Anda di halaman 1dari 32

Referat

INFANTICIDE AND STILLBIRTH

Oleh:
Indah Permata Sari, S.Ked 712018024
Novita Indah Yanti, S.Ked 712018037
Mujahidin Arisman, S.Ked 712018013
Idham Kurniawan, S.Ked 712018031

Pembimbing
Kompol. dr. Mansuri, Sp.KF

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul

INFANTICIDE AND STILLBIRTH

Oleh:
Indah Permata Sari, S.Ked 712018024
Novita Indah Yanti, S.Ked 712018037
Mujahidin Arisman, S.Ked 712018013
Idham Kurniawan, S.Ked 712018031

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

Palembang, Juli 2020

Kompol. dr. Mansuri, Sp.KF

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang berjudul
“INFANTICIDE AND STILLBIRTH” sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmiah
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
Kompol. dr. Mansuri, Sp.KF, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan kasus
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah........................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Infancticide and Stillbirth.......................................................................3
2.2 Penyebab kematian pada kasus Infanticide and Stillbirth...................6
2.3 Pemeriksaan Medik pada korban kasus Infanticide and Stillbirth… 8
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada zaman
sekarang ini, banyak sekali anak yang menerima perlakuan yang kurang baik dari
orang tuanya bahkan tindakan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai sebuah
tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya mulai dari memukul
sampai kepada penganiayaan yang berakibat nyawa anak tersebut melayang.
Sangat sulit dipercaya ketika seorang anak meningal ditangan orang yang sangat
diharapkan untuk dapat melindungi dan menjaga dirinya (Mangare, 2016).
Fenomena yang ada saat ini adalah contoh atau bukti dari tindak pidana
pembunuhan yang melibatkan anggota keluarga sendiri, bahkan marak sekali
orang tua yang tega membunuh anak kandungnya sendiri. Anak rawan (children
of risk) mengalami tindak pidana karena anak mempunyai risiko besar untuk
mengalami gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara
psikologis (mental), sosial maupun fisik yang mengakibatkan matinya anak dan
hal itu dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternalnya seperti anak dari
keluarga miskin, anak dari daerah terpencil, anak cacat dan anak dari keluarga
yang retak (broken home) (Mangare, 2016).
Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan A.S. memperkirakan
bahwa, dari 2.000 anak yang terbunuh setiap tahun di Amerika Serikat, 1.100
dibunuh oleh ibu kandungnya (Poter & Gavin, 2010). Pada tahun 2000-2009,
terdapat 10.968 kasus forensik dengan dugaan penyebab kematian tidak wajar
yang tercatat di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga (IKFML FK UNAIR)-Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Dr. Soetomo Surabaya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 112
kasus (1,02%) merupakan kasus bayi, baik karena dugaan penelantaran,
pembunuhan, maupun pembunuhan anak sendiri, sedangkan 92 kasus (82,14%)
merupakan kasus dugaan pembunuhan anak. Dari 10.968 kasus forensik dengan
dugaan penyebab kematian tidak wajar tersebut, 0,83% merupakan kasus dugaan
penyebab
1
pembunuhan anak. Di Jakarta, dugaan penyebab kematian bayi yang paling
sering dilakukan adalah dengan cara asfiksia mekanik yaitu 90-95% dari 30-40
kasus pembunuhan anak, kekerasan tumpul di kepala (5-10%) dan kekerasan
tajam sebanyak satu kasus (Amelinda, Hoediyanto dan Kalanjati, 2018).
Pada tahun 2019 di Palembang terdapat kasus ibu yang memasukkan bayi
nya yang baru lahir kedalam mesin cuci hingga tewas (Putra dkk, 2019). Kasus
tersebut termasuk dalam kasus infanticide atau pembunuhan anak sendiri, yaitu
pembunuhan oleh ibu kandung yang membunuh bayinya saat dilahirkan atau
beberapa saat setelah melahirkan. Alasan ibu kandung tersebut membunuh karena
tidak ingin orang lain mengetahui kelahiran tersebut (Amelinda, Hoediyanto dan
Kalanjati, 2018).
Pada tindakan pidana pembunuhan anak, faktor psikologis ibu yang baru
melahirkan diperhitungkan sebagai faktor yang menyebabkan si ibu melakukan
pembunuhan tidak dalam keadaan sadar yang penuh, dan belum sempat timbul
rasa kasih sayang (Amelinda, Hoediyanto dan Kalanjati, 2018).
Atas dasar tersebut, penulis mengharapkan melalui tulisan ini dapat
menambah pengetahuan mengenai infanticide and stillbirth.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan infanticide and stillbirth?
2. Apa saja penyebab kematian pada infanticide and stillbirth?
3. Bagaimana pemeriksaan medik pada korban kasus infanticide and
stillbirth?

1.3. Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari infanticide and stillbirth.
2. Untuk mengetahui apa penyebab kematian pada infanticide and stillbirth.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan medik pada korban kasus infanticide
and stillbirth.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infanticide and Stillbirth


Pembunuhan, menurut hukum pidana positif merupakan suatu perbuatan atau
tindakan yang tidak manusiawi dan tidak berperikemanusiaan, karena
pembunuhan merupakan suatu tindak pidana yang bertujuan untuk menghilangkan
nyawa orang lain. Dapat juga dikatakan seseorang dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau tidak
disengaja, maka seseorang tersebut akan diancam dan dijatuhi dengan hukuman
pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Moeljanto, 2008). Sedangkan
pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada pasal 4 UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa “Setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang
wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara.
Pembunuhan terhadap anak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 18 ayat 3 menyatakan bahwa
“pembunuhan terhadap anak itu adalah hilangnya nyawa anak yang sebelumnya
disertai dengan kekerasan, kekejaman atau penganiayaan”. Selain itu menurut
pasal 341 KUHP, Infantiside atau kasus pembunuhan anak sendiri adalah
pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, segera atau
beberapa saat setelah dilahirkan, karena takut diketahui bahwa ia telah melahirkan
anak. Pembunuhan anak sendiri (infantiside) adalah pembunuhan oleh ibu
kandung yang membunuh bayinya saat dilahirkan atau beberapa saat setelah
melahirkan.
Gambar 1. Bayi yang baru lahir dengan tali pusat dan plasenta, ditinggalkan di tempat
parkir. Bayi dibungkus dengan kain dan meskipun kepalanya di dalam kantong plastic.

Gambar 2. Bayi baru lahir cukup bulan ditemukan terbungkus selimut di dalam tas
belanja di tempat sampah. Tali pusat telah dipotong dengan benda yang tajam. Paru-paru
tidak menunjukkan bukti positif pernapasan.
Gambar 3. Bayi baru lahir yang membusuk ditemukan di tempat pembuangan
sampah.

Sebagian besar pembunuhan anak terjadi pada dua tahun pertama kehidupan,
dimana insiden terbanyak adalah pada tahun pertama. Hal terjadi ketika anak
berusia sekitar enam minggu, dimana sang anak mulai menangis lebih sering dan
pada saat berumur dua tahun ketika tiba waktunya toilet training. Insiden kembali
memuncak pada umur remaja ketika anak menjadi lebih bebas di luar dan
keterlibatan dengan perilaku beresiko seperti alkohol, penyalahgunaan obat-
obatan, penggunanaan senjata, dan kekerasan antar geng.
Menurut hubungan dengan korban, secara umum pelaku pembunuhan anak
dibagi menjadi intrafamilial dan extrafamilial. Intrafamilial diartikan sebagai
orang tua biologis, orang tua angkat ataupun orang tua tiri. Terdapat dua pola pada
pembunuhan anak, intrafamilial biasanya didominasi korban yang berumur 0-3
tahun dan kemungkinan dijelaskan sebagai fatal child abuse. Meskipun pelaku
pembunuhan extrafamilial jarang terjadi dan biasnya hanya dilakukan oleh pelaku
laki-laki, korban pembunuhan didominasi anak berumur lebih dari 12 tahun dan
dijelaskan sebagai fatal parental-societal neglect. Pembunuhan yang terjadi pada
umur diantara 3 dan 12 tahun biasanya dilakukan oleh salah satu dari keduanya
(mixture) (Budiyanto dkk, 1997).
Pada tindakan pidana pembunuhan anak, faktor psikologis ibu yang baru
melahirkan diperhitungkan sebagai faktor yang menyebabkan si ibu melakukan
pembunuhan tidak dalam keadaan sadar yang penuh, dan belum sempat timbul
rasa
kasih sayang. Selain itu karena adanya kehadiran bayi akibat hubungan diluar
pernikahan. Untuk menutupi perbuatannya, si ibu menjadi terdorong untuk
membunuh bayinya (Amelinda, Hoediyanto dan Kalanjati, 2018).
Stillbirth adalah seorang bayi lahir mati setelah kehamilan 24 minggu dan
belum dilahirkan oleh ibunya, dan tidak bernafas ataupun menunjukkan tanda-
tanda kehidupan lainnya. Secara teoritis, ini adalah definisi yang secara medis
tidak memuaskan, karena bisa hidup ketika kepalanya lahir tetapi mati sebelum
selesainya persalinan, dan oleh karena itu secara hukum menjadi kelahiran mati.
Namun, dalam praktiknya hal ini jarang terjadi, karena sebagian besar bayi lahir
mati dalam kandungan atau selama tahap awal proses kelahiran. Lahir mati terjadi
pada sekitar satu dari setiap 18 kehamilan di Inggris, dan lebih sering terjadi pada
kelahiran dari keluarga yang kurang beruntung secara social (Saukko, P. &
Knight, B. 2004).

