Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

KONSEP DAN LANGKAH STRATEGIS ADVOKASI TERHADAP


PERLINDUNGAN PERILAKU KEKERASAN PADA ANAK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kebijakan, Legislasi, dan Advokasi Masalah Kesehatan Ibu & Anak
Dosen Pengampu Dr. Hanung Prasetyo, S.Kp., S.Psi., M.Si

Disusun Oleh :
DIAN ASIH NING UTAMI (S022102016)
SUMIYATI (S022102040)
ULUL AZMI ZUHAIRA (S022102041)

PROGRAM STUDI S-2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


KESEHATAN IBU DAN ANAK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Konsep dan
Langkah Strategis Advokasi terhadap Perlindungan Perilaku Kekerasan pada Anak ”
mempunyai tujuan untuk menambah pengetahuan. Dalam kesempatan ini saya ucapkan
terima kasih kepada Dr. Hanung Prasetyo, S.Kp., S.Psi., M.Si selaku dosen mata kuliah
Kebijakan, Legislasi, dan Advokasi Masalah Kesehatan Ibu & Anak, yang telah
memberikan kesempatan untuk membuka kembali wawasan, dan tak lupa saya ucapkan
terima kasih kepada teman – teman yang telah mendukung menyumbangkan pikiran dan
tenaganya dalam menyelesaikan makalah ini.Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga dapat bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa, dan pihak-pihak terkait, seperti
masyarakat umum serta tenaga kesehatan. Kami mohon maaf dan kami juga menerima
setiap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar isi dalam makalah
semakin bermutu.

Nganjuk, 25 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATAPENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB  I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan ..........................................................................................................2
BAB  2 TINJAUAN TEORI
2.1 Defiisi Kekerasan Pada Anak.......................................................................3
2.2 Macam-Macam Bentuk Kekerasan Pada Anak............................................3
2.3 Dampak Kekerasan pada Anak....................................................................5
2.4 Undang-Undang tentang Perlindungan/Kekerasan pada Anak....................5
2.5 Strategi Advokasi Penghapusan Kekerasan pada Anak...............................5
2.6 Program Perlindungan Kekerasan pada Anak..............................................6
2.7 Persiapan dan Upaya Pengurangan Risiko Kekerasan pada Anak
Menurut UNICEF........................................................................................6
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................14
3.2 Saran .............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................15

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan terhadap anak saat ini sering kali terjadi. Banyak faktor yang melatar
belakangi terjadinya kekerasan terhadap anak. Kondisi keluarga, masyarakat, sekolah
maupun struktur yang terabaikan sehingga anak menjadi pelampiasan emosi dari orang
dewasa atau pun teman sebayanya. Dengan kondisi fisik yang lemah, kesadaran sosial
yang kurang, kerap kali menjadikan celah yang banyak dimanfaat untuk melakukan
tindak kekerasan. Kekerasan seksual termasuk ke dalam tindak kekerasan terhadap
anak, khususnya pada perempuan. Dampak dari kekerasan sangat berpengaruh pada
mental anak, perlu adanya dukungan dari keluarga dan orang terdekatnya.
Fakta menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Semakin maraknya kekerasan pada anak perlu adanya
penegasan undang-undang, kebijakaan, atau program untuk melindungi dan
meminimalisasi adanya kekerasan pada anak. Sangat dibutuhkan strategi advokasi
dalam hal ini karena anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi
dan diasuh dengan baik. Pasal 28 B ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, untuk itu penulis akan membahas lebih
lanjut tentang Konsep dan Langkah Strategis Advokasi terhadap Perlindungan
Perilaku Kekerasan pada Anak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Kekerasan pada Anak?
2. Apa saja Macam-Macam Bentuk Kekerasan pada Anak?
3. Apa saja Dampak Kekerasan pada Anak?
4. Bagaimana Undang-Undang tentang Perlindungan/Kekerasan pada Anak?
5. Bagaimana Strategi Advokasi Penghapusan Kekerasan pada Anak?
6. Bagaimana Program Perlindungan Kekerasan pada Anak?
7. Bagaimana Persiapan dan Upaya Pengurangan Risiko Kekerasan pada Anak
Menurut UNICEF?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Kekerasan pada Anak.
2. Untuk Mengetahui Macam-Macam Bentuk Kekerasan pada Anak.
3. Untuk Mengetahui Dampak Kekerasan pada Anak.
4. Untuk Memaparkan Undang-Undang tentang Perlindungan/Kekerasan pada Anak.
5. Untuk Memaparakan Strategi Advokasi Penghapusan Kekerasan pada Anak.
6. Untuk Mengetahui Program Perlindungan Kekerasan pada Anak.
7. Untuk Memaparkan Persiapan dan Upaya Pengurangan Risiko Kekerasan pada
Anak Menurut UNICEF.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Kekerasan pada Anak

2.2 Macam-Macam Bentuk Kekerasan pada Anak


Kekerasan terhadap anak (child abuse/ violence) dibagi dalam empat bentuk
berikut menurut Pusdiklat Kesos (2014) adalah:
1) Kekerasan fsik. Kekerasan dilakukan secara fsik, misal: ditampar, ditusuk,
dibanting, dan ditendang, sehingga dapat menimbulkan luka-luka hingga
kematian.
2) Kekerasan emosional/psikis. Anak dikecam, dihardik, dipelototi, direndahkan
dengan kata-kata “bodoh, si pincang, anak tidak tahu diri” atau dipermalukan
di depan temannya. Akibatnya anak menjadi sedih, murung, atau merasa
terhina.
3) Kekerasan sosial. Bentuknya berupa membeda-bedakan anak yang satu
dengan yang lain, yang mungkin disebabkan perbedaan latar belakang
ekonomi, kecacatan, warna kulit, agama, dan lain-lain.
4) Kekerasan seksual. Yakni berupa paksaan pada anak untuk mengajak
berperilaku/mengadakan aktivitas seksual yang nyata (oral, genital, anal
atau sodomi, dan incest).
Keempat bentuk kekerasan tersebut merupakan hal merugikan dan menyakitkan
bagi anak bahkan dapat merusak masa depan anak. Untuk menghindari hal
tersebut, anak sebaiknya harus tahu dan mengerti sikap yang harus dilakukan.
Anak juga harus diajari mana bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh
orang dewasa. Untuk itu, orang tua harus memberikan pendidikan dan
pemahaman kepada anak tentang bentuk-bentuk kekerasan serta upaya
pencegahannya.

2.3 Dampak Kekerasan pada Anak


Akibat dari perlakuan kekerasan terhadap anak menurut Mirsal, G (2018):
1) Anak akan menjadi sakit, mulai dari sakit yang ringan, kecacatan sampai
kematian

3
2) Anak akan menjadi penakut sehingga tidak berkembangnya otak anak
3) Anak akan menjadi rendah diri atau kehilangan percaya diri
4) Anak tidak mudah percaya kepada orang lain
5) Anak akan menjadi mudah emosi
6) Anak akan melakukan kekerasan kepada temannya yang lain
7) Anak suka menyendiri
8) Anak cepat putus asa dan mudah menyerah

Selain itu akibat kekerasan lain seperti kekerasan seksual, menurut Finkelhor dan
Browne, seperti dikutip Noviana (2015), mengkategorikan empat jenis dampak
trauma akibat kekerasan seksual yang dialami anak-anak:
1) Pengkhianatan, kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan
seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan
kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan
otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2) Trauma secara seksual (traumatic sexualization). Istilah ini dikutip oleh
Noviana (2015) dari Russel Tower, yang artinya bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual cenderung menolak berhubungan seksual dan
korban lebih memilih pasangan sesame jenis karena menganggap laki-laki
tidak dapat dipercaya.
3) Merasa tidak berdaya (powerlessness), rasa takut menembus kehidupan
korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban
disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu
merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam
bekerja.
4) Stigmatisasi, korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk. Merasa diri tidak suci lagi. Anak sebagai korban
sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada
tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami.

2.4 Undang-Undang tentang Perlindungan/Kekerasan pada Anak


1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
23/2002 tentang Perlindungan Anak.

4
2) Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Koordinasi Perlindungan Anak.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pengasuhan Anak.

2.5 Strategi Advokasi Perlindungan Kekerasan pada Anak


2.5.1 Strategi perlindungan kekerasan terhadap anak
Strategi perlindungan kekerasan terhadap anak terdiri dari 6 strategi, yaitu :
1) Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk
kekerasan.
Penerapan kebijakan dan legislasi yang mendukung penghapusan kekerasan
terhadap anak memberi pesan yang kuat kepada masyarakat tentang
pentingnya melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Sosialisasi
terhadap kebijakan dan peraturan perundang-undangan juga diperlukan
sebagai upaya untuk membekali masyarakat dengan informasi terkait aspek
hokum dari kekerasan terhadap anak. Selain itu penegakan hokum menjadi
catatan khusus dalam pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Perubahan norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan,
atau mengabaikan kekerasan.
Individu dan mayarakat yang mematuhi norma-norma sosial yang membatasi
dan berbahaya cenderung lebih memungkinkan untuk melakukan kekerasan
fisik, seksual, dan emosional terhadap pasangan dan anak-anaknya. Oleh
karena itu, penghapusan kekerasan terhadap anak memerlukan perubahan
besar terhadap apa yang masyarakat anggap sebagai perilaku yang dapat
diterima.
3) Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang
antara pengasuh (khususnya orang tua) kepada anak untuk mencegah
kekerasan.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa orang tua yang mendukung hubungan
yang aman dan penuh kasih sayang secara signifikan dapat mengurangi risiko
anak menjadi korban kekerasan. Dampak positif ditunjukkan dengan

5
berkurangnya keterpaparan anak dalam penindasan, kekerasan fisik, seksual,
dan erosional, dan menderita karena jadi korban oleh teman sebaya.
4) Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah
kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak.
Pendidikan keterampilan hidup dapat membantu anak melindungi diri dan
bersikap ketika mengalami kekerasan. Keterampilan hidup dimaksudkan
mencakup pengembangan kepercayaan diri anak, kemampuan berpikir kritis,
pembekalan mengenai pola hubungan yang sehat, komunikasi yang efektif,
serta pengetahuan terhadap layanan yang dapat diakses ketika mengalami
kekerasan.
5) Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban
kekerasan dan anak pelaku, serta anak dalam risiko.
Upaya untuk mengurangi kekerasan harus diprioritaskan pada penanganan
dan dukungan yang komprehensif yang berpusat pada kebutuhan anak.
Karena itu, menyediakan layanan konseling, dukungan teman sebaya atau
kelompok masyarakat kepada korban, pelayanan kesehatan yang memadai,
dan informasi bantuan hukum, merupakan upaya penting untuk mencegah
tindakan kekerasan dan mengatasi dampak dari kekerasan yang dialami anak.
6) Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap
anak.
Sebuah studi yang dilakukan di Columbia University, AS (2011) menemukan
fakta mengenai minimnya informasi yang akurat mengenai hal-hal terkait
pengasuhan dan perlindungan anak di Indonesia. Upaya menyusun program
yang efektif untuk menangani kekerasan terhadap anak harus didasari oleh
bukti yang kuat. Berbagai studi menunjukkan bahwa data surveilans dan
tinjauan evaluasi terbukti efektif dalam upaya memahami masalah dan
merencanakan aksi, mengimplementasikan dan menilai dampak dari
intervensi dalam menangani kekerasan terhadap anak.
Keenam strategi tersebut bermuara pada dua tujuan utama untuk :
a. Mencegah kekerasan, terhadap anak termasuk segala tindakan yang
dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak.

