Anda di halaman 1dari 22

KESEHATAN MENTAL : Konsep, Cakupan dan Perkembangan

CHILD ABUSE

Dosen Pembimbing

IDAR SRI AFRIYANTI ZEBUA, S.Psi M.Psi

Achyar Setiawan 188600180

Ayu Surgana 188600166

Devi Oktavia A.Siregar 188600164

Elvina Damayanti 188600156

Siti Rahmadani Hasibuan 188600093

Rizky Wulandari Simanjuntak 188600147

Zahrani Oktriya 188600116

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MEDAN AREA

T.A 2019/2020

1
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................................................. 1
Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................................... 4
1.2.Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 4
1.3. Tujuan ................................................................................................................................................ 5
Bab 2 Pembahasan ....................................................................................................................................... 6
2.1. Pengertian Child Abuse ...................................................................................................................... 9
2.2. Assessment terhadap Child Abuse ................................................................................................. 10
2.3. Gejala Child Abuse ........................................................................................................................... 12
2.4. Keluarga Disfungsi ........................................................................................................................... 13
2.5. Penanganan atau Treatmen Child Abuse ........................................................................................ 17
Bab 3 Studi Kasus ...................................................................................................................................... 20
Bab 4 Penutup ............................................................................................................................................ 21

4.1. Kesimpulan ....................................................................................................................................... 21

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah. melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“CHILD ABUSE" ini dengan baik tanpa ada halangan. Makalah ini disusun untuk melengkapi
tugas mata kuliah Kesehatan Mental.

Selain itu, kami berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan
menjadi referensi untuk menambah pengetahuan umum.

Oleh karena itu, kami mengharap segala kritik dan saran yang membangun dan dapat menjadikan
makalah ini jauh lebih baik lagi. Kami mohon maaf setulus-tulusnya atas kesalahan maupun
kekurangan dalam penyusunan makalah ini.

Medan, 19 September 2019

Kelompok 8

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan mental tidak pernah dapat dilepaskan dari riwayat perkembangan individu
sebelumnya, terutama berkaitan dengan pengasuhan yang dialami semenjak individu tersebut
masih kanak-kanak. Riwayat perkembangan yang baik dalam pengertian individu adalah diasuh
dengan pola-pola pengasuhan yang sehat, seperti adanya penerimaan dan cinta dari orang tua,
waktu yang cukup untuk bermain bersama anak, memperlakukan anak sesuai dengan usia
perkembangannya, serta memberi keterampilan yang berguna untuk membantu diri sendiri
maupun bentuk-bentuk keterampilan sosial, merupakan modal individu berkembang menjadi
pribadi yang sehat mental.

Sebaliknya, tidakan-tindakan pengasuhan yang salah atau keliru, sering disebut sebagai
tindakan abuse, sedikit banyak membuat individu yang mengalaminya berkembang menjadi
pribadi yang sulit untuk beradaptasi ataupun melakukan koping terhadap persoalan yang
dihadapinya. Akibatnya, derajat kesehatan mental individu yang bersangkutan menjadi kurang
optimal atau bahkan individu mengalami berbagai gangguan mental baik ringan maupun berat.
Memahami tindakan child abuse yang mungkin terjadi selama proses pengasuhan dalam
keluarga diharapkan akan membantu menciptakan masyarakat untuk memperoleh derajat
kesehatan mental yang lebih baik

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Child Abuse?

2. Apa saja assassment yang dilakukan terhadap Child Abuse?

3. Gejala apa saja yang terjadi pada penderita Child Abuse?

4. Apakah Child Abuse terjadi karena keluarga disfungsi?

5. Penangan atau treatmen apa yang harus dilakukan untuk menangani Child Abuse?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian child abuse.


2. Menjelaskan assesment terhadap child abuse.
3. Mengidentifikasi gejala-gejala child abuse.
4. Menjelaskan keluarga yang disfungsi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Child Abuse (perlakuan salah pada anak)

 Fenomena child abuse (perlakuan salah pada anak)


Menurut komisi nasional untuk mencegah penganiayaan anak Amerika Serikat, terdapat
lebih dari 3 juta kasus anak yang mengalami “penanganan salah” pada tahun 1995. pada tahun
yang sama, setidaknya 1.215 anak meninggal karena child abuse dan neglect. ada bukti
sebanyak 20% anak mengalami seksual abuse dalam berbagai cara sebelum mereka mencapai
dewasa (American Association, 1999)

Bagaimana dengan Indonesia? kondisi Indonesia tampaknya jauh lebih memprihatinkan


banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan sehingga tanpa disadari sering melakukan
tindakan abuse terhadap anak-anak mereka sendiri. anak-anak dipaksa untuk bekerja, mengemis
atau menjadi anak jalanan menjadi pelacur dan kegiatan membahayakan lainnya.

Puncak Child abuse di Indonesia adalah kekerasan yang dialami oleh anak jalanan,
meskipun sebenarnya ada juga kasus-kasus Child abuse oleh keluarga-keluarga yang
berpendidikan baik dan secara sosial ekonomi mencukupi. Selain itu sebab lainnya adalah
karena masalah iasi ekonomi yang menyebabkan urusan perut menjadi yang utama sedangkan
masalah lainnya termasuk child abuse tidak mendapatkan prioritas.

Yang lebih buruk adalah tidak ada tempat bagi anak-anak mendapatkan perlindungan dari
orang tua, saudara dan guru-guru mereka yang seringkali justru menjadi orang yang melakukan
abuse terhadap mereka. Polisi juga biasanya kurang memberikan perhatian yang serius terhadap
anak yang melaporkan kasus kekerasan bila tanpa disertai orang dewasa lain

Dalam kenyataannya sebagian besar polisi Indonesia tampaknya hanya memberikan


perhatian yang kecil kecuali bila mereka secara pribadi mendapatkan keuntungan bila terlibat
dalam suatu kasus. Sayangnya negara juga kurang menyadari bahwa tindakan Child abuse
merupakan kejahatan yang serius kenyataannya sejumlah pasal dalam kode kriminal atau

6
kejahatan melawan anak-anak hanya menyangkut masalah seksual abuse sedangkan
penyalahgunaan lainnya seperti physical abuse emotional abuse maupun anak yang ditelantarkan
tidak mendapatkan perhatian.

 Istilah-istilah yang umum dipakai


Kata “abuse” sendiri memiliki banyak arti antara lain : 1. penyalahgunaan salah pakai 2.
perlakuan kejam siksaan 3. Makian 4. menyalahgunakan (misuse). 5 memperlakukan
dengan kasar/ kejam/ /keji (mistreat). 6. memaki-maki mencaci-maki (scold, insult) 7.
menghianati (Eschols & Shadily, 1975).

Pengertian abuse di atas yaitu meliputi penyalahgunaan, salah pakai, perlakuan kejam,
siksaan, Makian, menyalahgunakan, memperlakukan dengan kejam atau kasar atau keji dan
memaki-maki atau mencaci maki.

Kata Chill paling mudah diartikan sebagai “anak”. Demi Keluwesan, dalam tulisan Ini
menggunakan “anak” yang di rangkaikan dengan istilah penyalahgunaan (anak) dan tetap
digunakan istilah Child bila Masih memakai kata abuse karena terasa lebih enak didengar dan
tidak aneh, karena menggabungkan 2 kata dari bahasa yang sama. Alasan lain, istilah Child
abuse juga sudah semakin awam di telinga orang Indonesia.

Selain itu, pemahaman mengenai Apa yang dimaksud dengan anak, setidaknya relatif
seragam, yaitu seorang dianggap masuk dalam kategori anak Bila secara hukum belum
dinyatakan sebagai dewasa biasanya seseorang dianggap dewasa bila telah berusia 17 tahun atau
sudah menikah. Usia di bawahnya masih dianggap anak-anak dan harus mendapatkan
perlindungan dan perlakuan semestinya sebagai anak. Jadi selama seseorang belum berusia 17
tahun atau belum menikah ( dari lahir sampai usia 17 tahun), dia masih dianggap sebagai anak.

 Sejarah singkat
Istilah “child abuse” umum digunakan oleh masyarakat Barat. Istilah ini muncul dan
ditemukan atau lebih tepatnya, ditemukan kembali setelah perang berakhir. Kekerasan
fisik mula-mula menjadi perhatian dan minat medis di Amerika. Kemudian kekerasan
fisik ini menjadi semakin mengemuka setelah mendapat sorotan dari media yang terus-
menerus memberitakan kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan kebijakan politik

7
pemerintah. Media juga berperan dalam membangun iasise masa untuk melakukan aksi
bersama dan menggalang tekanan kepada pemerintah untuk membuat suatu peraturan
berkaitan dengan masalah tersebut.

Sedikit berbeda dengan physical abuse, sexual abuse ditemukan kembali setelah adanya
kesaksian dari para wanita dewasa mengenai pengalaman mereka mendapatkan sexual abuse
ketika mereka masih kanak-kanak. Inilah yang menyebabkan dalam beberapa hal seksual abuse
tidak begitu mendapatkan perhatian dari medis tapi lebih menjadi sorotan dan dipopulerkan oleh
kaum feminis.

Menurut pandangan feminis , sexual abuse terjadi karena adanya ketidakadilan pada
penyebaran kekuasaan dalam struktur sosial dimana orang dewasa ( abusers ) biasanya lebih
berkuasa dan orang muda biasanya melekat pada perempuan yang menjadi korban karena
mereka tidak mempunyai kekuasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat perkembangan Child abuse menjadi meluas,
yang dulunya bersifat privat ( pribadi ) menjadi urusan masyarakat dan pemerintah. Selain itu
gagasan tentang Abuse harus disadari senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan juga beragam
dari satu tempat ke tempat lainnya. Faktor budaya mungkin menjadi salah satu kendala utama
untuk menerapkan suatu pengertian yang baku mengenai tindakan abuse. Defenisi dari barat
tidak begitu saja diterapkan untuk situasi Indonesia misalnya. Apalagi iasi ias di negeri kita juga
masih kurang mendukung, Oleh karena itu harus dicari jalan keluar yang terbaik.

 Kategori Child Abuse.


a. Physical abuse ( perlakuan salah secara fisik ) adalah ketika anak mengalami pukulan,
tamparan, gigitan, pembakaran atau kekerasan fisik lainnya. Seperti bentuk abuse lainnya
physical abuse biasanya berlangsung dalam waktu yang lama atau tindakan yang dilakukan
dengan niat untuk menyakiti fisik.

b. Sexual Abuse ( perlakuan salah secara seksual ) adalah ketika anak diikutsertakan dalam
situasi seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya kontak
seksual secara langsung seperti persetubuhan, atau sentuhan atau kontak genital lainnya. Tetapi
itu juga ias berarti anak dibuat untuk melihat tindakan seksual, seperti Melihat kelamin orang

8
dewasa, melihat pornografi atau menjadi bagian dari produksi pornografi, anak biasanya tidak
dipaksa ke dalam situasi seksual sebaliknya mereka dibujuk, disogok, ditipu atau dipaksa atau
tindakan-tindakan yang menyangkut masalah seksual, seperti mencium atau menyentuh organ
kemaluan anak,bmenyuruh anak menyentuh alat vital orang lain, bersenggama dengan anak,
memperlihatkan anak materi-materi pornografi, kemperlihatkan alat vital kepada anak, memaksa
anak untuk membuka pakaiannya, memaksa anak untuk berhubungan seks dengan orang lain,
menjadikan anak objek pornografi seperti di dalam internet atau video atau menceritakan pada
anak cerita jorok.

c. Neglect ( diabaikan/dilalaikan ) adalah ketika kebutuhan kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi,
kebutuhan – kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi, tempat tinggal yang
memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan,
dan perawatan gigi serta medis atau tindakan yang bersangkut masalah tumbuh kembang anak,
seperti tidak menyediakan rumah, dan tidak iasi pakaian yang layak, mengunci anak di dalam
kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam periode waktu yang lama, menempatkan
anak di dalam situasi yang membahayakan dirinya.

d. Emotional abuse ( perlakuan salah secara emosi ) adalah ketika anak secara teratur diancam,
di iasise, dipermalukan, diabaikan, disalahkan atau salah penggunaan. Cara emosional lainnya,
seperti membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya,
adalah bentuk dari emosional abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror,
menyalahgunakan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan
tidak berharga.

2.2 Assessment terhadap Child Abuse

Melakukan assessment terhadap Child abuse bukanlah hal yang mudah. Selain pengertian
Child abuse sendiri yang sulit dicari titik temunya juga karena kasus-kasus Child abuse
seringkali terjadi dalam keluarga orang lain, biasanya enggan mencampuri urusan keluarga

9
kecuali kalau kasus menjadi telah begitu ekstrem ( anak jelas menunjukkan adanya tanda-tanda
penganiayaan atau terbunuh atau diperkosa misalnya ) baru kemudian itu menjadi urusan ias.

Ada berbagai macam pendekatan dalam Melakukan asesmen yaitu :

1. Pendekatan psikodinamik.

Assasment yang menggunakan pendekatan ini biasanya tidak terstandar, prosedur nya kurang
memiliki definisi yang operasional, dan makna simbolisnya tinggi.

2. Pendekatan behavioral.

Pendekatan ini semata-mata didasarkan pada observasi langsung pada tingkah laku.

3. Pendekatan tradisi medis.

Pendekatan ini dicirikan dengan menggunakan teknik wawancara klinis yang didasarkan pada
pengalaman dan keahlian klinikus dalam menjalankan suatu diagnosis yang akurat.

4. Pendekatan psikometrik.

Merupakan pendekatan yang berasal dari usaha-usaha dalam psikologi untuk mengatur sifat-sifat
psikologis (seperti inteligensi, kemampuan akademik dan lain-lain) dengan menggunakan tes tes-
tes terstandar dan analisis iasise.

Berdasarkan keempat pendekatan diatas, dikenal empat metode untuk mengumpulkan data anak
untuk assessment ke-4 metode tersebut adalah metode observasi, metode wawancara, metode
angket dan metode tes.

2.3. Gejala – Gejala Abuse

APA Public Interest Initiatives (2002) dan Hwang (1999) menyebutkan gejala-gejala atau tanda-
tanda terjadinya abuse, antara lain :

- Gambaran diri yang buruk.

- Sexual acting out.

10
- Tingkah laku agresif mengganggu dan kadang-kadang iasis.

- Marah dan gusar atau perasaan perasaan kesedihan atau gejala-gejala lain yang merupakan
tanda depresi.

- Tingkah laku merusak diri atau menyalahgunakan diri sendiri pikiran-pikiran bunuh diri.

- Masalah-masalah atau kegagalan kegagalan sekolah.

- Penyalahgunaan obat dan iasis.

- Terluka/terpotong dan memar memar.

- Patah tulang atau luka-luka dalam

- Terbakar.

- Kelaparan dan kehausan yang menetap.

- Kehilangan minat pada sekitarnya.

- Rambut dan kulit yang kotor.

- Kurang pengawasan.

- Luka memar atau pendarahan di kelamin.

- Lebih banyak pengetahuan mengenai seks dibandingkan anak-anak seusianya yang normal.

- Mengalami masalah dalam belajar.

- Takut pada orang atau tempat tertentu.

Anak biasanya tidak mengatakan kepada orang tua atau orang dewasa lainnya mengenai
sexual abuse yang mereka alami. Oleh karena itu orang sekitar harus menyadari perubahan
tingkah laku pada anak, seperti berikut :

- Takut pada tempat atau orang tertentu.

11
- Reaksi-reaksi yang tidak biasanya terhadap pertanyaan Apakah mereka telah disentuh oleh
seseorang.

- Ketakutan yang tidak beralasan terhadap pemeriksaan fisik.

- Tanda-tanda fisik berkaitan dengan sexual abuse seperti penyakit menular seksual, memar, atau
lecet.

- Mencoba mengajak anak-anak lain untuk memperlihatkan tingkah laku seksual.

2.4. Keluarga Disfungsi.

Abuse yang sering terjadi di dalam keluarga ( sering diistilahkan juga dengan kekerasan
iasise). Hal ini terjadi karena keluarga tidak ias berfungsi sebagaimana mestinya. Hubungan
antara anggota keluarga tidak berjalan dengan harmoni seperti fungsi masing-masing. Anggota
keluarga tidak jelas atau ikatan emosi antar keluarga kurang terjalin dengan baik.

Ciri-ciri keluarga yang beresiko melakukan Child abuse adalah sebagai berikut :

- Kekerasan lain di dalam rumah, seperti abuse terhadap pasangan atau melakukan abuse
terhadap sibling.

- Orang tua atau pengasuh yang menggunakan iasis atau penyalahgunaan obat-obatan lainnya.

- Menjadi orang tua tiri.

- Isolasi iasi dari pengasuh (orang merasa dia tidak mendapatkan dukungan)

- Tekanan atau iasi keluarga berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, masalah keuangan,
penyakit, kematian, perpisahan atau perceraian.

- Anggota keluarga yang dewasa ada yang mengalami abuse ketika mereka masih anak-anak.

Berdasarkan berbagai penelitian, menyimpulkan bahwa abuse dan neglect yang terjadi
pada anak beresiko tinggi pada keluarga-keluarga berikut :

- Keluarga yang memiliki jumlah anak banyak.

12
- Ibu dengan riwayat alkoholisme dan promiskuitas seksual.

- Kemiskinan.

- Pendidikan ibu.

- Usia ibu yang masih remaja ketika memiliki anak pertama.

- Status perkawinan ibu.

- Kehamilan yang tidak direncanakan.

- Sejarah keluarga dengan penyalahgunaan iasis.

- Harapan orang tua terhadap perkembangan anak terlalu rendah atau sebaliknya terlalu tinggi.

- Ibu yang memiliki riwayat kekerasan, harga diri rendah dan isolasi.

- Ibu memiliki simtom depresi.

- Ibu kesepian kurang dalam partisipasi iasi, kurang terlibat dalam jaringan bantuan informal.

2.5. Penanganan atau Treatmen Child Abuse

1. Akibat jangka panjang terhadap korban abuse.

Selain gejala-gejala jangka pendek seperti yang telah disebutkan, korban abuse akan
menderita akibat perlakuan abuse jauh sampai mereka dewasa nanti. Bila sejak awal tidak
ditangani dengan baik. Adapun gejala-gejala tersebut antara lain :

- lebih mudah menjadi korban abuse pada kehidupan kemudian.

- lebih mudah menjadi Abuser (pelaku abuse terhadap anak atau orang lain).

- lebih mudah terlibat di dalam aktivitas kekerasan iasise di kemudian hari.

- melakukan abuse terhadap keluarga mereka sendiri.

- menggunakan kekerasan untuk memecahkan masalah.

13
- mengalami kesulitan dalam belajar.

- mencoba untuk bunuh diri.

- menggunakan iasis atau obat-obatan yang lain.

Rini (2001) menyebutkan beberapa masalah yang timbul pada saat anak korban abuse di
berbagai segi kehidupan, seperti :

a. masalah relasional, meliputi:

- kesulitan untuk menjalin hubungan ataupun persahabatan.

- merasa kesepian.

- menjalin hubungan yang tidak sehat misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri.

- sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain.

- mudah curiga dan terlalu hati-hati terhadap orang lain.

- perilakunya tidak sopan.

b. masalah emosional, meliputi :

- merasa bersalah, malu.

- menyimpan perasaan dendam.

- depresi.

- merasa takut tertular gangguan mental yang dialami orang tua.

- merasa takut Masalah dirinya diketahui orang lain.

- tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif.

- merasa bingung dengan identitasnya.

c. masalah kognisi, meliputi :

14
- punya persepsi yang iasise terhadap kehidupan.

- timbul pikiran iasise tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan
diri sendiri.

- memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri.

- sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah.

d. masalah perilaku, meliputi :

- perilaku berbohong mencuri bolos sekolah.

- perbuatan iasise atau kenakalan.

- tidak mengurus diri sendiri dengan baik

- menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar dan dibuat-buat untuk mencari perhatian.

- muncul keluhan sulit tidur

- muncul perilaku seksual yang tidak wajar

- kecanduan obat bius, minuman keras, dan sebagainya

- muncul perilaku makan yang tidak normal, seperti aneroxia atau bulimia.

2. Penanganan atau Treatmen terhadap child abuse

Melihat efek jangka panjang terhadap korban child abuse yang tidak hanya mengenai diri
korban tetapi juga berpotensi untuk membahayakan lingkungan di sekitarnya, maka
mengupayakan suatu keharusan. Sama seperti pada assessment, treatment mestinya dilakukan
secara multi disiplin juga, melibatkan iasiseal yang berkaitan seperti dokter psikolog pekerja iasi
dan keluarga.

Ada berbagai macam treatment yang diperlukan, antara lain :

- medis bila anak mengalami luka-luka fisik.

15
- untuk menghilangkan trauma akibat abuse korban perlu mendapatkan penanganan psikologis
melalui konseling dan psikoterapi.

- orang tua dan keluarga juga perlu dilibatkan dengan memberikan pelatihan yang dibutuhkan

- kadang berdasarkan situasi dan kondisi anak perlu dipisahkan dari keluarga dan kemudian baru
mendapatkan treatment yang memadai.

3. Pencegahan atau Prevensi Abuse.

Sebelum tindakan abuse terjadi perlu dicari penyebab terjadinya abuse dari orang dewasa
terhadap anak-anak ada beberapa penyebab terjadinya abuse antara lain :

- kehilangan iasis ketika mereka menghadapi masalah mereka sendiri.

- tidak tahu cara mendisiplin anak.

- mengharapkan tinggal laku yang tidak realistis yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak.

- pernah menjadi korban abuse oleh orang tua mereka atau pasangan.

- mengalami kesulitan iasise.

- kehilangan kendali ketika menggunakan iasis dan obat-obatan lainnya.

Tindakan preventif yang perlu dilakukan supaya dapat menghindari kejadian abuse adalah :

- mengajari anak mengenal bagian-bagian tubuh yang sifatnya pribadi.

- mendengarkan dengan baik ketika anak mencoba untuk mengatakan sesuatu sakit khususnya
bila itu terlihat berat atau sulit baginya untuk mengatakannya.

- iasi anak cukup waktu dan perhatian.

- mengetahui dan mengawasi dengan siapa anak bermain. Berhati-hati bila mengizinkan anak
menghabiskan waktu ke tempat yang jauh dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua
lainnya. Kunjungi pengasuh anak tanpa pemberitahuan sebelumnya.

- membicarakan mengenai abuse dengan anak

16
- mengatakan kepada orang lain yang memiliki otoritas bila ada dugaan anak mengalami abuse.

Melakukan perubahan-perubahan terhadap lingkungan juga dapat dilakukan untuk


mencegah terjadinya abuse dan bahkan mengubah lingkungan dapat menjadi katalisator
terjadinya pemulihan bagi korban abuse. Perubahan tersebut antara lain :

- penciptaan aturan yang jelas dan disiplin yang konsisten sehingga tidak membingungkan anak.

- menjauhkan anak dari media yang berpotensi menimbulkan abuse, seperti mematikan program-
program iasise yang berisi adegan kekerasan.

- memberikan kegiatan-kegiatan yang positif dan dilakukan secara bersama-sama (banyak


orang).

- membentuk kelompok kelompok pendukung dan bentuk-bentuk lain pemberdayaan


masyarakat.

17
BAB III

STUDI KASUS

KASUS ANGELINE, KRONOLOGI DARI HILANG HINGGA MENINGGAL


Rabu, 10 Juni 2015 19:20 WIB

Angeline (8), anak hilang di Bali. facebook.com

TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Bali akhirnya menemukan bocah perempuan asal
Bali, Angeline, 8 tahun, yang hilang sejak medio Mei 2015. Angeline ditemukan dalam keadaan
tewas dan dikubur di rumah ibu angkatnya, Margareth.

Komisi Nasional Perlindungan Anak sempat mencurigai pelaku hilangnya bocah kelas III
sekolah dasar itu justru keluarganya sendiri. Hingga akhirnya polisi menemukan Angeline tewas
dengan luka dan dililit sebuah kain.

18
"Ini aneh, TKP di rumahnya sendiri. Semua penghuni rumah itu patut dicurigai sebagai pelaku,"
kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait saat dihubungi Tempo, Rabu, 10
Juni 2015.

Berikut ini kronologi tragedi hilangnya Angeline.

1. 16 Mei 2015
Angeline terakhir terlihat di halaman rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali.
Investigasi Komnas Anak menyatakan tetangga melihat pintu pagar rumah Angeline terkunci
saat itu. "Artinya, hanya orang rumah yang tahu keberadaan terakhir Angeline. Dia tidak keluar,"
kata Arist.

2. 17 Mei 2015
Kakak angkat Angeline, Christina dan Ivon, mengumumkan hilangnya Angeline pada laman
Facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child". Mereka memasang sejumlah foto
bocah yang senyumnya tampak ceria itu. Keduanya juga mengajak masyarakat ikut mencari
Angeline. Masyarakat, dari artis hingga pejabat, geger ikut membantu pencarian bocah malang
tersebut.

3. 18 Mei 2015
Tiga hari setelah menghilang, keluarga melapor ke Kepolisian Sektor Denpasar Timur. Polisi
memeriksa sejumlah saksi, yaitu Margareth (ibu angkat Angeline), Antonius (pembantu
sekaligus penjaga rumah), dan seorang penghuni kontrakan milik Margareth bernama Susianna.

Polda Bali memperluas pencarian di seluruh perbatasan Bali, Banyuwangi, dan Nusa Tenggara
Barat. Mereka juga memeriksa rumah Margareth tiga kali. Pemeriksaan pertama dan kedua
selalu dihalangi pemilik rumah.

4. 24 Mei 2015
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengunjungi rumah Margareth pada
malam hari. Arist menengok kamar tidur Margareth yang juga sering dipakai Angeline. Menurut
Arist, rumah itu tak layak huni karena acak-acakan, kotor, dan bau kotoran hewan. Margareth
memelihara puluhan anjing dan ayam di rumahnya.

19
Di kamar tidur, Arist mencium bau anyir yang berbeda dengan bau kotoran hewan. "Tidak ada
seprei terpasang dan ruangannya bau anyir," ujar Arist. Kecurigaan itu segera dilaporkan kepada
polisi.

5. 5-6 Juni 2015


Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi serta
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengunjungi
rumah Margareth dalam kesempatan berbeda. Namun kedatangan keduanya ditolak keluarga
Angeline.

6. 9 Juni 2015
Guru SD Negeri 12 Sanur Bali, tempat Angeline sekolah, menggelar sembahyang di depan Pura
Penyimpangan Batu Bolong, di depan rumah Angeline. Persembahyangan digelar untuk meminta
petunjuk paranormal. Mereka mengaku mendengar suara Angeline.

7. 10 Juni 2015
Polisi menemukan jasad Angeline di pekarangan rumah Margareth. Angeline ditemukan dikubur
pada kedalaman setengah meter, dengan pakaian lengkap dan tangan memeluk boneka.
Tubuhnya dililit seprei dan tali.

20
Bab IV

Penutup

4.1 KESIMPULAN

Perlakuan salah pada anak merupakan fenomena umum yang semakin disadari memiliki
kaitan erat terhadap derajat kesehatan mental masyarakat Child abuse terjadi karena umumnya
orang tua kurang memahami perkembangan anak serta keterampilan pengasuhan yang baik
perlakuan salah pada anak bisa dibagi menjadi empat tipe yaitu fisik seksual emosi dan negalect
atau pengabaian.

Tindakan abuse ias diketahui dari berbagai gejala serta akibat yang muncul dalam
perilaku anak. Sayangnya, kebanyakan pengasuh atau pendamping bahkan pendidik menangani
gejala atau akibat abuse dengan berbagai disiplin atau hukuman yang pada hakekatnya
merupakan bentuk abuse juga.

Penanganan persoalan Child abuse membutuhkan berbagai pendekatan multidisiplin


berbagai pihak perlu terlibat dan dilibatkan untuk terjun langsung karena Child abuse berdampak
pada derajat kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu assessment yang
memadai pun perlu dilakukan.

21
DAFTAR PUSTAKA

 Siswanto (2007) KESEHATAN MENTAL, KONSEP, CAKUPAN DAN


PERKEMBANGANNYA. Yogyakarta : Penerbit Andi
 https://nasional.tempo.co/read/673848/kasus-angeline-kronologi-dari-hilang-hingga-
meninggal

22

Anda mungkin juga menyukai