, yang ngandelin pendapatannya suami.


Suami saya kerjanya jadi marketing di perusahaan swasta….”
(Informan 2)
Namun ada pula informan yang mengakui bahwa setelah

terdiagnosis HIV menjadi lebih sering dirumah, menjadi ibu rumah tangga

dengan mecoba berbagai peruntungan dari dunia bisnis yang tengah

digelutinya. Seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:

“Kalo sekarang- sekarang ini mah saya gak kerja, Cuma jadi
ibu rumah tangga aja di rumah, sama palingan bikinin kue
pesenan orang…..”(Informan 1)
“Aku ibu rumah tangga biasa yang nyoba buat usaha bikin
berbagai macam aksesoris, yang banyak distributorin usaha
aksesoris aku juga kan temen- temen dari LSM. Orang di sekitar
rumah kayaknya gak ada yang tau kalo aku usaha aksesoris,
soalnya aku jarang keluar rumah” (Informan 3)
Terlihat dari kutipan wawancara diatas, walaupun telah terdiagnosis

HIV positif dan masih berusahan untuk menutupi status HIV positifnya dari

lingkungan sekitarnya, informan ini tidak patah semangat, ia mulai mencoba

untuk terjun membuat suatu usaha yang mampu menambah penghasilan

untuk kehidupan sehari- harinya, setelah ditinggal meninggal dunia oleh

suaminya. Sementara itu, ada pula informan yang mengungkapkan, bahwa

setelah terdiagnosis HIV positif, ia justru mendapatkan pekerjaan baru,

112
pekerjaan yang mampu memberikan kepuasan batin bagi dirinya juga

mampu menebar manfaat bagi orang lain. Pekerjaan tersebut adalah menjadi

seorang aktivis HIV. Hal ini diungkapkannya dalam hasil wawancara berikut

ini :

“Ibu Rumah Tangga. Saya aktiv jadi pengurus Gereja, Bisa di


bilang saya aktivis HIV juga.” (Informan 5)
Ditemukan pula informan yang mengungkapkan bahwa dirinya

menjadi wanita penghibur setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi

HIV positif. Sebelum menjadi seorang wanita penghibur, ia mengaku

bahwa pada awalnya ia hanya menjadi pelayan di sebuah bar tender,

namun seiring jalannya waktu ia pun ikut terjun menjadi wanita penghibur

di tempat yang sama. Hal tersebut terjadi karena saat itu ia berpikir bahwa

ia terinfeksi HIV ini akibat tertular, jadi ia ikut ingin menularkan virus ini

ke orang lain. Ia mengakui bahwa dirinya sudah menyadari akan

kesalahaannya tersebut, ia telah menyadari bahwa perilakunya tersebut

akan mendzolimi orang lain. Informasi ini didukung dengan kutipan dari

hasil wawancara dengan salah satu informan, berikut hasil wawancaranya:

“Saya dikirim ke Timor Leste tapi sistemnya TKW illegal,


penyelundupan gitu, disana saya kerja di Bar tender gitu, jadi
pelayan sekaligus wanita penghibur…”
“Kenapa saya mau kerja di tempat begituan? Karna waktu itu,
saya ngerasa saya dapet penyakit ini juga gara-gara ketularan
orang, jadi sekalian aja saya nularin juga ke orang lain. Tapi
sekarang saya udah sadar, kalo semua sudah rencana Tuhan,
saya gak boleh mendzolimi orang lain…”
“Udah gitu kan ya dari pas nikah sama suami kedua kan gak
bisa punya anak,, yaudah jadi semakin berani saya.Saya jadi

113
gak takut hamil kalaupun pelanggan saya ada yang gak pake
kondom. Kadang kalo lagi ada yang ngeselin, udah aja saya
ladenin gak pake kondom, biarin aja biar ketularan juga.”
(Informan 4)
Informan tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah ia

terdignosis HIV positif, ia dipercaya oleh beberapa gereja untuk menjadi

narasumber, disana ia diminta untuk menceritakan pengalaman mulai

dari ia terdiagnosis HIV positif. Ia juga menjadi lebih sering menuliskan

pengalaman dan keluh kesahnya menjadi sebuah cerpen dan puisi,

sebenarnya hasil- hasil karyanya tidak ia jual namun pihak gereja

terkadang membeli hasil karyanya. Ia menyampaikan pada peneliti

dengan nada dan ekspresi sedih juga kecewa, bahwa ia sebenarnya

adalah seorang muslim, namun ia tidak pernah diminta untuk menjadi

narasumber di masjid ataupun mushollah. Selain itu ia juga sering sekali

mengikuti kegiatan- kegiatan di LSM atau komunitas HIV. pernyataan-

pernyataan ini didukung oleh kutipan dari hasil wawancara berikut ini:

“…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita pengalaman


saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan
saya suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya muslim loh,
tapi justru saya belum pernah diundang ke masjid….. oiya,
saya juga sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau
komunitas HIV.” (Informan 4)
Informan keempat ini juga memiliki pekerjaan sebagai seorang

pedagang. Ia berjualan nasi uduk bersama ibunya, yang berlokasi di rumah

ibunya. Ia juga menjual tas dari modal yang ia miliki, sistem penjualannya

dengan PO atau pre order, ini dilakukan dengan mencari orang- orang

114
yang akan memesan tas yang ia jual, barulah kemudian ia membelikan tas

tersebut. Hal ini disampaikannya dalam wawancara mendalam berikut:

“…..Jualan. Saya jualan nasi uduk bareng ibu saya di


manggarai, terus juga jualan tas- tas tapi sistemnya pesen trus
dikumpulin dulu, baru saya jalan buat beliin barangnya ke
tanah abang.” (Informan 4)
Agar lebih mempermudah dalam mencerna hasil wawancara

mendalam seperti yang telah dipaparkan, hasil wawancara mendalam

dibentuk kedalam sebuah tabel. Berikut tabel jenis pekerjaan perempuan

dengan HIV/AIDS yang menjadi infoman pada penelitian ini:

Tabel 5.5
Jenis Pekerjaan Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di
Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Setelah Terdiagnosis HIV

Informan Jenis Pekerjaan

Informan 1 IRT, Membuat dan Menjual Kue Kering

Informan 2 IRT

Informan 3 IRT, Membuat dan Menjual Aksesoris

TKI Ilegal di Timor Leste, Bar Tender (Pelayan dan


Informan 4 PSK), Jualan Tas, Membuat dan Menjual Nasi Uduk
bersama Ibu

IRT, Aktif di Gereja dan Sering ikut Acara dari LSM


Informan 5
HIV

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan, dari kelima informan

hanya satu orang yang tidak memiliki pekerjaan setelah terdiagnosis HIV

positif, yaitu infoman kedua, padahal sebelum terdiagnosis HIV positif

informan kedua pernah bekerja selama 2 tahun. Ada pula informan yang

115
sebelum terdiagnosis tidak bekerja namun setelah terdiagnosis HIV positif

justru memiliki pekerjaan, informan tersebut menjadi semakin aktif menjadi

pengurus di rumah ibadahnya hingga setiap bulannya mendapatkan

pemasukkan dari sana, informan juga setelah terdiagnosis HIV positif

mejadi aktif dalam kegiatan- kegiatan di LSM Tegak Tegar.

Informan yang memanfaatkan keahlian dari pendidikan non formal

yang pernah dijalani untuk membuka usaha, ada dua orang. Serta ada pula

informan yang mengakui bahwa dirinya menjadi WPS setelah terdiagnosis

HIV. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar informan tidak

menjadi pengangguran dan bisa tetap mendapatkan pekerjaan sekalipun

dengan membuka usaha sendiri, setelah dirinya terdiagnosis HIV positif.

5.2.3.4 Besar Penghasilan Sekarang

Sebagian besar informan telah memiliki kemandirian dalam

mendapatkan penghasilan tanpa harus begantung pada penghasilan

suaminya, Rentang besar penghasilan infoman perbulan berkisar antara 100

ribu hingga 3 juta rupiah. Hasil dari wawancara mendalam dengan informan

pertama, ia yang mengandalkan usaha kuenya untuk membantu pemasukan

bulanan dalam keluarganya, ia memaparkan bahwa keuntungan hasil

berjualan kue berkisar antara Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) hingga

Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), tergantung dari banyaknya pemesanan dan

pembelian kue di satu bulan tersebut. Berikut informasi pendukung yang

didapatkan dari wawancara dengan informan :

116
“Kalo penghasilan sendiri mah palingan 1 kue Cuma untung
20-40ribu aja per toplesnya. Sekitar 100rb sampe 1 juta
sebulannya. Kalo suami saya gajinya 2 juta….”(Informan 1)
Begitupula dengan ketiga informan lainnya, dari hasil usaha dan

pekerjaan yang mereka tengah geluti, mereka dapat memperoleh

pemasukan pada setiap bulannya. Penghasilan yang mereka dapatkan

memang tidak pasti, tapi setidaknya dengan adanya usaha dan pekerjaan

mereka yang sekarang ataupun dengan aktif ikut serta dalam kegiatan-

kegiatan di LSM, mereka menjadi mampu untuk mandiri dalam segi

ekonomi. Terlebih bagi para informan yang sudah ditinggal meninggal

oleh suaminya, mereka memang dituntut untuk dapat mandiri dari segi

ekonomi, sebab mereka memang tidak bisa bergantung pada orang lain,

sehingga pemasukan yang mereka dapatkan sekarang ini, merupakan

penghasilan utama mereka. Berbeda dengan pengakuan satu informan

berikut ini:

“….Penghasilan suami saya 900ribu sebulan….”(Informan 2)


Satu informan tersebut mengakui bahwa ia tidak memiliki sumber

pendapatan lainnya selain dari pendapatan suaminya, sehingga ia sangat

tinggi dalam kebergantungan ekonomi pada suaminya. Untuk lebih

mempermudah dalam mencerna hasil wawancara pada informan dalam

penelitian ini, berikut tabel berdasarkan besar penghasilan perbulan dari

informan dan sumber pemasukkannya:

117
Tabel 5.6
Besar Penghasilan Perbulan dan Sumber Pendapatan dari Perempuan
dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Informan Besar Penghasilan Sekarang Sumber


Pemasukkan
(Perbulan)

2 Juta Dari Suami


Informan 1
100 ribu - 1 juta Dari Usaha Kue

Informan 2 900 ribu Dari Suami

Dari Usaha
Informan 3 1 - 2 Juta
Aksesoris

Dari Jualan Tas


Informan 4 1 - 3 Juta dan Usaha Nasi
Uduk

Dari Gereja dan


Informan 5 1- 2 Juta
dari LSM

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa empat dari lima

informan yang diwawancarai, sudah memiliki kemandirian dalam

pemasukkan pada setiap bulannya, tanpa harus bergantung dengan suami

ataupun pasangan ataupun orang lain. Hanya satu informan yang masih

bergantung pada suami dalam hal pemasukkan bulanan, sebab tidak

memiliki pemasukkan bulanan selain dari suaminya.

5.2.3.5 Keinginan untuk Mendapatkan Pekerjaan yang Lebih Baik

Sebagian besar informan memiliki keinginan untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang telah mereka dapatkan,

kendala yang dilalui dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik antara

118
lain: tidak dapat izin bekerja dari suami, lingkungan kerja yang tidak

mendukung, serta usia yang tidak lagi muda. Berdasarkan hasil wawancara

mendalam menurut beberapa informan, kenginan untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik didasari dari kebutuhan hidup yang semakin hari

semakin meningkat. Seperti dalam kutipan hasil wawancara berikut ini :

“Pastinya adalah mbak, gak cukup kalo ngandelin


pendapatan yang sekarang. Belom bayar kontrakkan, belom
bayar cicilan motor suami saya, buat kehidupan sehari-
harinya mah tinggal sisanya aja. Cukup gak cukup, untuk saat
ini memang harus di cukup- cukupin.” (Informan 1)
Pengakuan yang hampir sama pun ditemukan pada informan

lainnya, ia merasakan pendapatannya dalam sebulan, sangatlah kurang

untuk memenuhi kebutuhan sehari- seharinya, sehingga ia menginginkan

pekerjaan lain yang lebih baik dari yang sekarang. Seperti dalam

wawancara berikut:

“…. 900ribu sebulan mah kurang sebenernya mbak buat


kehidupan sehari- hari. Kayaknya buat belanja ikan atau
ayam sehari aja bisa 80-90ribu. Yaaa, saya sih beli tempe
sama tahu aja buat lauk sehari- hari, kalo lauknya sekedar itu
aja yaa cukup lah uang segitu.” (Informan 2)
Menurut salah satu informan, faktor usia membuatnya sulit

dalam mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi

kebutuhannya. Seperti dalam informasi yang didapatkan dari hasil

wawancara berikut ini :

“Ada, tapi saya sadar diri aja mbak, usianya udah tua gak
bisa juga ngelamar kerja dimana- mana.” (Informan 5)

119
Sementara itu ada informan yang mengaku terhambat dengan

perizinan dari suami, juga kondisi anak dan suami yang harus terus

didampingi, sehingga mempengaruhi ruang gerak informan dalam

mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari dalam keluargannya. Berikut hasil wawancaranya :

“…..Pengen punya kerjaan yang bisa nambahin penghasilan,


tapi suami gak ngizinin. Saya juga bingung masih punya anak
kecil, gak ada yang ngurusin. Suami saya juga sakit- sakitan
mulu sekarang, udah gak bisa nyari kerja tambahan, lebih
banyak istirahatnya kalo sekarang- sekarang ini.…”

(Informan 2)
Sedangkan menurut salah satu informan, keinginan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang

terhambat dengan statusnya sebagai perempuan dengan HIV positif.

Informasi ini dibuktikan dengan kutipan hasil wawancara berikut ini :

“Pengen kerja di tempat lain, tapi yang mengerti dengan


keadaan kita yang seperti ini kan hanya temen- temen sesama
ODHA, kalo kita sakit gak perlu izin sampe ngemis- ngemis, gak
usah pake ngasih alesan panjang lebar, bos kan udah tau dan
udah ngerti. Coba kalo kerja di perusahaan lain, pasti bos
bakalan ngomel.” (Informan 3)
Berdasarkan hasil wawancara yang sudah di paparkan dapat

disimpulkan bahwa sebagian informan memiliki keinginan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang ini, namun

banyaknya variasi hambatan yang dialami informan, membuat dalam

kenyataannya informan belum bisa mewujudkan keinginan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi.

120
5.2.3.6 Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar

Berasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan mengenai

keaktifan informan di lingkungan sekitar, peneliti membaginya dalam dua

kategori. Kategori pertama merupakan keaktifan informan dengan lingkungan

sekitar sebelum informan terinfeksi HIV. kategori kedua merupakan keaktifan

informan dengan lingkungan sekitar setelah terinfeksi HIV.

5.2.3.6.1 Keaktifan di Lingkungan Sekitar Sebelum Terdiagnosis HIV

Positif

Sebagian besar informan sebelum terinfeksi HIV merupakan pribadi

yang aktif bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Menurut beberapa

informan yang didapat dari hasil wawancara, bahwa sebelum terinfeksi HIV

kondisi informan dengan lingkungan sekitar terbilang aktif, hal ini didukung

oleh kutipan hasil wawancara berikut :

“Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6


tahun saya kerja disana. Setelah menikah saya lebih banyak di
rumah, palingan jadi aktif ikut pengajian aja di masjid deket
rumah.” (Informan 1)
Dari kutipan wawancara diatas diperoleh informasi bahwa

informan setelah menikah menjadi tidak bekerja dan aktif dalam

mengikuti pengajian di masjid terdekat dari tempat tinggalnya. Informan

lainnya juga merasakan hal yang sama, ia menjadi tidak bekerja setelah

menikah. Namun ia tergolong cukup aktif di lingkungan tempat

tinggalnya, terlebih di lingkungan tempat tinggalnya masih merupakan

121
saudara- saudaranya yang juga bertempat tinggal di lingkungan tersebut.

Seperti dalam kutipan wawancara ini:

“…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum nikah. Abis
nikah saya gak di bolehin kerja lagi sama suami, jadi ibu rumah
tangga aja.yang gaulnya yaa sama ibu- ibu rumah tangga
lainnya di sekitar rumah. Di sekitar rumah juga masih pada
keluarga semua” (Informan 2)
Hal yang sama juga dirasakan oleh informan yang satu ini, ia tidak

diizinkan untuk bekerja setelah menikah oleh suaminya, infoman ini pun

terbilang aktif di komunitas keagamaannya, seperti pengakuannya dalam

wawancara berikut ini:

“Aktif di Gereja dan cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu


itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5)
Namun, menurut beberapa informan lainnya dalam wawancara,

kondisi informan dengan ingkungan sekitar memang tergolong tidak aktif,

akibat sibukannya semasa masih bekerja yang membuatnya tidak memiliki

banyak waktu di rumah, sekalipun ia berada dirumah, waktunya ia

manfaatkan untuk beristirahat bukan untuk bersosialisasi keluar rumah.

Informasi ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut :

“Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar baru.
Aku dirumah juga kalo udah pulang, terus langsung tidur
karena capek. Makannya aku di rumah gak ikutan apa- apa dan
gak bergaul juga sama orang- orang di sekitar lingkungan
rumah. Emang dari dulu tuh aku begitu, dirumah aku diem aja,
jadi anak rumahan.” (Informan 3)
Pengakuan ketidakaktifan di lingkungan sekitar juga diakui oleh

informan ini, setelah menikah ia mengikuti suaminya, yang tempat

122
tinggalnya terus berpindah- pindah tempat tinggal. Seperti dalam kutipan

wawancara berikut:

”Gak deket juga sebenernya sama orang disekitar rumah,


soalnya kan aku ikut terus sama suami, pindah- pindah
tinggalnya…”(Informan 4)
Jadi berdasarkan informasi- informasi yang sudah dipaparkan,

diperoleh kesimpulan bahwa dari kelima informan sebagian besar memiliki

keaktifan dengan lingkungan sekitar saat belum mengetahui dirinya

terinfeksi HIV.

5.2.3.6.2 Keaktifan di Lingkungan Sekitar Setelah Terdiagnosis HIV

Positif

Sebagian besar informan menunjukkan ada perubahan keaktifan

dengan lingkungan sekitar setelah HIV positif. Berdasarkan hasil wawancara

mendalam pada informan dalam penelitian ini, beberapa informan

menyatakan bahwa informan sengaja masih merahasiakan status HIV nya

dengan rapat, sehingga lingkungan sekitar belum mengetahui status HIV

pada dirinya, dan inilah yang menyebabkan tidak terjadi perubahan dalam

berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Informasi ini dikung oleh hasil

wawancara berikut ini :

“Saya masih aktif Pengajian, masih sering ngobrol sama


tetangga, kalo sayanya gak ngobrol susah saya dapet orderan
buat kue. Ini juga masih saya rahasiain kalo saya kena HIV.
Ngeri pelanggan pada kabur Mbak, kan lumayan pemasukkan
kue saya walaupun cuma dikit juga.” (Informan 1)

123
Dari wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa informan pertama

dalam penelitian ini sangat berusaha sekali menutupi status HIV yang telah

menginfeksi dirinya. Hal ini terpaksa ia lakukan sebab ia tidak ingin orang

disekitarnya menjauhinya, terlebih ia memiliki usaha kue yang bisa untuk

menambah pemasukkan dalam memenuhi kehidupan sehari- hari ia dan

keluarganya. Baginya, lebih baik ia menutup rapat- rapat status HIV dalam

dirinya daripada pelanggan kuenya kabur akibat takut tertular HIV.

“Tadinya sering ngobrol bareng tetangga, ngerumpi- ngerumpi


lah, namanya juga ibu-ibu, hehe. Ikutan acara di sekitar rumah
juga sering, sekarang jadi males mau ikutan. Takut kalo
tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom siap saya”
(Informan 2)
Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan informan yang selain

menutupi status HIV pada dirinya juga menjaga sekali interasi dengan

lingkungan sekitar, karena tidak ingin lingkungan sekitar mengetahui status

HIV nya. Hal ini dinyatakan dalam kutipan hasil wawancara berikut ini :

“Dari dulu aku mah emang gak deket sama tetangga, acara-
acara di sekitar rumah juga aku gak pernah tau, karna kan aku
emang jarang di rumah, kerja mulu, sampe rumah malem, udah
tepar. Sekarang pun sama, gak aktiv di sekitar rumah. Yang
banyak distributorin usaha aksesoris aku juga kan temen- temen
dari LSM.” (Informan 3)
Sementara itu, disaat hampir semua informan menutup status HIV

pada dirinya, dua informan membuka status HIV pada lingkungan sekitar.

Hubungan dengan lingkungan sekitarnya pun tergolong aktif. Informasi ini

dibuktikan dengan hasil wawancara berikut :

”…..Pas masih sama suami, pindah- pindah tinggalnya…..”

124
“…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita pengalaman
saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan saya
suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya muslim loh, tapi
justru saya belum pernah diundang ke masjid….. oiya, saya juga
sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau komunitas
HIV.” (Informan 4)
Dari wawancara dengan informan, diketahui bahwa informan

kadang diminta untuk menjadi narasumber dalam berbagi kisah dan

cerita hidupnya menjadi seorang perempuan dengan HIV positif di

Gereja, padahal informan memiliki keyakinan beragama islam, informan

tidak memilih- milih tempat dalam berbagi kisah hidupnya agar menjadi

pembeajaran banyak orang, justru informan menyayangkan bahwa dia

belum pernah samasekali mendapatkan tawaran menjadi narasumber dari

Masjid, bahkan Masjid terdekat dari tempat tinggalnya pun tidak pernah

memintanya untuk menjadi narasumber.

Informan lainnya yang sudah open status terhadap orang sekitar

adalah informan ke-5 daam penelitian ini, informan ini mengakui bahwa

dirinya telah aktif menjadi pengurus Gereja semenjak masih berusia

remaja. Terdiagnosisnya human immunodeficiency virus yang

menginfeksi tubuhnya pernah membuatnya terpuruk, namun ia tak ingin

terus- menurus bersedih menerima takdir hidup, justru akibat

terdiagnosis HIV positif membuatnya sering sekali diminta menjadi

pembicara untuk sekedar berbagi mengenai HIV, ia pun bersyukur

karena tidak ada orang disekitarnya yang melakukan deskriminasi

terhadap dirinya, justru ia senang bisa bermanfaat untuk orang banyak,

125
karena bisa berbagi kisah inpiratif yang nyata ia telah alami sebagai

pembelajaran bagi orang lain. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Paling saya aktivnya di gereja deket rumah Mbak, emang


dari sebelum ketauan HIV Positif saya udah aktiv sama
kegiatan- kegiatan gereja, mulai dari saya remaja. Sampe
sekarang saya juga masih aktiv di gereja... sering banget
diminta buat jadi pembicara untuk sekedar sharing mengenai
HIV.. Puji Tuhan orang- orang disekitar saya gak ada yang
mendeskriminasi saya, justru mereka banyak yang seneng
dengerin cerita saya, inspiratif katanya…. “
“…. Dan sering di ajak juga sama temen- temen LSM buat
ikutan acara- acaranya” (Informan 5)
Dengan demikian, berdasarkan informasi- informasi dari hasil

wawancara mendalam kepada para informan, dapat disimpulkan bahwa

sebagian besar informan tetap aktif atau menjadi aktif di lingkungan

sekitarnya setelah terinfeksi HIV, walaupun beberapa informan masih

menutup statusnya di lingkungan sekitar. Agar lebih memudahkan dalam

mecerna informasi dari hasil wawancara mengenai keaktifan informan

dengan lingkungan sekitar sebelum dan sesudah terinfeksi HIV,

dibuatkan tabel sebagai berikut:

126
Tabel 5.7
Keaktifan Perempuan dengan HIV Positif yang Berobat di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur dengan Lingkungan Sekitar Sebelum dan
Sesudah Terinfeksi HIV

Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar

Sebelum Setelah Terdiagnosis


Informan
Terdiagnosis HIV HIV

Aktif Tidak Aktif Tidak

Informan 1 V V

Informan 2 V V

Informan 3 V V

Informan 4 V V

Informan 5 V V

Dengan demikian, berdasarkan informasi- informasi dari hasil

wawancara mendalam kepada para informan, dapat disimpulkan bahwa

keaktifan informan di lingkungan sekitar sebelum dan setelah terinfeksi

HIV, sebagian besar informan mengalami perubahan keaktifan. Terdapat

dua informan yang tetap aktif di lingkungan sekitarnya baik sebelum

maupun setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sementara itu,

ada satu informan yang memang tidak aktif di lingkungan sekitarnya sejak

awal sebelum terdiagnosis HIV dan semakin menutup dirinya sehingga tidak

mau berusaha untuk aktif di lingkangan sekitar.

Satu informan lainnya awalnya memiliki keaktifan di lingkungan

sekitar, namun setelah terdiagnosis HIV positif informan ini menjadi malu

127
untuk kembali aktif di lingkungan rumahnya, sengaja menjauh dari orang-

orang sekitar agar tidak diketahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif.

Namun ada pula informan yang justru sebelum terdiagnosis HIV adalah

pribadi yang tertutup dan tidak mudah untuk bergaul dengan orang di

lingkungan sekitarnya karena seringnya informan berpindah tempat tinggal,

ia menjadi pribadi yang aktif dan mudah bergaul setelah mengetahui bahwa

dirinya terdiagnosis HIV positif.

5.2.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Perempuan dengan HIV/AIDS

Riwayat HIV/AIDS pada keluarga informan, dilihat dari sisi ada atau

tidaknya riwayat HIV/ AIDS dalam keluarganya. Selain itu juga dilihat pola

asuh dari orang tua informan. Dari semua informan, hanya suaminya saja yang

memiliki riwayat HIV/AIDS, keluarga yang lainnya tidak ada yang memiliki

riwayat HIV/AIDS. Pada riwayat keluarga dengan HIV/AIDS, seluruh

informan kompak menjawab bahwa jika keluarga yang dimaksud disini

merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan adik, serta

saudaranya yang tinggal satu rumah dengannya, maka riwayat itu tidak

ditemukan dalam keluarga setiap informan. Kejadian ini terbukti dengan

pengakuansalah satu informan dalam kutipan wawancara mendalam berikut

ini:

“Setau saya sebelumnya tidak pernah ada keluarga saya yang sakit
kayak saya ini, baru saya ini yang ketularan sakit kayak gini,
terularnya bukan melalui sikap saya yang bandel atau gimana-
gimana, tapi justru karena ketularan suami.” (Informan 5)

128
Sebagian besar dari informan memiliki pola asuh dalam keluarga yang

baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, juga dalam penanaman

nilai agama. Dari hasil wawancara mendalam juga didapati bahwa pola asuh

orang tua juga turut memberikan andil dalam penentu sikap dan perilaku

informan, sebagian besar informan memang mendapatkan pola asuh yang

cukup baik dari orang tuanya, pola asuh yang lebih mengedepankan keyakinan

dalam beragama. Seperti dalam kutipan wawancara berikut:

“Keluarga saya keagamaannya bisa dibilang cukup tinggi, saya


juga dari kecil udah diajarin untuk mengenal Tuhan dan harus bisa
banyak berbagi manfaat untuk umat Tuhan lainnya”. (Informan 5)

Berbeda dengan pola asuh sebagian besar informan lainnya, pola asuh

keluarga salah satu informan yang dibesarkan dalam keluarga ibu yang

merupakan seorang janda dan cenderung kurang memberikan perhatian dan

memberikan kebebasan kepada informan, karena kesibukannya dalam bekerja

dan mencari nafkah menggantikan tugas ayahnya yang telah meninggalkan

informan beserta keluarga sedari informan duduk di bangku sekolah dasar. Ia

juga mengakui bahwa hal ini yang menyebabkannya menjadi pribadi yang

bebas dalam mencoba berbagai hal dalam kehidupannya. Hal ini sejalan

dengan pengakuan informan dalam wawancara berikut ini:

“Yaaa namanya juga kan anak muda yaa masih labil- labilnya,
diajak temen nyoba- nyoba ini itu yaa mau aja.. apa lagi orang tua
saya, bokap udah meninggal dari saya SD, kalo nyokap yaa tiap
hari sibuk kerja, kerja, dan kerja. Tipikal nyokap juga yang cuek
bebek gitu, terserah anak- anaknya deh mau ngelakuin apa aja
yang jalanin kan kita sendiri, yang nanggung resiko juga yaaa kita
sendiri.” (Informan 4)

129
Akibat dari pola asuh orang tua informan dalam mendidik, informan

mengaku bahwa dirinya sempat terjerumus masuk kedalam pergaulan bebas

dan sempat pula mencoba beberapa jenis narkoba yang cara penggunaannya

dengan menggunakan jarum suntik. Tidak tanggung- tanggung, selain informan

menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman- temannya, ia juga

menggunakannya saat masih usia remaja, saat ia masih duduk di bangku

sekolah menengah, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara mendalam

berikut ini:

“Pas jaman- jaman SMK….”


“ ….Saya gak tau penyebab HIV saya apa. Eee Bisa jadi gara-
gara saya make jarum suntik bareng- bareng …”
“Cuma, saya memang pernah, waktu SMK dulu, nyoba narkoba,
putaw, heroin, ganja dan itu pake jarum suntikan yang gak tau
juga deh itu steril apa enggak.nggak ngerti juga saat itu saya
sudah kena HIV apa belom…”(Informan 4)

Latar belakang keluarga lainnya yang mendukung terjadinya perilaku

terdiagnosis lainnya juga terlihat dari hasil jumlah saudara kandung yang

dimiliki, hal ini peneliti dapatkan saat informan mengisi informasi data diri di

lembar wawancara mengenai jumlah saudara kandung dari perempuan

terdiagnosis HIV positif. Dari informasi mengenai jumlah saudara kandung

yang dimiliki oleh perempuan dengan HIV/AIDS terlihat bahwa tiga dari

informan merupakan anak pertama dan dari semua informan memiliki saudara

kandung, dengan demikian, informan dalam penelitian ini tidak ada yang

merupakan anak tunggal, bahkan terdapat informan yang memiliki saudara

kandung hingga 6 (enam) bersaudara. Untuk mempermudah dalam

130
mendeskripsikan hasil terkait latar belakang keluarga informan, maka diperoleh

hasil sebagai berikut:

Tabel 5.8
Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga, Pola Asuh Orang Tua, serta Jumlah
Saudara Kandung dari Perempuan dengan HIV/AIDS di Puskesmas
Kramat Jati Jakarta Timur

Keluarga yang
Jumlah Saudara
Informan Memiliki Riwayat Pola Asuh Orang Tua
Kandung
HIV
Suami Cukup baik dalam
(terdiagnosis memberikan perhatian
1 dari 2
Informan 1 setelah dan cukup baik dalam
bersaudara
informan) menanamkan nilai
agama

Suami Cukup baik dalam


(terdiagnosis memberikan perhatian
2 dari 4
Informan 2 setelah dan cukup baik dalam
bersaudara
informan) menanamkan nilai
agama

Suami Kurang perhatian,


(terdiagnosis cenderung diberikan
4 dari 6
Informan 3 setelah kebebasan, kurang
bersaudara
informan) dalam penanaman nilai
agama.

Suami Kurang perhatian,


(terdiagnosis cenderung diberikan
1 dari 3
Informan 4 sebelum kebebasan, kurang
bersaudara
informan) dalam penanaman nilai
agama.

Suami Cukup baik dalam


(terdiagnosis memberikan perhatian
1 dari 2
Informan 5 setelah dan sangat baik dalam
bersaudara
informan) menanamkan nilai
agama

131
5.2.5 Pengetahuan HIV/AIDS

Gambaran pengetahuan mengenai HIV ini tergambarkan dari hasil

wawancara mendalam dengan pertanyaan- pertanyaan yang meliputi: pengetahuan

mengenai singkatan HIV, pengetahuan mengenai cara penularan HIV,

pengetahuan mengenai cara pencegahan HIV, dan pengetahuan mengenai cara

pengobatan HIV.

5.2.5.1 Pengetahuan Mengenai Singkatan HIV

Sebagian besar informan memiliki pengetahuan mengenai singkatan

HIV yang kurang, sehingga masih ragu dalam menjawab bahkan ada yang

tidak tahu. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan diperoleh

informasi mengenai pengetahuan singkatan HIV yang beragam. Ada

informan yang memang belum mengetahui apa itu HIV dan bahkan belum

mencari tahu apa itu singkatan dari HIV, padahal informan sudah mengetahui

bahwa ia menderita HIV positif, seperti informan berikut ini:

“Gak tau saya, dan gak pernah juga saya mencari


tau….”(Informan 1)

Dari kelima jawaban dari informan, pengetahuan mengenai singkatan

dari HIV yang tepat hanya di jawab oleh satu orang saja, yaitu informan 5.

Dua informan lainnya, yakni informan ketiga dan informan keempat

jawabannya mendekati benar, namun masih ada keraguan menjawab dari

informan ketiga. Sementara informan pertama dan informan kedua memiiki

pengetahuan mengenai singkatan dari HIVnya masih sangat kurang.

132
5.2.5.2 Pengetahuan Mengenai Cara Penularan HIV

Berdasarkan wawancara terhadap informan, dapat tergambarkan

bahwa sebagian besar informan sudah mengetahui cara- cara penularan dari

HIV. Adapun cara penularan HIV yang diketahui oleh informan antara lain:

penularan dari penggunaan narkoba suntik, jarum suntik yang tidak steril,

transfusi darah, hubungan seks tidak aman, melalui produk darah, penularan

HIV dari ibu ke anak melalui kehamilan, persalinan, dan ASI. Hanya satu

informan saja yang mengaku tidak mengetahui bagaimana cara penularan

HIV, hal ini didukung dengan wawancara berikut:

“Gak tau.”(Informan 1)
Sementara itu, sebagian besar informan lainnya sudah memahami

terkait cara penularan HIV. Dengan informan mengetahui cara penularan HIV,

maka akan semakin mudah informan menjaga agar HIV yang ada di dalam

tubuhnya tidak tertular ke orang lain. Seperti inilah beragam jawaban dari

keempat informan lainnya mengenai pengetahuan mereka terhadap cara

penularan HIV :

“Penularannya bisa lewat narkoba suntik, bisa lewat hubungan seks


sama orang yang HIV, transfusi darah dari orang yang HIV, dari
ASI juga bisa.” (Informan 2)
Dari kutipan wawancara diatas, terlihat bahwa informan sudah

memahami cara penularan HIV, baik secara transmisi seksual maupun

transmisi non seksual seperti dengan kontak darah melalu transfusi ataupun

jarum suntik yang tidak steril. Informan juga telah memaparkan bahwa ASI

juga dapat menjadi cara penularan HIV dari ibu yang memberikan ASI ke

133
bayi yang diberikan ASI. Adapula informan yang turut memaparkan bahwa

penularan dari ibu ke anak juga dapat menular saat proses persalinan.

Seperti dalam kutipan wawancara berikut:

“…..dari ibu menular ke anaknya juga bisa nularin HIV lewat


persalinan sama ASI.” (Informan 5)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dari empat

informan mengenai cara penularan HIV, sudah cukup baik. Jawaban keempat

informan sudah menyinggung cara penularan HIV baik dengan melalui

hubungan seksual, juga melalui hubungan non seksual, serta melalui

penularan dari ibu yang HIV ke anaknya.

5.1.5.3 Pengetahuan Mengenai Cara Pencegahan HIV

Adapun pencegahan yang diketahui informan terangkum dalam ABCDE

(Abstinent, Be faithful, Condom, no Drugs, Education) dan pencegahan

penularan ibu ke anak dengan program PMTCT/PPIA. Hasil penelitian terkait

pengetahuan informan mengenai cara pencegahan HIV dapat tergambarkan

dari kutipan hasil wawancara berikut ini :

“Pake kondom kalo berhubungan seksual dan gak pake narkoba.


Terus periksa ke dokter supaya tau kena HIV apa enggak.”
(Informan 1)
Dari kutipan wawancara diatas, tergambarkan bahwa pengetahuan

informan mengenai cara pencegahan HIV, agar tidak menularkan ke orang

lain yakni dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tidak

menggunakan narkoba, sebab narkoba yang dimasukan kedalam tubuh

134
dengan menggunakan jarum suntik, jika jarum suntiknya digunakan bersama

dan tidak di sterilkan terlebih dahulu akan menjadi media penularan HIV

pada orang lain.informan juga menyampaikan bahwa pemeriksaan diri untuk

mengetahui status HIV positif dalam diri seseorang juga di butuhkan dalam

pencegahan HIV. Fungsinya agar dapat melakukan pencegahan HIV sedini

mungkin.

Informan lainnya juga menyarankan agar tidak mengkonsumsi narkoba,

tidak melakukan hubungan seks sembarangan, dan apabila ibu telah

mengetahui bahwa drinya terdiagnosis HIV, sementara ia memiliki bayi,

akan lebih aman bila tidak memberikan bayinya ASI. Informan juga

menyarankan agar lebih berhati- hati lagi dalam menerima transfusi darah,

karena HIV bisasaja terdapat pada darah yang akan di berikan pada

penerima donor darah. Hal ini disampaikan informan dalam wawancara

berikut:

“Jangan narkoba, jangan berhubungan seks sembarangan, kalo


punya anak bayi tapi ibunya positif HIV jangan kasih ASI, trus
kalo mau nerima transfusi darah harus lebih hati- hati lagi.”.
(Informan 2)
Informan lainnya juga menjelaskan bahwa jika ingin mencegah HIV

dilakukan dengan setia terhadap pasangan, kemudian menggunakan kondom

saat melakukan hubungan seksual, jika memiliki perilaku bergonta- ganti

pasangan. Dan juga tidak menggunaka narkoba. Berikut kutipan wawancara

dengan informan:

135
Informan 5
“Cara pencegahannya dengan setia sama pasangan, kalo emang
punya perilaku buruk kayak gonta- ganti pasangan pake kondom
juga, gak pake narkoba, perillaku nya harus sehat supaya
terhindar dari HIV.”
Ada pula yang menjelaskan cara pencegahan HIV hingga ke program

PMTCT atau program PPIA. Program tersebut merupakan program

pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan angka kejadian HIV pada

anak, yang pada umumnya lebih sering tertular dari ibu kepada anaknya

berikut kutipan wawancaranya:

“Pencegahannya selama ini tidak menggunakan jarum suntik


yang tidak steril,terus eee hindari transfusi darah, terus ehmm..
hindari seks bebas tanpa menggunakan pengaman, teruus yang
dari ibu ke anak ituu eee apa tuh namanya, pencegahan gitu deh,
oh iya PMTCT.” (Informan 4)

Sementara itu, terdapat pula informan yang menjabarkan mengenai

pencegahan dengan metode ABCD, yang merupakan singkatan dari

abstinent, be faithful, condom, drugs, dan education. Program ABCDE ini

juga merupakan bentuk ajakan pemerintah agar orang- orang yang telah

tertular HIV tidak menularkan HIV kepada orang lain, begitujuga bagi yang

belum tertular HIV, agar terhindar dari enularan HIV positif.Seperti dalam

wawancara berikut:

“Yaaa.. dengan setia sama pasangan, hubungan seks yang tidsk


aman dengan menggunakan kondom, pokoknya pencegahannya
pake ABCDE deh.. A nya abstinent ituh maksudnya gak ngelakuin
seks bebas, B nya Be faithful ituu maksudnya musti setia sama
pasangan, C nya pake kondom, D nya Drugs di jauhin jangan di
pake, E nya apa yah lupa.. oiya edukasi tentang HIV. Udah deh
pencegahaannya pake ABCDE ajah.” (Informan 3)

136
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara, bahwa kelima informan

sudah mengetahui cara pencegahan HIV, baik melalui pencegahan seksual,

seperti tidak melakukan seks bebas, setia terhadap pasangan, dan

menggunakan kondom bila memiliki perilaku buruk bergonta- ganti pasangan.

Dalam pencegahan HIV secara non seksual, para informan juga telah

mengetahui apa saja yang harus dilakukan, seperti tidak menggunakan

narkoba suntik, serta menghindari transfusi darah agar dirinya tidak menjadi

penyebab penularan HIV kepada orang lain. Informan ke-3 juga menyinggung

mengenai program ABCDE dalam salah satu cara pencegahan HIV dan

informan ke-2 serta informan ke- 4 juga menambahkan pencegahan melalui

transmisi ibu ke anak dalam pencegahan HIV yang lebih dikenal dengan

program PMTCT atau PPIA.

5.2.5.4 Pengetahuan Mengenai Cara Pengobatan HIV

Adapun cara pengobatannya dengan terapi ARV secara teratur. Adapula

informan yang menyatakan cara lain dari pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan obat herbal dan pengobatan alternatif bagi yang takut dengan

efek samping dari ARV. Berdasarkan wawancara mendalam kepada para

informan, telah mengetahui jenis serta cara pengobatan HIV, berikut hasil

wawancara peneliti kepada para informan :

“Pengobatannya ituu ada obatnya itu namanya ARV (anti


retroviral virus)…” (Informan 4)
Dari kutipan wawancara diatas, informan telah mengetahui mengenai

cara pengobatan HIV, yaitu dengan menggunakan ARV. Begitupula dengan

137
informan- informan lainnya yang telah mengetahui pengobatan yang

digunakan dalam mengatasi HIV positif. Informan lainnya menambahkan

bahwa dengan pola hidup yang sehat juga dapat membantu meringankan

beban pada penderita HIV positif, pastinya dengan dibarengi pula dengan

pengkonsumsian ARV secara teratur. Seperti dalam kutipan hasil

wawancara berikut:

“Yaaa, harus di ubah perilaku buruknya pake pola hidup yang


sehat. Minum ARV juga secara teratur.” (Informan 5)
Ada pula informan yang mengetahui bahwa ada solusi lain dalam

pengobatan HIV, selain dengan menggunakan terapi ARV, yakni dengan

menggunakan pengobatan herbal. Berikut hasil wawancaranya :

“Kalo pengobatannya, pake obat- obatan terapi HIV, namanya


apa yaa? Saya lupa. ARV kalo gak salah namanya Pokoknya di
minumnya harus teratur…. saya juga pernah baca sih ada
pengobatan herbal gitu yang bisa juga buat ngobatin
HIV…..”(Informan 1)
Bahkan, menurut informasi dari salah satu informan ini, banyak

ODHA yang takut terhadap efek samping dari terapi ARV, sehingga lebih

memilih untuk menggunakan terapi alternatif. Seperti hasil wawancara berikut

ini :

“Pengobatan sekarang? Kita terapi melalui ARV. Tapi banyak


tuh ibu- ibu, temenku, dia make terapinya pake alternatif gitu
soalnya takut sama efek sampingnya ARV.” (Informan 3)
Mengenai cara pengobatan HIV, setiap informan sudah menguasai

bagaimana jenis dan cara pengobatan HIV yang benar, yaitu dengan

menggunakan terapi ARV. Ada pula informan yang megetahui bahwa dalam

138
pengobatan HIV bisa dengan menggunakan pengobatan herbal, bahkan dari

pemaparan dari salah satu informan, dapat tergambarkan bahwa masih banyak

ODHA yang menggunakan obat herbal dalam proses pengobatan HIV dan

tidak melakukan terapi ARV, sebab takut akan efek samping dari penggunaan

terapi ARV.

5.2.6 Agama

Diantara masyarakat ada yang berpandangan bahwa agama untuk masalah

HIV/AIDS tidak akan banyak membantu, sebagian orang bahkan alergi untuk

memperbincangkan agama yang berkaitan dengan masalah HIV/AIDS, karena

dianggap sebagai bentuk penghakiman dan kutukkan atas perbuatan- perbuatan

buruk yang pernah di lakukan oleh orang- orang yg telah terinfeksi HIV. Adapun

karakteristik berdasarkan agama ini meliputi jenis agama dan perubahan ketaatan

dalam beribadah sebelum dengan setelah informan beserta pasangan terdiagnosis

HIV positif.

5.2.6.1 Jenis Agama yang Dianut

Berdasarkan hasil wawancara mendalam mengenai jenis agama yang

dianut oleh informan dan pasangannya di peroleh bahwa sebagian besar informan

dan pasangannya memiliki agama yang sama yaitu islam, informasi ini didukung

dengan jawaban informan dari hasil wawancara berikut:

“Saya islam, pasangan Islam juga. Tapi pas dulu, sebelom tau kita
HIV mah masih bolong- bolong sholatnya, cuek gitu deh mbak.”
(Informan 1)
“Aku islam mbak.. suami aku dulu agamanya islam, tapi yaa gitu deh
kelakuannya sholat nggak, ngaji nggak, malah mabok- mabokkan

139
seringnya, pake narkoba juga kan dia. Sebelas dua belas deh sama
saya mbak. emang deh jodoh tuh emang cerminan diri kita. Eh, tapi
saya gak mabok sama narkoba sih padahal.” (Informan 3)
“Di KTP sih saya islam, tapi saya yaaa gitu deh, kalo lagi mau aja
saya sholat, sama kalo lagi inget. Hehe.. Suami saya islam semua
sampe pasangan saya yang sekarang juga islam, lebih tepatnya islam
KTP kali yah mbak? di KTP doang ada tulisannya. hehe”
(Informan 4)
Berdasarkan jawaban dari ketiga informa, mereka mengakui bahwa agama

yang dianut oleh dirinya dan pasangannya adalah islam, tetapi dari ketiga

informan ini, sebagian besar secara tidak langsung mengakui bahwa mereka

sangat jauh dari agama yang dianutnya. Sementara itu dua informan lainnya

mengakui bahwa menganut agama Kristen, hal ini di buktikan dalam hasil

wawancara berikut:

“Protestan mbak, Kristen Prostestan…. Suami juga protestan”


(Informan 2)
“Agamanya kristen saya mbak…..Suami kristen juga” (Informan 5)

Dapat disimpulkan bahwa dari kelima informan sebagian besar beragama

Islam dan sisanya menganut agama Kristen. Dari kelima informan ini juga

memaparkan bahwa keyakinan yang dianut oleh dirinya sama dengan keyakinan

yang dianut oleh pasanganya. Hal ini semakin di perkuat dengan melihat kolom

agama di KTP yang dimiliki oleh kelima informan, walaupun hanya KTP

informan saja yang diperlihatkan sementara KTP pasangannya tidak, namun hasil

pengakuan mengenai keyakinan yang dianut kelima informan sama dengan yang

terlihat pada kolom agama di KTP masing- masing.

140
5.2.6. 2 Perubahan Ketaatan dalam Beribadah Sebelum dengan Sesudah

Terdiagnosis HIV Positif

Semua informan berubah menjadi semakin lebih baik dalam beribadah Hal

yang membuat perubahan itu terjadi para informan, antara lain karena merasa

penyakitnya adalah bentuk ujian, untuk menghilangkan rasa sedih, dan untuk

meredam depresi. Dari wawancara terlihat perubahan ketaatan dalam wujud

ibadah yang dijalankan oleh para informan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan

wawancara mendalam berikut:

“setelah tedeteksi HIV, tetep sholat, semakin saya usahain supaya


abis adzan langsung sholat. Karena mungkin aja penyakit ini
sebenernya ujian buat saya” (Informan 1)
Dari wawancara tersebut, informan mengakui bahwa ia menjadi semakin

semakin sering dalam beribadah dan menjadi lebih memprioritaskan ibadah

dibandingkan dengan urusan dunia, hal ini dikarenakan ia menganggap bahwa

sakit yang sedang ia derita ini adalah ujian untuk dirinya. Begitu juga dengan

informan lainnya yang semakin sering beribadah dengan mengingat Tuhannya

agar ia mampu menghilangkan segala rasa sedih yang menghampirinya akibat

penyakit yang ia derita. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut:

“Semakin sering inget sama Tuhan apalagi kalo lagi sedih mikirin
nasib, yaudah lah berdoa aja” (Informan 4)
Informan lainnya juga mengakui bahwa dengan ia mencoba untuk berpuasa

sebagai salah satu bentuk ibadah lainnya, tujuan ia melakukan hal tersebut agar ia

mampu mengatasi depresi akibat terinfeksi HIV/AIDS, seperti dalam kutipan

wawancara berikut:

141
“pas awal kedeteksi HIV, saya beberapa kali nyoba buat puasa,
sebulan berturut- turut mungkin ada, maksudnya supaya saya gak
terlalu depresi saat itu…”(Informan 5)
Kutipan dari hasil wawancara mendalam mengenai perubahan ketaatan

beribadah memperlihatkan bahwa ada perubahan dalam segi beribadah bagi para

informan setelah mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif.

5.2.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS

Sebagian besar informan mengetahui kemungkinan mengalami HIV/AIDS

karena dirinya dan anggota keluarganya menderita sakit yang sulit sembuh.

Adapula informan yang memenuhi ajakan untuk melakukan VCT, hingga

akhirnya informan mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Adapun bukti

bahwa pada awalnya anaknya yang menderita menderita sakit terlebih dahulu dan

sulit untuk sembuh, terlihat dari kutipan wawancara berikut ini:

“…kondisi anak kedua saya terlahir dengan paru- paru yang gak
ngembang, trus hidrocefalus juga, jadi pas lahir langsung masuk
incubator, di rawat sampe 3 minggu di Rumah Sakit, sembuh, tapi
sembuh Cuma paru- parunya doang yang bisa napas normal. 2
minggu setelah pulang ke rumah, kambuh lagi, di rawat lagi 3 minggu
di Rumah Sakit Cipto. Trus, dokternya kali penasaran, di rawat kok
bukannya makin baik malah makin turun, turun, turuuun terus kan.
Tiap hari sama dokternya di cari tau penyebabnya apa.
Eh,terakhirnya dokternya tes HIV ke anak saya, ternyata positif HIV.
Dari situ saya sama suami dikenalin sama dokternya ke dokter
Puskesmas yang ngurusin HIV disana saya sama suami di tes HIV,
hasilnya sama.” (Informan 2)
Adapula informan yang yang memenuhi ajakan untuk melakukan VCT saat

kegiatan penyuluhan HIV/AIDS dan VCT di wilayah RWnya, seperti dalam

kutipan wawncara berikut ini:

142
“…Awalnya saya sempet takut juga buat ikut tes- tes kayak gitu,
ngeri kalo sampe saya ternyata kena HIV gimana? Akhirnya saya di
rumah aja tuh, gak dateng ke acara di RW saya. Otomatis saya gak
ikutan Penyuluhan dan Tes HIVnya. Tapi gak lama, ibu RW sama
kader- kader puskesmas yang lainnya dateng ke rumah saya, di
samper saya buat ikutan periksa HIV, katanya tinggal saya yang
belum di tes di RW ini, di bujuk- bujuk deh pokoknya biar saya ikutan
tes HIV. Darisitu Saya tiba- tiba aja muncul firasat buruk, kenapa ini
ya orang- orang pada ngajakin saya buat ikutan tes? Tapi yaudah deh
setelah saya pikir- pikir ini kan juga demi kebaikan saya,dan
kayaknya gak mungkin juga saya kena HIV, orang saya perempuan
baik- baik kan. akhirnya saya mau buat di tes HIV.” (Informan 1)

Dari kutipan wawancara diatas, dapat diketahui bahwa pada awalnya

informan tidak menginginkan untuk dilakukan pemeriksaan HIV, namun karena ia

diminta dan diajak langsung oleh ibu RW dan kader- kader Puskesmas untuk ikut

serta dalam melakukan tes HIV di kegiatan tersebut, maka informan pun akhirnya

melakukan tes HIV dan mengetahui jika hasil tesnya adalah HIV positif. Hal yang

hampir ditemukan pada informan lainnya, informan ini melakukan tes HIV saat

sedang hamil. Saat itu ia merasakan diare yang tak kunjung sembuh, sehingga

petugas kesehatan memintanya untuk melakukan tes HIV di laboratorium, hal ini

dibuktikan dalam kutipan wawancara berikut:

“Awalnya saya gak tau, tapi waktu hamil saya diare gak berhenti-
berhenti. Bolak- balik Puskesmas, dan disitu dokter Puskesmas curiga
sama saya. Saya di saranin buat tes HIV. Karena saya juga
penasaran, pergi lah saya ke Laboratorium. Udah deh, disitu saya
ketauan kalo saya penderita HIV Positif.”(Informan 5)

143
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa HIV tidak memiliki gejala yang

khas, karena dari semua informan tidak ada yang merasakan bahwa dirinya telah

terinfeksi HIV/AIDS, namun dengan adanya sakit yang sulit pulih yang diderita

oleh anggota keluarga dan informan sendiri, sudah cukup membuat kecurigaan

pada petugas kesehatan yang menangani, tetangga yang meihat, dan diri informan

sendiri yang merasakan, untuk akhirnya segera mengambil tindakan berupa tes

HIV/AIDS.

5.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat

Adapun gambaran distribusi perempuan dengan HIV/AIDS menurut

tempat dari perempuan terdiagnosis HIV positif sebagai informan dalam

penelitian ini meliputi keberadaan pusat pelayanan kesehatan terdekat dari daerah

wilayah tempat tinggal informan, kebermanfaatan pusat layanan kesehatan

terdekat, serta alasan informan lebih memilih layanan kesehatan di Puskesmas

Kramat Jati Jakarta Timur. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa

semua informan menyatakan didaerah tempat tinggalnya terdapat pusat layanan

kesehatan yang lebih dekat dari pada Puskesmas Kramat Jati. Hal ini dibuktikan

dengan kutipan wawancara berikut:

“deket rumah ada, tapi saya lebih milih ke puskesmas kramat jati”
(Informan 1)
“deketan juga ke puskesmas ciracas mbak, ke pasar rebo juga deket”
(Informan 2)
“Ada, ada puskesmas mampang kan, tapi lebih enak aja ke
puskesmas kramat jati” (Informan 3)

144
Dari hasil wawancara diketahui bahwa semua informan pada saat sebelum

mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV positif, mereka merasakan adanya

manfaat dari pusat layanan kesehatan terdekat dari tempat tinggalnya, dalam hal

ini berupa Puskesmas. Jenis kebermanfaatan yag dirasakan antaralain adalah

sebagai tempat informan dan anggota keluarga informan berobat, kegiatan

penyuluhan dan VCT. Informasi ini didukung oleh kutipan wawancara berikut:

“….itu kan saya ketauan kena HIV karena ada penyuluhan HIV sama
ada tes HIV juga…” (Informan 1)
“waktu saya hamil, saya ke Puskesmasterdekat dari tempat tinggal
saya, trus disaranin tes HIV di lab.” (Informan 5)

Berdasarkan informasi yang telah peneliti dapatkan dari wawancara

dengan informan yang merupakan pasien di Puskesmas Kramat Jati Jakarta

Timur, didapatkan informasi bahwa walaupun informan berobat di Puskesmas

Kramat Jati, namun ternyata daerah tinggal informan beragam dan tidak ada yang

tinggal di dekat Puskesmas tempat mereka berobat. Tiga informan tinggal di

daerah wilayah Jakarta Timur namun tidak satu kecamatan dengan Puskesmas

Kramat Jati yang berada di kecamatan Kramat Jati, tiga informan tersebut

bertempat tinggal di Cililitan, Ciracas, dan Kalimalang. Sementara dua informan

lainnya tinggal di wilayah Jakarta Selatan, tepatnya di Mampang dan Manggarai.

Hal ini di karenakan informan takut status HIV positif yang mereka derita

terungkap oleh masyarakat disekitar tempat tinggalnya. Seperti yang diungkapkan

oleh informan berikut ini:

145
“Saya kan jualan kue mbak, Ngeri pelanggan pada kabur mbak,
pelanggan saya kebanyakkan tetangga- tetangga saya, kan lumayan
pemasukkan kue saya walaupun cuma dikit juga.” (Informan 1)
“Gak mau berobat deket rumah ah, isi Puskesmasnya tetangga saya
semua, Takut kalo tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom
siap saya.” (Informan 2)
“Aku males aja kalo ketemu tetangga atau orang yang dikenal pas di
Puskesmas, makannya lumayan banget aku tuh kalo berobat, jaraknya
Mampang ke Kramat Jati.” (Informan 3)

Dari pernyataan tiga informan diatas dapat disimpulkan bahwa alasan

mereka memilih berobat di Puskesmas Kramat Jati karena takut status HIV positif

yang dideritanya diketahui oleh masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya.

Baik untuk hanya untuk menjaga nama baik keluarganya saja ataupun karena

bisnis yang tengah informan dikelola. Namun dua informan lainnya memberikan

pernyataan seperti berikut ini:

“Kenapa berobatnya jauh gitu? Hmm sebenernya aku berobatnya


pindah- pindah.. hehe. Tapi yang di Kramat Jati ini udah lumayan
lama gak pindah- pindah lagi.” (Informan 4)
“Udah nyaman aja mbak berobat disana, petugasnya enak diajak
ngobrolnya, gak nganggep kita sebagai pasien, nganggep kita kayak
temen gitu mbak, asik- asik deh pokoknya.” (Informan 5)

Dari Pernyataan dua informan diatas, didapatkan bahwa informan walaupun

sudah berpindah- pindah tempat dalam melakukan pengobatan, namun setelah

berobat di Puskesmas Kramat Jati informan tidak berpindah- pindah tempat

berobat lagi. Juga ada informan yang menganggap petugas di Puskesmas Kramat

Jati tidak menganggapnya sebagai pasien namun lebih menganggap sebagai

teman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor keamanan agar status HIV

146
positifnya tidak diketahui oleh orang- orang di wilayah sekitar tempat tinggalnya

serta kenyamanan menjadi kunci utama yang menyebabkan informan berobat di

Puskesmas Kramat Jati meskipun mereka tinggal bukan disekitar wilayah

Puskesmas Kramat Jati.

5.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu

Adapun gambaran distribusi menurut waktu dari perempuan dengan

HIV/AIDS sebagai informan dalam penelitian ini meliputi lama sakit yang telah

diderita oleh informan dan usia saat informan pertamakali terdiagnosis HIV

positif. Berikut gambaran distribusi menurut waktu:

5.4.1 Lama Sakit

Perkiraan rentang lama sakit pada informan mulai dari 4 bulan hingga 11

tahun. Peneliti tidak menanyakan terkait lama sakit yang sudah diderita oleh

kelima informan, namun berdasarkan hasil wawancara mendalam ketika

menanyakan usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV positif, dapat

tergali informasi bahwa jarak antara pertamakali informan terdiagnosis HIV

hingga saat wawancara mendalam dilaksanakan pada tahun 2015 berkisar antara 4

bulan hingga 11 tahun. Hal ini didukung dengan informasi berikut ini:

“….Taunya pas di acara itu, itu akhir Desember 2014”.(Informan 1)


Informan pertama menyatakan bahwa dirinya mengetahui status HIV

positif di akhir Desember 2014, sementara wawancara mendalam dilakukan pada

147
April 2015, sehingga di perkirakan lama sakit yang diderita oleh informan 1

adalah 4 bulan. Sementara itu pada informan 2 hasil wawancaranya adalah

sebagai berikut:

“…. Itu tahun kemaren, 2014 bulan Juli.” (Informan 2)


Wawancara mendalam dilaksanakan pada bulan april 2015, sehingga

informan sudah mengetahui status HIV nya selama 9 bulan terakhir. Jadi

perkiraan lama sakit pada informan kedua adalah 9 bulan. Pada informan pertama

dan kedua, diketahui bahwa perkiraan lama sakitnya masih dalam kurun waktu

kurang dari 1 tahun. Berbeda dengan informan ketiga, informan keempat dan

informan kelima yang lama sakitnya diperkirakan sudah lebih dari 8 tahun. hal ini

dibuktikan dengan wawancara mendalam berikut ini:

“Pertama kali tau tahun 2007, bulan Juli. Itu abis lahiran 4 bulan,
udah sempet ngasih ASI juga.”
“Anak pertamaku yang cewek, lahir tahun 2002, kasian dia,
kerjaannya buang- buang aer mulu, tadinya gak ketauan penyakitnya
apa. Kata dokter diare akut. Akhirnya meninggal di usia 8 bulan. Dan
ketauan lah penyakitnya ternyata kemungkinan besar HIV , itu juga
setelah anak kedua aku ketauan kena HIV.” (Informan 3)
Dari informasi diatas, dapat diketahui bahwa informan 3 pertamakali

mengetahui status HIV positifnya pada tahun 2007, empat bulan setelah kelahiran

anak keduanya, itu berarti perkiraan lama sakit yang diderita oleh informan

hingga saat di wawancara pada tahun 2015 adalah 8 tahun. Namun, karena saat itu

didiagnosis HIV positif, muncul kecurigaan akan sakit yang telah diderita oleh

anak pertamanya hingga meninggal dunia. Hasil wawancara mendalam juga

memperoleh informasi terkait lama sakit yang juga sudah diderita oleh informan

148
5, dirinya mengetahui status HIV positif menginfeksinya pada tahun 2006. Ini

artinya infroman 5 sudah terinfeksi HIV positif selama 11 tahun belakangan ini,

berikut hasil wawancaranya:

“…. Itu tahun 2006.” (Informan 5)


Pada informan kelima, dapat diketahui bahwa dirinya baru mengetahui

telah tertular HIV pada tahun 2004, padahal setahun sebelumnya suaminya

meninggal dunia dan di diagnosis HIV positif. Selama satu tahun setelah

kepergian suaminya, ia tidak berperilaku yang menyebabkan tertular HIV pada

dirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa informan keempat telah mengetahui

terdiagnosis HIV/AIDS pertamakali pada tahun 2004, atau sudah menderita

HIV/AIDS selama 12 tahun. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut

ini:

“….Akhirnya Setahun dari kepergian suamiku, tahun 2004, aku


beraniin deh diri aku buat konsultasi di puskesmas disaranin buat cek
HIV juga. Aku cek di laboratorium, Dan ternyata hasilnya positif.
Disitu aku gak berani bilang ke siapa- siapa, aku tutupin semuanya
dari orang- orang di sekitarku.” (Informan 4)
Dari informasi- informasi yang tersajikan diatas, juga dengan didasari

bukti- bukti informasi dari hasil wawancara dengan informan, dapat ditarik

kesimpulan, bahwa perkiraan lama sakit yang telah diderita oleh informan dalam

penelitian ini adalah mulai dari 4 bulan hingga 12 tahun setelah melakukan tes

HIV pertama kali dan terdiagosis HIV positif hingga saat proses wawancara

mendalam berlangsung.

149
5.4.2 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS saat Pertamakali Terdiagnosis
HIV Positif
Perkiraan rentang usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV

adalah 27 tahun hingga 36 tahun. Peneliti tidak menanyakan terkait usia saat

pertamakali informan terdiagnosis HIV positif, akan tetapi berdasarkan hasil

wawancara terhadap kelima informan dalam penelitian ini, dapat di ketahui

mengenai usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV. seperti dalam

pernyataan berikut ini:

“….Taunya pas di acara itu, itu akhir Desember 2014.” (Informan 1)


Dari pernyataan diatas, acara yang dimaksudkan oleh informan pertama

adalah kegiatan VCT yang diadakan oleh Puskesmas wilayah tempat tinggalnya ,

kegiatan VCT tersebut saat itu diadakan di wilayah RW tempat tinggal informan.

Saat wawancara tahun 2015, informan berusia 30 tahun, ini berarti perkiraan usia

informan saat pertama kali terdiagnosis HIV adalah 29 tahun. Selanjutnya ada

juga informan yang terdiagnosis HIV positif di tahun yang sama dengan informan

sebelumnya, yaitu terdiagnosis di tahun 2014. Saat wawancara mendalam usia

informan 37 tahun, sehingga saat pertama kali terdiagnosis HIV positif

diperkirakan usianya adalah 36 tahun. hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara

berikut ini:

“…. Itu tahun kemaren, 2014 bulan Juli.” (Informan 2)


Adapula informan yang terdiagnosis HIV positif di tahun 2007, seperti

dalam apernyataan berikut ini:

“Pertama kali tau tahun 2007, bulan Juli. Itu abis lahiran 4 bulan,
udah sempet ngasih ASI juga.” (Informan 3)

150
Dari pernyataan tersebut, jika di sinkronkan dengan usia saat wawancara

mendalam di tahun 2015, usia informan adalah 38 tahun, sehingga perkiraan

usia informan saat terdiagnosis HIV positif adalah 30 tahun. Namun informan

mencurigai bahwa ia telah teinfeksi HIV mulai dari 5 tahun sebelum ia

terdiagnosis HIV, atau ketika ia berusia 25 tahun. Sebab anak pertamanya

meninggal dunia karena diare yang terjadi terus menerus di tahun 2002,

sayangnya tenaga kesehatan tidak melakukan pengecekan HIV pada anak atau

pun dirinya saat itu, ia pun ketika itu belum mengetahui mengenai HIV/AIDS

sehingga tidak berusaha untuk mencari tahu. Informan selanjutnya terdiagnosis

HIV di tahun 2006, saat wawancara mendalam tahun 2015, informan ini

berusia 39 tahun, artinya 9 tahun yang lalu informan ini terdiagnosis HIV,

sehingga usia saat pertama kali terdiagnosis HIV positif diperkirakan adalah 30

tahun. berikut ini pernyataan dari informan:

“…. Itu tahun 2006.” (Informan 5)


Informan terakhir, menyatakan setahun setelah suaminya meninggal

dunia baru berani melakukan tes HIV, dan dari situlah informan pertamakali

terdiagnosis HIV positif. Tahun 2015, saat dilakukan wawancara mendalam,

informan berusia 38 tahun. Sehingga usia saat pertamakali informan

terdiagnosis HIV positif diperkirakan adalah 27 tahun. berikut pernyataan dari

informan:

“……..Akhirnya Setahun dari kepergian suamiku, tahun 2004, aku


beraniin deh diri aku buat konsultasi di puskesmas disaranin buat
cek HIV juga. Aku cek di laboratorium, Dan ternyata hasilnya
positif. Disitu aku gak berani bilang ke siapa- siapa, aku tutupin
semuanya dari orang- orang di sekitarku.” (Informan 4)

151
Dari bukti yang ada berdasarkan pernyataan- pernyataan informan

dalam wawancara, didapatkan bahwa usia mereka saat pertamakali terdiagnosis

HIV positif, diperkirakan berkisar antara 25 tahun hingga 36 tahun, dan usia ini

tergolong dengan kelompok usia produktif. Dari hasil wawancara mendalam

ketika informan terdiagnosis HIV, di dapatkan bahwa informan sangat sedih,

marah, kecewa, bingung, panik, dan penolakan untuk menerima status barunya

sebagai perempuan dengan HIV positif. Hal tersebut tergambarkan seperti

dalam kutipan wawancara berikut ini:

“Perasaannya sedih, sempet bingung, sempet stress, saya


sombong banget sebelumnya selalu mikir gak akan mungkin kena
penyakit kayak beginian. Saya beberapa malam setelah kejadian
itu jadi gak bisa tidur, kepikiran terus.” (Informan 1)
Adapula informan yang hingga pingsan di tempat setelah terdiagnosis HIV

positif. Hal tersebut akan sangat mungkin terjadi pada saat awal pertama kali

informan terdiagnosis HIV positif. Informan tidak merasa melakukan sesuatu

yang membahayakan dirinya sendiri, dalam hal ini membahayakan hingga

terinfeksi HIV positif. Hal lainnya yang informan rasakan ialah keluarga dan

masa depan anaknya yang baru saja ia lahirkan saat itu, berikut kutipan

wawancara mendalamnya:

“….Tadinya mah pas tau aku langsung pingsan di tempat, pas


sadar langsung nangis sejadi- jadinya. Langsung keinget ke
anakku yang nomer dua, dia udah sempet aku kasih ASI, saat itu
takut banget kalo sampe dia ikut ketularan penyakit dari aku. Eh,
ternyata positif HIV.” (Informan 3)
Terlepas dari pernyataan diatas, setiap informan memiliki caranya

masing- masing untuk meredam emosi yang ketika itu muncul, ada yang

152
berusaha untuk terus ikhlas dalam menerima status barunya, dan tetap berusaha

untuk berbakti pada suami yang telah menularkan HIV pada dirinya. Seperti

dalam kutipan berikut ini:

“…..Walaupun kesel sama suami yang terus nyalahin saya


sebagai penyebabnya, saya tetep berusaha untuk terus ikhlas
nerimanya, tetep berbakti sama suami juga....” (Informan 1)
Hal yang berbeda dilakukan oleh informan lainnya, ia merasa butuh

pencerahan dari pelayan kesehatan sehingga ia langsung menemui tenaga

kesehatan di Puskesmas untuk melakukan konseling. Sehingga dari

pernyataan di atas, terlihat bahwa usia terdiagnosis HIV saat itu juga

mempengaruhi bagaimana cara informan mengambil tindakan dalam

mengatasi keadaan dan kondisi hati yang tidak menentu.

153
BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Triangualasi sumber tidak dapat dilakukan kepada pasangan dari informan

yang menjadi tersangka dalam penyebaran transmisi HIV positif hingga informan

terdiagnosis HIV positif. Hal ini disebabkan karena beberapa pasangan informan

tersebut telah meninggal dunia, sementara pada pasangan yang masih hidup, sulit

untuk peneliti temui dalam melakukan pendekatan untuk menggali informasi

kepada pasangan informan. Namun triangulasi sumber hanya dilakukan pada

informan pendukung yang meliputi: penanggung jawab Poli HIV & IMS

Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, pendamping ODHA, tetangga beberapa

ODHA, dan tetangga di sekretariat LSM Tegak Tegar.

Peneliti juga tidak dapat melakukan wawancara kepada keluarga setiap

informan sebab hanya dua informan yang peneliti datangi langsung kerumahnya

saat proses wawancara mendalam. Diantara dua orang tersebut, satu informan

masih merahasiakan status HIV positif dari keluarga dan tidak mengizinkan

peneliti melakukan wawancara terhadap keluarganya. Sehingga hanya ada satu

informan saja yang keluarganya bisa dijadikan informan dalam penelitian ini.

154
6.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS

Dalam penelitian ini, gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS

menurut orang membahas mengenai usia, tingkat pendidikan, status pernikahan,

sosial ekonomi, latar belakang keluarga, pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan

gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS.

6.2.1 Tingkat Pendidikan

Gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut orang,

salah satunya adalah tingkat pendidikan. Pendidikan adalah

pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang

yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran,

pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan

orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak (Notoatmodjo, 2007).

a. Pendidikkaan Formal
Hasil penelitian, pendidikan formal pada informan penelitian ini

sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang sama, yakni pendidikan

hingga bangku SMA atau sederajat dan hanya satu orang informan saja

yang tidak memiliki ijazah pendidikan formal sama sekali, namun pada

kenyataannya informan tersebut telah mencapai pendidikan SMP.

Sehingga dapat di simpulkan bahwa pendidikan terakhir informan dalam

penelitan ini tergolong kedalam pendidikan menengah.

155
Sesuai dengan harapan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

yang menyatakan tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi

perilakunya. Dengan demikian informan yang mengenyam pendidikan

lebih tinggi, akan lebih mudah dalam menerima dan mengerti informasi

yang telah didapatkan. Sementara itu menurut Notoatmodjo, pendidikan

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara pandang seseorang

tentang hidup, dalam hal ini cara pandang seseorang tentang kesehatan.

Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan

memiliki pengetahuan yang luas pula. Salah satu sumber informasi yang

berperan penting bagi pengetahuan adalah media masa. Banyak tempat

atau media yang bisa dijadikan sumber informasi untuk menambah

pengetahuan, salah satunya berasal dari guru yang memberikan informasi

kepada siswa-siswi melalui proses belajar mengajar mereka dalam

menempuh suatu pendidikan (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan secara

epidemiologi tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 3,742 kali lebih

besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009).

b. Pendidikan Non Formal

Hasil penelitian diperoleh pula mengenai pendidikan non formal

yang pernah diikuti oleh perempuan dengan HIV positif yang menjadi

informan dalam penelitian ini. Sebagian informan pernah mengikuti

pendidikan non formal. Ini berarti sebagian informan sudah memiliki

keterampilan lebih dari hasil pendidikan non formal yang telah mereka

156
tempuh. Dari penelitian ini pun diketahui bahwa kelima informan

memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan formal, namun masing-

masing memiliki hambatan yang beragam dalam merealisasikannya,

sehingga dipilihlah pendidikan non formal sebagai tempat mengasah

keterampilan dan keahlian serta sebagai salah satu realisasi dari keinginan

mereka dalam melanjutkan sekolah formal. Pendidikan non formal juga

mampu menjaga agar para penderita HIV/AIDS mampu berdaya guna dan

dapat memiliki ekonomi yang mandiri tanpa harus berpangku tangan

dengan orang lain.

Semakin informan mengenyam pendidikan formal yang tinggi akan

lebih mudah menerima dan mengerti informasi yang telah didapatkan

seputar HIV. Hal ini sejalan dengan pendapat notoatmodjo dalam bukunya

bahwa tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi

respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan

tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi

yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin

akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. Pendidikan berarti bimbingan

yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju

kearah suatu cita-cita tertentu. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang

termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam

memotivasi sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin

tinggi tingkat kesehatan, seseorang makin menerima informasi sehingga

makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005).

157
Hal tersebut juga sesuai dengan harapan Departeman Kesehatan

Republik Indonesia yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan

masyarakat akan mempengaruhi perilakunya. Dalam penelitian ini semua

informan pada saat belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV, tidak

melakukan perilaku berisiko HIV. justru pasangan merekalah yang

berperilaku berisiko HIV hingga menularkannya kepada informan.

6.2.3 Status Pernikahan

Pembahasan status pernikahan, bertujuan untuk menggambarkan keadaan

mengenai hubungan informan dengan pasangannya yang akan dikaitkan

dengan penularan HIV positif yang terjadi dari pasangan kepada dirinya.

a. Status Pernikahan

Hasil penelitian mengenai status pernikahan informan diperoleh hasil

bahwa tiga dari lima informan telah berstatus janda, dengan satu informan

belum resmi bercerai secara hukum negara. Jumlah itu lebih banyak daripada

informan yang berstatus masih menikah, yaitu hanya dua orang. Sehingga

berdasar gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang telah

terinfeksi HIV positif memiliki risiko lebih besar untuk berstatus tidak

menikah atau janda akibat suami meninggal dunia, ataupun karena

ketidakcocokkan satu dengan yang lainnya. Terlebih dalam mencari

pasangan yang dapat menerima informan sepaket dengan anak- anak dari

hasil pernikahannya terdahulu dan juga penyakit HIV positif yang telah

158
menginfeksi dirinya. Namun HIV positif bukanlah penghambat bagi

informan untuk dapat menikah kembali, seperti salah satu informan dalam

penelitian ini, ia berhasil melaksanakan pernikahan kedua dan ketiganya

tanpa harus menutup- nutupi statusnya sebagai perempuan dengan HIV

positif kepada pasangannya.

ODHA yang menikah dengan pasangan yang tidak terinfeksi HIV (HIV

negatif), pasangan tersebut lebih dikenal dengan istilah pasangan ODHA

serodiskordan, yaitu jalinan hubungan antara orang yang telah terdiagnosis

HIV positif dengan orang yang berstatus HIV negatif. Namun pasangan

ODHA serodiskordan ini sebenarnya memiliki banyak risiko di dalam

pernikahannya. Salah satunya adalah penularan HIV terhadap pasangan yang

negatif. Sehingga pasangan tersebut harus selalu menggunakan kondom

setiap kali melakukan hubungan suami istri, agar suami dari ODHA terhindar

dari penularan HIV/AIDS (Raidah, 2015).

Selain itu penyakit HIV/AIDS secara luas akan berdampak pada

semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Tidak hanya akan

menimbulkan perubahan fisik saja, tapi juga menimbulkan perubahan-

perubahan dari segi psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual (Nursalam,

2007). Dari teori tersebut, jika dikaitkan dengan salah satu informan yang

pernah mengalami menjadi pasangan ODHA serodiskordan, pada pernikahan

keduanya, walaupun ia telah membuka status HIV positif pada suaminya,

namun ia dan suaminya menutup rapat- rapat status tersebut dari keluarga

suami dan orang di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan pada pernikahan

159
ketiganya, karena pernikahan terjadi secara siri dan tertutup tanpa diketahui

keluarga dan istri pertama suaminya. Maka keluarga suami ketiganya itupun

tidak ada yang mengetahui status HIV positif tersebut, namun suaminya tetap

diberitahu terkait status HIV positif yang diderita oleh informan.

b. Frekuensi dan Lama Pernikahan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar dari

informan hanya pernah menikah sebanyak 1 kali saja. Namun terdapat

informan yang menikah lagi sebanyak dua kali pernikahan setelah suami

pertamanya meninggal dunia. Dalam 2 kali pernikahan tersebut, informan

menikah dengan orang yang tidak terinfeksi HIV karena menginginkan

kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Pasangan tersebut lebih dikenal

dengan istilah pasangan serodiskordan, yakni jalinan hubungan pasangan

ODHA dengan status salah satu dari psangan terinfeksi HIV positif

sementara pasangan lainnya tidak terinfeksi HIV (Raidah, 2015). Apa yang

telah dilakukan oleh salah satu informan dalam penelitian ini, sejalan dengan

pendapat Tsevat (1999) dalam penelitian yang dilakukan oleh Arriza (2011),

ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk bisa terus hidup dan

memiliki harapan bahwa kehidupan mereka akan lebih baik daripada

kehidupan sebelumnya. Membina hubungan dengan orang yang tidak

terinfeksi HIV adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk memotivasi

dirinya kembali menemukan kebahagiaan dan penyesuaian diri pada

lingkungan (Arriza, 2011).

160
Lama usia pernikahan informan berkisar antara 3 hingga 9 tahun.

Pernikahan terlama diatas usia pernikahan 5 tahun hanya terjadi pada dua

informan dengan usia pernikahan selama 7 dan 9 tahun pernikahan. Menurut

hasil dari penelitian Dian Anggraeni Raidah (2015), usia pernikahan pada

pasangan memiliki hubungan yang signifikan dengan penyesuaian

pernikahan. Selain itu mayoritas pasangan yang memiliki usia pernikahan

lebih lama akan menerima penyesuaian pernikahan yang semakin baik,

seperti memiliki keeratan yang lebih tinggi, saling memahami, dan saling

menghindari konflik rumah tangga (Raidah, 2015). Pernyataan tersebut

terbukti dengan kenyataan yang ditemukan bahwa informan yang usia

pernikahan mecapai 7 dan 9 tahun, bercerai dengan suaminya setelah

suaminya meninggal dunia, bukan sengaja untuk meminta cerai.

c. Usia Saat Menikah

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perempuan dengan HIV

positif yang menjadi informan pada penelitian ini, menikah pada rentangusia

20 – 33 tahun. Menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun,

sehingga usia ideal seseorang untuk menikah adalah 21 tahun untuk

perempuan dan 25 tahun untuk laki- laki. Dalam hubungan dengan hukum

menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, usia minimal untuk suatu

perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Nasry,

2009). Dari sana jelas bahwa UU tersebut menganggap orang dengan usia

diatas tersebut bukan lagi anak- anak dan ia sudah boleh menikah, batasan

usia ini dimaksud untuk mencegah pernikahan yang terlalu dini. Walaupun

161
begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun, masih diperlukan

izin orang tua untuk menikahkan anaknya.

Sejalan dengan peraturan pemerintah, usia para informan dalam penelitian

ini saat hendak menikah, sudah memasuki usia yang diperbolehkan untuk

menikah, namun jika melihat usia ideal menikah menurut BKKBN, tidak ada

informan yang menikah di usia tidak ideal. Berbeda dengan para informan

yang menikah diusia yang ideal, pasangan dari informan dalam penelitian ini

ada yang memiliki usia tidak ideal saat hendak menikah, sebab berdasarkan

hasil penelitian, usia pasangan dari perempuan yang terdiagnosis HIV positif

berkisar antara 20 – 33 tahun, dengan tiga pasangan informan yang berusia

dibawah 25 tahun saat hendak menikah. Serta didapati pula bahwa tiga di

antara lima informan menikah dengan laki-laki yang usianya lebih muda dari

informan, satu informan menikah dengan laki-laki yang usianya sepantaran

dan satu informan menikah dengan laki-laki yang usianya lebih tua.

Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12- 24 tahun. sedangkan

dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan oleh departemen

kesehatan adalah mereka yang berusisa 10-19 tahun dan belum menikah.

Informan dalam penelitian ini dan pasangannya, sebagian besar menikah saat

usianya berada di kelompok usia remaja. Kelompok usia remaja merupakan

masa krisis dimana pemahaman terhadap perilaku masih belum cukup

matang. Walaupun kelompok usia remaja memiliki kemampuan kognitif

untuk menentukan perilaku yang sehat, pada praktiknya remaja sering

terdorong oleh kekuatan lain yang membuat mereka tidak berperilaku secara

162
sehat. Ini termasuk perilaku mencoba atau memulai hubungan seksual

(Anggreani, 2005) sejalan dengan Hal tersebut menurut Dachlia (2000)

dalam penelitian Yowel Kambu (2012), usia pertamakali melakukan

hubungan seks penting dalam epidemiologi HIV karena berkorelasi dengan

jumlah pasangan seks selama hidupnya. Umumnya seseorang mulai aktif

secara seksual sejak remaja, kemudian berangsur- angsur aktivitas seksual

meningkat sampai usia 30 tahun, lalu menurun setelah usia 30 tahun (Kambu

Y. , 2012). Sehingga, semakin muda seseorang melakukan hubungan seks,

maka ia akan semakin banyak memiliki peluang untuk melakukan hubungan

seks dengan banyak pasangan, dan hal tersebut ini merupakan bagian penting

dalam transmisi HIV.

e. Status Pasangan Sekarang

Hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar informan berstatus

janda yang ditinggal meningga dunia oleh suaminya. Dua dari lima informan

yang masih berstatus menikah, masih tinggal bersama suaminya. Terdapat

pula dua orang informan yang yang berstatus janda, namun sekarang tengah

menjalin hubungan dengan orang yang tidak mengetahui bahwa informan

memiliki status HIV positif, kedua informan tidak memberitahukan statusnya

karena takut pasangannya tidak dapat menerima status informan. Sementara

satu informan lainnya tidak memiliki pasangan, dan merasa status HIV

positif yang menjadi alasan hingga sampai sekarang informan belum

memiliki pasangan lagi. Sehingga dari fenomena tersebut dapat disimpulkan

bahwa status HIV ini mempengaruhi informan dalam mendapatkan pasangan

163
dan dalam membuka status HIV positifnya terhadap pasangan dan juga orang

sekitarnya.

Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan ini pun membuat ODHA

susah menjembatani diri dengan orang lain. Mereka takut untuk membagi

pengalamannya bahkan menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu

pertolongan. Hal ini sejalan dengan teori bahwa ODHA senantiasa khawatir

akan perlakuan yang akan didapatkan dari orang lain atas dirinya.

Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak engan dekat dengan para penderita

HIV/AIDS karena takut pada virus yang bersifat menular tersebut (Nursalam,

2007).

f. Jumlah Anak, Usia, dan Statusnya Terhadap HIV Positif

Hasil penelitian Sebagian besar informan memiliki anak yang berstatus

HIV positif, baik anak itu sudah meninggal dunia akibat infeksi oportunistik

dari HIV yang dideritanya, maupun masih hidup hingga sekarang. Sementara

itu hanya satu informan yang berhasil untuk tidak menularkan sama sekali

HIV positif ke anak- anaknya, yakni informan ke-4 dengan status negatif

HIV pada ketiga anaknya. Hal tersebut dikarenakan saat hamil anak pertama

dan kedua ia belum terdiagnosis HIV positif, pada saat hamil anak ketiga

barulah ia mendapatkan perawatan khusus dan diikut sertakan dalam program

PPIA. Begitupula dengan informan ketiga dan kelima yang juga

diikutsertakan dalam program PPIA setelah sebelumnya anak pertama

164
mereka terinfeksi HIV positif dan meninggal dunia akibat infeksi

oportunistik yang menyerang.

Kementrian Kesehatan RI, telah memiliki upaya untuk mencegah

terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, yakni dengan program PPIA

(Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak), PPIA dilakukan dengan

Melaksanakan kegiatan komprehensif yang meliputi 4 pilar/prong. Program

ini telah tersusun rapi dalam “Rencana Aksi Nasional PPIA Indonesia 2013-

2017” yang disusun oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2013, adapun 4

pilar/ prong tersebut, yaitu (Kemenkes RI, 2013) :

1. PRONG 1

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya

penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada

perempuan usia reproduksi 15- 49 tahun (pencegahan primer).

Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak

secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual

berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih

bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular

oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. Upaya pencegahan ini harus

dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait

penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan

reproduksi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan pendukung yang

juga merupakan penanggung jawab poli IMS dan HIV di Puskesmas

165
Kramat Jati diketahui bahwa pencegahan primer atau program PPIA

pada prong pertama ini belum berjalan dengan maksimal. Sebab

perempuan usia produktif, baik yang belum menikah maupun yang

sudah menikah namun yang tidak terinfeksi HIV seringkali terlewatkan

untuk melakukan VCT. Prong pertama ini baru akan terlaksana di

Puskesmas Kramat jati bila ada pasien perempuan usia produktif yang

meminta untuk di lakukan tes HIV untuk keperluan menikah atau hanya

sekedar ingin mengetahui hasil jika ia melakukan tes HIV. Sehingga

pencegahan primer di Puskesmas Kramat Jati lebih banyak masuk dan

tercatat didalam program PITC bukan VCT ataupun PPIA.

2. PRONG 2

Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi

yang dikandungnya jika hamil. Karena itu, ODHA perempuan

disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan

informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah

kehamilan yang tidak direncanakan. Sejalan dengan teori mengenai

PPIA, Puskesmas Kramat Jati melakukan prong 2 ini bersamaan dengan

VCT, namun di Puskesmas Kramat Jati juga selalu di tawarkan untuk

melakukan VCT pada setiap ibu hamil yang melakukan pemeriksaan

kandungan.

166
3. PRONG 3

Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah

terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan

HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang

komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut:

2. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV.

3. Diagnosis HIV.

4. Pemberian terapi antiretroviral.

5. Persalinan yang aman.

6. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak.

7. Menunda dan mengatur kehamilan.

8. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.

9. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

Puskesmas Kramat Jati merupakan salah satu Puskesmas di Jakarta

Timur yang telah melaksanakan program PPIA di prong ketiga yang

meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak secara komperehensif bagi

ibu hamil yang telah terdiagnosis HIV positif. Namun jika saat

persalinan, kondisi persalinan membutuhkan di rujuk ke rumahsakit

besar, biasanya rujukannya adalah RS Polri, RSUD Pasar Rebo, RSCM,

dan beberapa rumah sakit besar lainnya.

4. PRONG 4

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti

setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya

167
sehingga membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan

sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi

masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor

kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus

diberikan kepada anak dan keluarganya. Seperti di Puskesmas Kramat

Jati yang memberikan dukungan kepada para pasien yang telah

terdiagnosis HIV positif, dalam hal ini perempuan, dengan cara

memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan dalam bentuk

konsultasi dan pemeriksaan dengan tenaga pelayanan kesehatan yang

tersedia dan juga bekerja sama dengan LSM untuk menjadi pendamping

dari pasien- pasien yang telah terdiagnosis HIV positif.

Sehingga Diantara para informan yang memiliki anak dengan status HIV

positif, sebagian besar anak yang tertular HIV positif adalah anak keduanya.

Hal ini disebabkan karena kurang maksimalnya pelaksanaan dari prong

pertama serta juga mungkin bila disebabkan karena saat informan tengah

hamil dan melahirkan anak pertamanya ia belum terinfeksi HIV positif,

barulah saat anak kedua informan mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi

HIV positif. Dalam proses mendapatkan informasi mengenai statusnya

terhadap HIV positif pun, terjadi saat tengah hamil dan adapula yang

mengetahui setelah melahirkan anak keduanya dan setelah timbul gejala

infeksi oportunistik pada bayinya, sehingga pelaksanaan PPIA untuk

pencegahan dari ibu ke anak, sudah pasti tidak tidak sempat di laksanakan

168
pada prong pertama dan kedua. Bagi informan yang mengetahui semenjak ia

hamil, pelaksanaan PPIA dilaksanakan mulai dari prong ketiga. Sementara

bagi yang baru terdiagnosis pasca melahirkan, PPIA tetap dilaksanakan,

namun pelaksanaan langsung dari prong keempat.

6.2.4 Sosial Ekonomi

Sebagaimana menurut Notoatmodjo, Kondisi sosial ekonomi adalah

suatu kedudukkan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang

pada posisi tertentu dalam masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula

dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh orang

yang membawa status tersebut. Sosial ekonomi juga menunjukkan

kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki (Notoatmodjo,

2005) . Sehingga dengan adanya pembahasan terkait sosial ekonomi dari

informan, dapat melihat posisi informan dalam kehidupan bersosial

masyarakat juga dapat melihat terkait kemampuan finansial dalam

menunjang kehidupan sehari- harinya.

a. Pekerjaan Sebelum dan Setelah Terdiagnosis HIV Positif

Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterampilan

khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya risiko menurut sifat

pekerjaan yang juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat

sosial ekonomi karyawan terhadap pekerjaan tertentu (Masriadi, 2012).

Dari kelima informan dalam penelitian ini, sebelum

terdiagnosis HIV positif dan sebelum menikah, sebagian besar

169
memiliki pekerjaan. Barulah setelah menikah, sebagian besar dari

informan tidak mendapatkan izin untuk bekerja dari suami mereka

masing- masing, sehingga pekerjaan para informan ketika itu adalah

sebagai ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga memiliki kerentanan

terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan oeh ketimpangan gender yang

berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku

seksual suami, seperti membeli jasa WPS dan memakai narkoba

suntik. IRT serngkali tidak berdaya ketika meminta suaminya

memakai kondom saat berhubungan seks, sehingga lebih rentan

tertular HIV (Anggreani, 2005).

Hasil penelitian mengenai “Tingkat pengetahuan pelajar SMA

Harapan1 Medan tentang seks bebas dengan risiko HIV/AIDS”

menghasilkan bahwa perempuan secara sosial maupun ekonomi

tidakmandiri (Dalimunthe, 2012). Sehingga perempuan akan sulit

melindungi dirinya dari infeksi HIV karenapasangan seksualnya.

Perempuan sangat tergantung secara ekonomi kepada pasangan, dan

hal ini menimbulkan kondisi ketidakmampuan perempuan untuk

mengontrol perilaku seksual maupun non seksual yang berisiko

HIV/AIDS pada suaminya.

Hasil penelitian diketahui bahwa beberapa waktu setelah

menikah, informan baru terdiagnosis HIV positif. Sebagian besar

informan memiliki pekerjaan setelah terdiagnosis HIV positif. Hanya

170
satu orang informan saja yang tidak memiliki pekerjaan setelah

terdiagnosis HIV positif, padahal sebelum menikah dan sebelum

terdiagnosis HIV informan tersebut telah bekerja selama 2 tahun,

namun hal ini bukan dikerenakan status HIV positifnya, melainkan

karena tidak mendapatkan izin dari suaminya untuk bekerja. Adapula

informan yang sebelum terdiagnosis HIV positif tidak memiliki

pekerjaan, akan tetapi setelah terdiagnosis HIV barulah ia memiliki

pekerjaan, dan pekerjaan tersebut masih berkaitan erat dengan status

HIV positifnya, yakni menjadi aktivis HIV dan volunteer di Yayasan

Tegak Tegar.

Salah satu prinsip HIV/AIDS dalam dunia kerja, infeksi HIV tidak

boleh dijadikan alasan sebagai pemutusan hubungan kerja, seperti

layaknya kondisi penyakit lain, infeksi HIV tidak harus membuat

seseorang kehilangan hak bekerja, sepanjang orang tersebut masih layak

bekerja dan dapat dbenarkan secara medis (ILO, 2001). Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian yang tidak ditemukannya pemberhentian atau

pemutusan hubungan kerja karena informan terinfeksi HIV positif.

karena memang kecenderungan informan setelah mengetahui bahwa

dirinya terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai wirausaha. Sementara itu

dari hasil penelitian terhadap informan, sebagian besar informan

memiliki kemandirian ekonomi, meski telah terinfeksi HIV positif. Hal

ini juga menegaskan bahwa HIV positif sebenarnya bukanlah

penghambat seseorang untuk terus bekerja dan berkarya. Namun sangat

171
disayangkan bahwa ada salah seorang dari kelima informan, yang pernah

sempat memiliki pekerjaan sebagai WPS, hal tersebut terjadi setelah

dirinya mengetahui bahwa suaminya terinfeksi HIV positif dan telah

menularkan HIV positif pula pada dirinya.

Kelima informan memiliki keinginan yang sama untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang tengah mereka jalani,

mereka menginginkan bisa memiliki pendapatan tetap, karena

pendapatan mereka sekarang ini sulit untuk diprediksi. Namun banyak

sekali variasi hambatan yang dialami oleh informan, dalam mendapatkan

pendapatan tetap. Salah satu yang menjadi penghambat bagi mereka

dalam mendapatkan penghasilan tetap adalah larangan dari pasangan

untuk kembali bekerja, usia mereka yang sudah tidak lagi muda, serta

modal untuk membuat usaha baru atau memperbesar usaha mereka yang

sudah ada.

b. Pendapatan Sekarang

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh

anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan

keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh

karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Secara

konkritnya pendapatan keluarga berasal dari usaha itu sendiri , bekerja

pada orang lain, dan hasil dari kepemilikkan (Notoatmodjo, 2007).

172
Tingkat pendapatan keluarga merupakan pendapatan atau

penghasilan keluarga yang tersusun mulai dari rendah hingga tinggi.

Tingkat pendapatan setiap keluarga berbeda-beda. Terjadinya perbedaan

tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis pekerjaan dan

jumlah anggota keluarga yang bekerja. Menurut Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2014 tentang upah tahun

minimum provinsi DKI Jakarta adalah sebesar Rp.2.441.000,-. Adapun

tingkat pendapatan keluarga dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :

a) Tingkat Pendapatan Rendah : Kurang dari Rp.2.441.000,-/bulan

b) Tingkat Pendapatan Tinggi : Lebih dari Rp.2.441.000,-/bulan

Empat dari lima informan yang telah diwawancarai, sudah

memiliki kemandirian dalam pendapatan pada setiap bulannya,

walaupun besar pendapatannya masih terkategorikan rendah dan bukan

merupakan pendapatan tetap, akan tetapi masih bisa digunakan untuk

mempertahankan hidup tanpa harus bergantung dengan suami ataupun

pasangannya. Salah seorang dari empat informan, ada yang masih

mendapatkan tambahan penghasilan dari pendapatan tetap suaminya,

namun tidak bergantung sepenuhnya pada suaminya, sebab ia memiliki

pekerjaan yang bisa menambah penghasilan dalam keluarganya. Hanya

satu informan yang masih bergantung pada suami dalam hal pendapatan

bulanan, karena tidak memiliki pemasukkan bulanan selain dari

pendapatan suaminya yang juga tergolong tingkat pendapatan rendah.

173
c. Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar (Sebelum dan Setelah
Terdiagnosis HIV Positif)
Timbulnya perubahan fisik yang terjadi pada perempuan

terdiagnosis HIV/AIDS seperti menjadi semakin mudah lelah dan

gampang terserang berbagai macam penyakit, akan semakin membuat

peran ganda bagi mereka sebagai ibu yang harus merawat anak dan

mengurus rumah tangga, sebagai seorang istri yang harus melayani

setiap kebutuhan suaminya, dan sebagai dirinya sendiri dengan kondisi

sakit yang di deritanya. Hal ini berdampak pada keterbatasannya dalam

melakukan peran yang seharusnya dijalankannya. Menurut Jackson,

terjadi perubahan pada perempuan dengan HIV/AIDS yaitu keterbatasan

peran dalam merawat anak. Timbulnya berbagai perubahan fisik atau

gejala akan memengaruhi kualitas hidup dan cara pandang perempuan

HIV/AIDS (Jackson, 1999)

Sebagian besar informan di lingkungan sekitar baik sebelum dan

setelah terinfeksi HIV positif, mengalami perubahan keaktifan dengan

lingkungan sekitar. Terdapat dua informan yang tetap aktif di

lingkungan sekitarnya baik sebelum maupun setelah mengetahui bahwa

dirinya terinfeksi HIV. Sementara itu, ada satu informan yang memang

tidak aktif di lingkungan sekitarnya sejak awal sebelum terdiagnosis

HIV dan semakin menutup dirinya sehingga tidak mau berusaha untuk

aktif di lingkangan sekitar. Satu informan lainnya awalnya memiliki

keaktifan di lingkungan sekitar, namun setelah terdiagnosis HIV positif

informan ini menjadi malu untuk kembali aktif di lingkungan rumahnya,

174
sengaja menjauh dari orang- orang sekitar agar tidak diketahui bahwa

dirinya telah terinfeksi HIV positif. Sementara itu, ada pula informan

yang justru sebelum terdiagnosis HIV adalah pribadi yang tertutup dan

tidak mudah untuk bergaul dengan orang di lingkungan sekitarnya

karena seringnya informan berpindah tempat tinggal, ia menjadi pribadi

yang aktif dan mudah bergaul setelah mengetahui bahwa dirinya

terdiagnosis HIV positif.

Perubahan perilaku yang terjadi pada informan dalam

keaktifannya dengan lingkungan disekitar, pasti memiliki alasan yang

kuat serta memiliki waktu yang lama untuk merubahnya, terutama

merubah dari yang sebelumnya tidak aktif menjadi sosok aktivis HIV

yang aktif, atau dalam perubahan salah seorang informan yang pernah

menjadi WPS karena merasa sakit hati setelah mengetahui dirinya

tertular HIV dari suaminya. Menurut Soekidjo Notoatmodjo, perubahan

perilaku adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan waktu

relatif lama, secara teori perubahan perilaku melalui tiga tahap, tahap

pengetahuan, sikap, dan tindakkan (Notoatmodjo, 2007).

6.2.5 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga

Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan hubungan yang

terjalin erat dan terangkum bersama melalui ikatan perkawinan.

Pengertian dari keluarga sendiri merupakan kesatuan dari orang- orang

yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-

peranan sosial (Moleong, 2010). Dari hasil wawancara mengenai riwayat

175
HIV/AIDS pada keluarga, kelima informan tidak ada orang tua atau adik

atau kakak atau saudaranya, yang tinggal satu rumah dengannya, yang

memiliki riwayat keluarga yang telah terinfeksi HIV/AIDS. Namun

kelimanya memiliki suami yang telah terinfeksi HIV positif sebelumnya.

Sebagian besar informan mengetahui riwayat HIV yang telah

menginfeksi suaminya, setelah informan terdiagnosis HIV positif. Hanya

terdapat satu informan yang melakukan VCT setelah setahun suaminya

meninggal dunia dan terdiagnosis HIV positif.

Berikutnya adalah jumlah saudara kandung dari perempuan

terdiagnosis HIV positif. Dari informasi mengenai jumlah saudara

kandung yang dimiliki oeh perempuan dengan HIV positif, terlihat

bahwa tiga dari informan merupakan anak pertama dan dari semua

informan memiliki saudara kandung, ini berarti informan dalam

penelitian ini tidak ada yang merupakan anak tunggal, bahkan terdapat

informan yang memiliki saudara kandung hingga 6 bersaudara. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian berikut ini, posisi anak dalam keluarga

juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini

dapat dilihat pada anak pertama atau tunggal kemampuan intelektual

lebih menonjol dan cepat berkembang di bandingkan anak kedua karena

pada anak pertama orang tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam

segala hal, baik pendidikan, gizi, atau yang lain (Hidayat, 2005).

Begitupun seperti yang di paparkann oleh Soetjiningsih, jumlah

anak yang banyak pada keluarga yang keadaan ekonominya cukup akan

176
mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua yang

di terima anaknya, terutama kalau jarak anak yang terlalu dekat

(Soetjiningsih, 1998 ). Pada keluarga dengan jumlah anak yang banyak

akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada

anak juga kebutuhan primer seperti makan sandang dan perumahan yang

terpenuhi.

Semakin banyaknya jumlah saudara kandung, maka akan semakin

kurang perhatian dan kasih sayang yang informan dapatkan dari

keluarganya, dan ini akan membuat informan terjerumus kedalam

pergaulan bebas dan menunjukkan perilaku tidak baik. Seperti yang

terjadi pada informan ketiga, dimana ia merupakan anak keempat dari

enam bersaudara, ia merasakan pola asuh dari kedua orang tuanya yang

kurang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada dirinya, sehingga

ia mencari jati diri dan tempat pelarian untuk mendapatkan itu semua.

Awalnya hanya berpacaran, namun lambat laun cara berpacarannya

menjadi berlebihan, hingga melakukan hubungan seksual diluar nikah

dan akhirnya hamil di luar nikah. Selain berasal dari keluarga dengan

jumlah saudara kandung yang banyak, pola asuh orang tua yang hampir

serupa juga terjadi pada informan keempat, dimana ia merupakan anak

pertama dari tiga bersaudara, ia kurang mendapatkan perhatian dan kasih

sayang dari keluarganya. Sehingga ia pun mulai terjerumus kedalam

pergaulan yang tidak baik dan akrab dengan narkoba semenjak duduk di

bangku SMK.

177
6.2.6 Pengetahuan HIV/AIDS

Pengetahuan merupakan bagian penting dalam pembentukan

perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,

2007). Sehingga apabila perempuan dengan HIV positif memiliki

pengetahuan yang tinggi tentang HIV serta cara penularan dan

pencegahannya maka sangat memungkinan mereka untuk memiliki

perilaku yang tidak berisiko, karena mereka memiliki motivasi tinggi

untuk tetap berperilaku aman, sehingga terhindar dari kemungkinan

menularkan HIV pada orang lain.

Hasil penelitian menunjukkan sebelum informan terdiagnosis

HIV positif, dari kelima informan, kelimanya merasa sangat kesulitan

dalam mengakses informasi terkait HIV/AIDS. Sejalan dengan hasil

penelitian dari Oktarina bahwa hasil penelitian menunjukkan terdapat

hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan mengenai

HIV/AIDS, sehingga ini menggambarkan bahwa para wanita kurang

mendapatkan informasi HIV/AIDS dibanding laki- laki. Hal ini

disebabkan karena laki- laki lebih banyak berada diluar rumah sehingga

mudah mendapatkan segala sumber informasi kesehatan khususnya

HIV/AIDS dari manapun. (Oktarina.dkk, 2009). Dari hasil penelitian

didapatkan informan yang benar-benar tidak mendapat informasi apapun,

namun ada pula informan yang mendapat informasi seadanya dari orang

sekitarnya dan mendapatkan informasi dari media massa berupa TV.

178
Adapun jenis informasi yang didapatkan oleh informan berupa gambaran

HIV seperti: penyakit mematikan, menyeramkan, dan tidak bisa

disembuhkan dengan penularan melalui hubungan seksual. Adapula yang

mendapatkan informasi berupa preventif HIV dan penyebab penularan

HIV melalui hubungan seksual berisiko.

Hasil penelitian lainnya diperoleh Informasi bahwa setelah

terdiagnosis terinfeksi HIV positif, para informan mendapat informasi

yang beragam, mulai dari pengobatan hingga bagaimana agar tidak

menularkan virus tersebut kepada orang lain. Media informasi juga

mempunyai peran penting dalam meningkatkan pengetahuan seseorang,

dalam hal ini pengetahuan terkait HIV dan AIDS. Kemajuan teknologi

akan tersedia dengan bermacam- macam media massa seperti televisi,

radio, surat kabar, majalah, dan media massa lainnya akan memiliki

pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan informan

terkait informasi HIV dan AIDS. Dalam penyampaian informasi, media

massa membawa pesan- pesan penting yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang (Notoatmodjo, 2007). Selain berasal dari

media massa, Informasi tersebut didapatkan pula melalui penyuluhan,

seminar dan kegiatan dari LSM. Selain mendapatkan informasi mereka

juga mendapatkan dukungan psikologis agar mereka terus bersemangat

menjalani hidup dan dapat berbagi pengalaman kepada orang lain agar

tidak mengalami hal seperti dirinya.

179
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh responden

memiliki pengetahuan tentang HIV &AIDS dan cara pencegahan dalam

kategori tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat ODHA yang

sudah menjangkau layanan VCT akan mendapatkan informasi yang

komprehensif tentang HIV&AIDS dan upaya pencegahan penularannya.

Dalam pelayanan VCT harus memenuhi persyaratan dasar yang meliputi

konseling pre-test, konseling post-test,informed consent dan kerahasiaan.

Pada proses pre-test setiap klien harus mendapatkan informasi tentang

HIV&AIDS, penularan dan perilaku berisiko (P2PL, 2008).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari kelima informan,

pengetahuan mengenai kepanjangan dari singkatan HIV yang tepat hanya

di jawab oleh satu orang saja. Namun pengetahuan mengenai cara

penularan HIV terlihat telah cukup baik, jawaban keempat informan

sudah menyinggung cara penularan HIV baik dengan melalui hubungan

seksual maupun melalui hubungan non seksual, serta melalui penularan

dari ibu yang HIV ke anaknya. Sementara pengetahuan informan

mengenai cara pencegahan HIV terlihat baik, ini dibuktikan dengan

mereka mengetahui cara pencegahan HIV baik melalui pencegahan

seksual, seperti tidak melakukan seks bebas, setia terhadap pasangan, dan

menggunakan kondom bila memiliki perilaku bergonta- ganti pasangan,

Serta pencegahan HIV secara non seksual, seperti tidak menggunakan

narkoba suntik dan menghindari transfusi darah, agar dirinya tidak

menjadi penyebab penularan HIV kepada orang lain. Ada pula yang

180
menyinggung mengenai edukasi dan pencegahan melalui transmisi ibu ke

anak dalam salah satu cara pencegahan HIV.

Bukanlah hal yang terlalu penting ketika informan tidak

mengetahui apa itu singkatan dari HIV secara lengkap dan benar, yang

terpenting adalah seberapa paham dan seberapa banyak informasi yang

informan dapatkan dalam mengetahui cara penularan juga cara

pencegahan dari HIV itu sendiri, dan ternyata sebagian besar informan

sudah paham dan sudah mengetahui mengenai cara penularan serta

pencegahan HIV agar mereka tidak menularkannya ke orang lain,

khususnya pada saudara dan keluarga terdekat mereka. Pengetahuan

terkait cara penularan dan pencegahan HIV ini juga dapat informan

gunakan untuk membantu memberikan edukasi bagi orang- orang yang

berada disekitarnya. Edukasi yang disisipi dengan pengalaman pribadi

akan lebih mudah di serap oleh orang- orang yang diberikan edukasi.

Pada penelitian ini, kelima informan telah memiliki pengetahuan dan

menguasai bagaimana cara pengobatan HIV yang benar, yaitu dengan

menggunakan terapi ARV dan dari kelima informan sudah mempraktikan

terapi ARV dengan teratur. Dari hasil penelitian, juga didapati mengenai

pengetahuan terkait perilaku seksual berisiko. Masing- masing dari

informan telah memiliki pengetahuan dan mengetahui dengan baik

mengenai perilaku seksual berisiko yang menjadi penyebab dari

terinfeksinya seseorang terhadap HIV positif. Pengetahuan para informan

mengenai perilaku non seksual berisiko HIV juga sudah sangat baik,

181
sebab tidak ada dari kelima informan yang misalnya menyebutkan

perilaku non seksual bisa berupa penularan dari udara, pemakaian alat

makan bersamaan, pemakaian alat mandi bersamaan, pemakaian alat

tidur bersamaan, bersentuhan kulit yang tidak memiliki luka terbuka,

berpelukan, berciuman, ataupun perilaku- perilaku lainnya yang selama

ini masih menjadi isu penularan HIV bagi sebagian orang yang memiliki

pengetahuan HIV rendah.

Sebanding dengan pengetahuan yang para informan miliki, perilaku

berisiko dalam menularkan HIV pada orang lainpun dapat semakin

terhindari. Para informan mengakui bahwa mereka sangat berhati- hati

untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku-

perilaku berisiko yang bisa saja, secara sengaja atau pun tidak sengaja

mereka lakukan. Seperti salah satu informan yang mengakui bahwa jauh

sebelum sekarang ini, ia pernah memiliki niat dan perilaku buruk untuk

menularkan HIV kepada orang lain, melalui perilaku berisiko menjadi

wanita penghibur. Saat ia menjadi wanita penghibur, ia sangat

memahami dan menguasai terkait penularan dan perilaku- perilaku yang

memudahkannya untuk menularkan HIV pada orang lain.

Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh informan

memiliki pengetahuan yang meliputi cara pencegahan, penularan,

perilaku berisiko, serta pengobatan HIV dan AIDS yang cukup baik. Hal

ini sangat memungkinkan terjadi, mengingat para informan yang sudah

menjangkau layanan VCT atau PITC akan mendapatkan informasi yang

182
komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dalam pelayanan VCT harus

memenuhi persyaratan dasar yang meliputi konseling pre test, konseling

post test, informconsent, dan kerahasiaan. Pada proses pre test setiap

pasien harus mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS, penularan,

serta perilaku berisiko (P2PL, 2008).

Tingkat pemahaman informan yang cukup baik mengenai HIV dan

AIDS menggambarkan bahwa mereka tidak hanya mengetahui informasi

tentang HIV dan AIDS saja tetapi mampu juga untuk menjelaskan,

menginterpretasikan, dan meramalkan aspek- aspek HIV dan AIDS,

seperti mengenai cara penularan, cara mendeteksi, cara pencegahan agar

tidak menularkan ke orang lain, cara pengobatan, hingga cara mengatasi

rasa depresi yang timbul dalam menerima status barunya sebagai

perempuan terinfeksi HIV positif. Kondisi tersebut akan berbanding

terbalik dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa ODHA yang

belum siap menerima statusnya, justru tidak mau mendatangi tempat

pelayan VCT. Sebab ODHA mengalami ketakutan dan keputusasaan

ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV (Arriza, 2011).

Tingkat pengetahuan yang tinggi tentang HIV dan AIDS sangat

penting bagi informan agar memiliki sikap positif untuk mencegah

penularan dan melaksanakan pengobatan (terapi ARV). Semua informan

mengakui bahwa informasi terkait HIV/AIDS menjadi jauh lebih mudah

diperoleh saat mereka telah mengetahui diriya terinfeksi HIV. Hal ini

didukung dengan hasil penelitian dari Husnul Umam yang mengatakan

183
bahwa orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV sering mendapatkan

informasi tentang HIV dan AIDS baik dari media massa maupun dari

petugas kesehatan. Lingkungan juga memiliki peran penting dalam

mempengaruhi jumlah informasi yang didapatkan, hal ini terjadi karena

adanya interaksi timbal balik yang akan direspon sebagai pengetahuan

oleh individu (Umam, 2015).

6.2.7 Agama

Hasil penelitian terlihat bahwa kelima informan sebagian besar

beragama Islam dan sisanya menganut agama Kristen. Dari kelima

informan ini juga memaparkan bahwa keyakinan yang dianut oleh

dirinya sama dengan keyakinan yang dianut oleh pasanganya. Ini berarti

tidak ada informan beserta pasangannya yang tidak memiliki agama

(Atheis). Sehingga hal ini seharusnya membuat informan dan

pasangannya memiliki acuan dalam bersikap dan bertingkah laku seperti

menurut Jamaluddin mengenai fungi agama, fungsi agama dalam

kehidupan individu adalah sebagai suatu sistem nilai yang membuat

norma- norma tertentu. Norma- norma tersebut yang menjadi kerangka

acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan

yang dianutnya (Jalaluddin, 2008).

Pada hasil penelitian, sebelum terdiagnosis HIV positif, didapatkan

mengenai ketaatan beragama informan dan pasangannya, bahwa dari

ketiga informan yang beragama islam, hanya terdapat satu informan saja

yang taat dalam beribadah. Sementara pada pasangannya, memiliki

184
ketaatan dalam beribadah yang kurang baik.Berbeda dengan kedua

informan beragama Kristen, keduanya terlihat lebih taat dalam beribadah

dan pasangannya tidak jauh berbeda, karena mereka melakukan kegiatan

ibadah mereka sebelum terdiagnosis HIV positif secara bersama- sama.

Sedangkan hasil penelitian mengenai ketaatan beragama informan dan

pasangannya, setelah terdiagnosis HIV positif, didapatkan bahwa ada

perbedaan dari segi ketaatan beragama pada para informan saat sebelum

terdiagnosis HIV dan setelah terdiagnosis HIV.

Pada saat informan sudah terdiagnosis HIV positif, merkeka

semakin menyadari akan pentingnya taat dalam beragama, walaupun ada

yang masih tetap tidak banyak memiliki perubahan dalam beragama. Ini

berarti bahwa dengan adanya HIV positif yang menginfeksi kelima

informan, ketaataan beribadah mereka berubah menjadi lebih baik

daripada sebelum informan mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV

positif. Sementara pada pasangan informan tidak diketahui ada

perubahan atau tidaknya, dikarenakan setelah pasangan terdiagnosis HIV

positif, informan memiliki beragam kondisi hubungan komunikasi

terhadap pasangannya. Ada informan yang pasangannya terdiagnosis

HIV positif setelah meninggal dunia, sehingga tidak bisa mengetahui

perubahan ketaatan beragama dari pasangannya. Adapula informan yang

memiliki hubungan komunikasi yang kurang baik setelah terdiagnosis

HIV positif.

185
Dalam beragama seorang individu sudah seharusnya memiliki

keyakinan terhadap suatu ajaran agama, sehingga menjadikan agama

yang dianutnya sebagai suatu motivasi. Dengan motivasi tersebut mampu

membuatnya merasakan suatu rasa puas, rasa bahagia, juga kemantapan

batin dan perlindungan. Hal ini sejalan dengan pendapat berikut, sebagai

sebuah motivasi agama memiliki unsur ketaatan dan kesucian sehingga

memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perlindungan, dan rasa

puas. Sedangkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat meliputi

fungsi edukatif, penyelamat, sebagai pendamai, dan kontrol sosial.

Melalui agama dapat menjamin ketertiban dalam kehidupan moral dan

ketertiban bersama (Jalaluddin, 2008). Berdasarkan hal tersebut,

seharusnya dengan memiliki keyakinan terhadap suatu ajaran agama, lalu

melakukan praktik ibadah sesuai dengan keyakinan tersebut, dan

mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar, fungsi agama

sebagai acuan norma akan berjalan dengan baik. Dengan kata lain,

seharusnya tindakan- tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma

agama, seperti menggunakan narkoba dan melakukan seks bebas, tidak

akan dilakukan atau setidaknya dihindari oleh pasangan informan agar

tidak terjadi infeksi HIV positif dan menularkan ke orang lain (dalam hal

ini istrinya sebagai informan). Begitupun ketika telah terdiagnosis HIV

positif, seharusnya ketaatan dalam beragama bisa menunjukan perubahan

semakin lebih baik karena agama menjadi mampu menjadi motivasi bagi

186
informan dan pasangannya yang masih hidup dalam member kemantapan

batin, rasa bahagia, rasa perindungan, dan rasa puas.

6.2.8 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS

Hasil penelitian didapatkan bahwa awal diketahui status HIVnya

setelah melakukan VCT yang dilakukan secara sukarela dan berdasarkan

inisiatif dari informan dan adapula yang mengetahui status HIV pada

dirinya setelah melakukan VCT yang dilakukan atas anjuran dari kader

kesehatan wilayahnya dan tenaga kesehatan karena melihat adanya faktor

berisiko yang ada pada sekeliling informan. Tes HIV melalui VCT

sebagai salah satu pintu masuk untuk akses layanan pencegahan,

pengobatan, perawatan, dukungan (Kemenkes RI, 2013). Namun sebab

awal diketahuinya status HIV positif berdasarkan waktu, didapati waktu

yang cukup beragam dari setiap informan.

Ada informan yang melakukan tes HIV saat sedang mengandung,

ada yang melakunnya setelah melahirkan, adapula yang melakukan tes

HIV setelah suaminya meninggal dunia dan didiagnosis terinfeksi HIV

positif. Gejala HIV yang dirasakan informan juga berbeda- beda, ada

yang sebelum terdiagnosis HIV positif namun sudah merasakan gejala

HIV dan adapula yang sebelum terdiagnosis HIV positif tidak merasakan

gejala apapun.

Dalam pelaksanaan PPIA, pelaksanaannya dilaksanakan secara

komprehensif meliputi 4 prong, informan yang telah terdiagnosis HIV

187
ketika sedang hamil ataupun setelah melahirkan berarti telah memasuki

prong 3 dan membutuhkan pencegahan yang lebih ketat sebab di prong 3

ini merupakan inti dari kegiatan PPIA. Adapun pelayanan jika telah

terdiagnosis HIV saat hamil meliputi pemberian antiretroviral,

perencanaan persalinan yang aman. Jika setelah melahirkan meliputi tata

laksana pemberian makanan bagi bayi, menunda dan mengatur

kehamilan (Kemenkes RI, 2013).

6.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut


Tempat

a. Keberadaan dan Kebermanfaatan Pusat Layanan Kesehatan


Terdekat dari Tempat Tinggal
Hasil penelitian, ditemukan bahwa faktor keamanan dan kenyamanan

menjadi kunci utama yang menyebabkan informan pada akhirnya memilih

untuk berobat di Puskesmas Kramat Jati meskipun mereka tinggal bukan

disekitar wilayah Puskesmas Kramat Jati. Dalam mendapatkan pelayanan

kesehatan, faktor jarak daerah tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan

mempengaruhinya, semakin dekat jaraknya, semakin memudahkan

seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan (Katiandagho, 2015).

Namun teori tersebut tidak berlaku bagi para penderita HIV, yang menjadi

informan dalam penelitian ini, karena sebagian besar dari mereka

merasakan keamanan ketika berobat di Puskesmas Kramat Jati yang

posisinya bukan di wilayah tempat tinggal para informan, hal tersebut

dapat terjadi karena mungkin saja informan dapat bertemu dengan orang

188
yang juga tinggal di daerah wilayah tempat tinggalnya ketika sedang

berobat di Puskesmas wilayah tempat tinggalnya. Sebagian besar informan

memang tidak menginginkan status HIVnya diketahui oleh orang- orang

yang tinggal di sekitar wilayah tempat tinggalnya sebab itu akan

mempengaruhi nama baik keluarga dan bisnis yang tengah dikelola oleh

informan. Faktor kenyamanan juga menjadi alasan para informan akhirnya

memilih untuk berobat di Puskesmas Kramat jati.

6.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut


Waktu

a. Lama Sakit

Lama sakit yang di derita oleh informan dimulai dari waktu sejak

pertamakali terdiagnosis melalui pemeriksaan diagnostik (tes antibodi

HIV, jumlah limfosit total, ELISA, atau Wetern Blot sesuai prosedur

standar) (Depkes RI, 2008).

Hasil penelitian didapatkan bahwa perkiraan lama sakit yang telah

diderita oleh informan dalam penelitian ini adalah mulai dari 4 bulan

hingga 11 tahun. Sehingga berdasarkan fase perkembangan infeksi HIV,

bagi informan yang memiliki lama sakit dibawah 10 tahun, masuk

kedalam stadium tanpa gejala, itu berarti walaupun informan terlihat sehat

namun didalam organnya telah terdapat HIV dan mampu menularkannya

ke orang lain (Nursalam, 2007). Sementara bagi informan yang telah

189
memasuki lama sakit lebih dari 10 tahun, sudah masuk kedalam stadium

AIDS dengan menunjukkan gejala- gejala berat dan berat badan menurun

lebih dari 10% bobot tubuh sebelumnya (Shams, 2008). Hal tersebut

terbukti pada informan yang memiliki lama sakit lebih dari 10 tahun, ia

mengakui bahwa berat badannya sangat menyusut dari berat badan di

beberapa tahun sebelumnya. Infeksi opportunistik pun seringkali ia terima,

terkadang timbul secara bersamaan sekaligus, hingga terkadang informan

hanya dapat berbaring di atas tempat tidur untuk beberapa hari.

Kemungkinan yang membuat informan hingga sekarang mampu

untuk bisa terus bertahan dengan sakitnya adalah dukungan dari orang

sekitar dan rutin dalam menjalani terapi ARV, sebab hasil penelitian

Rachmawati (2013) menyatakan bahwa kualitas hidup ODHA yang

mengikuti terapi ARV dalam aspek fisik adalah baik karena ODHA telah

menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik dengan minum obat

antiretroviral tepat waktu sehingga infeksi oportunistik dapat ditekan

keberadaannya (Rachmawati, 2013).

b. Usia Saat Pertamakali Terdiagnosis HIV Positif

Hasil penelitian didapatkan bahwa usia informan saat pertamakali

terdiagnosis HIV positif, diperkirakan berkisar antara 25 tahun hingga 36

tahun dan ini tergolong usia produktif. penelitian Dachlia (2000) dalam

penelitian Yowel Kambu (2012) menyatakan beberapa studi

190
memperlihatkan bahwa umur berhubungan erat dengan keaktifan perilaku

seksual seseorang, variabel umur ini berperan dalam membentuk perilaku

seseorang, termasuk perilaku seksual (Kambu Y. , 2012).

Usia juga mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Sehingga pada usia dewasa, individu akan lebih berperan aktif dalam

masyarakat dan kehidupan sosial, selain itu orang pada usia tersebut akan

lebih banyak meenggunakan waktu untuk membaca. Kemampuan

intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan

hampir tidak ada penurunan (Notoatmodjo S. , 2007). Teori tersebut

sejalan dengan bagaimana informan mengatasi permasalahannya terkait

HIV positif yang ketika itu baru diketahuinya. Rasa sedih, marah, kecewa ,

bingung, panik, depresi, dan melakukan penolakan terhadap status barunya

merupakan sedikit dari hal yang dirasakan oleh informan. Namun

informan mampu mengatasinya dengan berbagai caranya masing- masing,

antara lain dengan berdo’a, baik secara sadar atau pun tidak, informan juga

memperbanyak mencari tahu segala macam pengetahuan mengenai

HIV/AIDS, dukungan orang disekitarnya, terutama keluarganya sangat

berperan dalam membangkitkan semangat hidup dan penerimaan diri

terhadap status HIV positif dalam dirinya.

Pemahaman diri dan harapan yang realistis juga menjadi faktor

yang berpengaruh dalam meredam apa yang informan rasakan saat itu.

Seperti dalam penelitian Nadia Maya (2013) yang menyatakan bahwa

hasil penelitiannya didapatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh

191
dalam penerimaan diri adalah pemahaman diri dan harapan yang realistis,

harapan yang realistis ini dicirikan dengan berpikir positif dan realistis,

mampu menempatkan diri, optimis menjalani hidup, dan tidak

mengharapkan belas kasihan orang lain (Maya, 2013).

6.5 Pengobatan yang Dijalani oleh Perempuan TerdiagnosisHIV Positif

a. Terapi ARV
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kelima informan telah

mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai jenis pengobatan yang

harus mereka jalani sehingga dari semua informan menyatakan bahwa

mereka telah melaksanakan terapi ARV. Hal ini sejalan dengan apa yang

tertulis dalam pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi

Antiretroviral, bahwa setiap ODHA harus mendapatkan informasi yang

lebih mengutamakan manfaat dari terapi ARV sebelum terapi dimulai.

Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum melakukan

terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang untuk

mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang,

malalui konseling pra terap ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum

obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain,

pemantauan keadaan klinis, dan pemantauan pemeriksaan laboratorium

secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4 (P2PL, 2011).

192
Hasil penelitian juga diketahui untuk memulai terapi ARV di

Puskesmas Kramat Jati, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan

dilihat stadiumnya terlebih dahulu. Jika CD4 < 350 sel/mm3 maka terapi

ARV mulai ditawarkan ke pasien HIV. namun jika pasien sudah memiliki

TB aktif dan pasien sedang dalam keadaan mengandung, maka terapi

ARV tetap akan ditawarkan meskipun jumlah CD4 belum <350 sel/mm3,

sebab pemberian ARV selama hamil mampu mengurangi penularan pada

bayi. Sejalan dengan apa yang telah diberlakukan Puskesmas Kramat Jati,

dalam buku “Pedoman Pedoman Tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan

Terapi Antiretroviral” menjelaskan untuk memulai terapi ARV, perlu

dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium

klinis infeksi HIV nya. Hal tersebut untuk menentukan penderita sudah

memenuhi syarat untuk terapi ARV atau belum memenuhi syarat. Bila

tidak tersedia pemeriksaan CD4 maka penentuan mulai terapi ARV

didasarkan pada penilaian klinis. Namun jika tersedia pemeriksaan CD4

maka terpai ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga

dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi

Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (P2PL, 2011).

b. Kepatuhan

Terapi ARV adalah terapi yang memerlukan kepatuhan yang

sangat tinggi karena jika terapi yang dijalankan tidak serius maka virus

akan menjadi resistensi. Istilah kepatuhan yang digunakan didunia medis

193
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien

dalam meminum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya

(Nursalam, 2007).

Upaya agar informan patuh dalam minum obat, maka pihak

Puskesmas Kramat Jati melibatkan informan itu sendiri untuk memutuskan

apakah minum atau tidak, dan semua informan memilih untuk menjalani

terapi ARV dengan konsekuensi yang telah di sepakati. Ini sejalan pula

dengan teori bahwa kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu

keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar

kesadaransendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter (P2PL,

2011). Hal tersebut penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan

tingkat kepatuhan minum obat dari informan.

Kepatuhan dalam terapi ARV harus selalu dipantau dan dievaluasi

secara teratur pada setiap kunjungan di tempat informan berobat, dalam

hal ini di Puskesmas Kramat Jati. Seringkali kegagalan terapi ARV

diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien dalam mengkonsumsi ARV.

Untuk itu, Puskesmas Kramat Jati bekerjasama dengan LSM untuk turut

ikut membantu memonitoring dan evaluasi terapi ARV pada pasien

ODHA yang berobat disana, dalam bentuk pendampingan. Kerjasama

yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan

suasana pengobatan yang menciptakan kenyamanan dan keamanan akan

membantu pasien untuk patuh minum obat. Selain itu, sebagian besar

informan juga telah merasakan infeksi oportunistik sehingga agar infeksi

194
tersebut tidak semakin parah, informan meniatkan dan memberikan

kesadaran penuh pada dirinya agar rutin terapi ARV.

c. Respon dan Efek samping Terapi ARV

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa mayoritas informan

merasakan pusing setelah mengkonsumsi ARV juga merasakan kulitnya

menjadi lebih kering dan senstif. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena

seperti kebanyakan obat- obatan lainnya, obat antiretrovirus juga dapat

menimbulkan efek samping. Efek samping yang tidak diinginkan ini

seringkali ringan seperti yang dirasakan oleh informan. Namun dapat

menjadi lebih serius hingga memberikan dampak yang besar bagi kesehatan

dan kualitas hidup ODHA.

Berdasarkah penelitian, Infeksi oportunistik lainnya yang menyerang

informan antara lain: flue, demam, IMS berupa jamur yang mengakibatkan

gatal dan keputihan parah, infeksi pencernaan, hepatitis, tuberculosis paru,

hingga terserang virus tokso. Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP

dan Toksoplasmosis) dapat dicegah dengan pemberian kortimoksasol.

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan

kortimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang

yang terinfeksi HIV (P2PL, 2011).

c. Pengobatan Alternatif

195
Pada hasil penelitian diakui oleh salah satu perempuan terdiagnosis

HIV positif bahwa masih banyak teman- teman ODHA yang menggunakan

obat herbal atau pengobatan alternatif dalam proses pengobatan HIV dan

yang lebih parah masih terdapat teman- teman ODHA dari informan yang

tidak mau melakukan terapi ARV sama sekali dan lebih memilih untuk

menggunakan obat herbal atau pengobatan alternatif saja, sebab takut akan

efek samping dari penggunaan terapi ARV.

Sama halnya seperti kebanyakan obat- obatan, obat antiretrovirus juga

dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang tidak diinginkan ini

seringkali ringan, tapi dapat pula menjadi lebih serius dan memberikan

dampak yang besar bagi kesehatan atau kualitas hidup. Gejala yang

diberikan anatara lain demam, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare,

atau rasakit abdomen), keletihan, kejala respirasi (faringitis, batuk, atau

dyspnoe), hepatitis klinis yang akan meningkat dengan cepat menjadi

kegagalan hepar, diabetes militus, hyperlipidemia,lipodistrophy, kerusakan,

tulang, peningkatan erdarahan pada hemophilia, serta efek samping lainnya

tergantung dengan jenis ARV yang di gunakan untuk terapi. Memang pada

dasarnya, hingga sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan

HIV/AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus didalam tubuh

dapat ditekan dengan baik, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya

orang sehat (Siegfried, 2011).

196
6.6 Dampak Sosial yang Dialami oleh Perempuan Terdiagnosis HIV
Positif

a. Respon dan Sikap Keluarga


Keluarga memiliki peran penting dalam pendekatan masalah

HIV/AIDS, arah dan strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS

(Keppres 36/94) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan

ketahanan keluarga sejalan dengan UU pokok no 10 tahun 1992 tentang

kependudukan dan keluarga sejahtera. Misalnya untuk perawatan

penderita, peranan keluarga, baik keluarga batih maupun keluarga

jaringan (nuclear and extended family) akan semakin dibutuhkan.

Dukungan keluarga terutama perawatan Odha dirumah biasanya akan

menghabiskan biaya lebih murah, lebih menyenangkan, lebih akrab, dan

membuat Odha sendiri bisa lebih mengatur hidupnya. Sebenarnya

penyakit yang berhubungan dengan Odha biasanya akan cepat membaik,

dengan kenyamanan di rumah, dengan dukungan dari teman terutama

keluarga (Spiritia, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar informan

mendapatkan respon yang baik dari keluarganya dan keluarga

pasangannya saat hendak menikah. Respon kedua keluarga mendukung

dan menyetujui adanya pernikahan tersebut, namun hal tersebut diluar

pengetahuan mereka mengenai status HIV positif yang dimiliki oleh

pasangan informan. Sebab, diantara kelima informan tidak ada yang

sebelum pernikahannya berlangsung, melakukan cek kesehatan.

Sebagian kecil informan, respon dari kedua belah pihak keluarganya

197
tidak menyetujui pernikahantersebut. Hal ini bukan karena sudah

diketahui adanya status HIV positif yang menginfeksi pasangan

informan, melainkan karena perilaku buruk pasangan dari informan.

Pasangan informan tersebut memiliki perilaku berisiko untuk terinfeksi

HIV positif. Hal itulah yang menyebabkan sulitnya informan dan

pasangannya dalam mendapatkan restu dari keluarganya. Tak jauh

berbeda dengan respon dari pihak keluarga pasangan informan. Respon

dari keluarga pasangan informan juga menjadi tidak baik setelah

mendapatkan respon yang tidak baik pula dari pihak keluarga informan.

Respon berbeda ditujukkan oleh keluarga dari kedua belah pihak,

setelah kedua pihak keluarga mengetahui status HIV positif yang

menginfeksi informan dan pasangannya. Sebagian besar respon keluarga

menjadi berubah setelah mengetahui bahwa informan dan pasangannya

terdiagnosis HIV positif. Perubahan respon tersebut pun beragam, ada

yang cenderung memberikan respon negatif dan adapula yang

memberikan respon positif serta menguatkan informan. Respon keluarga

yang diterima sejalan dengan sikap yang diterimaoleh informan. Sikap

keluarga dari pihak informan dan pasangannya beragam. Ada yang biasa

saja namun cenderung mendukung informan agar tetap sehat dan adapula

yang menampakkan sikap negatif yang cenderung mendeskriminasi

informan.

Sementara itu, setelah pasangannya terlebih dahulu terdiagnosis HIV

positif dan disusul dengan informan, hubungan antara informan dengan

198
pasangannya pun didapati mengalami perubahan. Bagi yang memiliki

pasangan masih hidup, mereka merasakan hubungannya menjadi semankin

merenggang dari hari ke hari akibat rasa kesal, kecewa, dan terus menerus

disalahkan sebagai penyebab atas apa yang tengah terjadi pada mereka dan

anak- anaknya. Sehingga infeksi HIV dan AIDS masih menimbulkan

stigma dan diskriminasi. Jadi a penting bagi keluarga untuk menjaga

kerahasiaan Odha. Keluarga tidak berhak memberi tahu orang lain,

termasuk petugas perawatan kesehatan, tentang status HIV positif

keluarganya, kecuali dia memberi persetujuan yang jelas. Keluarga harus

sangat berhati-hati dengan pengunjung agar mereka tidak dapat

mengetahui secara tidak sengaja, misalnya dengan melihat buku mengenai

AIDS atau obat khusus untuk infeksi (Spiritia, 2008).

Hasil penelitian mengenai pengaruh dukungan keluarga terhadap

keberfungsian sosial ODHA juga menunjukan bahwa ada pengaruh antara

dukungan keluarga terhadap keberfungsian ODHA (Kristian, 2013).

Sebagian besar informan tergabung di LSM, namun bukan sebagai

pendamping ODHA, mereka lebih sering untuk turut membantu dalam

membuat kegiatan dan tampil di kegiatan- kegiatan mewakili LSM, yang

tujuan untuk bisa menginspirasi orang lain, terutama rekan sesama ODHA.

Banyak pula informan yang ebih senang untuk menjadi pengusaha.

Sehingga terlihat dari kelima informan yang mendapatkan dukungan

keluarga menjadi tetap bisa dan malah lebih bisa berfungsi dengan cukup

baik di lingkungannya.

199
b. Respon dan Sikap Masyarakat Sekitar

Hasil penelitian didapatkan bahwa dari kelima informan, sebagian

besar sudah membuka status HIV nya kepada tetangga dan lingkungan

sekitarnya, pada proses membuka diri ini ada informan yang membukanya

dengan sengaja tanpa ada paksaan, namun adapula yang tidak sengaja dan

akhirnya terpaksa membuka status HIV positifnya. Bagi yang telah

membuka status HIVnya, mereka merasakan adanya stigma, cap negatif,

dan diskriminasi dari masyarakat. Masih timbulnya stigma, cap negatif,

dan dskriminasi dari masyarakat mengenai HIV terlebih HIV yang terjadi

pada perempuan akan menimbulkan rasa malu dan enggan saat melakukan

kegiatan sosial, hal ini tidak terlepas dengan adanya stigma dan cap negatif

pada perempuan terdiagnosis HIV di masyarakat.

Kondisi HIV/AIDS terlebih pada perempuan dianggap sebagai

penyakit yang memalukan sehingga akan menimbulkan kecemasan dan

kekhawatiran, karena hal tersebut perempuan terdiagnosis HIV positif

akan menjadi tidak lagi percaya diri dan menganggap bahwa dirinya

berbeda dengan orang lain disekitarnya, yang tidak terinfeksi HIV positif.

Hal ini akan mempengaruhi kondisi individu (Jackson, 1999). Adapun

bentuk stigma, cap negatif, maupun diskriminasi yang pernah dijumpai

oleh informan antara lain berupa cibiran, perlakuan yang berbeda dari

orang- orang sekitar, hingga menurunnya hasil pendapatan dari usaha

mereka.

200
Menderita HIV/AIDS tidak hanya menyebabkan masalah fisik oleh

timbulnya berbagai macam penyakit (infeksi oportunistik), melainkan

mereka juga harus menghadapi masalah sosial. Mereka diperlakukan

berbeda oleh orang lain, dalam pergaulannya dikucilkan oleh teman-

temannya, bahkan oleh keluarga sendiri. Mengidap HIV di Indonesia

masih dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis

terutama pada penderitanya maupun keluarga, dan lingkungan di sekeliling

penderita (Nursalam, 2007). Sebagian kecil informan masih menutup

status HIV dalam diri mereka, akibat menutup diri, mereka mengalami

perubahan perilaku, terutama pada saat kontak sosial dengan masyarakat di

lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perilaku sosial perempuan dengan HIV/AIDS menunjukkan

perilaku yang berubah- ubah dan sangat situasional, menghadapi kesulitan

adaptasi sosial terhadap lingkungannya. Reaksi penyangkalan yang

dilakukan dalam bentuk menutupi statusnya dari lingkungan sekitar,

dilakukan untuk mengembalikan keberadaannya di masyarakat (Mumpuni,

2001).

201
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

A. Gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS

1. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS berpendidikan menengah

dan sebagian dari mereka pernah menempuh pendidikan non formal,

dengan waktu belajar antara 3 bulan hingga 1 tahun. Adapun jenis

pendidikan non formal yang pernah dilalui oleh perempuan dengan

HIV/AIDS adalah: kursus membuat kue, kursus membuat pola, kursus

tata rias pengantin, kursus bahasa inggris, dan kursus montir.

perempuan dengan HIV/AIDS memiliki keinginan untuk melanjutkan

pendidikan, namun sebagian perempuan dengan HIV/AIDS memiliki

hambatan biaya, adapula yang memiliki hambatan karena infeksi

oportunistik yang diderita, dan hambatan usia yang sudah tidak lagi

muda.

2. Sebagian perempuan dengan HIV/AIDS telah menjadi janda karena

suami yang meninggal akibat terinfeksi HIV/AIDS, namun sebagian

lainnya masih yang hingga sekarang berstatus menikah dengan suami

pertamanya. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS menikah

sebanyak 1 kali pernikahan, sebagian perempuan dengan HIV/AIDS

memiliki usia pernikahan dibawah 5 tahun. Ada informan yang

menikah sebanyak 3 kali, dengan suami yang bukan ODHA (Pasangan

202
serodiskordan). Rata- rata usia perempuan dengan HIV/AIDS dan

pasangannya saat menikah adalah usia 25 tahun dan 24 tahun, ini

adalah usia produktif. Sebagian pasangan dari perempuan dengan

HIV/AIDS memiliki usia lebih muda dibanding dengan mereka.

Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS hingga sekarang masih

tetap memiliki pasangan hidup, walaupun ada yang merupakan

pasangan sah dan ada juga yang belum sah dan perempuan dengan

HIV/AIDS yang memiliki pasangan belum sah, belum membuka status

HIV kepada pasangannya yang berstatus bukan ODHA, adapula

perempuan dengan HIV/AIDS yang menutup diri untuk tidak memiliki

pasangan lagi. Seluruh perempuan dengan HIV/AIDS memiliki anak

dari hasil pernikahannya dengan sebagian dari mereka memiliki anak

berusia balita, sebagian besar anak dari perempuan dengan HIV/AIDS

juga memiliki status HIV positif. Perempuan dengan HIV/AIDS yang

setelah terinfeksi HIV positif namun memiliki anak dengan HIV

negatif, sebelumnya telah diikut sertakan dalam program PPIA.

3. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS memiliki pengalaman

dalam bekerja, adapun jenis pekerjaannya antara lain: kerja di toko kue,

buruh pabrik, SPG, pembukuan di Bank, kasir restoran, dan pengurus

Gereja. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS setelah menikah,

hanya menjadi IRT karena tidak mendapatkan izin dari suami mereka

untuk bekerja, dengan alasan suami informan tidak mengizinkan adalah

karena suami meminta untuk fokus mengurus rumah tangga saja, hal ini

203
dikarenakan suami dari perempuan dengan HIV/AIDS khawatir dengan

kondisi kesehatan istrinya, adapula yang pada pernikahan ketiganya

tetap menjadi pelayan bar dan WPS. Sebagian besar jenis pekerjaan

perempuan dengan HIV/AIDS sekarang adalah IRT yang juga memiliki

kesibukan lain, kesibukan lain dari perempuan dengan HIV/AIDS

antara lain: membuka usaha kue, aksesoris, nasi uduk, menulis, dan

juga aktif dalam mengikuti kegiatan LSM. Sebagian besar perempuan

dengan HIV/AIDS telah memiliki kemandirian dalam mendapatkan

penghasilan tanpa harus harus begantung pada penghasilan suaminya.

Rentang besar penghasilan perempuan dengan HIV/AIDS perbulan

berkisar antara 100ribu hingga 3 juta rupiah. Sebagian besar perempuan

dengan HIV/AIDS memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan

yang lebih baik dari yang sekarang telah mereka dapatkan sekarang,

kendala yang dilalui dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik

antara lain: tidak dapat izin bekerja dari suami, lingkungan kerja yang

tidak mendukung, serta usia yang tidak lagi muda. Sebagian besar

perempuan dengan HIV/AIDS sebelum terinfeksi HIV merupakan

pribadi yang aktif bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sebagian

besar perempuan dengan HIV/AIDS menunjukkan ada perubahan

keaktifan dengan lingkungan sekitar setelah HIV positif.

4. Semua perempuan dengan HIV/AIDS tidak memiliki riwayat keluarga

yang terinfeksi HIV/AIDS, kecuali suaminya. Sebagian besar dari

perempuan dengan HIV/AIDS memiliki pola asuh dalam keluarga yang

204
baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, juga dalam

penanaman nilai agama.

5. Pengetahuan terkait HIV/AIDS yang didapatkan oleh perempuan

dengan HIV/AIDS setelah terdiagnosis HIV positif berubah menjadi

semakin baik, sebab setelah terdiagnosis HIV positif, mereka

mendapatkan konseling juga pendamping untuk memperkaya

pengetahuan HIV/AIDS.

6. Semua perempuan dengan HIV/AIDS berubah menjadi semakin lebih

baik dalam beribadah. Hal yang membuat perubahan terjadi antara lain:

merasa penyakitnya adalah bentuk ujian, untuk menghilangkan rasa

sedih, dan untuk meredam depresi.

7. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS mengetahui mengenai

kemungkinan mengalami HIV karena dirinya, suami, dan anaknya

menderita sakit yang sulit sembuh. Selain itu adapula perempuan

dengan HIV/AIDS yang mengetahui status HIV setelah memenuhi

ajakan untuk melakukan VCT.

B. Gambaran distribusi menurut tempat

1. Semua informan menyatakan bahwa didaerah tempat tinggalnya

terdapat pusat layanan kesehatan yang lebih dekat dari pada

Puskesmas Kramat Jati. Semua informan juga menyatakan bahwa

205
memanfaatkan pusat layanan kesehatan terdekat berupa Puskesmas

sebelum mengetahui status HIV positif pada dirinya.

2. Sebagian besar khawatir jika status HIV nya diketahui oleh orang-

orang yang berada di daerah tempat tinggalnya, ada juga perempuan

dengan HIV/AIDS yang sudah merasa nyaman dengan petugas

kesehatannya, juga ada perempuan dengan HIV/AIDS yang memang

terbiasa untuk pindah- pindah tempat berobat.

C. Gambaran distribusi menurut waktu

1. Perkiraan rentang lama sakit pada informan mulai dari 4 bulan

hingga 11 tahun.

2. Perkiraan rentang usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV

adalah 27 tahun hingga 36 tahun.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran yang peneliti berikan

terkait karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan

dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur,

yaitu sebagai berikut:

206
1. Bagi Mahasiswa

Bagi mahasiswa yang tertarik untuk meneliti tentang karakteristik

menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan dengan

HIV/AIDS, diharapkan dapat mengkaji lebih dalam temuan lapangan

yang kurang tergali oleh peneliti.

2. Bagi Perempuan dengan HIV/AIDS

Diharapkan agar bisa terus menumbuhkan semangat hidup dan

berjuang melawan HIV, salah satunya dengan cara bersosialiasi

dengan para penderita lainnya melalui kegiatan yang diadakan oleh

Puskesmas ataupun LSM. Selain itu sikap terbuka terhadap status yang

sudah dimiliki sekarang terlebih pada pasangan, akan lebih

memudahkan proses untuk mempertahankan kesehatan juga agar virus

tidak semakin menyebar.

3. Bagi LSM yang Menangani ODHA

Diharapkan LSM lain bisa mencontoh program- program yang

telah dilaksanakan oleh LSM Tegak Tegar dalam memberikan

dukungan moril dan materil kepada ODHA. Dengan memperbanyak

pertemuan dalam rangka peningkatan edukasi baik untuk penderita

HIV itu sendiri maupun keluarga penderita, dan masyarakat umum

agar penderita tidak menularkan HIV ke orang lain ataupun keluarga

serta masyarakat sekitarnya tidak mendiskriminasi penderita HIV

207
positif. Pertemuan dalam rangka mempertemukan para ODHA juga

dibutuhkan untuk membantu dalam penerimaan status HIV positif

serta menumbuhkan semangat baru dan percaya diri bagi para ODHA.

4. Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat digunakan

sebagai bahan masukan dan informasi dalam mengembangkan

penelitian selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk meningkatkan

program PPIA, khususnya pada prong pertama mengenai pencegahan

primer pada perempuan usia produktif yang belum terdiagnosis HIV

positif, baik bagi yang sudah menikah maupun yang belum menikah.

Serta program edukasi HIV/AIDS bagi penderita, pasangan penderita,

keluarga penderita, dan masyarakat umum dapat lebih digencarkan

lagi.

5. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memperluas

wawasan mengenai karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu

pada perempuan yang terdiagnosis HIV positif. Serta dapat dijadikan

bahan masukan dalam pengembangan penelitian mahasiswa yang

tertarik untuk meneliti terkait hal yang sama.

6. Bagi Masyarakat

208
Dukungan lingkungan sosial dapat berdampak positif bagi ODHA,

khususnya dalam hal ini adalah para perempuan yang terdiagnosis HIV

positif. Oleh sebab itu sebaiknya masyarakat tidak mendeskriminasi

atau tidak bersikap acuh tak acuh pada pada ODHA dalam kegiatan

sosial kemasyarakatan. Pihak keluarga dan masyarakat umum

hendaknya memberikan dukungan agar ODHA bisa lebih berdaya

guna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.

209
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2009). metodologi penelitian dan analisis data. Jakarta: Salemba Medika.

Anggreani. (2005). Faktor- faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko
terinfeksi HIV/AIDS pada supir dan kernet truk jarak jauh. Jakarta: FKM UI.

Arriza, d. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang Dengan HIV/AIDS


(ODHA). Jurnal Psikologi UNDIP vol.10 , nomor 2.

Besral. (2004). Potensi Penyebaran HIV dari Pengguna Napza Suntik ke Masyarakat
Umum. Makara, Kesehatan, Vol. 8, No. 2, Desember 2004 , 53-58.

Bouway, Y. (2010). Faktor risiko yang mempengaruhi perilaku dan pelayanan kesehatan
terhadap kejadian HIV-TB di Jayapura Provinsi Papua. Magister Epidemiologi,
UNDIP.

Brooks. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Salemba Medika.

Brooks, G. F. (2005). AIDS dan Lentivirus. Mikrobiologi Kedokteran jilid 2. Jakarta:


Salemba Medika.

Bustan. (1997). Faktor Risiko dan pencegahan penyakit tidak menular. Yogyakarta:
Rineka Cipta.

Carr, R. (2008). Promoting Gender Equality In HIV and Responses Making AIDS More
Effectivetrought Tracking Result. United Nations Development Fund For Women
(UNIFEN).

CDC. (2013). Opportunistic Infection. CDC HIV/AIDS fact sheet .

Chandra, B. (2011). Penyakit Menular Pada Manusia. Palembang.

Dalimunthe, C. R. (2012). Tingkat Pengetahuan Pelajar SMA Harapan1 Medan Tentang


Seks Bebas dengan Risiko HIV/AIDS. Medan: E-Journal FK USU.

Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta:
Depkes RI.

Depkes RI. (2008). Pedoman tata laksana infeksi HIV dan pengobatan antiretroviral
pada anak di Indonesia. Jakarta.

Dinas Kesehatan Jakarta Timur. (2014). SIHA Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Jakarta:
Dinas Kesehatan Jakarta Timur.

Dinkes Jakarta Timur. (2013). SIHA Dinas Kesehatan Jakarta Timur Tahun 2013. Jakarta
Timur: Dinas Kesehatan Jakarta Timur.

210
Dubois, B. a. (2005). Social Work an Empowering Profession, fifth edition. USA: Pearson
Education,Inc.

Etikariena, A. (2005). Hubungan Antara Mitos Tentang Seksualitas dengan


Keserbabolehan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja “ABG” di Jakarta.
http://www.jurnal-kopertis4.org/newsview.php?id=361 .

Green, L. W. (2005). Health Program Planning: An Educational And Ecological


Approach. Fourth Edition . New York: McGraw-Hill.

Hall, I. H. (2009). Epidemiologi of HIV in the United States and Canada:Current .


journal acquired immune deficiency syndrome .

Hidayat, A. A. (2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba Medika.

Hutagalung. (2002). Skripsi: Hubungan Karakteristik Anak Jalanan Terhadap Perilaku.


Surabaya: FKM UNAIR.

ILO. (2001). Kaidah ILO tentang HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Jackson, J. (1999). The Difficulties of Women living with HIV Infestion. Journal of
Psychosocial Nursing .

Jalaluddin. (2008). Psikologi Agama. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Kambu, Y. (2012). Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan


Penularan HIV oleh ODHA Di Sorong. lib.ui.ac.id .

Kambu, Y. (2012). Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan


Penularan HIV oleh ODHA Di Sorong. lib.ui.ac.id .

Kandun Nyoman, J. C. (2012). Manual Pemberantasan penyakit Menular. Jakarta: Info


Medika.

Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV-AIDS. Bogor: In Media.

Kemenkes RI. (2012). Pedoman PMTCT 2013. Jakarta.

Kemenkes RI. (2013). Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA). Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2015-2019. Jakarta:


Kemenkes RI.

KNPP RI. (2008). Pemberdayaan Perempuan dalam Pencegahan HIV/AIDS. Jakarta.

KPAN. (2013). Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2003-2007.


Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

211
KPAN. (2010 ). Strtegi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS. diakses dari
http://www.undp.or.id.

Kristian, H. (2013). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Keberfungsian Sosial


ODHA di Rumah Singgah Caritas PSE Medan.

Kumalasari, I. Y. (2013). Perilaku Berisiko Penyebab HIV Positif Di Rumah Damai Kota
Semarang. Skripsi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Lan. (2005). Virus Imunodefisensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). In: Price, S. A., Wilson, L. M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit volume 1 Eds 6. Jakarta: EGC.

Longo, D. L. (2005). Infections Due to Human Immunodeficiency Virus and Other


Human Retroviruses In: Harrison T. R., Resnick, W. R., et al. Harrison‟s Principle
of Internal Medicine 16th Eds. USA : The Mc. Graw-Hill Companies, Inc.

MARDIANTHI, T. (2009). HUBUNGAN ANTARA KETAATAN BERAGAMA DENGAN


SIKAP TERHADAP SEKS PRANIKAH PADA REMAJA. Jakarta: Skripsi Universitas
Guna Dharma.

Masriadi. (2012). epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Maya, N. (2013). Penerimaan Diri pada Penderita HIV/AIDS. Semarang: Skripsi


Universitas Katolik Soegijpranata.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mumpuni, L. (2001). Perilaku Sosial Penderita HIV/AIDS dalam Menghadapi Reaksi


Masyarakat.

Nanda. (2012). Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta: EGC.

Nasry, N. (2009). pengantar epidemiologi penyakit menular. Jakarta: PT Ashadi


Mahasatya.

Nisa, H. (2007). Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Noor, N. N. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2005). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2007). Epidemiologi. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, s. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

212
Notoatmojo. (2002). metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rieneka Cipta.

Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:


Salemba Medika.

Oktarianda. (2005). Stigmatisasi, Diskriminasi, dan Ketidaksetaraan Gender pada ODHA


Perempuan (Study life History pada perempuan yang terpapar HIV di Jakarta).
Depok: Tesis- Universitas Indonesia.

Oktarina.dkk. (2009). Hubungan antara Karakteristik Responden, Keadaan Wilayah


dengan Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV/AIDS pada Masyarakat Indonesia.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan .

P2PL. (2012). Pedoman Layanan Komperehensif HIV - AIDS, dan IMS. Jakarta.

P2PL. (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral. Jakarta: Kemenkes RI.

P2PL. (2008). Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela
(Voluntary Counselling and Testing). Jakarta: Kemenkes RI.

P2PL. (2013). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: diakses dari


http://spiritia.or.id.

P2PL. (2014). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: diakses dari


http://spiritia.or.id.

Price et al. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit Ed.6. Jakarta:
EGC.

Rachmawati. (2013). Kualitas Hidup ODHA yang Mengikuti Terapi Antiretroviral.


Jurnal Sains dan Praktik Psikologi 1 .

Raidah, D. A. (2015). Hubungan Antara Minding In The Enhancement Of Closeness


dengan Penyesuaian Pernikahan pada Pasangan ODHA Serodiskordan Di Rumah
Cemara Bandung. Jurnal Psikologi Gelombang 2 .

Ramadhan, I. (2005). Kehidupan Tiga ODHA Perempuan (studi mengenai relasi gender
dalam rumah tangga). Depok: Skripsi- Universitas Indonesia.

Samino. (2011). Analisis Perilaku Sex Remaja SMAN 14 Bandarlampung. Jurnal Dunia
Kesmas Volume 1 , 175.

Santrock, J. W. (2003). adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.

Saryono. (2008). metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

213
SEARO-WHO. (2009). HIV-AIDS Regional Health Sector Strategy_HIV 2011 – 2015,.
http://www.searo.who.int/LinkFiles/HIV_AIDS_Reg_Health_Sector_Strategy_
HIV_2011 2015.pdf .

Setiawan, A. D. (2007). Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks


Berisiko Terhadap Penularan HIV dari Pengguna Narkoba Suntik Kepada
Pasangan Seksnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Depok: Tesis- Universitas
Indonesia.

Shams, a. (2008). AIDS Dalam Islam: Krisis Moral Atau Kemanusiaan? Bandung: Mizan
Media Utama.

Shinta, D. (2013). Kerentanan Perempuan Terhadap Penularan IMS Dan HIV: Gambaran
Perilaku Seksual Berisiko Di Kota Denpasar. Public Health and Preventive
Medicine Archive, Volume 1, Nomor 1, Juli 2013 .

Siegfried, N. (2011). Antiretrovirals for reducing the risk of mother to child transmission.

Sigalingging, D. S. (2009). Efek Samping Penggunaan Obat Antiretrovirus di Rongga


Mulut Pasien HIV/AIDS. Medan: USU Respository.

SIHA Dinkes Kota Bekasi. (2013). Sistem Informasi HIV/AIDS.

Simanjuntak, B. (2005). Patologi Sosial. Bandung: Tarsino.

Siregar, F. A. (2008). Pengenalan dan Pencegahan AIDS, . Medan: Skripsi. FKM-USU.

Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Jakarta:
EGC.

Soetjiningsih. (1998 ). Tumbuh kembang Anak. Surabaya: Universitas Erlangga.

Spiritia, Y. (2008). Berdayakan Diri Menghadapi HIV/AIDS. Yogyakarta: Yayasan


Spiritia.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Bandung alfabeta.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Susilowati, T. (2009). Faktor- faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HIV dan
AIDS di Semarang dan sekitarnya. Semarang: UNDIP.

Sylvia, A. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta: EGC.

Umam, H. (2015). Identifikasi Karakteristik Orang Risiko Tinggi HIV dan AIDS tentang
Program Pelayanan VCT. Jom Vol 2 No.1 .

UNAIDS . (2008). AIDS Epidemic . http://who.int.

214
UNAIDS. (2015). How AIDS Changed Everything. www.unaids.org.

UNAIDS. (2011). UNAIDS World AIDS Day Report.

UNAIDS. (2011). UNAIDS World AIDS Day Report.

USAID. (2003). Family Planning/ HIV Integration: Technical Guidance For USAID
Supported Field Programs. Washington, D.C: U.S. Agency for International
Development.

Vinay, K. (2007). Buku ajar Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,EGC.

Wahab, S. (2002). Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.

WHO. (2015). Health Topic HIV/AIDS, HIV Data and Statistics. www.who.int.

Winarno, H. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Jarum Suntik


Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik Di Kota Semarang. Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia Vol. 3 / No. 2 .

Yuly. (2011). Aspek Klinis HIV . Layout CDK edisi 182 Januari 2011. Jawa Barat: RS
Karya Husada .

215
LAMPIRAN

A. Panduan wawancara

PANDUAN WAWANCARA

KARAKTERISTIK PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS YANG BEROBAT DI


PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015

INFORMED CONSENT (LEMBAR PERSETUJUAN)

Assalamu’alaikum.. Selamat pagi/siang/sore.


Saya Putri Khairina, dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan(FKIK) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan
Epidemiologi. Saya sedang melakukan studi mengenai Karakteristik Perempuan
dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015
(Berdasarkan Distribusi Menurut Orang, Tempat, dan Waktu). Informasi yang ibu
berikan akan membantu saya dalam memberikan informasi seputar etiologi
penularan HIV pada perempuan serta membantu saya dalam penyelesaian tugas
akhir.
Saya sangat mengharapkan kesediaan Ibu untuk berpartisipasi dalam
wawancara ini, dengan memberikan jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan-
pertanyaan yang akan saya ajukan. Wawancara ini akan menghabiskan waktu
sekitar 45-90 menit, dengan 6 topik pertanyaan yang akan di ajukkan. Wawancara
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran etiologi penularan HIV pada Perempuan
juga untuk mengetahui kehidupan ODHA perempuan, yang selama ini dicap
negatif oleh masyarakat, padahal tidak semua ODHA perempuan memiliki latar
belakang yang buruk. Alasan lainnya yang ingin diketahui adalah bagaimana
ODHA perempuan mengungkapkan suara hatinya, bukan hanya untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk masyarakat dan keluarganya.
Partisipasi Ibu bersifat sukarela, Ibu dapat memilih untuk tidak menjawab
pertanyaan yang sifatnya pribadi atau semua pertanyaan yang diberikan. NAMUN,
saya berharap Ibu dapat berpartisipasi dalam survei ini karena informasi yang Ibu
berikan sangat penting.

Sampai saat ini, apakah ada yang ingin ibu tanyakan tentang survei ini?
Apakah ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini?
1. Ya 2. TidakStop, pindah informan berikut [ ]

Tanda Tangan Responden :

216
Identitas Informan

Nama (akan disamarkan) : ..............................................................................

Usia : ..............................................................................

No. HP (tidak di publikasikan) : ..............................................................................

Alamat (tidak di publikasikan) :..............................................................................

Ras/ Suku Bangsa : ..............................................................................

Anak keberapa : ..............................................................................

Jumlah Saudara : ..............................................................................

Topik Pernyataan Temuan


1. Pengetahuan ODHA Tingkat pengetahuan anda
mengenai HIV ?
Perempuan Mengenai
a. HIV singkatan dari apa?
HIV/AIDS
b. HIV merupakan jenis apa?
(virus, bakteri, parasit, jamur,
dsb?)
c. Cara penularan HIV melalui
apa saja?
d. Cara Pencegahan HIV?
e. Cara Pengobatan HIV?
Pengetahuan anda mengenai
perilaku berisiko HIV ?
a. Perilaku Seksual?
b. Perilaku non seksual?

2. Sosial Ekonomi ODHA a. Pendidikkan


1. Pendidikkan terakhir anda?

217
Perempuan 2.KeinginanUntukMelanjutkanPendi
dikkan?

b. Pekerjaan
1. Pekerjaan anda?
2. Keinginan anda untuk
mendapatkan
3. Perkerjaan yang lebih baik ?
4. Besar penghasilan anda sekarang?

c. Hubungan Sosial
1. Keaktifan sebelum diketahui
positif terinfeksi HIV
2. Keaktifan setelah diketahui positif
terinfeksi HIV

1. Status 1. Status Pernikahan Sekarang?


2. Lama Tahun Menikah?
Pernikahan
3. Usia Saat Menikah?
ODHA
4. Usia pasangan ketika
Perempuan menikah?
5. Pasangan yang sekarang
merupakan? (suami, pacar,
teman, saudara, lain- lain)
6. Pasangan merupakan Suami
ke..?
7. Reaksi keluarga terhadap
hubungan tersebut?
8. Reaksi keluarga pasangan
terhadap hubungan tersebut?
9. Hubungan dengan keluarga

218
terhadap setelah menjalin
hubungan tersebut?
10. Hubungan dengan keluarga
pasangan setelah menjalin
hubungan tersebut ?
11. Hubungan pasangan dengan
keluarga anda?
12. Hubungan anda dengan
keluarga pasangan?
13. Jumlah anak?
14. Usia anak?
15. Kondisi kesehatan anak?
4. Akses Informasi mengenai a. Sebelum Terdeteksi HIV Positif
1. Mudahkah anda dalam
HIV/AIDS yang di dapat oleh
mendapatkan informasi?
ODHA Perempuan
2. Informasi sepeti apa sajakah yang
telah anda dapatkan?

b. Setelah Terdeteksi HIV Positif


1. Mudahkah anda dalam
mendapatkan informasi?
2. Informasi sepeti apa sajakah yang
telah anda dapatkan?
4. Perilaku Berisiko ODHA Tertular melalui transmisi Seksual
atau transmisi Non Seksual ?
Perempuan hingga

terinfeksi HIV
Jika melalui transmisi seksual:
a. Kapan pertama kali anda
melakukan hubungan
seksual?

219
b. Dengan siapa?
Jika melalui transmisi non
seksual:
a. Karena apa?
b. Kapan hal itu terjadi?
6. Proses yang Dialami a. Awal Diketahui
1. Sebab awal diketahuinya HIV
ODHA dalam Mengetahui
Positif?
Status HIV pada Dirinya
2. Kapan pertama kali tahu?
3. Tahu dari mana?
4. Apa saja gejala yang dirasakan?

b. Perasaan Ketika Mengetahui


1. Perasaan anda ketika itu?
2. Penyebab anda merasakan
demikian?
3. Akses yang membantu anda dalam
berobat?
4. bagaimana perasaan anda saat
mendapat bantuan dan
pendampingan?

c. Reaksi Lingkungan Terhadap


Anda
1. Sikap tetangga, keluarga, keluarga
pasangan?
2. Bagaimana hubungan anda dengan
pasangan?
3. Cara pandang mereka kepada
anda?
4. adakah pandangan negative

220
kepada anda sebagai ODHA
perempuan? Kalau ada, pandangan
negatif seperti apa?

d. Perasaan sebagai ODHA


Perempuan Sekarang
1) persasaan anda sekarang?
2) mengapa memiliki perasaan yang
demikian?

Terima kasih atas partisipasi anda!! ^^

221
B. Matriks Wawancara

MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT ORANG

PERTANYAAN Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 KESIMPULAN


1. TINGKAT
PENDIDIKAN
1.a Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Sebagian besar
formal terakhir? terakhir SMP terakhir SMA terakhir SMA terakhir SMK terakhir SMEA informan
berpendidikan
menengah

1.b Pendidikan non Kursus Kursus membuat Tidak pernah - Kursus salon Tidak pernah Sebagian
formal yang membuat kue pola 1 tahun mengikuti dan rias mengikuti informan pernah
pernah selama 1 tahun pendidikan non pengantin 1 pendidikan non menempuh
ditempuh? formal tahun formal pendidikan non
- Kursus formal, dengan
bahasa waktu belajar
inggris 3 antara 3 bulan

i
bulan hingga 1 tahun.
- Kursus
montir 6 Adapun jenis
bulan pendidikan non
formal yang
pernah dilalui
oleh informan
adalah: kursus
membuat kue,
kursus membuat
pola, kursus tat a
rias pengantin,
kursus bahasa
inggris, dan
kursus montir.
1. c Keinginan - Memiliki - Memiliki - Memiliki - Memiliki - Memiliki Semua informan
untuk keinginan keinginan keinginan keinginan keinginan memiliki
melanjutkan untuk untuk untuk untuk untuk keinginan untuk
pendidikan melanjutkan melanjutkan melanjutkan melanjutkan melanjutkan melanjutkan

223
pendidikan pendidikan pendidikan pendidikan pendidikan pendidikan.
- Hambatan - Hambatan - Hambatan - Hambatan - Hambatan usia
tidak biaya untuk infeksi biaya untuk membuat Sebagian
dijelaskan melanjutkan oportunistik melanjutkan enggan untuk informan
pendidikan yang diderita pendidikan melanjutkan memiliki
berupa virus pendidikan hambatan biaya,
tokso yang adapula yang
menyerang memiliki
otak yang hambatan
membuat karena infeksi
kurangnya oportunistik
kemampuan yang diderita,
dalam berpikir dan hambatan
usia yang sudah
tidak lagi muda.
2. STATUS
PERNIKAHAN
2.a Status Menikah Menikah Janda karena Janda tapi tidak Janda suami Sebagian
pernikahan suami bercerai secara meninggal informan telah

224
sekarang? meninggal resmi karena akibat menjadi janda
akibat HIV menikahnya pun HIV/AIDS karena suami
dengan nikah yang meninggal
siri akibat terinfeksi
HIV/AIDS

Sebagian
informan ada
yang hingga
sekarang masih
berstatus
menikah dengan
suami pertama

2.b Frekuensi dan - 9 tahun - 4 tahun dengan - 4 tahun dengan - Pernikahan - 5 tahun Sebagian besar
lama tahun dengan 1 kali 1 kali 1 kali pertama 7 menikah informan
menikah? pernikahan pernikahan pernikahan tahun dengan 1 kali menikah dengan
- Menikah - Menikah bercerai pernikahan 1 kali
dengan orang dengan orang karena pernikahan

225
yang baru yang sudah meninggal
dikenalkan lama dikenal dunia akibat Sebagian
oleh - Masa HIV/AIDS informan
saudaranya perkenalan - Pernikahan memiliki usia
sebelum kedua dengan pernikahan
menikah pasangan dibawah 5 tahun
terlampau yang tidak
bebas hingga terinfeksi Ada informan
hamil diluar HIV/AIDS yang menikah
nikah dan telah sebanyak 3 kali,
mengetahui dengan suami
status HIV yang bukan
pada diri ODHA
informan, (Pasangan
pernikahan serodiskordan)
selama 4
tahun dan
bercerai
karena sulit

226
mendapatkan
keturunan
dan
ketidakcocok
an satu sama
lain
- Pernikahan
ketiga hanya
bertahan
beberapa
bulan. Suami
ketiganya
mengetahui
status HIV
pada diri
informan dan
bukan
merupakan
ODHA

227
2.c Usia saat 21 tahun 33 tahun 23 tahun 22 tahun 27 tahun Rata- rata usia
menikah? informan
menikah adalah
saat usia 25
tahun. Ini adalah
usia produktif.

2.d Usia pasangan 22 tahun 33 tahun 20 tahun 20 tahun 26 tahun Rata- rata usia
saat menikah? pasangan dari
informan
menikah saat
usia 24 tahun.
Ini adalah usia
produktif.

Sebagian
pasangan
informan

228
memiliki usia
lebih muda
dibanding
dengan
informan.

2.e Status Suami Suami Pacar, bukan Pacar, bukan Tidak ada Sebagian besar
pasangan ODHA dan ODHA dan informan hingga
sekarang? belum belum sekarang
mengetahui mengetahui memiliki
status HIV pada status HIV pada pasangan hidup,
diri informan diri informan walaupun ada
yang merupakan
pasangan sah
dan ada juga
yang belum sah.

Informan yang
memiliki

229
pasangan belum
sah, belum
membuka status
HIV kepada
pasangannya
yang berstatus
bukan ODHA

Adapula
informan yang
menutup diri
untuk tidak
memiliki
pasangan lagi

2. f. Jumlah, usia, - 2 orang (usia - 2 orang (usia 3 - 2 orang (usia - 3 orang - 3 orang (usia Seluruh
dan status anak 8 tahun dan tahun dan 1 8 bulan dan 8 (usia16 tahun, 3 tahun, 9 informan
terhadap HIV? 19 bulan) tahun) tahun) 12 tahun, dan tahun, dan 9 memiliki anak
- Status anak - Status anak - Status anak 3 tahun) tahun) dari hasil

230
terhadap terhadap HIV: terhadap - Status anak - Status anak pernikahannya
HIV: Anak Anak pertama HIV: anak terhadap terhadap HIV: dengan sebagian
pertama negatif pertama HIV: Status anak pertama informan
negatif HIV/AIDS, sudah ketiganya sudah memiliki anak
HIV/AIDS, Anak kedua meninggal negatif meninggal berusia balita
Anak kedua berstatus HIV karena diare HIV/AIDS karena HIV,
berstatus HIV positif (sering secara terus - Saat hamil anak kedua Sebagian besar
positif mengalami menerus anak kedua dan ketiga2 informan
(sempat sakit dan sulit (saat itu dan ketiga kembar memiliki atau
memberikan untuk pulih) belum sudah dengan status pernah memiliki
ASI pada diketahui mengetahui negatif anak dengan
anak kedua) status HIV bahwa HIV/AIDS status HIV
nya), anak dirinya - Hamil kedua positif
kedua terinfeksi diketahui
memiliki HIV terinfeksi Informan yang
status HIV - Ikut serta HIV positif setelah
positif dalam PPIA dan segera terinfeksi HIV
saat kehamilan melakukan positif memiliki
kedua dan PPIA anak dengan

231
ketiga HIV negatif,
ikut serta dalam
program PPIA
3. SOSIAL
EKONOMI
3.a Jenis pekerjaan Kerja di toko Buruh pabrik SPG - Pembukuan Pengurus gereja Sebagian besar
sebelum kue di Bank informan
menikah? - SPG memiliki
- Kasir restoran pengalaman
dalam bekerja

Adapun jenis
pekerjaan dari
para informan
antara lain: kerja
di toko kue,
buruh pabrik,
SPG,
pembukuan di

232
Bank, kasir
restoran, dan
pengurus Gereja
3.b Jenis pekerjaan - IRT karena - IRT karena - Masih bekerja - Pernikahan - IRT karena Sebagian besar
setelah menikah? tidak tidak diizinkan sebentar pertama IRT tidak informan setelah
diizinkan bekerja oleh sebagai SPG karena tidak diizinkan menikah, hanya
bekerja oleh suami - Setelah itu diizinkan bekerja oleh menjadi IRT
suami tidak bekerja oleh suami karena tidak
- Diminta diizinkan suami mendapatkan
untuk bekerja oleh - Pernikahan izin dari suami
mengurus suami karena kedua IRT mereka untuk
rumah tangga infoman karena tidak bekerja.
saja sudah mulai di izinkan
sakit- sakitan suami bekerja Alasan suami
karena informan tidak
khawatir mengizinkan
dengan adalah karena
kesehatan suami meminta
informan untuk fokus

233
- Pernikahan mengurus rumah
ketiga sudah tangga saja,
menjadi karena suami
pelayan bar khawatir dengan
dan WPS kondisi
kesehatan
informan.
Adapula yang
pada pernikahan
ketiga nya tetap
menjadi pelayan
bar dan WPS.
3.c Jenis pekerjaan - IRT - IRT - IRT - Jualan tas - IRT Sebagian besar
sekarang? - Membuat - Membuat dan - Membuat dan - Aktif di jenis pekerjaan
dan menjual menjual menjual nasi Gereja informan
kue aksesoris uduk bersama - Sering ikut sekarang adalah
ibunya kegiatan LSM IRT yang juga
- Menulis dan memiliki
hasil tulisan kesibukan lain.

234
dibeli oleh
pihak gereja Kesibukan lain
- Sering ikut dari informan
kegiatan antara lain:
LSM membuka usaha
kue, aksesoris,
nasi uduk,
menulis, dan
juga aktif dalam
mengikuti
kegiatan LSM.
3.d Besar - Penghasilan - Penghasilan - Penghasilan - Antara 1 juta - Antara 1 juta Sebagian besar
penghasilan dari usaha suami 900ribu dari usaha hingga 3 juta hingga 3 juta/ informan telah
dalam sebulan? kue sekitar souvenir bulan memiliki
100rb hingga sekitar 1 juta kemandirian
1 juta/ bulan hingga 2 juta dalam
- Penghasilan mendapatkan
suami 2 juta/ penghasilan
bulan tanpa harus

235
harus begantung
pada
penghasilan
suaminya,

Rentang besar
penghasilan
infoman
perbulan
berkisar antara
100ribu hingga
3 juta rupiah.
3.e Keinginan untuk Ada keinginan Ada keinginan Ada keinginan Ada keinginan Ada keinginan Sebagian besar
mendapatkan tapi untuk saat tapi bingung tapi terkendala tapi tetap tapi terkendala informan
pekerjaan yang ini di cukup- tidak dapat izin dengan bersyukur dengan usia memiliki
lebih baik? cukupin bekerja dari lingkungan kerja dengan yang yang tidak lagi keinginan untuk
suami dan anak yang tidak telah didapat muda mendapatkan
masih kecil mendukung sekarang pekerjaan yang
untuk ditinggal kondisi lebih baik dari

236
bekerja informan yang sekarang
sebagai telah mereka
penderita dapatkan,
HIV/AIDS
Kendala yang
dilalui dalam
mendapatkan
pekerjaan yang
lebih baik antara
lain: tidak dapat
izin bekerja dari
suami,
lingkungan kerja
yang tidak
mendukung,
serta usia yang
tidak lagi muda.
3.f Keaktifan dengan - Sebelum - Sebelum Lebih sering di Tidak aktif Aktif menjadi Sebagian besar
lingkungan menikah menikah dalam rumah, bersosialisasi pengurus gereja informan

237
sekitar sebelum kegiatan kegiatan tidak aktif dengan di dekat sebelum
diketahui positif sehari- hari sehari- hari bersosialisasi lingkungan rumahnya terinfeksi HIV
terinfeksi HIV? lebih banyak lebih banyak sekitar merupakan
di dunia di dunia pribadi yang
pekerjaan pekerjaan aktif
- Setelah - Setelah bersosialisasi
menikah ikut menikah dengan
pengajian di banyak lingkungan
masjid dekat menghabiskan sekitar
rumah waktu dengan
ibu- ibu
disekitar
rumahnya
3.g Keaktifan dengan - Tidak ada - Ada peubahan Tidak aktif Ada perubahan Tidak ada Sebagian besar
lingkungan perubahan keaktifan dengan menjadi lebih perubahan informan
sekitar setelah keaktifan dengan lingkungan aktif dengan keaktifan menunjukkan
diketahui positif dengan berusaha untuk sekitar lingkungan dengan ada perubahan
terinfeksi HIV? lingkungan menarik diri sekitar lingkungan keaktifan
sekitar dari sekitar dengan

238
- Status HIV lingkungan lingkungan
masih karena takut sekitar setelah
dirahasiakan status HIV HIV positif
- Takut diketahui oleh
kehilangan orang- orang di
pelanggan lingkungan
sekitarnya
4. RIWAYAT
HIV/AIDS PADA
KELUARGA
4.a. Adakah riwayat Hanya suami, Hanya suami, Hanya suami, Hanya suami, Hanya suami, Semua
keluarga yang bapak dari keluarga lainnya keluarga lainnya keluarga lainnya keluarga lainnya informan, hanya
HIV? informan tidak ada yang tidak ada yang tidak ada yang tidak ada yang suaminya yang
merupakan pernah terinfeksi pernah terinfeksi pernah terinfeksi pernah terinfeksi memiliki
orang yang HIV/AIDS HIV/AIDS HIV/AIDS HIV/AIDS riwayat
cukup dikenal HIV/AIDS,
sebagai keluarga yang
pengurus lainnya tidak
masjid ada

239
4.b Pola asuh dalam Pola asuk Pola asuh yang Jumlah saudara Ayah sudah Pola asuk Sebagian besar
keluarga memprioritaska tegas, perhatian, banyak, kurang meninggal dan memprioritaskan dari informan
n agama nilai agama mendapat ibu bekerja, agama memiliki pola
perhatian dan sehingga kurang asuh dalam
kasih sayang dalam keluarga yang
mendapatkan baik dalam
perhatian dan memberikan
kasih sayang perhatian dan
kasih sayang,
juga dalam
penanaman nilai
agama
5. PENGETAHUAN - Tidak - Ragu dalam - Ragu dalam - Jawaban - Mengetahui Sebagian besar
HIV/AIDS mengetahui menjawab menjawab kurang tepat singkatan HIV informan
singkatan singkatan HIV singkatan HIV dalam memiliki
HIV menjawab - Menyatakan pengetahuan
- Menyatakan - Menyatakan singkatan penyebab HIV mengenai
- Menyatakan penyebab HIV penyebab HIV HIV adalah virus singkatan HIV
penyebab adalah virus adalah virus yang kurang,

240
HIV adalah - Menyatakan - Cara sehingga masih
kuman penyebab penularan ragu dalam
- Cara - Cara
HIV adalah HIV: Lewat menjawab
penularan penularan
virus darah, Seks bahkan ada yang
- Tidak HIV: HIV:
bebas, tidak tahu
mengetahui Narkoba Hubungan - Cara
Transfusi
cara suntik, Dari seks tidak penularan
darah, Sebagian besar
penularan ibu ke anak, aman, Jarum HIV: Produk
penularan dari informan telah
HIV Transfusi suntik, Ibu darah, Seks
ibu ke anak, mengetahui
darah, ASI yang HIV ke bebas, Jarum
melalui bahwa virus
- Cara anaknya, suntik tidak
kehamilan, adalah jenis dari
pencegahan: - Cara Transfusi steril, Ibu ke
persalinan, HIV namun ada
Pakai pencegahan: darah bayi
dan ASI pula informan
kondom saat Tidak
yang
berhubungan menggunakan - Cara - Cara
- Cara menyatakan
seksual, narkoba, Tidak pencegahan: pencegahan:
pencegahan: kuman adalah
Lakukan melakukan free Setia dengan Tidak
Setia pada jenis dari HIV
pemeriksaan sex, Tidak satu pasangan, menggunakan
pasangan,
HIV memberikan Pakai kondom jarum suntik
Pakai kondom Adapun cara

241
ASI pada saat yang tidak jika memiliki penularan HIV
- Cara bayinya, Hati- berhubungan steril, Hindari perilaku yang diketahui
pengobatan: hati dalam seksual, transfusi bergonta- oleh informan
Pakai terapi menerima Pencegahan darah, ganti antara lain:
ARVsecara transfusi darah menggunakan Hindari seks pasangan, penularan dari
rutin, Ada ABCDE bebas tanpa Tidak penggunaan
- Cara
juga obat (Abstinent, Be pakai menggunakan narkoba suntik,
pengobatan:
herbalnya faithful, pengaman, narkoba jarum suntik
Pakai terapi
Condom, no Pencegahan yang tidak steril,
ARVsecara - Cara
Drugs, HIV dari ibu transfusi darah,
rutin pengobatan:
Education) ke anak hubungan seks
Pakai terapi
dengan tidak aman,
- Cara ARVsecara
menggunakan melalui produk
pengobatan: rutin, Ubah
program darah, penularan
Pakai terapi perilaku
PMTCT/ HIV dari ibu ke
ARVsecara buruk dengan
PPIA anak melalui
rutin, Bagi pola hidup
kehamilan,
yang takut - Cara sehat
persalinan, dan
dengan efek pengobatan:
ASI

242
samping ARV Pakai terapi
bisa ARVsecara Adapun
menggunakan rutin pencegahan
pengobatan yang diketahui
alternative informan
seperti yang terangkum
dilakukan dalam ABCDE
oleh teman- (Abstinent, Be
teman ODHA faithful,
lainnya Condom, no
Drugs,
Education) dan
pencegahan
penularan ibu ke
anak dengan
program
PMTCT/PPIA

Adapun cara

243
pengobatannya
dengan terapi
ARV secara
teratur.
Adapula
informan yang
menyatakan cara
lain dari
pengobatan
dapat dilakukan
dengan
menggunakan
obat herbal dan
pengobatan
alternatif bagi
yang takut
dengan efek
samping dari
ARV

244
6. AGAMA - Terjadi - Terjadi - Terjadi - Terjadi - Terjadi Semua informan
perubahan perubahan perubahan perubahan perubahan berubah menjadi
menjadi menjadi lebih menjadi lebih menjadi lebih menjadi lebih semakin lebih
lebih baik baik dalam baik dalam baik dalam baik dalam baik dalam
dalam menerapkan menerapkan menerapkan menerapkan beribadah
menerapkan nilai agama nilai agama nilai agama nilai agama
nilai agama setelah setelah setelah setelah Hal yang
setelah terdiagnosis terdiagnosis terdiagnosis terdiagnosis membuat
terdiagnosis HIV positif HIV positif HIV positif HIV positif perubahan
HIV positif - Semakin - Semakin - Semakin - Mencoba terjadi antara
- Merasa sering dan sering sering berdoa untuk lain: merasa
bahwa rajin untuk mengingat ketika sedih berpuasa penyakitnya
penyakit berdoa Allah untuk adalah bentuk
yang meredam ujian, untuk
sekarang depresi awal menghilangkan
dideritanya mengetahui rasa sedih, dan
adalah terinfeksi untuk meredam
bentuk ujian HIV positif depresi
7. GEJALA Diajak untuk Setelah informan Komentar Setelah suami Saat hamil Sebagian besar

245
AWAL ikut VCT dan melahirkan, tetangga tentang pertama mengalami diare informan
DICURIGAI penyuluhan kondisi dari anak gejala penyakit meninggal dan yang tidak mengetahui
HIV/AIDS tentang informan yang tidak didiagnosis sembuh- kemungkinan
HIV/AIDS di mengalami sakit kunjung pulih terinfeksi HIV sembuh. mengalami
kegiatan RW paru- paru dan yang terlihat positif, informan HIV/AIDS
hydrocephalus. pada anak jadi sering sakit Dokter curiga karena dirinya
Dokter informan dan sulit untuk disarankan dan anggota
mengalami pulih untuk keluarganya
kecurigaan melakukan tes menderita sakit
karena kondisi Anak informan HIV di yang sulit
anak informan mengalami sakit laboratorium. sembuh
yang sulit pulih. paru- paru yang
Akhirnya sulit untuk Adapula
dilakukan pulih. informan yang
diagnositik dan memenuhi
ternyata positif ajakan untuk
HIV melakukan VCT

246
MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT TEMPAT

PERTANYAAN Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 KESIMPULAN


Keberadaan ada ada ada ada ada Semua informan
pusat layanan menyatakan bahwa
kesehatan didaerah tempat
terdekat dari tinggalnya terdapat
tempat tinggal? pusat layanan
kesehatan yang lebih
dekat dari pada
Puskesmas Kramat
Jati
Kebermanfaatan Sebelum Sebelum HIV Bermanfaat, Memanfaatkan Sebelum Semua informan
pusat layanan terdiagnosis menggunakan sering saat sebelum terdiagnosis menyatakan bahwa
kesehatan HIV sangat layanan menggunakan terinfeksi HIV memanfaatkan memanfaatkan pusat
terdekat? memanfaatan kesehatan nya layanan kesehatan
Puskesmas terdekat terdekat berupa
terdekat Puskesmas sebelum
mengetahui status

247
HIV positif pada
dirinya.
Alasan lebih Takut status Takut diketahui Tidak ingin Berobatnya Sudah merasa Sebagian besar
memilih berobat HIVnya orang- orang status HIV nya pindah- pindah, nyaman khawatir jika status
di kramat jati? diketahui orang- disekitar tempat diketahui orang- Puskesmas dengan HIV nya diketahui
orang disekitar tinggalnya, orang sekitar Kramat Jati petugas oleh orang- orang
tempat karena tempat tempat berobat kesehatan di yang berada di daerah
tinggalnya, puskesmas tinggalnya terakhir dan puskesmas tempat tinggalnya
yang nantinya terdekat belum pindah- Kramat Jati
akan berdampak kebanyakan pindah berobat Ada informan yang
pada kehilangan didatangi oleh lagi sudah merasa nyaman
pelanggan tetangga- dengan petugas
tetangganya kesehatannya

Adapula yang
memang terbiasa
untuk pindah- pandah
tempat berobat.

248
MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT WAKTU

PERTANYAAN Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 KESIMPULAN


Lama Sakit Desember 2014, Juli 2014, Juli 2007, tahun 2004, tahun 2006, Perkiraan
(terhitung dari sehingga lama sehingga lama sehingga lama sehingga lama sehingga lama rentang lama
waktu pertama kali sakit kurang sakit kurang sakit kurang sakit kurang sakit kurang sakit pada
terdiagnosis hingga lebih 4 bulan lebih 9 bulan lebih 8 tahun lebih 11 tahun lebih 9 tahun informan mulai
wawancara di dari 4 bulan
tahun 2015) hingga 11 tahun
Usia pertama kali Usia saat Usia saat Usia saat Usia saat Usia saat Perkiraan
terdiagnosis HIV? wawancara 30 wawancara 37 wawancara 38 wawancara 38 wawancara 39 rentang usia
(terhitung dari usia tahun, sehingga tahun, sehingga tahun, sehingga tahun, sehingga tahun, sehingga informan saat
saat di wawancara perkiraan usia perkiraan usia perkiraan usia perkiraan usia perkiraan usia pertamakali
di tahun 2015 saat pertamakali saat pertamakali saat pertamakali saat pertamakali saat pertamakali terdiagnosis
dikurangi dengan terdiagnosis terdiagnosis terdiagnosis terdiagnosis HIV terdiagnosis HIV adalah 27
waktu pertamakali HIV adalah 29 HIV adalah 36 HIV adalah 30 adalah 27 tahun HIV adalah 30 tahun hingga 36
terdiagnosis) tahun tahun tahun tahun tahun

249
c. Transkrip Wawancara

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT ORANG

Topik Pertanyaa Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5


n
Pendidikan “Pendidikan “Terakhir saya “Pendidikkan “Pendidikkan “Lulusan SMEA di
formal terakhir saya sekolah SMA.” terakhirku SMA di terakhir saya Sumatra Utara.”
TINGKAT
terakhir? SMP, itu juga daerah Jakarta.” SMK”
PENDIDIKAN
ijazahnya ilang
INFORMAN
waktu
kebanjiran.”
Pendidikan “Pernah ikut “Pernah waktu itu “Heemmm.. gak “…. Kursus rias “Gak pernah ikutan
non formal kursus bikin kue, saya kursus bikin pernah mbak.” penganten, kursus- kursus
yang sekalian kerja di pola sekalian sama kursus salon, mbak”
pernah Toko kue kan kursus jahitnya….” sempet kursus
ditempuh? waktu itu, bahasa inggris
trainingnya ikut di IEC…”
kursus kue deh
setahun.” “…. Terus juga
pernah tadinya
kan mau kerja di
bengkel terus
kursus
montir….”
Keinginan “Pengen banget “Pengen….” “Pengen sih “Ada keinginan “…..yaa pengen…”
untuk sebenernya sekolah lagi,tapi untuk
melanjutka ikutan....” “….Tapi uangnya otak aku sekarang melanjutkan “… Tapi karna
n gak ada buat udah lemot kan sekolah …” faktor U nih saya

250
pendidikan nerusisnnya lagi.” aku pernah kena udah males deh sama
? virus tokso, ini yang namanya
setelah aku kena sekolah lagi.”
HIV…”
STATUS Status “Baru sekali ini “Menikah, ini “Janda. Suami “Belum cerai “Status pernikahan
PERNIKAHAN Pernikahan menikah, dari pernikahan sudah meninggal secara resmi sekarang sudah tidak
Sekarang? tahun 2006 pertama saya” karena HIV ” dengan suami menikah. Terakhir
sampai terakhir, cuma menikah suami saya
sekarang.” omongan talak meninggal karena
dari suami, trus HIV/AIDS”
juga suami saya
yang terakhir
itu.. kita pas
nikahnya, nikah
siri.”
Jumlah dan “9 tahun.” “Tahun 2011 saya “Aku nikah dari “….Suami “Pernah menikah
Lama nikah, berarti udah 2002- 2006, pertama 7 tahu tahun 2003 sampai
Tahun mau 4 tahun sekitar 4 tahun. cerai karena tahun 2008,
Menikah? pernikahannya. bercerainya suami pernikahan kami
Saya sama suami karena suami aku meninggal, sekitar 5 tahun. Di
gak pake pacar- meninggal suami ke-2 kita tahun 2008 saya
pacaran mbak, dunia….” cuma bertahan bercerai dengan
saya baru kenal, di 4 tahun padahal suami karena saat itu
kenalin sodara, trus “…sebelum dia tau status suami meninggal
dia serius mau menikah itu aku HIV saya dia dunia.”
nikahin saya, udah sering nerima saya apa
yaudah deh kita ngelakuin seks, adanya
nikah.” jadi pas nikah walaupun saya
posisinya aku itu ODHA dan
sudah hamil di dia bukan…”
luar nikah.”

