Anda di halaman 1dari 8

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

Jl. HS.Ronggo Waluyo, Puseurjaya, Kec.Telukjambe Timur, Karawang, Jawa Barat

ANALISIS VICTIMOLOGI TERHADAP KASUS KEKERASAN SEKS


UAL PADA ANAK DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Bisnis Semester Genap

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

Kelompok 4 / 6A

Ajeng Robiatul Adawiah (2010631010002)

Gallerykhi Art Ma'aarij (2010631010192)

Imam Wahyudi (2010631010195)

Joshua Kevin Panjaitan (2010631010230)

Marsheyla Magdalena A (2010631010107)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Karawang, 11 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR-----------------------------------------------------------------------ii

DAFTAR ISI----------------------------------------------------------------------------------iii

BAB I Pendahuluan---------------------------------------------------------------------------4
A. Latar Belakang-----------------------------------------------------------------------------4
B. Identifikasi Masalah-----------------------------------------------------------------------5
C. Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------------------------5
D. Manfaat Penelitian------------------------------------------------------------------------5

BAB II Pembahasan--------------------------------------------------------------------------6

1. 6
2. ------------------------------------------------------------------------------------------

BAB III Penutup------------------------------------------------------------------------------


Kesimpulan------------------------------------------------------------------------------------
Saran--------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------------

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


signifikan namun dapat dicegah. Banyak anak menunggu untuk melaporkan pelecehan
seksual terhadap anak atau tidak melaporkan nya sama sekali. Meskipun perkiraan bervariasi
dari studi ke studi, data menunjukkan bahwa sekitar satu dari empat anak perempuan dan satu
dari 13 anak laki-laki mengalami pelecehan seksual terhadap anak selama masa kanak-kanak
mereka. Lyness menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak meliputi menyentuh
atau mencium alat kelamin anak, melakukan hubungan seksual atau memperkosa anak,
memperlihatkan media/benda porno, memperlihatkan alat kelamin anak, dan sebagainya.
1
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, tidak boleh ada kontak fisik antara pelaku
dengan anak sebagai korban. Bentuk kekerasan seksual sendiri dapat berupa perkosaan atau
perbuatan tidak senonoh.2

Komnas Perempuan menyatakan bahwa insec atau hubungan seksual merupakan


kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh anak perempuan. Menurut Daftar
Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2019 Komnas Perempuan, dari 2.341 kasus
kekerasan terhadap perempuan tahun ini, 770 di antaranya adalah kasus insec. Jumlah
tersebut tertinggi diantara kategori lainnya yaitu kekerasan seksual sebanyak 571 kasus,
kekerasan fisik sebanyak 536 kasus, kekerasan mental sebanyak 319 kasus dan kekerasan
ekonomi sebanyak 145 kasus. Hasil penelitian Malamuth mendeskripsikan bahwa kekerasan
seksual dalam kasus tindakan pemerkosaan membuat korban merasa “terhukum” dalam artian
karena dirinya telah menjadi salah satu korban perbuatan keji yang mengakibatkan
terenggutnya kehormatan yang selama ini dijaga sehingga akan menimbulkan gangguan
mental dalam waktu yang berkepanjangan.3Oleh karena itu korban kekerasan seksual harus
mendapatkan perlindungan yang optimal.

1
Ivo Noviana, (2015), Kekerasan Seksual terhadap Anak : Dampak dan Penanganan, Jurnal Sosio Informa,
Vol. 1 No. 1, Januari – April 2015, h. 16.
2
Sari, A. P. (2009). Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku dengan Korban.
Diunduh dari http://kompas.com/index.php/read/ xml/2009/01/28/
3
Krisnani, Hetty, and Gisela Kessik. "Analisis Kekerasan Seksual Pada Anak dan Intervensinya oleh
Pekerjaan Sosial (Studi Kasus Kekerasan Seksual oleh Keluarga di Lampung)." Focus: Jurnal Pekerjaan
Sosial 2.2 (2019): 198-207, h. 199.

4
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah peranan anak sebagai korban dalam terjadinya tindak pidana
kejahatan seksual ?
2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi
anak sebagai korban tindak pidana kejahatan seksual ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mempelajari peranan anak sebagai korban dalam terjadinya tindak pidana
kejahatan seksual
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dan
menanggulangi anak sebagai korban tindak pidana kejahatan seksual
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam pengembangan
media pembelajaran tau penerapan media pembelajaran secara lebih lanjut serta
memberikan pemahaman bagi ilmu hukum.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peranan Anak Sebagai Korban


Kejahatan dilihat dalam artian luas merupakan suatu perbuatan atau tindakan dari
manusia yang dianggap menyimpang dari norma, kaidah atau adat istiadat. Seperti yang
dikemukan oleh George C. Vold (I.S. Susanto, 2011: 24) bahwa kejahatan selalu mengarah
pada perbuatan manusia dan paradigma masyarakat mengenai batasan hal yang dibolehkan
dan dilarang, hal baik dan buruk yang terdapat dalam suatu undang-undang, kebiasaan, dan
adat istiadat. Korban merupakan partisipan dalam terjadinya suatu tindak pidana karena
setiap tindak pidana yang terjadi selalu diikuti dengan kemunculan korban. Eksistensi korban
inilah yang kemudian menjadikan korban memiliki peranan dalam terjadinya tindak pidana.
Adapun maksud dari peranan adalah sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi
calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat
kejahatan (Rena Yulia, 2010: 75). Korban sendiri menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 1 angka 2 diartikan sebagai berikut:

“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Peranan korban kejahatan berkaitan dengan apa yang dilakukan pihak korban,
bilamana dilakukan sesuatu dan dimana hal tersebut dilakukan. Peran korban tersebut
berakibat dan berpengaruh bagi korban, pihak lain dan lingkungannya. Antara pihak korban
dan pelaku terdapat hubungan fungsional bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak
korban dikatakan bertanggung jawab (Arif Gosita, 2009: 143). Seperti pada kasus perkosaan,
korban mempunyai peranan dalam terjadinya perkosaan baik yang secara sadar dilakukan
maupun tidak secara sadar dilakukan. Tindakan maupun kondisi korban terkadang menjadi
stimulus atau daya rangsang bagi pelaku untuk melakukan kejahatan. Adanya peranan korban
dalam kasus perkosaan tidak lantas menyalahkan pihak korban tetapi pelaku juga harus
dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatan tersebut. Mengutip opini Arif Gosita,
stimulus tersebut dapat berupa situasi dan kondisi tertentu (Arif Gosita, 2009: 144-145):

“Peranan korban didasarkan pada situasi dan kondisi tertentu yang dapat menjadi stimulus
pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap korban. Situasi dan kondisi tersebut
terkait dengan kelemahan fisik dan mental pihak korban. Peranan korban dilakukan secara

6
sadar atau tidak, aktif atau pasif, sendiri atau bertanggung jawab bersama, dengan motivasi
positif maupun negatif ”.

Pada tindak pidana tertentu antara korban dengan pelaku terdapat hubungan yang
terjadi karena perkenalan, mempunyai kepentingan yang sama, tinggal bersama atau
berkegiatan yang sama. Hubungan tersebut tidak perlu berlangsung terus-menerus maupun
secara langsung. Dalam hubungan tersebut situasi dan kondisi korban dengan pelaku adalah
sedemikian rupa sehingga pelaku memanfaatkan korban untuk memenuhi kepentingan dan
keinginannya berdasarkan motivasi serta rasionalisasi tertentu yang terkadang
melegitimasikan perbuatan jahatnya atas motivasi dan rasionalisasi tersebut (Arif Gosita,

2009: 146). Mengutip pendapat Reid dalam bukunya Crime and Criminology bahwa
hubungan tersebut seringkali ditemui dalam tindak pidana asusila berupa interaksi sosial atau
setidak-tidaknya mengenal pelaku (Sue Titus Reid, 2010: 48):

“…….approximately half of violent crime victims knew their assailants. Robbery victims
were least likely to know their assailants, while rape and sexual assault victims were most
likely to know theirs”.

Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan menyimpulkan peranan


korban dalam terjadinya suatu tindak pidana antara lain yaitu , (Arif Gosita, 2009: 161) :

1. Korban berperan sebagai yang merangsang, mengundang dan yang membujuk pihak
pelaku melakukan suatu kejahatan;

2. Korban berperan sebagai korban semu yang bekerja sama dengan pihak pelaku dalam
melaksanakan suatu kejahatan;

3. Korban merasa menjadi korban atas perbuatan orang lain sehingga melakukan suatu
kejahatan sebagai bentuk pembalasan;

4. Korban yang merupakan alat pembenar-diri untuk kejahatan yang dilakukan oleh seorang
pelaku kejahatan. Pembenaran-diri tersebut berkenaan dengan penolakan, penyangkalan
terhadap pihak korban; pendevaluasian harga diri korban; penyangkalan menyebabkan
penderitaan, kerugian pada pihak korban; mempersalahkan pihak korban dan merumuskan
menimbulkan penderitaan pada korban sebagai suatu perbuatan yang benar.

Pergaulan anak muda saat ini dapat pula menjadi faktor yang memicu peranan korban
dalam terjadinya kejahatan seksual. Menurut Rena Yulia (2010: 20) gaya hidup atau mode

7
pergaulan di antara lelaki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi
membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam
hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan
sehingga menjadi faktor penyebab tindak pidana asusila perkosaan. Sedangkan menurut Arif
Gosita (2009: 147) didalam pergaulan antara pria dan wanita terdapat kecenderungan
berlangsungnya hubungan seks yang dipaksakan, sehingga terjadilah kejahatan perkosaan
yang dilakukan secara individu maupun kolektif. Pihak korban memungkinkan terjadinya
salah penafsiran dari pihak pelaku mengenai perilaku korban dalam pergaulan tersebut
sehingga terjadi kejahatan perkosaan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita. 2009. Masalah Korban Kejahatan: kumpulan karangan. Jakarta: Universitas Trisakti

I.S. Susanto. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Rena Yulia. 2010. Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan). Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai