Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“Kekerasan Emosional Pada Anak ”

Dosen:
Aida Novitasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep.

Disusun Oleh Kelompok 1 :


AINUL YATIM P27820821001 BUDI UTOMO P27820821008
ALFIYU NURUL.L P27820821002 CHERLIN ADELITA P27820821009
ALMAS SANIAH P27820821003 CHOIRUL ABIDIN P27820821010
ANGGIE DW.L P27820821004 DEVI FARIDATUL.U P27820821011
ANDRY NUR.I P27820821005 DINDA ANYNDITA P27820821012
ARINA FITRI P27820821006 DINDA TRI AGUSTIN P27820821013
BOBI BIMANTARA P27820821007 DINI KUSMAHARANI P27820821014

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK 2021
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum .Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan semua ridho serta hidayah-Nya sehingga kami dapat membuat
makalah tentang kekerasan emosional pada anak dengan baik tanpa kesulitan.
Kami menyusun makalah ini berdasarkan beberapa sumber buku yang
telah kami peroleh. Kami berusaha menyajikan makalah ini dengan bahasa yang
sederhana dan mudah di mengerti oleh pembaca. Selain itu, kami memperoleh
sumber dari beberapa buku pilihan, kami pun memperoleh informasi tambahan
dari internet.
Terima kasih juga kami aturkan kepada pihak – pihak yang terlibat khususnya
untuk dosen pembimbing kami Ibu Aida Novitasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep yang
telah memberikan bimbingan sehingga kami dapat membuat makalah tersebut.
Kami yakin makalah yang kami buat ini tidak luput dari kesalahan, oleh
karena itu kami mohon kepada para masyarakat pembaca untuk memakluminya.
Tak hanya itu makalah kami takkan sempurna tanpa data – data atau info yang
nyata, karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Kuasa.
Semoga makalah yang telah kami buat berguna bagi masyarakat pembaca
Aamiin.

Wassalamu’alaikum .Wr.Wb

Surabaya, 24 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................3
1.3 Tujuan....................................................................................................3
1.4 Manfaat.................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................4
2.1 Konsep Anak.........................................................................................4
2.1.1 Definisi Anak....................................................................................4
2.1.2 Karakteristik Anak............................................................................4
2.1.3 Kebutuhan Dasar Anak.....................................................................6
2.1.4 Tugas Perkembangan Anak..............................................................6
2.2 Konsep Kekerasan Emosional Pada Anak............................................7
2.2.1 Definisi Kekerasan Emosional Pada Anak.......................................7
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekerasan Emosional Pada
Anak..................................................................................................8
2.2.3 Bentuk Kekerasan Emosional Pada Anak........................................11
2.2.4 Dampak Dari Kekerasan Emosional Pada Anak..............................13
2.2.5 Tahapan Penanganan Kekerasan Emosional Pada Anak..................16
2.2.6 Upaya Penanganan dan Mengatasi Kekerasan Emosional Pada
Anak..................................................................................................17
2.3 Analisis Jurnal.....................................................................................19
2.3.1 Jurnal 1..............................................................................................19
2.3.2 Jurnal 2..............................................................................................23
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................27
3.1 Kesimpulan............................................................................................27
3.2 Saran......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................30
LAMPIRAN.......................................................................................................32

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah anugerah yang didambakan setiap pasangan suami,
bahkan tidak sedikit pasangan suami istri yang rela melakukan berbagai
upaya untuk memperoleh anak. Anak juga merupakan amanah yang
harus dijaga, diasuh, dan dididik oleh orang tua sehingga menjadi
generasi penerus bangsa yang memberikan manfaat bagi orang lain dan
mendoakan orang tuanya.
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
(Pasal 1 angka 15a, Undang-Undang No.35/2014 tentang Perlindungan
Anak) (KEMENKES, 2018).
Kekerasan emosional adalah melukai emosi anak yang
mengakibatkan perkembangan jiwnaya terganggu sehingga kehilangan
rasa percaya diri, mengalami trauma psikis, dan emosi yang terganggu,
seperti mudah marah, mudah tersinggung, pribadi yang tertutup, dan suka
menyendiri (Yaqin, 2019). Emotional abuse atau penyiksaan emosi
terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu waktu
itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi (Andini, 2019).
Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan sepanjang
tahun 2007 hingga 2009, kasus kekerasan emosional menempati
peringkat pertama sebanyak 2094 kasus” (Panggabean & Hidayat, 2012,
hlm. 140). Berdasarkan hasil survei kekerasan anak Indonesia Tahun
2013 yang dilansir oleh Tirto.id (2017) pengalaman kekerasan pada
kelompok usia 13-17 tahun yaitu yang berada pada usia remaja

1
cenderung mengalami kekerasan emosional daripada kekerasan fisik.
Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88.24 persen anak perempuan
pernah mengalami kekerasan fisik. Pada kategori kekerasan emosional,
sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan
menyatakan pernah mengalaminya
Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dapat
terjadi dalam beragam bentuk, baik dalam bentuk kekerasan fisik
(physical abuse), kekerasan seksual (sexual abuse), kekerasan emosional
(emotional abuse), dan penelantaran (neglect) (Gesinde, 2013, hlm. 45).
Bentuk paling umum dari kekerasan terhadap remaja dan paling merusak
serta berdampak pada perkembangan remaja adalah kekerasan emosional
(Farmer dalam Panggabean & Hidayat, 2012, hlm. 139). Patterson
(dalam Wulandari & Nurwati, 2018, hlm. 133) menyebutkan anak yang
menerima kekerasan dari orang tua dapat melakukan tindakan kekerasan
untuk melawan dan menjauhkan dirinya dari kekerasan yang dilakukan
orang tua, dan menjadi sebuah siklus yang terus berputar dalam keluarga.
menurut Fakih M (2003) yang dikutip oleh Widiastuti, pengertian
kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah semua bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual,
pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang
mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan, atau kekuasaan.
Hal inilah yang melatar belakangi kami untuk Menyusun judul
makalah ini tentang Kekerasan Emosional Pada Anak

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan konsep anak?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan konsep kekerasan emosional pada
anak?
3. Bagaimana evidence based nursing practice kekerasan emosional
pada anak ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep anak.
2. Untuk mengetahui konsep kekerasan emosional pada anak.
3. Untuk mengetahui evidence based nursing practice kekerasan
emosional pada anak.

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi kepada para pembaca tentang konsep anak.
2. Memberikan informasi kepada para pembaca tentang konsep
kekerasan emosional pada anak.
3. Memberikan informasi kepada para pembaca tentang evidence based
nursing practice kekerasan emosional pada anak.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak


2.1.1 Definisi Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun
dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala
kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah
dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18
tahun.
2.1.2 Karakteristik Anak
Menurut Damaiyanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat
perkembangan :
1. Usia bayi (0-2 tahun)
Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan
pikirannya dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan
bayi lebih banyak menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada
saat lapar, haus, basah dan perasaan tidak nyaman lainnya, bayi
hanya bisa mengekspresikan perasaannya dengan menangis.
Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap
tingkah laku orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara
non verbal, misalnya memberikan sentuhan, dekapan, dan
menggendong dan berbicara lemah lembut. Ada beberapa respon
non verbal yang biasa ditunjukkan bayi misalnya menggerakkan
badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi kurang
dari enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena
itu, perhatian saat berkomunikasi dengannya. Jangan langsung
menggendong atau memangkunya karena bayi akan merasa takut.

4
Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukkan
bahwa kita ingin membina hubungan yang baik dengan ibunya.
2. Usia pra sekolah (2-5 tahun)
Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah 3
tahun adalah sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai
perasaan takut oada ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu
tentang apa yang akan akan terjadi padanya. Misalnya, pada saat
akan diukur suhu, anak akan merasa melihat alat yang akan
ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan bagaimana akan
merasakannya. Beri kesempatan padanya untuk memegang
thermometer sampai ia yakin bahwa alat tersebut tidak berbahaya
untuknya. Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal
ini disebabkan karena anak belum mampu berkata-kata 900-1200
kata. Oleh karena itu saat menjelaskan, gunakan kata-kata yang
sederhana, singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya.
Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti
boneka. Berbicara dengan orangtua bila anak malu-malu. Beri
kesempatan pada yang lebih besar untuk berbicara tanpa
keberadaan orangtua. Satu hal yang akan mendorong anak untuk
meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan
memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.
3. Usia sekolah (6-12 tahun)
Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang
dirasakan yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu,
apabila berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan anak diusia
ini harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan
berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya.
Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan
orang dewasa. Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000
kata dikuasi dan anak sudah mampu berpikir secara konkret.

5
4. Usia remaja (13-18)
Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir
masa anak-anak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir
dan tingkah laku anak merupakan peralihan dari anak-anak menuju
orang dewasa. Anak harus diberi kesempatan untuk belajar
memecahkan masalah secara positif. Apabila anak merasa cemas
atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak bicara teman sebaya
atau orang dewasa yang ia percaya. Menghargai keberadaan
identitas diri dan harga diri merupakan hal yang prinsip dalam
berkomunikasi. Luangkan waktu bersama dan tunjukkan ekspresi
wajah bahagia.
2.1.3 Kebutuhan Dasar Anak
Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi,
pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak,
sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau
kasih sayang (Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan
yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak
merupakansyarat yang mutlakuntuk menjamin tumbuh kembang yang
selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi
mental (Asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses
belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya
kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian
dan sebagainya.
2.1.4 Tugas Perkembangan Anak
Tugas perkembangan menurut teori Havighurst (1961) adalah tugas
yang harus dilakukan dan dikuasai individu pada tiap tahap
perkembangannya.

6
1. Tugas perkembangan bayi 0-2, adalah berjalan, berbicara,makan
makanan padat, kestabilan jasmani.
2. Tugas perkembangan anak usia 3-5 tahun, adalah mendapat
kesempatan 13 bermain, berkesperimen dan berekplorasi, meniru,
mengenal jenis kelamin, membentuk pengertian sederhana
mengenai kenyataan social dan alam, belajar mengadakan
hubungan emosional, belajar membedakan salah dan benar serta
mengembangkan kata hati juga proses sosialisasi.
3. Tugas perkembangan usia 6-12 tahun, adalah belajar menguasai
keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat
mengenai diri sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya,
memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan
konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
mengembangkan keterampilan yang fundamental, mengembangkan
pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai, mengembangkan
sikap yang sehat terhadap kelompok sosial dan lembaga.
4. Tugas perkembangan anak usia 13-18 tahun, adalah menerima
keadaan fisiknya dan menerima peranannya sebagai perempuan
dan lakilaki, menyadari hubungan-hubungan baru dengan teman
sebaya dan kedua jenis kelamin, menemukan diri sendiri berkat
refleksi dan kritik terhadap diri sendiri, serta mengembangkan
nilai-nilai hidup

2.2 Konsep Kekerasan Emosional Pada Anak


2.2.1 Definisi Kekerasan Emosional Pada Anak
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
(Pasal 1 angka 15a, Undang-Undang No.35/2014 tentang Perlindungan
Anak) (KEMENKES, 2018).

7
Kekerasan emosional adalah melukai emosi anak yang
mengakibatkan perkembangan jiwnaya terganggu sehingga kehilangan
rasa percaya diri, mengalami trauma psikis, dan emosi yang terganggu,
seperti mudah marah, mudah tersinggung, pribadi yang tertutup, dan suka
menyendiri (Yaqin, 2019). Emotional abuse atau penyiksaan emosi
terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu waktu
itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi (Andini, 2019).
Kekerasan verbal pada anak digolongkan dalam penganiayaan
emosional, Penganiayaan emosional ini ditandai dengan kata-kata yang
merendahkan anak. Kondisi ini biasanya berlanjut dengan melalaikan
anak, mengisolasi anak dari hubungan sosialnya, atau menyalahkan anak
secara terus menerus. Sementara itu, ada yang menyebutkan bahwa
kekerasan verbal termasuk kategori kekerasan psikologis pada klasifikasi
penghinaan atau humiliation (Maknun, 2017). Verbal abuse atau biasa
disebut emotional child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang
menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan (Erniwati, 2020).
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekerasan Emosional Pada
Anak
Penyebab atau faktor resiko terjadinya kekerasan terhadap anak
dibagi tiga bagian antara lain:
1. Faktor orangtua/ keluarga
Faktor orangtua memegang peranan penting terjadinya kekerasan
pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orangtua melakukan
kekerasan pada anak:
1) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak: kepatuhan
anak kepada rang tua, hubungan asimetris
2) Dibesarkan dalam penganiayaan
3) Gangguan mental

8
4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial
terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20
tahun,
5) Pecandu minuman keras dan obat

2. Faktor lingkungan sosial/ komunitas


Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya
kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat
menyebabkan kekerasan pada anak diantaranya:
1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai rialistis
2) Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
3) Adanya nilai masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua
sendiri
4) Status wanita dipandang rendah
5) Sistem keluarga patriarkal
6) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis

3. Faktor anak itu sendiri


1) Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit
kronis disebabkan ketergantungan anak kepada
lingkungannya
2) Perilaku menyimpang pada anak (Kadir & Handayaningsih,
2020).
Kekerasan emosional pada anak biasanya diawali dengan
munculnya perilaku yang buruk dari anak sehingga menyebabkan orang
tua melakukan hal tersebut. Namun, sebagian besar orang tua kadang
lupa mengaitkan antara perilaku yang muncul dengan kondisi jiwa anak.
Anak hanyalah manusia biasa yang masih membutuhkan banyak
bimbingan dari orang dewasa di sekitarnya. Terkadang saat anak
memunculkan sebuah perilaku, hal itu dilakukan atas dasar rasa ingin
tahu yang tinggi. Namun, tidak mendapatkan respon positif dari
lingkungan sekitarnya (Mahmud, 2019). Terdapat tiga aspek yang

9
menjadi penyebab atau faktor risiko kekerasan emosional atau verbal
yaitu:
1. Pendapatan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pendapatan yang rendah akan mengalami
kecenderungan untuk melakukan perilaku negatif. Perilaku negatif
tersebut diantaranya orang tua lebih mudah marah terhadap
anaknya, tertekan, frustasi hingga berujung pada perilaku
kekerasan emosional atau verbal pada anak.
2. Pengetahuan
Pengetahuan orang tua tentang tumbuh kembang anak sangat
mempengaruhi munculnya perilaku kekerasan emosional atau
verbal pada anak. Sebagian besar orang tua yang tidak memiliki
atau kurang pengetahuannya tentang kebutuhan perkembangan
anak, maka cenderung melakukan kekerasan emosional atau verbal
terhadap anaknya. Sebagai contoh, orang tua terkadang
memaksakan anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
usia perkembangan anak. Ketika anak menunjukkan
ketidakmampuannya dikarenakan usianya yang memang harusnya
belum mampu untuk melakukan hal tersebut, maka orang tua akan
menjadi marah, membentak, dan mencaci anak. Orang tua kadang
memiliki harapan yang tidak realistis dengan kondisi anak pada
usianya.
3. Lingkungan
Lingkungan yang baik akan mencegah terjadinya kekerasan verbal
pada anak, begitu pun sebaliknya. Sebagai contoh, keberadaan
televisi di rumah yang memungkinkan memberikan pengaruh yang
besar terhadap perilaku kekerasan emosional atau verbal pada anak
(Mahmud, 2019).

10
Banyaknya dampak yang disebabkan oleh kekerasan emosional
atau verbal terhadap anak, maka dibutuhkan peran dari orang tua dan
pendidik untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Keluarga yang selalu
berinteraksi dengan anak juga harus mendapatkan edukasi tentang
dampak dari kekerasan emosional atau verbal tersebut. Hal ini
disebabkan karena biasanya anak tidak mendapatkan kekerasan verbal
dari orang tuanya, tetapi dari lingkungan keluarganya. Sebagai contoh,
nenek yang suka membanding-bandingkan cucunya. Oleh karena itu,
semua pihak yang selalu berinteraksi dengan anak harus memiliki
pemahaman tentang dampak dari kekerasan emosional atau verbal
terhadap anak (Mahmud, 2019).
2.2.3 Bentuk Kekerasan Emosional Pada Anak
Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, misalnya dilakukan
dalam bentuk memerahi, mengomel, dan memaki anak dengan cara
berlebihan dan merendahkan martabat anak termasuk mengeluarkan kata-
kata yang tidak patut didengar maupun oleh anak (Kadir &
Handayaningsih, 2020). Selain itu terdapat bentuk-bentuk dari verbal
abuse adalah sebagai berikut:
1. Tidak sayang dan dingin
Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan
sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak (seperti
pelukan), kata-kata sayang.
2. Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam
anak, dan mengertak anak.
3. Mengecilkan atau mempermalukan anak
Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa
seperti : merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan
negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak
berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.

11
4. Kebiasaan mencela anak
Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan
bahwa semua yabg terjadi adalah kesalahan anak.
5. Tidak mengindahkan atau menolak anak
Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:
tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli
dengan anak.
6. Hukuman ekstrim
Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam
kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di
kursi untuk waktu lama dan meneror (Fitriana et al., 2015).
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah :
1. Penolakan
Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan,
mengusir anak atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang
menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala
problem yang ada dalam keluarga.
2. Tidak diperhatikan
Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak
dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini
mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan
sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih saying, atau
bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua
yang secara fisik selalu ada disamping anak tetapi secara emosi
sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
3. Ancaman
Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak.
Dalam jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat
perkembangannya, atau bahkan terancam kematian

12
4. Isolasi
Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak
mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya atau bayi dibiarkan
dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari
lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai
waktu tertentu.
5. Pembiaran
Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol,
berlaku kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau
terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong
dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya
menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di
televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi (Andini,
2019).
2.2.4 Dampak Dari Kekerasan Emosional Pada Anak
Proses tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh stimulasi
yang didapatkannya dari lingkungannya. Termasuk proses pembentukan
karakter anak juga sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak
cenderung lebih cepat meniru hal-hal yang dilihatnya dari lingkungannya.
Ketika anak mendapatkan kekerasan verbal, maka besar kemungkinan
anak pun akan melakukan hal yang sama ketika dewasa (Mahmud, 2019).
Dampak penganiayaan emosional yang dilakukan oleh orangtua
dalam kekerasan verbal terhadap anak memiliki dampak yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan perilaku yang buruk (Wulandari &
Nurwati, 2018). Kekerasan secara emosional dengan cara kekerasan
verbal akan menyebabkan gangguan emosi pada anak. Anak akan
mengalami perkembangan konsep diri yang kurang baik, hubungan
sosialnya dengan lingkungannya akan bermasalah, dan membuat anak
lebih agresif serta menjadikan orang dewasa sebagai musuhnya. Anak
akan menarik diri dari lingkungannya dan lebih senang menyendiri. Anak
bisa jadi akan suka ngompol, hiperaktif, sulit tidur, bahkan bisa membuat
anak mengalami tantrum. Anak juga akan mengalami kesulitan belajar,
13
baik di rumah maupun di sekolah (Mahmud, 2019). Berikut dampak-
dampak psikologis akibat kekerasan verbal pada anak:
1. Anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain
Anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan emosional secara
terus menerus akan tumbuh menjadi anak yang tidak peka terhadap
perasaan orang lain. Sehingga kata-katanya cenderung kasar
(walaupun maksudnya bercanda).
2. Menganggu perkembangan
Anak yang mendapat perlakuan kekerasan verbal terus menerus
akan memiliki citra diri yang negatif. Hal ini yang mengakibatkan
anak tidak mampu tumbuh sebagai individu yang penih percaya
diri.
3. Anak menjadi agresif
Komunikasi yang negatif mempengaruhi perkembangan otak anak.
Anak akan selalu dalam keadaan terancam dan menjadi sulit
berpikir panjang. Anak menjadi kesulitan dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak
yang bernama koteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa
dijalankan kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila anak
tertekan, maka input hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap
yang timbul hanya berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan
lebih dulu. Akibatnya anak berperilaku agresif.
4. Gangguan emosi
Pada anak yang sering mendapatkan perlakuan yang negatif dari
orang tuanya akan berakibat gangguan emosi pada perkembangan
konsep diri yang positif, dalam mengatasi sifat agresif.
Perkembangan hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu juga,
beberapa anak menjadi lebih agresif atau bermusuhan dengan
orang dewasa.

14
5. Hubungan sosial terganggu
Pada anak-anak ini menjadi susah bergaul dengan temantemannya
atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai teman sedikit, dan
suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu,
atau perbuatan kriminal lainnya.
6. Kepribadian sociopath atau antisocial personality disosde
Penyebab terjadinya kepribadian ini adalah verbal abuse. Kalau ini
dibiarkan anak akan menjadi orang yang eksentrik, sering
membolos, mencuri, bohong, bergaul dengan anak-anak nakal,
kejam pada binatang, dan prestasi yang buruk di sekolah.
7. Menciptakan lingkaran setan dalam keluarga
Anak akan mendidik anaknya lagi dengan satu-satunya cara yang
dia ketahui yaitu verbal abuse. Karena anak merupakan peniru
yang ulung. Akibatnya lingkaran setan ini akan terus berlanjut dan
kekerasan ini menjadi budaya di masyarakat.
8. Bunuh diri
Anak yang mendapatkan perkataan yang bernada negatif secara
terus menerus maka akan mengakibatkan anak menjadi lemah
mentalnya, karena merasa tidak ada orang di dunia ini yang
sanggup mencintainya apa adanya. Dan hal ini berakibat fatal, anak
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri (Fitriana et al.,
2015).
Banyaknya dampak yang disebabkan oleh kekerasan verbal
terhadap anak, maka dibutuhkan peran dari orang tua dan pendidik untuk
mencegah terjadinya hal tersebut. Keluarga yang selalu berinteraksi
dengan anak juga harus mendapatkan edukasi tentang dampak dari
kekerasan verbal tersebut. Hal ini disebabkan karena biasanya anak tidak
mendapatkan kekerasan verbal dari orang tuanya, tetapi dari lingkungan
keluarganya. Sebagai contoh, nenek yang suka membanding-bandingkan

15
cucunya. Oleh karena itu, semua pihak yang selalu berinteraksi dengan
anak harus memiliki pemahaman tentang dampak dari kekerasan verbal
terhadap anak (Mahmud, 2019)
2.2.5 Tahapan Penanganan Kekerasan Emosional Pada Anak
Penanganan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak dalam
beberapa tahapan, antara lain:
1. Tahap Preempif
Yang dimaksud dengan preemptif adalah upaya-upaya awal yang
dilakukan untuk mencegah terjadi tindak pidana. Pada tahapan ini,
peran orang tua maupun keluarga sangat berpengaruh penting.
didikan untuk melindungi anak dari kekerasan yang dapat terjadi
dilakukan dengan memberikan contoh yang baik kepada anak,
mendidik anak tentang berperilaku yang sopan baik orang lain
maupun untuk diri sendiri, nasehat yang diberikan kepada anak
harus bersifat edukatif yang membuat anak lebih menghargai orang
lain sehingga anak terhindar dari kekerasan yang membahayakan
dirinya sendiri, selain itu pengawasan terhadap anak perlu
ditingkatkan.
2. Tahap Preventif
Tahapan ini merupakan upaya pencegahan anak terhadap tindak
pidana yang dapat membahayakan diri anak tersebut. Pada tahapan
ini, keterlibatan orang tua, guru, pemuka agama, pemuka
masyarakat sangat membantu untuk mencegah terjadinya tindak
pidana terhadap anak. Upaya preventif dapat dilakukan baik dalam
bentuk sosialisasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah, tempat-
tempat bermain anak, maupun melalui sarana kegiatan keagamaan
sebagai bentuk pencegahan untuk meminimalisir kekerasan yang
dilakukan terhadap anak.
3. Tahap Represif
Pada saat terjadi kekerasan terhadap anak, yang menyebabkan anak
menjadi korban, maka upaya yang dilakukan menggunakan sarana

16
penal. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Peranan Kepolisian dalam mengungkap setiap kasus tindak
pidana yang membuat anak menjadi korban, sangat membantu
dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap anak.
Profesionalisme aparat penegak hukum dalam upaya perlindungan
terhadap anak dapat diharapkan dapat memberikan efek jera bagi
pelaku tindak pidana (Salamor & Saimima, 2018).
2.2.6 Upaya Pencegahan Dan Mengatasi Kekerasan Emosial Pada Anak
Banyaknya dampak yang disebabkan oleh kekerasan verbal
terhadap anak, maka dibutuhkan upaya untuk mencegah terjadinya hal
tersebut. Upaya pencegahan ini sebaiknya dilakukan sejak dini.
Semuanya bisa dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat (Mahmud, 2019). Salah satu upaya yang bisa dilakukan
untuk mencegah terjadinya kekerasan verbal terhadap anak adalah
dengan memperbaiki cara komunikasi antara ibu dan anak. Bustan,
Nurfadilah, & Fitria (2017) mengemukakan bahwa salah satu hal yang
harus diperhatikan saat berkomunikasi dengan anak, yaitu dengan
mengendalikan emosi. Orang tua harus mampu mengendalikan emosinya
ketika berkomunikasi dengan anak, khususnya apabila kondisinya kurang
menyenangkan. Saat anak melakukan sebuah kesalahan, maka jangan
terburu-buru untuk memarahi anak. Tanyakan terlebih dahulu kepada
anak alasannya melakukan tindakan tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat berbicara
dengan sopan dan berkomunikasi dengan baik menurut Pranowo (2012),
antara lain:
1. Bahasa sopan mampu menggunakan bahasa verbal (bahasa tertulis)
dan bahasa non verbal juga dapat dibantu dengan bahasa lisan,
2. Bahasa sopan tidak musti menggunakan bahasa baku, namun harus
digunakan sesuai dengan aturan bahasa yang baik.

17
3. Gunakan gaya sopan atau "santun" (mis: mohon, mohon, minta
maaf).
4. Bicarakan tentang topik yang dipahami dan diperhatikan oleh
lawan bicara.
5. Membuat mitra bicara tertarik dengan pidato pembicara sehingga
mereka dapat dengan mudah memahami makna pidato.
6. Mengidentifikasi pasangan bicara dengan betul, terlebih yang
terkait identitas dan kesenangan pribadi.
7. Ciptakan konteks dengan menguntungkan bagi lawan wicara
sehingga perhatian lawan wicara fokus pada pembicara (Wulandari
& Nurwati, 2018).
Bahasa positif dapat digunakan dengan melakukan hal-hal seperti:
1. Memikirkan beberapa pilihan bahasa / kata yang tepat untuk anak,
2. Menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan anak.
3. Menyelaraskan dengan kata-kata yang dikutip, dan
4. Menghindari kata "tidak" dan "tidak" dan "tidak". Mungkin tidak
"dan" dilarang ". Dengan demikian, bahasa negatif tentunya bisa
diubah dengan bahasa yang positif, seperti kalimat ‘jangan
mencoret-coret dinding!’ diganti dengan ‘menulislah di kertas saja
saja!’ (Nurmalina, 2020).
Upaya lain yang bisa dilakukan yaitu orang tua harus memahami
bahwa setiap anak adalah bintang di bidangnya masing-masing. Ketika
anak menunjukkan ketidakmampuannya dan tidak sesuai dengan
harapannya, maka orang tua tidak perlu terburu-buru mencela anak
karena kegagalannya. Anak mungkin gagal atau tidak mampu melakukan
tugas tertentu di satu bidang, tetapi mampu menyelesaikan tugas di
bidang yang lain. Sebagai contoh, saat anak diminta untuk menyelesaikan
suatu tugas yang berkaitan dengan kemampuan logika matematikanya
dan ternyata anak tidak mampu menyelesaikan hal tersebut. Orang tua
tidak perlu terburu-buru mencela bahwa anaknya tidak mampu
menyelesaikan tugas tersebut. Anak tersebut boleh jadi kurang dalam

18
bidang logika matematika, tetapi ketika anak diminta untuk menceritakan
kembali suatu cerita dan ternyata anak mampu melakukan hal tersebut.
Hal ini berarti anak memiliki kelebihan di bidang bahasa (Mahmud,
2019).
Apabila orang tua telah melakukan kekerasan verbal kepada anak,
maka hendaknya meminta maaf kepada anak. Ketika orang tua melukai
perasaan anak dengan cara kekerasan verbal, maka ada hati anak yang
terluka dan inilah nantinya yang akan mempengaruhi proses tumbuh
kembang anak. Orangtua tidak perlu sungkan untuk meminta maaf
kepada anak (Mahmud, 2019).

2.3 Analisis Jurnal


2.3.1 Jurnal 1
Judul :Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini Melalui
Bahasa Negatif Dalam Kekerasan Verbal
Penulis :Nurmalina
Tahun :2020
Publikasi :Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Ringkasan :
Orangtua sering meluapkan emosi akibat tingkah laku anaknya
yang tidak sesuai dengan kehendaknya dalam bentuk kekerasan verbal.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan solusi untuk mencegah dan
mengatasi masalah kekerasan berbahasa pada anak usia dini. Metode
penelitian ini adalah penelitian library research. Teknik pengumpulan data
dengan mendokumentasikan artikel, buku, dan analisis lapangan.
Selanjutnya mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan,
pengelompokan, dan kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
Dari Hasil penelitian diketahui ada dua faktor dominan alasan orang tua
untuk melakukan kekerasan verbal yaitu pengalaman dan pengetahuan
orang tua. Dampak yang ditimbulkan adalah anak akan menjadi manusia
yang tidak berakhlak, baik dari segi perbuatan maupun ucapan. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mepositifkan bahasa
19
dalam berkomunikasi terhadap anak
Kelebihan : Bagian abstrak singkat padat dan mampu mewakili isi
dari literatur tersebut.
Kekurangan :Tidak ada

Analisis PICOS :
Hasil Analisis PICOS
PROBLEM Penganiayaan emosional melalui pelecehan verbal
kepada seorang anak akan menyebabkan tekanan
emosional (Mahmud, 2019). Anak akan
mendapatkan perkembangan buruk, hubungan
sosial yang bermasalah, membuat anak menjadi
lebih agresif, dan orang dewasa menjadi musuh.
Parahnya, di Indonesia, ketua Komnas PA
menyatakan bahwa secara psikis, hampir 90 persen
anak Indonesia mengalaminya sebagai teriakan dan
penghinaan dan hampir semua anak Indonesia
mengalami kekerasan verbal. Hal itu seolah-olah
dianggap bukan lagi kekerasan dalam lingkup
sosial budaya di Indonesia.
Perkembangan superego anak biasanya antara usia
3 dan 6 tahun. di masa ini, anak sangat kritis
terhadap perkembangan emosi dan psikologisnya.
Bahkan, di usia ini anak-anak lebih aktif dan
terlihat nakal. Kenakalan anak usia 3 - 6 tahun
merupakan hal wajar, sehingga anak belajar di
lingkungan dengan cara yang kreatif, namun
terkadang orang tua melihatnya sebagai sesuatu
yang mengganggu, dan orang tua tidak segan-segan
menggunakan kekerasan verbal seperti berteriak
dan mengabaikan anak (Wong, 2008). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalis dan mengetahui
faktor paling dominan yang melatarbelakangi
terjadinya penganiayaan emosial melaui bahasa
negatif dalam kekerasan verbal, dampak yang
ditimbulkan, serta solusi yang ditawarkan untuk
mencegah dan mengatasi masalah tersebut.
INTERVENTION Langkahnya dimulai dengan mengumpulkan
bahan-bahan yang dibutuhkan, menyusunnya,

20
kemudian menganalisisnya sesuai dengan tujuan
penelitian. Pelaksanaan penelusuran pustaka dalam
penelitian ini adalah pemilihan topik, guna mencari
informasi tentang topik tersebut dalam bentuk
artikel dan penelitian serupa. Sumber data
penelitian yang diperoleh dari kepustakaan
memiliki variabel sesuai dengan topik penelitian.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dokumentasi, yang mencari data variabel-
variabel dalam bentuk artikel dan penelitian
COMPARISON Hasil penelitian Farhan (2019) menunjukkan bahwa
terdapat 5 Faktor penyebab orang tua menggunakan
penganiayaan verbal terhadap anak. Pertama, faktor
pengetahuan orang tua tidak mengetahui bahwa
penganiayaan verbal lebih berbahaya daripada
kekerasan psikologis. Kedua, faktor pengalaman
orang tua memiliki pengalaman yang sama
sehingga cenderung untuk meniru. Ketiga,
dukungan keluarga terhadap anak dengan kelainan
fisik maupun anak lahir yang tidak diharapkan.
Keempat, faktor ekonomi karena kemiskinan
ataupun pengangguran, dan kelima, faktor
lingkungan orang tua menjadi kaku dalam hal
mendidik anak
OUTCOME Faktor pengalaman dan pengetahuan orangtua
merupakan faktor dominan orangtua yang
melakukan kekerasan verbal terhadap anaknya.
Dampaknya, anak menjadi manusia yang tidak
berakhlak, baik dari segi perbuatan maupun
ucapan. Anak mudah menggunakan bahasa-bahasa
yang negatif dalam kehidupan sosialnya dan
melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang.
Upaya mencegah dan mengatasinya adalah dengan
memositifkan bahasa dalam berkomunikasi
terhadap anak. Disamping itu orangtua harus
mampu menambah pengetahuan parenting, serta
menghindari bahasa negatif serta bisa memilih kosa
kata yang lebih baik untuk anak
STUDY DESAIN Metode penelitian ini adalah penelitian pustaka
(library research) yaitu penelitian pustaka dengan
data yang diperoleh dari perpustakaan, seperti:
ensiklopedia, skripsi, skripsi, disertasi, buku, jurnal,
dokumen, kamus dan majalah (Khahtibah, 2013)

21
Analisis Jurnal 1 :
Penganiayaan emosional melalui pelecehan verbal kepada seorang
anak akan menyebabkan tekanan emosional (Mahmud, 2019). Anak akan
mendapatkan perkembangan buruk, hubungan sosial yang bermasalah,
membuat anak menjadi lebih agresif, dan orang dewasa menjadi musuh.
Menurut UNICEF (United for Children) tahun 2016, 80% anak usia 2
hingga 14 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental, 62%
kekerasan terjadi di lingkungannya (keluarga dan sekolah), sisanya 38% di
publik (Fitriana et al., 2015). Parahnya lagi, di Indonesia di tahun-tahun
sebelumnya, ketua Komnas PA menyatakan bahwa secara psikis, hampir
90 persen anak Indonesia mengalaminya sebagai teriakan dan penghinaan
dan hampir semua anak Indonesia mengalami kekerasan verbal. Hal itu
seolah-olah dianggap bukan lagi kekerasan dalam lingkup sosial budaya di
Indonesia.

Hasil penelitian Zahara Farhan (2018) menunjukkan bahwa terdapat


5 faktor yang membuat orang tua melecehkan anak. Pertama, faktor
pengetahuan orang tua tidak mengetahui bahwa kekerasan verbal lebih
berbahaya daripada kekerasan psikologis, kedua, faktor pengalaman orang
tua memiliki pengalaman yang sama, sehingga cenderung meniru
kekerasan psikologis., ketiga, dukungan keluarga terhadap anak dengan
kelainan fisik maupun anak lahir yang tidak diharapkan. Keempat, faktor
ekonomi karena kemiskinan ataupun pengangguran, dan kelima, faktor
lingkungan orang tua menjadi kaku dalam hal mendidik anak. Karakter
orang tua juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan verbal
pada anak (Putri & Santoso, 2012).

Berdasarkan paparan di atas, diketahui faktor dominan orangtua


yang melakukan kekerasan verbal terhadap anaknya adalah faktor
pengetahuan orangtua dan pengalaman orangtua. Orangtua yang
melakukan penganiayaan emosional tidak mengetahui bahwa kekerasan
verbal memiliki dampak yang sangat buruk, bahkan bahaya daripada
kekerasan fisik. Pengalaman orang tua berpengaruh kuat pada perilaku

22
merela ketika melakukan penganiayaan verbal pada anak usia dini.

2.3.2 Jurnal 2
Judul :The effect of parental emotional abuse on the severity
and treatment of PTSD symptoms in children and
adolescents
Penulis :Chris Hoeboer, Carlijn de Roos, Gabrielle E.Van Son,
Philip Spinhoven, Bernet Elzinga.
Tahun :2020
Publikasi :Universitas Leiden, Institut Psikologi, bagian Psikologi
Klinis, Leiden, Belanda. Pusat Medis Universitas
Amsterdam, Departemen Psikiatri Anak dan Remaja,
Amsterdam, Belanda. Rivierduinen, Departemen
Kualitas Perawatan, Leiden, Belanda.
Ringkasan :
Penganiayaan oleh pengasuh utama merupakan faktor risiko
penting untuk perkembangan gejala PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder). Sementara meta-analisis menunjukkan bahwa pelecehan
emosional orang tua adalah salah satu bentuk penganiayaan yang paling
umum, dampak pelecehan emosional pada gejala PTSD dan efektivitas
pengobatan masih belum jelas, terutama pada anak-anak. Sebagian besar
penelitian membedakan antara kekerasan fisik (misalnya, memukul),
pelecehan emosional (misalnya, penghinaan), pengabaian fisik (misalnya,
kegagalan untuk memberikan nutrisi), pengabaian emosional (misalnya,
kegagalan untuk menanggapi perasaan anak) dan pelecehan seksual
(misalnya, sentuhan yang tidak diinginkan). Perhatikan bahwa istilah
'penganiayaan psikologis' juga umum digunakan, yang mengacu pada
pola berulang atau insiden ekstrem dari perilaku pengasuh yang melanggar
kebutuhan psikologis dasar seorang anak, dengan demikian termasuk
pelecehan dan penelantaran emosional (Brassard, Hart, Baker, & Chiel,
2019).

23
Studi kami menggaris bawahi efek merugikan dari pelechan
emosional orangtua untuk keparahan gejala PTSD anak-anak dan
remaja, menekankan pentingnya untuk mengatasi hal ini dalam penilaian
klinis dan pengobatan. Terutama spesialis perawatan kesehatan yang
berada dalam posisi untuk mendeteksi pelecehan emosional, seperti
dokter umum, psikolog, wali keluarga dan pekerja sosial, dapat
berkontribusi untuk lebih banyak kesadaran dan deteksi pelecehan
emosional. Karena pelecehan emosional orang tua merupakan faktor
risiko penting untuk diketahui lebih banyak lagi.
Kelebihan :Journal ini merupakan Journal interasional terindeks
Scopus.
Kekurangan :Penelitian ini memerlukan waktu yang lama dan
kemungkinan biayanya juga sangat tinggi.
PROBLEM Mengingat tingginya prevalensi pelecehan
emosional dan efek merugikannya, penting
untuk lebih menjelaskan sifat spesifik dari
hubungan antara pelecehan emosional dan
gejala PTSD. Di satu sisi, pengalaman
pelecehan emosional orang tua itu sendiri
mungkin bersifat traumatis sehingga dapat
secara langsung mengarah pada perkembangan
gejala PTSD, seperti gangguan, mimpi buruk,
penghindaran ('model langsung'). Atau,
pelecehan emosional juga dapat secara tidak
langsung terkait dengan gejala PTSD
sedemikian rupa sehingga konteks pelecehan
emosional orang tua mempengaruhi keparahan
gejala PTSD.
INTERVENTION Pengobatan pilihan pertama adalah Terapi
Perilaku Kognitif Fokus Trauma individu (TF-
CBT) dan Desensitisasi dan Pemprosesan Ulang
Gerakan Mata (EMDR).

COMPARISON Penelitian menggunakan dua sampel


yaitu anak anak dan remaja yang kemudian
hasilnya dibandingkan

24
OUTCOME Pelecehan emosional orang tua sering
dilaporkan sekitar 29 % pelecehan emosional
tingkat ringan sampai sedang dan 27 %
melaporkan pelecehan emosional tingkat
parah. Dan 26 % pada anak-anak /remaja,
kekerasan emosional adalah trauma indeks.

STUDY DESAIN Journal ini merupakan penelitian meta Analysis


yang diambil sejak bulan Februari 2012 sampai
dengan April 2015. Analisis penelitian ini
menggunakan statistic CRTI, CDI, CTQ.
Analisis Jurnal 2 :
Penganiayaan oleh pengasuh utama merupakan faktor risiko
penting untuk perkembangan gejala PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder). Sementara meta-analisis menunjukkan bahwa pelecehan
emosional orang tua adalah salah satu bentuk penganiayaan yang paling
umum, dampak pelecehan emosional pada gejala PTSD dan efektivitas
pengobatan masih belum jelas, terutama pada anak-anak. Sebagian besar
penelitian membedakan antara kekerasan fisik (misalnya, memukul),
pelecehan emosional (misalnya, penghinaan), pengabaian fisik (misalnya,
kegagalan untuk memberikan nutrisi), pengabaian emosional (misalnya,
kegagalan untuk menanggapi perasaan anak) dan pelecehan seksual
(misalnya, sentuhan yang tidak diinginkan). Perhatikan bahwa istilah
'penganiayaan psikologis' juga umum digunakan, yang mengacu pada
pola berulang atau insiden ekstrem dari perilaku pengasuh yang
melanggar kebutuhan psikologis dasar seorang anak, dengan demikian
termasuk pelecehan dan penelantaran emosional (Brassard, Hart, Baker,
& Chiel, 2019). Penelitian ini menggunakan model linier umum dengan
jenis kelamin, usia dan semua jenis penganiayaan anak sebagai variabel
independen dan gejala PTSD (4 kelompok terpisah dari CRTI dan gejala
depresi berdasarkan CDI) sebagai variabel dependen untuk menilai
apakah penganiayaan anak, dan pelecehan emosional di khususnya,
secara signifikan terkait dengan keparahan gejala PTSD. Kami pertama-
tama memeriksa hasil multivariat untuk menilai apakah variabel
independen.

25
Penelitian ini menggunakan model linier umum dengan jenis
kelamin, usia dan semua jenis penganiayaan anak sebagai variabel
independen dan gejala PTSD (4 kelompok terpisah dari CRTI dan gejala
depresi berdasarkan CDI) sebagai variabel dependen untuk menilai
apakah penganiayaan anak, dan pelecehan emosional di khususnya,
secara signifikan terkait dengan keparahan gejala PTSD. Kami pertama-
tama memeriksa hasil multivariat untuk menilai apakah variabel
independen terkait dengan salah satu variabel dependen sebelum
menafsirkan efek variabel independen untuk semua hasil secara
terpisah untuk menghindari positif palsu karena beberapa pengujian.
Semua jenis penganiayaan anak yang menunjukkan hubungan yang
signifikan dalam analisis multivariat ditambahkan sebagai kovariat dalam
analisis berikutnya.
Kemudian, kami melakukan tiga model linier umum dengan: 1)
pelecehan emosional (CTQ) sebagai variabel independen (terlepas dari
apakah peserta melaporkannya sebagai trauma indeks) 2) trauma indeks
sebagai variabel independen dan 3) dengan efek utama dan istilah
interaksi antara emosional penyalahgunaan (CTQ) dan trauma indeks
sebagai variabel independen. Semua model memiliki gejala PTSD
(gejala CRTI dan CDI) sebagai variabel dependen dan pengabaian
gender dan emosional sebagai kovariat.
Akhirnya, kami melakukan analisis bertingkat bertahap untuk
menyelidiki hubungan antara pelecehan emosional (CTQ) dan efektivitas
pengobatan dalam hal gejala PTSD. Di sini, model sarana tanpa syarat
pertama kali diuji dengan gejala PTSD total sebagai variabel dependen
dan tidak ada prediktor yang ditambahkan (jadi hanya intersep acak)
untuk menentukan korelasi intrakelas, yang memberikan indikasi
ketergantungan di antara pengamatan (Hox, 2002). Setelah itu, kami
menambahkan efek waktu yang tetap dan acak, diikuti oleh pelecehan
emosional, interaksi antara waktu dan pelecehan emosional, trauma
indeks, jenis kelamin, interaksi antara jenis kelamin dan waktu, usia dan
pengabaian emosional. Kami mengabaikan parameter yang tidak
26
meningkatkan kecocokan model berdasarkan uji rasio kemungkinan
(Barat, Ryu, Kwok, & Cham, 2011). Semua model dilengkapi dengan
paket lme4 di R dan dengan metode estimasi FML (Bates, Machler,
Bolker, & Walker, 2015).
Studi kami menggaris bawahi efek merugikan dari pelecehan
emosional orang tua untuk keparahan gejala PTSD anak-anak dan
remaja, menekankan pentingnya untuk mengatasi hal ini dalam
penilaian klinis dan pengobatan. Terutama spesialis perawatan
kesehatan yang berada dalam posisi untuk mendeteksi pelecehan
emosional, seperti dokter umum, psikolog, wali keluarga dan pekerja
sosial, dapat berkontribusi untuk lebih banyak kesadaran dan deteksi
pelecehan emosional. Karena pelecehan emosional orang tua merupakan
faktor risiko penting untuk diketahui lebih banyak lagi

27
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Menjaga dan mendidik anak merupakan
tugas utama para orangtua. Banyak anak yang telah menjadi korban dari
kekerasan dan penganiayaan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan
emosional.
Kekerasan emosional adalah melukai emosi anak yang mengakibatkan
perkembangan jiwanya terganggu sehingga kehilangan rasa percaya diri,
mengalami trauma psikis, dan emosi yang terganggu, seperti mudah marah,
mudah tersinggung, pribadi yang tertutup, dan suka menyendiri. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, faktor dari orangtua/keluarga,
lingkungan, dan faktor dari anak itu sendiri. Bentuk kekerasan emosional itu
sendiri biasanya berupa intimidasi, Mengecilkan atau mempermalukan anak,
Tidak sayang dan dingin , dan kebiasaan menolak anak. Cara untuk
mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak yaitu dengan melaporkan
tindakan mencurigai jika yakin bahwa tindakan tersebut merupakan
tindakan kekerasan. Apabila orangtua sudah terlanjur memarahi anak
seharunya, orangtua segera mrminta maaf kepada anak dan berjanji tidak
akan mengulanginya., mengetahui ciri-ciri anak yang telah terkena dampak
dari kekerasan sehingga bisa lebih waspada,

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini semoga pengetahuan masyarakat
khususnya mahasiswa tentang materi kekerasan emosional pada anak,
diharapkan dapat menambah referensi dan sebagai bahan edukasi.
Begitupun bagi pembaca lainnya, kami juga berharap agar pembaca dari
yang belum tahu menjadi tahu, dan dari yang sudah tahu menjadi semakin
mengerti. Demi kesempurnaan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca yang membangun untuk kami. Semoga makalah ini
28
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya baik dibidang akademik,
praktik, dibidang kesehatan maupun umum dan masyarakat luas.

29
DAFTAR PUSTAKA

Andini, T. M. (2019). Identifikasi Kejadian Kekerasan Pada Anak Di Kota


Malang. Jurnal Perempuan Dan Anak, 2(1), 13.
https://doi.org/10.22219/jpa.v2i1.5636

Bustan, R., Nurfadilah, N., & Fitria, N. (2017). Pelatihan Optimalisai Tumbuh
Kembang Anak pada Orangtua Anak Usia Dini. JURNAL Al-AZHAR
INDONESIA SERI HUMANIORA, 3(3), 274.
https://doi.org/10.36722/sh.v3i3.214

Erniwati. (2020). Faktor-Faktor penyebab Orang Tua melakukan Kekerasan


Verbal pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 1–7.
http://jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/1552

Fitriana, Y., Pratiwi, K., & Sutanto, A. V. (2015). Faktor-faktor yang


berhubungan dengan perilaku orangtua dalam melakukan kekerasan verbal
terhadap anak usia pra sekolah. Jurnal Psikologi Undip, 14 no. 1, 81–93.

Kadir, A., & Handayaningsih, A. (2020). Kekerasan Anak dalam Keluarga.


Wacana, 12(2), 133–145. https://doi.org/10.13057/wacana.v12i2.172

KEMENKES. (2018). InfoDatin Kekerasan Terhadap Anak Dan Remaja.

Mahmud, B. (2019). Kekerasan verbal pada anak. Jurnal An Nisa’, 12(2), 689–
694.

Maknun, L. (2017). Kekerasan terhadap Anak yang dilakukan oleh Orang Tua
(Child Abuse). MUALLIMUNA JURNAL Madrasah Ibtidaiyah, 3(1), 68.
https://www.neliti.com/publications/222465/kekerasan-terhadap-anak-yang-
dilakukan-oleh-orang-tua-child-abuse

Nurmalina, N. (2020). Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa


Negatif dalam Kekerasan Verbal. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, 5(2), 1616–1624. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i2.909

Pranowo. (2012). Berbahasa Secara Santun. Pustaka Belajar.

Salamor, Y. B., & Saimima, J. M. (2018). Kebijakan Penanggulangan Kekerasan


Terhadap Anak Di Kota Ambon. 11(01), 56–72.

Wulandari, V., & Nurwati, N. (2018). Hubungan Kekerasan Emosional Yang


Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 132.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18364

30
Yaqin, M. A. (2019). Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan. LKiS.

Fakih M, penyunting. Buku panduan pelatihan deteksi dini dan penatalaksanaan


korban child abuse and neglect. Jakarta: IDI-UNICEF, 2003. h. 1- 77

31
Volume 5 Issue 2 (2021) Pages 1616-1624
Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
ISSN: 2549-8959 (Online) 2356-1327 (Print)

Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui


Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
Nurmalina1
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

Abstrak
Orangtua sering meluapkan emosi akibat tingkah laku anaknya yang tidak sesuai dengan
kehendaknya dalam bentuk kekerasan verbal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
solusi untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan berbahasa pada anak usia dini.
Metode penelitian ini adalah penelitian library research. Teknik pengumpulan data dengan
mendokumentasikan artikel, buku, dan analisis lapangan. Selanjutnya mengumpulkan
bahan-bahan yang dibutuhkan, pengelompokan, dan kemudian dianalisis sesuai dengan
tujuan penelitian. Dari Hasil penelitian diketahui ada dua faktor dominan alasan orang tua
untuk melakukan kekerasan verbal yaitu pengalaman dan pengetahuan orang tua. Dampak
yang ditimbulkan adalah anak akan menjadi manusia yang tidak berakhlak, baik dari segi
perbuatan maupun ucapan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
memositifkan bahasa dalam berkomunikasi terhadap anak.

Kata Kunci: penganiayaan emosional; anak usia dini, bahasa, kekerasan verbal

Abstract
Parents often express emotions due to their children's behavior that is not according to
their wishes in the form of verbal abuse. This study aims to find solutions to prevent and
overcome the problem of verbal violence in early childhood. This research method is library
research research. Data collection techniques by documenting articles, books, and field
analysis. Furthermore, collecting the materials needed, grouping, and then analyzed
according to research objectives The results showed that there were two dominant factors
that influenced parents to engage in verbal violence, namely parental knowledge and
experience. The impact is that the child will become immoral, both in terms of deeds and
words. Prevention efforts that can be done are to positivate language in communicating
with children.

Keywords: emotional abuse, early childhood, language, verbal abuse

Copyright (c) 2020 Nurmalina


Corresponding author :
Email Address : nurmalina18des@gmail.com (Bangkinang, Riau, Indonesia)
Received 14 November 2020, Accepted 5 December 2020, Published 19 December 2020

1616 | Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 2021
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

PENDAHULUAN
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia dalam
menghadapi masalah membutuhkan sesamanya dalam memecahkan masalah sehingga
terjalin kerjasama dalam menghadapi persoalan. Hal yang dapat membantu dalam menjalin
kerjasama ialah bahasa (Winarni et al., 2018). Pengetahuan manusia dapat berkembang jika
manusia memiliki bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran
yang melatar belakangi informasi tersebut (Bakhtiar, 2014). Disamping itu, karakter setiap
individu dapat dikenali melalui bahasa yang digunakan. Sebab, Bahasa adalah tanda yang
jelas dari kepribadian baik dan buruk pengguna (Riniwati, 2015).
Nurjamal et al. (2011) menyatakan bahwa seseorang dengan bahasa yang baik pasti
akan mendapatkan apresiasi yang baik dan pengakuan sosial yang positif terhadap
lingkungannya. Jika lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tidak mendukung atau
mendukung perkembangan mental dan penguasaan bahasa anak, maka akan menjadi ciri dari
metode bahasa anak, baik atau buruk. Dasar pembentukan moral anak juga membutuhkan
bahasa sebagai media atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan moril. Dalam hal
berbahasa, ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya.
Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut, yang artinya:
“... dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
himar.” (QS. Lukman: 19)

Masa balita merupakan masa emas tumbuh kembang anak. Masa di mana rasa ingin
tahu anak sangat besar untuk mengeksplorasi apa pun yang baru dilihatnya. Namun,
perkembangan anak sering kali sering terhambat tanpa didasari oleh orangtuanya.
Orangtua sering meluapkan emosi karena tingkah laku anaknya yang tidak sesuai dengan
kehendaknya. Orang tua menganggap wajar untuk memarahi anaknya yang terkadang
sedikit kasar dengan maksud agar anak bisa diurus, patuh dan penurut (Mysa & Fithria, 2016).
Banyak orang tua tanpa sadar menggunakan bahasa negatif pada anak-anak mereka, yang
memanifestasikan dirinya dalam bentuk pelecehan verbal. Padahal, perlakuan dan
penggunaan bahasa positif dan negatif yang diperoleh anak akan sangat mempengaruhi
pembentukan karakter dan kesehatan mental anak (Zuhrudin, 2017).
Bahasa negatif memiliki ciri yang berbeda-beda, yaitu: (1) mengatakan hal-hal yang
tidak boleh dilakukan, (2) berpura-pura menuduh, (3) menggunakan kata-kata negatif seperti:
Saya tidak bisa, tidak mau, tidak, malas, dll., dan ( 4) menekankan tindakan negatif. Sebagai
orang tua, jika anak mulai berbicara, orang tua sering kali menggunakan kekerasan verbal
dengan mengucapkan kata-kata negatif, seperti "kamu bodoh", "kamu banyak bicara" dan
"kamu kasar". Anak-anak akan mengingat semua pelecehan verbal jika semua pelecehan
verbal berlangsung selama suatu periode (Fitriana et al., 2015). Kekerasan verbal seperti itu
adalah pelecehan emosional berkelanjutan terhadap anak-anak yang dapat berdampak negatif
pada perkembangan anak (Armiyanti et al., 2017). Ketika anak mengalami kekerasan verbal
dalam kondisi ini, anak akan merasa tidak mampu dan tidak dapat menciptakan keinginan
untuk tumbuh (Siregar, 2017).
Seseorang yang dicap negatif membuat dirinya tidak dapat berkembang dengan
baik, menimbulkan ketegangan, dan dianggap lemah karena merasa malu dengan apa yang
dipersepsikan orang tentang dirinya. Bagi anak-anak yang dicap negatif, tentunya hal ini
menjadi pemahaman baru, bahwa mereka dipandang lemah dan tidak mampu berbuat apa-
apa. Bahkan, hal ini akan berdampak dan dirasakan oleh anak hingga akhir masa remaja
(Mustillo et al., 2013).
Kekerasan verbal terhadap anak akan menimbulkan kesusahan yang akan membuat
anak berpikir seperti yang dikatakan orang tuanya (Armiyanti et al., 2017). Ahli Klinis
Hipnoterapis Dra. MTh. Widya Saraswati mengungkapkan bahwa perkataan orang tua dapat
diserap langsung oleh alam bawah sadar anak yang dapat membuat anak menampilkan diri
seperti yang diucapkan oleh orangtuanya. Ketika seseorang dianggap menyimpang, maka ia

Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2) 2021 | 1617
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

cenderung berperilaku menyimpang. Label divergen yang diberikan oleh orang lain akan
mempengaruhi konsep diri orang tersebut dan perilaku orang tersebut sejalan dengan apa
yang orang lain katakan (Strub et al., 1979). Dengan cap yang ditempelkan pada seseorang, itu
(juga dikenal sebagai proses reorganisasi psikologis) dan mungkin menghasilkan karier
yang menyimpang (Narwoko & Suyanto, 2006).
Penganiayaan emosional melalui pelecehan verbal kepada seorang anak akan
menyebabkan tekanan emosional (Mahmud, 2019). Anak akan mendapatkan
perkembangan buruk, hubungan sosial yang bermasalah, membuat anak menjadi lebih
agresif, dan orang dewasa menjadi musuh. Menurut UNICEF (United for Children) tahun
2016, 80% anak usia 2 hingga 14 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental,
62% kekerasan terjadi di lingkungannya (keluarga dan sekolah), sisanya 38% di publik
(Fitriana et al., 2015). Parahnya lagi, di Indonesia di tahun-tahun sebelumnya, ketua
Komnas PA menyatakan bahwa secara psikis, hampir 90 persen anak Indonesia
mengalaminya sebagai teriakan dan penghinaan dan hampir semua anak Indonesia
mengalami kekerasan verbal. Hal itu seolah-olah dianggap bukan lagi kekerasan dalam
lingkup sosial budaya di Indonesia.
Hasil penelitian Zahara Farhan (2018) menunjukkan bahwa terdapat 5 faktor yang
membuat orang tua melecehkan anak. Pertama, faktor pengetahuan orang tua tidak
mengetahui bahwa kekerasan verbal lebih berbahaya daripada kekerasan psikologis, kedua,
faktor pengalaman orang tua memiliki pengalaman yang sama, sehingga cenderung meniru
kekerasan psikologis., ketiga, dukungan keluarga terhadap anak dengan kelainan fisik
maupun anak lahir yang tidak diharapkan. Keempat, faktor ekonomi karena kemiskinan
ataupun pengangguran, dan kelima, faktor lingkungan orang tua menjadi kaku dalam hal
mendidik anak. Karakter orang tua juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan
verbal pada anak (Putri & Santoso, 2012).
Perkembangan superego anak biasanya pada saat berusia 3 sampai 6 tahun. Pada masa
ini, anak dianggap sangat kritis untuk perkembangan emosi dan psikologisnya. Padahal, di
usia ini anak-anak lebih aktif dan berpenampilan nakal. Kenakalan anak usia 3 sampai 6 tahun
merupakan hal yang wajar, dengan cara ini anak belajar lingkungan dengan cara yang
kreatif, namun terkadang orang tua melihatnya sebagai sesuatu yang mengganggu, dan
orang tua tidak segan-segan menggunakan kekerasan verbal seperti berteriak dan
mengabaikan anak itu
Perkembangan superego anak biasanya antara usia 3 dan 6 tahun. di masa ini, anak
sangat kritis terhadap perkembangan emosi dan psikologisnya. Bahkan, di usia ini anak-
anak lebih aktif dan terlihat nakal. Kenakalan anak usia 3 - 6 tahun merupakan hal wajar,
sehingga anak belajar di lingkungan dengan cara yang kreatif, namun terkadang orang tua
melihatnya sebagai sesuatu yang mengganggu, dan orang tua tidak segan-segan menggunakan
kekerasan verbal seperti berteriak dan mengabaikan anak (Wong, 2008). Penelitian ini
bertujuan untuk menganalis dan mengetahui faktor paling dominan yang melatarbelakangi
terjadinya penganiayaan emosial melaui bahasa negatif dalam kekerasan verbal, dampak
yang ditimbulkan, serta solusi yang ditawarkan untuk mencegah dan mengatasi masalah
tersebut.

METODOLOGI
Metode penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian
pustaka dengan data yang diperoleh dari perpustakaan, seperti: ensiklopedia, skripsi,
skripsi, disertasi, buku, jurnal, dokumen, kamus dan majalah (Khahtibah, 2013).
Langkahnya dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan, menyusunnya,
kemudian menganalisisnya sesuai dengan tujuan penelitian. Pelaksanaan penelusuran
pustaka dalam penelitian ini adalah pemilihan topik, guna mencari informasi tentang topik
tersebut dalam bentuk artikel dan penelitian serupa. Sumber data penelitian yang diperoleh
dari kepustakaan memiliki variabel sesuai dengan topik penelitian. Metode pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yang mencari data variabel-variabel dalam
bentuk artikel dan penelitian.
1618 | Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 2021
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

Identifikasi Masalah Pengumpulan Data Literatur Analisis dan Penarikan


Penyajian Data Kesimpulan

Gambar 1. Desain Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Faktor Dominan yang Penganiayaan Emosial Melaui Bahasa Negatif dalam Kekerasaan
Verbal pada AUD
Hasil Penelitian (Putri & Santoso, 2012) menunjukkan bahwa orang tua menganggap
anak-anak mereka yang berusia antara 3 dan 4 tahun sebagai anak yang sewenang-wenang,
sehingga menjadi alasan melakukan kekerasan verbal yang tidak mereka sadari sebagai
penganiayaan emosional terhadap anak-anak mereka. Di satu sisi, banyak juga orang tua
dan pendidik PAUD yang tidak mampu membedakan antara anak hiperaktif dan anak nakal,
sehingga sangat mungkin penanganan yang salah (Widiharto et al., 2012). Orang tua yang
berkarakter keras cenderung lebih sering melakukan kekerasan verbal terhadap anak.
Karakter ini dipengaruhi dengan latar belakang keluarganya. Inilah penyebab terjadinya
rangkaian kekerasan dalam rumah tangga.
Soetjiningsih (2014) menyatakan bahwa faktor yang bisa menyebabkan orang tua yang
berkepribadian tangguh cenderung akan lebih menggunakan pelecehan verbal kepada anak.
Kepribadian ini dilatarbelakangi oleh keluarga di masa lalu. Inilah penyebab terjadinya
rangkaian kekerasan dalam keluarga. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
Fitriana et al. (2015) yang meneliti faktor perilaku orang tua dalam penyalahgunaan verbal
terhadap AUD. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa tidak ada korelasi antara faktor
pendidikan dan penghasilan orang tua dengan terjadinya kekerasan verbal pada anak
prasekolah, melainkan dipengaruhi oleh usia, kecerdasan, attitude, kedewasaan, dan faktor
sekitarnya. Pengalaman orang tua yang diasuh secara baik akan mengasuh anaknya dengan
baik pula. Orang tua yang memiliki pengalaman pengasuhan yang baik melakukan hal yang
sama kepada anak-anak mereka. Di sisi lain, orang tua yang memiliki pengalaman
pengasuhan yang tidak baik lebih cenderung melakukan penganiayaan verbal kepada anak-
anaknya.
Hasil penelitian Farhan (2019) menunjukkan bahwa terdapat 5 Faktor penyebab orang
tua menggunakan penganiayaan verbal terhadap anak. Pertama, faktor pengetahuan orang
tua tidak mengetahui bahwa penganiayaan verbal lebih berbahaya daripada kekerasan
psikologis. Kedua, faktor pengalaman orang tua memiliki pengalaman yang sama sehingga
cenderung untuk meniru. Ketiga, dukungan keluarga terhadap anak dengan kelainan fisik
maupun anak lahir yang tidak diharapkan. Keempat, faktor ekonomi karena kemiskinan
ataupun pengangguran, dan kelima, faktor lingkungan orang tua menjadi kaku dalam hal
mendidik anak. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri & Santoso (2012),
diketahui bahwa orang tua telah memahami bahwa tindakan verbal adalah perilaku
kekerasan. Namun demikian, penganiayaan verbal tetap dilakukan oleh orang tua karena
mereka sangat menyayangi anaknya, yaitu sampai anak mereka menyadari bahwa apa yang
mereka lakukan itu salah. Disamping itu, Zuhrudin (2017) menemukan juga bahwa tidak
ada korelasi antara penghasilan dan perilaku orang tua terhadap penganiayaan verbal pada
anak usia dini. Namun, pengalaman orang tua berpengaruh signifikan terhadap sikap orang
tua untuk melakukan penganiayaan verbal terhadap anak usia dini. Orang tua yang
mendapatkan pengalaman yang baik akan memiliki perilaku yang tidak cenderung
melecehkan anaknya secara verbal. Namun di sisi lain, orang tua yang memiliki pengalaman
tidak baik akan cenderung menciptakan penganiayaan verbal terhadap anak mereka.

Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2) 2021 | 1619
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

Hasil penelitian Vega et al. (2019) menemukan bahwa yang lebih sering melakukan
kekerasan verbal terhadap anak adalah ibu mereka. Kasus kekerasan verbal yang dilakukan
ibu dengan emosi yang bagus dapat terjadi karena penggunaan koping yang tidak memadai
yang pakai ibu untuk menyelesaikan masalah. Tata cara koping tersebut berupa tata cara
koping, yaitu penekanan terhadap perasaan bawah sadar pada pikiran, impuls yang tidak
menyenangkan atau saling berbeda satu sama lain yang pernah terjadi. Pengalaman ini begitu
kuat direkam oleh ibu sehingga ketika hal yang sama terjadi lagi, ibu akan melakukan hal
yang sama seperti yang pernah dilaluinya, seperti ungkapan perasaan dalam ungkapan
verbal.
Berdasarkan paparan di atas, diketahui faktor dominan orangtua yang melakukan
kekerasan verbal terhadap anaknya adalah faktor pengetahuan orangtua dan pengalaman
orangtua. Orangtua yang melakukan penganiayaan emosional tidak mengetahui bahwa
kekerasan verbal memiliki dampak yang sangat buruk, bahkan bahaya daripada kekerasan
fisik. Pengalaman orang tua berpengaruh kuat pada perilaku merela ketika melakukan
penganiayaan verbal pada anak usia dini. Orang tua yang pernah mengalami pengasuhan
yang buruk cenderung melecehkan anak-anak mereka secara verbal. Sejalan dengan hasil
penelitian Zuhrudin (2017), dipahami bahwa pengalaman orang tua berpengaruh kuat pada
sikap orang tua ketika melakukan penganiayaan verbal pada anak usia dini.
Perilaku orang tua dalam kekerasan verbal terhadap anak usia dini disebabkan oleh
mentalitas mereka yang beranggapan bahwa anak tidak tahu apa pun. Dengan begitu,
orangtua pun merasa pola asuh bagaimanapun bisa dilakukannya terhadap anak (Lestary,
2016). Anehnya lagi, meskipun orang tua biasanya tidak setuju pada penganiayaan verbal,
namun pada lain aspek orang tua tetap pernah melakukan kekerasan verbal pada anak
mereka (Erniwati & Fitriani, 2020). Hal tersebut dengan dalih sebagai bentuk kasih sayang dan
niat baik kepada anaknya, artinya anak tersebut meyakini bahwa apa yang dilakukannya itu
salah. Orang tua percaya jika penganiayaan adalah satu-satunya solusi ketika membesarkan
dan mengajari anak (Kadir & Handayaningsih, 2020).
Orangtua adalah pendidikan utama dan contoh bagi anaknya, terutama dalam
berbahasa. Untuk itu, orang tua harus juga menjadi manusia yang baik untuk menciptakan
anak yang baik pula (Kadir & Handayaningsih, 2020). Menjadi orang tua yang baik butuh
ilmu, harus mencari sendiri dengan membaca buku, mengikuti parenting class dan lain
sebagainya. Dengan demikian, tentunya dapat memutuskan tradisi dan pengalaman
orangtua dalam pola asuh yang buruk, demi masa depan anak yang lebih baik. Orangtua
juga harus memiliki kesadaran akan aturan berbahasa (Awarness Of the Norm), sehingga
dapat memacu pemakaian bahasa secara teliti, benar, santun, dan cermat dalam
berkomunikasi dengan anaknya. Kesadaran ini adalah faktor penentu perilaku tutur dalam
wujud penggunaan bahasa. Jika tidak, penganiayaan emosional melalui bahasa negatif
dalam kekerasan verbal akan akan dapat menghancurkan masa depan anak. Psikolog Fajri
(2019),
dalam Harian Media Indonesia online, mengatakan bahwa kekerasan verbal lebih buruk
daripada kekerasan fisik, yang memerlukan masa penyembuhan yang panjang melalui
pengobatan dan bimbingan, dikarenakan sifatnya yang abstrak.

Dampak Penganiayaan Emosial Melaui Bahasa Negatif dalam Kekerasaan Verbal pada
AUD
Kekerasan verbal yang dialami pada masa anak-anak sedikit banyaknya akan
membawa dampak dalam kehidupan anak tersebut. Lestary (2016) menyatakan bahwa akibat
pelecehan verbal, anak lebih agresif, seperti komunikasi dengan dampak negatif pada
perkembangan otak mereka, mereka akan tetap berada pada situasi yang mengancam dan
membuat lebih sulit untuk berpikir selama ini bahwa situasi yang muncul hanya
berdasarkan naluri tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Anak akan agresif dan ketika
mereka menjadi orang tua juga akan memiliki kepribadian seperti orang tua mereka
(Munawati, 2011). Selain

1620 | Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 2021
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

itu, Hal ini juga berdampak pada psikologis yang bisa menjadikan anak tidak peka dengan
perasaan orang lain (Soetjiningsih, 2014).
Penganiayaan verbal akan menciptakan efek jangka panjang yaitu menciptakan
rentetan penganiayaan dalam keluarga. Temuan ini sejalan pada temuan penelitian
Munawati, temuan jangka panjang lainnya ketika anak yang mengalami penganiayaan
verbal nantinya bisa melakukan hal yang serupa pada saat menjadi orang tua. Ini terjadi
karena bayi pada dasarnya adalah peniru (Munawati, 2011).
Tingkat pelecehan atau kekerasan mempengaruhi tingkat keparahan anak dan umur
anak (Irwanto, 1997). Selama masa anak-anak, keterikatan terhadap orang tua atau
perawat erat. Ketergantungan anak-anak sangat kuat pada mereka. Pada masa itu,
keterikatan adalah hubungan emosional yang diciptakan anak melalui interaksinya dengan
orang-orang yang memiliki makna tersendiri dalam hidup mereka, yaitu orang tua. (Neil J.
Salkind, 2002). Jika orang tua seharusnya protektif, tetapi menciptakan ketidaknyamanan,
hal ini dapat menimbulkan rasa terancam, ditolak, juga tidak berharga (Tarabulsy et al.,
2008).
Dampak penganiayaan emosional yang dilakukan oleh orangtua dalam kekerasan
verbal terhadap anak memiliki dampak yang tinggi sehingga dapat menyebabkan perilaku
yang buruk (Wulandari & Nurwati, 2018). Dengan demikian, anak yang menjadi korban
penganiayaan emosional akan menjadi manusia yang tidak berakhlak, baik dari segi
perbuatan maupun ucapan. Anak tersebut akan dengan mudahnya menggunakan bahasa-
bahasa yang negatif dalam kehidupan sosialnya dan melakukan tindakan-tindakan yang
menyimpang. Anak juga dapat besar menjadi karakter yang tidak peduli pada sekitar. Mereka
akan susah bergaul dan cenderung lebih tertutup.
Penyebab terhambatnya pembentukan karakter anak sebagian besar terjadi karena
adanya kekerasan verbal (Wibowo & Parancika, 2020). Anak yang mendapatkan
penganiayaan verbal akan mengalami masalah ketika hidup selama masa kanak-kanak dan
pada tahap kehidupan berikutnya. Efek kekerasan verbal pada anak yang pernah
merasakan antara lain: merasa dikurung, ketakutan, anak akan kewalahan oleh kesedihan,
kurang percaya diri, dan anak menjadi agresif (Nurwijayanti & Iqomh, 2019),
ketidakpekaan terhadap perasaan orang lain, munculnya gangguan kepribadian antisosial
atau kepribadian antisosial, motivasi belajar rendah, bunuh diri yang paling parah (Lestary,
2016).
Jika seorang anak mengalami cara orang tuanya mengekspresikan kemarahan
melalui sikap agresif, seperti pelecehan dan kekerasan, kemungkinan besar anak tersebut
akan melakukan hal yang serupa saat mengungkapkan kemarahan karena mereka telah
mempelajari perilaku tersebut. Anak sejak dini akan terbiasa hingga dewasanya melakukan
penganiayan emosional. Penganiayaan emosional menyebabkan kenakalan dalam bentuk
perilaku jahat atau nakal yang dilakukan oleh anak sehingga mengganggu diri sendiri dan
orang lain (Alfianur et al., 2020). Ketika sudah masuk dunia sekolah, maka ia akan menjadi
anak yang suka tindakan ‘bullying’, mengganggu orang lain, bahkan sampai berbuat
tawuran. Tawuran yang dilakukan anak sudah masuk pada kategori kriminalitas, karena
mengakibatkan adanya korban luka dan korban cacat permanen.

Upaya Pencegahan dan Mengatasi Penganiayaan Emosial dalam Kekerasaan Verbal pada
Anak Usia Dini
Upaya pencegahan dan mengatasi penganiayaan emosial dalam Kekerasaan Verbal
pada AUD adalah dengan mempositifkan bahasa dalam berkomunikasi terhadap anak. Hasil
penelitian Saudah (2014) menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan bahasa positif terhadap
pendidikan moral: 1) Tampak pada hasil tes awal 46%, dan setelah pembelajaran dengan
bahasa positif, hasil post-tes meningkat menjadi 54%, yaitu ada perkembangan 8% 2) Hal
tersebut berdampak pada pola berpikir positif dan perilaku positif anak. Respon positif
ditunjukkan oleh siswa yang toleran terhadap teman, percaya diri, kemampuan untuk bekerja
sama (teamwork), dan selalu berpikiran positif.

Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2) 2021 | 1621
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat berbicara dengan sopan dan
berkomunikasi dengan baik menurut Pranowo (2012), antara lain: (1) Bahasa sopan
mampu menggunakan bahasa verbal (bahasa tertulis) dan bahasa non verbal juga dapat
dibantu dengan bahasa lisan, (2) Bahasa sopan tidak musti menggunakan bahasa baku,
namun harus digunakan sesuai dengan aturan bahasa yang baik. (3) Gunakan gaya sopan
atau "santun" (mis: mohon, mohon, minta maaf). (4) Bicarakan tentang topik yang dipahami
dan diperhatikan oleh lawan bicara. (5) Membuat mitra bicara tertarik dengan pidato
pembicara sehingga mereka dapat dengan mudah memahami makna pidato. (6)
Mengidentifikasi pasangan bicara dengan betul, terlebih yang terkait identitas dan
kesenangan pribadi. (7) Ciptakan konteks dengan menguntungkan bagi lawan wicara
sehingga perhatian lawan wicara fokus pada pembicara. Dengan demikian kebiasaan
berbicara dengan baik dan sopan akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian
seseorang.
Bahasa positif dapat digunakan dengan melakukan hal-hal seperti: 1) memikirkan
beberapa pilihan bahasa / kata yang tepat untuk anak, 2) menjawab sejumlah pertanyaan
yang diajukan anak, 3) menyelaraskan dengan kata-kata yang dikutip, dan 4) menghindari
kata "tidak" dan "tidak" dan "tidak". Mungkin tidak "dan" dilarang ". Dengan demikian, bahasa
negatif tentunya bisa diubah dengan bahasa yang positif, seperti kalimat ‘jangan mencoret-
coret dinding!’ diganti dengan ‘menulislah di kertas saja saja!’. Dalam bahasa Melayu kata
negatif “anak kurang ajar” sering dipositifkan dengan “anak bertuah”.
Setiap orang tua ingin anaknya selalu menuruti apa yang dikatakan atau
diperintahkan. Keengganan atau penolakan seorang anak untuk melakukan atau menaati
apa yang dikatakan atau diperintahkan orang tua bukan karena anak itu malas atau tidak
patuh. Anak-anak sering merasa bingung tentang apa yang harus dilakukan dengan
perintah atau apa yang orang tua katakan. Untuk itu, orang tua hendaknya mengklarifikasi
perintah atau keinginan kepada anaknya agar anak dapat memahami dan mengetahui apa
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Dengan menggunakan kata-kata positif, anak akan
memahami perintah dan keinginan yang disampaikan oleh orang tua. Kata-kata “tidak
harus, tidak juga harus” diganti dengan kata-kata “harus” atau “akan lebih baik”.
Dari aspek anak, untuk mencegah dan menghindari kekerasan verbal dapat
diupayakan melalui pendidikan ramah anak dalam keluarga dan metode pembelajaran
berbasis karakter. Pendidikan ramah anak dalam keluarga dapat dilakukan melalui: 1)
Melaksanakan komunikasi yang seimbang antara orang tua dan anak. 2) Menerapkan
disiplin terhadap kekerasan; Dan 3) penerapan pembinaan kepribadian positif pada anak
(Usman, 2020). Dengan memberikan pendidikan yang layak pada anak sejak usia dini, dapat
secara konsisten menanamkan perilaku positif pada anak dalam kehidupannya. Sehingga
lahirlah generasi ramah anak dalam dirinya dan juga memutus rantai kekerasan terhadap anak,
karena pendidikan dengan kekerasan akan berdampak pada tahap perkembangan anak dan
tahap kehidupan anak mulai dari remaja maupun dewasa.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat menjadi sarana edukasi bagi anak
adalah dengan menggunakan media lagu anak sebagai media preventif. Nyanyian anak
adalah sarana pencerdasan menyenangkan untuk anak yang diisi dengan nilai-nilai karakter
yang bisa dimengerti dan diterapkan oleh anak atau siswa (Widyaningrum, 2019). Prose
belajar karakter akan semakin mencuri perhatian dengan menggunakan aransement yang
populer serta gampang diingat oleh anak sehingga bisa memotivasi untuk menjadi pribadi
yang lebih baik. Dengan demikian, aktivitas kurang baik misalnya bullying dan pelecehan
verbal dapat dikurangi bahkan dihindari.

SIMPULAN
Faktor pengalaman dan pengetahuan orangtua merupakan faktor dominan orangtua
yang melakukan kekerasan verbal terhadap anaknya. Dampaknya, anak menjadi manusia
yang tidak berakhlak, baik dari segi perbuatan maupun ucapan. Anak mudah menggunakan
bahasa-bahasa yang negatif dalam kehidupan sosialnya dan melakukan tindakan-tindakan
1622 | Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 2021
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

yang menyimpang. Upaya mencegah dan mengatasinya adalah dengan memositifkan bahasa
dalam berkomunikasi terhadap anak. Disamping itu orangtua harus mampu menambah
pengetahuan parenting, serta menghindari bahasa negatif serta bisa memilih kosa kata yang
lebih baik untuk anak.

DAFTAR PUSTAKA
Alfianur, A., Ezalina, E., & Fitriami, E. (2020). Kekerasan emosional menyebabkan kenakalan
pada remaja. Holistik Jurnal Kesehatan, 14(1), 52–58.
https://doi.org/10.33024/hjk.v14i1.2309
Armiyanti, I., Aini, K., & Apriana, R. (2017). Pengalaman verbal abuse oleh keluarga pada anak
usia sekolah di kota semarang. Jurnal Keperawatan Soedirman, 12(1), 12.
https://doi.org/10.20884/1.jks.2017.12.1.714
Bakhtiar, A. (2014). Filsafat Ilmu. Raja Grafindo Persada.
Erniwati, E., & Fitriani, W. (2020). Faktor-Faktor Penyebab Orang Tua Melakukan
Kekerasan Verbal Pada Anak Usia Dini. Yaa Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak Usia …,
4197. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/YaaBunayya/article/view/6680
Fajri, R. (2019). Psikolog Sebut Kekerasan Verbal Lebih Bahaya Ketimbang Fisik.
Mediaindonesia.Com. https://mediaindonesia.com/read/detail/228624-psikolog-
sebut-kekerasan-verbal-lebih-bahaya-ketimbang-fisik
Farhan, Zahara. (2018). Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Orang Tua Melakukan Verbal
Abuse pada Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun di Kabupaten Garut. JKM, 3(2).
Farhan, Zahra. (2019). Verbal abuse, anak,orang tua faktor-faktor yang melatarbelakangi
orang tua melakukan verbal abuse pada anak usia sekolah 6-12 tahun di kabupaten
garut. Jurnal Keperawatan Malang, 3(2), 101–108. https://doi.org/10.36916/jkm.v3i2.70
Fitriana, Y., Pratiwi, K., & Sutanto, A. V. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah.
Jurnal Psikologi Undip, 14(1). https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.81-93
Irwanto. (1997). Psikologi umum. Buku penduan mahasiswa. 47.
Kadir, A., & Handayaningsih, A. (2020). Kekerasan Anak dalam Keluarga. WACANA, 12(2),
133–145. https://doi.org/10.13057/wacana.v12i2.172
Khahtibah, K. (2013). Pengembangan Perpustakaan sebagai Pusat Sumber Belajar dalam
Kegiatan Instruksional pada IAIN-SU Medan. Jurnal Perpustakaan dan Informasi, 5(1),
36–39.
Lestary, T. (2016). Verbal Abuse Dampak buruk dan Solusi Penanganannya pada Anak. 17–80.
Mahmud, B. (2019). Kekerasan verbal pada anak. Jurnal An Nisa’, 12(2), 689–694.
Munawati. (2011). Hubungan Verbal Abuse dengan Perkembangan Kognitif pada Anak Usia
Prasekolah di RW 04 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Depok.
Mustillo, S. A., Budd, K., & Hendrix, K. (2013). Obesity, Labeling, and Psychological Distress
in Late-Childhood and Adolescent Black and White Girls: The Distal Effects of Stigma.
Social Psychology Quarterly, 76(3), 268–289. https://doi.org/10.1177/0190272513495883
Mysa, A. Y., & Fithria. (2016). Pengetahuan orangtua tentang kekerasan verbal pada anak
pra sekolah di Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, 1(1).
Narwoko, J. D., & Suyanto, B. (2006). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan, 74–96.
Neil J. Salkind. (2002). Child development. Choice Reviews Online, 39(11), 39-6171-39–6171.
https://doi.org/10.5860/choice.39-6171
Nurjamal, D., Sumirat, W., & Darwis, R. (2011). Terampil berbahasa. Bandung: Alfabeta.
Nurwijayanti, A. M., & Iqomh, M. K. B. (2019). Hubungan Antara Usia dan Pendidikan dengan
Perilaku Verbal Abuse oleh Keluarga. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(3), 337.
https://doi.org/10.26714/jkj.7.3.2019.337-342
Pranowo. (2012). Berbahasa Secara Santun.
Putri, A., & Santoso, A. (2012). Persepsi orang tua tentang kekerasan verbal pada anak.

Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2) 2021 | 1623
Penganiayaan Emosional Anak Usia Dini melalui Bahasa Negatif dalam Kekerasan Verbal
DOI: 10.31004/obsesi.v5i2.909

Diponegoro Journal of Nursing, 1(1), 22–29.


Riniwati. (2015). Mari Mencintai Bahasa Indonesia. Transformatika, 11(10), 139–148.
https://doi.org/10.31002/transformatika.v11i1.117
Saudah, S. (2014). Bahasa Positf Sebagai Sarana Pengembangan Pendidikan Moral Anak. Al-
Ulum, 14(1), 67–84.
Siregar, L. Y. S. (2017). Pendidikan anak dalam islam. Bunayya, 1(2), 16–32.
Soetjiningsih. (2014). Tumbuh Kembang Anak.
Strub, P. J., Rubington, E., & Weinberg, M. S. (1979). Deviance: The Interactionist Perspective.
Contemporary Sociology, 8(1), 73. https://doi.org/10.2307/2064907
Tarabulsy, G. M., Pascuzzo, K., Moss, E., St-Laurent, D., Bernier, A., Cyr, C., & Dubois-
Comtois, K. (2008). Attachment-Based Intervention for Maltreating Families.
American Journal of Orthopsychiatry, 78(3), 322–332.
https://doi.org/10.1037/a0014070
Vega, A. De, Hapidin, H., & Karnadi, K. (2019). Pengaruh Pola Asuh dan Kekerasan Verbal
terhadap Kepercayaan Diri (Self-Confidence). Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, 3(2), 433. https://doi.org/10.31004/obsesi.v3i2.227
Wibowo, F., & Parancika, R. B. (2020). Kekerasan Verbal ( Verbal Abuse ) Di Era Digital Sebagai
Faktor. Prosiding Semnas Kbsp V Pembahasan, May.
Widiharto, C. A., Suhendri, S., & Venty, V. (2012). Penyuluhan Perkembangan Anak Usia Dini
dan Anak Hyperactive Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. E-Dimas: Jurnal
Pengabdian kepada Masyarakat, 3(2), 30–34.
Widyaningrum, A. (2019). Lagu anak sebagai preventif perilaku bullying. Malih Peddas
(Majalah Ilmiah Pendidikan Dasar), 8(2), 186.
https://doi.org/10.26877/malihpeddas.v8i2.3668
Winarni, R., Slamet, S. Y., & Saddhono, K. (2018). Development of Indonesian literature
textbook with character education through information and communication
technology (ICT) learning based. International Journal of Engineering and
Technology(UAE), 7(2.13 Special Issue 13), 442–446.
https://doi.org/10.14419/ijet.v7i3.2.14568
Wong, D. . (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. EGC.
Wulandari, V., & Nurwati, N. (2018). Hubungan Kekerasan Emosional Yang Dilakukan Oleh
Orangtua Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, 5(2), 132. https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18364
Zuhrudin, A. (2017). Reformulasi Bahasa Santun Sebagai Upaya Melawan Kekerasan Verbal
Terhadap Anak. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(2), 265.
https://doi.org/10.21580/sa.v12i2.1706

1624 | Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 2021
Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

Contents lists available at ScienceDirect

Child Abuse & Neglect


journal homepage:

The effect of parental emotional abuse on the severity and


treatment of PTSD symptoms in children and adolescents
Chris Hoeboer a, b,*, 1, Carlijn de Roos c, 2, Gabrielle E. van Son d, 3,
Philip Spinhoven a, e, 4, Bernet Elzinga a, 4
a
Leiden University, Institute of Psychology, Section Clinical Psychology, Leiden, the Netherlands
b
Parnassiagroep, PsyQ The Hague, the Netherlands
c
Amsterdam University Medical Centre, Department of Child and Adolescent Psychiatry, Amsterdam, the Netherlands
d
Rivierduinen, Department for Quality of Care, the Netherlands
e
Leiden University Medical Center, Department of Psychiatry, the Netherlands

A R T I C L E I N F O
A B S T R A C T
Keywords:
Abuse Background: Maltreatment by a primary caregiver is an important risk factor for the development
Maltreatment of PTSD symptoms. Whereas meta-analyses indicate that parental emotional abuse is one of the
Neglect most common forms of maltreatment, the impact of emotional abuse on PTSD symptoms and
PTSD/posttraumatic stress disorder treatment effectiveness is still unclear, especially in children.
Treatment
Objective: We aimed to investigate the impact of parental emotional abuse on PTSD symptom
Child/adolescent
severity and effectiveness of trauma treatment in children and adolescents.
Trauma
Method: In an outpatient sample (N = 287, mean age = 15.5 years), emotional abuse, index
traumatic event, and PTSD symptoms were assessed at baseline. Thereafter, patients received
evidence-based treatment for trauma-related symptoms embedded in a broader (systemic)
treatment package. In a subsample (n = 130, mean age = 15.3 years) PTSD symptoms were
assessed again 6 and 12 months after baseline.
Results: Emotional abuse (rather than any other type of maltreatment) was associated with more
severe PTSD symptoms in all symptom clusters. This was independent of whether emotional
abuse was reported as index traumatic event or not. Moreover, PTSD symptoms were significantly
reduced 6 months after the start of trauma-focused treatment, and emotional abuse was associ-
ated with more severe PTSD symptoms over the course of treatment.
Conclusions: These findings underline the detrimental nature of emotional maltreatment in the
context of PTSD symptomatology and treatment effectiveness. This calls for routine assessment of
parental emotional abuse in the diagnostic phase, even when this is not the reason of referral.

* Corresponding author.
E-mail addresses: c.m.hoeboer@fsw.leidenuniv.nl (C. Hoeboer), c.deroos@debascule.com (C. de Roos), g.vanson@rivierduinen.nl (G.E. van Son),
Spinhoven@fsw.leidenuniv.nl (P. Spinhoven), Elzinga@fsw.leidenuniv.nl (B. Elzinga).
1
Leiden University, Institute of Psychology, section Clinical Psychology, 3332 AK Leiden, the Netherlands.
2
Amsterdam University Medical Centre, Department of Child and Adolescent Psychiatry, 1105 AZ Amsterdam, the Netherlands.
3
Rivierduinen, Department for Quality of Care, 2333 ZZ Leiden, the Netherlands.
4
Leiden University, Institute of Psychology, section Clinical Psychology, 3332 AK Leiden, the Netherlands.

https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2020.104775
Received 5 March 2020; Received in revised form 7 August 2020; Accepted 8 October 2020
0145-2134/© 2020 The Authors. Published by Elsevier Ltd. This is an open access article under the CC BY license
(http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).

Please cite this article as: Chris Hoeboer, Child Abuse & Neglect, https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2020.104775
C. Hoeboer et al.
Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

1. Introduction

Previous research on the relationship between childhood maltreatment and PTSD has examined how different types of maltreat-
ment relate to PTSD (Ackerman, Newton, McPherson, Jones, & Dykman, 1998; Arias & Pape, 1999; Street & Arias, 2001; Widom,
1999). Childhood maltreatment is defined as any act or failure to act of the primary caretaker of the child which provides a risk of
emotional or physical harm for the child (Gilbert et al., 2009). Most studies differentiate between physical abuse (e.g., hitting),
emotional abuse (e.g., insults), physical neglect (e.g., failure to provide nutrition), emotional neglect (e.g., failure to respond to
feelings of the child) and sexual abuse (e.g., unwanted touching). Note that the term ‘psychological maltreatment’ is also commonly
used, which refers to a repeated pattern or extreme incident(s) of caretaker behavior that violates the basic psychological needs of a
child, thereby including both emotional abuse and neglect (Brassard, Hart, Baker, & Chiel, 2019). In this context, especially sexual and
physical abuse have been frequently investigated, while the effects of emotional abuse and emotional neglect have been studied less
(see for exceptions: Carr, Martins, Stingel, Lemgruber, & Juruena, 2013; De Bellis & Van Dillen, 2005; Spertus, Yehuda, Wong,
Halligan, & Seremetis, 2003; Yrondi et al., 2020).
One of the reasons why emotional abuse may have received less attention is that the diagnosis of PTSD is per definition linked to
exposure to a traumatic event; the A-criterion of the DSM -5 (APA, 2013). This A-criterion defines the index trauma as ‘exposure to
actual or threatened death, serious injury or sexual violence’. Hence, according to the definition of the DSM-5 emotional abuse does not
fulfill the A-criterion (APA, 2013). Nevertheless, several studies have reported that the severity of reported emotional abuse is
related to more severe PTSD symptoms, both in children and adults (Bremner, Vermetten, & Mazure, 2000; Egeland, 2009; Nothling,
Suliman, Martin, Simmons, & Seedat, 2019; Spertus et al., 2003; Sullivan, Fehon, Andres-Hyman, Lipschitz, & Grilo, 2006; Wekerle et al.,
2001). For example, while in an inpatient sample severity of PTSD symptom clusters was correlated with all of the different forms of
childhood maltreatment (except for emotional neglect), emotional abuse showed the strongest associations and emerged as the only
significant predictor (Sullivan et al., 2006). In line, emotional abuse was a significant predictor of PTSD symptom severity in a
treatment seeking sample of adolescents, while all other forms of childhood maltreatment were not (Nothling et al., 2019).
This is particularly relevant given that meta-analyses across the globe have indicated that emotional abuse is the most prevalent
form of maltreatment (Stoltenborgh, Bakermans-Kranenburg, & van IJzendoorn, 2013; Stoltenborgh, Bakermans-Kranenburg, Alink,
& van IJzendoorn, 2015). Emotional abuse frequently co-occurs with other types of childhood maltreatment. Especially emotional
abuse, emotional neglect and physical abuse tend to occur together (Brown, Rienks, McCrae, & Watamura, 2019; Kim, Mennen, &
Trickett, 2017).
Given the high prevalence of emotional abuse and its detrimental effects it is important to further elucidate the specific nature of
the link between emotional abuse and PTSD symptoms. On the one hand, the experience of parental emotional abuse itself may be
of such a traumatic nature that it may directly lead to the development of PTSD symptoms, such as intrusions, nightmares,
avoidance
(‘direct model’). Alternatively, emotional abuse may also be indirectly linked to PTSD symptoms in such a way that the context of
parental emotional abuse affects the severity of PTSD symptoms related to an independent traumatic event, such as a car accident or
physical injury (‘indirect model’). When children experience a traumatic event in a context of parental emotional abuse, it is likely
that they will not receive the social support that is usually provided by parents after such an event (Green et al., 2000;
Margolin &
Vickerman, 2007; Vranceanu, Hobfoll, & Johnson, 2007). Subsequently, these children may be less resourceful in dealing with the
trauma(s), which may maintain and exacerbate PTSD symptoms (Cohen & Hien, 2006; Sanchez, McCormack, & Howell, 2015).
This indirect model is supported by several meta-analyses showing that a lack of social support is a predictor of the development of
PTSD, both in children and adolescents (Trickey, Siddaway, Meiser-Stedman, Serpell, & Field, 2012) and in adults (Brewin,
Andrews, & Valentine, 2000). In addition, exposure to parental emotional abuse has been associated with the development of
inadequate emotional regulation skills, such as rumination and a lack of emotional acceptance (Burns, Jackson, & Harding, 2010),
which are in turn risk factors for the development of PTSD symptoms (Tull, Barrett, McMillan, & Roemer, 2007). Knowing reliably
under which conditions parental emotional abuse makes a child or adolescent more likely to develop PTSD symptoms is of both
academic and clinical interest. If clinicians know when children and adolescents are most likely to be affected following exposure to
adverse events, prevention and intervention may be better tailored, leading to better outcomes.
The first purpose of this study is to investigate the ‘direct’ and ‘indirect’ model linking (self-reported) parental emotional abuse to
the severity of PTSD symptoms in children and adolescents in a Dutch outpatient sample (n 287). We expected that the severity of
=
emotional abuse is associated with increased PTSD symptom severity in all domains in line with previous studies (Gibb, Chelminski,
& Zimmerman, 2007; Spertus et al., 2003; Sullivan et al., 2006). We investigated whether this holds true for children and
adolescents reporting emotional abuse as index trauma (direct model) or other types trauma as index trauma (indirect model). The
second purpose of this study is to investigate whether parental emotional abuse hampers the effectivity of the treatment of PTSD
symptoms (n 130). We expect this to be the case, as parents may not be supportive of the treatment and/or may even hinder =
attendance, and children may have developed less adequate emotion regulation styles to process that trauma(s) effectively. For the
treatment of PTSD in children, the first treatments of choice are individual Trauma-focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT)
and Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) (Powers, Halpern, Ferenschak, Gillihan, & Foa, 2010). Both treatments
are effective in reducing the severity of PTSD symptoms (ISTSS Guidelines Committee, 2018)

2
C. Hoeboer et al.
Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

2. Method

2.1. Participants

The study sample consisted of children and adolescents who received evidence-based treatment for trauma-related symptoms by
qualified psychologists of a Dutch mental healthcare institution (GGZ Rivierduinen Leiden) between February 2012 and April 2015.
Anonymized data were collected in the context of Routine Outcome Measurements (ROM) at pretreatment, 6-months and 12-
months
after start of the treatment. All participants were included who agreed on their ROM data being used for research purposes. For the first
part of this study, all participants who filled in the Childhood Trauma Questionnaire (CTQ) and the Children’s Responses to Trauma
Inventory (CRTI) measuring PTSD symptom severity before treatment were included (n = 287). For the second part, all participants
were included who had at least one additional assessment of the CRTI ( n = 130) after treatment had started. The complete sample (n =
287) had a mean age of 15.5 years (SD = 1.99, range = 9–23 years) with 67 % girls (see for descriptives of the complete sample on
the
CRTI, CDI and CTQ Table 1, and for clinical diagnoses AppendiX 2). The sample with additional assessments (n = 130) had a mean age
of 15.3 (SD 2.10, range 10–20 years) with 73 % girls. The study protocol was approved by the ethical committee of Leiden
= =
University (CEP16-0622/246).

2.2. Procedure

All participants received treatment as usual for their trauma-related symptoms. This included evidence-based treatment, with a first
choice of treatment for individual trauma-focused psychotherapy (trauma-focused Cognitive Behavioral Therapy or EMDR) embedded
in a broader (systemic) treatment package. During the treatment Routine Outcome Monitoring (ROM) data were collected by inde-
pendent ROM assistants. The data were stored and analysed anonymously
Information about the index trauma was based on the CRTI. When this was missing or ambiguous, we used information from
the intake report or treatment plan, where the index trauma was identified by the patients’ psychologist. In case information was
still ambiguous even after consulting the intake report or treatment plan (e.g. when information was too general, such as
’childhood
maltreatment by parents’ without specification), we used information from the subscales of the CTQ to infer the content of the
maltreatment. Two researchers (CH and BE) independently categorized the index trauma as either ‘parental emotional abuse’ or
‘independent index trauma’. Index trauma was categorized as parental emotional abuse when it was listed by the child as emotional
abuse, verbal abuse or emotional maltreatment, or when it included any of the following actions of the parent to the child: 1) name-
calling or saying belittling words; 2) saying hurtful or insulting things; 3) bullying; 4) verbal aggression; or 5) verbal threats, or
when it included verbal assaults to the other parent. Other forms of maltreatment, including verbal abuse and bullying outside the
household (e.g., by peers at school), stressful life events and other problems which did not necessarily involve emotional abuse (e.g.,
parental divorce, attachment problems) were not coded as parental emotional abuse. In 23 (8 %) out of the 287 cases, initial
information from the CRTI, intake report and treatment plan was insufficient for one of the researchers to categorize the index trauma.
This was resolved through discussion or by obtaining additional information from the intake report, treatment plan or CTQ. Five of
the 287 index traumas (2 %) were scored differently by the two researchers, which was resolved through discussion. In all these
cases consensus was obtained. AppendiX 1 provides the depository for categorization of parental emotional abuse versus
independent index trauma.

2.3. Measures

2.3.1. Childhood trauma questionnaire (CTQ)


A Dutch version of the short form of the Childhood Trauma Questionnaire (CTQ) was used to assess emotional abuse, emotional
neglect, physical abuse, physical neglect and sexual abuse on a five-point Likert scale (1 = never to 5 = very often). The CTQ assesses

Table 1
Descriptive statistics from the CRTI, CDI and CTQ.
Mean SD Range

CRTI total 88.63 26.00 34–150


Re-experiencing 17.36 6.50 7–35
Arousal 16.91 5.59 6–30
Avoidance 29.53 9.67 11–50
Other 24.85 8.59 10–46
CDI total 16.17 9.38 0–56
CTQ
EA 10.29 4.77 5–25
EN 12.35 4.75 5–25
PA 6.71 3.02 5–22
PN 7.70 2.96 5–21
SA 7.49 5.09 5–25

3
CRTI = Children’s Responses to Trauma Inventory, re-exp. = re-experiencing, CDI = Children’s Depression In-
ventory, CTQ = Childhood Trauma Questionnaire, EA = Emotional Abuse, EN = Emotional Neglect, PA = Physical
Abuse, PN = Physical Neglect, SA = Sexual Abuse.

4
C. Hoeboer et al. Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

childhood maltreatment with 5 items per subscale (total subscale score could range between 5–25) with a total of 25 items. The
subscale emotional abuse included for example items: ‘People in my family called me things like stupid, lazy or ugly ’ and ‘People in my
family said hurtful or insulting things to me’. The questionnaire had a good criterion-validity in a sample of adolescents in both a
clinical and healthy sample (Bernstein et al., 2003). In the current sample, the internal reliability of the subscales was comparable to
previous studies: the internal reliabilities of the subscales on emotional abuse (α = .83), physical abuse (α = .76), sexual abuse (α =
.95), and emotional neglect (α = .86) were relatively high, while the subscale for physical neglect had a relatively low internal
reliability: (α = .62), comparable to previous studies (between α = .61 and α = .78, Bernstein et al., 2003). For illustrative purposes,
cut-off scores were used to categorize participants into no (score 5–8), mild (score 9–12) and moderate-severe (score 13–25) levels of
reported emotional abuse (see Bernstein & Fink, 1998).

2.3.2. Children’s responses to trauma inventory (CRTI)


The CRTI questionnaire is a Dutch self-report questionnaire measuring post-traumatic stress symptoms in children and adolescents
after a traumatic event (identified index trauma) with four subscales: re-experiencing, avoidance, hyperarousal, child-specific re-
actions, and a total score which can be used for diagnosing PTSD. The subscale child-specific reactions is not part of the DSM-5 criteria,
but it accounts for specific symptoms in children or adolescents, such as guilt. The questionnaire consists of 39 items with five-point
Likert scales (Alisic, Eland, & Kleber, 2006) and showed moderate to high reliability. Convergent and discriminant validity was
demonstrated in a previous study (Alisic & Kleber, 2010). In the current sample, the reliability of subscales for re-experiencing (α =
.86), avoidance (α = .87), other child-specific reactions (α = .84) and total PTSD score (α = .95) was high and the reliability of the
subscale for arousal was moderately high ( α .79). In addition to the symptoms of PTSD, the index trauma is assessed as well (see
=
procedure for details).

2.3.3. Children’s depression inventory (CDI)


Since negative alterations in cognitions and mood were added as fourth cluster to the PTSD symptoms in the DSM-5 (APA,
2013), depressive symptoms have been included in the current analyses, using the CDI. The CDI consists of 27 items which were all
scored on three-point scales (no, mild or clear symptom). The questionnaire measures cognitive, affective and behavioral depressive
symptoms. The total score gives an indication about the severity of the depressive symptoms (Kovacs, 1992). Previous
studies indicated
adequate-high reliability and showed convergent and discriminant validity (Carey, Faulstich, Gresham, Ruggiero, & Enyart, 1987;
Rotundo & Hensley, 1985). In the current sample, the reliability of the total CDI score was high (α = .88).

2.4. Data analyses

We performed a general linear model with gender, age and all types of child maltreatment as independent variables and PTSD
symptoms (4 separate clusters of the CRTI and depressive symptoms based on the CDI) as dependent variables to assess whether
child maltreatment, and emotional abuse in particular, was significantly related to PTSD symptom severity. We first checked the
multi- variate results to assess whether the independent variables were related to any of the dependent variables before interpreting
the effect of the independent variables for all outcomes separately to avoid false positives due to multiple testing. All types of
childhood maltreatment that showed a significant relationship in the multivariate analyses were added as covariates in subsequent
analyses.
Then, we performed three general linear models with: 1) emotional abuse (CTQ) as independent variable (regardless of whether
participants reported it as index trauma) 2) index trauma as independent variable and 3) with the main effects and interaction term
between emotional abuse (CTQ) and index trauma as independent variables. All models have PTSD symptoms (CRTI symptoms and the
CDI) as dependent variables and gender and emotional neglect as covariates.
Finally, we performed a stepwise multilevel analysis to investigate the relationship between emotional abuse (CTQ) and
treatment effectiveness in terms of PTSD symptoms. Hereto, an unconditional means model was first tested with total PTSD
symptoms as dependent variable and no predictors added (so only random intercepts) to determine the intraclass correlation, which
gives an indication of the dependencies among the observations (HoX, 2002). Thereafter, we added the fiXed and random effect of
time, fol- lowed by emotional abuse, interaction between time and emotional abuse, index trauma, gender, interaction between gender
and time, age and emotional neglect. We disregarded parameters which did not improve model fit based on the likelihood ratio test
(West, Ryu, Kwok, & Cham, 2011). All models were fitted with the lme4 package in R and with a FML estimation method ( Bates, Machler,
Bolker, & Walker, 2015).
There were some missing data (<1 %) on the CRTI and CTQ. When more than two items were missing, the participant was dis-
regarded for the relevant analyses (n 7; see Table 1 for missing data per subscale). When only one item was missing, the mean of the
=
other items of the same subscale was imputed (n 12). This resulted in 280 patients in the multivariate analyses with all subscales of
=
the CTQ, 284 patients in the multivariate analyses including emotional abuse and emotional neglect only and 130 patients in the
analyses on treatment effectiveness. Multicollinearity was not problematically high, as the tolerance of all independent variables was
larger than 0.4 and the variance inflation factor was smaller than 2.5.

3. Results

3.1. Association between emotional abuse and PTSD symptom severity

5
We found that emotional abuse was significantly associated with the severity of PTSD symptoms F(5) = 7.25, p < 0.001, ή2 = .12)

6
C. Hoeboer et al. Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

and was most strongly related to PTSD symptom severity on all subscales of the CRTI and depressive symptoms (all p-values < .001 and
largest effect size) compared to other types of childhood maltreatment. Physical abuse, physical neglect and sexual abuse were not
significantly related to PTSD symptom severity. Emotional neglect: F(5) 3.21, p 0.08, ή2 .06 and gender: F(5) 4.88, p < 0.001,
= = = =
□2 .08) were also associated with severity of PTSD symptoms in the multivariate analysis. Hence, Table 2 shows the effect of
=
emotional abuse, emotional neglect and gender on PTSD symptoms for all outcomes separately (CRTI subscales and CDI). When
correcting for gender and emotional abuse, emotional neglect was associated with less re-experiencing symptoms and less other
child- specific reactions, while the correlation coefficient between emotional neglect and re-experiencing symptoms (r = .07) and other
child-
specific reactions (r = .06) was positive. This may be explained by the high correlation between emotional neglect and emotional abuse
(r = .68).

3.2. Direct versus indirect model

In the second analysis, we investigated whether PTSD symptom severity was different for individuals who reported emotional
abuse as the index trauma versus those who reported an independent trauma (e.g., a car accident). Type of index trauma (emotional
abuse versus other traumatic event) was not associated with PTSD symptoms: F(5) 2.25, p .050. Emotional abuse (as general
= =
context; measured with the CTQ) did not influence the relationship between the type of index trauma (emotional versus other trau-
matic event) and PTSD symptoms: F(5) .82, p .539. Thus, although emotional abuse was related to more severe PTSD symptoms, it
= =
had no different impact on PTSD symptom severity for participants who reported emotional abuse as index trauma compared to
participants who reported other traumas (see Fig. 1 for illustration of the mean PTSD symptoms from individuals reporting no (n =
127), mild (n = 83) and moderate-severe (n = 77) emotional abuse as index trauma versus other traumatic events).

3.3. Relationship between emotional abuse and treatment effectiveness

Analyses on treatment effectiveness was based on 130 participants with 2 assessments, of whom 27 also had a third
measurement. Participants with one measurement (at intake) reported slightly more emotional abuse (M 10.69, SD 4.94) compared
= =
to partic- ipants with more than 1 measurement (M 9.81, SD 4.53): Wald 6.56, p .010. All other factors (gender, PTSD
= = = =
symptoms at intake, other reported maltreatment and age) were not significantly different between the two groups. Additionally,
there were no statistical differences between participants with two versus three measurements in terms of reported maltreatment, age,
gender, PTSD symptoms at intake or decrease in PTSD symptoms from intake to first post-measurement (see AppendiX 3).
All assumptions of the final multilevel model were met. The intraclass correlation was considerably high ( r .39), indicating
=
considerable dependency in the data caused by multiple measurements within persons (Table 3).
Table 4 shows the results of the final model. As expected, PTSD symptoms significantly decreased over time: b 19.14, t(64)
=— =
9.45, p < .001. In addition, emotional abuse was related to the severity of PTSD symptoms: b 2.91, t(131) 5.81, p < .001,
— = =
consistent with our baseline findings. The estimated parameter of emotional abuse was 2.91, indicating that for every point of
increase in reported emotional abuse, the total CRTI score was on average 2.91 higher. The interaction between emotional abuse
and time (effect of treatment) was a trend in the hypothesized direction (b .87, t (93) 1.89, p .061), indicating that the PTSD
= = =
symptom decrease over time tended to be smaller for participants who reported more severe levels of emotional abuse. Fig. 2 shows
an illus- tration of the relationship between emotional abuse and PTSD symptoms over time based on the observed data with
participants subdivided into no, low and moderate-severe levels of emotional abuse at intake. Only a small number of participants
received longer treatment with a second post-measurement 12 months after start of treatment ( n 26) so this measurement is not
=
included in the figure.

Table 2
Results of a general linear model with PTSD symptoms as dependent variables (all subscales from the CRTI and depressive symptoms from the CDI)
and emotional abuse (EA) and emotional neglect (EN) and background variables (i.e., age, gender, other CTQ subscales) as independent variables.
Note: we only show predictors in the table with significant multivariate effects because of multiple testing.
Outcome Parameter b Std. Error t p ή2
EA .51 .10 4.87 < .001 .08
Re-experiencing EN —.26 .10 —2.47 .014 .02
Gender 2.10 .78 2.69 .008 .03
EA .88 .15 5.85 < .001 .11
Avoidance
EN —.19 .15 —1.29 .198 .01
Gender 3.14 1.13 2.78 .006 .03
EA .44 .09 4.88 < .001 .08
Arousal
EN —.16 .09 —1.78 .076 .01
Gender 1.85 .67 2.75 .006 .03
Other child-specific EA .75 .13 5.68 < .001 .10
reactions EN —.43 .13 —3.23 .001 .04
Gender 4.75 .99 4.78 < .001 .08
Depression EA .57 .15 3.86 < .001 .05
EN .15 .15 .99 .320 .00
Gender 3.76 1.11 3.41 .001 .04

7
C. Hoeboer et al. Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

Fig. 1. Mean PTSD symptoms with 95 % confidence interval for individuals reporting no, mild or severe emotional abuse (CTQ) with either
emotional abuse as index trauma or an independent index trauma.

Table 3
Summary of the step-wise multilevel analysis of the impact of time, emotional abuse, index trauma, gender, and emotional neglect on PTSD symptoms
(as assessed with the CRTI).
χ
2
Model AIC BIC LL Df p

1 Random intercept 2723 2734 —1358 – – –


2 þ fixed effect time 2658 2672 —1325 67.04 1 < .001
3 + random effect time 2656 2678 —1322 6.13 2 .047
4 þ emotional abuse 2629 2654 —1307 29.01 1 < .001
4.1 + interaction emotional abuse and time 2627 2656 —1306 3.47 1 .063
4.2 + index trauma 2630 2660 —1307 .13 1 .722
5 þ gender 2612 2642 —1298 18.23 1 < .001
5.1 + interaction gender and time 2614 2647 —1298 .04 1 .851
5.2 + age 2614 2647 —1298 .40 1 .532
6 þ emotional neglect 2609 2642 ¡1295 5.53 1 .019

N.B. In italic the factors that were not significant and therefore disregarded and in bold the parameters in the final model.

Table 4
Summary of the fiXed effects from the final multilevel model of the impact of emotional abuse, time, gender and emotional neglect on PTSD symptoms
(as assessed with the CRTI).
Estimate Standard error t-value p

Intercept 72.22 3.92 18.41


Emotional abuse 2.91 .50 5.81 < .001
Time —19.14 2.03 —9.45 < .001
Gender 15.84 3.63 4.36 < .001
Emotional neglect —1.10 .46 —2.39 .018
* p < .05; ** p < .01; *** p < .001.

Fig. 2. Illustration of the effect of emotional abuse (EA) on PTSD symptoms (as assessed with the CRTI) over time with emotional abuse subdivided
into no, low and high (moderate-severe) emotional abuse (N = 130).

8
C. Hoeboer et al.
Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

4. Discussion

The main aim of this study was to investigate the ‘direct’ and ‘indirect’ effects of parental emotional abuse on PTSD symptom
severity in children and adolescents and to determine whether parental emotional abuse hammered effective treatment of the chil-
dren’s PTSD symptoms. Parental emotional abuse was frequently reported since about 29 percent of the participants reported mild-
moderate levels of emotional abuse and 27 percent reported severe levels of emotional abuse. Notably, for 26 percent of the chil-
dren/adolescents, emotional abuse was the index trauma. We found that emotional abuse was associated with increased PTSD
symptom severity of all PTSD clusters and was most strongly related to PTSD symptoms compared to other forms of childhood
maltreatment. These results are in line with earlier findings which showed that self-reported emotional abuse is related to more
severe PTSD symptoms in children and adults (Bremner et al., 2000; Burns et al., 2010; Spertus et al., 2003; Sullivan et al., 2006;
Teicher,
Samson, Polcari, & McGreenery, 2006; Watts, Leeman, O’Sullivan, Castleberry, & Baniya, 2020; Wekerle et al., 2001). Moreover,
recent studies also found that emotional abuse was the most relevant predictor of PTSD symptoms in adults compared to other forms of
childhood maltreatment (Taillieu, Brownridge, Sareen, & Afifi, 2016; Vang, Shevlin, Karatzias, Fyvie, & Hyland, 2018). This em-
phasizes the importance to assess parental emotional abuse in a clinical settings in children and adolescents and the need to further
elucidate how parental emotional abuse can have such a detrimental effect and how the harmful consequences of emotional abuse
can be treated and/or prevented.
As a first step in identifying the processes involved in the pervasive effects of emotional abuse, our findings showed that the
negative impact of emotional abuse is general, since it increased PTSD symptom severity independent of the type of the index
trauma. An explanation might be that parental emotional abuse affects several fundamental resources needed to deal with a
traumatic event. Previous research has already shown that parental emotional abuse is the strongest predictor of poor emotional
regulation capabilities in adolescents (Burns et al., 2010) and that poor emotional regulation capabilities are related to PTSD
symptoms (Tull et al., 2007). Additionally, emotional abuse is also related to a lack of social support from the family (Vranceanu et
al., 2007), while social support from the parents can protect against the effects of stressors (Lougheed, Koval, & Hollenstein, 2016).
Therefore, even after traumatic events that are unrelated to the emotional abuse itself, emotional abuse can indirectly result in more
severe PTSD symptoms as parents may provide less social support to deal with the traumatic event or via a lack of effective emotional
regulation capabilities as a result of exposure to emotional abuse. In addition, emotionally abusive parents may also provide
obstructive or maladaptive interpretations of the traumatic event to the child that are known to be associated with more severe
PTSD such as attributions of self-blame, appraisals about the cause of the trauma and attributions about the perceived
dangerousness of the world (Palosaari, Punamaki, Peltonen, Diab,
& Qouta, 2016; Reichert & Flannery-Schroeder, 2014; Woodward et al., 2015), for example by saying that the traumatic event was
the child’s fault or that they should be ashamed. Posttraumatic cognitions like these might even mediate the negative influence of
childhood maltreatment on adverse mental health outcomes in general (Reichert & Flannery-Schroeder, 2014). Note that most studies
focused on adolescents and adults who already show PTSD symptoms, while the pathway towards these symptoms is underivestigated.
Future studies might follow adolescents who suffer from parental emotional abuse before they show mental health complaints to study
what factors contribute to and protect against the development of mental health problems.
Additionally, in the current study patients’ PTSD symptoms decreased over the course of the treatment. Patients with higher levels
of emotional abuse suffered from more severe PTSD symptoms at baseline and showed more severe PTSD symptoms over the course of
treatment. Given the uncontrolled design of the present study it remains undecided to what extent treatment prevented a worse
outcome in these patients or whether emotional abuse might even hamper the effectiveness of treatment. However, provided that
our findings will be replicated in a future controlled trial, these findings suggest that children reporting parental emotional abuse
start and end treatment with more severe PTSD symptoms. Especially si X-month after start of the treatment these children still had severe
PTSD symptoms. This emphasizes the need for extra or more treatment options for children and adolescents who experience
emotional abuse. In this case, therapists may consider involving parents to improve the social and emotional home environment
and minimize parental emotional abuse, for example with systemic therapy (Carr, 2019). Parents may also need to receive
individual psychotherapy or psycho-education to address and change abusive behavior and learn techniques on how to emotionally
support their child (Lundahl, Nimer, & Parsons, 2006).
This study has some limitations. Firstly, present PTSD symptoms were measured, while emotional abuse was measured about
the past and was based on self-report, which can differ from the perception of parents or clinicians. Moreover, PTSD symptom
severity might influence the self-report of emotional abuse. Nevertheless, self-reports of patients seem to be a reliable indicator
compared to reports via other sources (Winegar & Lipschitz, 1999). Secondly, this study was performed in a natural outpatient mental
health setting with an uncontrolled design, precluding strong conclusions based on a comparison with a control condition. Also, the
number of treatment sessions differed between children and children may have had different treatment ingredients. Nevertheless,
this natural setting also has advantages, such as a high external validity of the results to patients in outpatient mental health
institutes. Thirdly, the number of patients with a treatment duration of 12-month was small and we did not follow patients after
treatment. Future studies are needed to establish the long term effectiveness of treatment for children who experienced emotional
abuse.

5. Conclusion

Our study underlines the detrimental effects of parental emotional abuse for the severity of PTSD symptoms of children and ad-
olescents, emphasizing the importance to address this in clinical assessment and treatment. Especially health care specialists who are in

9
the position to detect emotional abuse, such as general practitioners, psychologists, family guardians and social workers, could
contribute to more awareness and detection of emotional abuse. Since parental emotional abuse is an important risk factor for more

1
C. Hoeboer et al. Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

severe PTSD symptoms in children and adolescents with a trauma history, independent of the type of trauma of referral, it is important
to assess for current and past emotional abuse. In case emotional abuse is reported by a child, it is recommended that this is
addressed in treatment, for example by including the parents to prevent further emotional abuse and by enhancing the quality of
family in- teractions in general and emotional support more specifically. There is a clear lack of specific individual and family
programs for children and adolescents who grow up with parental emotional abuse, which emphasizes the need to develop and
investigate programs that are effective in enhancing social family support and the home environment and reduce parental emotional
abuse. Moreover, since emotional abuse frequently co-occurs with other types of maltreatment, such as emotional neglect, it is
also important to assess
psychological maltreatment more broadly, hence including emotional neglect. In addition, future research is needed to elucidate
whether social support, emotion regulation styles and negative schema’s provided by the parent on quilt and shame mediate the
relationship between emotional abuse and PTSD symptoms. If this is the case, treatment programs may be promoted that
specifically
target these processes.

Data availability statement

The data that support the findings of this study are available from GGZ Rivierduinen. Restrictions apply to the availability of
these data, which were used under license for this study. Data are available from the corresponding author with the permission of
GGZ Rivierduinen.

Declaration of Competing Interest

The authors report no declarations of interest.

Acknowledgements

The study was supported by the Netherlands Organization for Scientific Research (Bernet Elzinga: VICI grant, no. 453-75-006) and
ZON-MW (Bernet Elzinga, Implementation Grant, no 100002211).

Appendix A. Supplementary data

Supplementary material related to this article can be found, in the online version, at doi:https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2020.
104775.

References

Ackerman, P. T., Newton, J. E. O., McPherson, W. B., Jones, J. G., & Dykman, R. A. (1998). Prevalence of post traumatic stress disorder and other psychiatric
diagnoses in three groups of abused children (sexual, physical, and both). Child Abuse & Neglect, 22(8), 759–774.
Alisic, E., & Kleber, R. (2010). Measuring posttraumatic stress reactions in children: A preliminary validation of the children’s responses to trauma inventory. Journal
of Child & Adolescent Trauma, 3.
Alisic, E., Eland, J., & Kleber, R. J. (2006). Children’s responses to trauma inventory-revised version [Schokverwerkingslijst Voor Kinderen-Herziene Versie]. Zaltbommel/
Utrecht, The Netherlands: Institute for Psychotrauma in collaboration with Utrecht University and University Medical Center Utrecht.
APA. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.) Washington, D.C.
Arias, I., & Pape, K. T. (1999). Psychological abuse: Implications for adjustment and commitment to leave violent partners. Violence and Victims, 14(1), 55–67.
Bates, D., Machler, M., Bolker, B. M., & Walker, S. C. (2015). Fitting linear miXed-effects models using lme4. Journal of Statistical Software, 67(1), 1–48.
Bernstein, D. P., & Fink, L. (1998). CTQ childhood trauma questionnaire. A retrospective self-report. Manual. Harcourt, San Antonio: The Psychological Corporation.
Bernstein, D. P., Stein, J. A., Newcomb, M. D., Walker, E., Pogge, D., Ahluvalia, T., Stokes, J., Handelsman, L., Medrano, M., Desmond, D., & Zule, W. (2003).
Development and validation of a brief screening version of the Childhood Trauma Questionnaire, Child Abuse &. Neglect, 27(2), 169–190.
Brassard, M. R., Hart, S. N., Baker, A. A. L., & Chiel, Z. (2019). The APSAC monograph on psychological maltreatment (PM). from https://www.apsac.org.
Bremner, J. D., Vermetten, E., & Mazure, C. M. (2000). Development and preliminary psychometric properties of an instrument for the measurement of childhood
trauma: The Early Trauma Inventory. Depression and Anxiety, 12(1), 1–12.
Brewin, C. R., Andrews, B., & Valentine, J. D. (2000). Meta-analysis of risk factors for posttraumatic stress disorder in trauma-exposed adults. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 68(5), 748–766.
Brown, S. M., Rienks, S., McCrae, J. S., & Watamura, S. E. (2019). The co-occurrence of adverse childhood experiences among children investigated for child
maltreatment: A latent class analysis. Child Abuse & Neglect, 87, 18–27.
Burns, E. E., Jackson, J. L., & Harding, H. G. (2010). Child maltreatment, emotion regulation, and posttraumatic stress: The Impact of Emotional Abuse. Journal of
Aggression, Maltreatment & Trauma, 19, 801–819.
Carey, M. P., Faulstich, M. E., Gresham, F. M., Ruggiero, L., & Enyart, P. (1987). Children’s Depression Inventory: construct and discriminant validity across clinical
and nonreferred (control) populations. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 55(5), 755–761.
Carr, A. (2019). Family therapy and systemic interventions for child-focused problems: The current evidence base. Journal of Family Therapy, 41(2), 153–213.
Carr, C. P., Martins, C. M. S., Stingel, A. M., Lemgruber, V. B., & Juruena, M. F. (2013). The role of early life stress in adult psychiatric disorders a systematic review
according to childhood trauma subtypes. The Journal of Nervous and Mental Disease, 201(12), 1007–1020.
Cohen, L. R., & Hien, D. A. (2006). Treatment outcomes for women with substance abuse and PTSD who have experienced complex trauma. Psychiatric Services, 57(1),
100–106.
De Bellis, M. D., & Van Dillen, T. (2005). Childhood post-traumatic stress disorder: An overview. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America, 14(4),
745–772.

1
Egeland, B. (2009). Taking stock: Childhood emotional maltreatment and developmental psychopathology. Child Abuse & Neglect, 33(1), 22–26.

1
C. Hoeboer et al. Child Abuse & Neglect xxx (xxxx) xxx

Gibb, B. E., Chelminski, I., & Zimmerman, M. (2007). Childhood emotional, physical, and sexual abuse, and diagnoses of depressive and anxiety disorders in adult
psychiatric outpatients. Depression and Anxiety, 24(4), 256–263.
Gilbert, R., Widom, C. S., Browne, K., Fergusson, D., Webb, E., & Janson, S. (2009). Child Maltreatment 1 Burden and consequences of child maltreatment in high-
income countries. Lancet, 373(9657), 68–81.
Green, B. L., Goodman, L. A., Krupnick, J. L., Corcoran, C. B., Petty, R. M., Stockton, P., et al. (2000). Outcomes of single versus multiple trauma exposure in a
screening sample. Journal of Traumatic Stress, 13(2), 271–286.
HoX, J. J. (2002). Multilevel analysis: Techniques and applications. Mahwah, N.J: Lawrence Erlbaum Associates.
ISTSS Guidelines Committee. (2018). Posttraumatic stress disorder prevention and treatment guidelines methodology and recommendations. Oakbrook Terrace (IL), USA:
Author.
Kim, K., Mennen, F. E., & Trickett, P. K. (2017). Patterns and correlates of co-occurrence among multiple types of child maltreatment. Child & Family Social Work, 22
(1), 492–502.
Kovacs, M. (1992). The children’s depression inventory (CDI) manual. New York: Multi-Health Systems.
Lougheed, J. P., Koval, P., & Hollenstein, T. (2016). Sharing the burden: The interpersonal regulation of emotional arousal in mother-daughter dyads. Emotion, 16(1),
83–93.
Lundahl, B. W., Nimer, J., & Parsons, B. (2006). Preventing child abuse: A meta-analysis of parent training programs. Research on Social Work Practice, 16(3), 251–262.
Margolin, G., & Vickerman, K. A. (2007). Post-traumatic stress in children and adolescents exposed to family violence: I. Overview and issues. Professional Psychology,
Research and Practice, 38(6), 613–619.
Nothling, J., Suliman, S., Martin, L., Simmons, C., & Seedat, S. (2019). Differences in abuse, neglect, and exposure to community violence in adolescents with and
without PTSD and depression. Journal of Interpersonal Violence, 34(21–22), 4357–4383.
Palosaari, E., Punamaki, R. L., Peltonen, K., Diab, M., & Qouta, S. R. (2016). Negative social relationships predict posttraumatic stress symptoms among war-affected
children via posttraumatic cognitions. Journal of Abnormal Child Psychology, 44(5), 845–857.
Powers, M. B., Halpern, J. M., Ferenschak, M. P., Gillihan, S. J., & Foa, E. B. (2010). A meta-analytic review of prolonged exposure for posttraumatic stress disorder.
Clinical Psychology Review, 30(6), 635–641.
Reichert, E. L., & Flannery-Schroeder, E. (2014). Posttraumatic cognitions as mediators between childhood maltreatment and poorer mental health among young
adults. Journal of Child & Adolescent Trauma, 7(3), 153–162.
Rotundo, N., & Hensley, V. R. (1985). The children’s depression scale. A study of its validity. Journal of Child Psychology and Psychiatry, and Allied Disciplines, 26(6),
917–927.
Sanchez, M. M., McCormack, K. M., & Howell, B. R. (2015). Social buffering of stress responses in nonhuman primates: Maternal regulation of the development of
emotional regulatory brain circuits. Social Neuroscience, 10(5), 512–526.
Spertus, I. L., Yehuda, R., Wong, C. M., Halligan, S., & Seremetis, S. V. (2003). Childhood emotional abuse and neglect as predictors of psychological and physical
symptoms in women presenting to a primary care practice. Child Abuse & Neglect, 27(11), 1247–1258.
Stoltenborgh, M., Bakermans-Kranenburg, M. J., Alink, L. R. A., & van IJzendoorn, M. H. (2015). The prevalence of child maltreatment across the globe: Review of a
series of meta-analyses. Child Abuse Review, 24(1), 37–50.
Stoltenborgh, M., Bakermans-Kranenburg, M. J., & van IJzendoorn, M. H. (2013). The neglect of child neglect: A meta-analytic review of the prevalence of neglect.
Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 48(3), 345–355.
Street, A. E., & Arias, I. (2001). Psychological abuse and posttraumatic stress disorder in battered women: EXamining the roles of shame and guilt. Violence and Victims,
16(1), 65–78.
Sullivan, T. P., Fehon, D. C., Andres-Hyman, R. C., Lipschitz, D. S., & Grilo, C. M. (2006). Differential relationships of childhood abuse and neglect subtypes to PTSD
symptom clusters among adolescent inpatients. Journal of Traumatic Stress, 19(2), 229–239.
Taillieu, T. L., Brownridge, D. A., Sareen, J., & Afifi, T. O. (2016). Childhood emotional maltreatment and mental disorders: Results from a nationally representative
adult sample from the United States. Child Abuse & Neglect, 59, 1–12.
Teicher, M. H., Samson, J. A., Polcari, A., & McGreenery, C. E. (2006). Sticks, stones, and hurtful words: Relative effects of various forms of childhood maltreatment.
The American Journal of Psychiatry, 163(6), 993–1000.
Trickey, D., Siddaway, A. P., Meiser-Stedman, R., Serpell, L., & Field, A. P. (2012). A meta-analysis of risk factors for post-traumatic stress disorder in children and
adolescents. Clinical Psychology Review, 32(2), 122–138.
Tull, M. T., Barrett, H. M., McMillan, E. S., & Roemer, L. (2007). A preliminary investigation of the relationship between emotion regulation difficulties and
posttraumatic stress symptoms. Behavior Therapy, 38(3), 303–313.
Vang, M. L., Shevlin, M., Karatzias, T., Fyvie, C., & Hyland, P. (2018). Dissociation fully mediates the relationship between childhood sexual and emotional abuse and
DSM-5 PTSD in a sample of treatment-seeking adults. European Journal of Trauma & Dissociation, (4), 173–178.
Vranceanu, A. M., Hobfoll, S. E., & Johnson, R. J. (2007). Child multi-type maltreatment and associated depression and PTSD symptoms: The role of social support and
stress. Child Abuse & Neglect, 31(1), 71–84.
Watts, J., Leeman, M., O’Sullivan, D., Castleberry, J., & Baniya, G. (2020). Childhood emotional maltreatment and post-traumatic stress disorder in the context of
centrality of the event and intrusive rumination. Rehabilitation Counseling Bulletin.
Wekerle, C., Wolfe, D. A., Hawkins, D. L., Pittman, A. L., Glickman, A., & Lovald, B. E. (2001). Childhood maltreatment, posttraumatic stress symptomatology, and
adolescent dating violence: Considering the value of adolescent perceptions of abuse and a trauma mediational model. Development and Psychopathology, 13(4),
847–871.
West, S. G., Ryu, E., Kwok, O. M., & Cham, H. (2011). Multilevel modeling: Current and future applications in personality research. Journal of Personality, 79(1), 2–50.
Widom, C. S. (1999). Posttraumatic stress disorder in abused and neglected children grown up. The American Journal of Psychiatry, 156(8), 1223–1229.
Winegar, R. K., & Lipschitz, D. S. (1999). Agreement between hospitalized adolescents’ self-reports of maltreatment and witnessed home violence and clinician reports
and medical records. Comprehensive Psychiatry, 40(5), 347–352.
Woodward, M. J., Eddinger, J., Henschel, A. V., Dodson, T. S., Tran, H. N., & Beck, J. G. (2015). Social support, posttraumatic cognitions, and PTSD: The influence of
family, friends, and a close other in an interpersonal and non-interpersonal trauma group. Journal of Anxiety Disorders, 35, 60–67.
Yrondi, A., Aouizerate, B., Bennabi, D., Richieri, R., D’Amato, T., Bellivier, F., et al. (2020). Childhood maltreatment and clinical severity of treatment-resistant
depression in a French cohort of outpatients (FACE-DR): One-year follow-up. Depression and Anxiety.

Anda mungkin juga menyukai