DATE SIGN
CHILD ABUSE
Disusun oleh:
Nursyahidah binti Jusoh C111 12 872
Awaluddin Jamal C111 12 179
M. Jordha Heryndra C111 13 325
Pembimbing Residen :
dr. Geebert Jermia Massayang Tandiria Dundu
Supervisor :
dr. Jerny Dase, M.Kes, SH, M.Kes, SpF
Mengetahui,
(dr. Jerny Dase, SH, M.Kes, SpF) (dr. Geebert Jermia Massayang Tandiria Dundu)
DAFTAR ISI
SAMPUL…………………………………………………………………………………….. i
DISCLAIMER.......................…………………………………………………………………ii
HALAMAN PENESAHAN………………………..…………………………………………iii
DAFTAR ISI......................………………………..………………………………………….iv
STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA………………………………………..v
KERANGKA TEORI…………………………………………………………………………vi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………3
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ……………………..…………………………………………………35
STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap
anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan,
pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan
seksual. Kekerasan terhadap anak tak cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual,
tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi.
Khusus wilayah Asia-Pasifik, kekerasan emosional dilaporkan oleh hampir satu dari
tiga anak perempuan (32 persen) dan satu dari empat anak laki-laki (27 persen).
Angka ini terdapat dalam penelitian "The Burden of Child Maltreatment in the East
Asia and Pacific Region, Child Abuse & Neglect" dari Fang. et al, (2015) yang diolah
dalam studi D. Fry (2016) “Preventing Violence Against Children and How This
Contributes to Building Stronger Economics.”3
Sementara itu, prevalensi pengabaian yang dialami anak laki-laki sebesar 26 persen
dan 27 persen pada anak perempuan. Dalam hal kekerasan fisik, anak laki-laki
cenderung mengalami lebih banyak dengan prevalensi sebesar 17 persen, sedangkan
anak perempuan sebesar 12 persen.
Seperti di Asia Pasifik, kekerasan terhadap anak di Indonesia pun masih cukup tinggi.
"Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013" dari Kementerian Sosial
memperlihatkan bahwa kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar
dibandingkan anak perempuan. Jumlahnya mencapai hampir separuh populasi anak
laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen. Pada anak perempuan,
prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Definisi
ini sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on Rights of Child) tentang
definisi anak dan Pasal 1 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan
Anak). 4
Menurut pasaal 45 KUHP, pengertian anak adalah orang yang belum cukup
umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang belum
mencapai usia 16 tahun. 5
Seluruh bagian dalam Konvensi ini mengatur pemenuhan hak-hak anak. Ada 4
prinsip dasar hak anak yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, yaitu:
a. Non-diskriminasi
Child Abuse atau Pelecehan anak adalah penganiayaan fisik, seksual atau
emosional terhadap anak-anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan
atau serangkaian tindakan atau kelalaian oleh orang tua atau lainnya pengasuh
yang dapat menimbulkan dalam bahaya, potensi bahaya, atau ancaman bahaya
untuk anak. Sebagian besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah, dengan
jumlah yang lebih kecil terjadi disekolah organisasi atau tempatnya bermain.
Menurut Vander Zander (1989), Kekerasan adalah "Suatu bentuk penyerangan
secara fisik atau melukai anak" dan perbuatan ini justru dilakukan oleh pengasuhnya
(orang tua atau pengasuh yang bukan keluarga).
Menurut WHO (2004) kekerasan pada anak adalah suatu tindakan penganiayaan
atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual,
melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara
nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat
atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung
jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
2.2 Sejarah
Sindrom Anak dipukuli pertama kali dijelaskan oleh spesialis kedokteran forensik
Perancis, Auguste Ambroise Tardieu (10 April 1818 - 12 Januari 1879). Dalam
pengakuan deskripsi pertama dikenal sebagai Tardieu Sindrom.
Berdasarkan pada pengaruh dan sifat-sifatnya, kekerasan pada anak dapat dibagi
menjadi atas beberapa kategori:
Kekerasan fisik pada anak adalah "non accidental injuri" pada anak mulai dari
ringan sampai berat sampai pada trauma neurologist yang berat bahkan sampai
pada kematian. Salah perlakuan secara fisik dapat dianggap terjadi ketika anak'
dengan sengaja disakiti secara fisik atau ditempatakan pada kondisi yang
memungkinkan disakiti secara fisik.(Powers and Jaklisch, 1998).
Cedere fisik akibat hukuman yang diluar batas ,dan perilaku pelaku yang
agresif , kekejaman dalam memberikan hukuman pada anak. Cedera bisa
diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, memar
dengan berbagai tingkat penyembuhan, fraktur, luka pada mulut , bibir, rahang,
mata , perineal, dan pemberian racun.
