GANGGUAN ANSIETAS
Disusun Oleh:
Filia Nurul Dasti 04054821719166
Nyimas Badrya Ulfa 04054821820017
Irinnne Karina Putri 04054821820076
Pembimbing :
dr. H. M. Zainie Hasan A. R., SpKJ (K)
Oleh:
Filia Nurul Dasti 04054821719166
Nyimas Badrya Ulfa 04054821820017
Irinnne Karina Putri 04054821820076
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 13 Agustus 2018 – 17 September 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat
dan berkat-Nya referat yang berjudul “Gangguan Ansietas” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. M. Zainie
Hasan A. R., SpKJ (K) atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan tugas ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
2.5.2 Epidemiologi .......................................................................................28
2.5.3 Komorbiditas.......................................................................................29
2.5.4 Etiologi................................................................................................29
2.5.5 Diagnosis.............................................................................................31
2.5.6 Gejala Klinis........................................................................................32
2.5.7 Diagnosis Banding ..............................................................................32
2.5.8 Perjalanan Gangguan dan Prognosis ...................................................32
2.5.9 Tatalaksana ..........................................................................................33
2.6 Other Anxiety Disorder ....................................................................................35
2.6.1 Gangguan Ansietas akibat Keadaan Medis Umum.............................35
2.6.1.1 Definisi..................................................................................35
2.6.1.2 Epidemiologi.........................................................................35
2.6.1.3 Etiologi..................................................................................35
2.6.1.4 Diagnosis ..............................................................................36
2.6.1.5 Gejala Klinis .........................................................................36
2.6.1.6 Diagnosis Banding ................................................................37
2.6.1.7 Perjalanan Gangguan dan Prognosis ....................................37
2.6.1.8 Tatalaksana ...........................................................................38
2.6.2 Gangguan Ansietas yang Dicetuskan Zat ...........................................38
2.6.2.1 Definisi .................................................................................38
2.6.2.2 Epidemiologi.........................................................................38
2.6.2.3 Etiologi..................................................................................38
2.6.2.4 Diagnosis ..............................................................................39
2.6.2.5 Gejala Klinis .........................................................................39
2.6.2.6 Diagnosis Banding................................................................39
2.6.2.7 Perjalanan Gangguan dan Prognosis ....................................39
2.6.2.8 Tatalaksana ...........................................................................40
2.6.3 Gangguan Campuran Ansietas Depresif .............................................40
2.6.3.1 Definisi .................................................................................40
2.6.3.2 Epidemiologi.........................................................................40
2.6.3.3 Etiologi .................................................................................41
2.6.3.4 Diagnosis ..............................................................................41
2.6.3.5 Gejala Klinis .........................................................................41
2.6.3.6 Diagnosis Banding ................................................................42
2.6.3.7 Perjalanan Gangguan dan Prognosis .....................................42
2.6.3.8 Tatalaksana ...........................................................................42
BAB III KESIMPULAN......................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................44
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan panik seumur hidup berada dalam rentang 1-
4%, dan pada 6 bulan berkisar 0,5-1%, dan 3-5,6% untuk serangan panik.
Wanita dua sampai 3 kali lebih mudah terkena dibandingkan laki-laki.satu-
satunya faktor sosial yang diidentifikasi turut berperan dalam timbulnya
gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan baru terjadi.
Gangguan panik paling lazim terjadi pada usia dewasa muda (usia rata-rata
25 tahun) tetapi gangguan panik dan agorafobia dapat timbul pada usia
berapapun.
2.1.3 Komorbiditas
91% pasien dengan gangguan panik memiliki sekurang-kurangnya
satu gangguan psikiatrik lainnuya.. sekitar sepertiga orang dengan gangguan
panik meMiliki gangguan depresif mayor sebelum onset; sekitar dua
pertiganya memdapatkan pengalaman pertama panik setelah depresi mayor.
Gangguan lainnya juga biasa terjadi pada pasien dengan gangguan panik.
15-30% memiliki gangguan ansietas sosial atau fobia sosial, 2-20%
2
memiliki fobia yang spesifik, 15-30% memiliki gangguan cemas
menyeluruh, 2-10% PTSD, dan hampir 30% memiliki OCD.
2.1.4 Etiologi
1) Faktor Biologis
Studi pada faktor biologis menghasilkan hipotesis yang
mengatakan adanya disregulasi sistem saraf pusat dan perifer dalam
patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonom pada sejumlah
pasien dengan gangguan panik dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus
berulang dan berespons berlebihan terhadap stimulus sedang.
Sistem neurotransmitter utama yang terlibat adalah noerepinefrin,
serotonin dan GABA. Disfungsi serotonergic cukup terlihat pada
gangguan panik dan berbagai studi dengan obat campuran agonis-
antagonis serotonin menunjukkan peningkatan angka ansietas.
Respons tersebut dapat disebabkan oleh hipersensitifitas serotonin
pascasinaps pada gangguan panik. Terdapat bukti praklinis bahwa
melemahnya transmisi inihibisi lokal GABAnergik di amigdala
basolateral, otak tengah dan hipotalamus dapat mencetuskan
respons fisiologis mirip ansietas. Keseluruhan data biologis
mengarahkan pada suatu fokus di batang otak (terutama neuron
noeradrenergik pada locus ceruleus dan neuron serotonergik pada
raphe nucleus media), sistem limbic (mungkin bertanggungjawab
dalam ansietas antisipatorik) dan korteks prefrontal (mungkin
berperan dalam pembentukan penghindaran fobik). Di antara
berbagai neurotransmitter yang terlibat, system noradrenergic juga
menarik banyak pehatian, terutama reseptor α2-prasinaps yang
memegang peran signifikan. Reseptor ini diidentifikasi melalui
percobaan farmakologis dengan agonis reseptor α2, klonidin dan
antagois reseptor- α2 yohimbin yang merangsang letupan pada
3
lokus ceruleus dan menimbulkan tingkat aktivitas mirip panik yang
tinggi pada pasien dengan gangguan panik.
2) Pencitraan otak
Studi pencitraan struktur otak contohnya magnetic resonance
imaging (MRI), pada pasien dengan gangguan panik melibatkan
keterlibatan patologis lobus temporalis, terutama hipokampus. Satu
studi MRI melaporkan abnormalitas, terutama atrofi korteks pada
lobus temporalis kanan pada pasien-pasien ini. Studi pencitraan
otak fungsional , contohnya positron emission tomography (PET),
melibatkan adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya
gangguan ansietas dan serangan panik disertai vasokonstriksi
serebral, yang menimbulkan gejala sistem saraf pusat seperti
pusing dan gejala sistem saraf perifer yang dapat dicetuskan
hiperventilasi dan hipokapnia.
3) Faktor genetik.
Walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar genetic
gangguan panik jumlahnya sedikit, data saat ini menunjukkan
bahwa gangguan panik ini memiliki komponen genetic yang khas.
4) Faktor psikososial
Teori psikoanalitik telah dikembangkan untuk menjellaskan
pathogenesis gangguan panic. Teori psikoanalitik mengonsepkan
serangan panik sebagai serangan yang timbul dari pertahanan yang
tidak berhasil terhadap impuls yang mencetuskan ansietas.
Banyak pasien menggambarkan serangan panik itu datang
secara Tiba-tiba tanpa faktor psikologis yang terkait, akan tetapi
pendalaman psikodinamik mengungkapkan adanya pemicu
psikologis yang jelas pada serangan panik. Meskipun serangan
panic berhubungan secara neurofisiologis dengan lokus ceruleus,
4
awitan panik secara umum berhubungan dengan faktor lingkungan
dan psikologis. Pasien dengan gangguan panik memiliki insidensi
lebih tinggi dari kejadian hidup yang penuh tekanan dibandingkan
subjek kontrol pada bulan-bulan sebelum terjadinya gangguan
panik. Tema psikodinamik gangguan panik:
Kesulitan mentoleransi kemarahan
Perpisahan fisik dan emosi dari orang yang bermakna baik di
masa kanak-kanak maupun masa dewasa
Dapat dipicu oleh meningkatnya suatu tanggung jawab
pekerjaan
Persepsi orang tua sebagai pengontrol, menakutkan, kriti dan
menuntut
Gambaran internal mengenai hubungan yang melibatkan
penyiksaan fisik maupun seksual
Rasa terperangkap kronis
Lingkaran setan kemarahan pada perilaku penolakan orang
tua diikuti ansietas bahwa khayalan akan merusak ikatan
dengan orang tua
Kegagalan fungsi ansietas sinyal pada ego yang terkait
fragmentasi diri dan kebingungan batas diri.
Mekanisme defens yang khas, reaksi formasi, undoing,
somatisasi, eksternalisasi
2.1.5 Diagnosis
Serangan Panik
Serangan panik merupakan periode ketakutan tiba-tiba yang dapat
berlangsung dalam hitungan menit samapai jam. Serangan paniK dapat
terjadi pada gangguan mental selain gangguan panik seperti pada fobia
yang spesifik, fobia sosial dan PTSD. Serangan panic yang tidak terduga
terjadi kapan saja dan tidak berhubungan dengan stimulus sosial yang
5
teridentifikasi. Serangan pada pasien dengan fobia spesifik dan sosial
biasanya dapat diduga atau diberikan oleh stimulus yang dikenal atau
spesifik.
Gangguan Panik
Kriteria diagnosis Edisi 5 dari the Diagnostic and statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-5) untuk gangguan panik adalah:
A. Serangan rekuren panik yang tidak terduga. Serangan panik adalah
suatu gelombang ketakutan intese yang tiba-tiba atau
ketidaknyamanan yang mencapai puncak dalam beberapa menit atau
jam dan selama hal itu terjadi setidaknya 4 atau lebih beberapa gejala:
1. Palpitasi, jantung yang berdebar atau peningkatan detak jantung
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sensasi napas pendek atau tercekik
5. Rasa tersedak
6. Nyeri atau tidak nyaman di dada
7. Mual atau gangguan abdomen
8. Rasa pusing, tidak stabil, kepala terasa ringan atau pingsan
9. Sensasi dingin atau panas
10. Parestesia (kebas atau kesemutan)
11. Serealisasi ( rasa tidak nyata) atau depersonalisasi (lepas dari
diri sendiri)
12. Rasa takut kehilangan kendali atau menjadi gila
13. Rasa takut mati
B. Sekurang-kurangnya satu serangan diikuti oleh 1 bulan dari satu atau
dua berikut ini
C. Gangguannya tidak disebabkan efek fisiologis zat (cth.
Penyalahgunaan obat) atau kondisi medis lain (cth. hipertiroid,
gangguan kardiopulmo).
6
D. Gangguan ini tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lainnya
(cth. Serangan panik tidak terjadi dalam respons terhadap ketakutan
akan situasi sosial seperti pada gangguan ansietas sosial)
7
episodik berubungan dengan insulinoma dapat menghasilkan keadaan
mirip panik. Selain itu, gangguan sistem kardiovaskular dan
pernapasan termasuk aritmia, COPD dan asma.
Gangguan mental
Gangguan panik juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan
ansietas lainnya termasuk fobia sosial dan spesifik, panik juga dapat
terjadi pada PTSD dan OCD.
Fobia sosial dan spesifik
2.1.9 Tatalaksana
Alprazolam dan paroksetin adalah dua obat yang disetujui US
Food and Drug Administration untuk terapi gangguan panik. Umumnya,
pengalaman menunjukkan keunggulan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) dan clomipramine daripada benzodiazepine, monoamine
oxidase inhibitor (MAOI), dan obat trisiklik serta tetrasiklik dalam
efektivitas dan toleransi efek yang merugikan. Antagonis reseptor β-
adrenergik belum terbukti berguna untuk gangguan panik. Suatu pendekatan
konservatif adalah memulai dengan paroksetin, sertraline atau fluvoxamine
pada gangguan panik terisolasi. Jika diinginkan kendali cepat terhadap
gejala yang parah, pemberian singkat alprazolam harus dimulai bersamaan
dengan SSRI; diikuti penurunan dosis benzodiazepine secara perlahan. Pada
penggunaan jangka panjang, fluoxetine adalah obat efektif untuk panik yang
bersamaan dengan depresi walaupun sifat aktivasi awalnya dapat
8
menyerupai gejala panik selama beberapa minggu sehingga mungkintidak
ditoleransi secara baik.
Benzodiazepine
Benzodiazepine memiliki awitan kerja untuk panik yang paling
cepat, sering dalam minggu pertama dan dapat digunakan untuk periode
waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap efek antipanik.
Alprazolam adalah benzodiazepine yang paling luas digunakan untuk
gangguan panik tetapi studi terkontrol menunjukkan efisiensi yang sama
untuk lorazepam. Sejumlah pasien menggunakan benzodiazepine bila
perlu ketika menghadapi stimulus fobik. Benzodiazepine dapat
digunakkan secara masuk akal sebagai agen awal untuk gangguan panik
9
sementara obat serotonergic dititrasi perlahan sampai dosis terapeutik.
Setelah 4 sampai 12 minggu, dosis benzodiazepine secara perlahan dapat
diturunkan ( selama 4 sampai 10 minggu) sementara obat serotonergic
diteruskan. Keberatan utama di antara para klinisi mengenai penggunaan
benzodiazepine untuk gangguan panik adalah potensi ktergantungannya,
gangguan kognitif dan penyalahgunaan, terutama setelah penggunaan
jangka panjang. Pasien harus diingatkan untuk tidak menyetir dan
mengoperasikan peralatan berbahaya selama mengonsumsi
benzodiazepine.
10
Tidak respons terhadap terapi
Jika pasien mengalami kegagalan respon terhadap salah satu
golongan obat, golongan obat lain harus dicoba. Data terkini menyokong
kefektifan venlafaxine. Kombinasi SSRi atau obat trisiklik dan
benzodiazepine atau dengan SSRI dan lithium atau obat trisiklik dapat
dicoba. Laporan kasus mengesankan efektifitas cabamazepin, valporoal
dan kalsium channel inhibitor. Buspirone dapat memiliki peran dalam
memperkuat obat lain tetapi memiliki efektifitas yang kecil. Klinisi harus
mengkaji ulang pasien terutama untuk menentukan adanya keadaaan
komobid seperti depresi, penggunaan alkohol atau penggunaan zat.
Durasi Farmakoterapi
Ketika efektif, terapi farmakologis umumnya harus diteruskan
selama 8 hingga 12 bulan. Data menunjukkan bahwa gangguan panik
adalah keadaan kronis, mungkin seumur hidup dan kambuh jika terapi
dihentikan. Studi melaporkan bahwa 30 hingga 90 persen pasien gangguan
panik yang mengalami keberhasilan terapi mengalami kekambuhan ketika
obatnya dihentikan. Pasien cenderung kambuh jika mereka telah diberikan
benzodiazepine dan terapi benzodiazepine diakhiri sedemikian rupa
sehingga enimbulkan gejala putus zat.
11
serangan panik. Instruksi mengenai keyakinan yang salah berpusat pada
kecendrungan pasien untuk salah mengartikan sesnsasi tubuh ringan
sebagai tanda khas akan serangan panik, ajal atau kematian. Informasi
mengenai serangan panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan
panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam nyawa.
2.2 Agoraphobia
2.2.1 Definisi
Agarofobia merujuk pada ketakutan atau anseitas terhadap tempat
dimana untuk melarikan diri sulit. Hal ini dapat menjadi fobia yang paling
melumpuhkan karna dapat secara signifikan mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berfungsi pada pekerjaan dan situasi sosial diluar rumah. Di
Amerika, kebanyakan peneliti gangguan panik percaya bahwa agorafobia
selalu hampir berkembang menjadi komplikasi pada pasien dengan
gangguan panik. Meskipun agoraphobia biasanya terjadi bersamaan dengan
gangguan panik, DSM-5 mengklasifikasikan agoraphobia sebagai kondisi
terpisah yang dapat atau tidak berkomorbid dengan gangguan panik. Istilah
agoraphobia dimulai pada tahun 1871 yang mendeskripsikan kondisipasien
yang takut unuk mengadu nasib sendiri di tempat publik. Istilah ini berasal
dari bahasa latin agora dan phobos yang berarti “ketakutan akan pasar”.
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup agorafobia masih kontroversial, bervariasi
antara 2-6% dalam berbagai penelitian. Berdasarkan DSM-5, orang dengan
usia lebih dari 65 tahun memiliki 0,4% prevalensi agorafobia.
2.2.3 Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-5 untuk agoraphobia menetapkan adanya
ketakutan yang nyata atau ansietas sedikitnya satu kondisi dari dua atau
lebih pada 5 kelompok situasi: (1) menggunakan transportasi public (cth,
12
bus, kereta, mobil, pesawat), (2) pada ruangan terbuka (cth, taman, tempat
perbelanjaan, tempat parker, (3) pada tempat yang tertutup (cth, took,
elevator, teater), (4) pada keramaian atau mengantri , (5) sendirian diluar
rumah. Ketakutan dan ansietas harus persisten dan terjadi sekurang-
kurangnya 6 bulan.
Pasien dengan agoraphobia akan menghindari situasi dimana akan
sulit untuk mencarri pertolongan. Mereka lebih memilih untuk ditemani
oleh teman atau anggota keluarga pada jalan yang ramai, toko yang ramai,
ruangan tertutup (seperti jembatan dan elevator) dan dalam kendaraan
tertutup (subway, bus dan pesawat). Pasien mungkin bersikeras untuk harus
ditemani saat keluar rumah. Pasien yang lebih parah kemungkinan menolak
untuk ke luar rumah. Biasanya sebelum diagnosis yang bear dibuay, pasien
mungkin ketakutan bahwa mereka akan gila.
2.2.6 Tatalaksana
Farmakoterapi
13
Benzodiazepin.
Benzodiazepine memiliki awitan yang cepat untuk mengatasi
panik. Beberapa pasien menggunakannya sesuai kebutuhan ketika
terdapat stimulus panik. Alprazolam dan lorazepam merupakan
benzodiazepine yang paling banyak diresepkan. Keberatan utama para
klinisi dengan penggunaan benzodiazepine adalah potensi
ketergantungan, gangguan kognitif dan penyalahgunaan obat terutama
untung penggunaan jangka panjang. Akan tetapi, ketika digunakan
secara tepat dibawah pengawasan medis, benzodiazepine sangat
efekktif dan secara umum dapat ditoleransi. Efek samping paling sering
adalah sakit kepala ringan dan seddasi, yang keduanya akan berkurang
seiring waktu dan perubahan dosis. Benzodiazepine tidak boleh
digunakan dengan alkohol karna dapat meningkatkan efeknya.
14
Meskipun SSRI digunakan sebagai agen lini pertama terapi untuk
gangguan panic dengan atau tanpa agoraphobia, obat trisiklik
clomipramine dan imipramine merupakan yang paling efektif untuk
gangguan tersebut. Dosis harus dititrasinaik secara perlahan untuk
mencegah overstimulasi, dan untuk mencapainya membutuhkan waktu
8 sampai 12 minggu. Monitoring terapi obat mungkin bermanfaat untuk
memastikan pasien dalam dosis obat yang adekuat serta mencegah
toksikasi. Efek samping lainnya dari antidepresan tersebut adalah
efeknya pada kejang serta antikolinergik dan kemungkinan efek yang
berbahaya pada jantung terutama jika overdosis.
Psikoterapi
Psikoterapi suportif
Psikoterapi suportif berkaitan dengan pengguanaan konsep
psikodinamik dan penanganan terapi untuk mempromosikan
penyelamatan secara adaptif. Pertahanan adaptif didorong dan
diperkuat, dan yang maladaptive dikurangi. Terapis membantu dalam
tes realita dan dapat menawarkan nasihat mengenai perilaku.
Terapi perilaku
Pada terapi perilaku, asumpsi dasar bahwa perubahan terjadi
tanpa perkembangan tilikan psikologis ke dalam penyebab yang
mendasari. Tekniknya yaitu penguatan positif dan negative,
desensitisasi sistematik, flooding, immplosiomn, graded exposure,
response prevention, stop thought, teknik relaksasi, terapi control panic,
pengawasan diri dan hipnosis.
15
Terapi kognitif
Hal ini berdasarkan premis bahwa perilaku maladaptive terjadi
secara sekunder akibat distorsi dari bagaimana orang melihat dirinya
sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya.
Terapi virtual
Program komputer telah dikembangkan agar pasien dapat melihat
diri mereka sebagai avata yang kemudian ditempatkan di tempat yang
terbuka atau ramai. Dan ketika mereka mengidentifikasi avatar pada
sesi computer yang berulang, mereka dapat menguasai ansietas mereka
melalui deconditioning.
2.3.2 Epidemiologi
Fobia spesifik adalah gangguan jiwa yang paling banyak pada
perempuan dan terbanyak kedua pada laki-laki (setelah gangguan terkait
zat). Rasio fobia spesifik pada perempuan (14-16%) lebih banyak
dibandingkan laki-laki (5-7%), meskipun fobia darah-suntikan-cedera
mendekati 1 banding 1. Usia puncak onset (awitan) untuk jenis lingkungan
dan darah-suntikan-cedera berkisar antara usia 5-9 tahun, sedangkan pada
fobia situasional (kecuali ketinggian) puncak onset lebih tua yaitu pada usia
pertengahan 20.
Prevalensi dunia seumur hidup dan 12 bulan pada kasus fobia
spesifik adalah 7,4% dan 5,5%; lebih tinggi pada perempuan (9,8%, laki-
laki 4,9%). Median usia onset sekitar 8 tahun. (Wardenaar, 2017)
16
2.3.3 Komorbiditas
Pada fobia spesifik, komorbiditas dapat ditemukan dalam 50-80%
kasus. Gangguan yang sering ditemukan antara lain gangguan ansietas,
mood, dan gangguan terkait zat.
Kasus fobia sosial dengan komorbiditas ditemukan pada 60,5%
dari total kasus, dimana pada 72,6% kasus fobia sosial menyebabkan
timbulnya gangguan-gangguan tersebut. (Wardenaar, 2017)
2.3.4 Etiologi
Prinsip umum terjadinya fobia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain
1) Faktor Perilaku
Menurut teori stimulus-respon, potensi stimulus tertentu
dalam menimbulkan respon dapat perlahan-lahan hilang jika
tidak dilakukan stimulus yang berulang dalam periode waktu
teretntu.
2) Faktor Psikoanalitik
Penjelasan Sigmund Freud mengenai neurosis fobik masih
menjadi penjelasan analtik terhadap fobia spesifik maupun
fobia sosial. Hipotesis menurut Freud adalah fungsi utama dari
ansietas adalah memberikan sinyal kepada ego bahwa ada
dorongan (tidak sadar) untuk mengekspresikan (secara sadar)
untuk memperkuat diri dari ancaman. Freud juga menyebutkan
bawa fobia adalah hasil dari konflik masa kanak-kanank yang
tidak terselesaikan.
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis
konstitusional genetik (kondisi tubuh yang mempredisposisi
suatu penyakit) dan stressor (lingkungan). Studi menyebutkan
bahwa setiap anak memiliki predisposisi terhadap fobia tertentu
17
dan stressor (lingkungan) kronis dapat menciptakan full-blown
fobia. Stressor seperti kematian orang tua, perceraian orang tua,
kritik atau dipermalukan oleh saudara, kekerasan di rumah
dapat mengaktivasi diatesis laten hingga akhirnya muncul
gejala. Pada pasien fobia defense mechanism utama yang
digunakan antara displacement, proyeksi dan menghindar.
3) Faktor Genetik
Fobia spesifik cenderung diturunkan dalam keluarga,
terutama jenis fobia darah-suntikan-cedera. Penelitian
menunjukkan bahwa 2/3 – 3/4 penderita fobia setidaknya
memiliki keluarga (derajat pertama) dengan fobia yang sama.
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis menurut DSM-5 yaitu
A. Rasa takut yang nyata atau ansietas terhadao suatu objek atau
situasi (cth. Terbang, ketinggian, hewan, suntikan, melihat
darah).
Cttn: pada anak rasa takut atau ansietas dapat ditunjukkan
dengan menangis, tantrum, diam tidak bergerak, atau clinging.
B. Objek atau situasi fobik hampir selalu mencetuskan ansietas
atau ketakutan.
C. Menghindari objek atau situasi fobik atau dihadapi dengan
ansietas atau ketakutan yang intens
D. Rasa takut atau ansietas tidak seusai dengan bahaya yang
sebenarnya atau dengan konteks sosial-budaya
E. Rasa takut, ansietas dan menghindar menetap, setidaknya 6
bulan atau lebih
F. Rasa takut, ansietas dan menghindar menyebabkan distres atau
menganggu sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya.
18
G. Gangguan ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala gangguan
jiwa lainnya, seperti panic-like symptoms (pada agoraphobia);
objek atau situasi yang berhubungan dengan obsesi (pada
OCD); teringat akan kejaidan trauma (pada PTSD); perpisahan
(pada separation anxiety disorder); atau situasi sosial (pada
social anxiety disorder).
Tentukan tipe: (Kode sesuai stimulus fobik)
300.29 (F40.218) Binatang (Laba-laba, serangga, anjing)
300.29 (F40.228) Lingkungan alam (ketinggian, badai, air)
300.29 (F40.23x) (1)Darah-(2)suntikan-(3)cedera
300.29 (F40.248) Situasional (pesawat, lift, tempat tertutup)
300.29 (F40.298) Lainnya (suara kera, karakter berkostum)
19
Fobia juga dapat dikelompokan secara tradisional (Greek atau
Bahasa Latin). Beberapa contoh pengelompokan fobia, antara lain
Acrophobia Takut ketinggian
Ailurophobia Takut kucing
Hydrophobia Takut air
Claustrophobia Takut tempat tertutup
Cynophobia Takut anjing
Mysophobia Takut debu
Pyrophobia Takut api
Xenophobia Takut orang asing
Zoophobia Takut hewan
20
mengenai rasa takutnya yang irasional serta tidak adanya
gejala psikotik lainnya seperti pada pasien skizofrenia.
3. Gangguan panik
4. Agoraphobia
5. Hipokondriasis
6. OCD (Obsessive-Compulsive Disorder)
7. Gangguan kepribadian menghindar
8. Gangguan kepribadian paranoid, namun penderita gangguan
kepribadian paranoid, memiliki rasa takut yang menyeluruh.
2.3.9 Tatalaksana
1. Terapi perilaku
Kunci keberhasilan terapi ini adalah komitmen pasien
terhadap terapi, identifikasi masalah dengan jelas dan tindakan
alternatif untuk menghadapi perasaannya. Ada berbagai
macam teknik terapi perilaku, namun yang paling sering
digunakan adalah systematic desensitization oleh Joseph
Wolpe, dimana pasien akan dipaparkan dengan stimulus yang
memicu ansietas kemudian diurutkan dari yang paling tidak
menakutkan hingga yang paling menakutkan. Dengan
penggunaan obat antiansietas, hipnosis dan instruksi untuk
relaksasi pasien akan diajarkan untuk menangani sendiri baik
secara mental maupun fisik. Tindakan ini akan terus diulang
21
sesuai urutan hingga stimulus yang paling menakutkan tidak
lagi mencetuskan gejala ansietas.
Teknik lain yang akhir-akhir ini mulai sering dilakukan
adalah paparan intensif terhadap stimulus fobik melalui
khayalan atau desensitisasi in-vivo. Melalui khayalan, pasien
akahan dipaparkan terus dengan stimulus hingga batas mereka
mampu mentoleransi tasa takutnya. Sedangkan cara in-vivo
memerlukan pasien terapapar dengan stimulus yang
sesungguhnya.
2. Psikoterapi (Insight-oriented)
Psikoterapi insight-oriented memungkinkan pasien
mengetahui asal fobia, peran pertahanan dan menentukan cara
sehat untuk menghadapi stimulus tersebut.
3. Terapi virtual
Terapi ini menggunakan simulasi dari komputer, dimana
penderita akan dipaparkan dengan stimulus fobik melalui layar
komputer. Studi kasus pada pasien acrophobia, dimana pasien
merasa takut untuk menggunakan lift, terapi dilakukan dengan
virtual reality seperti sedang di dalam lift dan perlahan-lahan
kecemasan pasien mulai berkurang. (Hirsch, 2018)
4. Terapi lainnya
Hipnosis, terapi suportif, terapi keluarga dapat dilakukan
untuk mengatasi fobia spesifik. Hipnosis dilakukan untuk
memberikan sugesti bahwa stimulus fobik tersebut tidak
berbahaya, atau bisa juga diajarkan self-hypnosis kepada
pasien untuk membantuk menenangkan/relaksasi ketika
berhadapan dengan fobianya. Hasil studi kasus menunjukkan
terapi kombinasi antara hipnosis dan VRE (Virtual Reality
22
Exposure) dapat mengurangi gejala fobia spesifik (acrophobia
dan glossophobia). (Hirsch, 2018)
Terapi suportif dan terapi keluarga dilakukan dengan
memaparkan pasien dengan objek fobianya secara langsung.
Tujuan lain dari terapi keluarga adalah agak keluarga mengerti
mengenai masalah pasien.
5. Farmakoterapi
Farmakoterapi pada fobia spesifik memiliki efikasi yang
lebih rendah dibanding terapi perilaku. Farmakoterapi yang
dapat diberikan antara lain benzodiazepine, antidepresan
SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), -blocker,
dll. Short-acting benzodiazepin dapat diberikan untuk
penggunaan di saat khusus, seperti sebelum lepas landas pada
pasien yang takut naik pesawat (Lorazepam 0,5-1 mg 1-2 jam
sebelum paparan (-blocker Propanolol 10-40 mg). (Singh,
2016)
Sebenarnya fobia spesifik yang timbul di situasi tertentu
memiliki gejala yang sama dengan gangguan panik (panic
disorder), jadi obat yang efektif untuk gangguan panik dapat
digunakan juga untuk kasus ini. (Singh, 2016)
23
2.4.2 Epidemiologi
Studi epidemiologis menunjukkan perempuan lebih banyak
menderita dibandingkan laki-laki. Puncak onset fobia sosial adalah remaja,
namun banyak juga kasus dengan onset termuda 5 tahun hingga tertua 35
tahun.
Prevalensi 30 hari, 12 bulan dan seumur hidup pada kasus fobia
sosial adalah 1,3; 2,4 dan 4% di seluruh dunia. Prevalensi terendah adalah
negara berkembang seperti di Afrika dan Mediterania, sedangkan prevalensi
tertinggi di negara maju seperti Amerika dan bagian Pasifik. Jika
dihubungkan dengan sosio-demografik didapatkan fobia sosial lebih banyak
terjadi pada usia muda, jenis kelamin perempuan, belum menikah,
pendidikan rendah, dan pendapatan rendah. (Stein dkk, 2017)
2.4.3 Komorbiditas
Penderita fobia sosial biasanya memiliki riwayat gangguan
ansietas, mood, gangguan terkait zat dan bulimia nervosa.
2.4.4 Etiologi
1. Faktor perilaku
Hasil studi menunjukkan kelompok penderita fobia sosial
memiliki orang tua yang kurang peduli, lebih menolak atau
lebih overprotective terhadap anaknya.
2. Faktor Neurokemikal
Berhasilnya farmakoterapi fobia sosial dengan antagonis
reseptor -adrenergik memunculkan teori bahwa pasien
dengan fobia melepaskan lebih banyak norepinephrine
daripada epinephrine baik di sentral maupun perifer
dibandingkan dengan orang yang non-fobia; atau orang
tersebut lebih sensitif terhadap stimulasi adrenergik.
24
Penggunaan MAOIs yang lebih efektif dibandingkan obat
trisiklik memunculkan hipotesis baha aktivitas dopaminergik
berhubungan dengan patogenesis gangguan ini.
3. Faktor Genetik
Keluarga derajat pertama dari penderita fobia sosial sekitar
3 kali lebih berisiko mengalami fobia sosial dibandingkan
dengan keluarga dengan gangguan jiwa.
25
G. Rasa takut, ansietas atau menghindar menyebabkan distres atau
gangguan di kehidupan sosial, pekerjaan atau bagian lainnya.
H. Rasa takut, ansietas atau menghindar tidak disebabkan oleh
efek fisiologis dari suatu zat (penyalahgunaan obat) atau
keadaan medis lainnya.
I. Rasa takut, ansietas atau menghindar bukan gejala dari
gangguan jiwa lain, seperti gangguan apanik, gangguan
dismorfik tubuh, atau ASD.
J. Jika ada keadaan medisi lainnya (Parkinson’s disease,
obesitas, cacat akibat luka bakar atau cedera), rasa takut,
ansietas dan menghindar tidak berhubungan dengannya atau
berlebihan.
26
2.4.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding fobia sosial antara lain agoraphobia, gangguan
panik, gangguan kepribadian menghindar, gangguan kepribadian skizoid
dan gangguan depresif berat. Penderita agoraphobia biasanya dapat lebih
tenang dengan kehadiran orang lain di lingkungan yang mencetuskan
ansietas, namun orang dengan fobia sosial akan menjadi bertambah cemas
dengan kehadiran orang lain. Agoraphobia biasanya ditandai dengan sesak
napas, pusing, sesak serta takut mati, sedangkan fobia sosial biasanya
ditandai dengan wajah yang kemerahan, kedutan otot dan cemas akan
diperhatikan dengan seksama.
Cukup sulit membedekan fobia sosial dengan gangguan
kepribadian menghindar, sehingga perlu dilakukan wawancara lebih lanjut.
Perilaku menghindari dapat menjadi salah satu tanda depresi, namun dengan
wawancara psikitari biasanya dapat langsung diketahui gejala depresi
lainnya. Sikap menghindar pada gangguan kepribadian skizoid bukan
karena takut bersosialisasi namun karena tidak ada minat bersosialisasi.
2.4.8 Tatalaksana
Psikoterapi maupun farmakoterapi dapat diberikan untuk fobia
sosial, bahkan beberapa studi mengatakan penggunaan kedua metode terapi
ini memberikan hasil yang lebih baik.
Farmakoterapi yang dapat diberikan antara lain SSRIs sebagai lini
pertama, lalu benzodiazepine (alprazolam, clonazepam), venlafaxine dan
buspirone. Fobia sosial yang berhubungan dengan performance
27
(pementasan) biasanya menggunakan inhibitor reseptor -adrenergik
(atenolol 50-100 mg atau propanolol 20-40 mg) yang diminum 1 jam
sebelum pementasan. Bisa juga diberikan short atau intermediate acting
benzodiazepine (lorazepam, alprazolam).
Psikoterapi biasanya merupakan kombinasi dari metode perilaku
dan kognitif, seperti cognitive retraining, desensitisasi dan pelatihan selama
terapi maupun di rumah.
2.5.2 Epidemiologi
Gangguan ansietas menyeluruh adalah suatu keadaan yang lazim,
perkiraan yang masuk akal untuk prevalensi 1 tahun berkisar antara 3 dan 8
persen. Rasio perempuan banding laki-laki pada gangguan ini sekitar 2
banding 1 tetapi rasio perempuan banding laki-laki yang dirawat inap di
rumah sakit untuk gangguan ini sekitar 1 banding 1. Pada gangguan
ansietas, sekitar 25 persen pasien mengalami gangguan ansietas
menyeluruh. Gangguan ini biasanya terjadi pada saat remaja tua atau
dewasa muda, walaupun banyak kasus ditemukan pada dewasa lanjut.
28
2.5.3 Komorbiditas
Gangguan ansietas menyeluruh mungkin adalah gangguan yang
paling sering muncul bersamaan dengan gangguan jiwa lain, biasanya fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan panik, atau gangguan depresif. Mungkin 50
hingga 90 persen pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh memiliki
gangguan panik. Gangguan ansietas menyeluruh dibedakan dengan
gangguan panik karena tidak adanya ganggun panik yang spontan. Suatu
tambahan presentase pasien yang tinggi cenderung memiliki gangguan
depresif berat. Gangguan lazim lain yang terkait gangguan ansietas
menyeluruh adalah gangguan distimik, fobia sosial dan spesifik, serta
gangguan terkait zat.
2.5.4 Etiologi
Seperti kebanyakan gangguan jiwa, penyebab gangguan ansietas
menyeluruh tidak diketahui. Sebagaimana baru-baru ini didefinisikan,
gangguan ansietas menyeluruh mungkin memengaruhi suatu kelompok
orang yang heterogen. Mungkin karena suatu derajat ansietas tertentu
bersifat normal dan adaptif, membedakan faktor penyebab biologis dan
faktor psikologis sulit dilakukan. Faktor biologis dan psikologis mungkin
bekerja sama.
- Faktor Biologis
Efektivitas terapeutik benzodiazepin dan azaspiron, contohnya
buspiron (BuSpar) telah memfokuskan upaya riset biologis pada asam
γ-aminobutirat dan sistem neurotransmitter serotonin. Benzodiazepin
(yang merupakan agonis reseptor benzodiazepin) diketahui
mengurangi ansietas sedangkan flumazenil (Romazicon) (suatu
antagonis reseptor benzodiazepin) dan β-karbolin (suatu agonis
kebalikan reseptor benzodiazepin) diketahui mencetuskan ansietas.
Walaupun tidak ada data meyakinkan yang menunjukkan bahwa
reseptor benzodiazepin abnormal pada pasien dengan gangguan
29
ansietas menyeluruh, beberapa peneliti telah terfokus pada lobus
oksipitalis yang memiliki konsentrasi reseptor benzodiazepin paling
banyak di otak. Area otak lain yang didalilkan terlibat dalam
gangguan ansietas menyeluruh adalah ganglia basalis, sistem limbik,
dan korteks frontalis. Sistem neurotransmitter lain yang menjadi
subjek penelitian gangguan ansietas menyeluruh mencakup sistem
neurotransmitter norepinefrin, glutamat, dan kolesistokinin. Sejumlah
bukti menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan ansietas
menyeluruh mungkin memiliki subsensitivitas reseptor α2-adrenergik,
seperti yang ditunjukkan dengan pelepasan hormon pertumbuhan yang
tumpul setelah infus klonidin (Catapres).
Studi lain menunjukkan komponen genetik yang khas, tetapi
sulit diukur pada gangguan ansietas menyeluruh. Sekitar 25 persen
kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh
juga mengalami gangguan yang sama. Sejumlah studi kembar
melaporkan adanya angka kejadian bersama 50 persen pada kembar
monozigot dan 15 persen pada kembar dizigot.
- Faktor Psikososial
Dua kelompok pikiran utama mengenai faktor psikososial yang
menyebabkan timbulnya gangguan ansietas menyeluruh adalah
kelompok perilaku-kognitif dan kelompok psikoanalitik. Menurut
kelompok perilaku-kognitif, pasien dengan gangguan ansietas
menyeluruh memberikan respons pada hal-hal yang secara tidak benar
dan tidak akurat dianggap sebagai bahaya. Ketidakakuratan ini
ditimbulkan melalui perhatian selektif terhadap hal kecil negatif di
lingkungan dengan distorsi pemprosesan informasi dan pandangan
yang sangat negatif terhadap kemampuan beradaptasi diri sendiri.
Kelompok psikoanalitik mendalilkan bahwa ansietas adalah gejala
konflik yang tidak disadari dan tidak terselesaikan. Teori psikologis
ini pertama kali disampaikan Sigmund Freud pada tahun 1909.
30
2.5.5 Diagnosis
Gangguan ansietas menyeluruh dicirikan dengan pola yang sering,
ansietas dan kekhawatiran yang menetap dengan proporsi yang lebih
sehingga mengakibatkan suatu gangguan yang menjadi fokus suatu
kekhawatiran. Perbedaan antara gangguan ansietas menyeluruh dan ansietas
normal adalah melalui penekanan pada penggunaan kata “berlebihan” dan
melalui spesifikasi bahwa gejala dapat menyebabkan hendaya atau distres
yang signifikan.
Kriteria Diagnostik DSM-V untuk Gangguan Ansietas Menyeluruh
A. Ansietas dan kekhawatiran berlebihan (perkiraan yang menakutkan),
terjadi hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan, mengenai
sejumlah kejadian atau aktivitas (seperti bekerja atau bersekolah).
B. Orang tersebut merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
C. Ansietas dan kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari
keenam gejala berikut (dengan beberapa gejala setidaknya muncul
hampir setiap hari selama 6 bulan).
Perhatikan: hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak.
1. Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
2. Mudah merasa lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Mudah marah
5. Otot tegang
6. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur yang
gelisah dan tidak puas
D. Ansietas, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan distres yang
secara klinis bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area
penting fungsi lainnya.
31
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisologis langsung dari suatu zat
(mis., penyalahgunaan obat, obat-obatan) atau keadaan medis umum
(mis., hipertiroidisme).
F. Gangguan tidak bisa dijelaskan oleh gangguan medis lainnya.
32
Pasien biasanya datang untuk mendapatkan perhatian klinisi pada usia 20-an
walaupun kontak pertama dengan klinisi dapat terjadi pada usia berapapun.
Hanya sepertiga pasien yang memiliki gangguan ansietas menyeluruh
mencari terapi psikiatri. Banyak pasien datang ke dokter umum, spesialis
penyakit dalam, spesialis jantung, spesialis paru atau gastroenterologi
mencari terapi untuk komponen gangguan somatik mereka. Karena
tingginya insiden adanya gangguan jiwa komorbid pada pasien dengan
gangguan ansietas menyeluruh, perjalanan klinis dan prognosis gangguan
ini sulit diprediksi. Meskipun demikian, sejumlah data menunjukkan bahwa
peristiwa hidup yang negatif sangat meningkatkan kemungkinan awitan
gangguan ansietas menyeluruh untuk timbul. Dengan definisi, gangguan
ansietas menyeluruh adalah suatu keadaan kronis yang mungkin akan
menetap seumur hidup.
2.5.9 Tatalaksana
Terapi yang paling efektif untuk gangguan ansietas menyeluruh
mungkin adalah terapi yang menggabungkan pendekatan psikoterapi,
farmakoterapi dan suportif. Terapi ini dapat memakan waktu yang cukup
lama bagi klinisi yang terlibat, baik bila klinisi tersebut adalah seorang
psikiater, dokter keluarga, atau spesialis lain.
- Psikoterapi
Pendekatan psikoterapeutik utama gangguan ansietas
menyeluruh adalah terapi perilaku-kognitif, suportif dan psikoterapi
berorientasi tilikan. Pendekatan kognitif secara langsung ditujukan
pada distorsi kognitif pasien yang didalilkan dan pendekatan perilaku
ditujukan pada gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang
digunakan pada pendekatan perilaku adalah relaksasi dan biofeedback.
Terapi suportif menawarkan pasien keamanan dan kenyamanan,
walaupun efektivitas jangka panjangnya diragukan. Psikoterapi
berorientasi tilikan berfokus pada membuka konflik yang tidak
disadari dan mengidentifikasi kekuatan ego.
33
- Farmakoterapi
Karena gangguan bersifat jangka panjang, suatu rencana terapi
harus dilakukan dengan teliti. Tiga obat utama yang harus
dipertimbangkan untuk terapi gangguan ansietas menyeluruh adalah
buspiron, benzodiazepin, dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
(SSRI). Obat lain yang dapat berguna adalah obat trisiklik (contohnya
impramin[Tofranil], antihistamin, dan antagonis β-adrenergik
(contohnya propranolol [inderal]). Walaupun terapi obat untuk
gangguan ansietas menyeluruh kadang-kadang dilihat sebagai terapi 6
hingga 12 bulan, sejumlah bukti menunjukkan bahwa terapi haruslah
jangka panjang dan mungkin seumur hidup. Sekitar 25 persen pasien
kambuh di bulan pertama setelah penghentian terapi dan 60 hingga 80
persen kambuh pada perjalanan tahun berikutnya.
Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan obat pilihan untuk gangguan ansietas
menyeluruh. Obat ini diresepkan bila perlu sehingga pasien
mengonsumsi benzodiazepin kerja cepat saat mereka terutama merasa
cemaas
Buspiron
Buspiron adalah agonis parsial reseptor 5 HT1A dan tampaknya
paling efektif pada 60 hingga 80 persen pasien denga gangguan
ansietas menyeluruh. Data menunjukkan bahwa buspiron lebih efektif
mengurangi gejala kognitif pada gangguan ansietas menyeluruh
dibandingkan mengurangi gejala somatik.
Venlafaksin
Venlafaksin (Effexor) efektif untuk mengobati insomnia,
konsentrasi yang buruk, kegelisahan, iritabilitas, dan ketegangan otot
yang berlebihan akibat gangguan ansietas menyeluruh.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
SSRI dapat efektif terutama untuk pasien dengan komorbid
depresi. Kerugian SSRI yang menonjol, terutama fluoxetine (Prozac,
34
adalah bahwa obat ini meningkatkan ansietas secara sementara. Oleh
sebab itu, SSRI setralin (Zoloft) atau parosetin (Paxil) adalah pilihan
yang lebih baik. Sangatlah beralasan untuk memulai terapi dengan
setralin atau paroksetin ditambah benzodiazepin kemudian
menurunkan dosis benzodiazepin setelah 2 hingga 3 minggu.
Obat lain
Jika terapi koncensional tidak efektif tidak seluruhnya efektif,
kemudian diindikasikan pengkajian ulang klinis untuk menyingkirkan
adanya keadaan komorbid seperti depresi, atau untuk memahami lebih
jauh stres lingkungan pasien. Obat lain yang telah terbukti berguna
untuk gangguan ansietas menyeluruh mencakup obat trisiklik dan
tetrasiklik. Antagonis reseptor β-adrenergik dapat mengurangi
manifestasi somatik ansietas tetapi tidak keadaan yang mendasari, dan
penggunaannya biasanya terbatas pada ansietas situasional seperti
ansietas penampilan.
2.6.1.2 Epidemiologi
Keberadaan gejala ansietas yang berkaitan dengan keadaan
medis umum lazim ditemukan walaupun insiden gangguan ini
bervariasi untuk setiap keadaan medis umum yang spesifik.
2.6.1.3 Etiologi
35
Suatu kisaran luas keadaan medis dapat menyebabkan gejala
yang serupa dengan gangguan ansietas. Hipertiroidisme,
hipotiroidisme, hipoparatiroidisme, dan defisiensi vitamin B12 sering
dikaitkan dengan gejala ansietas. Hipoglikemia juga dapat menyerupai
gejala gangguan ansietas. Keadaan medis yang beragam dan dapat
menimbulkan gejela gangguan ansietas dapat menimbulkannya
melalui mekanisme umum, yaitu sistem noradrenergik, walaupun efek
masih serotonergik juga masih dipelajari.
2.6.1.4 Diagnosis
Diagnosis gangguan ansietas diakibatkan oleh kondisi medis
lain dengan memerlukan gejala ansietas yang disebabkan oleh satu
atau lebih penyakit medis. DSM V menyarankan klinisi merinci
apakah gangguan ini ditandai dengan gejala ansietas menyeluruh atau
serangan panik. Klinsi harus meningkatkan kecurigaan untuk dignosis
ini ketika ansietas kronis atau ansietas paroksismal disertai dengan
penyakit fisik yang diketahui menyebabkan gejala tersebut pada
sejumlah pasien. Penyakit hipertensi paroksismal pada pasien ansietas
dapat menunjukkan bahwa pemerikaan feokromositoma adalah tepat.
Pemeriksaan medis umum dapat mengungkapkan adanya diabetes,
tumor adrenal, penyakit tiroid, atau keadaan neurologis. Contohnya,
sejumlah pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki episode
ansietas atau rasa takut yang ekstrem sebagai satu-satunya manifestasi
aktivitas epileptiknya.
36
menyimpulkan bahwa seorang pasien mengalami gangguan ansietas
akibat keadaan medis umum, pasien harus dengan jelas memiliki
ansietas sebagai gejala utama dan harus memiliki gangguan medis
nonpsikiatri spesifik yang menjadi penyebab. Diagnosis gangguan
penyesuaian dengan ansietas juga harus dipertimbangkan dalam
diagnosis banding.
2.6.1.6 Diagnosis Banding
Gejala gangguan ansietas akibat keadaan medis umum dapat
identik dengan gejala gangguan ansietas primer. Suatu sindrom yang
serupa dengan gangguan panik adalah gambaran yang paling lazim, dan
sindrom serupa dengan fobia yang paling jarang ditemukan.
Serangan panik
Pasien dengan kardiomiopati memiliki insiden tertinggi dari
gejala panik sekunder. Satu studi melaporkan bahwa 83 persen pasien
dengan kardiomiopati yang menurunggu transplantasi jantung
mengalami gejala gangguan panic
Ansietas Menyeluruh
Prevalensi yang tinggi pada gejala gangguan ansietas
menyeluruh telah dilaporkan pada pasien dengan sindrom sjorgen, dan
ini mungkin dihubungkan dnga efek sindrom sjorgen pada fungsi
kortikal dan subkortikal dan fungsi tiroid. Prevalensi tertinggi pada
gejala gangguan ansietas menyeluruh ditemukan pada penyakit graves
(hipertiroid).
Fobia
Gejala fobia jarang terjadi, walaupun satu studi melaporkan
prevalensi sebesar 17 persen dari fobia sosial pada pasien dengan
penyakit parkinson.
37
Pengalaman ansietas yang tidak juga membaik dapat
menimbulkan ketidakmampuan pada pasien dan mengganggu setiap
aspek kehidupan, termasuk fungsi sosial, pekerjaan, dan psikologis.
Pada sejumlah kasus, gejala gangguan ansietas berlanjut bahkan setelah
keadaan medis primer diobati, contohnya setelah suatu periode
ensefalitis. Ketika gejala gangguan ansietas ada untuk suatu periode
yang cukup lama setelah gangguan medis diobati, gejala yang tersisa
mungkin harus diobati sebagai gejala primer yaitu dengan psikoterapi
atau farmakoterapi atau keduanya.
2.6.1.8 Tatalaksana
Terapi utama gangguan ansietas akibat keadaan medis umum
adalah terapi untuk keadaan medis yang mendasari. Jika pasien juga
memiliki gangguan penggunaan alkohol atau zat lain, gangguan ini juga
harus diterapi untuk memperoleh kendali gejala gangguan ansietas. Jika
penyingkiran keadaan medis primer tidak memperbaiki gejala ansietas,
terapi gejala tersebut harus mengikuti pedoman terapi untuk gangguan
jiwa spesifik. Umumnya, teknik modifikasi perilaku, agen ansiolitik,
dan antidepresan sertonergik merupakan modalitas terapi yang paling
efektif.
2.6.2.2 Epidemiologi
Gangguan ansietas yang dicetuskan zat adalah biasa, keduanya
merupakan hasil dari rekreasi obat dan penggunaan obat sesuai resep.
38
2.6.2.3 Etiologi
Suatu kisaran luas zat dapat menyebabkan gejala ansietas yang
menyerupai gangguan ansietas DSM V. Walaupun simpatomimetik
(seperti amfetamin, kokain, dan kafein) merupakan zat yang paling
sering dikaitkan dengan produksi gejala gangguan ansietas, banyak obat
serotonergik dan MDMA juga dapat menimbulkan sindrom ansietas
akut maupun kronis pada pengguna obat ini.
2.6.2.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan ansietas yang disertai zat
mengharuskan adanya ansietas dan serangan panik. Pedoman DSM V
menyatakan bahwa gejalanya harus timbul selama penggunaan zat atau
dalam 1 bulan setelah penghentian penggunaan zat. Struktur diagnosis
mencakup merinci zat (contohnya kokain), merinci keadaan yang sesuai
selama awitan (contohnya intoksikasi), dan menyebut pola gejala
spesifik (contohnya serangan panik).
39
2.6.2.7 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Perjalanan gangguan dan prognosis umumnya bergantung pada
penyingkiran zat penyebab yang terlibat serta kemampuan jangka
panjang orang tersebut untuk membatasi penggunaan zat tersebut. Efek
ansiogenik sebagian besar obat bersifat reversibel. Ketika ansietas tidak
membaik dengan penghentian obat, klinisi harus mempertimbangkan
kemungkinan zat tersebut menyebabkan kerusakan otak yang
ireversibel.
2.6.2.8 Tatalaksana
Terapi primer gangguan ansietas yang dicetuskan zat adalah
menyingkirkan zat penyebab yang terlibat. Kemudian klinisi harus
berfokus untuk menemukan terapi alternatif jika zat tersebut merupakan
obat yang diindikasikan secara medis, juga untuk membatasi pajanan
pasien jika zat tersebut didapatkan melalui pajanan lingkungan, atau
mentatalaksana gangguan terkait zat yang mendasari. Jika gejala
gangguan ansietas berlanjut walaupun penggunaan zat telah dihentikan,
terapi gejala gangguan ansietas sesuai untuk keadaan ini.
2.6.3.2 Epidemiologi
40
Dua pertiga pasien dengan gejala depresif memiliki gejala
ansietas yang menonjol, dan sepertiganya dapat memenuhi kriteria
diagnosis gangguan panik. Sejumlah klinisi dan peneliti memperkirakan
bahwa prevalensi gangguan ini pada populasi umum adalah 10 persen
dan di klinik pelayanan primer sampai setinggi 50 persen, walaupun
perkiraan konservatif mengesankan prevalensi sekitar 1 persen pada
populasi umum.
2.6.3.3 Etiologi
Empat garis bukti penting mengesankan bahwa gejala
ansietas dan gejala depresif terkait secara kausal pada sejumlah pasien
yang mengalami gejala ini. Pertama, sejumlah peneliti melaporkan
temuan neuroendokrin yang serupa pada gangguan depresif dan
ansietas. Kedua, sejumlah peneliti melaporkan data yang menunjukkan
bahwa hiperaktivitas sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan
pada sejumlah pasien. Ketiga, banyak studi menemukan bahwa obat
serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac) dan clomipramine (Anafranil),
berguna dalam terapi gangguan depresif dan ansietas. Keempat,
sejumlah studi keluarga melaporkan data yang menunjukkan bahwa
gejala ansietas dan depresi berhubungan pada secara genetik sedikitnya
beberapa keluarga.
2.6.3.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk gangguan ini adanya gejala
subsindromal dari gangguan depresif dan ansietas, serta adanya berapa
gejala autonomik seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut
yang bergejolak. Sejumlah studi pendahulu menunjukkan bahwa
sensitivitas dokter umum untuk sindrom gangguan campuran ansietas
depresi masih rendah walaupun kurangnya pengenalan ini dapat
mencerminkan kurangnya label diagnostik yang sesuai bagi pasien.
41
2.6.3.5 Gejala Klinis
Gambaran klinis gangguan campuran ansietas depresif
menggabungkan gejala gangguan ansietas dan sejumlah gejala
gangguan depresif. Di samping itu, gejala hiperaktivitas sistem saraf
otonom, seperti keluhan gastrointestinal, lazim ditemukan dan ikut
berperan pada banyaknya pasien yang ditemukan dan ikut berperan
pada banyaknya pasien yang ditemukan di klinik medis rawat jalan.
2.6.3.8 Tatalaksana
Karena studi yang membandingkan modalitas terapi
gangguan campuran ansietas depresif tidak tersedia, klinisi mungkin
lebih cenderung memberikan terapi berdasarkan gejala yang muncul,
42
keparahannya, dan tingkat pengalaman klinisi tersebut dengan berbagai
modalitas terapi. Pendekatan psikoterapeutik dapat melibatkan
pendekatan yang terbatas waktu seperti terapi kognitif atau modifikasi
perilaku, walaupun sejumlah klinisi menggunakan pendekatan yang
kurang terstruktur seperti psikoterapi berorientasi tilikan. Farmakoterapi
untuk gangguan campuran ansietas depresif dapat mencakup obat
antiansietas, antidepresif atau keduanya. Diantara antidepresan,
antidepresan serotonergik (Contoh: fluoxetine) dapat menjadi obat yang
paling efektif dalam mengobati gangguan campuran ansietas depresif.
BAB III
KESIMPULAN
43
44
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin D, Anderson I, Nutt D dkk. 2005. Evidence based guideline for the
pharmacological treatment of anxiety disorders; recommendations from
tge British Association for Psychopharmacology. Journal of
Pharmacology, 19:567-96.
Hirsch JA. 2018. Integrating Hypnosis with Other Therapies for Treating Specific
Phobias: A Case Series. American Journal of Clinical Hypnosis, 60: 367–
377.
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa – Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta.
Singh, Jarnail dan Janardhan Singh. 2016. Treatment options for the specific
phobias. International Journal of Basic & Clinical Pharmacology. 5(3):
593-598.
Stein DJ; dkk. 2017. The cross-national epidemiology of social anxiety disorder:
Data from the World Mental Health Survey Initiative. 15:143.
45