2.2 Penyebab kematian pada kasus Infanticide and Stillbirth


Bila terbukti bayi lahir hidup (sudah bernafas), maka harus ditentukan
penyebab kematiannya. Bila terbukti bayi lahir mati (belum bernafas) maka
ditentukan sebab lahir mati atau sebab mati antenatal atau sebab mati janin
(fetal death) (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
1. Pembekapan (sufokasi)
Ini merupakan tindakan yang paling sering dilakukan. Bayi baru lahir
sangat mudah dibekap dengan menggunakan handuk, sapu tangan atau
dengan tangan. Dapat juga ditemukan benda asing yang menyumbat jalan
napas, seringkali karena ibu berusaha mencegah agar anak tidak menangis
dan ini justru menyebabkan kematian. Membekap hampir mustahil untuk
dibuktikan, karena bayi hampir tidak akan pernah menunjukkan petekie
konjungtiva atau tanda-tanda lain yang mungkin terlihat dalam pencekikan.
Hanya jika tekanan berlebih diterapkan, sehingga tanda dibiarkan di bibir
dan wajah, bisa ada bukti yang diambil. Ini harus berupa memar intradermal
atau yang dalam, lecet atau tanda di dalam bibir dan mulut - dan bukan
bayangan, variasi samar pada pewarnaan post-mortem (Saukko, P. &
Knight, B. 2004).
2. Penjeratan (strangulasi)
Penjeratan juga merupakan cara pembunuhan anak yang cukup sering
ditemui. Sering ditemukan tanda-tanda kekerasan yang sangat berlebihan
dari yang dibutuhkan untuk membuat bayi mati. Tanda-tanda bekas jeratan
akan ditemukan di daerah leher disertai dengan memar dan resapan darah.
Kadang juga ditemukan penjeratan dengan menggunakan tali pusat sehingga
terlihat bahwa bayi mati secara alami (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
Pencekikan mempunyai ciri-ciri umum berupa memar dan lecet di
leher, meskipun mungkin minimal. Gambaran klasik dari kemacetan wajah,
sianosis, edema dan petekie mungkin ada, tetapi sering tidak ada, mungkin
karena kemudahan kematian bayi yang rentan. Akan tetapi, lecet pada leher
juga bisa disebabkan oleh upaya panik ibu untuk membebaskan dirinya,
meninggalkan bekas jari di kuku bayi (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
3. Penenggelaman (drowning)
Tenggelam adalah bentuk pembunuhan bayi yang tidak biasa, tetapi
lebih sering merupakan cara membuang anak yang sudah mati, baik lahir
mati, kematian alami atau korban dari beberapa cara pembunuhan bayi
lainnya. Ini dapat terjadi dalam segala bentuk air, dari wastafel hingga laut
terbuka. Paling sering ibu akan menggunakan wadah rumah tangga seperti
mangkuk, ember atau bak mandi, tetapi bayi dapat dikeluarkan dan dibuang
di sumber air terbuka, di mana keterlambatan pemulihan dapat menambah
penguraian pada kesulitan patologis. Dalam sebuah kasus baru-baru ini,
orang tua muda mengakui bahwa anak itu lahir hidup. Setelah beberapa jam,
mereka membungkus bayi itu dengan selimut dengan batu bata dan
menjatuhkannya ke sungai. Sisa-sisa sebagian, sebagian besar dikonversi ke
adipocere, ditemukan sekitar 3 bulan kemudian, jelas tidak ada prospek
untuk menawarkan pendapat tentang kelahiran hidup atau penyebab
kematian (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
4. Kekerasan tumpul pada kepala
Jika ditemukan fraktur kranium, maka dapat diperkirakan bahwa
terjadi kekerasan terhadap bayi. Pada keadaan panik, ibu memukul kepala
bayi hingga terjadi patah tulang. Cedera kepala relatif sering terjadi. Sang
ibu dapat melemparkan anak ke lantai, atau membanting kepalanya ke
dinding atau halangan lainnya, kadang-kadang dengan mengayunkannya ke
kaki.
Jenis kematian ini mirip dengan pelecehan anak pada bayi yang lebih tua.
Pembelaan dapat diajukan bahwa anak itu jatuh ke tanah, baik dari lengan
ibu, tetapi terutama selama kelahiran endapan dari posisi berdiri atau
berjongkok. Meskipun pembelaan ini kedengarannya seperti alasan yang
putus asa, penulis dapat membuktikan - tidak diragukan kesamaan dengan
semua dokter yang memiliki pengalaman praktis melahirkan - bahwa
beberapa persalinan, terutama pada wanita multipara, dapat terjadi dengan
kecepatan dan kekuatan yang besar. Inilah sebabnya mengapa panjang kabel
harus diukur, karena itu jelas merupakan rem yang efektif pada penurunan
tersebut. Tidak ada keraguan, bagaimanapun, bahwa tali telah putus selama
kelahiran endapan, alasan untuk pemeriksaan hati-hati dari ujung yang putus
pada setiap otopsi (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
5. Kekerasan benda tajam
Memotong dan menusuk dikenal sebagai cara pembunuhan bayi.
Menusuk dengan gunting, baik di dada atau leher, telah terlihat atau bahkan
memotong tenggorokan dengan pisau (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
6. Keracunan
Jarang dilakukan, tetapi pernah terjadi dimana ditemukan sisa opium pada
putting susu ibu, yang kemudian menyusui bayinya dan menyebabkan bayi
tersebut mati (Saukko, P. & Knight, B. 2004).

2.3 Pemeriksaan Medik pada korban kasus Infanticide and Stillbirth


2.3.1. Pemeriksaan Luar
Pada kasus apabila ditemukan adanya asfiksia mekanik berupa
pembekapan dan pencekikan dapat disimpulkan dari hasil pemeriksaan luar
maupun pemeriksaan dalam. Memar pada lidah kiri memberikan petunjuk
akibat pembekapan. Sedangkan luka lecet pada leher memberikan ciri-ciri yang
khas sesuai dengan kasus pencekikan. Lebam mayat yang luas (wajah, leher,
belakang tubuh dan tungkai), bintik perdarahan pada mata, pangkal batang
tenggorok serta pada piala ginjal juga merupakan temuan yang mendukung
tanda-tanda asfiksia (Budiyanto dkk, 1997).
Pembekapan dan atau pencekikan merupakan cara yang paling sering
digunakan dalam kasus PAS oleh pelaku, hal ini dilakukan untuk mencegah
bayi menangis agar tidak diketahui oleh orang lain bahwa ia melahirkan bayi.
Bentuk
kekerasan lain yang ditemukan pada mayat bayi ini adalah kekerasan tajam pada
daerah kepala dan dada, serta kekerasan tumpul pada daerah kepala, lidah, dagu
dan leher. Luka terbuka pada daerah kepala merupakan kekerasan tajam yang
terjadi intravital karena ditemukan tanda-tanda intravitalitas seperti resapan
darah dan perdarahan pada kulit kepala (Budiyanto dkk, 1997).
Perubahan pada kulit (Kulit bayi baru lahir bewarna merah terang disertai
lapisan verniks kaseosa yang terdapat pada lipat paha, ketiak, dan leher. Verniks
kaseosa ini baru bisa hilang jika dibersihkan dalam waktu 2 hari. Warna kulit
menjadi lebih gelap pada hari ke-2 dan ke-3 akhirnya berubah menjadi bewarna
merah batasan sedikit kuning. Warna kulit normal akan tampak dalam waktu 1
minggu (Budiyanto dkk, 1997).
Perubahan pada kaput suksedaneum dimana pada proses persalinan
jaringan kulit kepala bayi mengalami pembengkakan yang berisi cairan darah
atau lebih sering berisi serum. Pembengkakan ini akan hilang setelah 1 hingga 3
hari. Kaput suksedaneum, memberikan gambaran mengenai lamanya persalinan.
Secara makroskopis terlihat sebagai edema pada kulit kepala bagian dalam di
daerah presentasi terendah yang berwarna kemerahan (Budiyanto dkk, 1997).
Pemeriksaan eksternal selanjutnya akan diarahkan pada tali pusat atau
plasenta, jika ada. Yang terakhir harus diukur dan ditimbang untuk
memperkirakan kematangan dan kelainan apa pun, seperti infark plasenta,
dicatat sebagai kemungkinan penyebab kematian janin. Tali pusat penting
sebagai indikator keberadaan yang terpisah, jika kelangsungan hidup telah
cukup lama. Bahkan di mana pembusukan dini membuat evaluasi pernapasan
menjadi tidak mungkin, percabangan vital di tali pusat dapat mengindikasikan
kelahiran hidup jika kelangsungan hidup mencapai 24-48 jam. Dan ditandai
dalam beberapa hari berikutnya saat tali pusat mengering dan layu, detasemen
terjadi antara 5 dan 9 hari. Namun, karena sebagian besar bayi meninggal atau
terbunuh dalam beberapa jam setelah kelahiran, tanda-tanda ini jarang
digunakan secara praktis (Saukko, P. & Knight, B. 2004).
Perubahan pada tali pusat yang ditemukan menentukan usia bayi saat
meninggal (Saukko, P. & Knight, B. 2004) :
a. Bekuan darah pada bekas potongan : setelah 2 jam
b. Tali pusat mulai kering masih menempel pada bayi : 12-14 jam
c. Peradangan sekitar tali pusat bayi : 36-48 jam
d. Tali pusat terlepas dari bayi : 5-8 hari
e. Luka menyembuh atau pembentukan jaringan parut : 8-12 hari.

Selain itu diperhatikan juga keadaan bayi pada saat lahir, seperti apakah
bayi cukup bulan atau belum, usia gestasi, usia pasca lahir serta memberikan
pula asupan laik hidup (viable) atau tidaknya bayi tersebut (Budiyanto dkk,
1997).
A. Bayi baru lahir dan sudah dirawat
Anak yang baru dilahirkan tubuhnya diliputi suatu bahan seperti salep,
verniks kaseosa. Anak masih berhubunggan dengan uri. Bila tali pusat
sudah terputus, ujungnya perlu diperiksa untuk menentukan apakah tali
pusat dipotong dengan benda tajam atau robek. Bila tali pusat sudah kering,
terlebih dahulu direndam dalam air supaya tali pusat mengembang lagi dan
diperiksa dibawah mikroskop.
B. Bayi baru lahir dan belum dirawat
Keadaan baru lahir dan belum dirawat sebagai petunjuk dari tidak lama
setelah dilahirkan, berarti tubuh bayi masih berlumuran darah dan verniks
kaseosa serta tali pusat mungkin masih berhubungan dengan uri atau sudah
terpisah, tetapi belum diikat (belum dirawat). Dalam hal bayi tercemplung
atau dicemplungkan dalam air maka darah dan sebagian dari verniks
kaseosa dapat tersingkirkan dari tubuhnya, namun masih bisa ditemukan
pada lipat- lipat kulit dileher, belakang daun telinga,ketiak, lipat siku, lipat
lutut, dan selangkangan. Menurut ponsold, bayi baru lahir adalah bayi yang
baru dilahirkan dan belum dirawat, dan tali pusat yang belum diikat
merupakan petunjuk terpenting dari keadaan belum dirawat.
C. Bayi yang dapat hidup diluar kandungan ibu (viable)
Dapat hidup di luar kandungan berarti dapat hidup tanpa pertolongan
inkubator, couveuse, tempat untuk memelihara bayi prematur dalam suatu
lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang stabil. Viability ini adalah
sebagai berikut :
 28 minggu atau lebih dalam kandungan
 Berat badan 1500 gram atau lebih
 panjang badan kepala-tumit 35 cm atau lebih
 lingkaran kepala oksipitofrontal 32 cm atau lebih
 Tidak mengadung cacat bawaan yang tidak memungkinkannya untuk
hidup terus (incompatible with life).
D. Bayi yang tidak dapat hidup diluar kandungan ibu (non-viable)
Dalam kasus-kasus tertentu meskipun bayi yang dilahirkan itu telah cukup
usia kandunganya, akan tetapi bayi tersebut mengalami kelainan
pertumbuhan yang menyebabkan anak tidak dapat hidup di luar kandungan
:
a) Ektopia kordis (anak lahir tanpa dinding dada sampai terlihat
jantungnya)
b) Rakiskisis (anak dilahirkan dengan tulang punggung terbuka tanpa
ditutupi kulit)
c) Atresia Esofagus (saluran kerongkongan tidak terbentuk)
d) Fistula Tracheo oesophagus (batang tengkorok dan kerongkongan
berubah menjadi satu)
e) Anensefalus (anak dilahirkan tanpa otak besar)
E. Umur bayi cukup bulan (aterm/matur)
Pada bayi yang lahir genap bulan setelah dikandung selama 37 minggu atau
lebih tetapi kurang dari 42 minggu penuh didapatkan
ukuran Antopometrik:
 Berat badan ± 3000 gram (2500-4000).
 Panjang badan kepala-tumit 46-50 cm
 Panjang kepala tungging 30 cm atau lebih
 Lingkar kepala oksipito-frontal 33-34 cm
 Lingkar dada 30-33 cm
 Lingkar perut 28-30 cm.
Ciri-Ciri Eksternal :
 Daun telinga pada bayi lahir cukup bulan, menunjukkan pembentukan
tulang rawan yang sudah sempurna, pada helix teraba tulang rawan
yang keras pada bagian dorsokrnialnya dan bila dilipat cepat kembali
ke keadaan semula.
 Puting susu pada bayi yang matur, sudah berbatas tegas, areola
menonjol diatas permukaan kulit dan diameter tonjolan susu 7 mm atau
lebih.
 Kuku jari tangan sudah panjang, melampaui ujung jari, ujung distalnya
tegas dan relative keras sehingga tersa bila digarukkan pada telapak
tangan.
 Terdapat garis-garis pada seluruh telapak kaki, dari depan hingga
tumit. Yang dinilai garis yang relative lebar dan dalam.
 Pada bayi laki-laki matur, testis sudah turun dengan sempurna, yakni
sampai pada dasar skrotum dan rugae pada kulit skrotum sudah
lengkap. Dan pada bayi perempuan yang matur, labia minor sudah
tertutup dengan baik oleh labia mayor.
 Rambut kepala relative kasar, masing-masing helai terpisah satu sama
laindan tampak mengkilat, batas rambut pada dahi jelas.
 Skin opacity cukup tebal sehingga pembuluh darah yang agak besar
pada dinding perut tidak tampak atau tampak samara-samar.
 Processus xyphoideus membengkok kedorsal, sedangkan bayi
premature membengkok keventral atau satu bidang dengan korpus
manubrium sterni.
 Alis mata sudah lengkap, yakni bagian lateralnya sudah ada.
 Pada bayi cukup bulan terdapat pusat penulangan epifisial diujung
distal femur dengan diameter 4-5 mm.dan adanya pusat penulangan
pada tallus dan calcaneus.
F. Umur bayi tidak cukup bulan (prematur)
Untuk menentukan umur anak dalam kandungan selain mengukur panjang
badan menrut rumus Haase, perlu diperiksa initi penulangan, sentrum
osifikasi.
 Calcaneus (24 minggu)
 Talus (28 minggu)
 Distal Femur (38 minggu)
 Proximal tibia (genap bulan)
Kesimpulan bila tidak ditemukan inti penulangan adalah anak belum sampai
umur tersebut di atas atau mungkin pembentukan inti penulangan terlambat.
G. Bayi dilahirkan dalam keadaan hidup dan bernapas
Untuk mengetahui apakah bayi yang dilahirkan benar-benar hidup, hal ini
dapat diketahui melalui pemeriksaan terhadap tiga fungsi utama organ tubuh
manusia yaitu respirasi, sirkulasi dan aktivitas otak. Terdapat beberapa
pemeriksaan yang harus dilakukan bagi menentukan bayi sudah bernapas
atau tidak.
 Rongga dada yang telah mengembang, pada pemeriksaan didapati
diafragma yang letaknya rendah, setinggi iga ke-5 atau ke-6.
 Pada bayi yang telah bernapas, paru tampak mengembang dan telah
mengisi sebagian besar rongga dada.
 Tertelannya udara (yang menyertai pernapasan) mangakibatkan telinga
tengah dan saluran pencernaan mengandung udara.
H. Bayi dilahirkan dalam keadaan Stillbirth
Stillbirth adalah jika bayi dilahirkan setelah melewati usia kehamilan 28
minggu dan setelah dilahirkan tidak pernah menunjukkan adanya tanda
kehidupan. Karena bayi berada dalam lingkungan steril maka proses
pembusukan dimulai dari permukaan kulit menuju ke jaringan yang lebih
dalam (Budiyanto dkk, 1997). Still birth adalah bayi yang meninggal dalam
uterus dan setelah dilahirkan menunjukkan :
 tanda-tanda rigor mortis saat dilahirkan
 tanda-tanda maserasi yaitu proses otolisis yang aseptic dimana bayi
berada dalam uterus 3-4 hari setelah meninggal. Mayat menjadi lunak,
kempis dan mengeluarkan bau busuk. Pada kulit terdapat lepuhan yang
berisi cairan serosa dan kulit bewarna merah. Jaringan tubuh
membengkak dan sutura pada tulang tengkorak terpisah. Tali pusat
bewarna merah, lunak dan tebal.
 Mumifikasi akibat berkurangnya aliran darah ke jaringan terutama jika
cairan amnion sudah sangat berkurang dan tidak ada udara yang masuk
ke dalam uterus. Janin menjadi kering dan menyusut.
Lahir mati adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan dari ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan. Kematian
ditandai dengan janin yang tidak bernafas atau tidak menunjukkan tanda
kehidupan lain, seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat, atau gerakan
otot rangka (Budiyanto dkk, 1997).
Tanda-tanda maserasi merupakan proses pembusukan intrauterin, yang
berlangsung dari luar ke dalam. Tanda ini baru terlihat setelah 8-10 hari
kematian inutero. Bila kematian baru terjadi setelah 3 atau 4 hari, hanya
terlihat perubahan pada kulit saja, berupa vesikel atau bulla yang berisis
cairan kemerahan. Bila vesikel atau bulla memecah akan terlihat kulit
berwarna merah kecoklatan. Tanda-tanda lain adalah epidermis berwarna
putih dan berkeriput, bau tengik, tubuh mengalami perlunakan sehingga
dada terlihat mendatar, sendi lengan dan tungaki lunak, sehingga dapat
dilakukan hiperekstensi, otot atau tendon terlepas dari tulang. Pada bayi
yang mengalami maserasi, organ-organ tampak basah tetapi tidak berbau
busuk. Bila bayi telah mati lama sekali dalam kandungan, akan terbentuk
litopedion (Budiyanto dkk, 1997).

2.3.2. Pemeriksaan Dalam


A. Paru-paru
Paru-paru bayi yang sudah bernapas berwarna merah muda tidak
homogen tetapi berupa bercak-bercak (mottled) dan menunjukkan
gambaran mozaik berupa daerah-daerah poligonal yang berwarna lebih
muda dan menimbul di atas permukaan berselang-seling dengan yang
berwarna lebih tua dan kurang menimbul. Gambaran tersebut tampak jelas
pada tepi lobus paru. Tepi-tepi paru tumpul. Paru-paru bayi yang belum
bernapas (belum teraerasikan) berwarna merah hitam seperti warna hati
bayi, homogen, tidak menunjukkan gambaran mozaik dan tepi-tepinya
tajam. Kadang-kadang tampak guratan-guratan yang membentuk pola
daerah-daerah poligonal pada permukaan paru. Warna daerah-daerah yang
poligonal itu tidak berbeda satu sama lain dan juga tidak berbeda dengan
warna paru di bagian lainnya. Perhatikan apakah terdapat Tardieu’s Spot
atau perdarahan berupa ptekhiae pada jaringan ikat longgar, dapat
ditemukan pada paru-paru, jantung, timus dan epiglotis (Budiyanto dkk,
1997).
Gambar 4. Pencabutan organ toraks dari lahir mati yang dikenal di rumah
sakit. Paru-paru tegas dan berat tanpa krepitasi saat diperas. Namun, bagian-bagian
margin paru-paru melayang di air, menunjukkan kekeliruan dari 'tes flotasi'.

Pada pemeriksaan mikroskopik akan tampak jaringan paru dengan


alveoli yang telah terbuka dengan dinding alveoli yang tipis. Cara
pengambilan jaringan untuk pemeriksaan mikrosopis, yaitu dengan
memasukkan seluruh paru kanan ke dalam formalin netral 10%. Setelah
kira- kira 12 jam dibuat beberapa irisan melintang pada paru untuk
memungkinkan fiksatif meresap dengan baik ke dalamnya. Setelah difiksasi
selama 48 jam diambil potongan-potongan melintang dari ketiga lobus
dengan menggunakan scalpel yang tajam atau pisau silet. juga dari sisa paru
kiri diambil beberapa potongan jaringan. Biasanya digunakan pewarnaan
hematoksilin eosin, namun untuk paru yang sudah membusuk , Reh (34)
menganjurkan pewarnaan cara Gomori, tatapi dapat pula dilakukan dengan
pewarnaan cara Ladewig yang lebih murah. Dengan pewarnaan cara
Gomori, ruang kosong akibat gas pembusukan atau akibat aerasi dapat
dibedakan, karena serabut-serabut retikulin yang terdapt pada septa alveoli
relatif resisten terhadap pembusukan. Pada pembusukan, ruang kosong
menunjukkan batas yang tidak rata karena tidak dibatasi oleh serabut
retikulin yang tegang, sebaliknya pada ruang kosong akibat aerasi,
menunujukkan batas yang rata dimanan tampak serabut yang tegang. Di
sini sukar untuk menentukan, apakah anak bernapas pada waktu sebelum
atau sesudah dilahirkan. Ada kalanya anak masih dalam kandungan sudah
bernapas dan menangis, vagitus uterinus/vaginalis. Dimana apabila selaput
ketuban pecah dan air ketuban keluar, sehingga terjadi hubungan antara
dunia luar dengan anak dalam kandungan. Pada saat yang singkat ini, udara
terisap oleh anak, anak benapas kemudian menangis. Bila rahim
berkontraksi kembali, vagitus uterinus tidak terjadi lagi (Budiyanto dkk,
1997).
Uji apung paru positif yang membuktikan telah terdapatnya udara
dalam alveoli paru. Dengan cara mengeluarkan seluruh alat rongga dada
kemudian dimasukkan dalam air, dan memperhatikan apakah kedua paru
terapung. Kemudian dilanjutkan dengn mengapungkan paru kanan dan kiri
secara tersendiri. Dan lobus paru dipisah dan diapungkan diair. Selanjutnya
membuat 5 potongan kecil (± 5 mm x 10 mm x 10 mm) dari masing-masing
lobus dan diapungkan kembali. Pada paru yang telah mengalami
pembusukan, potongan kecil dari paru dapat mengapung sekalipun paru
belum pernah bernapas. Hal ini disebabkan oleh pengumpulan gas
pembusukan pada jaringan interstisial paru, yang dengan menekan
potongan paru yang bersangkutan antara 2 karton, gas pembusukan dapat
didesak keluar. Uji apung paru dinyatakan positif bila potongan paru yang
telah ditekan antara dua karton sebagian besar masih tetap mengapung
(Budiyanto dkk, 1997).
Penekanan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan gas pembusukan
dan air, yang terdapat dalam jaringan intertisial paru-paru yang membusuk.
Namun, bila paru tersebut sudah membusuk sekali, alveoli sudah pecah atau
menjadi pecah pada penekanan, maka residual air tersingkirkan sehingga
jaringan paru akan tenggelam. Dengan demikian bayi yang telah bernapas
dapat dinilai sebagai belum bernapas setelah dilahirkan. Hal ini merupakan
salah satu alasan mengapa pada hasil uji apung paru yang negatif tidak
dapat dibuat kesimpulan bahwa bayi pasti belum bernapas. Bila uji apung
paru negatif, hanya dapat dibuat kesimpulan bayi mungkin belum bernapas.
Kepastian bahwa bayi belum bernapas baru diperoleh setelah dipadu
dengan tidak ditemukannya gambaran mozaik pada permukaan paru dan
tidak ditemukannya gambaran histologik yang khas untuk paru-paru yang
belum mengalami aerasi, yakni crumpled sac alveoli atau karusselalveolen
(Budiyanto dkk, 1997).
Pada paru bayi lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi
cairan amnion yang luas karena asfiksia intrauterin. Tampak sel-sel verniks
akibat deskuamasi sel-sel permukaan kulit, berbentuk segi panjang dengan
inti piknotik berbentuk huruf “S”,bila dilihat dari atas samping terlihat
seperti bawang (onion bulb). Juga tampak sedikit sel-sel amnion yang
bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas dan inti terletak eksentrik dengan
batas yang juga tidak jelas (Budiyanto dkk, 1997).
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua
mungkin terlihat dalam bronkioli dan alveoli. Kadang-kadang ditemukan
deskuamasi sel-sel epitel bronkus yang merupakan tanda dari maserasi dini,
atau fagositosis mekonium oleh sel-sel dinding alveoli. Kolon dapat
menggembung berisi mekonium, yang merupakan tanda usaha untuk
bernafas (struggle to breathe) (Budiyanto dkk, 1997).

B. Sistem Pencernaan
Pada usus besar dan lambung dimana jika terdapat udara di dalam usus
besar, berarti bayi telah hidup beberapa jam. Jika lambung berisi udara,
berarti bayi telah hidup selama satu hari. Pada mekonium, jika meckonium
telah hilang sama sekali, berarti bayi sudah hidup selama 4 hari (Budiyanto
dkk, 1997).

C. Kepala
Ditemukannya Sefalhematom, perdarahan setempat diantara
periosteum dan permukaan luar tulang atap tengkorak dan tidak melampaui
sutura. Fraktur tulang tengkorak, walaupun jarang terjadi, biasanya hanya
berupa cekungan tulang saja pada ubun-ubun. Perdarahan intracranial yang
sering terjadi adalah perdarahan subdural akibat laserasi tentorium serebeli
dan falks serebri. Perdarahan subarachnoid atau interventrikuler jarang
terjadi. Umumnya terjadi pada bayi-bayi prematur akibat belum sempurna
berkembangnya jaringan otak. Perdarahan epidural sangat jarang terjadi
karena duramater melekat erat pada tulang tengkorak bayi (Budiyanto dkk,
1997).
2.3.3. Pemeriksaan Penunjang
A. Identifikasi Potongan Tubuh Manusia (Kasus Mutilasi) dengan Pemeriksaan
Serologi
Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan apakah potongan jaringan
berasal dari manusia atau hewan. Bilamana berasal dari manusia, ditentukan
apakah potongan-potongan tersebut dari satu tubuh. Penentuan juga meliputi
jenis kelamin, ras, umur, tinggi badan, dan keterangan lain seperti cacat
tubuh, penyakit yang pernah diderita, serta cara pemotongan tubuh yang
mengalami mutilasi. Untuk memastikan bahwa potongan tubuh berasal dari
manusia dapat digunakan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan
jaringan secara makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik
berupa reaksi antigen-antibodi (reaksi presipitin). Penentuan jenis kelamin
ditentukan dengan pemriksaan makroskopik dan harus diperkuat dengan
pemeriksaan mikroskopik yang bertujuan menemukan kromatin seks wanita,
seperti Drumstick pada leukosit dan badan Barr pada sel epitel serta jaringan
otot (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
B. Pemeriksaan Anatomik dengan Pemeriksaan Serologi
Dapat memastikan bahwa kerangka adalah kerangka manusia.
Kesalahan penafsiran dapat timbul bila hanya terdapat sepotong tulang saja,
dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan serologik/ reaksi presipitin dan
histologi (jumlah dan diameter kanal-kanal Havers) Idris dan Tjiptomartono,
2017).
C. Forensik Molekuler
DNA atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan asam nukleat yang
menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang
menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia.
DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat
diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak
komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang
tuanya. Sedangkan tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi
fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara sederhananya adalah
metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan menginventarisir file-file
khas karakter tubuh (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
Forensik molekuler dalah suatu bidang ilmu yang memanfaatkan
pengetahuan kedokteran dan biologi pada tingkat molekul atau DNA. Ilmu
ini melengkapi dan menyempurnakan berbagai pemeriksaan identifikasi
personal pada kasus mayat tak dikenal, kasus pembunuhan, perkosaan, serta
berbagai kasus ragu ayah (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
Pemeriksaan sidik DNA (DNA fingerprint) pertama kali siperkenalkan
oleh Jeffreys pada tahun 1985. Pemeriksaan ini didasarkan atas adanya
bagian DNA manusia yang termasuk daerah non-coding atau intron (tak
mengkode protein) yang ternyata merupakan urutan basa tertentu yang
berulang sebanyak n kali. Bagian DNA ini dimiliki oleh semua orang tetapi
mempunyai jumlah pengulangan yang berbeda-beda. Bagian DNA ini
dikenal dengan nama Variable Number of Tandem Repeats (VNTR) dan
umumnya tersebat pada bagian ujung dari kromosom. Seperti juga DNA
pada umumnya, VNTR ini diturunkan dari kedua orang tua menurut hokum
Mendel, sehingga keberadaannya dapat dilacak secara tidak langsung dari
orang tua, anak, maupun saudara kandungnya ((Idris dan Tjiptomartono,
2017).
Pada kasus identifikasi mayat tak dikenal, dilakukan pembandingan
pita korban dengan pita orang tua atau anak-anak tersangka korban. Jika
korban benar adalah tersangka, maka akan didapatkan bahwa separuh pita
anak akan cocok dengan ibunya dan separuh lagi akan cocok dengan
ayahnya. Hal yang sama juga dapat dilakukan pasda kasus ragu ayah. Pada
kasus perkosaan, dilakukan pembandingan pita DNA tersangka pelaku. Jika
tersangka benar adalah pelaku, maka akan dijumpai pita DNA yang persis
pola susunannya (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
Penemuan DNA fingerprint yang menawarkan metode eksklusi dengan
kemampuan eksklusi yang amat tinggi membuatnya menjadi metode
pelengkap atau bahkan pengganti yang jauh lebih baik karena mempunyai
ketepatan yang nyaris seperti sidik jari. Dengan mulai diterapkannya metode
PCR, kemampuan metode ini untuk memperbanyak DNA jutaan sampai
milyaran kali memungkinkan dianalisisnya sampel forensic yang jumlahnya
amat minim. Kelebihan lainnya adalah dengan pemeriksaan PCR mampu
menganalisis bahan yang sudah berdegradasi sebagian. Hal ini penting
karena banyak dari sampel forensic merupakan sampel postmortem yang tak
segar
lagi (Idris dan Tjiptomartono, 2017). Tes DNA umumnya digunakan untuk
2 tujuan yaitu :
1. Tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang
tua dari anak dan
2. Tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi
korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya
diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga
korban ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus
pemerkosaan atau pembunuhan.
Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel
tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut
pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus
forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja
yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel
tes DNA. DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA
mitokondria dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak
pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang satu dalam inti sel
sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria
dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA
yang paling akurat digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel
tidak bisa berubah. DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal
dari garis keturunan ibu yang dapat berubah seiring dengan perkawinan
keturunannya. Sebagai contoh untuk sampel sperma dan rambut. Yang
paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya
terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting
diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari pola
pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat
dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya
mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal (Idris dan
Tjiptomartono, 2017).
Setiap anak akan menerima setengah pasang kromosom dari ayah dan
setengah pasang kromosom lainnya dari ibu sehingga setiap individu
membawa sifat yang diturunkan baik dari ibu maupun ayah. Sedangkan
DNA yang berada pada mitokondria hanya diturunkan dari ibu kepada
anak- anaknya. Keunikan pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan
DNA
mitokondria dapat digunakan sebagai marka untuk mengidentifikasi
hubungan kekerabatan secara maternal. Dengan perkembangan teknologi,
pemeriksaan DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
membedakan individu yang satu dengan individu yang lain ((Idris dan
Tjiptomartono, 2017).
A. Tes Paternitas
Tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Kita semua
mewarisi DNA (materi genetik) dari orang tua biologis kita. Tes
paternitas membandingkan pola DNA anak dengan terduga ayah untuk
memeriksa bukti pewarisan DNA yang menunjukkan kepastian adanya
hubungan biologis (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
B. Tes Maternitas
Tes maternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah
seorang wanita adalah ibu biologis dari seorang anak. Seperti pada tes
paternitas, tes ini membandingkan pola DNA anak dengan terduga ibu
untuk menentukan kecocokan DNA anak yang diwariskan dari terduga
ibu. Umumnya tes maternitas dilakukan untuk kasus, seperti kasus
dugaan tertukarnya bayi, kasus bayi tabung, kasus anak angkat dan
lain-lain (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100%
akurat. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa terjadi
secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu
diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh
faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi fragmen-
fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan
standard of procedur yang tepat kesalahan human error dapat
diminimalisir atau bahkan ditiadakan (Idris dan Tjiptomartono, 2017).
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
1. Kasus infanticide atau pembunuhan anak sendiri, yaitu pembunuhan oleh
ibu kandung yang membunuh bayinya saat dilahirkan atau beberapa saat
setelah melahirkan. Alasan ibu kandung tersebut membunuh karena tidak
ingin orang lain mengetahui kelahiran tersebut. Stillbirth adalah seorang
bayi lahir mati setelah kehamilan 24 minggu dan belum dilahirkan oleh
ibunya, dan tidak bernafas ataupun menunjukkan tanda-tanda kehidupan
lainnya.
2. Penyebab kematian pada kasus infanticide and stillbirth adalah pembekapan
(sufokasi), penjeratan (strangulasi), penenggelaman (drowning), kekerasan
tumpul pada kepala, kekerasan benda tajam dan keracunan.
3. Pemeriksaan medik pada korban kasus infanticide and stillbirth adalah
dengan pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan dapat juga dengan
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Amelinda, A., Hoediyanto, H., dan Kalanjati, V.P. 2018. Profil Kasus Pembunuhan
Anak di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RSUD Dr. Soetomo. Surabaya:
eJKI Vol. 6 No. 1
Budiyanto, A. Dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik FK UI
Idries, A.M., dan Tjiptomartono, A.L. 2017. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
Dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta: Sagung Seto
Mangare, P. 2016. Kajian Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Ibu
Kandung nya (Menurut Pasal 134 KUHP). Manado: Lex Privatum Vol. 4 No. 2,
Febuari 2016
Moeljanto. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
Poter, T. dan Gavin, H. 2010. Infanticide & Neonaticide: a Review of 40 years of
Research Literature on Icidences and Cases. USA: SAGE Journals Trauma,
Violence and Abuse Vol. 11, No. 3
Putra, A.Y. dkk. 2019. Dibalik Kisah Ibu yang Masukkan Bayi ke Mesin Cuci Hingga
Tewas, Tidak Ada Niat Bunuh Anak.
https://palembang.kompas.com/read/2019/11/06/12420031/di-balik-kisah-ibu-
yang-masukkan-bayi-ke-mesin-cuci-hingga-tewas-tidak-ada?page=all diakses
pada 30 Juni 2020
Saukko P dan Bernard K. 2004. Knight’s Forensic Pathology 3rd Edition. London :
CRC Press
UU no. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai