Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini banyak kasus yang memberitakan tentang kekerasan


pada anak, termasuk penelantaran pada anak oleh keluarganya
sendiri. Masalah dalam kehidupan ternyata tidak hanya dialami
oleh orang dewasa. Anak-anak pun menghadapi banyak masalah
dalam perkembangan mereka. Anak-anak menjadi korban
kekerasan, dalam bentuk apapun, biasanya mengalami stres dan
trauma, bahkan jika ia mengalami kasus yang berat, truma yang
muncul dapat bertahan dalam waktu cukup lama.
Akibatnya, anak tidak hanya mengalami terganggunya jiwa
dan mental, tapi juga menyebabkan perkembangnnya
terhambat, termasuk perkembangan fisik, bahkan dapat
menyebabkan cacat mental dan keterbelakangan mental.
Dampak dari penalantaran pada anak sangat beragam dan
memerlukan penanganan yang tepat sebelum anak meniru
perilaku orang tua yang menalantarkannya tersebut ke anaknya
sendiri. Karena menurut beberapa penilitian, banyak orang tua
yang menelantarkan anaknya sendiri juga mengalami hal serupa
saat kecil. Sehingga penanganan yang sesuai akan memutuskan
rantai kekerasan dan penelantaran pada anak kedepannya.
Namun, faktor-faktor penelantaran tidak hanya berasal dari
masalah orang tua sendiri, tapi juga ada pengaruh dari luar yang
menyebabkan orang tua tega menelantarkan anaknya sendiri.
Baik dari factor lingkungan, gaya hidup, dan ekonominya. Semua
masalah pada orang tua yang tidak dapat terselesaikan dengan
baik, dapat memicu kemarahan atau ketidaknyamanan dalam
hidup, hingga melampiaskannya pada anak. Padahal, anak tidak
mengetahui apapun permasalahan yang dihadapi orang tuanya.
Disinilah dibutuhkan dukungan dari semua pihak, agar anak
yang sebagai korban penelantaran dan juga orang tua sebagai
pelaku, dapat kembali kekehidupan normal yang penuh kasih
sayang, dan tidak berlanjut ke generasi selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

Penelantaran pada Anak


Penelantaran merupakan sikap diam atau tidak bertindak
apapun sehingga menyebabkan anak celaka. Ada orang tua yang
melakukan kekerasan atau menelantarkan anak yang
menyebabkan gangguan perilaku, emosi, atau bahkan mental.
Kini, marak diberitakan berbagai kasus kekerasan pada anak,
baik secara fisik, mental, bahkan penelantaran. Lebih parahnya
lagi, mereka dengan tega menghabisi buah hati mereka sendiri.
Sangat miris ketika kita dengar ada kasus penelantaran
ataupun penyiksaan terhadap anak yang sedang gencar
diberitakan di media-media. Apa yang ada dalam pikiran orang
tua seperti itu yang tega menyiksa bahkan menelantarkan
anaknya sendiri. Memang ada beberapa faktor yang dapat
menimbulkan masalah miris seperti ini yaitu kekerasan dalam
rumah tangga, faktor ekonomi, disfungsi keluarga, pandangan
keliru tentang posisi anak dalam keluarga.
Lebih mengerikan bahwa kasus pembuangan bayi itu juga
menimpa para pelajar dan mahasiswa. Berarti kehadiran sang
bayi tidak dikehendaki oleh ayah dan ibunya yang mungkin
hanya mau coba-coba atau senang-senang saja. Kasus terakhir
ini hendaknya menjadi catatan serius bagi kita yang masih
memiliki hati nurani dan keimanan yang baik.
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan bagi kedua pihak,
baik dari orang tua yang menjadi pelaku penelantaran, maupun
bagi sang anak yang menjadi korban, semua tergantung pada
keadaan masing-masing. Permasalahan tidak bisa terselesaikan
hanya dalam waktu beberapa hari saja, namun akan memakan
waktu yang cukup lama guna menyembuhkan sang anak yang
mengalami trauma akibat dari orang tuanya sendiri.
Lingkungan sekitar juga ikut berperan dalam menanggulangi
kasus ini. Sebaiknya mereka lebih peka terhadap tetangga,
keluarga, dan teman-teman mereka agar kasus ini tidak semakin
banyak, hingga dapat mengganggu mental anak pada
kedepannya.
Faktor Penyebab Penelantaran Anak
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku ini. Masalah
sosial, spiritual, ekonomi dan perkembangan teknologi menjadi
pemicu banyaknya fenomena ini :

