Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK I
CHILD ABUSE
Dosen Pembimbing Mata Kuliah:
Alwin Widhiyanto, S.Kep.,Ns.,M.Kes

Disusun Oleh:

1. NUR FAIDAH (14201.12.20032)


2. SITTI HAJJAR (14201.12.20042)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG
PAJARAKAN-PROBOLINGGO
TAHUN 2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya karena penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya hingga kepada
kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.
Pada makalah ini penulis membahas mengenai penulis membahas
mengenai pengaruh kesejajaran tubuh. Dalam menyusun makalah ini, penulis
menggunakan beberapa sumber sebagai referensi, penulis mengambil
referensi dari buku dan internet.
Penulisan makalah ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar antara
lain tidak lepas dari dukungan dan masukan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, SH, MM. selaku
Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.
2. Dr. Nur Hamim, S.Kep., N.s M.Kes. selaku Direktur Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Hafshawaty Zainul Hasan Genggong.
3. Alwin Widhiyanto, S.Kep.,Ns.,M.Kes Selaku dosen pembimbing
mata kuliah keperawatan Anak 1.
Dalam penulisan makalah ini, kami telah berusaha semaksimal
mungkin untuk menyajikan yang terbaik, namun kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan
pengetahuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini.
Genggong, 22 Maret 2022

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH.............................................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
2.1 Latar Belakang.........................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................................7
2.1 Pengertian Child abdusen.........................................................................................7
2.2 Bentuk-Bentuk kekerasan pada anak........................................................................8
2.3 Dampak kekerasan pada anak.................................................................................11
2.4 Klasifikasi..............................................................................................................11
2.5 Etiologi...................................................................................................................12
2.6 Manifestasi Klinis..................................................................................................14
2.7 Evaluasi Diagnostik................................................................................................16
2.8 Penatalaksaan.........................................................................................................17
BAB III..................................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan............................................................................................................19
3.2 Saran......................................................................................................................19
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun


2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 15a merupakan setiap perbuatan terhadap anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Selain itu, Barker (dalam Huraerah, 2007: 47) juga mendefinisikan child abuse
yaitu tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,
degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para
orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. Menurut Undang-Undang
No 23 tahun 2002 pasal 16 ayat 1 tentang Perlindungan Anak kekerasan merupakan
penganiayaan terhadap anak disertai dengan kekerasan fisik maupun emosional yang
berdampak pada perkembangan anak.
Anak yang sering mendapatkan kekerasan fisik maupun emosional akan
menimbulkan masalah perilaku di usia-usia berikutnya. Misalnya sulit berkonsentrasi,
malas sekolah, kurang percaya diri, mudah cemas, dan lain-lain. Hasil survey KPAI
pada tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban
kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6% di lingkungan sekolah dan 17.9% di
lingkungan masyarakat. 78.3% anak melakukan kekerasan karena memiliki
pengalaman sebagai korban kekerasan sebelumnya.
Pelaku kekerasan anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya
menjadi pelindung bagi anak itu sendiri, misalnya orang tua, kerabat dekat, tetangga,
hingga guru (Menkokesra, 2013). Hal ini terjadi karena banyak orangtua menganggap
kekerasan pada anak merupakan bagian dari mendisiplinkan anak (The National
Child Traumatic Stress Network, 2009). Disiplin berasal dari kata “disciple” artinya
seseorang mengikuti pimpinan secara sukarela.
Menurut Kostelnik, dkk (2007) disiplin adalah perilaku yang dilakukan tanpa
adanya paksaan dengan tujuan untuk individu mampu memahami dan
membedakan perilaku yang benar dan yang salah serta mentaati peraturan tanpa
adanya reward dan punishment. Penanaman disiplin pada anak memang penting.
Hal ini dilakukan untuk membentuk karakter yang akan bermanfaat untuk
kehidupan anak kelak di kemudian hari. Pemberian disiplin perlu dilakukan
secara efektif dan tepat supaya tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
1.2 Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian dari Child abuse (kekerasan pada anak) ?
2. Apa saja Bentuk-Bentuk kekerasan pada anak ?
3. Apa saja dampak kekerasan pada anak ?
4. Apa saja Klasifikasi Child Abuse ?
5. Apa Etiologi dari Child Abuse ?
6. Apa Manifestasi klinik dari Child Abuse ?
7. Evaluasi diagnostic apa yang muncul pada Child Abuse ?
8. Penatalaksanaan apa Yang dilakukan terhadap Child abuse ?
9. Intervensi apa yang harus dilakukan pada Child Abuse ?
10. Implementasi apa saja yang harus dilakukan pada Child Abuse ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Child abuse (kekerasan
pada anak)
2. Untuk mengetahui dan memahami Bentuk-Bentuk kekerasan pada anak
3. Untuk mengetahui dan memahami dampak kekerasan pada anak
4. Untuk mengetahui dan memahami Klasifikasi Child Abuse
5. Untuk mengetahui dan memahami Etiologi dari Child Abuse
6. Untuk mengetahui dan memahami Manifestasi klinik dari Child Abuse
7. Untuk mengetahui dan memahami Evaluasi diagnostic apa yang muncul
pada Child Abuse
8. Untuk mengetahui dan memahami Penatalaksanaan apa Yang dilakukan
terhadap Child abuse
9. Untuk mengetahui dan memahami Diagnosa keperawatan apa saja yang
muncul pada Child Abuse
10. Untuk mengetahui dan memahami Intervensi apa yang harus dilakukan
pada Child Abuse
11. Untuk mengetahui dan memahami Implementasi apa saja yang harus
dilakukan pada Child Abuse
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Child abuse

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan” diartikan dengan perihal


yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian,
kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang
mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu diperhatikan adalah
berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai.. ( Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), hal. 425.)
Kata kekerasan sepadan dengan kata “violence”, dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia
umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. Dengan demikian,
bila pengertian “violence” sama dengan kekerasan, maka kekerasan di sini
merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis. (Hasan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia (Cet. XII; Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 630.)
Selanjutnya, menurut Jack D. Douglas dan Frances Chault Waksker
mengatakan: Istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan
perilaku yang disertai penggunaan kekeuatan kepada orang lain, secara terbuka
(overt) maupun tertututup (covert), baik yang menyerang (offensive), maupun
bertahan (defensive).(10 Abd. Rachman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan
(Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), hal.
39. 11
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan “yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak
adalah “seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin.
(UU No. 23 Tahun 2003 Perlindungan Anak Pasal 23, (Jakarta: Sinar Grafika),
hal. 3. 12 Ibid., hal. 97.))

Abu Huraerah, MSi, dalam bukunya Kekerasan Terhadap Anak (Penerbit:


Nuansa, November 2012), mengungkapkan setidaknya terdapat beberapa faktor,
mengapa terjadi kekerasan terhadap anak yaitu:
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku,
autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan
hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa.
2. Kemiskinan keluarga, banyak anak.
3. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka
panjang, atau keluarga tanpa ayah.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik
anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan
(unwanted child), anak lahir di luar nikah.
5. Penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua.
6. Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau
mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan
pola yang sama.
7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk dan keterbelakangan

2.2 Bentuk-Bentuk kekerasan pada anak

Dalam buku karangan Mufidah Ch menjelaskan bahwa Dalam Bab III Hak dan
Kewajiban Anak, pasal 13 UU No. 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak
ditegaskan bahwa: Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
asuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1. Diskriminatif Diskrminatif adalah segala sesuatu yang bersifat diskriminasi
atau membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Bisa diartikan juga
suatu keadaan timpang atau prilaku yang tidak adil terhadap salah seorang
individu.
2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual Eksploitasi adalah segala bentuk
upaya / kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak dengan tujuan
pemanfaatan fisik maupun psikis yang dapat menguntungkan seseorang dan
dapat menimbulkan kerugian bagi sang anak.

3. Kekerasan anak secara sosial Kekerasan secara sosial dapat mencakup


penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan
perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap
proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari
keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang
layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan
sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat.
Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan
ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk
mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan
status sosialnya.
4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiyayaan Kekerasan fisik (Physical abuse)
adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,dengan atau
tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan lukaluka fisik
atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan
pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau
berpola akibat sundutan rokok atau setrika.
5. Ketidak adilan dan penelantaran
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab
gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan,
termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian,
atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau
kasih saying, keselamatan, dan kesejahteraan terancam bahaya), pendidikan
(kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegaga lan
untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). Penelantaran juga
kurangnya perhatian dari orang-orang di sekitarnya anak, dan tidak ada
penyediaan kebutuhan yang relevan dan memadai untuk kelangsungan hidup
anak, yang akan menjadi anak kurang perhatian, cinta, dan kasih sayang.
Beberapa diamati tanda-tanda pada anak terlantar meliputi: anak sering tidak
masuk sekolah, mengemis atau mencuri makanan atau uang, tidak menerima
perawatan kesehatan dan kebersihan medis dan gigi, secara konsisten kotor,
atau tidak memiliki pakaian yang cukup untuk cuaca (musim dingin). Anak
terlantar mungkin mengalami keterlambatan perkembangan fisik dan
psikososial, mungkin mengakibatkan psikopatologi dan gangguan
neuropsikologi fungsi termasuk fungsi eksekutif, perhatian, kecepatan
berpikir, bahasa, memori dan keterampilan sosial. Anak-anak terlantar
menunjukkan peningkatan perilaku agresif dan hiperaktif, memiliki waktu
lebih sulit membentuk dan mempertahankan hubungan, seperti romantis atau
persahabatan, di kemudian hari karena kurangnya keterikatan mereka dalam
tahap awal mereka hidup.
6. Kekerasan psikis Kekerasan psikis
seperti ancaman, pelecehan, sikap kurang menyenangkan yang menyebabkan
rasa takut, rendah diri, trauma, depresi, atau gila. Bentuk-bentuk sikap dan
prilaku diskriminatif dan eksploitasi terhadap anak yang menyebabkan
munculnya kekerasan terhadap anak dan hilangnya hak-hak mereka yang
seharusnya mendapatkan perlindungan dan pendidikan. Sebagai contoh,
memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial,
atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan
perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status
sosialnya

2.3 Dampak kekerasan pada anak

Bila merasa tidak enak, seorang anak yang menjadi saksi atau korban kekerasan
akan cenderung untuk menunjukkannya dengan tingkah laku dari pada membicarakan
kesulitannya. Di lingkungan rumah di mana ketegangan dan sikap diam karena takut
menjadi hal yang lumrah, maka anakanak lebih besar lagi kemungkinannya untuk
menekan perasaan-perasaannya. 29 Perasaan takut, marah, bersalah, sedih dan
khawatir seringkali tidak diperlihatkan. Reaksinya adalah dalam bentuk dan cara yang
lain.
Dampak atau efek yang timbul pada anak korban kekerasan antara lain
terlihat pada kesehatan anak dan mental yang buruk seperti kurangnya
kepercayaan diri anak, tingkah laku yang lebih agresif, emosi yang labil dan
kurangnya pendidikan yang berakibat pada kecerdasan intelektual anak.

2.4 Klasifikasi

Terry .E. Lawson dalam jurnal pendidikan psikiater anak membagi child abuse
menjadi 4 macam yaitu :
1. Kekerasan Fisik (Physical abuse) Kekerasan fisik adalah tindakan yang
dilakukan seseorang yang dapat melukai tubuh orang lain. Ketika ibu
memukul anak (padahal anak membutuhkan perhatian) dengan tanga, kayu
atau logam akan diingat oleh anak. Kekerasan fisik juga merupakan tindakan
yang disengaja sehingga menghasilkan luka dan merupakan hasil dari
kemarahan dan bertujuan untuk menyakiti orang lain.
2. Kekerasan Verbal (Verbal abuse) Ketika anak meminta perhatian kepada ibu
dengan menangis atau merengek dan ibu menyuruhnya diam dengan kata-
kata kasar seperti “diam bodoh” atau ketika anak mulai bicara ibu berkata
“kamu cerewet” kata-kata kasar itu akan diingat oleh anak. Kekerasan verbal
adalah tindakan yang melibatkan perkataan yang menyebabkan konsekuensi
yang merugikan emosional. Kekerasan verbal yang dialami anak tidak
berdampak pada fisik, namun biasanya merusak anak beberapa tahun
kedepan.
3. Kekerasan Psikis (Emotional Abuse) Kekerasan psikis yaitu seorang ibu
mengabaikan anak yang sedang menginginkan sesuatu seperti lapar atau
basah karena bermain air, ibu lebih mementingka kesibukan yang sedang
dilakukan dan meninggalkan atau mengabaikana anaknya. Anak akan
mengingat kekerasan emosi jika itu dilakukan konsisten. Kekerasan psikis
merupakan perilaku orang tua yang menghardik anak. Pada pasal 7
Undangundang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah
Tangga disebut sebagai kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, rasa tidak berdaya,
hilangnya kemampuan untuk bertindak.
4. Kekerasan Seksual (Sexsual Abuse) Menurut End Child Postitution In Asia
Tourism (ECPAT) Internasional kekerasan seksual adalah hubungan atau
interaksi yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa seperti, orang
asing, saudara sekandung atau orang tua sebagai pemuas kebutuhan seksula
oleh pelaku. Biasanya dilakukan dengan cara memaksa, mengancam dan
tipuan.

2.5 Etiologi

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik


kekerasanfisik maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
1. Stress yang berasal dari anaknya.
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik
anakberbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah
anakmengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda
dengan anaklain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga
anak mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi
denganlingkungan disekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah
cenderungmengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak
yang memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang
memiliki temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan
dengan anak bertemperamen lemah
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak
sewajarnyadan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan
bertingkah anehdi dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar
disebabkanorangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati
dari hasilperkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan
emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua. 
2. Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat
yangmenyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor
iniberhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan
dilakukanoleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya
termasuk harusmengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini
jugaberpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab
lingkungansekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk
kepribadian dantingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan
kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya
perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb
3. Stress berasal dari orangtua, yaitu:
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan,
sebab anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan
orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami
perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap
orang lain atau anaknyasebagai bentuk pelamplasan atas kejadian yang
pernah dialami nya
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan
membuatorangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu
memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan
anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan
kekerasan

2.6 Manifestasi Klinis

1. Akibat pada fisik


a. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang,
perdarahan retina akibatdari adanya subdural hematom dan adanya
kerusakan organ dalam lainnya
b. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut,
kerusakan parut, saraf.gangguan pendengaran, kerusakan mata dan
cacat lainnya
c. Kematian.
2. Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada
umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak
sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
1. Kecerdasan
a) Berbagai penelitian keterlambatan terdapat melaporkan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
b) Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada
kepala, juga karena malnutrisi.
c) Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak
adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
2. Emosi
a) Terdapat gangguan pada: perkembangan kosnep diri emosi
yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif,
perkembangan hubungan sosialdengan orang lain, termasuk
kemampuan untuk percaya diri.
b) Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif
atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol,
hiperaktif, tidur, sekolah, sulit gagal perilaku aneh, kesulitan
belajar,tempretantrum, dsb.
3. Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya
jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak
bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada
yang mencoba bunuh diri
4. Agresif
Anak mendapatkan perlakuan yang salah secara badani,
lebih agresif terhadap temansebayanya. Sering tindakan agresif
tersebut meniru tindakan orangtua mereka ataumengalih kan
perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil
miskinnyakonsep harga diri
5. Hubungan social
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan
teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka
mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orangdewasa,
misalnya dengan melempari batu atau perbuatan-perbuatan
kriminal lainnya.

c. Akibat dari penganiayaan seksual


Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
1. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri
perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
2. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang,
enuresis, enkopresis, anoreksia,atau perubahan tingkah laku.
3. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai
dengan umurnya.Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan
memperhatikan vulva, himen, dan anus anak

2.7 Evaluasi Diagnostik

Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,


pemeriksaan fisik yang teliti, dokumentasi riwayat psikologis yang lengkap, dan
laboratorium.
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
a) Penganiayaan fisik Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat
berupa
b) Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau
punggung
c) Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan
kakitangan dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada
bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau setrika.
d) Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan
retina, dan fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat
Penganiayaan seksual Tanda dan gejala dari
2. penganiayaan seksual terdiri dari:
Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
a) Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
b) Pubertas prematur pada wanita
c) Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman
sebaya, binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan
seksual dengan umur anak sertatingkah laku yang menggairahkan.
d) Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut
pada orang dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah
diri, depresi, gangguan stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan,
dsb.
3. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada
penganiayaan seksual,dilakukan pemeriksaan:
a) Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
b) CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik,
hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang
mengalami trauma kepala yang berat.
c) MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut
dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
d) Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
e) Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami
penganiayaan seksual
2.8 Penatalaksanaan

Pencegahan tindak kekerasan terhadap anak merupakan upaya yang harus


dilakukan oleh semua pihak, baik negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
maupun anak itu sendiri. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 15 menyatakan bahwa
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk: a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; b)
memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat;
dan c) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Di lingkungan keluarga
1) Peningkatan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Peningkatan pemahaman tentang hak asasi manusia, hak-hak anak, dan
kesetaraan gender.
3) Peningkatan kesadaran hukum dan dampak tindak kekerasan terhadap
anak.
4) Pengintegrasian program pencegahan tindak kekerasan terhadap anak
dalam program pemberdayaan keluarga
b. Di lingkungan Masyarakat
1) Peningkatan pemahaman tentang hak asasi manusia, hak-hak anak, dan
kesetaraan gender,
2) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hukum dan dampak tindak
kekerasan terhadap anak,
3) Pengintegrasian program pencegahan tindak kekerasan terhadap anak
dalam program pemberdayaan masyarakat,
4) Penguatan peran komunitas peduli anak melalui pelatihan pola
pengasuhan anak
Mendorong upaya penegakan ketentuan Peraturan Perundang undangan
Republik Indonesia untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak. Pada
pelaksanaannya, pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga
dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam pola pengasuhan yang bebas
dari tindak kekerasan. Sedangkan peran serta masyarakat dalam pencegahan
tindak kekerasan terhadap anak bisa dilakukan melalui pola penguatan komunitas
peduli anak.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan” diartikan dengan perihal yang


bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian,
kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang
mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu diperhatikan adalah
berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai.
Pencegahan tindak kekerasan terhadap anak merupakan upaya yang harus
dilakukan oleh semua pihak, baik negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
maupun anak itu sendiri. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 15 menyatakan bahwa
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk: a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; b)
memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat;
dan d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Mendorong upaya penegakan ketentuan Peraturan Perundang undangan
Republik Indonesia untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak. Pada
pelaksanaannya, pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga
dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam pola pengasuhan yang bebas
dari tindak kekerasan. Sedangkan peran serta masyarakat dalam pencegahan
tindak kekerasan terhadap anak bisa dilakukan melalui pola penguatan komunitas
peduli anak.
3.2 Saran

Pendidikan terhadap pengetahuan perawat secara berkelanjutan atau


berkesinambungan perlu ditingkatkan baik secara formal maupun informal
khususnya pengetahuan yang berhubungan dengan Child Abuse dengan harapan
institusi pendidikan mampu mengerjakan pengenalan terhadap berbagai teori
keperawatan. Semoga makalah tentang Child Abuse dapat bermanfaat bagi peulis
dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniasari,A. (2019). Dampak Kekerasan Pada Kepribadian Anak. Sosio informa,
5(1).
M ADITIYA SAPUTRA, S. A. P. (2020). KONSELING INDIVIDU DALAM
MENGATASI TRAUMA ANAK KORBAN CHILD ABUSE DI UPTD PUSAT
PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK
(P2TP2A) PROVINSI LAMPUNG (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan
Lampung).
Rahma, F. N. (2020). Pengaruh Child Abuse (Kekerasan Pada Anak) Dalam
Keluarga Terhadap Kecerdasan Intelektual Anak di Desa Nunggal Rejo
Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah (Doctoral dissertation, IAIN
Metro).
Rochmawati, N.I., & Susilo,A. B. (2019). Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak
Usia Dini di TK IT Bintang Kecil Kota Semarang. PEPERNIK: Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 1(01),104-110
SAHPUTRA, A. (2021) Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. S Dengan risiko
Perilaku Kekerasan
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia :
Defisi dan Indikator Diagnostik, Edisi1 (Cetakan III (REVISI). Jakarta : DPP
PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi1 (Cetakan III (REVISI). Jakarta :
DPP PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi1 (Cetakan III (REVISI). Jakarta : DPP
PPNI
Wati, D. E., & Puspitasari, I. (2018). Kekerasan terhadap anak, penanaman disiplin,
dan regulasi emosi orang tua. Jurnal Varidika, 30(1), 21-26.

Anda mungkin juga menyukai