Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

Mata Kuliah : Psikologi Anak

Dosen Pengampu : Maria Nona Nancy, S.Psi, M.Si

KEKERASAN PADA ANAK DITINJAU DARI ASPEK GENDER

Oleh :

Elisabeth Ruslin

051140005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NUSA NIPA

APRIL 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan kepada hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“KEKERASAN PADA ANAK DITINJAU DARI ASPEK GENDER”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran Penulis nantikan.

Maumere, 27 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

2.2 Faktor-Faktor Yang Mendorong Kekerasan Terhadap Anak

2.3 Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak


2.4 Upaya Menanggulangi Kekerasan Terhadap Anak
2.5 Kekerasan Terhadap Anak Ditinjau Dari Aspek Gender

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak
kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk
tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak. Seharusnya seorang
anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih sayang keluarga agar
jiwanya tidak terganggu. Hal ini terjadi karena  banyak orangtua menganggap kekerasan pada
anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung
jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup,
dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak
belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kekerasan
terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja  yang
ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik maupun mental.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak?
2)  Faktor- faktor  apa saja yang mendorong timbulnya kekerasan terhadap anak?
3)  Bagaimana bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak?
4) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap
anak?
5) Bagaimana kekerasan terhadap anak ditinjau dari aspek gender?

1.3 Tujuan

Agar mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak,
faktor-faktor yang mendorong timbulnya kekerasan terhadap anak, bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak, upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak
dan kekerasan ditinjau dari aspek gender.

1.4 Manfaat

Agar dapat menambah wawasan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak adalah segalah tindakan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat merusak anak  baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi
maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma dalam masyarakat.

2.2 Faktor-Faktor Yang Mendorong Kekerasan Terhadap Anak

Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan


Anak  pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of
violance)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh
menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya.
Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke
generasi
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko
kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini
mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi
perumahan buruk(poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-
rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a
new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the
death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang
tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam
kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga
kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di
antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan
tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal
lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana
baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting,
seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat
kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-
keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-
keputusan tersebut.

2.3 Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak


a. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)
Kekerasan fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan
terhadap anak,dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet
atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan,
cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas
atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada
daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong.
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku
anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus,
minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang
berharga.
b. Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak melakukan
pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak.
Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga
mengkambinghitamkan.
c. Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja
rumah tangga).
d. Kekerasan Anak Secara Sosial/penelantaran (neglect abuse)
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan
kesehatan yang layak.

2.4 Upaya Menanggulangi Kekerasan Terhadap Anak


Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak
yaitu:
a. Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Tindakan  kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya
baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak
kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang
cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang
memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
b. Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63% dari anak nakal pada suatu
lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak
utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman )
menyatakan bahwa 70, 8% dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari
keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau
berat.
c. Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi
yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping
(stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses
akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Untuk menghindari
kekerasan terhadap anak maka diperlukan anggota keluarga yang  saling berinteraksi
dengan komunikasi yang efektif
2.5 Kekerasan Terhadap Anak Ditinjau Dari Aspek Gender

Istilah gender berasal dari bahasa latin (genus), artinya jenis atau tipe. Kemudian istilah
ini dipergunakan untuk jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Istilah gender lebih banyak
menunjuk kepada perbedaan status dan peranan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu,
kata gender juga dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar
ataupun tidak bahwa seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu  dan bukan
dalam jenis kelamin lain.

Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat
itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Wilson mengartikan gender
sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan
perempuan. Sedangkan Linda Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat
perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian
gender. Dan Elaine Showalter menegaskan bahwa gender lebih dari sekedar pembedaan laki-
laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya.

Dari beberapa kajian literatur, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki‐
laki terhadap perempuan hal ini lebih sering terjadi yaitu kekerasan yang dilakukan laki‐laki
ditujukan kepada perempuan. Persepsi yang menjadi pelaku kekerasan lebih memungkinkan
adalah laki‐laki dan yang mengalami kekerasan korbannya adalah perempuan hal ini
berhubungan dengan stereotipe bias gender (Seelau & Seelau, 2005).

Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan dalam rumah tangga yang
yang berhubungan dengan gender. Hal tersebut terjadi diakibatkan adanya bias gender yaitu
terdapat perbedaan‐perbedaan faktor biologis antara perempuan dan laki‐laki. Perempuan
memang berbeda secara jasmaniah dari laki‐laki, perempuan mengalami haid, dapat
mengandung, melahirkan serta menyusui yang melahirkan mitos dalam masyarakat bahwa
perempuan berhubungan dengan kodrat sebagai ibu. Perbedaan ciri‐ciri perempuan dan laki‐
laki terlihat sejak masa kanak‐kanak di mana anak laki‐laki lebih banyak memperoleh
kesempatan bermain di luar rumah dan mereka bermain lebih lama dari anak perempuan,
permainan anak laki‐laki lebih bersifat kompetitif dan konstruktif hal ini disebabkan karena
anak laki‐laki lebih tekun dan lebih efektif dari anak perempuan, serta permainan anak
perempuan lebih banyak bersifat kooperatif serta lebih banyak di dalam ruangan. Perbedaan-
perbedaan biologis dan psikologis ini menimbulkan pendapat‐pendapat atau suatu
kesimpulan di masyarakat dimana kesimpulan itu pada umumnya merugikan pihak
perempuan. Kesimpulan itu antara lain adalah laki‐laki lebih unggul dan lebih pandai
dibanding anak perempuan, laki‐laki lebih rasional dari anak perempuan, serta perempuan
lebih diharapkan menjadi istri dan ibu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekerasan terhadap anak adalah segala tindakan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi
maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma dalam masyarakat. Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut
Komnas Perlindungan Anak  pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
struktur keluarga, pewarisan kekerasan dari generasi ke generasi, stress sosial dan isolasi
sosial, serta keterlibatan masyarakat bawah. Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak yaitu:
kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan
secara sosial. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap
anak yaitu: pendidikan dan pengetahuan orang tua yang cukup, keluarga yang hangat dan
demokratis, adanya komunikasi yang efektif. Namun kekerasan terhadap anak juga dapat
ditinjau dari aspek gender. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan faktor biologis
antara perempuan dan laki-laki. Dimana laki-laki dianggap paling berkuasa dalam sebuah
rumah tangga yang berimbas pada kekerasan terhadap anak.

3.2 Saran

Sebagai individu yang berpengetahuan hendaklah kita menghargai anak-anak dengan


menghindarkan mereka dari tindakan kekerasan yang dapat merusak masa depan mereka,
sehingga mereka kelak tumbuh dan berkembang dengan bebas dan bertanggung jawab karena
mereka semua adalah generasi penerus.
DAFTAR PUSTAKA

Abu, Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak.  Jakarta : Nuansa Emmy.


Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Asmarany, Anugriaty Indah. Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Jurnal Psikologi, 35, 1-20.

Darmayanti, Nefi. Meta-Analisis : Gender dan Depresi Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 35,
164-180.

Suryani. Benarkah Faktor Gender Berperan dala Pengungkapan Kekerasan Seksual Anak?
Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi, 36, 55-72.

Anda mungkin juga menyukai