1. Faktor Sosial
Fenomena remaja hamil di luar nikah menjadi pemicu
pembuangan bayi. Membuang bayi seakan menjadi solusi terbaik
bagi mereka karena takut, malu dengan sekitar, dan belum siap
dengan tanggung jawab. Seks bebas seakan menjadi hal lumrah
saat ini, bahkan tak jarang remaja-remaja sekarang
memamerkan kemesraan di depan umum atau di media sosial.
Perhatian dan peran orang tua menjadi sangat penting dalam hal
ini. Para remaja yang masih berfikiran labil perlu kontrol dan
pemantauan intens dari orang tua.
Dalam hal ini peran orang tua diharapkan bisa menjadi
kontrol bagi mereka. Orang tua berperan sebagai teman bukan
pelarang, dengan begini remaja lebih mau mendengarkan
penjelasan daripada dilarang terang-terangan. Selain itu, sikap
manusia yang suka mengkritik dan menghukum turut
menyebabkan pembuangan bayi semakin marak. Apabila
seorang remaja perempuan melahirkan anak di luar nikah, maka
masyarakat setempat akan menggunjingnya, menjadikan bahan
gosip dan memandang remeh padanya. Secara tidak langsung
remaja perempuan pastinya dianggap mencoreng nama baik
keluarga.
Dengan pemikiran seperti itu, remaja akan merasa tertekan
dengan beban yang ditanggung seorang diri. Demi menjaga
nama baik keluarga dan dirinya sendiri, tak jarang remaja
tersebut mengambil jalan pintas dengan membuang bayinya dan
mengabaikan resiko dari perbuatannya, karena yang ada
dipikirannya hanya bagaimana caranya dia tidak mencoreng
nama keluarga.

2. Faktor Spiritual
Kurangnya pemahaman nilai agama menjadikan mereka tidak
lagi takut akan Tuhan dan resikonya. Sehingga jalan pintas
menjadi pilihan mereka. Kekurangan didikan agama yang
merupakan panduan dan pedoman hidup telah menyebakan
mereka hilang arah dalam kehidupan dan terlibat dalam gejala-
gejala negatif seperti pergaulan bebas dan berakibat kehamlan
di luar nikah. Peran agama dalam kehidupan sangat penting
untuk membentuk pegangan hidup yang teguh dan bukannya
menuruti hawa nafsu semata-mata.
3. Faktor Ekonomi
Akhir-akhir ini faktor ekonomi juga menjadi pemicu maraknya
pembuangan bayi. Dengan alasan kendala ekonomi, tidak bisa
menghidupi karena miskin dan punya banyak anak yang harus
mereka cukupi. Kehadiran anak lagi menurut merea hanya akan
menjadi beban dan mempersulit ekonomi mereka. Mereka tega
meninggalkan bayi di teras rumah orang, di tempat pelayanan
kesehatan. Tak jarang mereka membuang bayi mereka
sembarangan bahkan di pinggir jalan. Mereka selalu punya
alasan membuang bayi mereka dengan teganya.

4. Faktor Perkembangan Teknologi


Perkembangan teknologi dan era reformasi juga sedikit
mengambil bagian dalam maraknya pembuangan bayi. Media
elektronik, penyebaran VCD dan internet mendorong mereka
khususnya remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang besar
mencoba-coba mengikuti hal-hal negatif yang mereka tonton.
Bahkan ada kasus remaja yang membuat video mesum.
Masalah ini tentu harus menjadi perhatian kita semua. Karena
kalau dibiarkan begitu saja, bukan hanya tidak mungkin
pembuangan bayi akan terus-menerus terjadi. Dan bayi-bayi tak
berdosa itu tidak akan pernah tahu siapa orang tua kandung
mereka bahkan bayi-bayi lucu itu tak jarang ada yang belum
sempat merasakan indahnya dunia.
Lagi-lagi peran agama, orang tua, penegak hukum, dan
masyarat menjadi peran penting dalam fenomena ini. Sebagai
pihak yang dewasa sebaiknya memberikan teladan yang baik.
Ingatlah bayi adalah titipan Tuhan. Masih banyak di luar sana
yang sangat menginginkan buah hati tetapi mereka kesulitan
untuk mendapatkannya.
Akibat dari Penelantaran Anak
Dampak penyiksaan dan pengabaian terhadap beberapa
aspek kehidupan anak menurut berbagai lembaga penanganan
terhadap anak-anak yang mendapat perlakuan negatif dari orang
tua, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya
dampak atau efek dari penyiksaan atau pengabaian terhadap
kehidupan sang anak. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Jenis perlakuan yang dialami oleh sang anak
2. Seberapa parah perlakuan tersebut dialami
3. Sudah berapa lama perlakuan tersebut berlangsung
4. Usia anak dan daya tahan psikologis anak dalam
menghadapi tekanan
5. Apakah dalam situasi normal sang anak tetap memperoleh
perlakuan atau pengasuhan yang wajar
6. Apakah ada orang lain atau anggota keluarga lain yang
dapat mencintai, mengasihi, memperhatikan dan dapat
diandalkan oleh sang anak

Trauma
Kekerasan pada anak memang akan menimbulkan luka psikologis
yang berkepanjangan. Inilah trauma jangka panjang pada bayi
korban kekerasan yang sedapat mungkin bisa dicegah.
1. Agresif. Sikap ini biasanya ditujukan anak kepada pelaku
tindak kekerasan. Umumnya ditunjukkan saat anak merasa
ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang
dianggap bisa melindunginya itu ada di rumah, anak
langsung memukul atau melakukan tindakan agresif
terhadap si pengasuh.
2. Peringatan : Tidak semua sikap agresif anak muncul karena
telah mengalami tindak kekerasan.
3. Murung atau depresi. Kekerasan mampu membuat anak
berubah drastis, seperti menjadi anak yang memiliki
gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai dengan
penurunan berat badan. Anak juga bisa menarik diri dari
lingkungan yang menjadi sumber trauma. Ia menjadi anak
pemurung, pendiam dan terlihat kurang ekspresif.
4. Mudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak
merasa tidak aman dengan lingkungannya. Karena ia
kehilangan figur yang bisa melindunginya. Kemungkinan
besar, anak menjadi sulit percaya dengan orang lain.
5. Melakukan tindak kekerasan pada orang lain. Semua ini
anak dapat karena ia melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamnnya
kemudian bereaksi sesuai yang ia pelajari.
6. Secara kognitif anak bisa mengalami penurunan. Akibat
dari penekanan kekerasan psikologisnya atau bila anak
mengalami kekerasan fisik yang mengenai bagian kepala,
hal ini malah bisa mengganggu fungsi otaknya.

Sebagai anak yang menjadi korban, tentu saja mudah


baginya untuk menyimpan setiap kenangan dari masa kecilnya,
baik pengalaman yang baik maupun pengalaman buruk. Dan
tanpa sadar, beberapa sifat negatif dari orang tua yang
merupakan pengaruh terbesar dari sang anak, akan tertanam
dalam alam bawah sadar mereka. Trauma yang secara fisik tidak
terlihat, dapat juga telah tertanam dalam alam bawah sadar
mereka, hingga tanpa sadar mereka melakukan hal yang serupa
dikemudian hari.
Untuk itulah pentingnya terapi dengan kesabaran dan
ketepatan untuk para korban, agar rantai dari kejahatan ini dapat
terputus dan tidak ada lagi keturunan-keturunan jahat yang
nantinya bahkan dapat lebih menyebar dan meluas pada
keluarga-keluarga mendatang.
Anak yang merasakan hal seperti ini atau kurangnya kasih
sayang yang diberikan orang tua akan menyebabkan tingginya
perasaan tidak aman, sulit akrab dengan orang lain, dan sulit
untuk menyesuaikan diri pada masa yang akan datang.

Hal ini dapat membuat masa depan anak kurang jelas,


tergantung pada penanganan yang akan ia dapatkan pasca
kasus yang menimpanya. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan bagaimana masa depan sang anak akan menjadi
suram.

1. Tingkat Kesejahteraan / Tingkat Ekonomi Keluarga.


Dalam hal ini, tingkat kesejahteraan atau tingkat ekonomi
dalam suatu keluarga sangat berpengaruh, karena masa depan
anak juga harus diperhitungkan. Jika ekonomi suatu keluarga
termasuk tingkat yang rendah maka besar kemungkinan masa
depan anak kurang jelas, kecuali adanya bantuan dari tangan
orang atau pihak lain.
Contoh : anak dari keluarga miskin yang ingin masuk
keperguruan tinggi terhalang oleh biaya, sehingga masa depan
anak itu kurang jelas, kecuali ada pihak lain yang membantu,
seperti beasiswa atau semacamnya.

2. Kurangnya perhatian orangtua terhadap pendidikan anak


yang disebabkan oleh kurang diprioritaskan si anak oleh
orangtua.
Keluarga dengan misi yang selalu menganggap pekerjaan
sebagai hal utama, memang dapat dikategorikan sebagai
keluarga yang tingkat kesejahteraannya tinggi, namun dalam hal
prioritas anak, biasa keluarga berkarir kurang memperhatikan
masa depan anak, dan selalu menganggap tingkah laku anak nya
benar, sehingga rawan terjadi salah dalam pergaulan.
Contoh : anak dari keluarga kaya yang kurang perhatian
kemudian salah masuk pergaulan bebas karena tidak adanya
kontrol dari orangtua.

3. Tidak memfasilitasi kebutuhan jasmani maupun rohani


anak.
Hal semacam ini hampir sama dengan factor kesejahteraan,
fasilitas yang tidak terpenuhi pada anak juga merupakan hal
yang dapat membuat masadepan anak tidak jelas.

4. Selalu menekan keinginan orangtua pada anak tanpa


memperdulikan kemauan sang anak
Menganggap pemikiran orangtua selalu benar dan menekan
keinginan anak, akan membuat anak merasa tidak dihargai
keberadaannya, dan sesuatu hal yang dilakukan dengan paksaan
biasanya tidak akan medaatkan hasil yang baik.
5. Salah jatuh hak asuh anak oleh keluarga broken home
yang mengakibatkan anak sebagai korban karena tidak
mendapatkannya perlindungan baik dari segi fisik atau
psikis.
Hal-hal diatas dapat dijadikan sebagai alasan atau faktor
kecenderungan masadepan anak yang kurang jelas, sehingga
dalam kata lain anak tidak mendapatkan hak yang sesuai dari
orangtua.
Selain itu faktor penelantaran anak sering juga terjadi karena
berbagai hal, salah satunya ialah karena orangtua yang selalu
menjadikan pekerjaan sebagai misi hidupnya sehingga anak
kurang diperhatikan, biasanya hal seperti ini banyak terjadi pada
keluarga yang semuanya bekerja (suami istri bekerja) sehingga
waktu untuk sang anak pun harus terbagi dengan rutinitas
pekerjaanya.

Faktor yang memicu anak menjadi membenci orang tua yang


telah menelantarkannya.
1. Terjadinya tindak kekerasan pada anak.
2. Intimidasi dan penekanan terus menerus yang dilakukan
oleh orangtua pada anak.
3. Kurangnya atau salahnya komunikasi antara orangtua
dengan anak.
4. Tidak seimbangnya kebutuhan atau permintaan sang anak
yang terpenuhi oleh orang tua.
5. Perhatian orangtua yang kurang terhadap anak.
6. Kurang diprioritaskan anak oleh orangtua.

Semua faktor tersebut secara otomatis tercipta dalam benak


anak, bagaimana sifat jahat seseorang pada dirinya,
ketidaknyamanan, dan kurangnya perlindungan yang
membuatnya terbebani baik fisik maupun mental, sehingga ia
tidak ingin terulang lagi dengan cara menyingkirkan dan
membenci faktor pemicunya, dalam kasus ini adalah pelaku
penelantaran.
Solusi dari Penelantaran Anak

A. Solusi Untuk Orang Tua Sebagai Pelaku Penalantaran

Orang tua yang tega menelantarkan anaknya perlu diselidiki


lebih jauh sebab-sebab apa yang dapat membuat orang yang
seharusnya menjadi pelindung anak yang utama malah menjadi
tempat yang mengerikan bagi sang anak. Dan jika memang ada
gangguan pada orang tua yang menyebabkan mereka tidak
dapat mengurus rumah tangga, termasuk anak, sebagaimana
mestinya, maka perlu tindakan tegas pada mereka agar kasus ini
tidak terjadi lagi, dan menjadi pelajaran bagi yang lain. Berikut
beberapa solusi untuk orang tua yang telah menelantarkan
anaknya.
Kembali ke program Keluarga Berencana (KB). Kesadaran
akan pentingnya kehidupan anak-anak nantinya sepertinya
kurang diperhatikan bagi para pelaku. Apalagi jika anak yang
ditelantarkan tidak hanya satu atau dua anak. Maka orang tua
dan pemerintah kini harus kembali menegaskan akibat yang
ditimbulkan dari para orang tua yang kurang memperhatikan
jumlah anak mereka. Karena semakin banyak anak, juga semakin
banyak beban hidup, terutama faktor ekonomi, yang ditanggung
oleh sebuah keluarnya.
Keluarga berencana dengan anjuran dua anak cukup baik
laki-laki atau perempuan tidak hanya meringankan beban orang
tua nantinya, namun juga populasi penduduk terutama
Indonesia. Dengan program keluarga berencana, maka orang tua
lebih mudah mengatur rumah tangga mereka, baik dimasa kini
dan masa depan mereka.
Perbaikan ekonomi pada keluarga, merupakan salah satu
penyebab penelantaran pada anak. Banyak orang tua yang
mengaku terpaksa menelantarkan anak mereka karena tidak
mempunyai cukup biaya untuk hidup mereka. Sehingga orang
tua dan pemerintah juga harus lebih memperhatikan akan warga
negaranya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Orang tua harus belajar mengetahui bagaimana resiko
eksploitasi pada anak jika anak ditelantarkan. Sikap orang tua
yang negatif pada anaknya secara tidak langsung akan menular
dan mempengaruhi sang anak. Jika orang tua terus-menerus
membiarkan situasi menjadi rumit dan tidak mengacuhkan
anaknya yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, maka
beban psikis dan mental sang anak akan berpengaruh, bahkan
dapat mengakibatkan trauma yang membuat tumbuh kembang
sang anak menjadi terganggu.
Orang tua sebaiknya belajar bagaimana mengatasi sikap
negatif yang ada pada diri mereka, termasuk mengetahui akibat
yang akan terjadi pada anak nantinya. Tidak hanya beban pada
diri sang anak saja yang terpengaruh, namun bisa juga menjadi
penghambat sang anak untuk bersosialisasi pada lingkungannya.
Jika anak sudah meniru sikap orang tua, maka akibatnya bisa
memerlukan waktu yang lama untuk menyembuhkan sang anak
kembali ke normal.
Orang tua lebih baik mengikuti seminar yang diadakan oleh
ibu PKK, di sampingg itu ada modul perlindungan anak sehingga
orang tua bisa mengantisipasi rasa ketidaknyamanan anak
dengan mempelajari modul tersebut. Di sini yang terpenting
adalah peran sesama dalam mengatasi masalah. Perlunya
sosialisasi pada orang tua pada lingkungan sekitar dan teman-
teman mereka adalah agar mereka dapat menghilangkan beban
mereka sejenak dan tidak melampiaskannya di rumah, apalagi
pada anak. Peran teman, sahabat, dan keluarga dalam
memberikan solusi yang tepat akan membantu orang tua merasa
lebih baik alih-alih akan pergi dari tanggung jawabnya.
Dalam kasus ini, peran media dan lingkungan sekitar sangat
berpengaruh untuk membagi informasi pada sesama, agar kasus
ini tidak terjadi lagi. Walaupun sudah ada Undang-Undang
Hukum Negara dalam hal perlindungan terhadap anak, namun
dukungan dari semua pihak juga sangat membantu dalam
memberantas kekerasan dan penelantaran pada anak yang akan
menjadi penerus mereka nantinya.

B. Solusi Bagi Anak Sebagai Korban Penelantaran

Adaptasi adalah cara anak menangani informasi baru dengan


mempertimbangkan informasi yang telah diketahui. Adaptasi
terjadi melalui dua proses yang saling melengkapi, yaitu
asimilasi, yakni mengambil informasi baru dan memasukkannya
ke struktur kognisi yang telah ada, dan akomodasi, yakni
menyesuaikan struktur koginisi diri anak bersangkutan agar
cocok dengan informasi baru tersebut.
Perlunya adaptasi karena anak yang mengalami trauma akan
mendapatkan gangguan pada mentalnya yang membuatnya
merasa tertekan. Sehingga ia memerlukan adaptasi kembali dari
lingkungan yang buruk ke kehidupan yang lebih baik dan
mendapatkan apa yang seharusnya memang ia dapatkan.
Tentu saja, kita tidak boleh semata-mata menghakimi orang
tua yang menelantarkan anaknya begitu saja. Banyak faktor
yang mempengaruhi mereka yang sebenarnya dapat
diselesaikan dengan baik, sehingga orang tua mempunyai
kesempatan untuk kembali bersama anak-anaknya dan menjadi
keluarga bahagia umumnya. Berikut beberapa hal yang dapat
dilakukan orang tua pada anak agar tidak terjadi trauma
berkelanjutan.
Ajak anak bicara sehingga dia bisa bercerita tentang masalah
yang membuat ia trauma. Atau ajak anak bicara sehingga ia
dapat melupakan masalahnya. Bicara antar anak dan orang tua
atau anak dengan orang lain merupakan salah satu sosialisasi
yang baik dimana anak dapat melampiaskan semua bebannya
dan membuat ia merasa lega karena ia akan merasa bahwa ia
tidak sendirian, banyak yang mendukungnya untuk bangkit dan
menjadi orang yang lebih baik nantinya.
Komunikasi antar anak dan orang tua yang
menelantarkannya mungkin akan membuthkan waktu tertentu
agar trauma anak mereda dan dapat mengerti penyebab
mengapa ia mengalaminya. Jika sang anak telah tenang dan
dapat bicara bahkan dengan orang tua yang telah berbuat jahat
padanya, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi
keluarga yang utuh kembali seperti yang mereka inginkan.
Berikan rasa nyaman, karena anak akan mudah bercerita
tentang apa yang ia takutkan dengan lebih leluasa. Rasa nyaman
akan melindunginya dari pikiran-pikiran negatif akibat apa yang
telah ia alami dalam penelantaran. Saat sang anak merasa
nyaman, ia akan tahu bahwa ia terlindungi, tidak perlu khawatir
tentang semua yang ia alami, dan tentu saja bagaimana ia
mendapatkan perhatian yang tidak ia dapatkan selama
penelantaran.
Hal ini akan sulit didapatkan dari orang tua yang
menelantarkannya, karena keadaan anak yang masih labil dan
mudah trauma. Maka perlu pendekatan secara hati-hati dan
tepat agar orang tua yang menjadi pelaku penelantaran anak
tersebut dapat menunjukkan rasa nyaman yang telah hilang
beberapa waktu sebelumnya. Juga perlu usaha lebih besar bagi
orang tua untuk mendapatkan kepercayaan sang anak kembali.
Luangkan waktu untuk anak untuk mengeksplor
kemampuannya, sehingga dapat mengurangi rasa trauma pada
dirinya dengan caranya sendiri. Cara sang anak bermain dan
menjelajah lingkungan sekitar akan membuatnya sibuk dalam
pemikirannya, sehingga lama kelamaan akan membuatnya
teralihkan dari masalah yang ia miliki. Bagaimana cara anak
menemukan caranya sendiri akan membuat sang anak lebih
cepat pulih dari traumanya, karena cara yang ia ambil adalah
cara yang membuatnya merasa lebih baik. Terutama
penanganan pada anak pasti berbeda-beda, sehingga perlu cara
yang sesuai dengan sang anak agar ia tidak terjebak dalam
traumanya, bahkan menjadi lebih parah dari sebelumnya.
Jangan melakukan kesalahan yang sama pada anak. Bagi
orang tua yang ingin kembali pada anak-anak mereka, orang tua
pastinya harus lebih berhati-hati dalam bertindak nantinya.
Mengingat trauma anak sangat rentan akan keadaannya
mendatang, jika ia mengalaminya kembali atau berulang
kembali, maka bisa jadi reaksi yang ia keluarkan lebih parah
daripada orang tuanya sendiri. Yang lebih parah, ia juga dapat
berpotensi melakukannya pada anak-anaknya mendatang. Jika
lingkaran ini tidak diputus, maka akan banyak kasus
penelantaran anak dan hancurnya generasi penerus.
Yang tidak kalah penting adalah pendekatan secara agama,
dimana tidak hanya anak, namun juga orang tua akan
mendapatkan pencerahan jiwa mereka dan lebih dekat pada
Tuhan, sehingga menghindari apa yang dibenci, dilarang, dan
sikap yang seharusnya mereka lakukan, tidak hanya antar
sesama manusia, namun juga kepada Tuhan mereka.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Penelantaran anak adalah sebuah sikap diam dan tidak
melakukan apapun yang seharusnya menjadi tanggung jawab
orang tua kepada anaknya. Banyak faktor yang mempengaruhi
perilaku dalam penelantaran anak, seperti masalah sosial,
spiritual, ekonomi, dan perkembangan teknologi menjadi pemicu
banyaknya kasus penelantaran anak ini.
Akibat dari penelantaran pada anak diantaranya adalah
trauma yang akan dialami oleh anak, peniruan sikap dari orang
tuanya, hingga masa depan sang korban menjadi kurang jelas,
serta sikap membenci pada orang tua yang menelantarkannya.
Solusi tidak hanya untuk orang tua sebagai pelaku yang telah
menelantarkan anak, namun juga pendekatan pada anak agar ia
bangkit dan tidak meniru perilaku orang tuanya pada masa yang
mendatang.

Saran
Kasus-kasus penelantaran anak yang marak terjadi saat ini
tidak hanya meresahkan bagi pihak keluarga pelaku, namun juga
warga masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan dari
perilaku penelantaran dapat juga ditiru oleh korban pada
nantinya. Peran teman, sahabat, keluarga, dan lingkungan
sekitar akan mempengaruhi kondisi korban dan orang tua.
Seharusnya kita lebih peka terhadap lingkungan sekitar yang
dapat berpotensi memicu terjadi kasus tersebut karena kita
termasuk faktor yang dapat mencegah dan mengatasi masalah
tersebut.
Pemerintah juga seharusnya mempunyai devisi khusus dalam
kasus ini agar mereka, baik korban maupun pelaku, dapat
kembali bangkit dan menjalani hidup lebih baik selain dengan
hukuman saja.
Bagi para pembaca, pengumpulan beberapa kasus akan lebih
melengkapi tentang masalah yang sedang penulis bahas pada
makalah ini. Sehingga, data-data dalam kasus serupa dari
berbagai sumber akan lebih melengkapi dan memperinci
permasalahan yang penulis ungkap, serta menemukan solusi
yang lebih tepat untuk semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta: PT. Indeks

Laila, Ida Nur. 2008. Smart Parents: Menyayangi Anak Sepenuh


Hati. Yoyakarta: Era Intermedia

Faridah Afifah. 2012. Mengatasi Problematika Anak Bangsa,


(online),
http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/06/19/mengatasi-
problematika-anak-bangsa, diakses 09 Juni 2015.

Fakhrizal Fakhri. 2015. Pemerintah Harus Tangani Serius Kasus


Penelantaran Anak, (online),
http://news.okezone.com/read/2015/05/18/338/1151170/pemerin
tah-harus-tangani-serius-kasus-penelantaran-anak, diakses 09
Juni 2015.

Nurul Ainun Nufus. 2015. Maraknya Pembuangan Bayi, (online),


https://ainufusblog.wordpress.com/2015/01/31/, diakses 10 Juni
2015.

Ayu Octavia. 2015. Stop! Kekerasan dan Penelantaran Anak,


(online), http://suara.merahputih.com/info/2015/05/25/stop--
kekerasan-dan-penelantaran-anak, diakses 10 Juni 2015.

Komaruddin Bagja Arjawinangun. 2015. Empat Faktor Penyebab


Orang Tega Buang & Bunuh Bayi, (online),
http://metro.sindonews.com/read/972185/31/empat-faktor-
penyebab-orang-tega-buang-bunuh-bayi-1425479565, diakses
10 Juni 2015.

Rhino Rusbani. 2015. Makalah Perdata, (online),


https://www.academia.edu/3772146/makalah_perdata, diakses
11 Juni 2015.
Vessy Frizona. 2015. Faktor Orangtua Tega Telantarkan Anak,
(online),
http://lifestyle.okezone.com/read/2015/05/15/196/1150356/faktor
-orangtua-tega-telantarkan-anak, diakses 11 Juni 2015.

Aziza Fitriah. 2012. Stop Kekerasan Pada Anak, (online),


http://ngobrolpsikologi.blogspot.com/2012/04/stop-kekerasan-
pada-anak.html, diakses 11 Juni 2015.

Ayahbunda. 2013. Trauma Pada Anak Akibat Kekerasan, (online),


http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/bayi/psikologi/trauma.pada.a
nak.akibat.kekerasan/001/007/567/1/1, diakses 11 Juni 2015.

Ismar Patrizki. 2015. Kasus Penelantaran Anak, (online),


http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1265281201/kasus-
penelantaran-anak, diakses 13 Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai