PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih menjadi
permasalahan di dunia sampai saat ini.AKI dan AKB merupakan salah satu indikator derajad
kesehatan di suatu negara yang menunjukkan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan.
Semakin tinggi angka kematian yang terjadi, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan
suatu bangsa. Di Indonesia AKI dan AKB masih merupakan masalah yang menjadi prioritas
wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan
atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan,
melahirkan dan dalam masa nifas tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000
kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Pada tahun 2011 di kawasan ASEAN
hanya Singapura yang memiliki Angka Kematian Ibu rendah, yakni mencapai AKI <15 yaitu
3 per 100.000 kelahiran hidup. Ada 5 negara memiliki Angka Kematian Ibu 15-199 per
100.000 kelahiran hidup, yakni: Brunei Darussalam (24), Filipina (99), Malaysia (29),
Vietnam (59), Thailand (48) serta 4 negara memiliki Angka Kematian Ibu 200-499 per
kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
Vietnam (59/100.000), dan Cina (37/100.000). Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu
Negara dengan AKI tertinggi di ASIA, tertinggi ke 3 di kawasan ASEAN. Target Pemerintah
adalah menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015. Penyebab kematian terbesar ibu selama tahun 2010-2013 adalah perdarahan,
hipertensi (termasuk Pre eklamsi), infeksi, pertus lama, abortus (Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2012 AKI di kabupaten Kediri sebanyak 37
jiwa, pada tahun 2015 turun menjadi 17 jiwa dan kemudian tahun 2016 turun lagi menjadi 16
jiwa . Penyebab kematian ibu di Kabupaten Kediri pada tahun 2016 lebih banyak di dominasi
oleh perdarahan dan Pre eklamsia Berat masing- masing 45,45% sedangkan sisanya 9,0%
karena penyebab lain (Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri, 2016). Salah satu keadaan
hipertensi yang paling sering terjadi pada ibu hamil adalah Preeklamsia. Preeklamsia adalah
peristiwa timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria akibat kehamilan, setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala dari preeklamsia ini dapat timbul
sebelum usia kehamilan 20 minggu apabila terjadi penyakit trofoblastik . Penyebab dari
terjadinya eklamsia dan Preeklamsia sampai saat ini belum diketahui. Hipotesis faktor-faktor
etiologi preeklamsia dan eklamsia bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu genetik,
imunologi, gizi, serta infeksi .Preeklamsia di klasifikasikan menjadi dua yaitu Preeklamsia
Ringan dan Preeklamsia Berat. Diagnosis Preeklamsia berat yaitu Tekanan darah ≥ 160/110
mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu, pada pemeriksaan protein urine ≥ 2+ atau dalam
pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 5 g/24 jam, mengalami tromositopeni
( < 100.000 sel/uL), hemolysis mikroangiopati, dan peningkatan SGOT/SGPT, terdapat nyeri
pertumbuhan janin dalam Rahim, oliguria ( < 500 ml/24 jam) dan kreatinin > 1,2 mg/dl (Nur
Amelia, S.ST.,M.Keb, 2019). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Kesehatan Ibu
tahun 2013 kejadian hipertensi dalam kehamilan termasuk di dalam nya preeklamsia sebesar
27,1% (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014). Pada preeklamsia berat
terjadi vasokontriksi yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah sehingga akan
menurunkan aliran darah ke uterus dan lesi vascular terjadi di dasar plasenta, menyebabkan
terjadinya abrupsio plasenta. Akibat dari penururnan aliran darah ke uterus sehingga
mengurangi jumlah okssigen yang berdifusi melalui sel sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas ke
dalam sirkulsai janin dan plasenta. Akibaatnya jaringan plasenta menjadi iskemik yang
Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan angka kesakitan
dan angka kematian bayi. Bayi BBLR berpotensi besar untuk mengalami berbagai masalah
kesehatan sebagai akibat belum lengkap dan matangnya organ dan fungsi tubuh (Anik
Maryunani, 2013). Berat badan lahir merupakan satu indikator dalam tumbuh kembang anak
hingga masa dewasanya dan menggambarkan status gizi yang diperoleh janin selama dalam
kandungan (WHO & UNICEF, 2019). WHO & UNICEF menyatakan bahwa terjadi
peningkatan kejadian BBLR pada periode tahun 2009-2013 yaitu dari 15,5 % menjadi 16 %
danm sebesar 95,6 % dari jumlah tersebut berada di Negara berkembang termasuk Negara
Indonesia (WHO & UNICEF, 2019). WHO pada tahaun 2003 menyatakan bahwa setiap
tahun diperkirakan neonatuis yang lahir sekitar 20 juta adalah BBLR. Angka kejadian BBLR
di Indonesia berkisar 9-20 % bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain. Menurut
laporan Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2017, AKB kota Kediri sebesar 2 per 1.000
kelahiran hidup. Penyebab kematian neonates (0-28 hari) di kota Kediri sebagian besar
disebabkan karena kelahiran BBLR sebesar 56,25%, Asfiksia sebesar 37,5%, infeksi sebesar
tentang hubungan antara kejadian Preeklamsia berat dengan kejadian BBLR di RS.Gambiran
Kota Kediri.
Dengan memperlihatkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
masalah yang akan diteliti adalah “Apakah ada hubungan antara kejadian preeklamsia
1.4.1 Peneliti
kejadian BBLR sebagai bekal untuk memberikan asuhan kebidanan yang bermutu dan
berkualitas.
1.4.2 Tempat penelitian
Bagi petugas kesehatan di tempat penelitian, penelitian ini dapat bermanfaat untuk
dini terhadap kejadian preeklamsia dan BBLR serta dapat memberikan asuhan kebidanan
Dapat dijadikan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya tentang hubungan kejadian