Anda di halaman 1dari 47

MAKALA KELOMPOK 2

ASKEP KEKERASAN VERBAL PADA ANAK

ANGGOTA KELOMPOK :
ABIDA HANIFA WEAR (14220190028)
APRILIA UMASANGAJI (14220190030)
KADRIA KIKA (14220190027)
NILAWATI (14220190034)
HARIANTI ( 14220190035 )
NUR RAHMAH ( 14220190038 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

       Puji dan syukur terucap hanya pada Allah SWT yang Maha Esa atas Ridonya
akhirnya kami dapat menyelesaikan makala ini yang membahas mengenai,
“Asuhan Keperawatan Kekerasan Verbal Pada Anak” yang merupakan
pengetahuan penting yang harus diketahui.
       Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabatnya, serta seluruh umat yang
senantiasa taat dalam menjalankan syariatnya.
       Kami ucapkan terima kasih yang tiada tara kepada seluruh pihak yang telah
membantu mensukseskan makalah ini hingga selesai, baik secara langsung
maupun tidak.
       Bila dalam penyampaian makalah ini ditemukan hal-hal yang tidak berkenan
bagi pembaca, dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf yang setulusnya.
       Kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi sangat kami harapkan untuk
perbaikan makala ini kedepan. Semoga taufik, hidayat dan rahmat senantiasa
menyertai kita semua menuju terciptanya keridhoan Allah SWT.

Makassar, 21 Maret 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……....................................................................

DAFTAR ISI …………..........................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …….....................................................................


B. Rumusan Masalah.........................................................................
C. Tujuan…………………………...................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Balita…………………...
……………………………………….
2.2 Definis……………………………………………………
…...…
2.3 Child
abuse……………………………………………………….
2.3.1 Definisi child abuse.................................................
.................................................................................
2.3.2 Bentuk child abuse..................................................
.................................................................................
2.3.3 Akibat child abuse...................................................
.................................................................................
2.3.4 Mekanisme koping..................................................
.................................................................................
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan………………….....

…………….…...

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………...……………………
3.2 Saran……………………………………………………...............

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada

tahun 2012 terdapat kekerasan pada anak yang mengakibatkan kematian

sekitar 95.000 anak-anak dan remaja di bawah usia 20. Sekitar 6 dari 10

anak antara usia 2 - 14 tahun di seluruh dunia (hampir satu miliar)

mendapatkan hukuman fisik setiap hari dari pengasuhnya dan 3 dari 10

orang dewasa di seluruh dunia percaya bahwa hukuman fisik diperlukan

dan pantas dalam membangun atau mendidik anak (UNICEF, 2014)

Hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

dari 2011 sampai 2014 kekerasan pada anak selalu meningkat setiap

tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512

kasus, 2013 ada 4.311 kasus dan 2014 ada 5.066 kasus. Hasil monitoring

dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91

persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6


persen di lingkungan sekolah dan 17.9% di lingkungan masyarakat (Nurul,

2015).

Berdasarkan laporan yang telah ditangani oleh Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi

Sumatera Selatan dari Januari hingga Desember, jumlah kasus kekerasan

anak pada tahun 2015 meningkat menjadi 25 kasus dari tahun sebelumnya

yaitu 13 kasus (Anwar, 2015).

Ibu merupakan sekolah paling utama dalam pembentukan

kepribadian anak, serta saran untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan

berbagai sifat mulia. Semenjak lahir dari rahim seorang Ibu, maka ibulah

yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi,

perilaku dan akhlak anak. Sejak lahir, anak akan mengamati gerak-gerik

ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah maka anak akan senantiasa melihat

dan meniru apa yang dilakukan ibunya dan akan diterapkan dalam

kehidupannya (Mutiah, 2014).

Peranan Ibu menjadi pembimbing dan pendidik anak dari sejak

lahir sampai dewasa khususnya dalam hal beretika dan susila untuk

bertingkah laku yang baik, namun kenyataannya dalam melakukan peran

tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar, ibu selaku orang tua dapat

membangkitkan rasa ketidakpastian, kemandirian, dan rasa bersalah pada

anak. Anak yang mempunyai pengalaman kecil menyenangkan dan

tumbuh pada keluarga yang harmonis akan berbeda tumbuh kembangnya


dengan anak yang masa kecilnya penuh dengan penderitaan dan kekerasan

(Arwanti, 2009).

Berkembangnya budaya dalam masyarakat kita saat ini

menganggap bahwa proses pembelajaran kepada anak dilakukan dengan

kekerasan, agar anak patuh dan disiplin untuk mencapai skala keberhasilan

yang diinginkan orang tua (Soetjiningsih, 1995). Orang tua berlaku kasar

dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran

pada anak-anak mereka. Padahal seharusnya setiap anak berhak

mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Orang tua tidak banyak

mengetahui bahwa anak juga mempunyai hak dan kewajiban sesuai yang

tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

pasal 4 sampai dengan pasal 19 (Nasrun, 2015)

Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang

mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009).

Campbell dan Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut

“Setiap tindakan yang mencelakakan/dapat mencelakakan kesehatan dan

kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya

bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak tersebut”

(Yani, 2008).

Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi

4 (empat) macam, yaitu emotional abuse, Child abuse , physical abuse dan

sexual abuse. Child abuse , terjadi ketika Ibu, mengetahui anaknya

meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan


menangis”. Anak mulai berbicara dan ibu terus menggunakan kekerasan

verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan

seterusnya (Solihin, 2014).

Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih

sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh anak-

anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari

melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu

umumnya dilakukan dalam bentuk mengancam, mengkritik, membentak,

mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek

(Videbeck, 2008).

Child abuse dapat terjadi setiap harinya di rumah. Rumah yang

seharusnya tempat paling aman dan tempat berlindung bagi anak tidak lagi

menjadi nyaman. Adanya pengertian yang salah dalam memandang anak,

dimana anak masih saja dipandang sebagai objek yang wajib menurut

kepada orang tua. Padahal belum tentu orang tua selamanya benar.

Kebanyakan orangtua terlalu berharap pada anaknya dan cenderung

memaksa agar anak mau menuruti sepenuhnya keinginan mereka, jika

tidak maka anak akan mendapat hukuman. Hal inilah yang menjadikan

alasan bagi orang tua sering melakukan kekerasan pada anak. Disamping

itu, bisa juga dikarenakan riwayat orang tua yang dulunya dibesarkan

dalam kekerasan sehingga cenderung meniru pola asuh yang telah mereka

dapatkan sebelumnya (Videbeck, 2008)..


Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih

jauh tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Child Abuse.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan child abuse ?

2. Apa saja bentuk-bentuk child abuse ?

3. Apa akibat dari child abuse ?

4. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien child abuse ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian child abuse

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk child abuse

3. Untuk mengetahui akibat dari child abuse

4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien child

abuse
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita

2.1.1 Definisi

Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa

dan lingkungannya, dimana dapat memfasilitasi dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Anak

merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2005).

Masa prasekolah yaitu antara usia 3 - 6 tahun, dimana pertumbuhan fisik

khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata 2 kg pertahunnya

dan tinggi badan bertambah sekitar 6,75 - 7,5 cm tiap tahunnya (Supartini,

2004).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu

tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun

(Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY (2010), Balita

adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah

(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang

tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan

makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.

Namun kemampuan lain masih terbatas.

Anak prasekolah menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh

mereka dan merasa cemas menunggu awal pendidikan formal. Banyak

orang menyadari hal ini merupakan masa yang paling menarik untuk orang

tua karena anak-anak menjadi kurang negatif, dapat lebih secara akurat

membagi pemikiran mereka, dan dapat lebih secara efektif berinteraksi

dan berkomunikasi. Perkembangan fisik terus berlangsung menjadi lambat

dimana perkembangan kognitif dan psikososial terjadi cepat (Perry &

Potter, 2005).

Tahap perkembangan anak usia prasekolah dapat dilihat dari

berbagai aspek teori. Wong (2013) dalam bukunya wong’s essential of

pediatric nursing memaparkan teori-teori perkembangan usia prasekolah

sebagai berikut :

1. Teori psikoseksual
Teori psikoseksual merupakan proses dalam perkembangan anak

dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang

dapat menimbulkan dorongan untuk mencari rangsangan dan

kesenangan secara umum untuk menjadikan diri anak menjadi orang

dewasa. Perkembangan psikoseksual yang terjadi pada usia

prasekolah adalah tahap oedipal atau phalik. Pada tahap ini kepuasan

pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba,

merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, serta suka

pada lawan jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari

pada ayahnya demikian juga sebaliknya, anak perempuan suka pada

ayahnya.

2. Teori psikososial

Merupakan perkembangan anak dalam perkembangannya selalu

dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Pada usia prasekolah

perkembangan yang terjadi adalah tahap inisiatif dan rasa bersalah.

Pada tahap ini anak akan memulai inisiatif dalam belajar mencari

pengalaman baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan

apabila tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tambah

perasaan bersalah pada diri anak.

3. Teori perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif pada anak dibagi menjadi empat tahap,

diantaranya tahap sensori motor, tahap praoperasional, tahap konkret

dan tahap formal operasional. Anak usia prasekolah menurut teori ini
berada pada tahap praoperasional. Anak belum mampu

mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam

pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat transduktif

menganggap semuanya sama, seperti seorang pria di keluarga adalah

ayah maka semua pria adalah ayah. Pikiran yang kedua adalah pikiran

animisme selalu mempertahankan adanya benda mati, seperti apabila

anak terbentur benda mati maka anak akan memukul kearah benda

tersebut.

4. Teori perkembangan psikomoral

Teori perkembangan psikomoral memandang tumbuh kembang

anak yang ditinjau dari segi moralitas anak dalam menghadapi

kehidupan. Pada usia prasekolah anak berada pada tahap premoral.

Tahap ini memiliki ciri-ciri terdapat sedikit kewaspadan mengenai apa

yang dimaksud dengan perilaku moral yang biasa diterima secara

sosial. Kontrol didapatkan dari luar dirinya. Anak menyerah kepada

kekuatan dan kepemilikan, hidup dinilai untuk jumlah dan kekuatan

dari kepemilikan.

2.2 Child Abuse

2.2.1 Definisi Child Abuse

Child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan

konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2013). Child abuse terjadi

ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika
anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal

seperti “kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan

mengingat itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu

berlangsung dalam satu periode (Jallaludin, 2006).

Menurut Farida (2013), Kekerasan kata-kata (Child abuse ) adalah

semua bentuk tindakan ucapan yang mempunyai sifat menghina,

membentak, memaki, memarahi dan menakuti dengan mengeluarkan kata-

kata yang tidak pantas.

Sedangkan menurut Khaliq (2014), Child abuse adalah tindakan

secara lisan yang membawa efek kekerasan, baik dengan kata-kata yang

tersurat (surface structure) ataupun kata-kata yang tersirat (deep

structure), dan bisa berakibat sangat merugikan korban, baik fisik maupun

mental.

Banyak orangtua menganggap kekerasan (abuse) pada anak adalah

hal yang wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari

mendisiplinkan anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu

dikontrol dan dihukum. Dan dari hukuman tersebut, banyak tindakan-

tindakan orangtua yang bisa dimasukkan dalam kategori kekerasan

(Jallaludin, 2006).

2.2.2 Bentuk Child abuse

Bentuk dari Child abuse adalah sebagai berikut (Martha, 2008):

1. Tidak sayang dan dingin


Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya:

menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak

(seperti pelukan), kata-kata sayang.

2. Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam

anak, dan mengertak anak.

3. Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa

seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif

antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek

atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.

4. Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan

bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

5. Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:

tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli

dengan anak.

6. Hukuman ekstrim

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam

kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi

untuk waktu lama dan meneror.

2.2.3 Akibat Child abuse

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik

maupun psikologis (Soetjiningsih, 2010). Namun, Child abuse biasanya


tidak berdampak secara fisik kepada anak, tetapi dapat merusak anak

beberapa tahun kedepan. Child abuse yang dilakukan orang tua

menimbulkan luka lebih dalam pada kehidupan dan perasaan anak

melebihi perkosaan.

Berikut dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal pada

anak (Widyastuti, 2006):

1. Anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain

Anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan emosional secara

terus menerus akan tumbuh menjadi anak yang tidak peka terhadap

perasaan orang lain. Sehingga kata-katanya cenderung kasar

(walaupun maksudnya bercanda).

2. Menganggu perkembangan

Anak yang mendapat perlakuan kekerasan verbal terus menerus

akan memiliki citra diri yang negatif. Hal ini yang mengakibatkan

anak tidak mampu tumbuh sebagai individu yang penuh percaya diri.

3. Anak menjadi agresif

Komunikasi yang negatif mempengaruhi perkembangan otak

anak. Anak akan selalu dalam keadaan terancam dan menjadi sulit

berpikir panjang. Anak menjadi kesulitan dalam memecahkan

permasalahan yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak

yang bernama koteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan

kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila anak tertekan, maka

input hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya
berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu. Akibatnya anak

berperilaku agresif.

4. Gangguan emosi

Pada anak yang sering mendapatkan perlakuan yang negatif dari

orang tuanya akan berakibat gangguan emosi pada perkembangan

konsep diri yang positif, dalam mengatasi sifat agresif. Perkembangan

hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu juga, beberapa anak

menjadi lebih agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa.

5. Hubungan sosial terganggu

Pada anak-anak ini menjadi susah bergaul dengan teman-

temannya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai teman

sedikit, dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan

melempari batu, atau perbuatan kriminal lainnya.

6. Kepribadian sociopath atau antisocial personality disosde

Penyebab terjadinya kepribadian ini adalah Child abuse . Kalau

ini dibiarkan anak akan menjadi orang yang eksentrik, sering

membolos, mencuri, bohong, bergaul dengan anak-anak nakal, kejam

pada binatang, dan prestasi yang buruk di sekolah.

7. Menciptakan lingkaran setan dalam keluarga

Anak akan mendidik anaknya lagi dengan satu-satunya cara yang

dia ketahui yaitu Child abuse . Karena anak merupakan peniru yang

ulung. Akibatnya lingkaran setan ini akan terus berlanjut dan

kekerasan ini menjadi budaya di masyarakat.

8. Bunuh diri
Anak yang mendapatkan perkataan yang bernada negatif secara

terus menerus maka akan mengakibatkan anak menjadi lemah

mentalnya, karena merasa tidak ada orang di dunia ini yang sanggup

mencintainya apa adanya. Dan hal ini berakibat fatal, anak

memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

2.2.4 Mekanisme koping

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada

penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung

dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi

diri antara lain :

1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di

mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan

penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah

melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan

kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau

keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang

menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan

sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba

merayu, mencumbunya.

3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan

masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau

didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua

merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga

perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.

4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila

diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang

berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang

yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang

tersebut dengan kasar.

5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya

bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang

pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy

berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari

ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain

perang-perangan dengan temannya.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui

adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn

kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse

terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh

gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,

kemudian menginterview anak.


1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di

rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.

2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu,

depresi, atau masalah psikiatrik.

3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse

4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan

ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah,

intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,

dan gangguan kurang perhatian)

5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau

kecewa dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan.

6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan

perawatan anak.

7. Kaji respon psikologis pada trauma

8. Kaji keadekuatan dan adanya support system

9. Situasi Keluarga.

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan

diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:

1. Psikososial

a. Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau

b. Gagal tumbuh dengan baik

c. Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor,

dan psikososial
d. With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa

2. Muskuloskeletal

a. FrakturDislokasi

b. Keseleo (sprain)

3. Genito Urinaria

a. Infeksi saluran kemih

b. per vagina

c. pada vagina/penis

d. Nyeri waktu miksi

e. Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

4. Integumen

a. Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena

rokok)

b. Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi

c. tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan

d. Bengkak.

Pemeriksaan Radiologi

Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan

salah pada anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya

dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun

hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam
pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan

tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan fisik.

a. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik,

hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang

mengalami trauma kepala yang berat.

b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang

subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.

c. Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral

d. Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami

penganiayaan seksual.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekerasan

2. Isolasi social

3. Koping keluarga inefektif

4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan

C. Intervensi Keperawatan

1. Perilaku kekerasan

Tujuan.

 Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan

dengan orang lain.

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.


 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang

dimiliki.

 Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.

 Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai

kemampuan yang dimiliki.

 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan

kemampuannya.

 Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip

komunikasi terapeutik.

Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada

perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.

2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.

3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.

Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat

klien dalam hidupnya.

4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek

positif klien.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.

Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.


6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di

rumah sakit.

Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.

7) Berikan pujian.

Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.

8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah

sakit.

Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai

kemampuan yang dimiliki.

9) Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.

Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.

10) Beri pujian atas keberhasilan klien.

Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.

11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.

Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.

12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah

direncanakan.

Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya

menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.

13) Beri pujian atas keberhasilan klien.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

14) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.

Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.


2. Isolasi social

Tujuan

 Klien dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.

Kriteria hasil

 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.

 Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka.

 Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.

 Kecemasan klien telah berkurang.

Intervensi

1) Psikoterapeutik

a. Bina hubungan saling percaya

 Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat

dan waktu interaksi dan tujuan.

 Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien,

untuk menunjukkan penghargaan yang tulus.

 Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien

tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak

berkepentingan.

 Selalu memperhatikan  kebutuhan klien.

b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka

 Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai

istilah yang sederhana


 Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas

dan teratur.

 Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan

perawat.

 Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien

untuk mengungkapkan perasaanya

c. Kenal dan dukung kelebihan klien

 Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa

digunakan klien, cara menceritakan perasaanya  kepada orang

lain yang terdekat/dipercaya.

 Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif

 Dukung koping klien yang konstruktif

 Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.

d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal

 Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal

terapi.

 Lakukan interaksi dengan klien  sesering mungkin.

 Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.

 Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara

bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan


dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan

seterusnya.

 Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.

3. Pendidikan kesehatan

a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan

kata-kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-

raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :

keuntungan berhubungan dengan orang lain.

b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.

c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan

hubungan dengan klien.

d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam

aktivitas dilingkungan masyarakat.

4. Kegiatan hidup sehari-hari

a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat

melaksanakannya sendiri.

b. Bimbing klien berpakaian yang rapi

c. Batasi kesempatan untuk tidur

d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat

kabar, radio dan televisi.

e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.

5. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun

orang lain dari ruangan.

b. Cegah  agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam

jangka waktu yang lama.

c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di

ruangan.

6. Koping keluarga inefektif

Tujuan

 Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.

Kriteria hasil

 Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan

menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat.

Intervensi

1) Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .

Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima

perasaannya sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak

dengan benar.

2) Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.

Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara

baik dan benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan

yang buruk.
3) Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya

terhadap anak.

Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya

dapat dilaksanakan keluarga terhadap anak.

4) Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua

sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang anak.

Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk

meningkatkan peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh

kembang anaknya.

5) Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.

Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga

(orang tua), tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh

kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode pengasuhan yang

baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam

keadaan apapun.

7. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Tujuan.

 Klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.

 Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


 Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

 Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa

dilakukan.

 Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

 Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara

konstruktif.

 Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.

 Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.

 Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri,

beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan

lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non

verbal, bersikap empati.

Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada

perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.

2) Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.

Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu

kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.

3) Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal


Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak

mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir

penyelesaian persoalan.

4) Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.

Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari

penyelesaian masalah yang konstruktif pula.

5) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.

Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga

memudahkan untuk intervensi.

6) Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.

Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.

7) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan.

Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.

8) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.

9) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan

masalahnya selesai.

Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk

menyelesaikan masalahnya.

10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan

klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.

11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang

dilakukan.

Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan

marah.

12) Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang

sehat”.

Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang

konstruktif.

13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.

Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif,

meningkatkan harga diri klien.

14) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.

 Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau

olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

 Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.

 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang

sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.

 Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta

pada Tuhan agar diberi kesabaran.

Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol

kemarahan klien.

15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara

mengontrol perilaku kekerasan.

16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.

Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.

17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.

Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.

18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara

tersebut.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat

jengkel / marah.

Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.

20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa

yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.

Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada

klien.

21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.

Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan

dalam perubahan perilaku klien.


1. BIODATA

Nama : Tn.A

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 26 tahun

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kisaran

Tanggal Masuk RS : 12 Maret 2016

No. Register : 03.30.28

Ruangan kamar : Dolok Martimbang

Tanggal pengkajian : 24 Mei 2016

Diagnosa Medis : Skizofrenia paranoid

2. Keluhan Utama Klien sering tiba-tiba ingin merusak barang, memukul

orang.Klien mudah marah dan tersinggung bila diajak berbicara.Klien merasa

tidak nyaman diruangannya karena klien menganggap orang yang tidak

dikenalnya adalah orang jahat.


4. Riwayat Kesehatan Sekarang

1. Provocative/palliative

Klien sering melamun dan tidak mau melakukan apa apa, lebih suka

menyendiri. Tiba-tiba ingin mengamuksaat diajak berbicara oleh orang

disekitarnya dan klien mengatakan dengan menyendiri atau mengamuk,

keadaan akan menjadi lebih baik danklien merasa puas.

2. Quantity/quality

Klien mengatakan tidak suka di ruangannya karena klien merasa bahwa ada

yang mengancam dirinya sehingga klien merasa tidakaman dan nyaman oleh

karena itu juga klientampak lebih senang menyendiri.

3. Severity

Klien merasa cemas, takut dengan orang-orang dilingkungansekitarnya

sehingga klien merasa tidak aman dan nyaman.

4. Time Sampai saat ini klien masih mengalami kondisi tersebut selama 1 tahun

terakhir ini.

5. Riwayat kesehatan masa lalu

Klien sudah mengalami gangguan jiwa selama 1 tahun terakhir ini dan

klien baru pertama kali dirawat di Rumah Sakit Jiwa, klien sebelumnya tidak

pernah dirawat ataupun dioperasi.

6. Riwayat Kesehatan Keluarga

Orang tua klien tidak memiliki riwayat penyakit gangguan jiwa seperti

klien, begitu juga dengan saudara kandung klien tidak memiliki riwayat
gangguan jiwa dan juga keluarga tidak memiliki riwayat penyakit keturunan dan

anggota keluarga tidak ada yang meninggal.

7. Riwayat Keadaan Psikososial

Klien mengatakan ia kesal, marah karena merasa sudah di asingkan oleh

keluarga karena penyakitnya.Klien tidak merasakan ada yang kurang dari

dirinya, klien paling menyukai bentuk tubuhnya yaitu hidungnya karena ia

merasa hidungnya mancung, klien ingin cepat sembuh dan ingin pulang ke

rumah tetapi klien merasa jengkel, kesal karena sudah dianggap sakit jiwa oleh

seluruh keluarganya apalagi klien hanyalah seorang anak laki-laki yang tidak

memiliki pekerjaan dan hanya tamatan SMP, klien juga merasa orang-orang

disekitarnya terlihat memusuhinya dan mengancam dirinya sehingga klien

merasa tidak aman dan nyaman. Saat diajak berkomunikasi klien tampak tegang

dan menjawab dengan suara tinggi.Sesaat setelah marah-marah klien tampak

menyesal dan mengatakan menjadi takut dengan orang yang mendekatinya.

Klien menganggap ibunya adalah orang yang paling berarti, hubungan keluarga

klien kurang harmonis karena klien sering berkelahi dengan ayah dan abangnya

dan selama klien dirawat di rumah sakit jiwa hubungan sosialisasi dengan orang

lain juga kurang baik karena klien lebih banyak menyendiri dan kurang percaya

dengan orang lain, klien menganggap orang lain adalah ancaman karena

kurangnya sosialisasi antar klien dengan teman-teman di ruangan, menyebabkan

klien memiliki teman yang terbatas. Dan klien merasa semua orang

memusuhinya.Klien menganut keyakinan Agama Kristen tetapi selama klien di

rumah sakit klien jarang mengikuti ibadah.


8. Status Mental

Klien sadar penuh (compos mentis), klien berperilaku curiga melihat orang

lain, klien kurang memperhatikan penampilannya, karena ia rasa tidak terlalu

penting. Saat wawancara klien mudah diajak berbicara, namun klien berbicara

cepat, pandangan tajam dan menjawab pertanyaan dengan singkat-singkat

dengan suara agak tinggi dan klien kurang konsentrasi, klien mengatakan sering

ingin marah terhadap orang-orang disekitarnya karena klien merasa bahwa

orang-orang terlihat memusuhinya sehingga ia rasa mengancam dirinya. Proses

pikir klien terganggu terlihat dari apa saja yang dikatakannya tentang orang-

orang yang ada disekitarnya, klien terus berpikir bahwa semua orang adalah

orang jahat dan mengancam dirinya.

9. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien Compos mentis, suhu tubuh T: 36,5˚C, Tekanan dara

(TD): 110/90 mmhg, nadi (RR): 80x/I, pernafasan (HR): 23x/i, tinggi badan:

160cm, berat badan: 63kg.Bentuk kepala klien bulat, simetris dan normal dengan

kulit kepala kotor dan bau, wajah klien tampak merah dan tegang, klien memiliki

2 mata dengan posisi simetris, dan tidak ada kelainan, pandangan klien tajam

ketika klien marah, hidung klien simetris dengan dua lubang hidung dan tidak

ada cuping hidung, bentuk telinga klien simetris kiri dan kanan, tetapi klien

sesekali mendengar suara-suara yang menyuruhnya melakukan kekerasan, mulut

klien kurang bersih, bibir menghitam karena rokok, gigi merapat, gigi kuning dan

kotor, klien dapat membedakan rasa asam dan manis, rahang klien terlihat

mengatup ketika rasa marah muncul, tidak dilakukan pemeriksaan pada leher,
kulit klien warna coklat dan sedikit kotor, akral klien hangat dan turgor kembali

normal, kulit disekitar mata terdapat lingkaran hitam, klien terlihat mengepalkan

tangannya ketika rasa marah muncul, suka melempar dan memukul, klien sering

gelisah dan berjalan mondar-mandir di ruangan.

10. Pola Kebiasaan Sehari-Hari

Klien makan 3kali sehari, nafsu makan klien kuat, tidak ada riwayat alergi

maupun mual muntah.Saat makan klien tampak memisahkan diri baik saat

sarapan, makan siang maupun makan sore.Klien saat makan lahap, 1 porsi

makanan habis dengan nasi + lauk + sayur, tidak ada masalah saat makan dan

minum. Tubuh klien terlihat kurang bersih tetapi klien rajin mandi, gigi dan

mulut terlihat kotor, kuku kaki dan tangan panjang.Aktivitas mandi, makan,

eliminasi, ganti pakaian dilakukan secara mandiri tetapi masih berantakan, klien

kurang mau beraktivitas dengan orang lain karena selalu curiga dan selalu ingin

marah dengan teman lain yang mendekatinya dan juga klien tidak mau ikut

kebaktian yang diadakan di rumah sakit.

Klien BAB 2 kali sehari, karakter feses normal, tidak ada perdarahan,

terakhir BAB dipagi hari, tidak diare dan tidak pernah menggunakan

laksatif.Klien kurang lebih 4 kali sehari BAK, tidak menggunakan kateter, tidak

nyeri, tidak menggunakan diuretic dan tidak ada masalah saat BAK.

Mekanisme koping klien maladaptif. Klien mengatakan apabila ada

masalah maka ia akan menyendiri, memikirkan sendiri masalahnya, klien jarang

membicarakan masalahnya dengan orang lain.


II. ANALISA DATA

No Data Masalah Keperawatan


1 DS: Klien mengatakan merasa cemas, bahwa
ada yang mengancam dirinya diruangan
DO: Gangguan rasa nyaman
1. Klien menyendiri
2. Klien tidak suka jika ada yang mendekat
kepadanya
3. Klien khawatir orang lain
2 Menyakiti dirinya
DS: Klien mengatakan mudah marah dan sering
emosi hingga ingin merusak barang-barang,
memukul orang. Resiko Perilaku
DO: Kekerasan
1. Marah-marah tanpa sebab
2. Gelisah dan tidak nyaman
3. Terlihat sering mengepalkan tangan
4. Merusak barang-barang

III. Rumusan Masalah

a. Masalah Keperawatan:

1. Gangguan Rasa Nyaman

2. Resiko Perilaku kekerasan

b. Diagnosa Keperawatan (Prioritas)

Gangguan rasa nyaman ditandai dengan klien merasa gelisah, cemas, kurang

puas dengan keadaan, kurang senang dengan situasi tersebut, ketidakmampuan

untuk relaks, curiga dan merasa terancam di lingkungan sekitarnya.

IV. Perencanaan Keperawatan

Gangguan Rasa Nyaman

Perencanaan Keperawatan
Dx:Gangguan rasa nyaman
NOC (Nursing Outcome Clasification):
1. Status kenyamanan lingkungan
2. Status kenyamanan fisik
3. Status kenyamanan psikospiritual
4. Status kenyamanan sosiokultural
Kriteria Hasil:
1. Tingkat kecemasan
2. Kepuasan klien: lingkungan fisik
3. Tingkat rasa takut
4. Tingkat rasa stress
Rencana Tindakan Rasional
NIC (Nursing Intervention 1. Gunakan pendekatan yang tenang
Clasification): dan meyakinkan
1. Pengurangan kecemasan 2. Manipulasi lingkungan klien untuk
2. Manajemen lingkungan: kenyamanan mendapatkan kenyamanan yang
3. Pemberian obat optimal
4. Dukungan spiritual 3. Pertahankan prinsip 6 benar obat
5. Peningkatan sistem dukungan 4. Mendorong klien untuk mengikuti
6. Dukungan kelompok kegiatan ibadah dan berdoa
5. Anjurkan klien untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sosial dan masyarakat
6. Anjurkan klien mengikuti TAK

Resiko Perilaku Kekerasan

Perencanaan Keperawatan
Dx: Perilaku kekerasan
Tujuan dan kriteria hasil:
1. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
3. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang dilakukannya
4. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasannya
5. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
6. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, verbal, dan
dengan terapi obat.

Rencana Tindakan Rasional


1.Bina hubungan saling percaya 1. Kepercayaan dari klien merupakan
2. Bantu klien mengidentifikasi hal yang mutlak serta akan
penyebab perilaku kekerasan. memudahkan dalam melakukan dalam
3. Klien dapat mengidentifikasi pendekatan dan tindakan keperawatan
tandatanda perilaku kekerasan. kepada klien.
4. Diskusikan bersama klien perilaku 2. Berikan klien kesempatan
kekerasan apa yang dilakukan saat mengungkapkan perasaan kesalnya
marah . untuk mengurangi setress dan penyebab
5. Diskusikan akibat perilaku perasaan kesal diketahui
kekerasannya . 3. Menarik kesimpulan bersama klien
6. Bantu klien untuk mengontrol supaya klien mengetahui secara garis
perilaku kekerasan dengan cara fisik, besar tanda-tanda marah atau kesal.
verbal, dan minum obat 4. Klien mengetahui perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan dan dapat
membantu klien menemukan cara yang
dapat menyelesaikan masalah
5. Dengan mengetahui akibat perilaku
kekerasan diharapkan klien dapat
merubah perilaku kekerasannya
6. Mengajarkan kepada klien cara
mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik, verbal , maupun spiritual.
7. Latih klien minum obat secara teratur
dengan prinsip 5 benar (benar nama,
pasien, obat, waktu,dan dosis obat)
disertai penjelasan guna obat dan akibat
berhenti minum obat).

V. Implementasi dan Evaluasi

1. Gangguan Rasa Nyaman

Hari / Diagnosa Implementasi Evaluasi


Tanggal
Selasa, 24 Gangguan rasa 1. Mengajarkan S:
Mei 2016 nyaman pasien untuk 1. Klien
melakukan teknik mengatakan masih
tarik napas dalam cemas/takut
(relaksasi) dengan teman
2. Mengusahakan diruangannya
lingkungan yang karena mereka
kondusif bagi akan berbuat jahat
klien dan kepada klien
meyakinkan klien 2. Klien
bahwa ia aman mengatakan tidak
dekat perawat. mau minum obat
3. Menjelaskan O: - Klien tampak
manfaat obat gelisah - Klien
(Risperidone 2mg, kurang fokus
Chloro 50 A: Gangguan rasa
mg)kepada klien nyaman (+) Klien
tidak mau minum
obat (+)
P:
intervensi
dilanjutkan
1. Menganjurkan
klien mengikuti
ibadah
2. Anjurkan klien
bergabung dengan
kegiatan
kelompok seperti
TAK.

Rabu, 25 Mei Gangguan rasa 1. Menanyakan S:


2016 nyaman kembali kepada klien 1. Klien lupa
cara relaksasi tarik dengan manfaat
napas dalam dan minum obat
manfaat minum obat 2. Klien
2. Menjelaskan mengatakan akan
kembali kepada klien minum obat agar
bahwa minum obat dia cepat pulang
sangat penting untuk 3. Klien
kesembuhan klien mengatakan tidak
3. Mengajarkan ingin mengikuti
kepada klien untuk kegiatan ibadah
berdoa dan mengikuti 4. Klien mengikuti
kegiatan ibadah TAK dan mulai
4. Menjelaskan berinteraksi
kepada klien manfaat dengan teman
berinteraksi dengan diruangannya
teman seperti O:
mengikuti TAK - Klien tampak
tenang
- Klien ingin
dikunjungi
keluarganya
A: Klien tidak
ingin mengikuti
ibadah (+)
P: intervensi
dilanjutka
Kamis, 26 Gangguan rasa 1. Menanyakan S:
Mei 2016 nyaman kembali kepada klien 1. Klien masih
topic pertemuan mengingat topik
sebelumnya yang dibicarakan
2. Menjelaskan 2. Klien
kembali manfaat mengatakan sudah
beribadah mulai nyaman
3. Memberi motivasi dengan
bahwa keluarga klien lingkungannya
pasti ingin klien cepat karna saat
sembuh dan pulang mengikuti TAK
dia berinteraksi
dengan teman-
temannya
3. Klien
mengatakan malas
mengikuti
kegiatan ibadah
4. Klien
mengatakan ingin
bertemu dengan
keluarganya
O:
- Klien tenang -
Klien sudah mau
berbicara dengan
temannya
A: Klien tidak
ingin mengikuti
kegiatan ibadah
(+)
P: Intervensi
dilanjutkan

2. Resiko Perilaku Kekerasan

Hari / Tanggal Diangnosa Implementasi Evaluasi


Selasa, 24 Mei Perilaku kekerasan 1. Membina S:
2016 09.00 wib SP 1 hubungan saling 1. Klien mau
percaya dengan berjabat tangan
menggunakan dan berinteraksi
salam terapeutik, 2. Klien
berjabat tangan, mengatakan marah
menjelaskan dan kesal jika
tujuan interaksi, diganggu,
dan membuat 3. Klien
kontrak topik, mengatakan jika
waktu, dan tempat dia mulai marah
setiap kali jantungnya
bertemu klien. berdetak kencang,
2. Mendiskusikan tangan mengepal,
tentang penyebab muka merah
marah, kesal yang 4. Klien
dialami klien mengatakan kalau
3.Mengidentifikasi sudah marah akan
tanda-tanda melempar
perilaku kekerasan barangbarang,
4. Mengkaji berkelahi
perilaku kekerasan 5. Klien
apa yang mengatakan
dilakukan saat orang-orang
marah disekitarnya
5. Mengkaji akibat menjadi takut
perilaku kekerasan 6. Klien
klien mengorientasikan
6. Membantu klien kembali cara tarik
mengontrol nafas dalam dan
perilaku kekerasan memukul kasur
secara fisik dan bantal
7. Menganjurkan O:
klien memasukan - Klien tampak
ke dalam jadwal gelisah
kegiatan harian - Tangan
mengepal
- Klien tidak mau
berjabat tangan
A: Klien masih
cepat marah (+)
P: Intervensi
dilanjutkan
Selasa, 24 Mei Perilaku kekerasan 1Membina S:
2016 11.00 wib SP 2 hubungan saling 1. Klien masih
percaya ingat kepada
2. Menanyakan perawat dan klien
kembali kepada mampu
klien bagaimana mengorientasikan
cara mengontrol kembali cara tarik
perilaku kekerasan napas dalam.
secara fisik 1. 2. Klien
3. Melatih klien mengatakan malas
minum obat secara minum obat.
teratur dengan O:
prinsip 6 benar - Klien tampak
(benar klien, obat, tenang
dosis, cara, waktu - Klien mau
dan kontinuitas) berjabat tangan
4. Menganjurkan A: Klien malas
klien memasukan minum obat (+)
ke dalam jadwal P: Intervensi
kegiatan harian dilanjutkan
Rabu, 25 Mei Perilaku kekerasan 1. Membina S:
2016 10.00 wib SP 3 hubungan saling 1. Klien
percaya tersenyum
2. Menanyakan 2. Klien minum
kembali kepada obat
klien prinsip 6 3. Klien
benar minum obat mengatakan mau
3. Mengajarkan mencoba meminta
klien cara dengan baik,
mengungkapkan menolak dengan
rasa marah secara baik,
verbal mengungkapkan
4. Menganjurkan perasaan dengan
klien memasukan baik.
ke dalam jadwal O:
kegiatan harian - Klien tenang
- Ekspresi wajah
baik
A: Klien belum
bisa meminta
dengan baik (+)
P: Intervensi
dilanjutkan
Rabu, 25 Mei Perilaku kekerasan 1. Membina S:
2016 13.00 Wib SP 4 hubungan saling 1. Klien
percaya mengatakan
2. Diskusikan senang perawat
hasil latihan berbincangbincang
mengontrol dengannya lagi
perilaku kekerasan 2. Klien
secara verbal mengorientasikan
3. Mengajarkan cara meminta,
klien latihan untuk menolak dan
beribadah mengungkapkan
4. Masukan ke perasaan dengan
jadwal latihan baik
berdoa 3. Klien
mengatakan tidak
ingin mengikuti
ibadah
O:
- Mimik wajah
klien baik
- Klien ingin
beribadah
A: Klien tidak
ingin beribadah
(+)
P: Intervensi
dilanjutkan
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih

sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh anak-

anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari

melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu

umumnya dilakukan dalam bentuk mengancam, mengkritik, membentak,

mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek.

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik

maupun psikologis. Namun, Child abuse biasanya tidak berdampak secara

fisik kepada anak, tetapi dapat merusak anak beberapa tahun kedepan.

3.2 Saran

Pentingnya peran orangtua khususnya peran ibu dalam

membimbing dan mendidik anak sejak lahir sampai dewasa khususnya

dalam hal beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik. Peran ibu

selaku orang tua bertanggungjawab menjaga dan memperhatikan

kebutuhan anak, mengelola kehidupan rumah tangga, memikirkan keadaan

ekonomi dan makanan anak-anaknya, memberi teladan akhlak, serta

mencurahkan kasih sayang bagi kebahagian dan tumbuh kembang anak


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat. 2005. Psikologi perkembangan anak. Jakarta : EGC

Komnas Perlindungan Anak (2006). Kekerasan anak di Indonesia.


http://www.kompas.com, diakses 22 Januari 2016

Marta. 2008. Bentuk-bentuk Child abuse . http://www.marta.blogspot.com,


diakses 23 Januari 2016

Muaris. 2006. Pengertian balita. http://www.muaris.blogspot.com, diakses 20


Januari 2016

Potter, Patricia A. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan volume I. Jakarta :


EGC

Soetjiningsih. 2010. Tumbuh kembang anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


: EGC

UNICEF. 2014. Data kekerasan pada anak. http://www.unicef.co.id, diakses 21


Januari 2016.

Vedebeck. 2008. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta : Penerbit buku kedokteran

Wicaksana. 2008. Mereka bilang aku sakit jiwa refleksi kasus-kasus psikiatri dan
problematika kesehatan jiwa di Indonesia.Yogyakarta : Kanisius.

Wong. Donna L. 2013. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC

Yani S. Achir. 2008. Asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai