Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Dengue Haemorragic Fever

Disusun Oleh :
Marini Elisabeth Franet
1765050378

Pembimbing :
dr. Hj. Siti Rahma, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 25 FEBRUARI 2019 – 4 MEI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
BEKASI

1
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 27
Februari 2019 – 4 Mei 2019 dengan judul “Dengue Haemorragic Fever” disusun oleh :
Nama : Marini Elisabeth Franet
NIM : 1765050378
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
dr. Hj. Siti Rahma, Sp. A

Menyetujui,

(dr. Hj. Siti Rahma, Sp. A)

2
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. M Tn. M Ny. R

Umur 8 tahun 40 tahun 34 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Kr. Kulon, Bekasi, Jawa Barat

Agama Islam Islam Islam

Suku bangsa Sunda Sunda Sunda

Pendidikan SD SMA SLTA

Pekerjaan - Wirausaha Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - - -

Keterangan Hubungan dengan orang tua : Anak kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2019
a. Keluhan Utama
Demam naik turun sejak 5 hari
b. Keluhan Tambahan
Mual, nafsu makan berkurang, mimisan 3 hari dan BAB hitam pagi tadi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam naik turun
sejak + 5 hari SMRS, demam turun ketika diberi obat parasetamol, namun naik lagi
setelah 8 jam, suhu tubuh naik dapat kapan saja dan tidak menentu. Demam mencapai
38.5C, jika turun tidak pernah mencapai suhu normal, seperti 37.7C. Setelah 2 hari
demam, pasien tidak nafsu makan serta perdarahan dari hidung yang berlangsung

3
sekitar 30 detik berkali-kali dalam sehari selama 3 hari, gusi yang mudah berdarah
disangkal. Pasien merasa lemas sehingga tidak masuk sekolah.
Menurut pernyataan ibu pasien, di dekat rumah terdapat tempat pembuangan
sampah yang banyak plastik bekas dan kebetulan belakangan ini hujan terus menerus.
Ibu memiliki kebiasaan tidak pernah menguras bak dan membiarkan ember yang terisi
air tidak tertutup. Tetangga di sekitar rumah pasien juga ada yang mengalami keluhan
sama tetapi di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan sama. Hal ini baru
dialami pertama kali oleh pasien.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Difteria - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Maag - Radang paru -

Otitis - Varicela - Tuberkulosis -

Parotis - Asma - Morbili -

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan

KELAHIRAN Tempat kelahiran Bidan

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Normal

Masa gestasi 9 bulan

4
Berat lahir 2900 g

Panjang badan 50 cm

Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat

Langsung menangis

Nilai apgar tidak tahu

Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I : 7 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap : 3 bulan (normal: 3-4 bulan)
Duduk : 6 bulan (normal: 6 bulan)
Berdiri : 10 bulan (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 13 bulan (normal: 13 bulan)
Bicara : 9 bulan (normal: 9-12 bulan)
Baca dan Tulis : 5 tahun
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia.

h. Riwayat Makanan
Umur ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
(bulan)

0-2 +

2-4 +

4-6 +

6-8 + + - -

8-10 + + + -

5
10-12 + + + +

12-24 Makanan Keluarga

24-59 Makanan Keluarga

Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik

Pola Makan

Jenis makanan Frekuensi


Nasi 7 hari @3xsehari @ 1 piring / setengah centong nasi
Sayuran Tidak suka sayur
Daging 1-3 x seminggu @ 1 potong/1x makan
Ikan 1 x seminggu @ 1 potong / 1 x makan
Telur 1-2x seminggu @1 butir/1x makan
Tahu 2-3x seminggu @1potong/1xmakan
Tempe 7 hari @ 3xsehari@1potong/1xmakan
Susu 1 xsehari @190 ml susu ultramilk

Kesan : Kualitas dan kuantitas makan pasien cukup, namun konsumsi daging kurang.

i. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG Lahir - - -

DPT 2 bln 4 bln 6 bln 5 tahun

POLIO Lahir 2 bln 4 bln - - -

CAMPAK 9 bln 6 tahun

HEPATITIS B Lahir 2 bln 4 bln

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

j. Riwayat Keluarga

6
Ayah Ibu Anak Pertama

Nama Tn. M Ny. R An. M

Perkawinan ke Pertama Pertama -

Umur 40 tahun 34 tahun 12 tahun

Keadaan kesehatan Baik Baik Baik

Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah sendiri. Terdapat dua kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup,
air minum dan air mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
- Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Frekuensi nadi : 100x/menit
- Frekuensi pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 37,7 oC
c. Data antropometri
- Berat badan : 28 kg
- Tinggi badan : 125 cm
- IMT : BB/TB2 = 28/ (1.25)2 = 17.92
- BB/U : 28/26 x 100% = 107 % (gizi baik)
- TB/U : 125/125 x 100% = 100 % (tinggi baik)
- BB/TB : 28/25 x 100 = 112 % (gizi baik )
d. Kepala
- Bentuk : normocephali
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
- Wajah : epistaksis(+)tidak aktif

7
- Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
RCL +/+, RCTL +/+,
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, sekret (-) cair bening, nafas cuping
hidung (-)
- Mulut : faring hiperemis (-) , T1-T1
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar
f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
g. Abdomen
- Inspeksi : perut datar
- Auskultasi : bising usus 4x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio epigastrica, hepar dan
lien tidak membesar
- Perkusi : nyeri ketok (+) regio epigastrica
h. Kulit : ikterik (-)
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium darah tanggal 20 Maret 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Leukosit 5.7 Ribu/uL 5 - 10

Hemoglobin 11.2 g/dL 12 - 16

Hematokrit 32.8 % 37 - 47

Trombosit 40 Ribu/uL 150 - 400

8
V. RESUME
a. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam naik turun
sejak + 5 hari SMRS, demam turun ketika diberi obat parasetamol, namun naik lagi
setelah 8 jam, suhu tubuh naik dapat kapan saja dan tidak menentu. Demam mencapai
38.5C, jika turun tidak pernah mencapai suhu normal, seperti 37.7C. Setelah 2 hari
demam, pasien tidak nafsu makan serta perdarahan dari hidung yang berlangsung
sekitar 30 detik berkali-kali dalam sehari selama 3 hari, gusi yang mudah berdarah
disangkal. Pasien merasa lemas sehingga tidak masuk sekolah. Di dekat rumah terdapat
tempat pembuangan sampah yang banyak plastik bekas dan kebetulan belakangan ini
hujan terus menerus. Ibu memiliki kebiasaan tidak pernah menguras bak dan
membiarkan ember yang terisi air tidak tertutup.

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Frekuensi nadi : 100x/menit
- Frekuensi pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 37.7 oC
Wajah : Epistaksis (+) tidak aktif
Abdomen : Nyeri tekan dan nyeri ketok (+) pada regio epigastrica
Ekstremitas : Akral hangat

c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Trombosit 40 Ribu/uL 150000 - 400000

9
VI. DIAGNOSIS KERJA (IGD)
DHF grade II
VII. PENATALAKSANAAN (IGD)
a. Non medikamentosa
- Pro rawat inap
- Edukasi kepada orangtua tentang penyakit yang diderita
- Pemeriksaan seri DHF rutin perhari

b. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Paracetamol 3 x 7.5 ml
- Ranitidine 2x1 ampul

VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- As fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam

Tanggal FOLLOW UP

21/3/19 S/ lemas, demam (-), mual muntah (-), mimisan (-),BAB hitam (-) belum mau
makan dan minum sedikit, BAK 5x, sekali BAK + 100cc

O/ ku: TSS , Kes: CM

Suhu: 36.7 C, Nadi:110, TD : 110/70 mmHg

RR: 20x/menit , saturasi:100% , akral hangat

Laboratorium :

- Seri DHF rutin: leukosit 6.1 ribu, Hemoglobin 12.2 g/dL, Hematokrit 34.8%,
trombosit 87 ribu

A/ DHF grade II

P/ RL 20 tpm, Paracetamol 3x7.5ml, periksa seri DHF rutin, Ro Thorax RLD

10
22/3/19 S/ lemas (-), demam (-), mual muntah (-), nyeri tulang (-), sudah mau makan dan
minum banyak, BAK 4x, sekali BAK + 100cc

O/ ku: TSS , kes: CM

Suhu:36.5 C , nadi:105 x/menit, akral hangat

RR:24x/menit , saturasi:100% , TD:100/60 mmHg,

Laboratorium :

Seri DHF rutin : leukosit 6.9 ribu, Hemoglobin 11.8 g/dL, Hematokrit 35.2%,
trombosit 168 ribu

A/ DHF grade II

P/ RL 20 tpm, paracetamol 3 x 7.5 ml, periksa seri DHF rutin (jika perbaikan
klinis dan lab boleh pulang)

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan syok hipovolemik yang terjadi


pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma. Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut kriteria WHO tahun 1997
dinyatakan sebagai DBD derajat III-IV. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat,
yang berakibat fatal. SSD ditandai dengan seluruh kriteria DBD disertai dengan tanda
kegagalan sirkulasi yaitu : (1) Penurunan kesadaran, gelisah,(2) Nadi cepat, lemah, (3)
Hipotensi (sistolik menurun sampai <80mmHg, (4) Tekanan nadi < 20 mmHg (5)
Perfusi perifer menurun,(6) Kulit dingin dan lembab.4,5

EPIDEMIOLOGI

Menurut data yang dilampirkan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), terdapat 2,5 miliar orang (40%) tinggal di daerah – daerah yang rawan dengan
penyebaran virus dengue. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat
50 sampai dengan 100 juta infeksi yang terjadi setiap tahun, meliputi 500.000 kasus
DBD dan 22.000 kematian.6
Di Indonesia, terdapat 150.000 kasus yang dilaporkan di Indonesia di mana
25.000 kasus di antaranya dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat.7 Data di Indonesia
sendiri menunjukan peningkatan Incidence rate (IR) dari tahun 1968 – 2015. Pada
tahun 2015, terdapat 126.675 penderita DBD di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya
meninggal dunia. Provinsi Kalimantan Timur selalu berada pada lima provinsi dengan
IR tertinggi dari tahun 2012 – 2015. Kalimantan Timur menduduki peringkat kedua
setelah Bali dengan IR 186,12 pada tahun 2015.8

ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
genus Flavivirus, famili Flaviviridae dan terdapat 4 serotype virus yang berbeda antigen
yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotype virus dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN-3 adalah serotype terbanyak yang
ditemukan di Indonesia dan merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan

12
menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Infeksi oleh salah satu jenis serotype ini
akan menimbulkan antibodi dan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak
menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.4,5
Penularan virus Dengue di Indonesia terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes betina (terutama Aedes aegypti dan A.albopictus). Ciri-ciri nyamuk Aedes
aegypti:9
1) Tubuh berwarna hitam kecoklatan, tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-
garis putih keperakan.
2) Memiliki kemampuan terbang hingga radius 100 meter dari tempat nyamuk
menetas.
3) Hidup di dalam dan di sekitar rumah
4) Menggigit/menghisap darah pada pagi dan siang hari
5) Senang hinggap pada pakaian yang digantung di dalam kamar
6) Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah dengan
kondisi suhu air 20-40oC. Di dalam rumah, nyamuk dapat berkembang di tempayan,
bak mandi, vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain.

PATOFISIOLOGI
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi
sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-
paru. Sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini.10

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah


peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi,
hipoalbuminemia, efusi pleura atau asites dan penurunan tekanan darah.5

Paparan primer virus menginduksi respons imun humoral (antibodi) dan seluler
(sel T). Saat infeksi sekunder dengan serotipe lain, antibodi (dari reaksi silang
sebelumnya) mengikat virus dan meningkatkan serapan virus via reseptor Fc, sehingga
replikasi virus dan antigen yang mengaktifasi reaksi silang sel-selT spesifik Dengue
akan meningkat pula.

13
Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel
di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan
melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi.11

Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M


(membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-
membran atau pre-M. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas
netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M
dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi
virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komplemen.5

Berdasarkan perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing


antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan
antibody non neutralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS.

Terdapat dua teori immunopatogenesis DBD dan DSS yaitu infeksi sekunder
(secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).4

Secondary Heterologus Infection


Dalam teori infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi
sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi
infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologous yang terbentuk pada infeksi
primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang
berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang
infeksius.4,5 Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan
mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).

14
Gambar 1. Mekanisme antibody homolog4

Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe
virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Pada infeksi selanjutnya, antibody
heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks
dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi
virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius4,5,11

Gambar 2. Mekanisme antibodi heterolog4

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel
virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan
antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari
IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN.
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi
bebas bereplikasi di dalam makrofag. Monosit yang terinfeksi melepaskan mediator
vasoaktif sehingga meningkatkan permeabelitas vaskuler dan menimbulkan
manifestasi perdarahan yang merupakan karakteristik DHF dan DSS.4,5,11

15
Gambar 3. Komplek antibodi-virus4

TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,


merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel
pembuluh darah. kompleks imun virus – antibody yang terbentuk akan merangsang
system komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a yang bersifat meningkatkan
permeabelitas vaskuler dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma
(syok hipolemik) dan perdarahan.11

Gambar 4. Mekanisme Infeksi Dengue Sekunder4

Antibody Dependent Enhancement (ADE)


Suatu proses saat virus dengan serotype yang lain dapat membentuk komplek
dengen antibody non neutralisir, yang dapat infiltrasi ke dalam sel mononuclear dalam
jumlah besar dimana virus dapat replikasi dalam jumlah besar dan menyebabkan
infeksi yang lebih berat. Proses ini akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuclear. Pada teori ini disebutkan, jika terdapat antibodi

16
spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan
oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi
virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat.4,5
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok.

Gambar 5. Mekanisme ADE4

Peran Sitokin

Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat
penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin
(cytokine storm). Dalam melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Dari
beberapa penelitan sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF,
IL-1, IL-6, IL-8, dan IFN.4

Peran Komplemen

Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan kadar komplemen, sehingga
diduga bahwa aktifasi system komplemen mempunyai peran dalam pathogenesis.
Komplek imun virus dengue dan antibody pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi
system komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan system
komplemen secara langsung melalui jalur alternative dan apabila berlebihan dapat
menyebabkan peningkatan permeabelitas vascular. Komplemen C5a menginduksi

17
produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF, IL-1, IL-6, IL-8) dan
meningkatkan ekpresi molekul adhesi baik pada neutrophil maupun sel endotel.4

Trombositopenia
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain.
Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai
mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID/koagulasi intravaskular
diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.3,5

Kebocoran Plasma
Mediator yang dilepaskan oleh sel T dan sel-sel yang terinfeksi virus dapat
menaikkan permeabilitas vaskuler dan koagulopati. virus Dengue dapat memicu
ekspresi enzim-enzim MMP-2 dan MMP-9, meningkatkan permeabilitas yang
berakibat kebocoran plasma dan perdarahan, hal ini berkaitan dengan turunnya respon
Platelet Endothelial Cell Adhesion Molecule-1, ekspresi VE-cadherin, dan
reorganisasidari F-actin.4

Gambar 6. Mekanisme imunopatogenesis DBD4

18
Permeabilitas endotel diatur oleh pembukaan dan penutupan dinamis dari ikatan
simpang (adherens junctions) sel-sel. Ikatan simpang sel-sel ini dibentuk oleh keluarga
cadherin sebagai protein-protein yang beradhesi, contoh Vascular Endothelial (VE)-
cadherin. Pemindahan VE-cadherin ini lazimnya dicegah oleh protein lain, p120-
catenin. Mediator inflamasi seperti VEGF dikenal sebagai penyebab pisahnya p120-
catenin dan VE-cadherin. Infeksi Dengue pada sel-sel endotel mengakibatkan
penurunan sVEGFR-2 (soluble VEGF Receptor-2) dan peningkatan ekspresi membran
VEGFR-2; tingkat sVEGFR-2 secara progresif menurun selama perjalanan penyakit
karena korelasinya dengan beban virus dalam plasma.4

Gambar 7. Perubahan Permeabelitas Sel Endotel4

System koagulasi dan fibrinolysis


Kelainan system koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembukan menurun, termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktifitas antithrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktifitas faktor VII, faktor II dan antithrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dgaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi system koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi system fibrinolysis. Kelainan fibrinolysis pada DBD

19
dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen.4

KLASIFIKASI

Klasifikasi infeksi dengue mengalami beberapa kali perubahan sejak WHO


1997, kemudian WHO 2009, dan yang terakhir menggunakan WHO 2011. Perubahan
klasifikasi dengue berkaitan dengan diagnosis dan penatalaksanaan pasien. Menurut
WHO 2011, manifestasi infeksi dengue dibagi menjadi 4 pembagian.4,12,13

Gambar 8. Klasifikasi Manifestasi Klinis Infeksi Dengue WHO 2011.12

Pertama demam undifferentiated, dimana merupakan infeksi primer, dengan


manifestasi klinis berupa demam yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi
virus lainnya. Demam akan disertai rash maculopapular baik pada fase demam atau
sesudah demam turun. Gejala lain dapat berupa gejala saluran pernapasan atas dan
gangguan gastrointestinal. 4,12,13
Kedua, demam dengue yang paling sering terjadi diawali dengan demam
bifasik, sefalgia, myalgia, arthralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia.
Manifestasi perdarahan juga dapat terjadi, seperti perdarahan saluran cerna,
hypermenorrhea, dan epistaksis. 4,12,13
Ketiga, demam berdarah dengue yang sering terjadi pada anak dibawah 15
tahun pada daerah yang hiperendemis dengan infeksi dengue berulang. DBD diawali
dengan demam onset akut yang tinggi dengan manifestasi klinis menyerupai demam
dengue. Sering ditemukan manifestasi perdarahan dengan uji tornikuet positif atau
perdarahan spontan berupa petekia, purpura, dan perdarahan gastrointestinal. Namun

20
setelah fase demam, akan terjadi kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok
hypovolemia. Tanda bahaya seperti muntah persisten, nyeri abdomen, penurunan
kesadaran, oliguria merupakan penanda awal syok. Patofisiologi utama DBD adalah
abnormalitas hemostasis dan kebocoran plasma. DBD kebanyak terjadi pada anak
dengan infeksi sekunder. 4,12,13
Keempat, Expanded dengue syndrome, yang disertai dengan gangguan hepar,
ginjal, otak, dan jantung pada pasien DBD ataupun pasien demam dengue. Manifestasi
klinis ini berhubungan dengan adanya penyakit koinfeksi, komorbid lain dan syok
berkepanjangan.4,12,13
Selain empat penggolongan diatas, manifestasi tanda bahaya pada pasein
dengue juga digunakan dalam alur penatalaksaan dengue dalam WHO 2012. Dengue
tanpa tanda bahaya akan dirawat jalan dengan monitoring ketat dan edukasi tertulis.
Sedangkan dengue dengan tanda bahaya merupakan kriteria rawat inap.1,13,14

Gambar 9. Klasifikasi Manifestasi Klinis Infeksi Dengue WHO 2009.14

MANIFESTASI KLINIS
Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga
merupakan suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari.
Infeksi virus Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi

21
klinis yang bervariasi antara asimtomatik, dengue fever, dengue hemmorrhagic fever
atau dengue shock syndrom.4

Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase :


1) Fase febris
Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya
sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal pada
seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam
makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa bekas,
serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat nyeritenggorokan, faringitis,
injeksi konjungtiva. Diikuti dengan anoreksia mual serta muntah yang umumnya
selalu diderita pasien. Pada fase ini bila didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan
kemungkinan infeksi dengue.

2) Fase kritis

Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari ke 3-
7 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan dengan
peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari fase kritis, periode
kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang ditandai dengan
peningkatan hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat pula terjadi efusi pleura
dap asites. Syok terjadi ketika terjadi kehilangan banyak plasma, nantinya dapat
menyebabkan asidosis metabolik, DIC.

3) Fase penyembuhan

Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi
perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.

22
Gambar 10. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue14

Dengue Shock Syndrome (DSS)


Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah,
nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif*, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.

3) Hepatomegali

4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau hipotensi
disertai gelisah dan akral dingin.

* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset


pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif
bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia (≤ 100.000/µl)

2) Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari orang normal)

23
Dengue Shock Sindrom merupakan syok hipovolemik yang terjadi akibat
peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai dengan perembesan plasma.Syok
biasanya terjadi antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7 pada saat atau segera setelah suhu
turun, yang ditandai dengan warning sign.
1) Syok terkompensasi
Perembesan plasma yang menyebabkan hipovolemi membuat tubuh melakukan
mekanisme kompensasi melalui jalur neuro hormonal untuk mencegah hipoperfusi pada
organ-organ vital. Pada sistem kardiovaskular sirkulasi dipertahankan melalui
peningkatan isi sekuncup, laju jantung, dan vasokontriksi pembuluh darah perifer.
Takikardi terjadi saat suhu tubuh mulai turun walaupun tekanan darah belum terlalu
turun karena kompensasi dari peningkatan laju jantung.

Kompensasi tahap selanjutnya dilakukan dengan mempertahankan sirkulasi


darah ke arah organ vital dengan menurunkan sirkulasi ke daerah perifer (vasokontriksi
perifer). Hal ini ditandai dengan ekstremitas dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh
menjadi bercak-bercak, pengisisan waktu kapiler memanjang. Pada saat terjadi
vasokontriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik
meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap sehingga terjadi tekanan nadi menyempit.
Pada tahap ini sistem pernafasan melakukan kompensasi dengan quite tachypnea
(takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernafasan).14

2) Syok dekompensasi
Pada syok dekompensasi, upaya fisiologis yang dilakukan oleh tubuh untuk
mempertahankan kardiovaskular gagal. Keadaan ini ditandai dengan tekanan sistolik
dan diastolik menurun (syok hipotensif). Bila tidak dilakukan pengobatan yang adekuat
akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur, sianosis makin jelas.1

DIAGNOSIS

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Tanda bahaya atau warning signs perlu dievaluasi untuk mengantisipasi


kemungkinan terjadi syok pada penderita Demam Berdarah Dengue sebagai berikut4,7:

24
1) Demam turun tapi keadaan anak memburuk
2) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
3) Muntah yang menetap
4) Letargi, gelisah
5) Perdarahan mukosa
6) Pembesaran hati
7) Akumulasi cairan
8) Oligouria
9) Peningkatan hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat jumlah trombosit
10) Hematokrit awal tinggi

Untuk menegakkan diagnosis DSS harus memenuhi kriteria DBD dan ditemukan tanda
dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi ataupun dekompensasi.4
Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah

- Nadi cepat, lemah

- Hipotensi

- Tekanan nadi < 20 mmHg

- Perfusi perifer menurun

- Kulit dingin-lembab
-
Dengue Syok Sindrom Terkompensasi
Berikut adalah tanda dan gejala syok terkompensasi:15,16
1) Takikardi
2) Takipnnea
3) Tekanan nadi <20 mmHg
4) Waktu pengisian kapiler CRP >2 detik
5) Kulit dingin
6) Produksi urin menurun <1ml/kgBB/jam
7) Anak gelisah

25
Dengue Shock Sindrom Terkompensasi
Tanda dan gejala syok dekompensasi berupa :15,16
1) Takikardi
2) Hipotensi
3) Nadi cepat dan lemah
4) Pernafasan kusmaul atau hiperpneu
5) Sianosis
6) Kulit lembab dan dingin
7) Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

Penentuan Derajat Penyakit


Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis
perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.4

Gambar 11. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue


Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam
tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi
adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang
menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue
adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit
(hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hypoproteinemia.4

26
Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut

DERAJAT GEJALA & TANDA LABORATORIUM


Demam 2-7 hari Leukopenia
DD Disertai > 2 tanda : sakit kepala, Trombositopeni
nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia Kebocoran Plasma (-)

Gejala di atas (+)


DBD I
Disertai uji bendung positif Trombositopeni
(<100.000/ul)
Serologi
Gejala di atas (+)
DBD II Kebocoran Plasma (+) Dengue
Disertai perdarahan spontan
: Positif
Peningkatan Ht > 20
DBD III Gejala di atas (+) %
DSS Disertai tanda kegagalan sirkulasi Penurunan Ht > 20 %
setelah pemberian
DBD Syok berat disertai dengan tekanan cairan yang adekuat.
IV
DSS darah dan nadi yang tidak terukur

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis pasti didapatkan hasil isolasi virus dengue (cell culture) atau deteksi
antigen virus RNA dengan teknik RT-PCR atau dengan deteksi virus RNA oleh
(NAAT). Namun karena teknik ini lebih rumit, saat ini dilakukan pemeriksaan lainnya
berupa tes serologi. Setelah hari ke-5, virus dengue dan antigen menghilang dari darah
bertepatan dengan munculnya antibodi spesifik. Tes serologis yang mendeteksi adanya
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM dan IgG 4. Antibodi
IgM anti dengue dapat dideteksi mulai hari sakit ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-
3, dan menghilang setelah 60-90 hari. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer
mulai terdeteksi pada hari sakit ke-14 dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue mulai dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-2.10
Tabel. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue10
Antibodi anti dengue Interpretasi
IgM IgG
(+) (-) Infeksi primer
(+) (+) Infeksi sekunder
(-) (+) Pernah terinfeksi*
(-) (-) Tidak ada infeksi
*Perlu diulang pada fase konvalesen, jika klinis mendukung infeksi dengue

27
Pemeriksaan darah lengkap rutin dilakukan untuk menskrining pasien
infeksi dengue. Peningkatan nilai hematokrit ≥20% dari hematokrit awal yang selalu
dijumpai pada DHF merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Selain
hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia dan leukopenia. Hipoproteinemi
dapat terjadi akibat kebocoran plasma. Dilakukan pemeriksaan PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau
kelainan pembekuan darah.4
Radiologis
Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur
pada sisi badan sebelah kanan) bisa ditemukan efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan kanan. Tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat, efusi
pleura dapat ditemukan bilateral. Pada pemeriksaan USG dapat mendeteksi adanya efusi
pleura, asites, hepatomegali, kelainan (penebalan) dinding vesica velea dan vesica
urinaria.4

Diagnosa Banding
Pada fase demam awal sulit dibedakan dengan infeksi lain baik bacterial (tifoid),
viral (influenza, campak serta hepatitis B) dan parasit (malaria). Ditemukannya
trombositopenia bersamaan dengan hematokrit yang meningkat membedakan DSS
dengan shock oleh karena endotoksin seperti infeksi bakteri.4
Demam chikungunya sangat sulit dibedakan dengan klinis demam dengue dan
fase awal DHF. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama
dengan DBD. Tanda-tanda shock, serta trombositopenia dan hemokonsentrasi. sudah
menghilangkan kemungkinan demam chikungunya. Pemeriksaan NS1 dan uji serologi
DBD positif.4
Demam tifoid merupakan demam step ladder, yaitu demam terus meningkat dari
hari ke hari disertai dengan anoreksia, mual muntah, diare, perasaan tidak nyaman di
perut, dan lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung bewarna merah disertai dengan
tremor). Trombositopenia disertai hemokonsentrasi dan tanda-tanda perdarahan dapat
membedakan antara DBD dengan penyakit lain. Pada pemeriksaan penunjang DBD
didapatkan NS1 dan uji serologi positif. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan
morbili dan pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.4

28
TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedagkan pasien DBD
dirawat di ruang perawtan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila dila
diperlukan.
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tadna syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan para dokter
untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik.

Gambar 12. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

29
Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi
perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase selanjutnya
dekompensasi. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan
yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik disbanding apabila
pasien sudah jatuh ke dalam syok dekompensasi. Prinsip utama tatalaksana DSS
adalah pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu segera
koreksi factor komorbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam
basa serta gangguan elektrolit.4

Tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi4

Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat pengobatan


sebagai berikut:

 Berikan O2 2-4 L/menit


 Resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonic IV dengan jumlah 10-
20ml/kgBB dalam waktu 1 jam periksa Ht.
 Bilas yok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10ml/kgBB/jam selama 1-2 jam
 Bila sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5,5,3,1,5 ml/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi,
cairan IV sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah
cairan yang diberikan secara IV bila masukan melalui oral makin membaik
 Bila syok tidak teratasi, periksa AGD, Ht, Kalsium dan gula darah yang
memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan
ditemukan, segera koreksi.
 Jika Ht tetap tinggi atau meningkat, diberikan kembali bolus kedua. Sebaiknya
dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20ml/kgBB dalam waktu 10-20
menit apabila tidak ada dapat diberikan kristaloid isotonic. Walaupun tidak
ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan
transfuse
 Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10ml/kgBB/jam selama 1-2
jam, setelah itu jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5,5,3,1,5
ml/kgBB/jam. Pada umumnya dalam waktu 24-48 jam setelah syok teratasi
pemberian cairan IV sudah tidak diperlukan lagi. Namun apabila belum teratasi,
pasien dapat jatuh ke dalam profound shock, maka seringkali diperlukan
perawatan di unit intensif

30
Gambar 13. Pemeriksaan laboratorium ABCS

Tatalaksana sindrom syok dengue dekompensasi4

Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan


terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi profound shock yang
mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat berobat sudah dalam syok
dekompensasi, baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke
dalam profound shock, diberikan pengobatan sebagai berikut:

 Berikan O2 2-4 L/menit


 Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5
menit, berikan cairan melalui prosedur intraoseus
 Berikan cairan kristaloid dan atau koloid 10-20ml secara bolus dalam 10-20
menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan Ht, AGD,
gula darah, dan kalsium

31
 Apabila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10ml/kgBB/jam selama
1-2 jam
 Bila sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5,5,3,1,5 ml/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca
resusitasi, cairan IV sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk
mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara IV bila masukan melalui
oral makin membaik
 Bila syok tidak teratasi, periksa ulang Ht, jika Ht tinggi diberikan kembali
bolus kedua, koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia
Bila Ht rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan massif, berikan
transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10ml/kgBB atau fresh packed
red cell dengan dosis 5ml/kgBB. Jika nilai Ht rendah atau turun namun tidak ditemukan
tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik pertimbangkan
pemberiaan transfuse darah. Pada syok berat, perdarahan masif, ensefalopati atau gagal
napas yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.

Gambar 14. Bagan tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi

32
Gambar 15. Bagan sindrom syok dengue dekompensasi

Kriteria Memulangkan Pasien4


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini:
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi

33
7. Nafsu makan membaik

34
BAB IV
ANALISA KASUS

Manifestasi klinis DHF : Pada pasien didapatkan :

- Demam tinggi, perdarahan - Demam tinggi 38.5 C, akral


terutama perdarahan kulit, hangat, tidak ada tanda syok
hepatomegaly, kegagalan - Tidak nyaman pada perut, tidak
peredaran darah nafsu makan, epistaksis dan
- DF dan DHF terdapat perdarahan saluran cerna
perbedaannya pada permeabilitas
dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, dan
trombositopenia
- Petekie tersebar di seluruh
anggota gerak, muka, aksila pada
masa dini demam, epistaksis,
perdarahan gusi dan saluran cerna
jarang dijumpai
- Hepatomegali, nyeri perut, mual,
muntah, syok (akral dingin,
sianosis sekitar mulut, nadi cepat
dan tidak kuat angkat)
Laboratorium : Pada pasien didapatkan :

- Trombositopenia ( <100.000/ul) - Trombosit 40 ribu


dan hemokonsentrasi yang dapat - Hematoktrit 32.8%
dilihat dari peningkatan nilai - Hb 11.2
hematocrit >20% dibandingkan - Leukosit 5.7 ribu
dengan nilai hematocrit sebelum
sakit atau masa konvalescen

35
- Ditemukannya dua atau tiga klinis
pertama ditambah
trombositopenia dan
hemokonsnetrasi sudah cukup
untuk membuat diagnosis DHF

Tatalaksana : Pada pasien dilakukan terapi :

- Bersifat suportif, mengatasi - Kriteria bagan 2 yaitu tatalaksana


kehilangan cairan plasma sebagai kasus DBD derajat 1 dan 2 tanpa
akibat peningkatan permeabilitas peningkatan hematokrit
kapilerdan sebagai akibat - RL 20 tpm, Paracetamol 3x7,5 ml
perdarahan. periksa seri DHF rutin
- Pasien DD rawat jalan, pasien
DHF perawatan di ruang biasa,
sedangkan pasien DHF dengan
komplikasi syok, perlu perawatan
di ruang intensif
- Terdapat 4 kriteria bagan pada
penanganan DHF yaitu
tatalaksana kasus tersangak DBD,
tatalaksana kasus DBD derajat 1
dan 2 tanpa peningkatan
hematocrit, DBD derajat 2 dengan
peningkatan hematocrit > 20%,
tatalaksana kasus DBD derajat 3
dan 4.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Dengue: Guidelines for Diagnosis,Treatment, Prevention and
Control. Geneva, Switzerland: WHO, 2009.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Buletin Jendela Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
3. Bridget A. Wills, M.R.C.P., Nguyen M. Dung, M.D., Ha T. Loan, M.D., Dong T.H. Tam,
M.D., Tran T.N. Thuy, M.D., Le T.T. Minh, M.D., Tran V. Diet, M.D., Nguyen T. Hao,
M.D., Nguyen V. Chau, M.D., Kasia Stepniewska, Ph.D., Nicholas J. White, F.R.C.P., and
Jeremy J. Farrar, F.R.C.P. Comparison of Three Fluid Solutions for Resuscitation in
Dengue Shock Syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877-889.
4. Sri Rezeki Hadinegoro, dkk. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue
pada Anak. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI;2014
5. Aryu Candra. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2;2010 : 110 –119
6. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. 2014. Tersedia di
http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/
7. World Health Organisation. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. 2009. Tersedia di http://www.who.int/tdr /publications/documents/dengue-
diagnosis.pdf
8. Kemenkes, RI. (2016). Infodatin Situasi DBD di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
9. British Medical Journal Best Practice. Dengue Fever; 2018. Accessed at:
www.bmjbestpractice.com/contents/dengue-fever
10. Rizal dkk. Kebocoran Plasma pada Demam Berdarah Dengue. Cermin Dunia
Kedokteran. CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011.
11. WHO. (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded. Regional Office for South-East Asia.
12. Hadinegoro, S. R., et.al. (2012). Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI – RSCM.
13. WHO. (2012). Handbook for Clinical Management of Dengue. Geneva.

37

Anda mungkin juga menyukai