Anda di halaman 1dari 99

JOURNAL READING

Abused-Abuser Dilemma in Sexual Abuse and Forensic


Evaluation : A Case Report

Disusun oleh:

Deski Chintia Sari 1665050206


Fanny Ristanti 1765050103
Si Agung Bintang Triana Dewi 1765050149
Aziza 1765050159
Jacky Harianto Wijaya Wong 1765050260
Arum Indriani Wisnu N. NIM
Eka Febriani NIM
Edwin Maulana NIM

Dosen Penguji:

dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF

Residen Pembimbing:

dr. Edgar Rogate P. S.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi
Periode 10 Desember 2018 – 15 Januari 2019
SEMARANG
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh dosen pembimbing, makalah journal reading dari :

Nama/NIM :

Deski Chintia Sari 1665050206


Fanny Ristanti 1765050103
Si Agung Bintang Triana Dewi 1765050149
Aziza 1765050159
Jacky Harianto Wijaya Wong 1765050260
Arum Indriani Wisnu N. NIM
Eka Febriani NIM
Edwin Maulana NIM

Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Kristen Indonesia, Universitas Trisakti
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Judul : Abused-Abuser Dilemma in Sexual Abuse and Forensic
Evaluation : A Case Report
Dosen Penguji : dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF
Residen Pembimbing : dr. Edgar Rogate P. S.

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik


dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Semarang, Desember 2018


Dosen Penguji,

dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan journal reading

yang berjudul “Dilema Pelaku Pelecehan yang Dilecehkan dalam Pelecehan

Seksual dan Evaluasi Forensik: Laporan Kasus”, sebagai salah satu tugas dalam

kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP Dr.

Kariadi Semarang.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF selaku dosen penguji serta dr. Edgar

Rogate P. S. selaku residen pembimbing yang telah banyak membantu dalam

penulisan makalah ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini, dan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun atas hal tersebut. Akhir kata, besar harapan penulis agar makalah ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Semarang, Desember 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan .............................................................................................. i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
Jurnal .................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 20
A. Latar Belakang ........................................................................................... 20
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 22
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 23
D. Manfaat Penulisan ...................................................................................... 23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 24
A. Definisi Kekerasan Seksual pada Anak ..................................................... 24
B. Definisi Anak ............................................................................................. 26
C. Anatomi Genitalia ...................................................................................... 27
D. Prevalensi Kekerasan Seksual pada Anak .................................................. 30
E. Faktor Risiko .............................................................................................. 34
F. Pemeriksaan Forensik Kekerasan Seksual pada Anak ................................ 37
G. Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia .......................... 49
H. Dampak Kekerasan Seksual pada Anak ..................................................... 68
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 72
A. Kesimpulan ................................................................................................ 72
B. Saran ........................................................................................................... 74
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 76

iii
PEMAPARAN JURNAL

1
2
3
4
Dilema Pelaku Pelecehan yang Dilecehkan dalam Pelecehan Seksual dan
Evaluasi Forensik: Laporan Kasus

Abstrak

Faktor-faktor seperti memiliki masalah keluarga, tumbuh dalam keluarga yang


bercerai-berai, memiliki orang tua dengan gangguan kepribadian, memiliki
kekurangan fisik dan mental, riwayat alkohol dan penyalahgunaan zat, riwayat
pelecehan seksual sebelumnya, dan kurangnya dukungan sosial dapat
meningkatkan risiko mengalami pelecehan seksual. Menurut penelitian
sebelumnya, sekitar sepertiga anak-anak yang menjadi sasaran pelecehan dapat
menjadi pelaku kekerasan di masa depan. Dalam kondisi seperti itu, dilemma
terhadap pelecehan kini telah dialami. Hal yang penting, Adanya kesalahan medis
dan kurangnya pengalaman dalam kasus seperti itu membuat proses evaluasi
hukum menjadi lebih rumit. Dalam laporan kasus ini, kami membahas seorang
pasien anak yang disiksa oleh babysitter (pengasuh) dengan riwayat pelecehan di
masa remajanya. Deteksi dini terhadap pelecehan seksual, pengobatan gangguan
psikiatri, dan program tindak lanjut diperlukan untuk meminimalkan lingkaran
setan pelaku pelecehan.

Kata kunci: Pelaku pelecehan, psikiatri anak, pelecehan seksual anak

Pendahuluan

Pelecehan seksual terhadap anak didefinisikan sebagai memperalat anak


secara psikososial dan tidak kompeten secara seksual untuk hasrat dan kebutuhan
seksual melalui kekerasan, ancaman atau muslihat. Faktor-faktor yang
meningkatkan risiko terkena pelecehan seksual dapat didaftarkan sebagai: tumbuh
dalam keluarga yang cerai-berai, adanya gangguan kejiwaan, riwayat pelecehan
seksual dan kurangnya dukungan sosial. Hipotesis pelaku pelecehan seksual pada
anak menyatakan bahwa pada orang-orang, khususnya laki-laki, yang terpapar
pelecehan terutama di masa kanak-kanak berisiko menjadi pelaku kekerasan.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk menunjukan seorang pasien
anak yang disiksa oleh babysitter dengan riwayat pelecehan di masa remajanya.

5
Kasus

Seorang anak perempuan berusia tiga tahun dirujuk ke klinik psikiatri anak
untuk evaluasi forensik, dengan klaim bahwa pengasuh anak tersebut memukul
organ genital dan bokongnya. Sebelum memasuki psikiatri anak, keluarganya
melaporkan bahwa anak menunjukkan organ genital dan bokongnya, dan
mengatakan bahwa mereka merasa terpukul karena pengasuh anaknya melakukan
sesuatu yang buruk pada anaknya. Mereka pergi ke layanan darurat setelah ibunya
secara visual memeriksa tubuhnya dan melihat ruam di bokongnya. Pada layanan
darurat, seorang dokter anak melakukan pemeriksaan fisik, kemudian disebut
memanggil seorang ahli bedah anak. Dokter bedah memutuskan untuk melakukan
pemeriksaan fisik di bawah anestesi umum atas permintaan keluarga, karena dia
berpikir bahwa anak mungkin akan takut pemeriksaan genital. Dokter bedah
mendapati fisura di anus anak, trauma di selaput dara, dan ekimosis pada
bokongnya. Setelah temuan ini, keluarga menghubungi departemen kepolisian.
Keluarga itu diterima oleh Departemen Kedokteran Forensik di rumah sakit
universitas di perusahaan dengan petugas polisi. Selama pemeriksaan di klinik
kedokteran forensik, dokter menemukan bahwa selaput dara masih utuh, dan ada
fisura superfisial di posisi depan, fisura di anusnya, dan ekimosis di belakang.
Disadari bahwa ketika pengasuh berusia 20 tahun, anak perempuan paman dari
pihak ayah, yang telah merawatnya selama tiga bulan sebelumnya, menyiksanya.
Keluarganya mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui berapa kali anak itu
disiksa olehnya.

Keluarga itu mengetahui bahwa putri sulung berusia 10 tahun juga


mengalami pelecehan seksual. Dua minggu setelah mempekerjakan pengasuh
anak, kakak perempuan itu mengatakan bahwa babysitter menyentuh
payudaranya. Ketika orang tua berbicara tentang kejadian itu dengan babysitter,
dia menyangkalnya. Sayangnya, keluarga itu mengira bahwa putri mereka
berbohong.

Selanjutnya, keluarga mengatakan bahwa babysitter itu telah terlibat


dalam kasus hukum sebelumnya dan mereka tidak tahu detailnya. Berkas
pengadilannya diminta oleh Departemen Kedokteran Forensik. Ditemukan bahwa

6
seorang kerabat pengasuh tersebut memperkosanya tiga tahun lalu. Setelah
kejadian ini, dia hamil pada usia 17 tahun dan dipaksa aborsi oleh pelaku.
Menurut file kasus, dia didiagnosis dengan gangguan stres akut (ASD) tetapi tidak
menerima dukungan atau perawatan.

Selama wawancara dengan keluarga, ditemukan bahwa anak tidak ingin


mengganti popok, tidur dan nafsu makannya menurun, dan dia bermimpi buruk
selama sebulan terakhir. Dia tidak ingin pergi ke tempat rekreasi atau
berpartisipasi dalam kegiatan sosial apa pun. Pada evaluasi awal, dia muncul di
usia yang dinyatakan dan memiliki perawatan diri yang normal. Kesadaran dan
orientasi masih baik. Dia memberikan beberapa foto ke psikiater anak itu tentang
dia menggambar di ruang tunggu bersama anak-anak lain. Dia tampak defensif,
tidak bahagia dan sangat cemas. Dia tidak melakukan kontak mata. Dia
memegang tangan ibunya tanpa henti dan tidak ingin duduk di kamar. Dia melirik
mainan di ruangan dan ingin pergi keluar. Kemudian, dia gelisah tiba-tiba dan
mengamuk di ruangan itu. Selama wawancara, dia berusaha menolak untuk
berkomunikasi. Sesi Play Therapy dan hydroxyzine HCl 10mg/hari
direkomendasikan untuk kegelisahannya dan gejala lainnya.

Sesi play therapy pertama dijadwalkan untuk seminggu setelah


kunjungannya. Pada sesi pertama, dia tidak mau masuk ke ruang terapi dan
mengamuk lagi di aula. Ibunya menyatakan bahwa nafsu makan dan tidurnya
lebih baik dari minggu sebelumnya, dan dia mulai pergi ke kamar anak.
Kunjungan kedua direncanakan pada minggu berikutnya. Anak itu mulai
berkomunikasi dengan psikiater anak di sesi tersebut dan tampak ceria. Dia bisa
tinggal di ruang terapi sekitar lima belas menit kemudian merasa cemas dan
memanggil keluarganya ke dalam ruangan. Keluarganya menjelaskan bahwa dia
secara bertahap menjadi lebih baik dan menikmati pergi ke kamar anak.
Diputuskan untuk mempertahankan terapi hidroksizin HCl 10m/hari. Sayangnya,
ia hanya berpartisipasi dua kali dalam sesi play therapy, karena keluarganya
memutuskan untuk pindah ke kota lain untuk memulai awal yang baru. Dia
diarahkan ke psikiater anak lain di pemukiman baru mereka. Dia masih
ditindaklanjuti oleh psikiater anak, dan dia memiliki suasana hati yang baik.

7
Diskusi

Tingkat pelecehan seksual telah ditemukan 3 sampai 37% pada anak laki-
laki dan 7 sampai 53% pada anak perempuan. Mayoritas individu yang
mengalami pelecehan adalah anak perempuan sedangkan mayoritas pelaku adalah
laki-laki. Wanita juga bisa menjadi pelaki pelecehan seksual tetapi kasus tersebut
lebih jarang terjadi. Teladan dan teori pembelajaran sosial dapat menjelaskan
temuan ini sejak anak-anak yang mengalami pelecehan dapat mengambil individu
dalam pengalaman trauma mereka sebagai teladan. Dalam kasus kami, pengasuh
yang melakukan pelecehan telah mengalami pelecehan. Penentuan korban atau
pelaku menjadi kontradiktif.

Diketahui bahwa adanya riwayat pelecehan seksual masa kanak-kanak


dapat menyebabkan banyak gangguan psikiatri pada masa depan. Dalam kasus ini,
pelaku memiliki ASD karena pelecehan seksual, tidak menerima terapi psikatri
apapun pada saat itu dan diasingkan oleh keluarganya, yang selanjutnya
melakukan pelecehan pada dua anak. Tampaknya dilupakan bahwa dia merupakan
seorang remaja yang hamil setelah kekerasan seksual tiga tahun yang lalu. Semua
kasus-kasus serupa yang mengalami pelecehan seksual harus menerima evaluasi
kejiwaan wajib dan program tindak lanjut. Psikiatri harus memantau kasus ini
dalam konteks psikiatri preventif.

Saat ini, intervensi yang diperlukan telah diproses untuk kasus ini dan tim
kami mengikuti kemajuannya dari jarak jauh dengan mengkontak psikatrinya saat
ini. Selain itu, Departemen Kehakiman dan Departemen Kesehatan sedang
memantau prosesnya.

Telah dinyatakan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual melaporkan


pengalaman mereka sebanyak mendekati 15%. Penyebab paling penting dari
kerahasiaan ini adalah kekhawatiran bahwa keluarga tidak akan percaya dia.
Selain itu, anak-anak mungkin menganggap hal pelecehan sebagai perilaku
normal, menganggapnya sebagai sebuah indicator cinta dan ketertarikan, terutama
jika pelakunya adalah seorang anggota keluarga. Keluarga yang mengetahui
pelecehan juga tidak mau melaporkannya kepada pihak berwewenang secara

8
hukum karena takut ditolak sosial dan tekanan agama. Oleh karena itu, anak-anak
harus menerima Pendidikan seksual untuk melindungi diri dan meminta bantuan
dalam keadaan seperti itu.

Hal penting lain dalam kasus kami adalah bahwa seorang ahli bedah
pediatrik melakukan pemeriksaan genital di bawah anestesi umum tanpa
permintaan hukum. Dalam pasa 287 KUHP Turki, disebutkan bahwa dokter tidak
bisa melakukan pemeriksaan genital tanpa keputusam hakim berwenang atau
jaksa penuntut umum. Dalam pasal 76 KUHAP, disebutkan bahwa setelah
persetujuan korban, pemeriksaan dapat dilakukan tanpa keputusan hakim atau
jaksa penuntut umum dan dalam rangka mengumpulkan bukti mengenai
kejahatan. Selain itu, adapun dinyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak harus
menjadi pemeriksaan bedah dan tidak harus membahayakan kesehatan korban.
Ada beberapa laporan kasus dalam literatur melaporkan bahwa peeriksaan genital
telah dilakukan di bawah anestesi umum pada kecurigaan pelecehan seksual.
Namun, keluarga menyatakan bahwa prosedur itu tidak dijelaskan kepada mereka
secara detail dan mereka menyadari pemeriksaan genital setelah prosedur tersebut
telah diproses. Jika kita mengevaluasi kasus saat ini, otoritas hukum harus telah
memberitahu sebelum pemeriksaan. Jika hal ini tidak mungkin, memperoleh
persetujuan dari keluarga setelah menjelaskan semua aspek positif dan negatif dari
pemeriksaan dan anestesi akan lebih nyaman.

Deteksi dini pelecehan seksual, pengobatam pada awal gangguan


kejiwaan, dan minimalisasi lingkaran setan pelaku sekaligus pelaku pelecehan
seksual, korban pelecehan seksual harus menjalani evaluasi kejiwaan yang
komprehensif dan program tidak lanjut. Selain itu, penting untuk
menginformasikan pada tenaga kesehatan professional dalam hal kasus-kasus
pelecehan seksual dalam rangka melaksanakan evaluasi forensic yang tepat sesuai
undang-undang kesehatan, hak-hak anak, kewajiban dan hak secara hukum. Tim
terdiri dari psikiater anak, dokter forensik, dokter anak, dokter layanan darurat,
dan pekerja sosial harus ditetapkan untuk pengelolaan proses hukum untuk
melakukan intervensi, yang paling bermanfaat bagi pasien. Tim-tim ini harus

9
menawarkan informasi kepada tenaga kesehatan professional dan menyediakan
program pelatihan evaluasi forensik.

10
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus

generasi di masa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak-anak merupakan

fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa depannya.

Perlu adanya optimalisasi perkembangan anak, karena selain krusial juga pada

masa itu anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau

keluarga sehingga secara mendasar hak dan kebutuhan anak dapat terpenuhi

secara baik.1

Anak seharusnya mendapatkan haknya dan salah satunya adalah

mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak. Saat ini sudah ada undang-undang

yang mengatur tentang hak anak yaitu, UU RI No.17 Tahun 2016 tentang

perlindungan anak pasal 1 (2) menyatakan bahwa “Perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal, sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan deskriminasi”.2

Kekerasan seksual merupakan salah satu kekerasan fisik yang termasuk

tindakan kriminal. Pelaku tindak kekerasan seksual melakukan untuk memuaskan

hasratnya secara paksa. Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan

hubungan seksual secara paksa, namun aktivitas lain seperti meraba, bahkan jika

hanya memandangi. Hal ini sesuai dengan penuturan Orange dan Brodwin dalam

11
jurnal psikologi Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children yang

menjelaskan bahwa kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman

atau keterperdayaan seseorang anak dalam aktivitas seksual (melihat, meraba,

penetrasi(tekanan), pencabulan dan pemerkosaan). Dampak kekerasan seksual

pada anak dapat berupa fisik, psikologi maupun sosial. Secara fisik dapat berupa

luka atau robek pada selaput dara. Secara psikologis meliputi trauma mental,

ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri. Secara

sosial misalnya perlakuan sinis dari masyarakat di sekelilingnya, ketakutan

terlibat dalam pergaulan dan sebagainya.1,3

Kekerasan seksual pada anak mendapatkan perhatian dari banyak

masyarakat karena merupakan tingkat kekerasan paling tinggi dibandingkan

dengan kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan seksual pada anak tidak

memandang korbannya anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini diperkuat oelh

data yang terdapat pada jurnal Gail Hornor 2010 bahwa anak perempuan dan laki-

laki memungkinkan menjadi korban kekerasan seksual. Anak korban kekerasan

seksual mengalami sejumlah masalah antara lain trauma fisik dan psikologis yang

berkepanjangan, kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis dan memiliki

keinginan untuk balas dendam.1,4

Menuruk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2007,

dari 555 kekerasan terhadap anak yang muncul, 11,8% kekerasan terjadi di

sekolah. Pada tahun 2008 diterapkan metode yang sama, persentasenya meningkat

menjadi 39%. Kekerasan seksual juga semakin tinggi, 527 angka kejadian KSA

(Kekerasan Seksual pada Anak) tahun 2007. Pada tahun 2008 angka kejadian

12
tersebut meningkat menjadi 626, kemudian pada tahun 2009 meningkat lagi

menjadi 705.5

Masih banyaknya kasus yang melibatkan anak di Indonesia dan salah

satunya adalah kasus pelecehan seksual. Hal ini disebabkan oelh banyak faktor,

diantaranya adalah faktor lingkungan, teknologi, dan kurangnya pengawasan dari

berbagai pihak. Anak yang mengalami pelecehan seksual akan mengalami

gangguan secara psikologis dan fisik. Di Indonesia sendiri kasus pelecehan

seksual pada anak masih kurang terperhatikan oleh Komisi Nasional Perlindungan

Anak, padahal jika dilihat banyak sekali kasus pelecehan pada anak di Indonesia

yang membutuhkan perhatian lebih dan harus segera ditindaklanjuti.1

Pada penelitian Bonnar-Kidd, korban kekerasan seksual mayoritas adalah

anak dibawah 18 tahun, 80.000 anak Amerika setiap tahunnya mengalami

kekerasan seksual.6 Pada survey yang dilakukan Black et al, 1 diantara 5 wanita

(44,6%) pernah mengalami perkosaan atau pelecehan seksual, sedangkan pada

pria 1 diantara 71 orang (22,2%). Hal ini diakibatkan oleh belum stabilnya emosi

remaja wanita dan kelemahan fisik dalam melawan pelaku. Semakin muda wanita,

semakin beresiko untuk megalami kekerasan seksual dari pria.5,7

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja yang dimaksud kekerasan seksual pada anak?

2. Apa tanda yang dapat ditemukan dari kekerasan seksual pada anak?

3. Apa dampak yang terjadi terhadap korban kekerasan seksual pada anak?

4. Apa dasar hukum atau perundang-undangan yang mengatur tentang

perlindungan terhadap kekerasan seksual pada anak?

13
C. TUJUAN PENULISAN

Mengetahui peranan dokter umum secara menyeluruh dalam menangani

kasus kekerasan seksual pada anak.

D. MANFAAT PENULISAN

Dari penulisan ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat, khususnya

bagi penulis dan umumnya bagi pembaca, antara lain:

1. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan

meningkatkan pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual pada anak

serta dampak-dampak yang ditimbulkannya.

2. Dapat menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya

tentang kekerasan seksual pada anak, serta dapat mengetahui bagaimana cara

menangani kasus tersebut.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan Seksual pada Anak

A. Definisi Kekerasan Seksual pada Anak

Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(PKDRT) ditegaskan bahwa kekerasan adalah “Setiap perbuatan terhadap

seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,

atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”. Sedangkan kekerasan

terhadap anak diartikan sebagai “Perbuatan yang disengaja yang menimbulkan

kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional”.8

Secara yuridis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengartikan

kekerasan sebagai perbuatan yang dapat membuat orang pingsan atau tidak

berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, kekerasan adalah suatu

tindakan yang dilakukan oleh seseorang ( orang yang berkuasa) yang dapat

menimbulkan sakit, penderitaan, baik fisik, psikis, dan sosial pada seseorang

(identik orang yang lemah).9,10

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) didefinisikan sebagai

perlakuan fisik, mental dan seksual yang umumnya dilakukan oelh orang-orang

yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana semua

diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan

anak.9

15
Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan

seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak

mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang

bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau

orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya

untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual.9

Menurut Richard J.Gelles kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan

disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik

secara fisik maupun emosional). Sedangkan menurut Lyness kekerasan seksual

terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak,

tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda

porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.9

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan hubungan atau interaksi antara

seseorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau

orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung, atau orang tua dimana anak

tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas sebagai kebutuhan seksual pelaku.

Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan

atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara

pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti

melakukan tindak perkosaan atau pencabulan.9

B. Definisi Anak

Pengertian anak menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah perkawinan hanya diijinkan bila pihak pria mencapai umur 19

16
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)

tahun.11Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa

anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.12

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan

bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya.13

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat 1 UU No.17 tahun 2016 tentang

Perlindungan anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.3,5 Pengertian anak menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah “Dalam menuntut orang

yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum

umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang

bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa

pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada

pemerintah, tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau

salah satu pelanggaran tersebut.5

17
C. Anatomi Genitalia

a. Genitalia Wanita

Gambar 1. Alat Kelamin Wanita14

Vulva adalah istilah yang diberikan untuk alat kelamin luar wanita.

Strukturnya meliputi mons pubis, labia mayora dan labia minora. Bagian yang

menonjol di bagian depan simfisis terdiri dari jaringan lemak dan tertutup oleh

rambut. Terdapat bagian yang sedikit meluas beberapa sentimeter pada mons

pubis yang disebut klitoris. Dibawah klitoris terdapat uretrha, klitoris berada 1 cm

diatas meatus urethra. Terdapat labia mayora yang berlemak, memanjang dan

membentuk lipatan yang merupakan batas lateral dari vulva. Labia minora

merupakan bagian medial dari Labia mayora dan merupakan lapisan kulit tipis

yang masuk ke pintu masuk vagina. Bagian depan labia minora bergabung dan

melingkupi klitoris yang dikenal sebagai preputium klitoris. Bagian belakang

labia minora bergabung ke garis tengah menuju pintu masuk vagina. Urethra

berada diatas pintu masuk vagina. Himen atau selaput dara adalah lipatan tipis

selaput lendir yang berada di dalam luban vagina.15

Alat kelamin dalam wanita terdiri dari vagina, serviks, uterus, tuba terina

dan ovarium. Vagina berada di depan rektum dan dibelakang kandung kemih yang

18
merupakan saluran fibromuskuler yang menghubungkan pintu masuk vagina

dengan serviks. Uterus berada dibelakang dan diatas kandung kemih. Tuba uterina

dan ovarium berada di lateral dari uterus.15

b. Genitalia Laki-laki

Gambar 2. Alat Kelamin Laki-laki

Organ reproduksi luar laki-laki adalah skrotum dan penis. Penis terdiri dari

tiga rongga yang berisi jaringan spons. Dua rongga yang terletak di bagian atas

berupa jaringan spons korpus kavernosa. Satu rongga berada di bagian bawah

yang berupa jaringan spons korpus spongiosum yang membungkus urethra.

Urethra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil yang ronga-rongganya banyak

mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf. Bila ada suatu

rangsangan,rongga tersebut akan terisi penuh oleh darah sehingga penis menjadi

tegang dan mengembang (ereksi).17

Skrotum (kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya berisi

testis. Skrotum berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Di

antara skrotum kanan dan skrotum kiri dibatasi oleh sekat yang berupa jaringan

ikat dan otot polos (otot dartos). Otot dartos berfungsi untuk menggerakkan

19
skrotum sehingga dapat mengerut dan mengendur. Di dalam skrotum juga

terdapat serat-serat otot yang berasal dari penerusan otot lurik dinding perut yang

disebut otot kremaster. Otot ini berperan penting pada pengaturan suhu

lingkungan testis. Suhu di dalam skrotum dipertahankan 20oC lebih rendah dari

suhu rongga abdomen. Hal tersebut berkaitan dengan proses pembentukan sperma

(spermatogenesis) normal yang membutuhkan suhu stabil.17

Organ reproduksi dalam pria terdiri atas gonad yang menghasilkan gamet

(sel-sel sperma) dan hormone, kelenjar aksesoris yang menghasilkan produk yang

esensial bagi pergerakan sperma dan sekumpulan ductus yang membawa sperma

dan sekresi glandular.17

Testis (gonad jantan) berbentuk oval dan terletak di dalam kantung pelir

(skrotum). Testis berjumlah sepasang (jamak=testes). Testis kiri dan kanan

dibatasi oleh suatu sekat yang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos. Fungsi

testis secara umum merupakan alat untuk memproduksi sperma dan hormone seks

jantan, androgen. Testes terdiri atas saluran melilit yang dikelilingi oleh jaringan

ikat disebut tubulus seminiferous. Pada saluran inilah sperma dibentuk. Di antara

tubulus seminiferous tersebar sel-sel interstisial Leydig yang menghasilkan

androgen.17

D. Prevalensi Kekerasan Seksual Pada Anak

Salah satu faktor yang berpengaruh negative terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak adalah kekerasan pada anak. Data Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) bekerjasama dengan

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, menyebutkan bahwa prevalensi

20
kekerasan terhadap anak 3.02%. Artinya, di antara 100 anak terdapat 3 anak yang

mengalami kekerasan. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan terbanyak

yang ditemukan. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat

sebanyak 216 korban kekerasan seksual anak pada tahun 2011, meningkat pada

tahun 2012 menjadi 412 korban, dilaporkan pada tahun 2013 terdapat 343 kasus,

656 kasus pada tahun 2014. Pada tahun 2015 didapatkan 218 kasus kekerasan

seksual pada anak. Data penelitian terakhir dari KPAI yaitu pada tahun 2016

terdapat 120 kasus anak sebagai korban kekerasan seksual.18

800

600

400

200

0
2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 3. Statistik Korban Kekerasan Seksual pada Anak Berdasarkan Tahun

Namun, dari penelitian yang dilakukan tersebut, didapatkan bahwa anak

tidak hanya menjadi korban dari kekerasan seksual, namun juga terdapat kasus-

kasus kekerasan seksual di mana anak menjadi pelaku dari kekerasan tersebut.

Hasil penelitian pada tahun 2011 terdapat 123 anak yang menjadi pelaku

kekerasan seksual, sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi

324 kasus, 247 kasus pada tahun 2013, dilaporkan pada tahun 2014 terdapat 561

kasus, 157 kasus pada tahun 2015, dan pada penelitian yang terakhir dilakukan

pada tahun 2016 adalah 86 kasus di mana anak menjadi pelaku kekerasan

seksual.18

21
600
500
400
300
200
100
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 4. Statistik Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Dari penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

menyatakan bahwa data korban dari kekerasan seksual yang masuk ke IGD RSUP

Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, mayoritas adalah wanita, usia remaja, jenis

kasusnya adalah pemerkosaan anak di bawah umur, distribusi luka terbanyak pada

selaput dara, berprofesi sebagai pelajar, dan pelakunya adalah orang yang tidak

dikenal.5

Pada penelitian lain yang dilakukan American Journal Public Health

tahun 2010 di Amerika, didapatkan prevalensi kekerasan seksual di mana 1 di

antara 5 wanita pernah mengalami pemerkosaan atau pelecehan seksual,

sedangkan pada pria 1 di antara 71 orang. Sekitar 44.6% wanita dan 22.2% pria,

pernah mengalami pelecehan seksual di dalam hidupnya. Pada penelitian yang

lain, korban kekerasan seksual mayoritas adalah anak di bawah 18 tahun, 80.000

anak Amerika setiap tahunnya mengalami kekerasan seksual. Hal ini diakibatkan

oleh belum stabilnya emosi remaja wanita dan kelemahan secara fisik dalam

melawan pelaku. Semakin muda wanita, semakin berisiko untuk mengalami

kekerasan seksual dari pria.6

22
Variabel N (%)

Jenis Kelamin

- Wanita 63 (95,5)

- Pria 3 (4)

Usia

- <12 tahun 7 (10,6)

- 13-17 tahun 46 (69,7)

- 18-21 tahun 5 (7,6)

- 22-40 tahun 7 (10,6)

- 41-60 tahun 1 (1,5)

Jenis Kasus

- Pemerkosaan dewasa 7 (10,6)

- Pemerkosaan anak 37 (56,1)

- Pencabulan suka sama suka 17 (25,8)

- Pelecehan seksual lain 5 (7,6)

Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian kasus hidup kekerasan seksual di


RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten selama tahun 2014 – Maret 20165

23
Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena kekerasan seksual pada anak

tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Selain itu,

kebanyakan pelaku adalah orang dekat korban atau berada di lingkungan yang

sama.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang

biasanya dibagi ke dalam dua kategori berdasar identitas pelaku, yaitu:19

a) Familial abuse

Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual di mana

antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dari

keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang

tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya

merawat anak. Mayer menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan

mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu:19

1. Kategori pertama, penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi

interaksi non coitus, petting, fonding (meraba-raba dada korban, alat genital,

paha, dan bokong), exhibitionism (memamerkan atau menelanjangi anak),

dan voyeurism (masturbasi depan anak atau sekedar meremas kemaluan

anak), semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual.

2. Kategori kedua, perkosaan (sexual assault), berupa oral atau hubungan

dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis (fellatio), dan

stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus).

24
3. Ketegori terakhir, perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi

kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi

korban.

b) Extra familial abuse

Extra familial abuse adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang

lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga,

pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah

membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke

dalam situasi di mana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan

memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di

rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui

mereka takut akan memicu kemarahan dari orang tua mereka. Selain itu,

beberapa orang tua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa

anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos

sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.

E. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menjadi pemicu terjadinya

kekerasan seksual pada anak, antara lain:20

a. Psikopatologi yaitu seseorang yang pecandu obat-obatan, astungkara

alkoholisme, memiliki harga diri rendah, dan gangguan personal lainnya.

b. Seseorang yang memiliki pengalaman terhadap perilaku orang tua yang buruk

seperti mendapat perilaku penganiayaan ketika masa kecilnya.

25
c. Seseorang yang memiliki masalah dengan pasangannya, seperti hubungan yang

tidak saling mendukung satu dengan yang lain atau tujuan yang tidak searah.

d. Seseorang yang mendapatkan stressor dari lingkungan, seperti keuangan dan

kesehatan yang buruk

e. Seseorang dengan isolasi sosial seperti memiliki teman yang sedikit atau tidak

ada teman

f. Seseorang yang memiliki kesalahan ekspektasi atau pandangan terhadap level

perkembangan anak-anak.

Kemiskinan juga dapat menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan

seksual pada anak. Kekerasan seksual terjadi di sekitar masyarakat yang secara

sosial ekonomi miskin. Hal ini dapat dicermati melalui kasus-kasus yang

kemudian bermunculan sebelum dan sesudah pemerkosaan yang berakhir dengan

pembunuhan. Kemiskinan akan mengakibatkan orang atau masyarakat

mengabaikan lingkungannya, termasuk keluarga dan anak-anak mereka. Padahal

keluarga adalah lembaga sosial terkecil yang menjadi dasar awal sebelum

beranjak ke lingkungan yang lebih besar.21

Faktor pendidikan dalam keluarga dapat menjadi pemicu terjadinya

pelanggaran yang berbuntut kekerasan pada anak. Anak sebagai kelompok yang

rentan, tidak berdaya, dan masih memerlukan perlindungan orang dewasa tetapi

justru menjadi korban kebiadaban orang dewasa dan juga teman sebayanya.

Rendahnya kualitas pribadi pelaku tindak kekerasan seksual pada anak

menunjukkan bahwa keluarga yang diharapkan memberikan dasar pembangunan

kepribadian anak tidak menjalankan fungsinya dengan benar, termasuk juga

fungsi control keluarga dan lingkungan keluarga tidak terpenuhi dengan baik.22

26
Seseorang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai

korbannya dikenal sebagai paedophile (paedofilia), dan yang menjadi korban

utamanya adalah anak-anak.22 Paedofilia dapat diartikan “menyukai anak-anak”

yang dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,

“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan”.5

Menurut Adrianus E. Meliala, ada beberapa kategori paedofilia, yaitu:23

1. Infantophilia, yaitu mereka yang tertarik dengan anak berusia di bawah 5 tahun

2. Hebophilia, yaitu mereka yang tertarik dengan anak perempuan berusia 11-14

tahun

3. Ephebohiles, yaitu mereka yang tertarik dengan anak berusia 15-19 tahun

Sedangkan berdasarkan perilaku, ada yang disebut:

1. Exhibitionism, yaitu bagi mereka yang suka memamerkan, suka menelanjangi

anak

2. Voyeurism, yaitu suka masturbasi depan anak, atau sekedar meremas kemaluan

anak

Paedofilia memang dapat disebabkan karena kelalaian, yaitu merupakan

bentuk ketertarikan seksual yang tidak wajar. Artinya orang ini (pelaku) mungkin

saja pernah mengalami trauma yang sama, sehingga mengakibatkan perilaku yang

menyimpang, bisa juga karena gaya hidup, seperti kebiasaan menonton

pornografi, sehingga membentuk hasrat untuk melakukan hubungan seksual.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan tak semua kekerasan seksual

pada anak dilakukan orang dewasa yang memiliki orientasi seksual pada anak,

tetapi bisa juga terjadi dengan pelakunya orang dewasa normal. Kedua macam

27
orang itu bisa digolongkan paedofilia selama melakukan hubungan seksual

dengan anak. Terdapat dua tipe paedofilia yaitu:24

1. Tipe pertama adalah paedofilia eksklusif, yaitu hanya memiliki ketertarikan

pada anak

2. Tipe kedua adalah paedofilia fakultatif, yaitu memiliki orientasi heteroseksual

pada orang dewasa, tetapi tidak menemukan penyalurannya sehingga memilih

anak sebagai substitusi.

Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman,

sehingga korban tak berdaya disebut Molester. Kondisi ini menyebabkan korban

terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit

pula pelaku kekerasan seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan,

tetapi dengan manipulasi psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti

keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan,

belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan.24

F. Pemeriksaan Forensik Kekerasan Seksual Pada Anak

Penerapan ilmu kedokteran forensik memilki dua aspek yang berbeda untuk

mengumpulkan informasi dari anak dalam kasus dugaan kekerasan seksual

terhadap anak, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik.

a. Anamnesis

Dalam usaha mendapatkan informasi yang berguna pada wawancara dengan

anak yang mengalami kekerasan seksual, terdapat beberapa hal psikologis yang

harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:26

28
 Membuat pendekatan dengan memperhatikan kepekaan dan kerentanan

mereka untuk dipahami

 Membangun lingkungan netral dan hubungan yang baik dengan anak sebelum

memulai anamnesis

 Menetapkan tigkat perkembangan anak untuk memahami batasan dan

interaksi yang tepat

 Menempatkan diri sebagai orang yang membantu

 Meminta anak untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan kata-kata

mereka sendiri

 Selalu memulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbuka

Informasi yang diperlukan untuk menilai keadaan medis anak serta gejala

yang timbul dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai:26

 Waktu terjadinya kekerasan seksual atau pelecehan

 Pertama kalinya dugaan kekerasan seksual terjadi

 Sifat serangan, apakah penetrasi anal, vaginal atau oral

 Sakit/nyeri di daerah genital atau anal

 Perdarahan, apakah terdapat darah di dalam celana

 Kesulitan atau nyeri buang air besar ataupun kecil

 Inkontinensia urin

 Siklus menstruasi (khusus perempuan)

b. Pemeriksaan fisik

Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan

cemas di kamar periksa. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perlu diajukan

29
persetujuan (informed consent) yang diperoleh dari anak atau orang tua untuk

melakukan pemeriksaan fisik dan mengumpulkan spesimen untuk bukti forensik

serta menjelaskan tentang maksud, tujuan, proses, dan lama pemeriksaan. Dalam

kasus-kasus dimana pengasuh menolak untuk memberikan persetujuan untuk

evaluasi medis, bahkan setelah kebutuhan untuk pemeriksaan telah dijelaskan,

otoritas perlindungan anak mungkin perlu disebut. 26,27

Pemeriksaan fisik harus terdiri dari pemeriksaan head to toe ditambah dengan

inspeksi daerah anogenital. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan

harus didampingi oleh petugas kesehatan lainnya. Jika anak berjenis kelamin

perempuan, sebaiknya diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan

sebaliknya.27 Sebagai fungsinya dalam bidang penyelidikan, ilmu kedokteran

forensik pada kasus kekerasan seksual berguna untuk melakukan pemeriksaan

terhadap:

 Korban, dengan tujuan untuk:

1. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan adalah adanya tindakan pelaku yang

bersifat fisik yang dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat

disetubuhi. Kekerasan seksual pada anak tidak hanya merugikan secara fisik,

namun juga secara psikologis karena kekerasan tersebut dimaksudkan untuk

menimbulkan ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Oleh

sebab itu, yang perlu dicari selain tanda-tanda persetubuhan, yaitu adanya

tanda-tanda kekerasan fisik yang berada di luar alat kelamin, seperti cekikan di

leher, pukulan di kepala, dan lain sebagainya.23

30
Pada pemeriksaan mulut dan faring, perlu diperhatikan apakah terdapat

petechiae pada palatum atau posterior faring. Selain itu perlu juga memeriksa

tanda-tanda kekerasan lainnya seperti memar/jejas di kulit pada daerah yang

tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, bokong dan

genital. Terlebih pada kasus kekerasan seksual, perlu sekali diperhatikan

apakah terdapat tanda-tanda perlawanan seperti pakaian yang robek, bercak

darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan

perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan.

Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah beberapa waktu

kemudian. Gunting/kerok kuku korban kanan dan kiri, dimasukkan kedalam

amplop terpisah dan diberi label untuk dilakukan analisis. Jika korban

mencakar pelaku maka ada kemungkinan dibawah kukunya ditemukan sel-sel

dari sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui golongan darah serta

DNA pelaku.28

Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadisme maka ada

kemungkinan dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air liur di

sekitarnya. Pola jejas gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

identifikasi dnegan cara mencocokannya dengan pola gigi dari orang yang

diduga sebagai pelakunya. Sedangkan air liur yang ditemukan di sekitarnya

dapat digunakan untuk mengetahui golongan darah (bagi yang bertipe sekretor)

atau DNA (sebab di dalam air liut terdapat sel-sel buccal yang terlepas). 29

Seringkali korban tindak pidana seksual berhasil menjambak rambut pelaku.

Oleh sebab itu perlu dicari di sela-sela jari tangan korban. Dari rambut tersebut

31
dapat diketahui suku bangsa, golongan darah, dan bahkan DNA asalkan pada

pangkal dari rambut tersebut ditemukan sel. 29

Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari

penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari

kekerasan itu sendiri. Termasuk kekerasan disini juga penggunaan obat-obatan

yang dapat mengakibatkan korban tidak sadar. Oleh karenanya, perlu juga

memeriksa keadaan umum korban yang meliputi tanda-tanda bekas kehilangan

kesadaran/obat bius/needle marks. Serta perlu dicari pula racun dan gejala

akibat obat bius/racun pada korban. 29,30

Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti

tidak ada kekerasan. Faktor waktu yang sangat berperan, karena dengan

berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, karena racun/obat

bius telah dikeluarkan dari tubuh. Bukti-bukti medik dapat digunakan untuk

menyimpulkan adanya kekerasan. Yang tidak dapat dibuktikan adalah ancaman

kekerasan, sebab pada ancaman kekerasan tidak ditemukan bukti-bukti

medik.29

2. Memperkirakan umur

Tidak ada satu metode tepat unntuk menentukan umur secara pasti. Pada

pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk

memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi, dasar berat badan, tinggi badan,

bentuk tubuh, dan ciri-ciri kelamin sekunder. Perkiraan umur digunakan untuk

menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun) khususnya

pada homoseksual/lesbian serta pada pelaku kasus kekerasan seksual.

32
Sedangkan pada kasus korban kekerasan seksual perkiraan umur tidak

diperlukan.29

3. Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin

Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan,

pengertian pantas/tidaknya untuk dikawin dapat dilihat dari perkembangan

seksual sekunder pada anak. Bila dilihat dari Undang-Undang Perkawinan,

yaitu pada BAB II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya diizinkan

jika pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun. 29

4. Menemukan adanya tanda-tanda persetubuhan

Persetubuhan atau senggama adalah suatu peristiwa penetrasi penis ke

dalam liang vagina, baik total maupun sebagian, dengan ataupun tanpa

ejakulasi. Laki-laki hanya dapat melakukan persetubuhan dalam keadaan aktif,

yaitu suatu keadaan yang menggambarkan adanya respon seksual, baik fase

eksitasi ataupun fase plato yang ditandai dengan adanya ereksi penis.

Sedangkan wanita dapat disetubuhi dalam keadaan aktif maupun pasif. Tanda

yang paling menyolok pada wanita yang aktif (mengalami respon seksual)

adalah ereksi klitoris dan lubrikasi, guna membasahi dinding vagina agar tidak

terjadi iritasi.27

Tujuan utama pemeriksaan fisik ini adalah pada area anogenital. Pada anak,

jaringan pada area ini mampu sembuh dengan cepat, maka kerusakan fisik

yang disebabkan oleh kekerasan menjadi kurang jelas seiring berjalannya

waktu; hal inilah yang menyebabkan jarang ditemukan temuan positif. Oleh

karena itu pemeriksaan yang segera menjadi sangat penting mengingat

seringkali cedera yang awalnya ada, dapat sembuh ketika pasien datang. 32,33

33
Tanda-tanda persetubuhan: 27,29

- Tanda langsung

a) Robeknya hymen akibat penetrasi penis

Pemeriksaan fisik dalam kasus kecurigaan kekerasan seksual terdiri

dari inspeksi daerah anogenital melalui berbagai metode dan teknik

pemeriksaan. Anak diposisikan dengan sesuai, yaitu supine (posisi katak),

posisi knee-chest (sujud), atau posisi lateral dekubitus (miring). Diantara

ketiga posisi tersebut, kombinasi antara posisi knee-chest, pemisahan labia,

dan traksi labia adalah yang paling memudahkan dalam visualisasi

hymen.31

Penetrasi penis ke dalam vagina wanita yang masih perawan akan

dapat mengakibatkan robeknya hymen yang mungkin disertai perdarahan.

Oleh karena itu robekan baru pada hymen dapat diketahui jika pada daerah

robekan tersebut masih terlihat darah atau hiperemis. Robekan lama

diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio) dari hymen.

Letak robekan hymen pada persetubuhan umumnya dibagian belakang

(comisura posterior), yang dinyatakan menurut angka pada jam. Tidak

tertutup kemungkinan selaput dara dari perawan yang mengalami

kekerasan seksual masih utuh, yaitu pada penetrasi penis yang paling

ringan (antara kedua labia) atau kondisi selaput dara sangat elastis disertai

ukuran penis yang sangat kecil. 27,31

Seluruh cedera harus didokumentasikan dengan sangat teliti. Saat ini

penggunaan kolposkopi masih yang terbaik, mengingat fungsinya yang

34
dapat memberikan kombinasi yang baik antara pencahayaan, pembesaran,

dan dokumentasi dengan kualitas tinggi. Namun alat ini jarang digunakan

karena harganya yang mahal. 27,31

Berdasarkan bukti-bukti medik yang ditemukan dapat disimpulkan

kebenaran terjadinya senggama. Hanya saja, apakah senggama dilakukan

dengan paksaan atau tidak, sangat mustahil dokter dapat menyimpulkan

sebab bukti medik antara senggama dengan paksa dan tidak dengan paksa

tidak ada bedanya. 29

b) Iritasi atau hematom

Gesekan-gesekan penis terhadap vagina akan dapat mengakibatkan

lecet atau memar pada dinding vagina. Kelainan tersebut terjadi karena

pada korban tidak terjadi lubrikasi sehingga vagina dalam keadaan kering

(pasif), disamping dilakukan dengan kasar. Perlu diketahui bahwa

lubrikasi merupakan respon seksual pada wanita, yang akan berfungsi

sebagai pelicin. Dalam keadaan diperkosa, diragunan korban dapat

mengalami respon seksual. Namun terdapat beberapa wanita yang

diperkosa dapat mengalami respon seksual, bahkan orgasme, meskipun

demikian peristiwa tersebut tetap digolongkan sebagai tindak pidana

perkosaan. 27,29

Perlukaan genital pada anak perempuan akibat kekerasan seksual

dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi perlukaannya, yaitu perlukaan

eksternal, internal, dan anal. Perlukaan eksternal bila terjadi di labia

mayor, labia minor, area periuretral, perineum dan fourchette posterior.

Sedangkan dapat dikatakan perlukaan internal bila terjadi di fossa

35
navicularis, hymen, dan cervix vagina. Dikatakan perlukaan anal bila

terjadi pada anus dan rectum. 28

Menurut Slaughter et al, perlukaan genital terjadi paling sering pada

bagian posterior fourchette, yaitu sebanyak 70%, pada labia minor

sebanyak 53%, pada hymen sebanyak 29%, dan fossa navicularis 25%.

Penelitian Jones et al juga mendapatkan bahwa 78% perlukaan mengenai

empat bagian genital diatas. Sedangkan menurut Grossin et al, 20%

perlukaanterjadi pada vulvo-vagina (perlukaan pada organ genital wanita

bagian luar termasuk labia, klitoris, lubang vagina dan vagina), 11%

perlukaan hymen, dan 7% perlukaan pada anal. Sebagian besar hasil

penelitian menyimpulkan bahwa fourchette posterior dan labia minora

merupakan lokasi perlukaan di organ genitalia paling sering.28,34

Perlukaan yang terjadi pada organ genital dapat berupa robekan,

ekimosis, abrasi, kemerahan dan pembengkakan jaringan. Robekan

didefinisikan bila adanya diskontinuitas jaringan, termasuk adanya fisura,

retakan, luka gores, luka potong, luka bacok dan luka cabik. Ekimosis

didefinisikan sebagai perubahan warna kulit dan membrane mukosa,

dikenal dengan istilah memar berwarna merah kebiruan karena pecahnya

pembuluh darah kecil diantara kulit dan membrane mukosa. Abrasi

didefinisikan sebagai ekskoriasi kulit karena hilangnnya lapisan epidermis

dengan batas tegas.28

Kemerahan pada kulit eritematous dikarenakan peradangan abnormal

karena iritasi atau perlukaan tanpa batas tegas. Pada perlukaan anal

terdapat pembengkakan disekitar lubang anus yang menandakan tanda

36
trauma akut dan menggambarkan penampakan edema. Hal ini diduga

karena terjadinya hipertrofi pada muskulus sfingter ani. Perlukaan yang

paling berat pada anus adalah dilatasi maksimal pada anus membentuk

huruf “O”.28,30

Selain itu dapat juga dilakukan pencarian perlekatan rambut kemaluan

pelaku dengan cara menyisir rambut kemaluan korban. Rambut lepas yang

ditemukan mungkin milik pelaku sehingga perlu dilakukan analisis dan

identifikasi lebih lanjut.27,29

c) Adanya sperma akibat ejakulasi

Ejakulasi yang dialami oleh pelaku dapat dibuktikan secara medic

dengan ditemukannya sperma pada liang senggama, sekitar alat kelamin

atau pada pakaian korban. Pemeriksaan sperma tersebut sangat penting

karena bukan hanya dapat mengungkapkan adanya persetubuhan tetapi

juga identitas pelakunya melalui pemeriksaan DNA. Dari pemeriksaan

sperma juga dapat diketahui golongan darah pelakunya.27,31

Adanya ejakulasi didalam vagina merupakan tanda pasti adanya

persetubuhan. Pada pelaku yang mandul, jumlah spermanya sedikit sekali

(aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu dalam

air mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun nilai

persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang

mutlak atau tidak khas. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin

tercecer di TKP (Tempat Kejadian Perkara), misalnya pada sprei atau kain

maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet dan akan

terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.28,29

37
Perlu diketahui bahwa pada laki-laki yang sehat, air mani yangkeluar

setiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml, yang mengandung sekitar 60 juta sperma

setiap millimeter dan 90% bergerak (motile), sehingga sperma masih dapat

ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam setelah

persetubuhan. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat

ditemukan (tidak bergerak) sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan,

sedangkan pada orang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina

paling lama 7-8 hari setelah persetubuhan.28

- Tanda tak langsung

a) Terjadinya kehamilan

Adanya kehamilan dapat dijadikan bukti tak langsung tentang adanya

persetubuhan, oleh sebab itu pada setiap korban kekerasan seksual juga

perlu diperiksa ada tidaknya kehamilan. Hanya saja untuk menghubungkan

apakah kehamilan itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan

terdakwa, perlu dilakukan pemeriksaan DNA. Ada baiknya korban terus

dimonitor jika pelaku mengalami ejakulasi. Jika ternyata mengakibatkan

kehamilan maka atas gugatan dari yang bersangkutan, terhukum dari kasus

tersebut dapat ditetapkan sebagai ayahnya. Jika jumlah terhukum lebih dari

satu orang tentunya pemeriksaan DNA sangat membantu.

b) Terjadinya penularan penyakit kelamin

Ketika mengevaluasi anak dan kebutuhan untuk skrining IMS (Infeksi

Menular Seksual), perlu diingat bahwa jika pelecahan seksual terjadi baru-

baru ini, hasil pemeriksaan akan cenderung negatif, kecuali anak memang

sudah terkena IMS sebelumnya. Jika paparan pelecahan dan pemeriksaan

38
dilakukan dalam hari yang sama, follow up dalam satu minggu kemudian

mungkin diperlukan untuk pengujian IMS. Pemeriksaan infeksi menular

sekunder pada anak yang telah mengalami pelecehan seksual harusnya

dilihat kasus per kasus, dan dapat dilakukan dengan kondisi berikut.27,34

Anak dengan gejala atau tanda IMS seperti keputihan.

- Pelaku yang memiliki IMS atau yang memiliki resiko tinggi tertular

- Prevalensi IMS yang tinggi di masyarakat.

- Saudara kandung atau anggota rumah lainnya memiliki IMS

- Pasien atau orangtua yang meminta pemeriksaan

 Pelaku, dengan tujuan untuk:

Sebetulnya pemeriksaan medik terhadap pelaku hanya diperlakukan apabila

ia menyangkal dapat melakukan persetubuhan karena impotensi. Seorang laki-

laki yang menderita impotensi tentunya tidak mungkin dapat melakukan

persetubuhan, sehingga tidak mungkin dituduh telah melakukan perkosaan.

Dalam kaitannya dengan impotensi tersebut, dokter hanya dapat

memastikannya jika ditemukan penyakit-penyakit organik yang dapat

mengakibatkan impotensi; seperti misalnya diabetes mellitus, hernia scrotalis

atau hydrocele. Impotensi juga dapat dialami laki-laki yang sudah sangat tua.

Yang agaknya sulit untuk dibuktikan adalah impotensi yang bersifat psikik.30,35

Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus

diperiksa, yaitu untuk mencari sel epital vagina yang melekat pada zakar. Hal

ini dilakukan dengan cara menempelkan gelas objek pada glans penis (tepatnya

sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk analisis secara

mikroskopis.29

39
G. Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia

Bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja,

seperti pembunuhan, penganiayaan,maupun seksual, tetapi juga kekerasan non

fisik, sepertti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi. Sebagai bentuk

perlindungan anak-anak di Indonesia, maka pembuat Undang-Undang, melalui

perundang-undangan (hokum positif), sepertti Kittab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 sebagaimana ang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Undang-Udang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-

Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT), dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang secara mutlak memberikan berbagai bentuk

perlindungan hukum yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak. Terhadap

tindak kekerasan seksual. Bentuk perlindungan anak yang diberikan oleh Undang-

Undang Perlindungan Anak dan Undang-UndangPenghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dan Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan adopsi, kompilasi

atau reformulasi dari bentuk perlindungan anak yang sudah diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.5,33

a. Perlindungan Hukum menurut KUHP

Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindangan

bagi anak terhadap kekerasan seksual, perlindungan terhadap anak ditunjukkan

dalam pemberian hukuman (sanksi) pidana bagi pelaku. Hal ini tercantum

dalam KUHP pada pasal-pasal dalam sebagai berikut:10

40
1. Masalah persetubuhan diatur dalam pasal287, pasal 288, pasal 291

2. Perbuatan cabul diatur dalam pasal 287, pasal 288, pasal 292, pasal 293,

pasal 294, pasal 295, pasal 298

Jadi bentuk perlindungan hukum yang diberikan KUHP bagi anak

terhadap kekerasan seksual merupakan pertanggungjawaban pidana terhadap

pelaku, bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban

secara langsung dan konkret, tetapi lebih menuju pada pertanggungjawaban

yang bersifat pribadi/individual.10

 Pasal 286

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,

padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadan pingsan atau tidak

berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam

keadaan pingsan atau tidak bahaya. Dokter perlu mencari tahu apakah

korban sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita

korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tidak

berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui

bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi

minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah

korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-

tanda berada dibawah pengaruh obat-obatan.

Jika terbukti bahwa sipelaku telah sengaja membuat korban pingsan

atau tidak berdaya, iadapat dituntut telah melakukan tindak pidana

41
perkosaan, karena dengan membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia

telah melakukan kekerasan.

Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan

kejahatan dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetubuhan wanita,

seperti yang dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-

kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada

wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan seksual

seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dan perlu

dibedakan dari pasal 286 KUHP. Kejahatan seksual yang dimaksud dalam

KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan upaya apapun; pingsan

atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku

kejahatan seksual.

 Pasal 287

(1) Barang siapa bersetubuh dengan wanita diluar perkawinan, padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumnya belum

lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum

waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama

Sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita

belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan

pasal 291 dan pasal 294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang

menurut Undang-Undang belum cukup umur. Jika umur korban belum

cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan

42
bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu

persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada

pengaduan, tidak ada penuntutan. Tetapi keadaan akan beda jika:

a. Umur korban belum sampai 12 tahun

b. Korban yang belum cukup 15 tahun ini menderita luka berat atau

mati akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau

c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak tirinya,

muridnya, anak yang berada dibawah pengawasannya, bujangnya

aau bawahannya (KUHP pasal 294).

Dalam keadaan diatas, penuntutan dapat dilakukan walaupun

tidak ada pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada

pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran

maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu

memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan dengan

wajahdan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang dikatakannya,

melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan,

melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan

mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.

Hal ini di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat:

padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu

umurnya belum lima belas tahu atau kalau umurnya tidak jelas bahwa

belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah

mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.

43
 Pasal 288

(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang

bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan itu

mengakibatkan luka luka, diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana

penjara paling lama delapan tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara

paling lama dua belas tahun.

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter

diharapkan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat

tanda-tanda persetubuhan , tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan

perihal sebab kematiannya.

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin

dapat timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup

dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis dan pengertian menurut

Undang-Undang. Secara biologis seorang perempuan dikatakan mampu

untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana

hal ini dapat diketahui dari menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan

menurut Undang-Undang Perkawinan, maka batas umur termuda bagi

seorang perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan

adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan

44
berapa umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang

dimaksud dalam pasal 288 KUHP.

Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan

kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si

perempuan maka dalam hal ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud

adalah pasal 284 dan 287.

 Pasal 289

“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa

seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,

diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan

kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

 Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal ia

tahu bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal ia

tahu atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umur orang itu belum lima

belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawinkan;

3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya

harus diduganya bahwa umur orang itu belum lima belas tahun, atau

kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk

dikawinkan, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan

cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

45
 Pasal 291

(1) Bila salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal 286, 287, 289, dan

290 mengakibatkan luka-luka berat, maka dijatuhkan pidana penjara

paling lama dua belas tahun;

(2) Bila salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal 285, 286, 287,

289, dan 290 mengakibatkan kematian, maka dijatuhkan pidana penjara

paling lama lima belas tahun.

 Pasal 292

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang

sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun.”

 Pasal 293

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau

dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan

baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,

diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap

dirinya dilakukan kejahatan itu.

46
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah

masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan

 Pasal 294

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak

angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau

dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan

atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama:

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena

jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya

dipercayakan atau diserahkan kepadanya,

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam

penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu,

rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan

perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Dengan itu maka dihukum juga pegawai negeri yang melakukan

perbuatan cabul dengan orang di bawahnya atau orang yang dipercayakan

atau diserahkan keadaannya untuk dijaga, serta pengurus, dokter, guru,

pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara,

tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau

lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

dimasukkan ke dalamnya.

47
 Pasal 295

(1) Diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan

cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di

bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang

belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau

penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau

bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan

sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali

yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan oleh orang yang

diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya

demikian, dengan orang lain.

(2) Jika yang melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan,

maka pidana dapat ditambah sepertiga.

 Pasal 296

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul oleh rang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai

pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”

 Pasal 297

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki laki yang belum dewasa,

diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

48
 Pasal 298

(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal

281, 284 – 290, dan 292 – 297, dapat dijatuhi pencabutan hak-hak

berdasarkan pasal 35 nomor 1 – 5.

(2) Bila yang bersalah melakukan salah satu kejahatan seperti tersebut

dalam pasal 292-297 dalam melakukan pekerjaannya, maka hak untuk

melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.

 Pasal 299

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan

bahwa karena pengobatan itu kandungannya dapat digugurkan, diancam

pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling

banyak empat puluh lima ribu rupiah.

(2) Bila yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan, atau

bila dia serang dokter, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah

sepertiga.

(3) Bila yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan

pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat

dicabut.

b. Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan pada anak,

pemerintah juga telah memfasilitasi berdirinya lembaga independen yang

berdungsi untuk mengontrol keamanan, kenyamanan, dan terpenuhinya hak-

49
hak anak yaitu dengan adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia melalui

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang

Perlindungan Anak yang berfungsi untuk pemberian perlindungan khusus bagi

hakhak anak dari berbagai macam kekerasan, dalam hal ini tindak kekerasan

seksual.5

Secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, setiap anak berhak untuk

memperoleh perlindungan dari: 35

1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik

2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

4. Pelibayan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

5. Pelibatan dalam peperangan

6. Kejahatan seksual

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak35

 Pasal 54

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib

mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan

seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik,

tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

50
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau

Masyarakat.

 Pasal 64 A dan 71 D

Selanjutnya dalam hal anak yang menjadi korban dari tindak

kekerasan seksual, dalam hal ini Undang-Undang ini memberikan

perlindungan khusus dalam hal pemulihan korban yang diatur dalam Pasal

64A serta pengajuan ganti rugi (restitusi) terhadap diri korban secara

langsung yang ditanggungkan kepada pelaku tindak kekerasan seksual yang

diatur dalam pasal 71 D.

 Pasal 76A, 76D dan 76E

Selanjutnya dalam Undang-Undang ini berisi tentang larangan-

larangan melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak anak yang diatur

dalam BAB XIA yang terdiri dari Pasal 76A, 76D yang berisi perbuatan-

perbuatan yang dilarang dilakukan terhadap anak. khusus untuk larangan

melakukan tindak kekerasan seksual diatur dalam Pasal 76D dan 76E.

- Pasal 76A

“Setiap orang dilarang

a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan

Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga

menghambat fungsi sosialnya; atau

b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif."

51
- Pasal 76D

"Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

lain."

- Pasal 76E

"Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul.”

Untuk selanjutnya ketika terdapat orang yang melanggar larangan

yang ada, melakukan kejahatan serta melanggar hak-hak anak pada larangan

yang telah diatur di atas dalam hal ini melakukan tindak kekerasan seksual

terhadap anak maka terhadap orang tersebut akan dikenakan sanksi

(hukuman) pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang

telah diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 pada BAB XII tentang Ketentuan

Pidana dalam undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 di mana,

ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

52
 Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana simaksud dalam

Pasal 76 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pua bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya

atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga

kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga dari ancaman

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

pertambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan

kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka

berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya

fingsu reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana

mati, seumur hidup, atau pidana penjara aling singkat 10 (sepuluh)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

53
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa

pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat

dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi

elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-

sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal

81A yang berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 81A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan

untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah

terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah

pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan

rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

54
 Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga

kependidikan, maka pidanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan

kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagiamana dimaksud dalam Pasal 76E

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka

berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya

fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai

dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa

pengumuman identitas pelaku.

55
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan

ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-

sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT)

Undang-Undang KDRT merupakan bentuk perundang-undangan hukum

positif Indonesia yang didalamnya mengatur tentang penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga yang salah satu tujuannya memberikan perlindungan bagi

anak selain perempuan.

 Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa anak merupakan bagian dari

rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam

rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

56
 Pasal 5 yang secara tegas mengatur adanya larangan kekerasan seksual

dalam rumah tangga (anak) dan berbunyi, Setiap orang dilarang melakukan

kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah

tangganya, dengan cara :

a. Kekerasan fisik

b. Kekerasan psikis

c. Kekerasan seksual

d. Penelantaran rumah tangga

Pemberian perlindungan korban kekerasan seksual dalam rumah

tangga diatur dalam BAB VI tentang Perlindungan dan pengaturan dalam

hal ini anak adalah korban.

 Pasal 27 berbunyi :

"Dalam hal korban adalah anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua,

wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku".

Diatur juga Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam hal

pemberian hukuman pidana (sanksi) terhadap mereka yang melakukan tindak

kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga (anak) yang dalam hal ini

memberikan perlindungan bagi korban (anak).

UU RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak korban kekerasan seksual juga mendapatkan perlindungan di dalam

proses peradilan menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Di dalamnya terdapat Pasal-Pasal mengenai

57
perlindungan terhadap hak-hak anak korban dalam proses beracara

diantaranya:

 Pasal 18

"Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi,

Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesinal dan Tenaga

Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau

pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentigan terbaik

bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara."

 Pasal 19

(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan

dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik

Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama Anak,

nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah,

dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban,

dan/atau Anak Saksi.

H. Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada

anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak

terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang

terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak,

karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi

korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa

kekerasan seksualnya. Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka

58
merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor,

anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, anak

merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya

mempermalukan nama keluarga. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai

dengan adanya powerlessness, dimana korbna merasa tidak berdaya dan tersiksa

ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Tindakankekerasan

seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya.20

1. Secara Emosional

Anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami stres, depresi,

goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa

takut berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak

menerima kekerangan seksual, mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal

yang berhubungan dengan penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat,

kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis,

kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak

diinginkan.

Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pascatrauma

stress disorder, kecemasaan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian

dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa

dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak.

2. Secara Fisik

Anak dapat mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala,

tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit

menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan

59
yang tidak diinginkan dan lainnya. Sedangkan kekerasan seksual yang

dilakukan oleh anggota keluarga adalah bentuk incest, dan dapat menghasilkan

dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama

dalam kasus incest orang tua.

3. Dampak Jangka Pendek

Anak yang mendapat kekerasan seksual, dampak jangka pendeknya akan

mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain,

dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan.

4. Dampak Jangka Panjang

Anak yang memdapat kekerasan seksual, jangka panjangnya adalah

ketika dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seksual atau

bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum

melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tersebut

akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya sesame kecilnya.

Finkelhor dan Browne mengkategorikan empat jenis dampak trauma

akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:20

a. Pengkhianatan (Betrayal)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.

Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orang tua dan

kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan

otoritas orang tua menjadi hal yang mengancam anak.

b. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization)

Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan

seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya

60
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor mencatat

bahwa korban lebih memilih pasangan sesame jenis karena menganggap

laki-laki tidak dapat dipercaya.

c. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan

kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak

berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya

tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga

merasa sakit pada tubuhnya.

d. Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran

diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan

dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol

dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan

beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami.

Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk

menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari

memori kejadian tersebut.

61
2.2 Forensik Psikiatri

A. Definisi Psikiatri Forensik

Pollack mendefinisikan psikiatri forensik sebagai bidang umum luas

dimana teori, konsep, prinsip, dan praktik psikiatri diterapkan pada setiap

dan semua masalah hukum, sedangkan menurut The American Board of

Forensic Psychiatry mendefiniskan sebagai subspesialisasi psikiatri dimana

keahlian ilmiah dan klinis diterapkan pada masalah hukum dalam konteks

hukum yang mencakup masalah perdata, kriminal, dan permasyarakatan atau

legislatif; psikiatri forensik harus di praktekkan sesuai dengan pedoman dan

prinsip etika yang diucapkan oleh profesi psikiatri.36

Psikiatri forensik adalah subspesialisasi psikiatri yang penting.

Psikiater forensik memainkan peran penting dalam masyarakat dalam

membantu peradilan dalam banyak kasus yang rumit. Penilaian psikiatri

forensik sering dikaitkan dengan unsur kecemasan atau ketakutan bagi

psikiater muda. Berbagai langkah penilaian forensik dalam situasi yang

berbeda dibahas di latar belakang kasus kehidupan nyata. Area penilaian

meliputi tanggung jawab pidana, kebugaran untuk memohon, masalah

perwalian, penilaian status mental, dan lain-lain.37

B. Sejarah Psikiatri Forensik

Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang

meneliti ketepatan ingatan orang, suatu rintisan awal dalam penelitian yang

banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi.

Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud

62
mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian

John Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki

kesaman kepentingan.38

Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya

tentang The Witness Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang

lebih resisten daripada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat

berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan

bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka

butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense.39

Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di

Northwestem University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai

arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah

fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg.

Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah

membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog,

mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog

sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium dan

realita persyaratan hukum. Tentu saja "pengadilan" itu menempatkan

Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.

Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga

baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan

sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya

sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya Dia

menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara

63
yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat,

dan praktis.

Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap

hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhimya

memberi perhatian pada ilmu-ilmu social dalam kasus dissegregasi Brown v.

Board of Education. Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang

menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia

Circuit, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang

berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli

dalam bidang gangguan mental.

Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir

semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum

tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi

berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik

telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian

psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang

lazim, dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak

diterbitkan.

Di indonesia perkembangan psikiatri forensik bermula pada tahun

1970 saat dr. Wahyadi Dharmabrata dan Prof. DR. Dr. Dadang Hawari

mendapat tugas belajar ke Inggris yang betujuan untuk mempelajari

Psychiatry Community, Saat Wahyadi kembali ke Indonesia, beliau terus

mengembangkan psikiatri forensik yang didasarkan pada kenyataan bahwa

64
banyak kesulitan yang dihadapi para profesional saat menangani masalah

pidana.

Terbitnya Buku Pedoman Pembuatan Visum et Repertum

Psychiatricum yang mengutamakan bukan diagnosis semata, tetapi

menetapkan kemampuan/ ketidakmampuan seseorang melakukan suatu

tujuan secara sadar, serta menetapkan kemampuan/ ketidakmampuan

seseorang dalam mengarahkan tindakannya. Artinya penentuan kemampuan

pertanggungjawaban seseorang terhadap suatu perbuatan dalam sebuah

kasus pidana harus disimpulkan lewat Visum et Repertum Psychiatrum yang

dilakukan oleh seorang psikiater forensik.

C. Dasar Hukum Psikiatri Forensik

Dasar sebagai sumber hukum untuk suatu tempat dan suatu periode

tertentu adalah:

1. Undang-undang yang merupakan perwujudan dari negara hukum yang

menganut asas demokrasi

2. Traktat, yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh dua negara atau lebih.

3. Putusan-putusan hakim (yurisprudensi) yang dibuat sebelumnya.

Hukum- hukum formal yang tidak tertulis seperti hukum adat dapat

pula dijadikan sumber hukum. Sengketa hukum dapat terjadi apabila

ada perbenturan kepentingan, seorang dengan orang lain (perdata) atau

dengan seluruh masyarakat (pidana). Apabila terjadi sengketa seperti

ini maka diperlukan suatu lembaga yang menyelesaikan masalah

tersebut. Lembaga seperti ini disebut Pengadilan.40

65
Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah:

(a). keterangan saksi; (b)keterangan Ahli; (c) alat bukti surat:; (d) alat

bukti petunjuk; (e) alat bukti terdakwa.

1. Keterangan saksi : menjadi saksi adalah kewajiban semua orang,

kecuali dikecualikan Semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian

menjadi saksi oleh Undang-Undang. tercantum dalam Pasal 168

KUHAP vaitu:

a. Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari atau yang sama sama sebagai

terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai

hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajat ketiga.

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama sebagai terdakwa.

2. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk

memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa

surat.

3. Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang

menerjemahkan suatu pikiran. Menurut Pasal 187 KUHAP, yang

termasuk surat adalah:

66
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,

yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan

yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan

isi alat pembuktian yang sah.

4. Petunjuk pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik

antara yang satu dengan yang lain,maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, yang menandakan telah terjadai suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi surat

dan keterangan terdakwa.

5. Keterangan Terdakwa: menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud

keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di

67
muka sidang, tentang perbuatan yang dikakukannya atau yang

diketahui dan dialami sendiri.40

Psikiatri forensik didasari oleh Undang- undang Kesehatan nomor

36 tahun 2011 pasal 150 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegak hukum

(visum et repertum pshychiaticum) hanya dapat dilakukan oleh

dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.

2) Penetapan status kecakapan hukum seorang yang diduga mengalami

gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai

keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.41

Secara garis besar, ada 2 macam alat bukti dari bidang ilmu

forensik yaitu kedokteran kehakiman menentukan kepastian menyebabkan

penyakit atau kematian. Psikiatri kehakiman menentukan besar kecilnya

tanggung jawab seorang dalam melanggar hukum pidana. Sering seorang

dalam perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya pikirannya, tetapi

dalam pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang dapat

mengurangi tanggung jawabnya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam

tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 42

Psikiatri sebagai ilmu kedokteran jiwa cabang ataui sub bagian dari

ilmu kedokteran / kesehatan. Dalam upaya kesehatan tersebut dalam pasal

II UU No. 23 tahun 1992 tercantum upaya kesehatan jiwa dan ini akan

menyangkut kesehatan keluarga, masyarakat, sekolah, dan lingkungan.

Khusus untuk keschatan jiwa dalam forensik ditekankan pada gangguan

kesehatan jiwa tertuang pada pasal 44 KUHP yang isinya adalah:

68
1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungiawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat

dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan karena jiwanya,cacat dalam tubuhnya, atau

terganggu karena penyakit, maka hakim dapa memerintahkan supaya

orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu

tahun sebagai waktu percobaan.

Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah

Agung. Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.37 Di dalam suatu

perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita penyakit jiwa atau

terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensic psychiatri

(ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan forensic medicine (ilmu

kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi

hukum terutama dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum

peradilan.

Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat

diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk

menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa

tersebut permah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968

tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka di dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia ilmu forensik sangat dibutuhkan sebagai

suatu ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pembuktian

69
secara ilmiah. Para ahli forensik dapat memberikan keterangan ahli

(Visum et Repertum Pskiatri) untuk memperjelas suatu perkara di dalam

tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum di persidangan yang

diatur dalam pasal 186 KUHAP. Tujuan keterangan Visum et Repertum

Pskiatri untuk memberikan kepada hakim hasil ilmu pengetahuarn dari

suatu fakta sebagai bukti atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam

bagian pemberitaan, agar hakim dapat mengambil putusan dengan tepat.

Di dalam pasal 44 KUHP menyatakan bahwa orang yang menderita

gangguan jiwa tidak dapat dipidana, untuk mengetahui adanya seseorang

itu menderita gangguan jiwa harus diteliti oleh psikiater, seberapa besar

gangguan jiwa itu.

Pada dasarnya pengadaan Visum et Repertum Psychiatricum

diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas

tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan

kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan

kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian

hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka

dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan

kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan lain menyangkut

perlindungan hak azasi manusia juga untuk menghindarkan hal-hal yang

tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.

Di dalam Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa untuk kepentingan

perkara perkara – perkara pengadilan dan umumnya untuk memberikan

kesaksian ahli, maka setiap dokter yang terdaftar pada Departemen

70
Kesehatan dan telah mendapat izin bekerja dari Menteri Kesehatan

berwenang untuk memberikan kesaksian ahli jiwa.39 Dalam ayat dua

menyatakan bahwa kesaksian ahli jiwa ini yang dimaksud dalam ayat (1)

pasal ini, dapat berupa visum et repertum psikiatrik atau keterangan

dokter.

Keterangan ahli salah satunya diatur dalam Pasal 179 ayat (1)

KUHAP yang merumuskan tiap orang yang diminta pendapatnya sebagai

ahli kedokteran kehakiman, dokter ahli lainnya wajib memberikan

keterangan ahli demi keadilan. Apabila yang bersangkutan tidak

memenuhi Pasal tersebut tanpa alasan yang sah dapat dikenai sanksi sesuai

dengan Pasal 221 KUHP, sedangkan mengenai keterangan ahli ialah

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan.43

D. Peran Dokter Dalam Psikiatri Forensik

Peran psikiatri forensik dalam sebuah proses peradilan adalah

pemberi bantuan hukum yang bersifat aktif. Peran ini akan terlaksana

dengan baik jika dokter juga menjalani fungsinya dengan baik. Terdapat

perbedaan bagi dokter dalam menjalani fungsinya sebagai dokter dengan

posisi medis dan posisi legal sebagai pemberi bantuan hukum. Dalam

psikiatri forensik, kedudukan dokter tidaklah sebagai terapis tetapi sebagai

perpanjangan tangan dari petugas hukum. Posisi yang diduduki bukanlah

posisi medis tapi posisi legal. Tugasnya adalah memberi bantuan

71
tambahan fakta-fakta sebagai bukti, dalam upaya memenuhi kebutuhan

unsur untuk pengambilan keputusan peradilan, berdasarkan pasal 44

KUHP, tambahan unsur adanya gangguan jiwa dan unsur tidak mampu

bertanggung jawab.

Kegiatan utama psikiatri forensik adalah membuat Visum et

Repertum Psychiatrum sebagai bukti tertulis untuk proses peradilan, di

mana seseorang diduga menderita melakukan kekerasan, atau seseorang

yang menderita gangguan jiwa setelah mengalami penganiayaan fisik atau

psikis. Akhir-akhir ini, jenis permintaan visum et repertum berkembang

pada kasus perdata, seperti pembatalan kontrak perjanjian karena salah

satu pihak menderita gangguan jiwa, pemeriksaan seseorang yang diduga

perlu untuk ditempatkan dibawah pengampunan.

Psikiatri forensik di dalam bidang hukum pidana berhubungan

dengan unusr pembuktian dalam pertanggungan jawab pidana atau untuk

menentukan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa. Pertanggung jawaban

pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terietak di dalam batin

tersangka. Pembuktian suatu kasus melalui hukum acara pidana berusaha

untuk mendekati sebanyak mungkin persesuian dengan kebenaran. Hukum

pembuktian memberikan petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan

sesuatu hal yang cenderung kepada kebenaran. Alat bukti penting untuk

pengadilan, baik dalam hukum pidana dan perdata. Secara garis besar ada

dua macam alat bukti dari bidang ilmu forensik yaitu kedokteran

kehakiman menentukan kepastian menyebabkan penyakit atau kematian.

Psikiatri kehakiman menentukan besar kecilnya tanggung jawab seseorang

72
dalam melanggar hukum pidana. Dalam hal ini penelitian memfokuskan

pada alat bukti di bidang ilmu forensic yaitu kedokteran kehakiman. Setiap

orang dalam perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya pikirannya

tetapi dalam pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang

dapat mengurangi tanggung jawabnya.

Apabila yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat di

pertanggung jawabkan disebabkan adanya gangguan karena penyakit pada

jiwanya maka orang itu tidak dapat di pidana seperti yang di sebutkan

dalam pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP dinyatakan "barang siapa

melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya

disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena

penyakit, tidak dipidana.45

Menurut Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat,

penentuan kemampuan bertanggungjawab seseorang, didasarkan hal-hal

berikut:

a. Diagnosis: adanya gangguan jiwa pada saat pemeriksaan;

b. Diagnosis: dugaan adanya gangguan jiwa pada saat melakukan

pelanggaran hukum;

c. Dugaan bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagian atau

gejala dari gangguan jiwanya,

d. Penentuan kemampuan bertanggungjawab: 1) tingkat kesadaran pada

saat melakukan pelanggaran hukum; 2) kemampuan memahami nilai

perbuatannya; 3) kemampuan memahami nilai risiko perbuatannya;

dan 4) kemampuan memilih dan mengarahkan kemauannya.

73
E. Visum et Repertum Psychiatricum

Visum et repertum dibidang psikiatri disebut visum et repertum

psychiatricum.45 visum et repertum psikiatri perlu dibuat oleh karena adanya

pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi barang siapa melakukan perbuatan

yang tidak dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya

cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

penyakit (zielkelijke storing), tidak dipidana" dan ayat (2) KUHP yang

berbunyi Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya

karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, maka

Hakim boleh memerintahkan menempatkan ia di rumah sakit jiwa selama

lamaya satu tahun untuk diperiksa."

Visum et repertum psychiatric diperuntukkan bagi tersangka atau

terdakwa pelaku pidana bukan korban sebagaimana visum et repertum

lainnya. Pemeriksaan ini dilakukan setelah seseorang mengalami suatu

peristiwa atau berkaitan dengan hukum. Hasil pemeriksaan tersebut

dilakukan rekonstruksi ilmiah dimana untuk mencari korelasi antara hasil

pemeriksaan dengan peristiwa yang terjadi.36 Oleh karena itu visum et

repertum psikiatrik menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya

seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila

pembuat visum et repertum psikiatrik ini hanya dokter spesialis psikiatri

yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit.46

Alat bukti merupakan bagian penting dalam sebuah proses peradilan.

Sesuai dengan pasal 184 ayat (1) bahwa alat bukti yang sah adalah berupa

74
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa

(KUHP). Keterangan dokter ahli terdiri dari dua jenis, yaitu lisan yang

disampaikan dalam kesaksiannya dan keterangan tertulis berupa visum et

repertum yang dalam bidang psikiatri forensic disebut Visum et repertum

psychiatricum, dibuat dengan tujuan46:

a. Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa

dengan upaya menegakkan diagnosis.

b. Membantu menegakkan kemungkinan adanya hubungan antara

gangguan jiwa pada terperiksa dengan peristiwa hukumnya, dengan

menentukan kemungkinan hubungan antara gangguan jiwa terperiksa

dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa hukum.

c. Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada terperiksa.

d. Membantu menentukan cakap tidaknya terperiksa bertindak dalam lalu

lintas lama-lama.

Penentuan kemampuan bertanggungjawab pada terperiksa didasarkan

pada46:

a. Tingkat kesadaran pada saat melakukan pelanggaran hukum.

b. Kemampuan memahami nilai perbuatannya.

c. Kemampuan memahami nilai risiko perbuatannya, dan

d. Kemampuan memilih dan mengerahkan kemauannya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang dokter untuk membuat Visum et

repertum psychiatric sebagai berikut:

a. Bekerja pada fasilitas perawatan pasien gangguan jiwa atau bekerja pada

lembaga khusus untuk pemeriksaan.

75
b. Tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan.

c. Tidak ada hubungan keluarga atau terikat hubungan kerja dengan

tersangka atau korban.

d. Tidak ada hubungan sengketa dalam perkara lain.

76
Format Visum et Repertum Psychiatricum

KOP SARANA PELAYANAN KESEHATAN JIWA

Demi Keadilan
Pro Justitia

Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

(Visum et Repertum Psychiatricum)

No : ………………..

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Pangkat/NIP/NRP :

Jabatan :

Alamat sarana pelayanan kesehatan jiwa :

Atas permintaan tertulis dari :

Nama :

Pangkat NIP/NRP :

Jabatan :

Instansi :

Alamat :

No. Surat :

Tanggal :

Perihal :

Telah melakukan pemeriksaan dan observasi psikiatrik dari tanggal [ditulis


dengan huruf, misal satu Januari tahun dua ribu sembilan belas] sampai dengan
tanggal [empat belas Januari tahun dua ribu Sembilan belas] terhadap

Nama :

Umur :

77
Jenis Kelamin :

Agama :

Alamat :

Pendidikan :

Status Perkawinan :

Pekerjaan :

Status Terperiksa :

Tuduhan

Laporan hasil pemeriksaan

1. Anamnesis diperoleh dari

a. Berita acara pemeriksaan kepolisian

b. Autoanamnesis

c. Alloanamnesis

2. Hasil pemeriksaan dan observasi psikiatrik

3. Hasil pemeriksaan Fisik [yang bermakana]

4. Pemeriksaan penunjang [yang bermakna misalnya MMPI, evaluasi


psikologik,EEG, Ct- Scan, MRI,neuropsikologik, laboratorium dan lain-
lain sesuai kebutuhan]

5. Kesimpulan

a. Ada/tidak ada gangguan jiwa [diagnosisdan deskriptif]

b. Apakah perilakupelanggaran hukum merupakan gejalalbagian


dari gangguan jiwa?

c. Ada tidaknya unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab


berdasarkan

i. Apakah terperiksa mampu memahami nilai dan resiko


tindakannya?
ii. Apakah terperiksa mampu memaksudkan suatu tujuan yang
sadar?

78
iii. Apakah terperiksa mampu mengarahkan kemauan/tujuan
tindakannya?
6. Saran :

7. Penutup

Demikianlah Surat Keterangan ahli Kesehatan Jiwa (Visum et Repertum


Psychiatricum) ini dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu menerima
jabatan.

79
F. Praktik Psikiatri Kedokteran

Umumnya Visum et Repertum Psychiatricum dibuat setelah seorang dokter

melakukan pemeriksaan pada seseorang yang mengalami suatu peristiwa atau

sengketa hukum, sehingga bersifat post facto. Dari hasil pemeriksaan ini

kemudian dilakukan semacam rekonstruksi ilmiah untuk mengusahakan

kemungkinan korelasi antara keadaan terperiksa dengan peristiwa hukumnya.

Namun, tidak jarang hasil pemeriksaan dipakai untuk memprediksi suatu keadaan

yang belum terjadi atau bersifat pre facto.47 Visum et Repertum Psychiatricum

diterbitkan hanya atas suatu permintaan dan yang berhak meminta adalah hakim,

jaksa, polisi, dan yang bersangkutan (pelaku, korban, dan walinya).47

Persyaratan untuk kelengkapan pembuatan Visum et Repertum meliputi

surat permintaan pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum dan berita acara

serta beberapa syarat tertentu dari Rumah sakit. Setelah melengkapi persyaratan

tersebut, terdakwa dapat memasuki ruang perawatan dan diobservasi. Dalam hal

ini status terdakwa berubah menjadi terperiksa. Di dalam ruangan ini, terperiksa

diobservasi dalam jangka waktu tertentu.47

Perihal Masalah Praktis Mengenai Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa.48,49

I. Ketentuan Umum

a. Dokter ahli Kedokteran Jiwa atau Psikiater adalah seorang dokter

yang memegang ijazah Keahlian Kedokteran Jiwa yang diakui sah

di Indonesia.

b. Pemohon ialah pejabat atau badan/lembaga yang berwenang yang

mengajukan permintaan tertulis kepada Dokter Ahli Kedokteran

80
Jiwa agar Dokter Ahli Kedokteran Jiwa itu memberikan keterangan

ahli perihal keadaan jiwa seseorang.

c. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ialah keterangan yang diberikan

seorang Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tentang hal yang diperlukan

untuk membuat terang suatu perkara pidana dan perdata guna

kepentingan pemeriksaan. Keterangan ini adalah keterangan dokter

biasa, dimana rahasia jabatan harus dipegang teguh.

II. Yang Berhak Menjadi Pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran

Jiwa

a. Yang berhak menjadi pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran

Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) adalah:

i. Penyidik (KUHAP Pasal 120).

ii. Penuntut Umum dalam hal tindak pidana khusus (KUHAP

pasal 120, Pasal 284)

iii. Hakim pengadilan (KUHAP Pasal 180 ayat 1).

iv. Tersangka atau terdakwa melalui pejabat sesuai dengan

tingkatan proses pemeriksaan (KUHAP Pasal 180 ayat 1; 2,3,

dan 4).

v. Korban (atau tersangka) melalui pejabat sesuai dengan tingkatan

proses pemeriksaan (KUHAP Pasal 65)

vi. Penasihat hukum/pengacara melalui pejabat sesuai dengan

tingkatan proses pemeriksaan (KUHAP Pasal 80 ayat 1 dan 2).

b. Yang berhak menjadi pemohon Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

Lisan di sidang pengadilan ialah hakim pengadilan. Permintaan

81
tersebut ditujukan kepada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dalam

wilayah hukum dari hakim pengadilan yang bertugas memeriksa

dan mengadili perkara, kecuali bila di wilayah tersebut tidak ada

Dokter Ahli Kedokteran Jiwa. Pengaturan ini dimaksudkan agar

kemungkinan terjadinya konflik dalam keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa Lisan dikurangi, mengingat bahwa Keterangan

Ahli Kedokteran Jiwa dapat berbeda-beda sesuai dengan orientasi

ilmiah dari Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang memeriksa.

III. Yang Dapat/Boleh atau Waijib Menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa

a. Yang dapat/boleh atau wajib menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) adalah Dokter Ahli

Kedokteran Jiwa yang bekerja pada suatu fasilitas perawatan pasien gangguan

jiwa yang memenuhi syarat-syarat menurut Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku, atau yang bekerja pada lembaga khusus untuk pemeriksaan

dan observasi tersangka atau terdakwa, yang tidak yang berkepentingan

dalam perkara yang bersangkutan dan yang tidak mempunyai hubungan

keluarga dan/ atau terikat hubungan kerja dengan tersangka atau terdakwa

atau korban atau hubungan sengketa dalam perkara hukum lainnya, seperti

yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pidana:

KUHAP Pasal 168, Perdata: HIR Pasal 145, dan RBG Pasal 172 ayat 1 dan 2

yang berlaku di luar Jawa).

b. Yang dapat/boleh atau wajib memberikan Keterangan Ahli Kedokteran

Jiwa Lisan adalah Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang menerbitkan Surat

82
Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) atau

Dokter Ahli Kedokteran Jiwa lain, sesuai dengan butir 3a. Seorang Dokter

Ahli Kedokteran Jiwa di luar wilayah jurisdiksi pengadilan di mana perkara

itu sedang ditangani, tidak boleh dipanggil sebagai ahli bila sudah ada Dokter

Ahli Kedokteran Jiwa yang memenuhi syarat (di luar Dokter Ahli Kedokteran

Jiwa yang membuat Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa) yang tinggal

dalam wilayah tersebut.

c. Di daerah-daerah yang terpencil yang tidak mempunyai Dokter Ahli

Kedokteran Jiwa dimungkinkan dokter umum membuat Surat Keterangan

Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) untuk kepentingan

proses pengadilan, dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Kesehatan

R.I.cq. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I. (Kakanwil Dep.

Kes. R.I.). Dokter umum tersebut bekerja pada suatu fasilitas perawatan

pasien yang memenuhi syarat-syarat menurut peraturan-peraturan yang

berlaku, atau lembaga khusus untuk pemeriksaan dan observasi tersangka

atau terdakwa, yang tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan

dan yang tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan yang

tidak mempunyai hubungan keluarga dan/atau terikat hubungan kerja dengan

tersangka atau korban atau hubungan sengketa dalam Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku

IV. Bentuk-Bentuk Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ada 2 bentuk:

83
a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum

Psychiatricum) yang didahului sebutan DEMI KEADILAN (PRO

JUSTITIA) yang dibuat dalam bentuk menurut pedoman yang ditetapkan

dan terikat pada sumpah jabatan dokter Indonesia.

b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan yang dinyatakan di sidang

pengadilan di bawah sumpah.

V. Jangka Waktu Pemeriksaan

i. Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang melaksanakan pemeriksaan dan

observasi psikiatrik sudah harus menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai

saat tersangka atau terdakwa berada di tempat perawatan kecuali

diperlukan waktu yang lebih panjang denga seizin instasi sesuai dengan

tingkat proses pemeriksaan.

ii. Apabila dalam waktu yang dimaksud pada butir a Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa belum dapat diterbitkan karena pemeriksaan dan

observasi psikiatrik tersangka atau terdakwa belum selesai maka Dokter

Ahli Kedokteran Jiwa tersebut wajib memberitahukan hal tersebut secara

tertulis kepada instasi pemohon dan minta perpanjangan waktu disertai

alasan-alasannya.

iii. Perpanjangan waktu yang dimaksud pada butir b tidak boleh lebih dari 14

hari.

84
iv. Hakim di dalam surat penetapannya dapat menetapkan batas jangka waktu

untuk pemeriksaan dan observasi psikiatrik di luar ketentuan-ketentuan

butir a dan c (KUHAP Pasal 26 juncto 29 ayat 2).

v. Apabila jangka waktu pemeriksaan dan observasi psikiatrik sudah habis,

akan tetapi Dokter Ahli Kedokteran Jiwa penerbit Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa belum dapat memastikan apakah tersangka atau terdakwa

menderita gangguam jiwa atau tidak, maka:

i. Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa berhubung

waktu pemeriksaan dan observasi telah habis tetapi ia belum dapat

sampai pada suatu kesimpulan, disarankannya untuk diadakan

pemeriksaan lebih lanjut untuk penerbit Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa pada tingkat pemeriksaan yang lain.

ii. Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa selama

pemeriksaan dua kali 14 hari tidak dapat ditemukan adanya tanda-

tanda/gejala-gejala gangguan jiwa, namun demikian belum dapat

dipastikan bahwa tersangka atau terdakwa terganggu jiwanya atau

tidak,

VI. Pembiayaan

Seluruh biaya pemeriksaan dan penampungan penderita tersangka/terdakwa

menjadi beban instasi dari pejabat pemohon sesuai dengan tarif yang berlaku.

VII. Prosedur Permintaan tentang Pemeriksaan dan Penerbitan Surat Keterangan

Ahli Kedokteran Jiwa

85
a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum)

i. Semua permintaan tentang pemeriksaan dan penerbitan Surat Keterangan

Ahli Kedokteran Jiwa diajukan melalui pejabat sesuai dengan tingkat

proses pemeriksaan.

ii. Surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dari pemohon

ditujukan kepada Direktur/Kepala dari fasilitas perawatan pasien gangguan

jiwa dan lembaga khusus seperti yang dimaksud sesuai dengan B.3a

disertai tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan

R.I.

iii. Dalam surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa tersebut

perlu disebutkan secara lengkap identitas dari tersangka atau terdakwa atau

seseorang yang terlibat dalam suatu perkara atau peristiwa hukum disertai

alasan permintaan pemeriksaan dan dibubuhi tanda tangan, nama, pangkat,

jabatan serta cap instansi pemohon, disertai salinan Berita Acara

Pemeriksaan.

iv. Penetapan Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang berwenang menerbitkan

Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (B.3a) dilakukan oleh Kepala

Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I. secara periodik, dengan

memperhatikan Consensus tentang kemampuan-kemampuan fasilitas di

daerah.

v. Bila di suatu wilayah tidak ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dan fasilitas

tersebut maka penetapannya dilakukan oleh Menteri Kesehatan cq. Kepala

Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I.

86
b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan.

Permintaan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan dilakukan oleh hakim

pengadilan dalam proses peradilan untuk keperluan penjelasan-penjelasan ilmiah

mengenai Ilmu Kedokteran Jiwa. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa itu sendiri

bila diminta penjelasan lebih lanjut oleh Hakim, atau Ahli lain untuk memberikan

penjelasan lebih lanjut.

c. Apabila Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa sudah diterbitkan maka

tersangka atau terdakwa wajib diserahkan kembali dan diambil oleh instasi

pemohon pada kesempatan pertama.

d. Lainnya tersangka atau terdakwa bukan menjadi tanggung jawab fasilitas

perawatan pasien gangguan jiwa yang bersangkutan, melainkan menjadi tanggung

jawab instasi pemohon.

e. Untuk melengkapi heteroanamnesis dalam penerbitan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa yang memeriksa berhak meminta bantuan petugas hukum untuk

memanggil anggota keluarga dan/atau orang lain yang diperlukan.

87
BAB IV

PERBANDINGAN JURNAL

Keterangan Jurnal Utama Jurnal Pembanding 1 Jurnal Pembanding 2


Judul Abused-Abuser Dilemma in Children's disclosure of Forensic Interviews With
Sexual Abuse and Forensic sexual abuse during Children Victims of
Evaluation: a Case Report early forensic Sexual Abuse: The Role
psychiatric evaluation in of the Counselling
Southern Taiwan Psychologist

Penulis Meryem Ozlem Kutuk, Ling-HsiangWang, Olga Themeli, Maria


Gulen Guler, Ali Evren TiLu, Ching-HongTsa Panagiotaki
Tufan, Sati Sanberk4
Lokasi Turki Taiwan Selatan Yunani
Tahun Publikasi 2017 2014 2014
Isi Sebuah laporan kasus tentang Menjelaskan tentang Menjelaskan tentang
kemungkinan pelaku efektifitas program pentingnya pendekatan
kekerasan seksual pada anak EFPE (early forensic psikologis pada anak
sebagai korban kekerasan psychiatric evaluation) korban kekerasan seksual
seksual saat masih anak-anak terhadap pengungkapan agar mudah dilakukan
dugaan kekerasan dan didapatkan temuan-
seksual pada anak temuan dalam
wawancara forensik

88
Kelebihan Jurnal

 Pada jurnal ini menjelaskan bahwa pelecehan sexual yang terjadi dapat
menimbulkan trauma psikis dan mempengaruhi kejiawaan terhadap anak
 Pada jurnal/ kasus ini trauma kejiwaan pada anak dapat mempengaruhi
tumbuh kembang dan kehidupan sosial korban
 Pada jurnal/ kasus ini menjelaskan tindakan pelecehan sexual akan
membuat perubahan gangguan orientasi seksual
 Pada jurnal/kasus ini menerangkan pentingnya pengobatan baik secara
fisik atau mental demi kelangsungan kehidupan korban
 Pada jurnal/ kasus ini menjelaskan bahwa penting mengetahui penilain
temuan klinis pada pemeriksaan pada korban kekerasan sesuak pada
anak

Kekurangan Jurnal

 Pada jurnal tidak menjelaskan secara detail gangguan pskiatri/ penyakit


kejiwaan yang terjadi pada anak tersebut.
 Pada jurnal ini gangguan pelecehan yang dialami oleh
pelaku(babysister) tidak dijelaskan secara lebih rinci.
 Pada jurnal/ kasus ini tidak menjeleskan secara secara rinci
penatalaksanaan atau tidak lanjut terhadap korban.
 Pada jurnal/kasus ini tidak menjelaskan bagaimana memutuskan
lingkaran setan dan pencegahan hal tersebut.

89
BAB V

KESIMPULAN

Pelecehan seksual terhadap anak didefinisikan sebagai memperalat


anak yang secara psikososial dan tidak kompeten secara seksual untuk
hasrat dan kebutuhan seksual melalui kekerasan, ancaman atau muslihat. Di
antara faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena pelecehan seksual
dapat didaftarkan sebagai: tumbuh dalam keluarga yang cerai-berai, adanya
gangguan kejiwaan, riwayat pelecehan seksual dan kurangnya dukungan
sosial. Hipotesis pelaku pelecehan seksual pada anak menyatakan bahwa
pada orang-orang, khususnya laki-laki, yang terpapar pelecehan terutama di
masa kanak-kanak berisiko menjadi pelaku kekerasan.

Angka kejadian pelecehan seksual telah ditemukan menjadi 3 hingga


37% pada anak laki-laki dan 7 hingga 53% pada anak perempuan. Mayoritas
individu yang dilecehkan adalah perempuan sementara mayoritas pelaku
adalah laki-laki. Diketahui bahwa riwayat pelecehan seksual masa kanak-
kanak dapat menyebabkan banyak gangguan kejiwaan di masa depan.
Dalam laporan kasus kami, pelaku mengalami acute stress disorder (ASD)
atau gangguan stress akut (GSA) karena pelecehan seksual, tidak menerima
perawatan psikiater apa pun pada waktu itu dan diasingkan oleh
keluarganya, yang kemudian melakukan pelecehan terhadap dua anak.
Semua kasus serupa yang terkena pelecehan seksual harus menerima
evaluasi kejiwaan dan program tindak lanjut wajib. Psikiater harus
memantau kasus-kasus ini secara dekat dalam hal preventive psychiatry atau
psikiatri pencegahan.

Telah dinyatakan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual melaporkan


pengalaman mereka tersebut pada angka sekitar 15%. Penyebab paling
penting dari kerahasiaan ini adalah kekhawatiran bahwa keluarga tidak akan
mempercayainya. Untuk pengenalan dini pelecehan seksual, pengobatan

90
gangguan kejiwaan yang berkembang, dan meminimalisasi lingkaran-setan
pelaku pelecehan, korban pelecehan seksual harus menjalani evaluasi
kejiwaan yang komprehensif dan program tindak lanjut / follow up.

Pada jurnal ini menjelaskan bahwa pelecehan sexual yang terjadi


dapat menimbulkan trauma psikis dan mempengaruhi kejiawaan terhadap
anak, trauma kejiwaan pada anak dapat mempengaruhi tumbuh kembang
dan kehidupan sosial korban, menjelaskan tindakan pelecehan sexual akan
membuat perubahan gangguan orientasi sexual, menerangkan pentingnya
pengobatan baik secara fisik atau mental demi kelangsungan kehidupan
korban dan menjelaskan bahwa penting mengetahui penilain temuan klinis
pada pemeriksaan pada korban kekerasan sesuak pada anak.

Pada jurnal ini tidak menjelaskan secara detail gangguan pskiatri/


penyakit kejiwaan yang terjadi pada anak tersebut, gangguan pelecehan
yang dialami oleh pelaku(babysister) tidak dijelaskan secara lebih rinci,
tidak menjeleskan secara secara rinci penatalaksanaan atau tidak lanjut
terhadap korban dan tidak menjelaskan bagaimana memutuskan lingkaran
setan dan pencegahan hal tersebut.

91
DAFTAR PUSTAKA

1. Sari R, Nulhaqim SA, Irfan M. (2016). Pelecehan Seksual Terhadap


Anak. Prosiding KS. Riset & PKM Pustaka ilmiah Universitas
Padjadjaran; 2(1); 14-8
2. Republik Indonesia. Lampiran UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU no. 1 tahun 2016
tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Menjadi UU. Sekretariat Negara. Jakarta
3. Paramastri I, Supriyadi, Priyanto MA. (2010). Early Prevention Toward
Sexual Abuse On Children. Jurnal Psikologi UGM; 37(1); 1-12
4. Dube et al. (2010). Child Sexual Abuse Consequences and Implication.
Journal of Pediatric Health Care; 24(6)
5. Wiragni IA, Widihartono E. (2016). Karakteristik Kasus Pada Visum et
Repertum di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014-2016. Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UGM.
6(2); 163-169
6. Bonnar-Kidd. (2010). Sexual Offender Law and Prevention of Sexual
Violence or Recividsm. American Journal of Public Health; 100(3); 412-9
7. Black et al. (2010). The National Intimate Partner and Sexual Violence
Survey (NISVS). Summary Report Atalanta GA
8. Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sekretariat Negara.
Jakarta
9. Noviana I. (2014). Kekeran Seksual Terhadap Anak: Dampak dan
Penanganannya. Pusat Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial. Kementerian Sosial RI
10. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIV
KUHP Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan
11. Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta

92
12. Republik Indonesia. (1990). Keputusan Presiden Republik Indonesia No
36 Tahun 1990 Tentang Konvensional Hak-Hak Anak. Sekretariat
Negara. Jakarta
13. Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang No. 36 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Sekretariat Negara. Jakarta
14. Hegazy AA, Al-Rukban RO. (2012). Hymen: Facts and Conceptions. The
Health. Egypt. 3(4); 109-15
15. Yang CC, Ginger VAT. (2011). Functional Anatomy of Female Sex
Organs. Harbowview Medical Center. Seattle; 13-20
16. London ML, Ladewig PW, Ball JW, Bindler RC. (2016). Women’s
Health Throughout The Lifespan. Anatomy and Physiology of The
Reproductive System.
17. Sudirgayasa IG. (2014). Sistem Reproduksi Pria. [internet] 2016. [cited
2017 Nov 16] Available from:
https://sudirgayasa.files.wordpress.com/2014/11/sistem-reproduksi-
pria.pdf
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Tingkatan
Kerjasama dan Kewaspadaan Kekerasan Pada Anak. Jakarta
19. Maslihah S. (2006). Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan
Dampak Jangka Panjang. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini; 1(1); 25-33
20. Teja M. (2016). Kondisi Sosial Ekonomi dan Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Info Singkat Kesejahteraan Sosial. Badan Keahlian DPR
RI
21. Ball J. (2012). Principles of Pediatric Nursing: Caring For Children.
New Jersey-Pearson Education Inc; 5
22. Crosson C. (2010). Understanding Child Abuse and Neglect. Boston;
Allyn & Bacon
23. Aulia. (2014). Kenali Tipe Penjahat Kekerasan Seksual Anak
24. Wanda. (2014). Stop! Kekerasan Pada Anak. [internet]. 2014. [cited 2017
Nov 16]. Available from: http://kpkpos.com/stop-kekerasan-pada-anak/

93
25. Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sekretariat Negara. Jakarta
26. Philip SL. (2007). Clinical Forensic Medicine: Much Scope For
Development in Hongkong. Hongkong Department of Pathology Faculty
of Medicine University of Hongkong
27. Dahlan, Sofwan. (2007). Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman bagi
Dokter dan Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang
28. Mclean I, Roberts S, White C, Paul S. (2011). Female Genital Injuries
Resulting From Consesual and Non-consesual Vaginal Intercourse.
Forensic Science International; 2404(3): 27-33
29. Herrmann B, Banaschack S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R. (2014).
Physical Examination In Child Sexual Abuse- Approaches and Current
Evidence. Dutch Arztbl Int; 111: 692-703
30. Ipsum L. (2011). Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Bagi Petugas Kesehatan
31. Sommers MS. (2007) Defining Pattern of Genital Injury From Sexual
Assult. University of Pennsylvania School of Nursing. Trauma. Violence;
8(7)
32. World Health Organization. (2015). Guidelines For Medico-Legal Care
For Victims of Sexual Violence. Library Catologuing Publication Data.
Geneva. 82-90
33. Prawestiningtyas E. (2017). Kekerasan Pada anak dan Aspek Midikolegal
dalam Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2017.
34. Hobbs CJ & Wynne JM. (1989). Sexual Abuse of English Boys and Girl:
The Importance of Anal Examination. Child Abuse and Neglect
35. Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 33 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Anak. Sekretariat Negara. Jakarta

94
36. Murthy P, Malatheh B.C, Kumar C.N, Math S.B. Mental Health and
the Law : An Overview and Need to Develop and Strengthen the
Discipline of Forensic Psychiatry in India. Indian J Psychiatry.
2016.58(2);5181-86
37. Chadda R.K. Forensic Evaluations in Psychiatry. Indian J Psychiatry.
2013. 55(4);393-9.
38. Bartol, C.R.;Bartol, A.M. Psychology and Law, Pasicif Grove,
California : Brooks/Cole Publishing Company, 1994.
39. Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The
Cognitive Interview : Enhancing the Recollection of Actual Victims &
Witnesses of Crime. Journal of Applied Psychology, 74 (5), 722-7.
40. Darmabrata, wahjadi. Psikiatri Forensik. Ed 1. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC.2003:1-6.
41. Andriesti Herdaetha, Dokter Ahli Jiwa/Psikiater Rumah Sakit Jiwa
Daerah Surakarta, Wawancara Pribadi, Rabu 22 Juni 2016, pukul
13.03 WIB.
42. Kegunaan ilmu kedokteran forensic dalam membantu mengungkapkan
peristiwa pidana. Jurnal Varia Hukum. Ed XXX. Fakultas hukum
Universitas Muhammadiyah:2013. 220-5.
43. Abdul Munim, ilmu kedokteran kehakiman.1985.gunung agung:1985.
Hal.102.
44. Ohoiwutun T. 2012. Ilmu Kedokteran Forensik (interaksi dan
dependensi hukum pada ilmu kedokteran. Jakarta; ECG.
45. Darmabrata W. 200. Psikiatri Forensik. Jakarta; ECG.Hlm. 1, 33-34,
36-37.
46. Budiyanto, Arif, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997
47. H. Soewadi. Psikiatri Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta.2013.
48. Wahjadi D dan Adhi WN. Psikiatri Forensik. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta. 2003.
49. Idries dan Abdul M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed. 1.
Binarupa Aksara: Jakarta, 1997.

95

Anda mungkin juga menyukai