6
b. Menanggapi kekerasan, mengacu pada langkah-langkah yang dilakukan
untuk mengidentifikasi, menolong, dan melindungi anak yang menjadi
korban kekerasan termasuk akses terhadap keadilan bagi korban.
2.5.2 Langkah Advokasi Sosial terhadap Perlindungan Kekerasan pada Anak
Menurut Hartono (2019) adapun skenario proses pelaksanaan advokasi sosial
meliputi :
1) Memilih isu strategi
Kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan mendesak untuk dijadikan
prioritas karena korbannya dari bulan ke bulan masih selalu terjadi di
lingkungan masyarakat. Permasalahan ini bila tidak segera ditangani akan
berakibat pada semakin banyaknya korban yang berjatuhan. Seorang anak
yang sudah menjadi korban tindak kekerasan akibat traumatiknya akan
berlangsung cukup lama dalam kejiwaannya.
2) Membangun opini dan fakta
Kampanye untuk membentuk pendapat umum sangat penting karena dengan
memberi pemahaman kepada masyarakat tentang kekerasan terhadap anak,
maka masyarakat akan memahami isu utama dari kegiatan advokasi. Materi
dari kegiatan kampanye antara lain, penjelasan pengertian kekerasan, jenis-
jenis kekerasan, akibat kekerasan, pelaku kekerasan. Disamping itu juga perlu
disiapkan tentang faktafakta terkait dengan korban kekerasan terhadap anak
di daerah tersebut.
3) Memahami sistem
Advokasi dilandaskan pada asumsi bahwa perubahan sistem dan struktur
dalam organisasi merupakan hal yang perlu dilakukan melalui sebuah
kebijakan yang lebih berpihak pada korban.
4) Membangun koalisisi
Dalam melakukan advokasi diperlukan adanya mitra atau sekutu untuk
berjuang bersama. Untuk menentukan mitra tentunya adalah
organisasi/perorangan yang sekiranya mempunyai tugas pokok dan fungsi
yang sejenis serta lembaga-lembaga yang dianggap peduli terhadap isu yang
sedang diperjuangkan. Mitra yang diajak sebagai koalisi diharapkan

7
mempunyai sumber daya seperti sarana prasarana, keahlian, akses, pengaruh,
informasi serta dana.
5) Merancang sasaran dan strategi
Dalam menentukan sasaran dalam kegiatan advokasi hendaknya tidak
terlepas dari tujuan yang akan dicapai dalam melakukan advokasi. Terkait
dengan sasaran dalam advokasi disini sasarannya adalah pengambil kebijakan
dalam penyusunan kebijakan terkait dengan program pencegahan dan
pelayanan terhadap korban tindak kekerasan terhadap anak. Selanjutnya
merancang strategi yang akan digunakan dalam melakukan advokasi.
6) Mempengaruhi pembuat kebijakan
Langkah ini merupakan inti dari pelaksanaan advokasi. Lobby merupakan
cara yang paling efektif untuk melakukan advokasi. Lobby dapat dilakukan
secara formal dan informal. Untuk melakukan lobby-lobby terhadap pihak
yang akan diadvokasi diperlukan advokat yang menguasai substansi dan
teknikteknik dalam lobbying.
7) Memantau dan menilai gerakan
Pelaksanaan advokasi dan hasilnya penting dipantau terus menerus. Hal ini
untuk mengetahui seberapa efektifkah strategi yang telah disiapkan setelah
dilaksanakan. Tidak menutup kemungkinan setelah rancangan advokasi
disusun secara matang tetapi setelah memperhatikan kondisi dilapangan maka
diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian seperlunya.

2.6 Program Perlindungan Kekerasan pada Anak


Menurut Kemen PPPA (2021) program perlindungan kekerasan pada anak adalah:
1) Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Anak
Memperbaiki sistem pelaporan, pelayanan, pengaduan, serta menjadikan data
pelaporan agar lebih akurat dan real time. Hal yang tidak kalah pentingnya
adalah bagaimana pengaduan tersebut agar bisa direspon dan ditangani oleh
berbagai stakeholder yang memiliki tugas untuk melindungi anak, baik dari
aspek penegakan hukum dan pendampingan anak korban.
2) Program Sahabat Perempuan dan Aanak (SAPA 129)
Kementerian PPPA mengaktivasi layanan call center SAPA 129 per Mei
2021. Layanan ini tidak hanya menyediakan layanan pengaduan melalui

8
telepon, namun sudah terintegrasi dengan layanan lainnya. Syarat dan kriteria
penanganan kasus yang ditangani tentunya dengan memerhatikan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
membatasi kewenangan layanan di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Ada 6 (enam) layanan yang diberikan, diantaranya
pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, penampungan sementara,
mediasi, dan pendampingan korban.
3) Program Motivator Ketahanan Keluarga (MOTEKAR)
Program ini adalah salah satu upaya untuk sosialisasi pada para orang tua
agar memiliki jalinan komunikasi yang baik antara anak dan orang tua dan
diharapkan terbentuk hubungan batin yang kuat antara anak dan orang tua
sehingga apabila terjadi benturan keinginan dapat diselesaikan dengan
komunikasi positif, sehingga kekerasan anak dalam keluarga dapat
dihindarkan. Orang tua diharapkan dapat menjadi tauladan yang baik bagi
anak, karena proses pendidikan yang pertama sekali di peroleh anak dan
berlangsung terus-menerus adalah pada lingkungan keluarga atau informal
education. Orang tua diharapkan memiliki self control atau pengendalian diri
yang baik, dengan tetap menjaga emosi saat marah dan tidak terjadi
kekerasan pada anak.

2.7 Persiapan dan Upaya Pengurangan Risiko Kekerasan pada Anak Menurut
UNICEF
UNICEF meminta aksi dari perwakilan pemerintah dari desa ke tingkat nasional
untuk beraksi mendukung implementasi perlindungan anak di seluruh Indonesia,
sebagaimana dirinci di bawah ini :
1) Memastikan bahwa semua anak memiliki akta kelahiran, dan pemerintah
bertanggung jawab untuk mencatat semua kelahiran baru, dengan cara:
a. Mengintegrasikan aktivitas dan inisiatif terkait registrasi dengan
pemberian layanan garis depan di tingkat lokal.
b. Memastikan bahwa layanan pencatatan kelahiran tersedia untuk
masyarakat di mana saja, terlepas dari lokasi geografis .
c. Memusatkan perhatian khusus pada inklusi sosial, untuk memastikan
bahwa kebutuhan keluarga miskin, masyarakat tradisional dan anak-anak

9
penyandang disabilitas dipertimbangkan selama perencanaan pemberian
layanan.
d. Memprioritaskan hak setiap anak untuk mendapat identitas legal saat lahir,
terlepas dari status perkawinan atau sosial orang tua anak tersebut.
2) Mengakhiri semua bentuk kekerasan dan eksploitasi anak dengan
memprioritaskan hak dan keselamatan anak dalam semua kasus dan semua
konteks, dengan cara :
a. Bekerja dengan pihak-pihak terkait untuk mengakhiri perkawinan anak,
untuk memastikan bahwa anak perempuan dan perempuan muda dapat
menyelesaikan pendidikan mereka dan mewujudkan semua hak lainnya
b. Mengakhiri semua bentuk kekerasan fisik dan seksual serta pelecehan
terhadap anak-anak dengan menentang norma sosial yang berbahaya, serta
dengan terus meningkatkan perhatian pada pelecehan emosional berikut
dampaknya terhadap kesehatan mental anak-anak
c. Melindungi anak-anak dari pekerjaan berbahaya dan memastikan bahwa
pendidikan dan kesehatan mereka diprioritaskan di atas permasalahan
ekonomi
d. Melindungi anak-anak dari ancaman online dan digital seperti eksploitasi
seksual, konten kekerasan dan pengucilan sosial melalui perundungan,
sembari tetap memberi mereka kebebasan untuk mengambil manfaat dari
dunia digital.
3) Mengembangkan model layanan kesejahteraan sosial yang menargetkan lebih
banyak perhatian dan sumber daya terhadap anak-anak yang rentan dan
mereka yang tidak mendapat asuhan orang tua, dengan cara:
a. Memperluas dan meningkatkan penerapan model PKSAI dan memastikan
bahwa tersedia cukup dana untuk mendukung upaya-upaya yang
mencakup peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.
b. Mengembangkan opsi dukungan berbasis keluarga untuk anak-anak yang
tinggal di luar pengasuhan orang tua.
c. Menegakkan standar nasional tentang kualitas pengasuhan anak di dalam
lembaga pengasuhan dan memfasilitasi integrasi mereka ke dalam
lingkungan pengasuhan permanen berbasis keluarga.

10
d. Memperkuat mekanisme dukungan sosial untuk dapat mendampingi secara
lebih baik keluarga untuk mengasuh anak-anak yang tidak hidup dengan
orang tua mereka, memungkinkan mereka untuk terus tumbuh dan
berkembang dengan pergolakan seminim mungkin.
e. Menerapkan langkah-langkah sebelum dan ketika proses layanan, untuk
memperluas keterampilan pekerja sosial guna memenuhi kebutuhan anak-
anak yang kompleks, dengan tujuan menciptakan sistem kesejahteraan
sosial yang dipersiapkan dengan baik dan responsive.
4) Mencurahkan perhatian, sumber daya, dan aksi secara signifikan untuk
meningkatkan kapasitas dan perencanaan yang bertujuan untuk melindungi
anak-anak dalam kondisi darurat di seluruh penjuru Indonesia, termasuk
upaya kesiapsiagaan bencana, dengan cara:
a. Turut terlibat dan menerapkan ‘Standar Minimum Perlindungan Anak
dalam Aksi Kemanusiaan’ sebagai platform untuk menggelar kegiatan
perlindungan anak dalam praktik manajemen bencana.
b. Memastikan dukungan cepat, langsung dan spesifik untuk kebutuhan
kesehatan dan pendidikan anak-anak pada periode pascabencana, dengan
berfokus pada kesetaraan dan pemenuhan kebutuhan yang paling
mendesak.
5) Menyediakan mekanisme peradilan alternatif dan terpadu yang bertujuan
melindungi anak-anak yang bermasalah dengan hukum, untuk menghindari
dampak negatif dari sistem peradilan orang dewasa terhadap kesejahteraan
dan perkembangan anak-anak secara keseluruhan, dengan cara:
a. Memastikan bahwa hukum peradilan anak dipahami dan diterapkan di
semua tingkat dalam sistem peradilan.
b. Merancang, mendanai dan memperkuat pendekatan keadilan yang bersifat
alternatif bagi anak-anak serta mempromosikan keterlibatan dengan sistem
layanan sosial.
c. Mengembangkan prosedur operasional dan sistem manajemen kasus yang
mendukung pendekatan yang lebih holistik untuk menangani kasus yang
melibatkan anak-anak.

11
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kekerasan terhadap anak secara fisik adalah segala tindakan penyiksaan,
pemukulan dan penganiyaan anak dengan atau tanpa menggunakan benda yang
menimbulkan luka fisik atau kematian pada anak. kekerasan terhadap anak secara psikis
adalah segala tindakan yang meliputi menghardik, menyampaikan kata-kata kasar atau
kotor, memperlihatkan gambar porno kepada anak yang menyebabkan terganggunya
mental anak berupa ketakutan, pendiam, dan emosi tidak stabil. kekerasan terhadap
anak secara Seksual adalah segala tindakan berupa perlakuan yang kasar melalui
sentuhan sampai berujung pemerkosaan, pemaksaan melakukan hubungan seksual
terhadap anak untuk tujuan komersial, serta menunjukkan atau membiarkan anak
melihat gambar pornografi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap
anak menurut responden yaitu dengan berlaku dan disosialisasikannya UU No 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak. Dukungan dan bantuan kepada korban kekerasan
dapat diterima tidak hanya melalui keluarga tetapi juga dari tetangga, tokoh masyarakat
setempat, tenaga kesehatan, pekerja social, pembimbing rohani, dan lembaga bantuan
hukum.
3.2 Saran
1. Orang tua diharapkan lebih sering berkomunikasi dengan anak-anaknya mengenai
berbagai hal yang dialami anak dalam keseharianya, baik berbagai hal yang
dialami anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Terjalinnya komunikasi yang baik antara anak dan orang tua diharapkan terbentuk
hubungan batin yang kuat antara anak dan orang tua sehingga apabila terjadi
benturan keinginan dapat diselesaikan dengan komunikasi positif, sehingga
kekerasan anak dalam keluarga dapatt dihindarkan.
2. Orang tua diharapkan memiliki self control atau pengendalian diri yang baik,
yaitu apabila anak melakukan kesalahan ataupun perilaku anak menyimpang dari
keinginan orang tua, agar tidak langsung membentak atau memukul anak, tetapi
memberikan teguran dan pengarahan dengan tetap menjaga emosi.

12
3. Orang tua diharapkan dapat menjadi tauladan yang baik bagi anak, karena proses
pendidikan yang pertama sekali di peroleh anak dan berlangsung terus-menerus
adalah pada lingkungan keluarga atau informal education.
4. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral
pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi
pelaku kekerasan itu sendiri. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan
berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini
dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik dan memberikan
bimbingan dan nasihat kepada anak, guna mempersipakan diri anak yang
bermental tangguh.
5. Masyarakat diharapkan lebih peka terhadap tanda-tanda terjadinya kekerasan
anak, dan masyarakat juga harus memiliki pengetahuan terkait perilaku kekerasan
terhadap anak, sehingga timbul kesadaran untuk mencegah dan melaporkan tindak
kekerasan terhadap anak. Bentuk pencegahan yang dilakukan adalah peningkatan
pengawasan dan penjagaan agar anak tidak memperoleh kekerasan oleh orang di
lingkungan sekitarnya baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
6. Melaporkan kecurigaan terhadap adanya kekerasan terhadap anak kepada
pimpinan masyarakat seperti kepala lingkungan, Tokoh masyarakat atau agama
dan bisa langsung melaporkan kepada pihak berwajib maupun kepada Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mencegah agar angka tindakan
kekerasan anak tidak semakin meningkat.
7. Pemerintah wajib melakukan sosialisasi dalam hal ini diwakili Kelurahan Binjai
dan program edukasi kepada semua golongan masyarakat mengenai pencegahan
kejahatan terhadap anak dan tindakan-tindakan serta hukuman bagi pelaku.
Sosialisasi akan dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Pemerintah wajib
memberikan perhatian pada rehabilitasi anak yang menjadi korban, terutama
pendampingan secara psikologis sehingga memulihkan cedera mental atau trauma
yang dialami anak.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hartono, U. (2019). Kekerasan dan Perlindungan Anak (Children’s Violence and


Protection). Yogyakarta : Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan
Sosial (BBPPKS) Reg III Yogyakarta Kementerian Sosial RI. Diakses pada
tanggal 28 November 2021.
https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/mediainformasi/article/download/2148/
1045/7594

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.


(2021). Upaya Kemen PPPA Wujudkan Penaanganan Kasus Kekerasan
Terhadap Anak Secara Utuh. Jakarta : Siaran Pers Kemen PPPA. Diakses pada
tanggal 28 November 2021.
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3220/upaya-kemen-pppa-
wujudkan-penanganan-kasus-kekerasan-terhadap-anak-secara-utuh

Mirsal. G. (2018). Perlindungan Anak Dari Kekerasan. Jurnal Ilmiah Kesejahteraan


Sosial. Diakses pada tanggal 28 November 2021.
https://bbppkspadang.kemensos.go.id/uploads/topics/16100098717723.pdf

Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan Penangannya. Vol.
01 No.1, 13-28. Puslitbang Kesos Kemensos RI. Diakses pada tanggal 28
November 2021. https://doi.org/10.33007/inf.v1i1.87

Pusdiklat Kesos (2014). Modul Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga


(P2K2). Bidang Perlindungan Anak Program Keluarga Harapan (PKH).

UNICEF Indonesia. Ringkasan Advokasi Perlindungan Anak. Jakarta : World Trade


Center.

14

Anda mungkin juga menyukai