Anda di halaman 1dari 39

LIBRARY MANAGER

DATE SIGN

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2018
UNIVERSITAS HASANUDDIN

CHILD ABUSE

Disusun oleh:
Nursyahidah binti Jusoh C111 12 872
Awaluddin Jamal C111 12 179
M. Jordha Heryndra C111 13 325

Pembimbing Residen :
dr. Geebert Jermia Massayang Tandiria Dundu

Supervisor :
dr. Jerny Dase, M.Kes, SH, M.Kes, SpF

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama :Nursyahidah binti Jusoh C111 12 872
Awaluddin Jamal C111 12 179
M. Jordha Heryndra C111 13 325

Judul Referat : Child Abuse

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2018

Mengetahui,

Supervisor Residen Pembimbing

(dr. Jerny Dase, SH, M.Kes, SpF) (dr. Geebert Jermia Massayang Tandiria Dundu)
DAFTAR ISI
SAMPUL…………………………………………………………………………………….. i
DISCLAIMER.......................…………………………………………………………………ii
HALAMAN PENESAHAN………………………..…………………………………………iii
DAFTAR ISI......................………………………..………………………………………….iv
STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA………………………………………..v
KERANGKA TEORI…………………………………………………………………………vi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………3
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ……………………..…………………………………………………35
STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap
anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan,
pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan
seksual. Kekerasan terhadap anak tak cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual,
tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi.

Berdasarkan penelitian Hillis, et.al (2016) berjudul "Global Prevalence of Past-Year


Violence Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates," angka
kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2014 terjadi di Asia. Ada lebih dari 714 juta,
atau 64 persen dari populasi anak-anak di Asia, mengalami setidaknya satu bentuk
kekerasan berat. Jika kekerasan yang dinilai lebih ringan seperti memukul pantat dan
menampar wajah ikut dihitung, angkanya lebih besar lagi: 888 juta anak-anak atau
setara 80 persen populasi anak di Asia.2

Khusus wilayah Asia-Pasifik, kekerasan emosional dilaporkan oleh hampir satu dari
tiga anak perempuan (32 persen) dan satu dari empat anak laki-laki (27 persen).
Angka ini terdapat dalam penelitian "The Burden of Child Maltreatment in the East
Asia and Pacific Region, Child Abuse & Neglect" dari Fang. et al, (2015) yang diolah
dalam studi D. Fry (2016) “Preventing Violence Against Children and How This
Contributes to Building Stronger Economics.”3

Sementara itu, prevalensi pengabaian yang dialami anak laki-laki sebesar 26 persen
dan 27 persen pada anak perempuan. Dalam hal kekerasan fisik, anak laki-laki
cenderung mengalami lebih banyak dengan prevalensi sebesar 17 persen, sedangkan
anak perempuan sebesar 12 persen.

Seperti di Asia Pasifik, kekerasan terhadap anak di Indonesia pun masih cukup tinggi.
"Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013" dari Kementerian Sosial
memperlihatkan bahwa kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar
dibandingkan anak perempuan. Jumlahnya mencapai hampir separuh populasi anak
laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen. Pada anak perempuan,
prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).

Dilihat berdasarkan jenisnya, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan


emosional dibandingkan fisik. Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88.24 persen
anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik. Untuk kategori kekerasan
emosional, sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan
menyatakan pernah mengalaminya.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Anak

Beberapa pengertian anak yang termuat dalam undang-undang yaitu:

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Definisi
ini sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on Rights of Child) tentang
definisi anak dan Pasal 1 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan
Anak). 4

Menurut pasaal 45 KUHP, pengertian anak adalah orang yang belum cukup
umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang belum
mencapai usia 16 tahun. 5

Seluruh bagian dalam Konvensi ini mengatur pemenuhan hak-hak anak. Ada 4
prinsip dasar hak anak yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, yaitu:

a. Non-diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.6

2.2 Pengertian Child Abuse atau Pelecehan Anak

Child Abuse atau Pelecehan anak adalah penganiayaan fisik, seksual atau
emosional terhadap anak-anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan
atau serangkaian tindakan atau kelalaian oleh orang tua atau lainnya pengasuh
yang dapat menimbulkan dalam bahaya, potensi bahaya, atau ancaman bahaya
untuk anak. Sebagian besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah, dengan
jumlah yang lebih kecil terjadi disekolah organisasi atau tempatnya bermain.
Menurut Vander Zander (1989), Kekerasan adalah "Suatu bentuk penyerangan
secara fisik atau melukai anak" dan perbuatan ini justru dilakukan oleh pengasuhnya
(orang tua atau pengasuh yang bukan keluarga).

Menurut WHO (2004) kekerasan pada anak adalah suatu tindakan penganiayaan
atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual,
melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara
nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat
atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung
jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.

2.2 Sejarah

Sindrom Anak dipukuli pertama kali dijelaskan oleh spesialis kedokteran forensik
Perancis, Auguste Ambroise Tardieu (10 April 1818 - 12 Januari 1879). Dalam
pengakuan deskripsi pertama dikenal sebagai Tardieu Sindrom.

2.3 Klasifikasi Kekerasan Pada Anak

Berdasarkan pada pengaruh dan sifat-sifatnya, kekerasan pada anak dapat dibagi
menjadi atas beberapa kategori:

(i) Kekerasan Fisik (Physical Abuse)

Kekerasan fisik pada anak adalah "non accidental injuri" pada anak mulai dari
ringan sampai berat sampai pada trauma neurologist yang berat bahkan sampai
pada kematian. Salah perlakuan secara fisik dapat dianggap terjadi ketika anak'
dengan sengaja disakiti secara fisik atau ditempatakan pada kondisi yang
memungkinkan disakiti secara fisik.(Powers and Jaklisch, 1998).

Cedere fisik akibat hukuman yang diluar batas ,dan perilaku pelaku yang
agresif , kekejaman dalam memberikan hukuman pada anak. Cedera bisa
diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, memar
dengan berbagai tingkat penyembuhan, fraktur, luka pada mulut , bibir, rahang,
mata , perineal, dan pemberian racun.

Tanda tanda physical abuse lebih mudah dilihat daripada akibat dari mental
abuse.
(ii) Pelecehan Secara Seksual (Sexual Abuse)

Kekerasan seksual pada anak baik yang menggunakan pendekatan persuasif


ataupun paksaan pada seorang anak untuk mengadakan perilaku atau kegiatan
seksual yang nyata.

Ada Beberapa definisi mengenai pelecehan secara seksual , tetapi belum ada
definisi standar pelecehan seksual yang dapat diterima. Di banyak negara, istilah
pelecehan seksual, meliputi "any seksual activity with someone who is not
legally competent to give consent, or has refused consent" (Innnocenti, 1997:7).
Oleh karena itu, tuntutan terhadap pelecehan secara seksual akan diterapkan
bahkan pada kasus di mana seseorang dibawah umur yang diizinkan seolah
pasangan yang bersedia atau menganjurkan.

Definisi kegiatan seksual kriminal juga meliputi kegiatan seksual pada semua
umur dengan anggota keluarga dekat (incest). Dengan demikian, maka "The
justification for these protective measures comes from the growing body
evidence that such activity can cause both phisical injury to still developping
bodies and serious psichological damage." (Innocenti, 1991:8).

Disisi lain, di konvensi hak anak dinyatakan bahwa pengesahan negara harus
mengambil langkah langkah nasional, bilateral, multilateral, untuk mencegah:

 Dorongan atau paksaan anak untuk melakukan kegiatan seksual yang


melanggar hukum.
 Eksploitasi anak dalam prostitusi atau praktek seksual yang cacat
hukum.
 Eksploitasi anak dalam pertunjukan materi pornografi.

Hal tersebut dengan demikian dapat dianggap sebagai pelecehan secara seksual.
Walaupun demikian, bentuk bentuk eksploitasi seksual lain dapat juga termasuk
seperti pelecehan oleh orang dewasa dan pemberian upah atau hal lain yang
pada anak atau orang atau pihak ketiga dimana anak diperlakukan sebagai obyek
seks dan sebagai obyek komersial" (Innocenti, 1991:11).

Definisi lain dari pelecehan secara seksual sebagai segala pelanggaran seksual
yang dilakukan atau diizinkan untuk dilakukan, terhadap orang muda oleh orang
dewasa atau orang lain yang secara sah bertanggungjawab untuknya. Hal ini
dapat meliputi menyentuh anak dengan maksud kepuasan seksual atau paksaan
anak untuk menyentuh seorang dewasa, hubungan seksual, memperlihatkan
kegiatan seksual kepada anak, exhibisionisme, atau pornografi atau mengizinkan
anak melakukan hubungan seksual yang tidak sesuai dengan perkembangannya.

Akibat dari pelecehan seksual terhadap anak ini mengakibatkan efek-efek


psikologis, dan klinis ini sulit dibuktikan.

Kekerasan seks dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya ( kandung
atau tiri), saudara kandung atau orang lain, pengasuh anak, guru, teman atau
orang-orang lain yang perlu diwaspadai.

(iii) Kekerasan Secara Emosional (Emotional Abuse)

Kekerasan Emosi adalah setiap tindakan baik yang disengaja maupun


tidak sengaja, sikap, perilaku atau tindakan lain yang dilakukan oleh orang tua,
pengasuh atau orang lain yng menyebabkan gangguan emosi atau mental anak.

Kekerasan emosional dapat dilihat dengan menggunakan kata-kata yang


merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak. Kekerasan Emosional
biasanya disertai dengan kekerasan lainnya. Kekerasan emosional sering juga
disebut kekerasan verbal atau kekerasan mental/ psylogical maltreatment.
Kekerasan emosional bergerak dari rentang yang simple sampai pada yang
ekstrim.

Kekerasan emosional dapat berupa penghinaan anak, penolakan anak, menarik


diri atau menghindari anak, tidak memperdulikan perasaan anak, perilaku
negative pada anak, mengeluarkan kata-kata yang tidak baik untuk
perkembangan emosi anak, memberikan hukuman yang ekstrim pada anak
seperti memasukkan anak pada kamar gelap, mengurung anak di kamar mandi,
mengikat anak, dan masih banyak lagi hukuman orang tua yang tanpa disadari
orang tua menrupakan perilaku yang menyebabkan kekerasan emosional pada
anak. Dalam hal ini emotional abuse adalah tindakan yang membuat seseorang
sedih, kecewa, jengkel marah dan takut. Emotional abuse ini sulit dilihat secara
empiris dalam waktu yang lama. Akibat dari suatu emotional atau mental abuse
adalah wajah yang murung, sedih, marah, kecewa, atau kadang kadang tidak
wajar, yang bisa lama, bisa pula sebentar.

Kekerasan Emosional selalu ada ketika kekerasan lain teridentifikasi, ada


overlaping antara pengertian kekerasan emosional anak dan penelantaran anak
karena keduanya bisa terjadi secara bersamaan pada anak.

Kekerasan Emosional pada anak dapat dilakukan oleh orang yang lebih tua
dari anak atau anak lainnya yaitu orang tua, pengasuh, guru, saudara kandung,
serta orang lain yang mempunyai akses atau kesempatan untuk melakukan
kekerasan emosional pada anak.

Tindakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai emotional atau mental


abuse misalnya adalah " Verbal abuse, sarcasm, and beliltling, through form of
humiliation, harassment, and isolation not involving phisical violence
(Innocenti,1991:9).

(iv) Penelantaran (Neglect)

Penelantaran bisa diartikan sebagai pengabaian atau tidak memenuhi


kebutuhan dasar anak, dan juga kegiatan atau perilaku yang langsung dapat
menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik ataupun mental anak. Kebutuhan
anak tidak terpenuhi secara wajar baik fisik, mental, sosial, spiritual termasuk
pendidikannya.

Penelantaran dapat berupa :

(a) Penelantaran Fisik

Penelantaran fisik atau tidak memenuhi kebutuhan fisik anak seperti tidak
adequatnya pemberian nutrisi pada anak, perumahan, kurangnya pengawasan
atau supervisi yang dapat mengakibatkan anak beresiko untuk terjadinya
trauma fisik atau emosional, keterlambatan membawa anak jika anak
mengalami gangguan kesehatan, tidak adequatnya kebersihan diri anak.
(b) Penelantaran Pendidikan

Penelantaran pendidikan diartikan penelantaran pendidikan baik dalam


bidang informal seperti mendidik anak agar ia mampu berinteraksi dengan
lingkungan dan mendidik anak untuk bisa berhasil dimasa depannya.
Penelantaran pendidikan secara formal dimana anak usia sekolah tidak
diberikan untuk mendapat pendidikan secara layak, justru anak disuruh
mencari nafkah untuk untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

(c) Penelantaran Psychological (Emosional

Penelantaran emosional dipandang sebagai kurangnya support emosional


pada anak serta kurangnya cinta atau kasih sayang yang diberikan oleh orang
tua atau orang-orang terdekat. Penelantaran emosional dapat berupa
kurangnya perhatian pada kebutuhan anak, termasuk kurangnya affektif untuk
merawat anak, kurangnya perhatian terhaap kebutuhan emosi anak, adanya
kekerasan pada anak oleh orang tua tanpa memperhatikan dampak yang terjadi
pada anak dalam tumbuh kembangnya.

 Sindroma Munchausen

Sindroma Munchausen merupakan permintaan pengobatan terhadap


penyakit yang dibuat-buat dengan pemberian keterangan medis palsu oleh
orangtua, yang menyebabkan anak banyak mendapat pemeriksaan/prosedur
rumah sakit.

Ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:

 Orangtua berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain sampai satu saat
akhirnya bercerita bahwa ada sesuatu yang salah dengan anak mereka.

 Penyakit anak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

 Anak yang gagal tumbuh tanpa alasan yang jelas.


 Anak wanita yang tiba-tiba berubah tingkah lakunya, menyendiri atau
sangat takut dengan orang asing, harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya penganiayaan seksual.

 Pada anak yang lebih tua, mungkin dapat menceritakan jejasnya, tetapi
kemudian mengubah uraiannya karena rasa takut akan pembalasan atau
untuk mencegah pembalasan orang tua.

2.4 Prevalensi Kejadian Kekerasan Pada Anak

Menurut (Amerika) Komite Nasional untuk Mencegah Child Abuse,


pada tahun 1997 kasus penelantaran terhadap anak mewakili 54% dari kasus
yang dikonfirmasi penganiayaan anak, penyiksaan% 22 fisik, pelecehan
seksual 8%, penganiayaan emosional 4%, dan bentuk-bentuk penganiyaan
lainnya mencapai angka 12%. Sebuah laporan UNICEF pada kesejahteraan
anak menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Inggris menduduki peringkat
terendah di antara negara-negara industri yang berkaitan dengan kesejahteraan
anak-anak.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Kasus kekerasan terhadap anak di


Tanah Air dalam dua tahun terakhir jumlahnya meningkat, dari 1.626 kasus
pada 2008 menjadi 1.891 pada 2009. 3

2.5 Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak

Banyak faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada


anak dalam rumah tangga. Keluarga dalam hal ini adalah unit yang terpenting
dalam menghindari atau menunjang terjadinya kekerasan pada anak. Anak
yang dilakhirkan selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik untuk tumbuh
kembangnya dan masa depannya. Anak tidak minta dilahirkan didunia, tetapi
ketika ia terlahir selayaknya orang tuan merawat anak dengan sebaik-baiknya
dan keluargalah yang diharapkan oleh anak sebagai barrier terhadap tindak
kekerasan yang mungkin saja dapat dialaminya. Tetapi pada kenyataannya
justru kekerasan pada anak terjadi didalam keluarga dan ironisnya juga
dilakukan oleh orang yang notabenenya adalah orang tua atau saudara
terdekat. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada
anak. Faktor sosio-kultural antara lain adalah nilai atau norma yang ada di
masyarakat, hubungan antara manusia dan kemajuan jaman. Selain itu
kekerasan pada anak dapat disebabkan faktor pencetus yang berasal dari anak,
stres keluarga dan stres yang berasal dari orang tua.

Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak


(2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :

1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi


kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang
lainnya. Kondisi menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi
juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua,

2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan


sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai
pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing
dan menyayangi,

3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi.


Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi
adalah faktor yang banyak terjadi,

4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua


menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa.
Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.

Disamping itu, faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari


tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar
dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan
televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku
kekerasan (Tempo, 2006).

Menurut Sitohang (2004), penyebab munculnya kekern pada anak


adalah
a) Stress berasal dari anak. Yaitu, kondisi anak yang berbeda, mental yang
berbeda atau anak adalah anak angkat,

b) Stress keluarga. Yaitu, kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi,


perumahan tidak memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya,

c) Stress berasal dari orang tua. rendah diri, waktu kecil mendapat perlakuan
salah, depresi, harapan pada anak yang tidak realistis, dan gangguan jiwa.

Jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja, dapat dilacak pada sebab-sebab
psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakukan secara
individual. Memberikan terapi psikologis pada baik pelaku maupun korban mungkin
akan cepat selesai. Tetapi jika perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang
panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu terdapat
secara meluas di tengah-tengah masyarakat maka berhadapan dengan masalah sosial.
Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab-sebab individual. Melacaknya pada
nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial.
Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.

Rakhmat (2003) membagi faktor sosial antara lain:

1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada
anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di
lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya;

2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti
hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat
pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua
tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial seperti itu
anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa
pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak;

3) Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban
child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah.
Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena
struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam
subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress
yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan
fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak.
Terjadilah kekerasan emosional.

Kekerasan tersebut diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya,


memerlukan proses pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-
nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak-anak, berusaha menegakkan
undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-
orang dewasa dan membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak.5
FAKTOR-FAKTOR MULTIDIMENSI PERLAKUAN SALAH PADA ANAK

Faktor sosio kultural


1. nilai/norma yang ada di masyarakat
2. hubungan antar manusia
3. kemajuan jaman: pendidikan,
hiburan, olahraga, kesehatan,
hukum, dsb

Stres berasal dari Stres keluarga Stres berasal dari


anak orang tua

1. Fisik berbeda 1. kemiskinan, 1. rendah diri


(misalnya: cacat) pengangguran, mobilitas, 2. waktu kecilnya mendapat
2. Mental berbeda isolasi, perumahantidak perlakuan salah
(misalnya: retardasi) memadai, dll 3. depresi
3. Temperamen 2. hubungan orangtua-anak, 4. harapan pada anak yang
berbeda stres pernatal, anak yang tidak realistik
4. tingkah laku berbeda tidak diharapkan, 5. kelainan karakter/
(misalnya: prematuritas, dll gangguan jiwa
hiperaktif) 3. perceraian 6. dll
5. anak angkat/tiri 4. Dll
6. dll

- disiplin
- konflik/ pertengkaran
- masalah lingkungan yang
Situasi pencetus mendadak

Sikap/perbuatan yang keliru - Penganiayaan


- Ketidak mampuan merawat
- Peracunan
- Teror mental
2.6 Tanda dan Gejala

Tanda-tanda kekerasan fisik:

1. Bekas luka, memar, atau luka bakar yang tidak dapat dijelaskan
asalnya dan muncul berulang kali.

2. Bekas luka yang berbentuk seperti objek tertentu, misalnya ikat


pinggang, kabel listrik, dan lain-lain.

3. Luka-luka yang tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan usia


seorang anak. Misalnya, patah tulang pada anak yang belum dapat
berjalan atau memanjat.

4. Penjelasan yang tidak masuk akal mengenai penyebab cedera.

5. Memiliki sifat penakut.

Tanda-tanda kekerasan verbal:

1. Perilaku agresif atau tertutup.

2. Pemalu dan menghindari kontak fisik dengan orang tua atau orang
dewasa.

Tanda-tanda pelecehan seksual:

1. Anak menyatakan dirinya telah diperlakukan tidak pantas secara


seksual.

2. Anak memiliki tanda-tanda fisik seperti:

 Kesulitan berjalan atau duduk

 Pakaian bernoda darah

 Memar dan luka pada daerah kemaluan dan dubur

 Alat kelamin atau dubur sakit, gatal, bengkak, dan kemerahan

3. Anak menunjukkan perilaku dan tanda-tanda emosional seperti:

 Kesulitan makan atau tidur


 Mengotori atau membasahi celana atau tempat tidur padahal ia
sudah terlatih buang air di toilet

 Sering menangis dan sedih berlebihan

 Menarik diri dari kegiatan dan orang lain

 Berbicara tentang atau melakukan tindakan seksual di luar


kewajaran untuk anak seusianya. 5

2.7 Dampak

Dampak pada anak yang mendapat perilaku kekerasan selain terjadi seperti
yang dicantumkan pada gejala yang tampak pada saat pemeriksaan pada anak,
dampak lain yang dapat terjadi adalah secara umum adalah :

a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih


sayang, sulit percaya dengan orang lain

b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif

c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi


sosial

d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya
dan anak yang lebih kecil

e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain

f. Kecemasan berat atau panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan
bermasalah disekolah

g. Abnormalitas atau distorsi mengenai pandangan terhadap seks

h. gangguan Personality

i. Kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain dalam hal


seksualitas

j. Mempunyai tendency untuk prostitusi


k. Mengalami masalah yang serius pada usia dewasa

l. Kerusakan fisik atau luka fisik;

m. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam


dan agresif:

n. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan,


penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh
diri;

o. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma


mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dll;

p. Pendidikan anak yang terabaikan.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak antara
lain;

1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang
tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan
berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-
anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa
semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk
yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang
berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan
cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga
menyebabkan korban meninggal dunia;

2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang


sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan,
cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia
nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan,
anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki
dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang
nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas
yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti
kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku
merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol,
ataupun kecenderungan bunuh diri;

3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003)


diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut
menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski
kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan
eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak
ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan
seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang
ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya
masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak


mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua
terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang
dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami
masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam
mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak
dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam
mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal
menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.
5. Dampak lainnya sebagai berikut:

A. Dampak pada fisik anak

Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan trauma fisik yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.

1. Lecet, hematuom, bekas luka gigtan, luka bakar, patah tulang,


perdarahan retina akibat adanya subdural hematom dan adanya
keruskan organ dan lainnya.

2. Cacat sebgai akibat dari trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan


saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata, dan cacat lainnya.

3. Kematian.

Menurut Strauss dkk. 1980 (dikutip dari Snyder) 1 dari 1000 anak
mendapat perlakuan fisik yang mematikan menggunakan pisau atau
pistol. Friedman dan Morse 1976, mengatakan dari 24 anak
,mendapat perlakuan yang salah. Dan 70% dari penelitian itu saudara
dari si anak juga mendapat perlakuan yang sama.

B. Dampak pada tumbuh kembang anak

Pada anak yang mendapat perlakuan salah umumnya tumbuh kembangnya


lebih lambat dari anak normal, yaitu:

1. Pertumbuhan fisik umumnya kurang dari anak-anak sebaya lainnya.


Menurut Oates dkk. 1984 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermaknadalam berat dan tingi badan anak-anak yang mendapat
perlakuan salah dengan anak sebayanya.
2. Perkembangan kejiwaan mengalami gangguan, yaitu:
a. Kecerdasan
- Beberapa penelitian melaporkan terdapat kelambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.
- Trauma langsung dan mal nutrisi dapat mengakibatkan retardasi
mental.
- Beberapa kasus diperkuat oleh lingkungan si anak dimana tidak
ada stimulasi adekuat atau Karena ganguan emosi.
b. Emosi
- Untuk mengetahui adanya perubahan emosional dalam
perlakuan salah terhadap anak diperlukan anamneses yang
lengkap dari keluarga, bagaimana hubungan masing-masing
anak tersebut.
- Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan konsep diri yang
positif, dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan
social dan kemampuan percaya diri.
- Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, atau menarik diri dari
pergaulan. Anak suka ngompol, perilaku aneh, hiperaktif,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, dan sebagainya.
c. Konsep diri

dicintai, tidak dikehendaki, muram, tidak bahagia, dan bahkan


ada yang mencoba membunuh diri.

d. Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih
agresif terhadap teman sebayanya. Semisal meniru tindakan orang
tua mereka dan mengalihkan perasaan agresif ke temannya.
e. Hubungan sosial

Pada anak-anak sering kurang dapat bergaul dengan teman


sebaya atau dengan orang dewasa. Mempunyai sedikit teman suka
menganggu dan sebagainya.3

2.8 Pencegahan Penyalahgunaan Anak

Penyalahgunaan anak dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan setiap
orang – bahkan anggota keluarga dekat ataupun teman. Pada tahun 2007, ada 1.760
anak-anak yang meninggal di Amerika Serikat sebagai akibat dari pelecehan anak
atau kelalaian. Anak-anak muda dari satu tahun terdiri hampir separuh dari semua
kematian, dan tiga perempat yang lebih muda dari empat tahun. Ini merupakan angka-
angka yang serius. Orang tua, anggota keluarga, dan teman-teman keluarga perlu
bangun dan lebih terlibat dalam mencegah kekerasan terhadap anak. 3

Terlepas dari semua upaya untuk mempublikasikan, mendidik, dan membuat


orang menyadari masalah pelecehan anak, statistik menunjukkan bahwa pelecehan
dan penganiayaan anak terus meningkat. Dengan pengecualian tahun 2005, insiden
kematian akibat penyiksaan anak meningkat selama lima tahun terakhir. Banyak
peneliti, dokter, guru dan profesional terkait dengan anak-anak percaya bahwa jumlah
kematian setiap tahun dari pelecehan anak yang tidak dilaporkan. Beberapa studi
melaporkan bahwa sebanyak 50 sampai 60 persen kematian anak akibat penganiayaan
anak-anak atau melalaikan tidak pernah dilaporkan. 3

Penyalahgunaan anak dapat dicegah. pertama, melalui kesadaran, deteksi dini


dan intervensi. Melindungi anak-anak dari pelecehan adalah perhatian pertama dan
terutama polisi dan otoritas perlindungan anak. 3

Pendidikan anak-anak untuk mengenali perilaku yang tidak pantas (seksual


dan fisik) dan melaporkan penyalahgunaan mungkin pada tahap itu awal untuk orang
tua mereka atau keluarga akan membantu anak-anak menghindari dilecehkan,
menyelamatkan keluarga dari interaksi disfungsional, mengidentifikasi pelaku dengan
segera untuk penegakan hukum dan membantu dalam identifikasi awal anggota
keluarga dengan kecenderungan yang kasar sebelum tindak pidana terjadi. Dalam
dunia yang ideal, membantu psikiatris akan tersedia untuk mengobati orang yang
menyalahgunakan anak-anak. Itu jarang terjadi. 3

Kebanyakan pelaku, begitu mereka telah bertindak keluar dan melakukan


tindakan pelecehan, ditangkap, dituntut, diadili, dihukum, dikirim ke penjara, dan
ditandai sebagai pelaku seksual. Untuk mencegah penyalahgunaan dengan mengubah
perilaku pelaku (apakah mereka adalah kekasih atau teman), kecenderungan untuk
menjadi kasar harus diidentifikasi sebelum penyalahgunaan yang sebenarnya terjadi.
Setelah kecenderungan diidentifikasi, harapan terbaik untuk mengobati gangguan
mental serius adalah konseling perilaku. 5
2.9 Aspek Medikolegal pada Kasus Child Abuse

Tenaga profesional kesehatan seringkali menjadi pihak pertama yang

menemukan kasus child abuse, baik pada saat ia melakukan prakteknya di institusi

kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia melakukan kunjungan

ke lapangan. Demikian pula tenaga profesional pendidikan, pengasuh anak, konselor,

dan agamawan. Merekalah yang seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani

atau merujuk kasus child abuse sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan

anak yang berlaku. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian child

abuse yang dilaporkan dan tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan

dengan di negara-negara lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus child abuse yang

tercatat adalah hanya merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es yang sebenarnya

ada di dalam masyarakat (iceberg phenomenon).5

Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran dan

kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga kesehatan

yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja. Padahal pada bnyak kasus,

termasuk kasus child abuse, masalah utamanya bukan masalah medis, melainkan

masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan mutidisipliner harus

diterapkan untuk dapat menangani kasus child abuse secara komprehensif.5

Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain

yang terkait dengan masalah child abuse, seperti aspek kesehatan masyarakat dan

keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya.

Pemahaman tentang aspek-aspek lain di luar kesehatan dan kedokteran diharapkan

akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim yang multidisipliner tersebut.5


Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera dalam

kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan dengan jenis dan

akibat pencederaan anak, yaitu :2

1. Pasal 351 ayat 1, pencederaan pada anak yang bersifat penganiayaan dan

menimbulkan cedera fisik (ancaman hukuman paling lama 2 tahun 8 bulan),

ayat 2 bila mengakibatkan luka-luka berat (ancaman hukuman penjara paling

lama 5 tahun), ayat 3 bila mengakibatkan kematian (ancaman hukuman penjara

paling lama 7 tahun).

2. Pasal 356, pencederaan pada anak (fisik) yang dilakukan orang tua, hukuman

ditambah sepertiganya.

3. Pencederaan pada anak berupa penelantaran, pasal 301 (ancaman pidana

penjara paling lama 4 tahun), pasal 304 (ancaman pidana penjara paling lama 5

tahun 6 bulan), pasal 306 ayat 1 bila mengakibatkan luka (ancaman pidana

penjara paling lama 9 tahun), pasal 307 bagi orang tua sebagai pelaku

dikenakan ancaman pidana pasal 305 dan 306 ditambah dengan sepertiganya.

4. Pencederaan anak bersifat seksual, pasal 287 (ancaman pidana penjara paling

lama 9 tahun), pasal 290 butir 3 (ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun).

Peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan

menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan.

Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus memperoleh

pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk

tim yang multidisiplin guna menangani child abuse. Dalam hal ini anak adalah

pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter.5

Dalam menemukan kasus child abuse, tindakan dini yang dilakukan dapat

meliputi:5
a. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak

b. Merawat inap korban child abuse yang membutuhkan perlindungan pada tahap

evaluasi awal

c. Memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua

anak secara objektif tanpa bersifat menuduh

Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya

meliputi:5

a. Riwayat cedera

b. Pemeriksaan fisik

c. Survei radiologis terhadap trauma

d. Pemeriksaan kelainan perdarahan

e. Pemotretan berwarna

f. Pemeriksaan fisik saudara kandungnya

g. Laporan medis tertulis resmi

h. Skrining perilaku

i. Skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah

Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap

anak meliputi 3 hal:5

a. Pengobatan trauma fisik dan psikologis

b. Pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence)

c. Penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan

seksual

Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan

terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang nantinya

dapat digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Penelitian dapat dilakuakn


dengan melakukan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti,

pemeriksaaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta uji psikologis

dan psikiatris yang diperlukan.5

Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan

adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahuinya

sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui

adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia menjalankan

tugasnya.5

Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan

ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak

dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut

memerlukan pertolongan dan harus dibantu.5

Kewajiban moral dan hukum bagi para profesional kesehatan yang

mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk menindaklanjutinya sesuai

prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak setempat.5

2.10 Identifikasi Kasus Child Abuse

Dalam mengidentifikasi kasus child abuse, perlu diperhatikan dua hal:6

1. Pengungkapan Kasus

Pengungkapan kasus child abuse dibedakan menjadi dua:

a. Pengungkapan langsung : anak secara langsung mengungkapkan bahwa

mereka telah mengalami kekerasan atau penelantaran.

b. Pengungkapan tidak langsung : anak tidak mengungkapkan secara

langsung tetapi menceritakan pengalaman mereka secara tidak langsung

melalui tingkah laku, emosi, seni, tulisan, penampilan, diskusi tentang

ketakutan, dan bagaimana hubungan sosialnya.


2. Indikator dari kemungkinan kasus child abuse dapat digolongkan sesuai

dengan jenis child abuse yang terjadi, sebagai berikut:

a. Indikator kemungkinan physical abuse

Indikator fisik

 Adanya luka-luka pada bayi yang belum bisa bergerak, terutama

pada kepala/wajah

 Adanya luka-luka pada balita atau anak yang sudah lebih tua yang

tidak ada penjelasan, penjelasan tidak cocok dengan luka yang ada,

atau dengan penjelasan yang berubah-ubah.

 Luka-luka dengan derajat penyembuhan yang berbeda

 Luka-luka dengan pola atau terlihat seperti sebuah onjek tertentu

(seperti: tangan, stik, besi ikat pinggang, dan lain-lain)

 Kebiruan pada tempat yang tidak biasa seperti telinga, leher,

tenggorokan, atau bokong.

Indikator perilaku

 Ketakutan atau menghindar pulang ke rumah, atau kabur

 Memperlihatkan sikap yang tidak biasa, ngamuk, gaduh gelisah

 Mudah terkejut ketika disentuh

 Perubahan perilaku di sekolah dan kedatangan

 Menarik diri dari keluarga, teman-teman, dan aktivitas yang

sebelumnya disenangi

 Ide atau percobaan bunuh diri atau perilaku merusak diri sendiri

b. Indikator kemungkinan sexual abuse

Indikator fisik
 Nyeri yang menetap dan tidak bisa di jelaskan, keluarnya darah

atau sekret yang tidak biasa dari daerah genital atau anal

 Hamil

 Penyakit menular seksual

Indikator perilaku

 Berperilaku atau mempunyai pengetahuan seksual yang tidak

 Mengajak anak lain untuk melakukan aktivitas seksual

 Memasukkan benda ke vagna atau rektum

 Cenderung tertarik dengan perilaku seksual orang dewasa

 Mempunyai hadiah yang tidak diketahui seperti baju baru atau

uang

 Perubahan perilaku di sekolah dan jarang masuk sekolah

 Merahasiakan teman baru, aktivitas, telfon, dan penggunaan

internet

 Terlibat dalam eksploitasi seksual sperti melakukan aktivitas

seksual untuk uang

c. Indikator kemungkinan penelantaran

Indikator fisik

 Luka-luka yang terjadi karena tindakan medis karena penundaan

atau pengabaian

 Luka-luka yang dihasilkan karena tidak diawasi

 Gagal tumbuh

 Gizi kurang atau gizi buruk

 Kebersihan personal yang jelek

Indikator perilaku
 Diam-diam mencuri makanan seperti orang yang tidak diberikan

makanan

 Jarang datang ke sekolah

 Tidak menuruti apa yang disarankan atau disuruh

 tidak bisa berkonsentrasi di sekoah

 Afek yang sedih atau datar

 Takut atau malas pulang ke rumah, lebih suka ditinggal sendiri di

rumah

 Terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, mencuri, dan lain-lain

 Tidak respon dengan perilaku atau stimulasi orang lain

d. Indikator kemungkinan gagal tumbuh

Indikator fisik

 Tampak pucat, pipi tirus, penurunan berat badan drastis

 Lemak tubuh yang sangat tipis

 Kulit yang kering, turgor kulit buruk

 Perkembangan yang terlambat (tidak sesuai usia)

Indikator perilaku

 Terlihat lemas dan tidak bersemangat

 Menunjukkan gerakan yang ambat dan malas

 Tidak peka terhadap lingkungan

Secara umum indikator telah terjadinya child abuse adalah sebagai berikut:7

a. Indikator Fisik

 Keluhan-keluhan psikosomatik

 Gagal tumbuh tanpa dasar organik yang jelas

b. Indikator Perilaku
 Anak mengatakan bahwa dirinya telah dianiaya

 Membalik atau menyangkal cerita yang telah diungkapkan sebelumnya

 Ketakutan yang berlebihan terhadap orangtua atau orang dewasa lainnya

 Tidak lari ke orangtua untuk meminta dukungan dan perlindungan

 Memperlihatkan tingkah laku yang agresif dan penarikan diri yang

ekstrem

 Kesulitan berhubungan dengan orang lain

 Penurut dan pasif

 Gangguan tidur

 Menghindari kontak mata

 Memperlihatkan perilaku terlalu dewasa atau terlalu kanak-kanak

 Perilaku mencederai diri sendiri

 Lari dari rumah

 Sering mau bunuh diri

2.11 Hukum dan Undang-undang

Setiap negara termasuk Indonesia mempunyai Undang-Undang tentang


perlindungan anak, Di Indonesia sendiri Perlindungan anak telah diatur pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
isinya antara lain menyangkut hak-hak anak, kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah, masyarakat, serta orang tua dalam perlindungan anak, dan didalamnya
juga mengatur tentang ketentuan pidana terhadap pelanggaran hak-hak anak.

Kenyataan yang terjadi meski banyak kasus telah melanggar hak anak, tetapi
kurang memperoleh perhatian publik, dan sulit diungkap ke permukaan sehingga
disebut iceberg (fenomena gunung es). Kekerasan pada anak sering dianggap hal yang
wajar karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Kekerasan
pada anak memperoleh perhatian publik lebih serius jika korban tindak kekerasan
yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya bertambah banyak, dan
menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-anak. 6

Dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di


Indonesia, jika pelakunya orangtuanya sendiri, hukuman akan ditambah sepertiganya.
Pasal 80 menyebutkan, ayat 1: setiap orang yang melakukan kekejaram, kekerasan
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000.
Ayat 2, dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat 1 luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000. Ayat 3, dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000.
Pidana dapat ditambah sepertiganya dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 1, 2,
dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.

2.12 Penanggulangan korban kekerasan dan pelecehan anak

Pengalaman pelecehan seksual anak bervariasi dari individu ke individu.


Keparahan, intensitas, dan frekuensi, usia anak, hubungan antara anak dan pelaku,
tingkat dukungan dari orang tua, tingkat pengakuan oleh pelaku, kualitas fungsi
keluarga, tingkat kekerasan, dan spesifik sifat menyalahgunakan semua
mempengaruhi jenis dan keparahan efek terlihat pada korban anak. Dengan demikian,
penting untuk dicatat bahwa tidak ada satu gejala profil unik untuk anak-anak yang
telah mengalami pelecehan seksual, dan tidak semua (atau bahkan
mayoritas) anak-anak yang telah mengalami pelecehan seksual menampilkan salah
satu dari tanda bahwa anak tersebut telah mengalami pelecehan atau kekerasan.
Logikanya, oleh karena itu, setiap korban anak harus dinilai dengan hati-hati dan
rencana pengobatan harus dikembangkan. Sangat menarik untuk dicatat penelitian
yang menunjukkan bahwa minoritas anak-anak (kira-kira 20 - 40%) yang telah
mengalami pelecehan seksual tampaknya beberapa menderita kelainan psikologis atau
sosial gejala distress. Mungkin sulit untuk menentukan apakah anak yang tidak
menampilkan gejala sedang menghadapi kekerasan. Beberapa anak mungkin
menampilkan apa yang dianggap sebagai "efek tidur" atau pengembangan gejala
serius beberapa saat setelah berakhirnya pelecehan.
Sejumlah pengobatan tersedia untuk korban penganiayaan anak. Trauma-
fokus terapi perilaku kognitif, pertama kali dikembangkan untuk mengobati anak-
anak mengalami pelecehan seksual. Sekarang digunakan untuk korban trauma
apapun. Ini target gejala yang terkait dengan trauma pada anak-anak termasuk
gangguan stress pasca-trauma, depresi klinis, dan kecemasan. Ini juga termasuk
komponen untuk orang tua. Beberapa studi telah menemukan bahwa anak-anak
mengalami pelecehan seksual ditingkatkan lebih dari anak-anak menjalani terapi
tertentu lainnya. Bentuk lain pengobatan termasuk terapi kelompok, terapi bermain,
dan terapi seni.

Masing-masing jenis pengobatan dapat digunakan untuk lebih membantu,


tergantung pada bentuk pelecehan yang mereka alami. Play terapi dan terapi seni
adalah cara untuk mendapatkan anak-anak lebih nyaman dengan terapi dengan
mengerjakan sesuatu yang mereka nikmati (mewarnai, menggambar, melukis, dll).
Desain karya seni anak bisa menjadi representasi simbolik dari apa yang mereka
rasakan, hubungan dengan teman atau keluarga, dan banyak lagi. Mampu membahas
dan menganalisis karya seni anak dapat memungkinkan seorang untuk mendapatkan
wawasan yang lebih baik dari si anak.

Terapi bermain digunakan untuk membantu anak-anak mengatasi trauma


seperti kekerasan dan untuk memungkinkan mereka untuk berdamai dengan masalah
emosional yang menyakitkan.

Sementara orang dewasa dapat berkomunikasi menggunakan kata-kata, anak-


anak cenderung menggunakan bermain sebagai sarana untuk mengekspresikan diri.
Sebagai anak-anak sering memiliki kemampuan terbatas untuk mengekspresikan diri
mereka dan berkomunikasi dengan orang dewasa menggunakan bahasa, bermain
menjadi alat penting untuk membantu untuk mengelola emosi dan perasaan. Anak-
anak juga biasanya dapat merasa aman dalam batas-batas bermain dan lebih mampu
mengekspresikan rasa takut.

Istilah “Terapi bermain” pertama kali di kemukakan oleh Freud, dan sebagian
besar pendekatan terapi bermain saat ini telah muncul sebagai hasil dalam terapi
psikoanalitik. Bermain secara luas diakui sebagai cara seorang anak yang paling alami
untuk mengatasi perasaan serta mengekspresikan dan berkomunikasi ketakutan dan
keinginan. Hal ini mirip dengan cara orang dewasa menggunakan kata-kata dalam
konseling atau psikoterapi. Sementara semua anak-anak menggunakan bermain untuk
memahami dunia di sekitar mereka, bagi mereka yang telah disalahgunakan atau
mengalami trauma dalam beberapa cara, terapi bermain menawarkan kesempatan
untuk bekerja melalui peristiwa dengan terapis bermain khusus dalam lingkungan
yang aman.

2.13 Faktor Resiko

Karakteristik orang tua yang berisiko melakukan kekerasan kepada anak-


anaknya adalah: orang tua yang agresif dan impulsif, orang tua tunggal, berusia muda,
adanya masalah dalam perkawinan seperti perceraian, konflik dalam keluarga
misalnya dengan mertua, keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua yang
kecanduan obat atau alkohol, keluarga di daerah baru tanpa teman, dan orang tua yang
kurang berpendidikan (Kalibonso & Dharmano, 2001). Keluarga yang mengalami
konflik mempunyai pengaruh langsung pada anak dalam sosialisasinya di lingkungan
masyarakat maupun sekolah. Kekerasan pada anak dapat menyebabkan keterlambatan
dan gangguan tumbuh kembang pada anak.

2.14 Evaluasi Medis

Untuk melihat akibat perlakuan salah pada anak, kita harus mengetahui umur
dan tingkat perkembangan anak pada saat kejadian yang dialami anak, pengalaman
anak dalam menghadapinya, dan seluruh lingkungan emosi dari keluarganya. Dari
observasi klinik, salah perlakuan dapat mempengaruhi banyak hal, termasuk kelainan
fisik perkembangan emosi dan aspek kognitifnya. Dalam mendiagnosis diperlukan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan mental, laboratorium dan radiologi. Sehingga
diperlukan pendekatan multi disiplin.

Dokter yang melihat pasien anak-anak harus 1. akrab dengan manifestasi


umum dari pelecehan anak 2. termotivasi untuk melaporkan temuan mereka ke
instansi yang berwenang, dan 3. siap untuk bersaksi.

Seorang ahli medis dalam penyalahgunaan fisik harus seorang dokter dengan
pelatihan yang cukup besar atau pengalaman dalam mendiagnosis cedera
nonaccidental pada anak-anak dan bayi. Tambahan untuk pelatihan dan pengalaman
dengan banyak kasus, ahli ekspertise penyiksaan fisik harus memiliki keakraban
umum dengan buku teks dan literatur jurtnal yang menggambarkan fitur diagnostik
cedera nonaccicental. Yang paling ahli dalam ekspertise pelecehan fisik pada anak
adalah dokter anak. Spesialis medis lainnya yang mungkin menjadi ahli dalam kasus-
kasus kekerasan fisik termasuk ahli radiologi, ahli patologi, dokter keluarga, dan
dokter perawatan darurat dan kritis (UDG). Para spesialis ini juga harus menunjukkan
pelatihan dan pengalaman di bidang tertentu dari kekerasan fisik. Sedangkan pada
kasus kekerasan seksual pada anak perlu dipertimbangkan dua hal: anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

Sedangkan kasus penelantaran anak lebih sedikit dibandingkan kasus


kekerasan fisik pada anak atau kejahatan seksual pada anak. Kasus penelantaran anak
ini biasanya dilakukan justru oleh orang tua kandungnya. Secara medis kasus ini
terjadi jika intervensi terhadap perlindungan kesehatan tidak diberikan dari orangtua
kepada anaknya. Tetapi karena alasan budaya hal itu biasa dilakukan.

Kekerasan emosional dalam medis dapat didiagnosis oleh seorang psikiatris


atau seorang psikologis yang mengevalusi secara emosional maupun mental.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a) Child abuse adalah perlakuan dari orang dewasa yang usianya


lebih tua dengan menggunakan kekuasaan dan otoritasnya,
terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada di
bawah tanggung jawab dan atau pengasuhannya, yang dapat
menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat.
b) Child abuse dapat muncul dalam bentuk kekerasan fisik,
penelantaran, kekerasan emosional ataupun kekerasan seksual.
c) Penanganan kasus child abuse mengikuti alur sebagai berikut: 1)
identifikasi meliputi pengungkapan dan pengklasifikasian kasus, 2)
pelaporan, masukan, 3) penilaian awal dan penyidikan, 4) penilaian
keluarga, 5) perencanaan kasus, 6) penanganan, 7) evaluasi dan 8)
penutupan kasus.
d) Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera
dalam kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya
berkaitan dengan jenis dan akibat pencederaan anak.
e) Peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal dalam kasus
kekerasan terhadap anak adalah menemukan kasus kekerasan
terhadap anak dan menolong anak tersebut beserta keluarganya
dalam menempuh proses pemulihan.

3.2 Saran
Dengan disahkannya UU perlindungan terhadap anak, diharapkan peran

masyarakat, medis, keluarga dan seluruh pihak yang terkait untuk meningkatkan

pengawasan terhadap berbagai kekerasan pada anak.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sarah Naqvi, Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, 2017. New
Delhi, India.
2. Hillis, et.al, "Global Prevalence of Past-Year Violence Against Children: A
Systematic Review and Minimum Estimates, January 2016, America.
3. Fang, et.al, “The Burden of Child Maltreatment in the East Asia and Pacific
Region, Child Abuse & Neglect”. 2015. USA
4. Kesowo, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, 2002, Jakarta.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 45.
6. Supriyadi W. Eddyono, Konvensi Hak Anak, 2007, Jakarta.

7. Widyastuti D., Sekartini R., Deteksi Dini, Faktor Risiko dan Dampak
Perlakuan Salah pada Anak, Sari Pediatri. 2005;7(2): 105-112.
8. Data KPAI Update per 24 Mei 2018. Diunduh dari
http://www.ucarecdn.com/2998b407-30a9-4949-ad65-7e6647bee610/ diakses
pada tanggal 24 Mei 2018
9. Soetjiningsih. Ranuh I. 2014. Buku Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit
EGC.
10. Sudaryono. 2007. Kekerasan Pada Anak : Bentuk, Penanggulangan, dan
Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan.
11. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect.
Pediatric Rev 2:198, 1998.

Anda mungkin juga menyukai