Tanda tanda physical abuse lebih mudah dilihat daripada akibat dari mental
abuse.
(ii) Pelecehan Secara Seksual (Sexual Abuse)
Ada Beberapa definisi mengenai pelecehan secara seksual , tetapi belum ada
definisi standar pelecehan seksual yang dapat diterima. Di banyak negara, istilah
pelecehan seksual, meliputi "any seksual activity with someone who is not
legally competent to give consent, or has refused consent" (Innnocenti, 1997:7).
Oleh karena itu, tuntutan terhadap pelecehan secara seksual akan diterapkan
bahkan pada kasus di mana seseorang dibawah umur yang diizinkan seolah
pasangan yang bersedia atau menganjurkan.
Definisi kegiatan seksual kriminal juga meliputi kegiatan seksual pada semua
umur dengan anggota keluarga dekat (incest). Dengan demikian, maka "The
justification for these protective measures comes from the growing body
evidence that such activity can cause both phisical injury to still developping
bodies and serious psichological damage." (Innocenti, 1991:8).
Disisi lain, di konvensi hak anak dinyatakan bahwa pengesahan negara harus
mengambil langkah langkah nasional, bilateral, multilateral, untuk mencegah:
Hal tersebut dengan demikian dapat dianggap sebagai pelecehan secara seksual.
Walaupun demikian, bentuk bentuk eksploitasi seksual lain dapat juga termasuk
seperti pelecehan oleh orang dewasa dan pemberian upah atau hal lain yang
pada anak atau orang atau pihak ketiga dimana anak diperlakukan sebagai obyek
seks dan sebagai obyek komersial" (Innocenti, 1991:11).
Definisi lain dari pelecehan secara seksual sebagai segala pelanggaran seksual
yang dilakukan atau diizinkan untuk dilakukan, terhadap orang muda oleh orang
dewasa atau orang lain yang secara sah bertanggungjawab untuknya. Hal ini
dapat meliputi menyentuh anak dengan maksud kepuasan seksual atau paksaan
anak untuk menyentuh seorang dewasa, hubungan seksual, memperlihatkan
kegiatan seksual kepada anak, exhibisionisme, atau pornografi atau mengizinkan
anak melakukan hubungan seksual yang tidak sesuai dengan perkembangannya.
Kekerasan seks dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya ( kandung
atau tiri), saudara kandung atau orang lain, pengasuh anak, guru, teman atau
orang-orang lain yang perlu diwaspadai.
Kekerasan Emosional pada anak dapat dilakukan oleh orang yang lebih tua
dari anak atau anak lainnya yaitu orang tua, pengasuh, guru, saudara kandung,
serta orang lain yang mempunyai akses atau kesempatan untuk melakukan
kekerasan emosional pada anak.
Penelantaran fisik atau tidak memenuhi kebutuhan fisik anak seperti tidak
adequatnya pemberian nutrisi pada anak, perumahan, kurangnya pengawasan
atau supervisi yang dapat mengakibatkan anak beresiko untuk terjadinya
trauma fisik atau emosional, keterlambatan membawa anak jika anak
mengalami gangguan kesehatan, tidak adequatnya kebersihan diri anak.
(b) Penelantaran Pendidikan
Sindroma Munchausen
Orangtua berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain sampai satu saat
akhirnya bercerita bahwa ada sesuatu yang salah dengan anak mereka.
Pada anak yang lebih tua, mungkin dapat menceritakan jejasnya, tetapi
kemudian mengubah uraiannya karena rasa takut akan pembalasan atau
untuk mencegah pembalasan orang tua.
c) Stress berasal dari orang tua. rendah diri, waktu kecil mendapat perlakuan
salah, depresi, harapan pada anak yang tidak realistis, dan gangguan jiwa.
Jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja, dapat dilacak pada sebab-sebab
psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakukan secara
individual. Memberikan terapi psikologis pada baik pelaku maupun korban mungkin
akan cepat selesai. Tetapi jika perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang
panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu terdapat
secara meluas di tengah-tengah masyarakat maka berhadapan dengan masalah sosial.
Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab-sebab individual. Melacaknya pada
nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial.
Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.
1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada
anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di
lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya;
2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti
hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat
pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua
tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial seperti itu
anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa
pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak;
3) Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban
child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah.
Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena
struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam
subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress
yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan
fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak.
Terjadilah kekerasan emosional.
- disiplin
- konflik/ pertengkaran
- masalah lingkungan yang
Situasi pencetus mendadak
1. Bekas luka, memar, atau luka bakar yang tidak dapat dijelaskan
asalnya dan muncul berulang kali.
2. Pemalu dan menghindari kontak fisik dengan orang tua atau orang
dewasa.
2.7 Dampak
Dampak pada anak yang mendapat perilaku kekerasan selain terjadi seperti
yang dicantumkan pada gejala yang tampak pada saat pemeriksaan pada anak,
dampak lain yang dapat terjadi adalah secara umum adalah :
d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya
dan anak yang lebih kecil
f. Kecemasan berat atau panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan
bermasalah disekolah
h. gangguan Personality
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak antara
lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang
tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan
berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-
anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa
semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk
yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang
berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan
cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga
menyebabkan korban meninggal dunia;
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan trauma fisik yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
3. Kematian.
Menurut Strauss dkk. 1980 (dikutip dari Snyder) 1 dari 1000 anak
mendapat perlakuan fisik yang mematikan menggunakan pisau atau
pistol. Friedman dan Morse 1976, mengatakan dari 24 anak
,mendapat perlakuan yang salah. Dan 70% dari penelitian itu saudara
dari si anak juga mendapat perlakuan yang sama.
d. Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih
agresif terhadap teman sebayanya. Semisal meniru tindakan orang
tua mereka dan mengalihkan perasaan agresif ke temannya.
e. Hubungan sosial
Penyalahgunaan anak dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan setiap
orang – bahkan anggota keluarga dekat ataupun teman. Pada tahun 2007, ada 1.760
anak-anak yang meninggal di Amerika Serikat sebagai akibat dari pelecehan anak
atau kelalaian. Anak-anak muda dari satu tahun terdiri hampir separuh dari semua
kematian, dan tiga perempat yang lebih muda dari empat tahun. Ini merupakan angka-
angka yang serius. Orang tua, anggota keluarga, dan teman-teman keluarga perlu
bangun dan lebih terlibat dalam mencegah kekerasan terhadap anak. 3
menemukan kasus child abuse, baik pada saat ia melakukan prakteknya di institusi
kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia melakukan kunjungan
dan agamawan. Merekalah yang seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani
atau merujuk kasus child abuse sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan
anak yang berlaku. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian child
dengan di negara-negara lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus child abuse yang
tercatat adalah hanya merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es yang sebenarnya
kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga kesehatan
yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja. Padahal pada bnyak kasus,
termasuk kasus child abuse, masalah utamanya bukan masalah medis, melainkan
masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan mutidisipliner harus
Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain
yang terkait dengan masalah child abuse, seperti aspek kesehatan masyarakat dan
keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya.
kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan dengan jenis dan
1. Pasal 351 ayat 1, pencederaan pada anak yang bersifat penganiayaan dan
2. Pasal 356, pencederaan pada anak (fisik) yang dilakukan orang tua, hukuman
ditambah sepertiganya.
penjara paling lama 4 tahun), pasal 304 (ancaman pidana penjara paling lama 5
tahun 6 bulan), pasal 306 ayat 1 bila mengakibatkan luka (ancaman pidana
penjara paling lama 9 tahun), pasal 307 bagi orang tua sebagai pelaku
dikenakan ancaman pidana pasal 305 dan 306 ditambah dengan sepertiganya.
4. Pencederaan anak bersifat seksual, pasal 287 (ancaman pidana penjara paling
lama 9 tahun), pasal 290 butir 3 (ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun).
Peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan
Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus memperoleh
pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk
tim yang multidisiplin guna menangani child abuse. Dalam hal ini anak adalah
pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter.5
Dalam menemukan kasus child abuse, tindakan dini yang dilakukan dapat
meliputi:5
a. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak
b. Merawat inap korban child abuse yang membutuhkan perlindungan pada tahap
evaluasi awal
Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya
meliputi:5
a. Riwayat cedera
b. Pemeriksaan fisik
e. Pemotretan berwarna
h. Skrining perilaku
seksual
terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang nantinya
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan
sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui
adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia menjalankan
tugasnya.5
ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut
1. Pengungkapan Kasus
Indikator fisik
pada kepala/wajah
Adanya luka-luka pada balita atau anak yang sudah lebih tua yang
tidak ada penjelasan, penjelasan tidak cocok dengan luka yang ada,
Indikator perilaku
sebelumnya disenangi
Ide atau percobaan bunuh diri atau perilaku merusak diri sendiri
Indikator fisik
Nyeri yang menetap dan tidak bisa di jelaskan, keluarnya darah
atau sekret yang tidak biasa dari daerah genital atau anal
Hamil
Indikator perilaku
uang
internet
Indikator fisik
atau pengabaian
Gagal tumbuh
Indikator perilaku
Diam-diam mencuri makanan seperti orang yang tidak diberikan
makanan
rumah
Indikator fisik
Indikator perilaku
Secara umum indikator telah terjadinya child abuse adalah sebagai berikut:7
a. Indikator Fisik
Keluhan-keluhan psikosomatik
b. Indikator Perilaku
Anak mengatakan bahwa dirinya telah dianiaya
ekstrem
Gangguan tidur
Kenyataan yang terjadi meski banyak kasus telah melanggar hak anak, tetapi
kurang memperoleh perhatian publik, dan sulit diungkap ke permukaan sehingga
disebut iceberg (fenomena gunung es). Kekerasan pada anak sering dianggap hal yang
wajar karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Kekerasan
pada anak memperoleh perhatian publik lebih serius jika korban tindak kekerasan
yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya bertambah banyak, dan
menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-anak. 6
Istilah “Terapi bermain” pertama kali di kemukakan oleh Freud, dan sebagian
besar pendekatan terapi bermain saat ini telah muncul sebagai hasil dalam terapi
psikoanalitik. Bermain secara luas diakui sebagai cara seorang anak yang paling alami
untuk mengatasi perasaan serta mengekspresikan dan berkomunikasi ketakutan dan
keinginan. Hal ini mirip dengan cara orang dewasa menggunakan kata-kata dalam
konseling atau psikoterapi. Sementara semua anak-anak menggunakan bermain untuk
memahami dunia di sekitar mereka, bagi mereka yang telah disalahgunakan atau
mengalami trauma dalam beberapa cara, terapi bermain menawarkan kesempatan
untuk bekerja melalui peristiwa dengan terapis bermain khusus dalam lingkungan
yang aman.
Untuk melihat akibat perlakuan salah pada anak, kita harus mengetahui umur
dan tingkat perkembangan anak pada saat kejadian yang dialami anak, pengalaman
anak dalam menghadapinya, dan seluruh lingkungan emosi dari keluarganya. Dari
observasi klinik, salah perlakuan dapat mempengaruhi banyak hal, termasuk kelainan
fisik perkembangan emosi dan aspek kognitifnya. Dalam mendiagnosis diperlukan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan mental, laboratorium dan radiologi. Sehingga
diperlukan pendekatan multi disiplin.
Seorang ahli medis dalam penyalahgunaan fisik harus seorang dokter dengan
pelatihan yang cukup besar atau pengalaman dalam mendiagnosis cedera
nonaccidental pada anak-anak dan bayi. Tambahan untuk pelatihan dan pengalaman
dengan banyak kasus, ahli ekspertise penyiksaan fisik harus memiliki keakraban
umum dengan buku teks dan literatur jurtnal yang menggambarkan fitur diagnostik
cedera nonaccicental. Yang paling ahli dalam ekspertise pelecehan fisik pada anak
adalah dokter anak. Spesialis medis lainnya yang mungkin menjadi ahli dalam kasus-
kasus kekerasan fisik termasuk ahli radiologi, ahli patologi, dokter keluarga, dan
dokter perawatan darurat dan kritis (UDG). Para spesialis ini juga harus menunjukkan
pelatihan dan pengalaman di bidang tertentu dari kekerasan fisik. Sedangkan pada
kasus kekerasan seksual pada anak perlu dipertimbangkan dua hal: anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dengan disahkannya UU perlindungan terhadap anak, diharapkan peran
masyarakat, medis, keluarga dan seluruh pihak yang terkait untuk meningkatkan
1. Sarah Naqvi, Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, 2017. New
Delhi, India.
2. Hillis, et.al, "Global Prevalence of Past-Year Violence Against Children: A
Systematic Review and Minimum Estimates, January 2016, America.
3. Fang, et.al, “The Burden of Child Maltreatment in the East Asia and Pacific
Region, Child Abuse & Neglect”. 2015. USA
4. Kesowo, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, 2002, Jakarta.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 45.
6. Supriyadi W. Eddyono, Konvensi Hak Anak, 2007, Jakarta.
7. Widyastuti D., Sekartini R., Deteksi Dini, Faktor Risiko dan Dampak
Perlakuan Salah pada Anak, Sari Pediatri. 2005;7(2): 105-112.
8. Data KPAI Update per 24 Mei 2018. Diunduh dari
http://www.ucarecdn.com/2998b407-30a9-4949-ad65-7e6647bee610/ diakses
pada tanggal 24 Mei 2018
9. Soetjiningsih. Ranuh I. 2014. Buku Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit
EGC.
10. Sudaryono. 2007. Kekerasan Pada Anak : Bentuk, Penanggulangan, dan
Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan.
11. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect.
Pediatric Rev 2:198, 1998.