251
“….suami ke-3
Cuma beberapa
bulan aja trus
langsuns saya
tinggalin,
karena ternyata
dia udah punya
istri dan saat itu
lagi hamil tua,
saya pun saat
itu ternyata lagi
hamil juga.
Suami ketiga
saya tau kalo
saya HIV, kalo
dia sendiri saya
kurang tau deh
HIV atau nggak,
tapi kayaknya
nggak, karena
gak minum
ARV.”
Usia Saat “Waktu itu saya “Umur 33 tahun.” “Aku nikah umur “Pertama kali “Usia saat saya
Menikah? umur 21tahun.” 23” menikah umur menikah itu 27
22 tahun.” tahun.”
Usia “Suami saya 22 “suami saya juga “pasangan ku 20 “suami saya “Usia suami saat
Pasangan tahun. Beda 1 sama 33 tahun, kita tahun” umur 20 menikah 26 tahun.”
Saat tahun kita.” sepantaran.” tahun…”
Menikah?
Status “Suami sah “Pasangan saya “Pasangan yang “Pasangan yang “Belum ada
Pasangan saya.” yang sekarang, yaa sekarang? Kalo sekarang pacar, pengganti mendiang

252
Sekarang? masih suami saya.” yang sekarang calon suami suami saya sampai
pacar, tapi dia umur 19 tahun detik ini….”
belom saya kasih tinggalnya di
tau kalo saya garut. Dia
HIV….” negative HIV,
saya belum
ngasih tau
status saya ke
dia…..”
Jumlah “2 orang, “Ada 2 orang. “Anak aku ada 2. “3 anak “Anakku ada
Anak? sepasang cowok Laki- laki semua” Anak pertama perempuan, 3perempuan semua.
dan cewek.” cewek terus anak dari suami Anak kedua sama
keduanya laki- pertama 2 orang ketiga kembar.”
laki.“ dari suami ke-3
1 orang.”
Usia Anak? “Yang cowok “Anak pertama “Anak pertamaku “Satu sekarang “Usia anak pertama
kelas 2 SD umur umur 3 tahun, yang yang cewek udah SMA sekitar eee berapa ya? Dia
7 mau naik 8 kedua umur 1 meninggal, anak umur 16 tahun, kelahiran tahun
tahun, yang tahun.” kedua sekarang 8 satunya SD 2003, usia 3 tahun
cewek umur 19 tahun.” kelas 6 umur 12 meninggal karena
bulan.” tahun, satunya HIV, itu tahun 2006.
lagi baru lahir Kalo si kembar
th.2012 secara sekarang usia 9
sesar.” tahun.”
Kondisi “Anak pertama “Anak pertama “Anak pertamaku “Alhamdulillah “Anak pertamaku
Kesehatan saya gak negative HIV, tapi yang cewek, lahir tiga- tiganya positif HIV ,itu juga
Anak? kenapa- kenapa, anak yang kedua tahun 2002, gak ada yang taunya setelah saya
Alhamdulillah. dari lahir udah kasian dia, ketularan HIV”. tes HIV dan hasilnya
Justru anak sakit dan ternyata kerjaannya HIV Positif. Kalo
kedua saya yang HIV Positif.” buang- buang aer anak kedua dan
kena HIV juga, mulu, tadinya gak ketiga yang kembar,

253
mungkin karena ketauan puji tuhan negative
sempet saya penyakitnya apa. HIV, padahal pas
kasih ASI….” Kata dokter diare hamil mereka, saya
akut. Akhirnya ketauan HIV
meninggal di usia Positif.”
8 bulan. Dan
ketauan lah
penyakitnya
kemungkinan itu
HIV , itu juga
setelah anak
kedua aku
ketauan kena
HIV.”
“…..Saat itu
kondisi anak
keduaku udah
sering banget
diare, batuk
pileknya juga
terus- terusan,
bolak- balik
berobat tetep gak
berenti –
berenti…”

SOSIAL Jenis “Sebelum saya “…. Dulu saya “Sebelum tau “….Kerja di “Aktif di Gereja jadi
EKONOMI Pekerjaan nikah sama buruh pabrik, tapi kalo aku HIV? Bank bagian pengngurus gereja.”
sebelum suami, saya itu dulu sebelum Aku kerja jadi pembukukan
menikah? kerja di toko kue nikah…” SPG di pasar ituu gak lama
, 6 tahun saya baru. sih Cuma 7

254
kerja disana” bulan, terus
saya pindah
sebagai SPG
terus sekitar 1
tahun pindah
lagi saya
sebagai kasir di
California fried
chicken itu
paling lama ada
sekitar 4 tahun.
setelah itu saya
menikah dan
tidak
melanjutkan
bekerja.”
Jenis “kata suami, “gak dapet izin “abis nikah, “Setelah “ cuma ibu rumah
pekerjaan udah biarin suami buat kerja” masih jadi SPG, menikah dengan tangga biasa,karna
setelah saya aja yang sebentaran doang yang pertama, waktu itu suami juga
menikah? kerja. Kamu tapi soalnya disitu saya ibu rumah gak ngizinin saya
urus pekerjaan udah mulai sakit- tangga, karena buat kerja.”
rumah aja” sakitan. Setelah gak dikasih
itu diem aja untuk kerja..
dirumah jadi ibu sama yangkedua
rumah tangga, saya juga ibu
gak dibolehin rumah tangga
kerja lagi” aja, kata suami
takut saya
kecapean,
soalnya
suamikan tau

255
kondisi saya..
sama yang
ketiga saya
udah jadi
pelayan bar
plus, plus ..
hehe”

“Kenapa saya
mau kerja di
tempat
begituan?
Karna waktu
itu, saya
ngerasa saya
dapet penyakit
ini juga gara-
gara ketularan
orang, jadi
sekalian aja
saya nularin
juga ke orang
lain Udah gitu
kan ya dari pas
nikah sama
suami kedua kan
gak bisa punya
anak,, yaudah
jadi semakin
berani
saya.Saya jadi

256
gak takut hamil
kalaupun
pelanggan saya
ada yang gak
pake kondom.
Kadang kalo
lagi ada yang
ngeselin, udah
aja saya ladenin
gak pake
kondom, biarin
aja biar
ketularan juga.
Tapi sekarang
saya udah
sadar, kalo
semua udah
rencana Tuhan,
saya gak boleh
mendzolimi
orang lain…”
Jenis “Kalo sekarang- “Ibu rumah tangga “Aku ibu rumah “…..Jualan. “Ibu Rumah Tangga.
Pekerjaan sekarang ini aja, yang ngandelin tangga biasa yang Saya jualan nasi Bisa di bilang saya
sekarang? mah saya gak pendapatan nya nyoba buat uduk bareng ibu aktivis HIV juga.”
kerja, Cuma jadi suami. Suami saya usahabikin saya di
ibu rumah kerjanya jadi berbagai macam manggarai,
tangga aja di marketing di aksesoris, kayak terus juga
rumah, sama perusahaan macem bros, jualan tas- tas
palingan bikinin swasta….” kalung, gelang, tapi sistemnya
kue pesenan cincin. Ada yang pesen trus
orang…..” pake manik- dikumpulin

257
manik, ada juga dulu, baru saya
yang pake benang jalan buat beliin
wol, pake kain barangnya ke
perca, sama tanah abang.”
flannel juga ada. “…. Saya suka
Dan justru yang di panggil ke
banyak gereja buat
distributorin cerita
usaha aksesoris pengalaman
aku juga kan saya disana,
temen- temen dari saya juga suka
LSM. Orang di nulis kan yah,
sekitar rumah nah hasil tulisan
kayaknya gak ada saya suka di beli
yang tau kalo aku. sama pihak
usaha aksesoris”, gereja. Padahal
soalnya aku saya saya,
jarang keluar muslim loh, tapi
rumah” justru saya
belum pernah
diundang ke
masjid… oiya,
saya juga sering
ikutan acaranya
orang – orang
LSM atau
komunitas HIV.

Besar “Kalo “….Penghasilan “Yaaa, lumayan “Saya bisa “Dalam sebulan

258
penghasilan penghasilan suami saya 900ribu lah dari usaha ku nyimpen buat saya bisa dapet
dalam sendiri mah sebulan….” ini, dalam tabungan atau pemasukkan 1
sebulan? palingan 1 kue sebulan 1- 2juta buat makan, sampai 2 juta itu
Cuma untung bisa aku buat biaya dari hasil aktiv di
20-40ribu aja kantongin.” hidup sehari- Gereja, di LSM.”
per toplesnya. hari, buat biaya
Sekitar 100rb- 1 sekolah anak
juta sebulannya. 100.000 sehari,
Kalo suami saya yaa antara 1
gajinya 2 juta sampe
juta….” sebulannya bisa
nyampe 3 juta.”
Keinginan “Pastinya ada “…..Pengen punya “Pengen kerja di “Pasti adalah “Ada, tapi saya
untuk lah mbak, gak kerjaan yang bisa tempat lain, tapi keinginan buat sadar diri aja mbak,
mendapatk cukup kalo nambahin yang mengerti dapet pekerjaan usianya udah tua gak
an ngandelin penghasilan, tapi dengan keadaan yang lebih baik. bisa juga ngelamar
pekerjaan pendapatan suami gak ngizinin. kita yang seperti Untuk sekarang kerja dimana-
yang lebih yang Saya juga bingung ini kan hanya ini yaa di mana.”
baik? sekarang….” masih punya anak temen- temen syukuri aja
kecil, gak ada yang sesama ODHA, dengan yang
ngurusin. Suami kalo kita sakit gak sudah Tuhan
saya juga sakit- perlu izin sampe kasih ke saya.”
sakitan mulu ngemis- ngemis,
sekarang, udah gak gak usah pake
bisa nyari kerja ngasih alesan
tambahan, lebih panjang lebar,
banyak istirahatnya bos kan udah tau
kalo sekarang- dan udah ngerti.
sekarang ini.…” Coba kalo kerja
di perusahaan
lain, pasti bos

259
bakalan ngomel.”
Keaktifan “Sebelum saya “…. Dulu saya “Sebelum tau “….Kerja di “Aktif di Gereja dan
sebelum nikah sama buruh pabrik, tapi kalo aku HIV? Bank bagian cuma ibu rumah
diketahui suami, saya itu dulu sebelum Aku kerja jadi pembukukan tangga biasa,karna
positif kerja di toko kue nikah. Abis nikah SPG di pasar ituu gak lama waktu itu suami juga
terinfeksi , 6 tahun saya saya gak di bolehin baru. Aku sih Cuma 7 gak ngizinin saya
HIV kerja disana. kerja lagi sama dirumah juga kalo bulan, terus buat kerja.”
Setelah menikah suami, jadi ibu udah pulang, saya pindah
saya lebih rumah tangga terus langsung sebagai SPG
banyak di aja.yang gaulnya tidur karena terus sekitar 1
rumah, palingan yaa sama ibu- ibu capek. Makannya tahun pindah
jadi aktiv ikut rumah tangga aku di rumah gak lagi saya
pengajian aja di lainnya di sekitar ikutan apa- apa sebagai kasir di
masjid deket rumah. Di sekitar dan gak bergaul California fried
rumah.” rumah juga masih juga sama orang- chicken itu
pada keluarga orang di sekitar paling lama ada
semua” lingkungan sekitar 4 tahun.
rumah. Emang setelah itu saya
dari dulu tuh aku menikah dan
begitu, dirumah tidak
aku diem aja, jadi melanjutkan
anak rumahan.” bekerja”

Keaktifan “Saya masih “Tadinya sering “Dari dulu aku ”…..Pas masih “Paling saya
setelah aktif Pengajian, ngobrol bareng mah emang gak sama suami, aktivnya di gereja
diketahui masih sering tetangga, deket sama pindah- pindah deket rumah Mbak,
positif ngobrol sama ngerumpi- tetangga, acara- tinggalnya…..” emang dari sebelum
terinfeksi tetangga, kalo ngerumpi lah, acara di sekitar “…. Saya suka ketauan HIV Positif
HIV sayanya gak namanya juga ibu- rumah juga aku di panggil ke saya udah aktiv sama
ngobrol susah ibu, hehe. Ikutan gak pernah tau, gereja buat kegiatan- kegiatan
saya dapet acara di sekitar karna kan aku cerita gereja, mulai dari

260
orderan buat rumah juga sering, emang jarang di pengalaman saya remaja. Sampe
kue. Ini juga sekarang jadi rumah, kerja saya disana, sekarang saya juga
masih saya males mau ikutan. mulu, sampe saya juga suka masih aktiv di
rahasiain kalo Takut kalo tetangga rumah malem, nulis kan yah, gereja... sering
saya kena HIV. pada tau kalo saya udah tepar. nah hasil tulisan banget diminta buat
Ngeri pelanggan HIV. Masih belom Sekarang pun saya suka di beli jadi pembicara untuk
pada kabur siap saya” sama, gak aktiv di sama pihak sekedar sharing
Mbak, kan sekitar rumah. gereja. Padahal mengenai HIV.. Puji
lumayan Yang banyak saya muslim loh, Tuhan orang- orang
pemasukkan kue distributorin tapi justru saya disekitar saya gak
saya walaupun usaha aksesoris belum pernah ada yang
cuma dikit aku juga kan diundang ke mendeskriminasi
juga.” temen- temen dari masjid….. oiya, saya, justru mereka
LSM.” saya juga sering banyak yang seneng
ikutan acaranya dengerin cerita saya,
orang – orang inspiratif katanya….
LSM atau “
komunitas “…. Dan sering di
HIV.” ajak juga sama
temen- temen LSM
buat ikutan acara-
acaranya”
RIWAYAT Riwayat “gak pernah “Keluarga gak ada “suami ku yang “keluarga lain “Setau saya
HIV/AIDS PADA keluarga ada mbak. yang pernah awalnya kena selain suami? sebelumnya tidak
KELUARGA yang bapak saya ngalamin kayak HIV mah. Gak ada mbak. pernah ada keluarga
terinfeksi lumayan dikenal gini, baru saya aja Keluarga ku mah emang Cuma saya yang sakit
HIV? di sekitaran ini. Suami saya mana ada yang dia yang nularin kayak saya ini, baru
rumah, soalnya duluan tapi.” pernah kena ke saya.” saya ini yang
pengurus masjid penyakit kayak ketularan sakit kayak
gitu. Ibu saya beginian.” gini, terularnya
juga gak bukan melalui sikap

261
mungkin, adek saya yang bandel
saya juga atau gimana-
orangnya gak gimana, tapi justru
macem- macem. karena ketularan
Emang Cuma suami”.
suami saya..
yakin deh saya
HIV ini
ketularannya
dari dia.”
Pola asuh “dikeluarga “bagus kok orang “aku punya 3 “Yaaa namanya “Keluarga saya
dalam saya di didiknya tua saya kakak sama 2 juga kan anak keagamaannya bisa
keluarga ? lebih ke ngedidiknya, adek, mungkin muda yaa masih dibilang cukup
nanemin nilai didikannya tegas, karna anaknya labil- labilnya, tinggi, saya juga dari
islam, kayak perhatian juga ibu ku banyak kali diajak temen kecil udah diajarin
sholat lima sama anak- ya, jadinya yaaa nyoba- nyoba untuk mengenal
waktu itu wajib anaknya. Nilai gitu mbak, gak ini itu yaa mau Tuhan dan harus
tuh, kalo gak agama juga udah terlalu aja.. apa lagi bisa banyak berbagi
habis kita kena ditanem dari kita diperhatiin. orang tua saya, manfaat untuk umat
sabetan rotan pada masih kecil. Dirumah kan aku bokap udah Tuhan lainnya….”
atau gesper. Sebelum makan gak dapet meninggal dari
Trus ngaji juga berdo‟a, di ajak ke perhatian dan saya SD, kalo
harus baca sekolah kasih sayang, nyokap yaa tiap
qur‟an tiap minggu.trus juga yaaa dengan hari sibuk kerja,
habis maghrib.” kita disekolahin punya pacar aku kerja, dan kerja.
disekolah Kristen.” bisa dapetin hal Tipikal nyokap
itu.” juga yang cuek
bebek gitu,
terserah anak-
anaknya deh
mau ngelakuin

262
apa aja yang
jalanin kan kita
sendiri, yang
nanggung resiko
juga yaaa kita
sendiri”.
“pernah, waktu
SMK dulu,
nyoba narkoba,
putaw, heroin,
ganja dan itu
pake jarum
suntikan yang
gak tau juga deh
itu steril apa
enggak.nggak
ngerti juga saat
itu saya sudah
kena HIV apa
belom…”
PENGETAHUAN Singkatan “Gak tau saya, “HIV, hmm, H nya “Human “Human “Human
HIV/AIDS HIV? dan gak pernah apa yaa saya lupa Deficiency Virus Deficiency ImmunoDeficiensi
juga saya pokoknya huruf I deh kalo gak Virus” Virus”
mencari tau….” nya itu Imun, huruf salah”
V nya Virus.”
HIV “Kuman, “Virus yang “Eee, ituu jenis “Virus” “Virus.”
merupakan semacem menggerogoti Virus”
jenis apa? kuman, eh kekebalan tubuh
(virus, kotoran.yang kita.”
bakteri, terus bakal
parasit, nempel di tubuh

263
jamur, orang yang
dsb?) menderita
penyakit ini.….”
Cara “Gak tau” “Penularannya “hmm, “Penularannya “Bisa lewat darah,
penularan bisa lewat narkoba penularannya bertingkat, dari jarum suntik, seks
HIV suntik, bisa lewat melalui hubungan mulai darah, eee bebas, transfusi
melalui apa hubungan seks seks yang tidak sex bebas, terus darah, dari ibu
saja? sama orang yang aman, jarum eee jarum suntik menular ke anaknya
HIV, transfusi suntik, dari ibu yang tidak steril, juga bisa nularin
darah dari orang yang HIV ke dari ibu ke HIV lewat persalinan
yang HI, dari ASI anaknya, terus bayi” sama ASI.”
juga bisa.” transfusi darah,
hmm.. udah itu
aja.”
Cara “Pake kondom “Jangan narkoba, “Yaaa.. dengan “Pencegahanny “Cara
Pencegahan kalo jangan setia sama a selama ini pencegahannya
HIV? berhubungan berhubungan seks pasangan, tidak dengan setia sama
seksual dan gak sembarangan, kalo hubungan seks menggunakan pasangan, kalo
pake narkoba. punya anak bayi yang tidsk aman jarum suntik emang punya
Terus periksa ke tapi ibunya positif dengan yang tidak perilaku buruk kayak
dokter supaya HIV jangan kasih menggunakan steril,terus eee gonta- ganti
tau kena HIV ASI, trus kalo mau kondom, hindari transfusi pasangan pake
apa enggak.” nerima transfusi pokoknya darah, terus kondom juga, gak
darah harus lebih pencegahannya ehmm.. hindari pake narkoba,
hati- hati lagi.” pake ABCDE seks bebas periaku nya harus
deh.. A nya tanpa sehat supaya
abstinent ituh menggunakan terhindar dari HIV.”
maksudnya gak pengaman,
ngelakuin seks teruus yang dari
bebas, B nya Be ibu ke anak ituu
faithful ituu eee apa tuh

264
maksudnya musti namanya,
setia sama pencegahan gitu
pasangan, C nya deh, oh iya
pake kondom, D PMTCT.”
nya Drugs di
jauhin jangan di
pake, E nya apa
yah lupa.. oiya
edukasi tentang
HIV. Udah deh
pencegahaannya
pake ABCDE
ajah.”
Cara “Kalo “Rutin minum “Pengobatan “Pengobatanny “Yaaa, harus di
Pengobatan pengobatannya, ARV.” sekarang? Kita a ituu ada ubah perilaku
HIV? pake obat- terapi melalui obatnya itu buruknya pake pola
obatan terapi ARV. Tapi banyak namanya ARV hidup yang sehat.
HIV, namanya tuh ibu- ibu, (anti retroviral Minum ARV juga
apa yaa? Saya temenku, dia virus)…” secara teratur.”
lupa. ARV kalo make terapinya
gak salah pake alternatif
namanya gitu soalnya takut
Pokoknya di sama efek
minumnya harus sampingnya
teratur…. saya ARV.”
juga pernah
baca sih ada
pengobatan
herbal gitu yang
bisa juga buat
ngobatin

265
HIV…..”
AGAMA Jenis “Saya islam” “Protestan mbak, “Aku islam “di KTP sih “Agamanya kristen
Agama Kristen Prostestan” mbak” saya islam, tapi saya mbak”
yang saya yaaa gitu
dianut? deh, kalo lagi
mau aja saya
sholat, sama
kalo lagi inget.
Hehe”
Bagaimana “Sholatlah, dari “pastilah mbak” “waktu sebelum “pasti itu mah “Ada sih di agama
ketaatan dulu saya selalu nikah rajin, mbak, orang kami puasa, beda
dalam mengusahakan disuruh terus atheis aja cara berpuasanya
beribadah supaya gak soalnya sama ibu, berdoa masa dengan islam, tapi
sebelum bolong sholat 5 kalo setelah nikah kita enggak. saya jarang puasa,
terdeteksi waktunya” bolong- bolong, Hehe” gak wajib juga
HIV? lebih banyak soalnya”
nggaknya.”
Bagaimana “setelah “semakin sering, “setelah tau HIV “Semakin sering “pas awal kedeteksi
ketaatan tedeteksi HIV, semakin rajin awal- awalnya inget sama HIV, saya beberapa
dalam tetep sholat, berdoa ” rajin sholat, Tuhan apalagi kali nyoba buat
beribadah semakin saya ngadu sama kalo lagi sedih puasa, sebulan
setelah usahain supaya Allah, kenapa aku mikirin nasib, berturut- turut
terdeteksi abis adzan bisa ketularan yaudah lah mungkin ada,
HIV? langsung sholat. HIV? tapi berdoa aja” maksudnya supaya
Karena mungkin kesininya , tau nih saya gak terlalu
aja penyakit ini belum rajin lagi . depresi saat itu, dan
sebenernya hehe.” memang sengaja
ujian buat saya” juga pengen diet.
hehe”
GEJALA AWAL Sebab “….Awalnya “….anak saya yang “….Awal “Awalnya “Awalnya saya gak
DICURIGAI Awal di saya sempet kedua ini lahirnya mulanya waktu itu karena suami tau, tapi waktu hamil

266
HIV/AIDS Ketahuinya takut juga buat sesar….” tuh ada tetangga , pertama saya diare gak
HIV ikut tes- tes “…. tapi kondisi dia kan gay, terus meninggal terus berhenti- berhenti.
Positif? kayak gitu, ngeri anak kedua saya dia ngeliat anak kata dokter Bolak- balik
kalo sampe saya terlahir dengan aku, katanya suami ku kena Puskesmas, dan
ternyata kena paru- paru yang “mbak maaf yah, HIV. Ituu tahun disitu dokter
HIV gimana? gak ngembang, trus jangan 2003. Banyak Puskesmas curiga
Akhirnya saya hidrocefalus juga, tersinggung, yang nyuruh aku sama saya. Saya di
di rumah aja jadi pas lahir kayaknya anak buat VCT, tapi saranin buat tes HIV.
tuh, gak dateng langsung masuk mbak kena HIV, akunya belum Karena saya juga
ke acara di RW incubator, di rawat soalnya dari ciri- siap tau kondisi penasaran, pergi lah
saya. Otomatis sampe 3 minggu di cirinya kesehatan aku saya ke
saya gak ikutan Rumah Sakit, ketauan…..” saat itu, karena Laboratorium. Udah
Penyuluhan dan sembuh, tapi “….Kondisi saya masih terpukul deh, disitu saya
Tes HIVnya. sembuh Cuma saat itu baru banget sama ketauan kalo saya
Tapi gak lama, paru- parunya lahiran terus juga kematiannya penderita HIV
ibu RW sama doang yang bisa rambutnya udah suami pertama Positif.”
kader- kader napas normal. 2 rontok banyak, ku.
puskesmas yang minggu setelah hampir botak, Setelah suamiku
lainnya dateng pulang ke rumah, kepalakku juga meninggal,
ke rumah saya, kambuh lagi, di udah sering karena mungkin
di samper saya rawat lagi 3 banget pusing, akunya juga
buat ikutan minggu di Rumah waktu itu tapi sedih di tinggal
periksa HIV, Sakit Cipto…” masih jadi SPG di suami, aku jadi
katanya tinggal “….terakhir nya pasar baru, sakit- sakitan,
saya yang belum dokternya tes HIV sering pingsan bolak balik ke
di tes di RW ini, ke anak saya, gitu, tapi gak tau puskesmas buat
di bujuk- bujuk ternyata positif sakitnya apa….” berobat, tapi
deh pokoknya HIV. Dari situ saya “…Taunya dari sakitnya gak
biar saya ikutan sama suami orang Puskesmas sembuh-
tes HIV. Dari dikenalin sama yang ngasih tau sembuh. Anakku
situ Saya tiba- dokternya ke dokter kalo hasil tes aku yang kedua juga

267
tiba aja muncul Puskesmas yang positif HIV. Jadi sakit paru-
firasat buruk, ngurusin HIV ceritanya aku kan paru.”
kenapa ini ya disana saya sama abis diajak
orang- orang suami di tes HIV, tetangga ke LSM
pada ngajakin hasilnya sama, Tegak Tegar , di
saya buat ikutan positf semuanya.” Tegak Tegar aku
tes?. di suruh periksa
Tapi yaudah darah ke
deh setelah saya puskesmas, udah
pikir- pikir ini deh pas ketauan
kan juga demi positif, aku
kebaikan langsung di rujuk
saya,dan ke RS Cipto. “
kayaknya gak
mungkin juga
saya kena HIV,
orang saya
perempuan
baik- baik kan.
akhirnya saya
mau buat di tes
HIV.”

268
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT TEMPAT

Topik Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5


Alamat tinggal? “Cililitan” “Ciracas” “Mampang “Manggarai” “Kalimalang”
Prapatan”
Ada tidaknya “deket rumah “deketan juga ke “Ada, ada “Ada banyak “Ada mbak”
pusat layanan ada, tapi saya puskesmas ciracas puskesmas kalo aku mau
kesehatan lebih milih ke mbak, ke pasar mampang kan, berobat ke yang
terdekat? puskesmas rebo juga deket” tapi lebih enak lebih deket”
kramat jati” aja ke puskesmas
kramat jati”
Kebermanfaatan “sebelum saya “Sering ke “manfaaitin “pernah kok “manfaatin mbak..
pusat layanan tau kena HIV, puskesmas pusesmas berobat ke Habis puskesmas kan
kesehatan sering banget ciracas,pasar rebo mampang kok puskesmas deket lebih murah
terdekat? berobat di klinik juga, tapi duluuu mbak, dulu rumah. Dulu biayanya dari Rumah
deket rumah, mbak, sekarang sebelum aku pas suami Sakit atau Klinik.
deket rumah mah udah gak.” ketauan HIV bolak- balik Dulu masih di medan
juga ada bidan, tapi.” sakit juga ke mbak, ketauan HIV
yaa kalo lagi puskesmas deket juga pas saya lagi di
gak enak badan, rumah kok medan.”
mau saya kek, seringnya.
anak saya, atau Supaya deket
nggak ayahnya rumah.”
dia, biasanya
kita ke bidan aja
udah.”
Alasan tidak “Saya kan “Gak mau berobat “Aku males aja “Kenapa “Udah nyaman aja
memilih berobat jualan kue deket rumah ah, isi kalo ketemu berobatnya jauh mbak berobat
di pusat layanan mbak, Ngeri Puskesmasnya tetangga atau gitu? disana, petugasnya
kesehatan pelanggan pada tetangga saya orang yang Hmm enak diajak

269
terdekat dari kabur mbak, semua, Takut kalo dikenal pas di sebenernya aku ngobrolnya, gak
tempat tinggal? pelanggan saya tetangga pada tau Puskesmas, berobatnya nganggep kita
kebanyakkan kalo saya HIV. makannya pindah- pindah.. sebagai pasien,
tetangga- Masih belom siap lumayan banget hehe. nganggep kita kayak
tetangga saya, saya.” aku tuh kalo Tapi yang di temen gitu mbak,
kan lumayan berobat, jaraknya Kramat Jati ini asik- asik deh
pemasukkan kue Mampang ke udah lumayan pokoknya.”
saya walaupun Kramat Jati.” lama gak
cuma dikit pindah- pindah
juga.” lagi.”

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT WAKTU

Topik Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5


Lama Sakit “….Taunya pas “…. Itu tahun “Pertama kali tau “……..Akhirnya “…. Itu tahun 2006.”
(terhitung dari di acara itu, itu kemaren, 2014 tahun 2007, bulan Setahun dari
waktu pertama akhir Desember bulan Juli.” Juli. Itu abis kepergian
kali terdiagnosis 2014.” lahiran 4 bulan, suamiku, tahun
hingga udah sempet 2004, aku
wawancara di ngasih ASI juga.” beraniin deh
tahun 2015) diri aku buat
konsultasi di
puskesmas
disaranin buat
cek HIV juga.
Aku cek di
laboratorium,
Dan ternyata

270
hasilnya
positif….”
Usia pertama Usia saat Usia saat Usia saat Usia saat Usia saat wawancara
kali terdiagnosis wawancara 30 wawancara 37 wawancara 38 wawancara 38 39 tahun, sehingga
HIV? tahun, sehingga tahun, sehingga tahun, sehingga tahun, sehingga perkiraan usia saat
(terhitung dari perkiraan usia perkiraan usia saat perkiraan usia perkiraan usia pertamakali
usia saat di saat pertamakali pertamakali saat pertamakali saat pertamakali terdiagnosis HIV
wawancara di terdiagnosis terdiagnosis HIV terdiagnosis HIV terdiagnosis adalah 30 tahun
tahun 2015 HIV adalah 29 adalah 36 tahun adalah 30 tahun HIV adalah 27
dikurangi tahun tahun
dengan waktu
pertamakali
terdiagnosis)

271

Anda mungkin juga menyukai