Dosen Pengampu :
Fransisca Noya,SST.M.Keb
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
3.1 Kesimpulan......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan mengenai penyalahgunaan anak atau yang sering
dikenal dengan istilah child abuse merupakan masalah yang sangat
sering terjadi baik di Indonesia maupun di dunia. Menurut KPAI
(Komisi Perlindungan Anak), sebanyak 3.700 kasus kekerasan terjadi
pada anak di tahun 2016, namun semestinya anak mendapatkan
perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan yang layak. Menurut Anita
Lie dalam Nur aeni (2017) Kekerasan adalah suatu perilaku yang
disengaja oleh individu pada individu lain dan. memungkinkan
menyebabkan kerugian fisik dan psikologi. Kekerasan biasanya terjadi
pada masyarakat yang memiliki perekonomian rendah.
Oleh sebab itu perlu adanya pembelajaran lebih lanjut agar dapat
mengurangi dan mencegah terjadinya child abuse di kemudian hari.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Apa itu child and adolescent abuse
2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya child abuse?
3. Apa saja bentuk-bentuk child abuse?
4. Apa saja contoh-contoh assesment pada child and adolescent abuse?
5. Apa hukuman child abuse yang berlaku di Indonesia?
6. Bagaimana peran orang tua, keluarga, dan masyarakat dalam
mencegah terjadinya child abuse?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan pada makalah ini, yaitu menjelaskan dan
menambah pengetahuan pembaca terkait:
1. Pengetahuan konsep child and adolescent abuse.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya child abuse.
3. Mengetahui hentuk-bentuk child abuse.
4. Mengetahui contoh-contoh assesment pada child and adolescent
abuse dan hukuman child abuse yang berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Child and Adolescent Abuse
The Federal Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA,
2010) mendefinisikan child abuse adalah segala tindakan atau percobaan
yang dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang dapat menyebabkan
risiko serius; termasuk ke dalamnya pengabaian, eksploitasi, kekerasan
hingga berisiko kematian pada anak.
Menurut WHO (2020), child abuse merupakan penganiayaan yang
diterima anak sebelum memasuki usia 18 tahun yang mencakup semua
jenis perlakuan buruk fisik dan/atau emosional, termasuk di dalamnya
pelecehan seksual, penelantaran, kelalaian dan eksploitasi komersial
atau lainnya, yang mengakibatkan bahaya aktual atau berpotensi
menganggu kelangsungan hidup, kesehatan, dan martabat dalam konteks
hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan pada anak
didefinisikan sebagai segala perbuatan yang dapat menyebabkan
timbulnya kesengsaraan. baik secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan
hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan anak merupakan
segala perbuatan yang dapat merugikan anak baik secara fisik, mental,
dan emosional yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, terutama
orang tua atau pengasuh.
2.2 Ciri-Ciri keluarga yang beresiko melakukan child abuse
1. Kekerasan lain dalam rumah, seperti abuse (kekerasan) terhadap
pasangan. Suami bersikap kasar dan juga memukul istri.
2. Orang tua atau pengasuh yang menggunakan alkohol atau
penyalahgunaan obat-obatan lainnya.
3. Orang tua yang depresi atau mengalami gangguan mental.
4. Menjadi orang tua tiri.
5. Tekanan atau stres keluarga berkaitan dengan kehilangan pekerjaan,
banyak tugas dan beban kerja, masalah keuangan, kemiskinan,
penyakit, kematian, perpisahan atau perceraian.
6. Anggota keluarga dewasa ada yang mengalami abuse (kekerasan)
ketika masih anak-anak.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Anak
a. Faktor anak
Kekerasan fisik pada anak berhubungan dengan perilaku
menyimpang termasuk kenakalan anak. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa anak nakal dilaporkan mengalami kekerasan
fisik dibanding teman sebayanya yang tidak nakal. Yang disebut
perilaku menyimpang adalah semua tingkah laku yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika,
peraturan sekolah dan keluarga dan lain-lain). Jika penyimpangan ini
terjadi terhadap norma-norma hokum pidana maka disebut
kenakalan seperti perkelahian, perampokan, pencurian, pemerasan,
perusakan dan lain-lain. Menurut Graham, faktor yang dapat
menyebabkan
perilaku menyimpang adalah :
1) Faktor lingkungan: malnutrisi, kemiskinan, migrasi karena
urbanisasi, masalah sekolah, problem keluarga, kematian orang
tua, orang tua sakit berat atau cacat, hubungan antar anggota
keluarga tidak harmonis.
2) Faktor pribadi seperti faktor bakat yang mempengaruhi
temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif) cacat tubuh,
ketidakmampuan menyesuaikan diri.
b. Faktor orang tua dan keluarga
Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan
pada anak antara lain:
1) Praktek-praktek budaya yang merugikan anak yaitu kepatuhan
anak kepada orang tua dan anak dilarang menolak.
2) Saat masih kecil, orang tua juga mengalami kekerasan, sehingga
nantinya dia juga akan melakukan kekerasan terhadap anak-
anaknya.
3) Orang tua mengalami gangguan mental, sehingga dia juga
mudah melakukan kekerasan.
4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial,
terutama sekali mereka yang mempunyai anak sebelum berusia
20 tahun.
5) Orang tua merupakan pecandu minuman keras dan narkoba.
c. Faktor lingkungan sosial/komunitas
Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan
diantaranya :
1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan materialistis
2) Kondisi sosial ekonomi yang rendah
3) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang
tua sendiri. Sehingga jika ada orang tua yang melakukan
kekerasan pada anaknya, masyarakat membiarkan karena itu
adalah hak orang tua dalam mendidik anaknya.
4) Status wanita yang dipandang rendah
5) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis (tidak
memeperdulikan lingkungan sekitar) dan sebagainya.
Berbagai perilaku menyimpang dan faktor-faktor resiko tersebut
harus secepatnya dikenali sehingga dapat dilakukan tindakan
preventif dan menyelesaikan masalah segera agar tidak terjadi
problem lebih lanjut yang dapat merusak proses tumbuh
kembangnya.
2.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anak (Child Abuse)
Menurut Terry E. Lawson (dalam Andini & dkk, 2019), menyebutkan
ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical
abuse, dan sexual abuse.
2.4.1 Physical Abuse
Menurut Unicef dalam Maknun (2017) kekerasan fisik adalah
setiap tindakan yang mengakibatkan atau mungkin mengakibatkan
kerusakan atau sakit fisik seperti menampar, memukul, memutar
lengan. menusuk, mencekik, membakar, menendang, ancaman
dengan benda atau senjata. dan pembunuhan. Kekerasan yang
mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak
sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang lain
atau kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian
tubuh anak seperti penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan
terhadap anak, dengan/tanpa menggunakan benda-benda yang dapat
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka
dapat berupa memar akibat persentuhan atau kekerasan benda
tumpul.
Terjadinya kekerasan fisik pada anak umumnya dipicu oleh
tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak
nakal atau rewel menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah
di sembarang tempat. atau memecahkan barang berharga dan lain-
lain. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui motif dan bentuk-
bentuk apa saja yang dilakukan orang tua dalam melakukan
kekerasan fisik pada anak, yaitu sebanyak 35% mencubit, 19%
memukul, dan dijewer 10%. sedangkan rata-rata 5% untuk dijambak,
didorong, dan ditampar. Hal ini dilatar belakangi oleh upaya orang
tua untuk mendisiplinkan dalam peraturan sehari-hari seperti
sebanyak terlambat bangun, bertengkar, dan tidak shalat. Kekerasan
fisik terjadi pada anak tidak sampai menimbulkan perlukaan fisik
atau kematian, sehingga dikatakan bahwa kekerasan yang dialami
anak hanya sebatas pada kekerasan ringan yang bertujuan untuk
mendisiplinkan anak.
Dampak dari physical abuse;
1. Dampak pada fisik anak
1) Lecet, luka, patah tulang, memar, dan adanya kerusakan pada
organ bagian dalam.
2) Kecacatan.
3) Kematian,
2. Dampak pada perkembangan anak
Pada umumnya terjadi keterlambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya jika anak diberikan perlakuan yang salah
dengan segala bentuk penyiksaan fisik yang berulang-ulang
dalam jangka waktu yang lama, termasuk kejiwaan pada anak
yang dapat terganggu seperti emosinya, konsep diri, hubungan
sosial (anak menjadi menarik diri dari lingkungannya dan sukar
membangun trust pada orang lain), dan agresivitasnya (perilaku
bersifat destruktif). Bila hal ini terjadi secara berulang, maka
proses recovery-nya membutuhkan waktu yang sangat lama.
2.4.2 Neglect (mengabaikan)
Neglect (mengabaikan) merupakan bentuk penganiayaan yang
herbahaya. Itu dapat memperlemah perkembangan dari stimulus
pikiran. Neglect tidak menerima informasi anak-anak dan minat
terhadap anak- anak dan orang lain. Pada suatu kasus 'neglect
perlahan dan secara terus menerus akan merusak jiwa anak-anak
sampai mereka terhubung dengan orang lain atau mereka telah
mengeksplor dunia (Erickson and Egeland. 2002: 3). Menurut WHO
(World Health Organization), neglect adalah kegagalan orangtua
dalam menyediakan segala kebutuhan untuk perkembangan anak
berupa kesehatan, pendidikan. perkembangan emosional, nutrisi,
tempat tinggal, dan kehidupan yang nyaman.
Berdasarkan pada Polansky et al. (1981), ciri-ciri dari orangtua yang
melakukan neglect adalah:
1. Mereka yang berada dilingkungan yang tidak mendukung.
2. Mereka yang merasa di isolasikan dan diasingkan.
3. Mereka merasa apatis dan percaya mereka adalah orang yang
sia-sia.
4. Mereka yang merasa putus asa, dan terasingkan.
5. Mereka yang pernah mengalami stress yang berat karena
kurangnya keahlian koping stres.
6. Mereka yang cenderung sering pindah baik secara geografis
maupun sosial.
7. Mereka yang secara emosional menjaga jarak atau tidak dekat
dengan anak mereka.
8. Mereka yang jarang berinteraksi dengan anak mereka, hal ini
yang menjadi karakteristik negatif pada orangtua.
9. Mereka yang memiliki dukungan sosial dan emosional yang
sedikit. sehingga mereka secara psikologi merasa kurang dekat
dengan anak mereka.
2.4.3 Sexual Abuse
Fraser mendefinisikan pelecehan seksual anak sebagai
"eksploitasi anak untuk kepuasan seksual orang dewasa" (Fraser
1981, 58). Baker dan Duncan menyarankan bahwa "anak (siapa pun
di bawah 16 tahun) dilecehkan secara seksual ketika orang lain, yang
dewasa secara seksual melibatkan anak dalam aktivitas apa pun yang
diharapkan orang lain untuk menyebabkan gairah seksual mereka."
(Baker dan Duncan 1985, 458). Setiap aktivitas seksual antara orang
dewasa dan anak, atau antara anak yang lebih tua dan anak yang
lebih kecil, dapat didefinisikan sebagai pelecehan, baik berupa
aktivitas seksual kontak termasuk tindakan penetrasi (mis. Penis,
digital, atau objek penetrasi vagina, mulut, atau anus) dan tindakan
non-penetrasi (mis. menyentuh atau ciuman seksual dari bagian
seksual tubuh anak, atau melalui sentuhan anak bagian seksual dari
tubuh pelaku kekerasan). Wanita dapat dan melakukan pelecehan
seksual terhadap anak-anak.
Namun, sebagian besar pelecehan dilakukan oleh laki-laki.
termasuk ayah, ayah tiri, mitra ibu, saudara laki-laki, kakek, paman,
serta teman-teman keluarga termasuk tetangga dan pengasuh anak.
Penjaga yang secara emosionalterpisah, kasar, atau yang
menyalahgunakan alkohol atau narkoba meningkatkan risiko
meninggalkan anak-anak mereka menjadi korban pelecehan seksual
(Berliner dan Elliot 1996).
Anak-anak antara usia tujuh dan 13 tahun adalah yang
terbanyak kemungkinan akan disalahgunakan, meskipun laporan
menunjukkan bahwa sebanyak seperempat dari semua kasus
melibatkan anak-anak di bawah lima tahun. Meskipun perempuan
lebih mungkin pelecehan seksual daripada anak laki-laki, tidak boleh
diremehkan seberapa sering anak laki- laki korban penyerangan
semacam ini (Holmes dan Slap 1998). Ada beberapa bukti bahwa
anak laki-laki cenderung sedikit lebih tua ketika mereka pertama kali
dilecehkan, dan pelaku cenderung menjadi pengasuh wanita atau
seseorang di luar keluarga.
Menurut Wesicou dan Jones (1999), anak-anak cacat berada di
hampir dua kali lipat risiko pelecehan seksual. Pelecehan seksual
juga dapat didefinisikan secara situasional yaitu, oleh situasi atau
keadaan di mana itu terjadi. Misalnya, dalam beberapa keluarga atau
budaya, dapat diterima, bahkan diharapkan, itu anggota keluarga
mencium mulut atau memiliki banyak hal fisik kontak. Dalam
keluarga dan budaya lain. perilaku seperti itu akan terjadi dianggap
tidak pantas.
a. Agresif
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan.
Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang
bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidak bisa
melindunginya itu ada disekitarnya, anak akan langsung
memukul atau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku.
Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah
mengalami tindak kekerasan.
b. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti
menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan.
bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi
anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresit.
c. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan
aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan
figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat
dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
d. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu. la belajar dari pengalamannya,
kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
2.5 Hukum Undang-undang Kekerasan pada Anak di Indonesia
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaraan
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e. Ketidakadilan
f. Perlakuan salah lainnya.